Si Rajawali Sakti 11
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
"Hyaaaaattttt!!"
Tiba-tiba Kian Ki memekik dan mengubah serangannya. Tubuhnya berputar dan kedua lengan membuat gerakan pukulan aneh dari kanan kiri dan angin pukulan yang berpusing seperti angin puyuh menyambar dengan dahsyatnya.
"Aih!"
Han Lin mengeluarkan seruan karena kaget dan heran. Tentu dia mengenal baik serangan pukulan angin puyuh itu karena itu adalah sebuah jurus dari ilmu silat Keluarga Kok yang juga dia pelajari dari gurunya. Thai Kek Siansu. Bagaimana mungkin Kian Ki dapat melakukan pukulan rahasia ini dengan demikian baiknya, padahal ilmu keturunan Keluarga Kok ini dirahasiakan dan tidak boleh diajarkan kepada seorang murid. Gurunya sendiri hampir dibunuh Thiat Beng Siansu, susiok-couwnya (kakek paman gurunya) karena menurunkan ilmu silat Keluarga Kok kepadanya!
Keheranan menjadi-jadi ketika dia berhasil menghindarkan diri dari pukulan dan Kian Ki mendesak dan menyerangnya secara bertubi-tubi dan kini bersilat dengan ilmu silat Keluarga Kok itu!
"Wirrr duk-duk-takkk!!"
Han Lin terpaksa mengerahkan tenaga sinkangnya untuk menangkis karena mengandalkan ilmu langkah ajaib tidak menjamin dirinya dapat terhindar dari pukulan-pukulan maut ilmu silat Keluarga Kok itu. Kini Kian Ki yang merasa heran. Lawannya yang masih muda itu menangkis dengan gerakan ilmu silat yang sama dengan yang dia mainkan dan ternyata Han Lin memiliki tenaga "lemas"
Yang sungguh hebat. Pukulannya yang kuat itu seolah benda keras dipukulkan kepada air, amblas tanpa meninggalkan bekas pada yang dipukul!
Pada saat itu, Ang Hwa Niocu Lai. Yin juga terdesak hebat sekali oleh Liu Cin dan Hui Lan yang mengeroyoknya. Tadinya ia masih mengharapkan Kian Ki yang amat lihai akan dapat mengalahkan lawannya dengan cepat hingga dapat membantunya menghadapi dua orang pengeroyoknya, maka ia masih bertahan dengan mati-matian. Akan tetapi setelah lewat beberapa lama dan sudah mulai terdesak dengan hebat ketika ia melirik ia melihat betapa Kian Ki sama sekali tidak mampu mendesak lawannya, bahkan lawannya pemuda baju putih yang muda itu agaknya mampu mengimbanginya, Cu Yin menjadi gentar dan panik.
Tak mungkin ia dapat tahan lebih lama lagi karena pangkal lengan kirinya sudah disentuh ujung pedang Hui Lan sehingga baju berikut sedikit kulitnya robek dan berdarah, ia harus menyelamatkan diri! Tiba-tiba ia melompat jauh ke belakang, menggerakkan tangan kirinya dan dua sinar merah meluncur ke arah Hui Lan dan Liu Cin. Itulah dua batang kembang merah penghias rambut yang tadi disambitkan kembali oleh Han Lin. Hui Lan dan Liu terkejut, maklum akan bahayanya senjata rahasia itu.
Mereka cepat memutar senjata untuk menangkis. Hui Lan yang membenci Kian Ki melihat betapa Kian Ki masih bertanding melawan Han Lin, cepat melompat hendak mengeroyok, diikuti Liu Cin. akan tetapi Han Lin cepat berseru.
"Jangan mengeroyok!"
Kian Ki kini sudah mencabut pedangnya, akan tetapi tidak segera menyerang melainkan berseru lantang.
"Majulah, kalian pengecut-pengecut tak tahu malu. Aku tidak takut dikeroyok. Majulah!"
Liu Cin memegang lengan Hui Lan dan menggelengkan kepala, tanda mencegah gadis itu untuk mengeroyok. Sebagai seorang pendekar yang berwatak gagah, mendengar tantangan Kian Ki itu ia merasa malu dan tidak mau maju melakukan pengeroyokan. Akan tetapi Hui Lan menudingkan
(Lanjut ke Jilid 11)
Si Rajawali Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
pedangnya ke muka Kian Ki.
"Engkau sendiri yang pengecut tak tahu malu. Engkau tidak mampu mengalahkan Han Lin dengan tangan kosong, sekarang hendak menyerang dia yang bertangan kosong dengan pedangmu!"
Kian Ki tampak ragu-ragu dan dia memandang kepada Han Lin dengan sinar mata penuh permohonan.
"Lan-moi, engkau isteriku, marilah kita pulang dan di rumah nanti aku akan berlutut minta ampun kepadamu. Marilah, Sayang Dia membujuk dengan suara bersungguh-sungguh.
"Tidak sudi! Lebih baik aku mati daripada harus menjadi isteri seorang jahanam busuk sepertimu!"
Kata Hui Lan dengan marah.
Kian Ki menghela napas panjang menyarungkan kembali pedangnya, memandang kepada Han Lin dan berkata "Si Han Lin, temanku sudah pergi. Aku seorang diri dan engkau bertiga, maka tidak adil kalau kita melanjutkan pertandingan di sini! Kelak akan tiba saat nya aku menantangmu bertanding satu lawan satu sampai seorang di antara kita kalah dan tewas!"
Han Lin tersenyum.
"Chou Kian Ki, aku tidak mempunyai permusuhan denganmu, akan tetapi aku akan selalu menentang semua perbuatanmu yang tidak adil dan tidak benar."
Kian Ki tidak menjawab, melainkan berkelebat pergi dengan gerakan yang cepat sekali. Han Lin memandang kagum berkata lirih, seperti kepada diri sendiri.
"Dia hebat ilmu silatnya lihai sekali, dan dia itu sungguh amat mencintaimu, Hui Lan...
"
"Han Lin, engkau tidak tahu! Jahanam itu merayuku hanya dengan maksud untuk menarikku agar aku mau mendukung rencana jahat ayahnya!"
Kata Hui Lan, tentu saja tidak mengatakan keadaan yang sebenarnya yang telah terjadi dengannya.
"Benar, Sobat"
Kata Liu Cin.
"Aku sendiri tadinya juga bermaksud untuk bekerja kepada mereka, akan tetapi setelah mengetahui rencana jahat mereka, aku melarikan diri keluar dari gedung mereka."
"Hui Lan, semua ini membingungkan. Dia mengaku bahwa engkau isterinya dan dari sikap dan suaranya, aku percaya bahwa dia sungguh mencintaimu. Benarkah engkau isterinya dan apa yang telah terjadi sehingga engkau meninggalkanya?"
"Aku bukan isterinya. Memang kami telah ditunangkan oleh orang tua kami. Aku tidak dapat menolak kehendak orang tuaku dan tadinya aku mengira dia orang baik-baik maka aku menerima menjadi tunangannya. Akan tetapi kemudian aku mengetahui rahasia busuk mereka. Jenderal Chou hendak memberontak dan mendirikan atau membangun kembali Kerajaan Chou dengan dia yang kelak menjadi kaisarnya. Dia berusaha mengumpulkan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi untuk melaksanakan rencana nya yang jahat, yaitu menyingkirkan atau kalau perlu membunuh para pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar Sung Thai Cu agar Kerajaan Sung menjadi lemah.Setelah itu baru dia akan mengerahkah para sekutunya untuk memberontak dan merampas tahta kerajaan. Aku menentangnya dan mereka semua mulai curiga dan membenciku, maka aku lalu melarikan diri dari sana."
Han Lin mengangguk-anggukkan kepalanya lalu memandang Liu Cin.
"Dan bagaimana dengan engkau, Liu Cin?"
"Dalam perantauanku, aku bertemu dengan Ang Hwa Niocu Lai Cu Yin yang bersikap gagah, sopan dan baik. Aku percaya dan aku tidak menolak ketika seorang panglima mendatangi kami di rumah penginapan, mengatakan bahwa kami diundang Jenderal Chou. Setelah kami datang, kami pun dibujuk untuk membantu Jenderal Chou yang katanya berjuang menentang para pembesar yang korup dan sewenang-wenang. Aku akan mempertimbangkan dulu, dan Lai Cu Yin itu langsung menerimanya, kemudian aku baru mengetahui bahwa ia bukan wanita baik-baik. Aku curigai ia sebagai gadis pembunuh para pemuda secara keji dan yang disangka siluman srigala oleh para penduduk dusun. Ketika aku bertemu Hui Lan di gedung itu dan mendengar keterangannya, aku lalu pamit dan pergi dari sana. Kemudian, di dalam hutan aku melihat Hui Lan menggantung diri, maka cepat aku menggagalkan bunuh diri itu dan menasehatinya. Akhirnya kami melakukan perjalanan bersama dan tiba-tiba muncul Chou Kian Ki dan Lai Cu Yin yang hendak menangkap Hui Lan dan membunuhku."
Han Lin mengerutkan alisnya dan memandang kepada gadis itu dengan pandang menyelidik.
"Hui Lan, sulit dipercaya bahwa seorang gadis gagah perkasa seperti engkau hendak bunuh diri Benarkah itu dan kalau benar mengapa?"
Dengan muka tunduk lesu Hui Lan menjawab.
"Aku bingung, malu dan khawatir, Han Lin. Aku malu karena telah menjadi tunangan jahanam itu dan menjadi calon mantu seorang pemberontak yang jahat karena hendak membunuh orang-orang yang setia dan tidak berdosa. Aku khawatir karena kalau orang tuaku mendengar bahwa aku melarikan diri dari rumah Jenderal Chou, mereka pasti akan merasa kecewa dan berduka. Maka aku menjadi bingung sekali sehingga aku mengambil keputusan pendek untuk menghabisi saja hidupku."
Han Lin menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang. Di dalam hatinya dia tidak dapat percaya begitu saja pengakuan gadis itu. Biarpun baru mengenal sepintas, dia tahu bahwa Hui Lan memiliki watak yang gagah berani. Tak mungkin kalau hanya karena begitu saja ia hendak bunuh diri! Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mendesak.
"Dan sekarang, engkau hendak kemana, Hui Lan? Apakah ingin kembali ke rumah orang tuamu?"
"Tidak, Han Lin. Aku tahu, mereka itu pasti mengabarkan hal-hal bohong mengenai diriku. Orang tuaku tentu akan marah sekali karena aku memutuskan tali perrjodohan yang dibuat orang tuaku dan Jenderal Chou. Orang tuaku tentu akan berduka sekali, maka aku tidak berani pulang karena tidak berani menghadapi orang tuaku yang berduka karena aku."
"Lalu ke mana engkau hendak pergi, kalau aku boleh tahu?"
Tiba-tiba Hui Lan teringat akan sesuatu, ia ingin rnemperdalam ilmu silatnya agar kelak dapat membalas dendamnya, dapat membunuh Chou Kian Ki yang telah menodai dirinya. Dan ia ingin mencari guru. Pemuda di depannya ini tadi mampu menandingi Chou Kian Ki! Tiba-tiba gadis itu berlutut di depan Han Lin sehingga Han Lin menjadi heran dan bingung. Dia cepat menyentuh kedua pundak Hui Lan.
"Eeiit, apa-apaan ini, Hui Lan? Apa yang kau lakukan ini?"
"Han Lin, aku mohon kepadamu, sukalah engkau menerima aku sebagai murid. Aku hendak pergi mencari guru untuk memperdalam ilmuku, dan melihat betapa engkau tadi mampu menandingi Chou Kian Ki, maka aku ingin berguru kepadamu. Tolonglah aku, Han Lin, terima aku menjadi muridmu!"
"Bangkitlah dulu, Hui Lan dan kita bicarakan hal ini dengan sebaiknya. Mungkin aku akan dapat membantu dengan cara lain."
Tiba-tiba Hui Lan merasa betapa kedua telapak tangan pemuda itu yang menyentuh pundaknnya seolah memiliki daya yang amat kuat menariknya bangkit. Ia mencoba untuk mempertahankan dengan mengerahkan sinkang, namun tetap saja tubuhnya perlahan-lahan bangkit berdiri tanpa dapat ia pertahankan lagi.
"Nah, sekarang katakanlah, mengapa engkau ingin memperdalam ilmu silatmu? Kulihat engkau sebagai seorang gadis sudah memiliki ilmu bela diri yang cukup tangguh."
"Aku ingin... menentang Keluarga Chou yang jahat, terutama Chou Kian Ki yang berhasil mengikat tali perjodohan denganku hanya untuk menarik aku menjadi sekutu pemberontakan ayahnya! Karena aku tahu bahwa Kian Ki lihai sekali, maka aku ingin belajar ilmu silat tinggi darimu, Han Lin!"
"Hemmm, itukah tujuan perjalananmu bersama Liu Cin tadi?"
"Aku hanya kasihan kepadanya dan ingin menemani dan membantunya mencari guru yang pandai. Akan tetapi melihat kelihaianmu, aku dapat mengerti mengapa ia hendak berguru padamu."
Diam-diam Han Lin dapat menjenguk isi hati pemuda yang dari gerakan silatnya tadi dia dapat menduga bahwa Liu Cin tentu murid Siauwlimpai. Pemuda lugu sederhana itu mencinta Hui Lan, pikirnya. Karena cinta itulah maka baru saja berkenalan, Liu Cin sudah berbuat banyak membela gadis itu!
"Hui Lan, bukan aku tidak mau membantumu, akan tetapi tidak mungkin menjadi gurumu. Aku sendiri sedang lakukan perjalanan merantau memenuhi perintah guruku."
"Kalau begitu, bawa aku menghadap gurumu, Han Lin. Aku akan sujud didepan kakinya dan mohon agar gurumu sudi menerimaku sebagai murid."
Han Lin menggelengkan kepalannya "Hal itu tidak mungkin, Hui Lan. Suhu tidak akan mau menerima murid siapa juga. Hal ini aku tahu dengan pasti. Akan sia-sia belaka kalau engkau menghadap guruku mohon menjadi muridnya bahkan Suhu melarang aku menceritakan siapa beliau. Akan tetapi, aku teringat akan cerita guruku. Beliau mempunyai seorang sahabat yang sakti, pewaris ilmu silat sakti yang berinti kekuatan Im dan Yang. Nah, kalau engkau dan Liu Cin pergi mencarinya, siapa tahu, kalau Thian mengijinkan, kalian akan diterima menjadi muridnya."
"Siapakah dia, Han Lin? Katakan, siapa dia dan di mana tempat tinggalnya "
Kata Hui Lan dengan penuh semangat.
"Suhu hanya mengatakan bahwa namakan orang sakti itu adalah Thian Te Jiankouw (Nona Dewi Langit Bumi) dan sejak puluhan tahun bertapa di Puncak bukit Tengkorak yang berada di tepi Sungai Luan. Bukit Tengkorak itu berada di sebelah utara, di luar Tembok Besar, Tidak sangat jauh dari kota raja dan dekat Tembok Besar, sebelah selatan kota Yehol (Cengkeh). Nah, carilah ke sana. Perjalanannya tentu saja amat sukar, melewati Tembok Besar dan aku juga tidak berani memastikan bahwa ia masih hidup atau masih tinggal di sana."
"Baiklah, terima kasih, Han Lin. Aku akan mencarinya ke sana."
"Aku akan menemanimu sampai engkau menemukan guru sakti itu, Hui Lan."
Kata Liu Cin.
"Aih, Liu Cin, aku menjadi tidak enak. Tidak perlu engkau bersusah payah dan mengorbankan waktumu yang berharga untuk aku."
"Sama sekali tidak susah payah atau mengorbankan waktu, Hui Lan. Engkau tahu bahwa aku juga seorang perantau dan aku senang bertualang ke tempat yang belum pernah kukunjungi. Apalagi bertemu dengan seorang sakti!"
"Hui Lan, niat baik seorang sahabat jangan ditolak. Aku tahu bahwa Liu Cin berkata dan bertindak jujur menurutkan kata hatinya. Nah, sekarang aku harus pergi!"
Han Lin mengeluarkan suara melengking dan dari atas terdengar jawaban lengkingan, lalu tampaklah rajawali itu melayang turun. Sebelum rajawali itu hinggap di atas tanah, tubuh Han Lin Ludah melompat ke punggungnya dan burung itu pun terbang pergi dengan kepakan sayapnya yang besar dan kuat sehingga sebentar saja burung itu telah melayang tinggi dan hanya tampak sebagai sebuah titik hitam yang semakin jauh dan akhirnya tidak tampak lagi. Hui Lan dan Liu Cin memandang dengan kagum.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, kini tidak jadi ke selatan, melainkan ke barat karena mereka tidak ingin melalui kota raja yang mengandung bahaya bagi mereka. Mereka mengambil jalan memutar untuk kemudian ke utara melintasi Tembok Besar. Dalam perjalanan ini Hui Lan bercerita kepada Liu Cin akan pertemuannya yang pertama dengan Han Lin sehingga pemuda murid Siau-limpai itu menjadi semakin kagum pada Si Pendekar Rajawali Sakti.
Gadis berpakaian serba hitam itu memang cantik jelita dan manis sekali. Usianya masih muda, sekitar delapan belas tahun lebih sedikit. Rambutnya panjang di kuncir tebal bergantungan di belakang sampai ke pinggul, sebagian yang berada di atas berjuntai dan membentuk lingkaran anak rambut halus di dahi dan pelipisnya! wajahnya berbentuk bulat telur, dagunya meruncing, sepasapg matanya jeli dan bersinar-sinar penuh gairah hidup seperti sepasang bintang, mulutnya yang manis dengan bibir berbentuk indah kemerahan itu selalu tersungging senyum setengah mengejek nakal. Tubuhnya sintal, pinggang kecil akan tetapi padat dengan lekuk lengkung yang memiliki daya tarik amat kuat, terutama terhadap kaum pria. Pakaiannya dari sutera hitam, bentuknya sederhana, la Memakai sabuk merah. Sepatunya juga hitam. Karena pakaiannya serba hitam maka kulit tubuhnya yang tampak, yaitu muka, leher dan sebagian lengannya kelihatan putih mulus kemerahan.
Gadis ini adalah Song Kui Lin yang pernah bertemu dengan Si Han Lin ketika ia ikut berlagak di Puncak Pegunungan Thaisan di mana menjadi arena perebutan kejuaraan silat untuk memperebutkan julukan Jago Nomor Satu Di Dunia! Dari sepak terjangnya ketika ia membikin ribut di Puncak Thaisan karena menentang tindakan sewenang-wenang dari murid Tung Hai-tok yang bernama Boan Su Kok, dapat diketahui bahwa Song Kui Lin adalah seorang gadis yang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, pemberani, nakal, lincah jenaka, dan agak liar walaupun ia memiliki watak gagah perkasa penentang kejahatan.
Song Kui Lin adalah anak yang pilih oleh Louw Keng Tojin untuk menjadi muridnya. Seperti kita ketahui, Loi Keng Tojin adalah tosu (Pendeta yang berdebat dengan Thong Leng Lojin pendeta Buddha Lama dan Tiong Gi Cinjin pendeta Agama Khong-cu, tentang agama. Perdebatan itu berakhir ketika muncul Thai Kek Siansu yang melerai dan menjelaskan bahwa tugas semua agama itu sama, yaitu menjadikan manusia insan-insan yang baik dan penuh kasih terhadap sesamanya. Kemudian, mereka saling berpisah dan berjanji bahwa mereka masing-masing akan mencontoh Thai Kek Siansu, mengambil seorang murid Louw Keng Tojin bertemu dengan Son Kui Lin yang ketika itu berusia tujuh tahun. Akan tetapi dalam usia tujuh tahun Song Kui Lin sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat yang baik karena sejak kecil sekali ia dilatih ayahnya sendiri.
Ayahnya adalah seorang pendeka silat yang terkenal bernama Song Kak yang tewas setelah menderita luka dalam pertempuran melawan segerombolan perampok yang mengganas di dusun tetangga. Dia terluka namun berhasil mengusir para perampok dan membunuh bayak anak buah perampok dan beberapa orang pemimpin mereka. Luka ini membawanya kepada maut, meninggalkan isterinya yang baru berusia dua puluh enam tahun dan anak tunggalnya, Song Uh Lin yang berusia enam tahun. Ketika ouw Keng Tojin bertemu dengan Kui Li pada saat dia hendak mengunjungi Song Kak yang menjadi sahabatnya, Song Cak telah tewas setahun yang lalu. Melihat gadis cilik ini, Louw Keng Tojin memilihnya sebagai murid dan Nyonya Song juga menyetujuinya. Demikianlah, Kui Li dilatih oleh gurunya di rumah ibunya yang menjanda, selama sepuluh tahun lebih, la berusia sekitar delapan belas tahun kurang ketika Louw Keng Tojin meninggalkan rumah Janda Song.
Gurunya berpesan kepadanya agar ia meluaskan pengalaman dengan terjun ke dunia kangouw dan menganjurkan muridnya itu untuk menonton pertandingan silat memperebutkan juara dengan sebutan Jago Nomor Satu. Seperti kita ketahui, di Puncak Thai-san itu Kui Lin menentang Boan Su Kok yang sombong dan ia bertemu dengan Han Lin, akan tetapi ia meninggalkan pemuda itu dengan marah karena ia buat jatuh ketika memaksa burung rajawali untuk menerbangkannya.
Pada pagi hari itu, Song Kui Lin melakukan perjalanan menuju pulang ke kota Cin-an di mana ibunya tinggal. Ibunya, Nyonya Janda Song, telah mempelajari soal pengobatan dari mendiang suaminya dan sekarang membuka sebuah toko obat yang penghasilannya lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan hidup mereka berdua dan dua orang pembantu seorang laki-laki dan seorang perempuan keduanya sudah berusia lima puluh tahu lebih. Setelah turun dari Pegunungan Thai-san, Kui Lin merantau dan melakukai perjalanan seenaknya. Sudah beberapa kali ia menentang kejahatan, membela yang benar dengan cara yang adil dan keras, sesuai dengan wataknya yang galak. Karena tindakannya sebagai seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan jarang memperkenalkan namanya, maka orang-orang menyebutnya Hek I Li-lap (Pendekar Wanita Baju Hitam).
Song Kui Lin adalah seorang gadis periang. Biarpun pada saat itu ia berjaan seorang diri di jalan umum yang diapit banyak pepohonan karena jalan itu memang memasuki hutan, ia tidak merasa kesepian. Dengan gembira ia mendengarkan burung-burung berkicau, melihat kupu-kupu beterbangan dan sinar matahari pagi yang hangat menembus celah-celah pohon, menimbulkan garis-garis cahaya yang tampak terang di antara halimun yang masih mengepul dari tanah ke atas. Seperti biasa, kalau hatinya sedang riang, gadis manis itu bersenandung ria. Suaranya memang cukup merdu dan mendengarkan lika-liku suaranya ketika bertembang, dapat diketahui bahwa Song Kui Lin memang memiliki bakat baik dalam seni suara.
Tiba-tiba suara nyanyiannya terhenti, la siap siaga karena pendengarannya yang tajam menangkap suara-suara yang tidak wajar Kui Lin berhenti melangkah, pendengarannya yang tajam terlatih menangkap suara gerakan-gerakan yang tidak wajar. Tak lama kemudian bermunculan banyak orang yang berloncatan keluar dari balik pohon dan semak-semak. Mereka berjumlah sekitar dua puluh lima orang, terdiri dari laki-laki yang rata-rata bertubuh kekar dan berwajah bengis menyeramkan, pakaian mereka kasar dan sembarangan. Dari wajah, sikap dan penampilan mereka saja Kui Lin dapat menduga bahwa ia berhadapan denga segerombolan orang yang biasa melakukan kejahatan.
Gerombolan itu dipimpin oleh tiga orang kepala perampok yang sudah kita kenal, ialah Tiat-pi Sam-wan (Tiga Lutung Tangan Besi) kakak beradik seperguruan yang sudah belasan tahu menjadi kepala perampok. Seperti kita telah ketahui, Tiat-pi Sam-wan inilah yang dahulu membunuh Si Tiong An dan Isterinya, yaitu ayah ibu Si Han Lin. Orang pertama dari Tiat-pi Sam-wan adalah Yong Ti yang bertubuh tinggi besar muka hitam, berusia sekitar lima puluh tahun dan dia memegang sebatang tombak baja.
Orang ke dua adalah Oh Kun, berusia empat puluh tujuh tahun, tubuh tinggi tegap dan mukanya penuh brewok dan dia memegang senjata siang-to (sepasang golok). Adapun orang ke tiga bernama Joa Gu, berusia empat tiluh lima tahun, tubuhnya gendut pendek dan mukanya kekanak-kanakan. Kedua tangannya memegang sepasang kapak. Tiga orang kakak beradik seperguruan ini sejak belasan tahun malang melintang bersama puluhan anak buahnya. Pekerjaan mereka hanya merampok, nenyiksa sampai membunuh orang yang berani melawan, memperkosa wanita, dan menghamburkan uang hasil rampokan sampai habis lalu merampok lagi!
Kini, anak buah mereka tinggal sekitar dua puluh orang yang rata-rata pemberani dan pandai berkeiahi, kejam dan ganas. Mereka tidak mengira akan melihat seorang gadis sendirian berani melakukan perjalanan dalam hutan itu. Semula mereka tentu saja hanya ingin merampok, akan tetapi begitu melihat bahwa orang yang mereka hadang seorang gadis yang demikian muda remaja, cantik mungil menggairahkan, tentu saja tiga orang kepala perampok merasa girang bukan main. Bukan hanya barang yang hendak mereka rampok melainkan semuanya, berikut orangnya!
Dua puluh lima orang anak buah rampok yang sudah mengepung Kui Lin menyeringai dan tertawa-tawa.
"Hah-ha-ha! Kionghi (Selamat), Samwi Twa-ko (Kakak Bertiga)!"
Sekali ini Twako menemukan seorang calon isteri yang hebat sekali!"
Demikian komentar mereka, memberi selamat kepada tiga orang pemimpin mereka.
"Bagus, tangkap gadis ini. Akan tetapi awas, jangan lukai calon isteri kami kalau sampai ada yang melukai, tentu akan kami hukum!"
Kata Yong Ti, kepala rampok tertua.
Tiga orang kakak beradik seperguruan yang berjuluk Tiga Lutung Tangan Besi ini memang rukun sekali. Mereka tidak pernah menikah dan kalau mendapatkan seorang wanita yang mereka suka, mereka lalu menjadikannya isteri tentu lebih tepat kekasih mereka bertiga tanpa ada rasa cemburu. Mereka saling membela dan saling setia. Dikepung demikian banyaknya laki-laki berwajah bengis kejam, Kui Lin sama sekali tidak merasa takut. Ia berdiri tegak menghadapi tiga orang kepala rampok itu dan membentak.
"Kalian ini orang-orang liar dari mana dan beranimati menghadang perjalananku?"
Joa Gu yang gendut pendek berwajah kekanak-kanakan itu memang yang paling pandai bicara di antara mereka bertiga. Sebagai saudara termuda dia sering menjadi juru bicara dan biarpun mukanya seperti kanak-kanak, namun wataknya yang periang itu hanya merupakan kedok menyembunyikan hatinya yang paling kejam dan sadis di antara mereka.
"Ha-ha-ha, Nona manis! engkau hari ni sungguh beruntung sekali bertemu dengan kami. Ketahuilah, kami adalah Tiat-pi Sam-wan yang sudah terkenal sebagai jagoan-jagoan gagah berani tak terkalahkan selama puluhan tahun!"
"Aku tidak peduli kalian ini Tiga Lutung, Tiga Anjing, atau Tiga Babi yang busuk. Hayo minggir dan jangan ganggu aku kalau kalian masih ingin hidup!"
Kui Lin sudah meloloskan sabuknya dan ternyata yang dipakai sebagai ikat pinggang itu adalah sebatang pedang yang amat tipis dan berkilauan tertimpa cahaya matahari.
Tiga orang kepala perampok itu terbelalak dan mata mereka mencorong marah. Kalau yang memaki mereka seperti itu seorang laki-laki atau seorang wanita yang tidak cantik, pasti mereka sudah langsung menerjang dan membunuhnya! Akan tetapi karena mereka sudah tergila-gila oleh kecantikan Kui Lin yang ketika bicara tampak bibirnya seolah-olah hidup, mereka hanya tersenyum masam.
"Suheng (Kakak seperguruan), kuda betina yang liar ini akan mengasyikkan sekali kalau dijinakkan, ha-ha-ha!"
Kata Joa Gu.
"Hayaaattttt!!"
Kui Lin berteriak melengking dan begitu ia bergerak, pedangnya berubah sinar kilat meluncur ke arah perut gendut Joa Gu. Orang ini terkejut setengah mati. Maklum betapa hebatnya serangan itu dan agaknya dia tak sempat lagi untuk menangkis, dia melempar tubuhnya ke belakang, terjengkang dan bergulingan menjauh. Kui Lin mengejar dan menusukkan pedangnya ke arah dada Joa Gu.
"Cringgg.....!"
Bunga api berpijar keetika pedangnya ditangkis sepasang golok yang dipegang Oh Kun. Orang ke dua ini sudah cepat maju melindungi sutenya yang terancam maut. Kini Kui Lin dikeroyok bertiga, akan tetapi ia mengamuk dan melawan dengan gigih dan mati-matian.
Sebetulnya, biarpun tingkat ilmu silat Kui Lin masih lebih tinggi dibandingkan masing-masing lawannya, akan tetapi karena mereka maju bertiga mengeroyoknya, tentu saja Kui Lin lebih banyak bertahan melindungi dirinya daripada menyerang. Akan tetapi karena ketiga Tiat-pi Sam-wan itu tidak berniat melukainya hanya ingin menangkapnya dalam keadaan utuh, maka tentu saja tidak mudah bagi mereka untuk menangkap Kui Lin. Gadis itu bagaikan seekor harimau betina marah, tidak mudah ditangkap tanpa membahayakan diri. Tiga orang kepala perampok itu juga hanya menggunakan senjata mereka untuk menangkis sambaran pedang Kui Lin yang lihai dan mereka mencoba untuk menangkap atau merobohkan gadis itu tanpa melukainya.
Karena penasaran dan kecewa setelah sebegitu lamanya tidak mampu menangkap gadis itu, Joa Gu meneriaki anak buah mereka untuk maju mengeroyok. Akan tetapi anak buah perampok yang maju itu mencari penyakit. Mereka hanya mengandalkan keberanian yang nekat tanpa perhitungan, mengandalkan tenaga tanpa menggunakan akal. Baru segebrakan saja, empat orang anak buah perampok telah roboh terluka, terkena sambaran sinar pedang Kui Lin!
"Pergunakan tali dan jala!"
Yong Ti berteriak, memerintah anak buahnya, seperti baru teringat. Para perampok itu selain pekerjaannya merampok, terkadang kalau kehabisan bahan makan mereka juga suka memburu dan menangkap binatang hutan. Maka mereka pandai menggunakan tali dan jala untuk menangi binatang buas. Tak lama kemudian, Kui Lin menjadi kerepotan menghadapi serangan tali-tali dan jala yang dilemparkan kepadanya.
Ia mengamuk, berloncatan ke sana sini sambil membabat dengan pedangnya. Akan tetapi karena dara itu terkepung ketat! akhirnya ia tertutup sehelai jala dan sebelum ia dapat membabat putus jala itu, jala-jala lain sudah menyelimutinnya dan tali-tali telah dilibatkan ke tubuhnya sehingga ia tidak mampu berkutik dan hanya memaki-maki.
"Kalian jahanam-jahanam, keparat busuk, pengecut hina dina, beraninya mengeroyok seorang perempuan! Hayo bebaskan aku dan kita bertanding sampai selaksa jurus!"
Ia meronta-ronta dan menjerit-jerit dengan makiannya, namun percuma.
Tubuhnya sudah terbelit-beli tali dan jala sehingga ia tidak mampu berkutik. Joa Gu lalu merampas pedangnya dari balik jala. Maki makian Kui Lin tidak dapat terdengar karena tertutup sorak sorai para anak buah perampok yang bergembira ria karena gadis liar itu dapat tertangkap. Mereka merasa seperti kalau mereka berhasil menangkap seekor binatang liar yang berbahaya dan sukar ditundukkan. Oh Kun yang mukanya penuh brewok memelintir kumisnya.
"Ambil kereta dorong, kita bawa calon isteri kita ini ke sarang kita!"
Anak buah perampok membawa sebuah kereta dorong. Beramai-ramai mereka mengangkat tawanan dalam selimutan jala itu dan menaikkannya ke atas kereta dorong. Lalu dengan gembira mereka mendorong kereta menuju ke dalam hutan yang lebih dalam di mana terdapat sarang mereka berupa pondok-pondok darurat karena kawanan penjahat ini sering berpindah-pindah tempat.
Agaknya jeritan-jeritan Kui Lin yang memaki-maki dan sorak sorai anak buah perampok yang riuh rendah itu menarik perhatian rajawali yang sedang terbang di atas hutan itu. Burung raksasa menukik ke bawah dan setelah melihat betapa sekawanan laki-laki kasar mendorong sebuah kereta di mana terdapat seorang gadis yang tertawan dalam jala. Han Lin yang duduk di atas punggung rajawali lalu membisikkan kata-kata, memerintah kepada burung rajawali. Rajawali itu melayang turun dan Han Lin melompat ke atas sebatang pohon besar. Setelah memberi kesempatan Han Lin mendarat di pohon, burung rajawali itu sesuai dengan perintah Han Lin, menukik ke bawah dan menyambar-nyambar dahsyat, menyerang para rampok itu dengan ganasnya! Mereka yang terkena patukan, cakaran dan kibasan sepasang sayapnya yang kuat, jatuh berpelantingan dan keadaan menjadi kacau balau. Akan tetapi Tiat-pi Sam-wan lalu memimpin anak buahnya untuk melawan dan mengeroyok burung rajawali yang mengamuk itu. Karena mereka sama sekali tidak menghubungkan pengamukan rajawali itu dengan penangkapan atas diri Kui Lin, maka perhatian mereka hanya ditujukan kepada burung yang menyambar-nyambar itu.
Sementara itu, tanpa ada yang melihatnya, Han Lin sudah melompat turun dari atas pohon, menghampiri kereta dorong dan dia membebaskan Kui Lin dari selimutan dan libatan jala-jala dan tali temali itu. Sejak rajawali itu mengamuk, Kui Lin yang dapat melihat dari celah-celah tali jala, melihat rajawali dan segera mengenalnya. Maka ketika Han Lin melepaskannya, ia segera mengenal pemuda itu. Begitu terbebas, ia tersenyum.
"Kau lagi yang menolongku!"
Katanya, akan tetapi tanpa bilang terima kasih ia lalu melompat dan sambil melepas sabuk merah yang mengikat pinggangnya ia langsung saja menyerang Joa Gu yang tadi merampas pedangnya dan kini menggantungkan pedang tipis itu di pinggangnya. Melihat sinar panjang merah menyambar, Joa Gu cepat menggerakkan sepasang kapaknya untuk menangkis dan balas menyerang. Segera terjadi perkelahian antara Si Gendut Pendek itu dan Kui Lin. Biarpun gadis itu hanya senjatakan sehelai sabuk sutera, namun karena tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada Joa Gu, gadis itu mendesaknya dengan hebat.
Melihat ini, Yong Ti dan Oh Kun yang sedang sibuk membantu anak buah mereka mengeroyok burung rajawali, cepat menghampiri untuk membantu sute mereka. Akan tetapi, segulung sinar putih menghadang dan ternyata Han Lin sudah berada di situ menghadang mereka yang hendak membantu Joa Gu. Melihat seorang pemuda berpakaian putih sederhana, memegang sebatang pedang putih, dua orang itu menjadi marah dan mereka lalu menerjang dan mengeroyoknya.
"Wirrrrr!"
Sabuk sutera merah di tangan Kui Lin meluncur dan menotok ke arah mata Joa Gu. Karena datangnya ujung sabuk merah itu cepat sekali, Joa Gu terkejut juga dan cepat dia menggerakkan kapak kirinya untuk menangkis.
"Prattt!"
Ujung sabuk itu melibat gagang kapak dan sekali renggut, gagang kapak itu terlepas dari tangan Doa Gu! Kui Lin menangkap kapak itu dengan tangan kirinya dan kini ujung sabuk merahnya kembali meluncur dan menyerang ke tenggorokan lawan. Joa Gu yang terkejut melihat kapak kirinya terampas, mengelak. Akan tetapi Kui Lin sudah menggunakan kesempatan itu untuk menyambitkan kapak rampasannya ke arah lawan sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wuttt... cappp...!!"
Kapak itu menancap di perut Joa Gu yang gendut dan orang ketiga dari Tiat-pi Sam-wan itu roboh tewas! Kui Lin melompat dan cep mengambil pedangnya dari pinggang mayat Joa Gu. Kemudian ia mengamuk, menerjang para anggauta perampok yang sedang sibuk mengeroyok rajawali.
Ketika Yong Ti dan Oh Kun melihat sute mereka roboh dan tewas, mereka marah sekali. Akan tetapi mereka bukan orang orang bodoh. Mereka tahu benar betapa lihainya gadis yang tadi mereka tawan, kemudian muncul burung rajawali yang ganas dan pemuda berpakaian putih yang amat lihai, yang sama sekali tidak terdesak oleh pengeroyokan mereka. Maka, melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, sute mereka mati dan di antara para anak buahnya, banyak yang sudah roboh, mereka berdua lalu melompat dan melarikan diri. Anak buah mereka juga ikut melarikan diri tunggang langgang meninggalkan kawan-kawan yang terluka dan tewas.
Kui Lin yang masih merasa marah dan penasaran, hendak mengejar, akan tetapi Han Lin cepat memegang lengan kirinya menahan.
"Musuh yang sudah melarikan diri, tidak baik untuk dikejar. Engkau dapat terjebak mereka."
Kui Lin berhenti dan membalikkan tubuhnya, berdiri berhadapan dengan Si Han Lin. Sejenak mereka hanya saling pandang, dan gadis itu memandang dengan sinar mata penuh keheranan dan juga kekaguman. Memang sejak pertama kali bertemu, ia merasa kagum melihat penampilan dan pemunculan Han Lin yang menunggang rajawali! Apalagi setelah ia menyaksikan sendiri betapa pemuda itu juga memiliki ilmu silat yang amat lihai. Kini Han Lin dapat melihat dengan jelas wajah Kui Lin yang selain cantik juga demikian cerah penuh senyum dengan pandang matanya yang bersinar sinar penuh semangat hidup. Dia menjadi kagum. Tadi, dia mendengar gadis iu meronta dan memaki-maki ketika menjadi tawanan seperti seekor binatang buas dalam libatan jala dan tali temali. Sama sekali tidak kelihatan takut, apalagi menangis seperti kebiasaan wanita kalau berada dalam bahaya. Seorang gadis yang masih muda namun dengan keberanian yang luar biasa!
"Hemmm, engkau yang sudah menolongku, kenapa sekarang malah menghalangi aku melakukan pengejaran untuk membasmi semua tikus busuk itu?"
Kata Kui Lin dengan suara mengandung teguran marah.
"Apa tiba-tiba engkau merasa kasihan dan membela mereka?"
"Bukan begitu, Adik manis " "Jangan mencoba merayuku!"
"Lho! Siapa yang merayu?"
"Itu, kau sebut aku adik manis, berarti memuji-muji aku, dan biasanya, laki-laki kalau memuji wanita tentu ada maunya! Kau kira aku kesenangan ya, kau puji manis segala!"
Han Lin tersenyum.
"Wah, engkau ini gadis galak yang mudah menyangka buruk. Aku sebut kau Adik karena memang engkau jauh lebih muda daripada aku, dan aku sebut engkau Manis karena mukamu memang manis? Apakah engkau lebih senang kusebut Bibi Jelek?"
Muka itu cemberut, alisnya berkerut.
"Coba kalau berani. Kutampar kau!"
Han Lin tertawa.
"Heh-heh, nah, lebih enak kalau kusebut Adik manis, bukan? Atau, agar kau tidak marah, kusebut Moi-moi (Adik) saja. Sekarang kujawab pertanyaanmu tadi, Moi-moi. Aku bukan merasa kasihan atau membela mereka, aku tahu mereka itu orang-orang sesat, akan tetapi aku mencegahmu mengejar mereka justeru karena aku khawatir kalau engkau terjebak dan celaka. pula, lebih baik memaafkan orang daripada mengandung dendam kebencian."
"Enak saja kau bicara! Memaafkan mereka? Huh, engkau yang tidak mengalami apa-apa tentu mudah memaafkan akan tetapi aku yang mereka keroyok lalu secara curang mereka tawan, aku mengalami penghinaan, bagaimana mungkin aku bisa memaafkan mereka? Kalau tidak kau cegah, aku tentu sudah membunuh mereka semua!"
"Adikku yang baik, penderitaanmu karena kejahatan mereka itu belum seberapa dibandingkan dengan apa yang kualami. Ketahuilah, sepuluh tahun yang lalu, tiga orang itu dengan para anak buah mereka, merampok di dusun tempat tinggal orang tuaku. Dan mereka bertiga itulah yang telah membunuh ayah dan ibuku."
Kui Lin terkejut sekali sampai ia melompat ke belakang seperti dipagut ular.
"Astaga! Ayah ibumu dibunuh orang dan engkau tidak ingin membalas dendam? Engkau ini manusia apakah? Padahal, kalau engkau mau, tentu tidak sukar bagimu untuk membalas dendam dani membunuh mereka! Engkau memiliki kepandaian yang amat tinggi dan mempunyai pula burung rajawali yang hebat, kenapa engkau begini lemah? Kenapa semangatmu begini melempem? Atau...apa engkau takut dan ngeri melihat pembunuhan, walaupun yanjg terbunuh itu orang jahat?"
Han Lin menghela napas panjang dan memandang ke arah mayat Joa Gu yang menggeletak telentang dan lima orang yang terluka parah oleh pedang Kui Lin hingga tidak mampu bangkit.
"Memang benar, aku merasa ngeri melihat pembunuhan antara manusia, membunuh terdorong nafsu dendam kebencian. Aku muak melihat manusia saling bermusuhan, saling membenci, saling membunuh, lebih buas daripada binatang yang liar dan buas!"
"Ih, manusia aneh! Bagaimana engkau mengatakan manusia lebih buas daripada matang? Binatang bukan hanya membunuh, akan tetapi juga makan daging yang dibunuhnya! Ih, mengerikan!"
"Adikku,, yang manis, apa kau kira manusia tidak makan daging yang dibunuhnya? Berapa banyaknya daging binatang setiap hari dimakan manusia setelah dibunuh? Ketahuilah, binatang liar membunuh karena mereka harus rnembunuh untuk bertahan hidup. Maka mereka memakan daging para korbannya. Akan tetapi manusia saling bunuh dengan sesama manusia karena kebencian karena permusuhan. Manusia membunuh binatang juga dimakan dagingnya, akan tetapi bukan karena kelaparan, melainkan untuk menikmati kelezatannya, Dan manusia menyadari akan kekejamannya namun tetap saja mereka melakukannya. Aku tidak mau diracuni dendam kebencian. Biarlah Tuhan yang menilai, karena semua berkat dan hukuman hanya menjadi hak Tuhan untuk melakukannya."
"Wah-wah, engkau ini seorang pendekar atau seorang pendeta, berkotbah disini. Melihat kepandaianmu yang tinggi engkau pasti telah mempelajari ilmu silat sejak kecil dan sudah bertahun-tahun."
"Memang, sedikitnya sepuluh tahun aku mempelajari ilmu dengan tekun dan dengan sungguh-sungguh."
"Nah, kalau pendirianmu seperti sekarang ini, lalu apa artinya engkau belajar silat sampai mencapai tingkat tinggi?"
"Aduh, agaknya engkau telah keliru besar menilai artinya orang belajar silat, Adik aih, tidak enak rasanya kita sudah berbincang-bincang begini panjang dan jauh, akan tetapi belum saling mengenal nama sehingga sulit menyebut, lari kita berkenalan dulu. Namaku Si Han Lin, yatim piatu, sebatang kara, sejak kecil ikut guru di Puncak Bukit Cemara, Pegunungan Cin-lin-san, umurku dua puluh satu tahun!"
Han Lin memperkenalkan diri dengan kocak, menyebutkan umur segala.
"Sebatang kara? Tidak mempunyai sanak saudara sama sekali?"
Tanya Kui Lin.
"Wah, kalau sanak saudara sih, banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya!"
Kata Han Lin.
"Eh? Masa ada orang mempunyai saudara vang tak terhitung jumlahnya saking banyaknya?"
"Benar, engkau ini termasuk salah satu di antara_saudara-saudaraku. Semua orang di dunia ini adalah saudaraku."
Kui Lin cemberut.
"Ngawur! kalau begitu, semua penjahat, bahkan Tiat pi San-wan dan anak buahnya tadi, mereka se mua itu juga saudaramu?"
"Ya.. karena rmereka juga sama dengan aku, dilahirkan di dunia ini, mereka mereka adalah saudara-saudara senasib penderitaan dilempar ke dalam dunia. Bersama dengan aku. Sudahlah, Adik yang baik, aku sudah memperkenalkan diri sekarang aku ingin mendengar siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu."
"Namaku Song Kui Lin, ayahku sudah meninggal dunia dan ibuku berdagang obat, tinggal di Cin-an. Han Lin, engkau ini manusia aneh. Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang manusia aneh seperti engkau ini!"
"Aku aneh? Lho, apa anehnya? Apakah aku mempunyai buntut? Aku sama dengan semua pria lainnya, Kui Lin. Kenapa engkau mengatakan aku aneh?"
Hati Lin tersenyum. Kui Lin cemberut.
"Engkau memiliki ilmu silat yang tinggi, dan engkau sudah dua kali menolongku, berarti engkau suka menentang kejahatan dan menolong orang seperti sikap seorang pendekar. Akan tetapi, sungguh membuat orang mati penasaran....."
"Eitt! Jangan mati penasaran, Kui Lin! Sayang ah, engkau masih begini muda....."
"Aku tidak akan mati, engkau yang lebih dulu mati"
Bentak Kui Lin.
"Maksudku, engkau seorang pendekar, akan tetapi engkau juga seorang yang put-hauw!"
Han Lin tertegun. Kata-kata put-hauw (tidak berbakti) adalah sebuah kata yang amat tidak disukai orang karena dalam kata itu bukan hanya sekadar berarti tidak berbakti, melainkan lebih daripada itu. Put-hauw dapat berarti anak yang durhaka, anak yang terkutuk! Semua orang di Cina merasa ngeri dan tidak ada yang mau menerima kalau disebut anak put-hauw'
Han Lin mengerutkan alisnya.
"Engkau selalu salah menilai, Kui Lin."
Katanya kini tanpa senyum.
"Tadi engkau salah menilai arti orang belajar silat, sekarang engkau keliru pula menilai aku anak put-hauw."
"Kalau aku keliru seperti yang katakan, hayo katakan di mana kelirunya"
Gadis itu menantang.
"Apa kau kira belajar silat itu hanya untuk menjadi tukang pukul, tukang berkelahi, untuk melukai atau membunuhi orang, untuk menang-menangan menjadi jagoan? Pendapat demikian itu salah sama sekali, bahkan mengotori arti dari ilmu silat itu sendiri. Di jaman dahulu, ilmu silat muncul dalam kehidupan manusia, bukan diadakan oleh orang orang yang kuat dan suka menindas yang lemah. Ilmu silat lahir justeru karena adanya penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah. Si lemah yang kalah kuat itulah yang kemudian mencari akal, bagaimana caranya bagi si lemah untuk melawan si kuat, bukan untuk menyerang mencari musuh, melainkan untuk membela dirinya dari tindasan si kuat yang sewenang-wenang. Ilmu silat mempunyai tiga unsur pokok. Pertama, yaitu tadi, untuk membela diri dari si kuat yang sewenang-wenang menindasnya, ke dua, ilmu silat adalah ilmu gerak tari yang memperlihatkan keindahan gerakan tubuh manusia, dan ke tiga yang lebih penting lagi, ilmu silat adalah gerak atau olah raga yang sejalan dengan olah jiwa, sehingga yang sehat kuat bukan hanya raganya, melainkan terutama sekali jiwanya. Raga yang kuat namun jiwa yang lemah akan membuat orangnya mempergunakan kekuatan raganya untuk memuaskan nafsu-nafsunya, bertindak sewenang-wenang yang menjurus kepada kejahatan. Oleh karena itu, setiap orang guru silat haruslah mengutamakan latihan untuk membangun akhlak dan menguatkan jiwa terlebih dulu sebelum menguatkan raganya. Itulah ilmu silat, Kui Lin."
"Wah, panjang lebar bertele-tele, Han Lin. Semua yang kau ucapkan itu sudah semestinya. Guruku adalah Louw Keng Tojin yang berjuluk Lam-liong (Naga Selatan), seorang tosu (pendeta To), tentu saja selain ilmu. silat juga mengajarkan tentang kebajikan, maka aku selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan! Akan tetapi engkau bukan saja bersikap lunak terhadap para penjahat, bahkan engkau tidak ingin membalas dendam terhadap para penjahat keji yang telah membunuh ayah ibumu! Apakah itu bukan put-hauw namanya?"
"Hauw (bakti) bukan sekadar membalas dendam. Kui Lin. Orang yang berbakti kepada orang tuanya, yang terpenting adalah menjadi orang yang berkelakuan baik dan bertindak benar, karena hal ini berarti akan mengharumkan nama orang tua, walaupun orangtua sudah tidak ada di dunia. Seorang anak yang berbudi baik akan mengangkat derajat dan nama orang tuanya karena orang-orang akan bertanya-tanya siapa orang tua anak yang baik budi itu. Sebaliknya anak yang berbudi jahat akan menyeret nama orang tuanya ke dalami lumpur. Memang kuakui, Tiat-pi Sam-wan itu amat jahat telah membunuh orang tuaku. Akan tetapi kalau aku diracuni dendam kebencian terhadap mereka lalu membalas, membunuh mereka dengan kejam, lalu apa bedanya antara aku dan mereka? Apakah nama orangtuaku yang sudah meninggal dunia akan terangkat kalau aku membunuh Tiat-pi Sam-wan karena dendam kebencian?"
"Uhhh, engkau memang manusia aneh! Lalu, apa yang akan kau lakukan terhadap orang-orang yang telah membunuh orang tuamu?"
"Aku menentang kejahatan tanpa melihat orangnya, tanpa melihat apakah mereka itu membunuh orang tuaku atau tidak. Kalau mereka yang membunuh orang tuaku itu ternyata bukan orang yang melakukan kejahatan, sudah pasti aku tidak akan menentangnya. Kalau mereka jahat, aku akan menentangnya, menentang kejahatannya."
"Hemmm, menentang mereka akan tetapi tidak mau membunuh, lalu apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?"
"Terhadap semua pelaku kejahatan, tanpa pilih bulu, aku pasti akan menentangnya, bukan dengan cara membunuh mereka, melainkan kalau mungkin aku akan menyadarkan mereka agar mereka kembali ke jalan benar. Kalau perlu, akan menggunakan kepandaian silat untuk menundukkan mereka agar mereka rasa jera dan bertaubat. Akan tetapi membunuh, tidak. Yang berhak membunuh atau menghidupkan hanya Tuhan."
"Engkau aneh. Mengapa sih engkau takut membunuh orang jahat?"
"Bukan takut, Kui Lin, akan tetapi aku tidak mau menjadikan perbuatan sebagai mata rantai Karma sehingga terus berputar dan bersambung tiada putusnya."
"Hemmm, maksudmu?"
"Begini, Kui Lin. Tiat-pi Sam-wan membunuh ayah ibuku, peristiwa itu sudah pasti ada hubungannya dengan karma orang tuaku. Kalau aku membunuh mereka, apakah kau kira urusannya akan habis sampai di situ saja? Setiap pohon ada buahnya, setiap perbuatan pasti ada akibat kelanjutannya. Sudah pasti di pihak Tiat-pi Sam-wan akan ada yang juga timbul dendam kebencian seperti aku dan akan berusaha membalas dendam dengan membunuhku. Lalu, dari pihakku ada pula yang mendendam dan berusaha membalas pembunuhku. Dendam mendendam, benci membenci, bunuh membunuh. Itulah rantai Karma yang tiada putusnya. Mata rantai yang menyambungnya adalah perbuatan kita. Nah, kalau aku tidak mendendam dan tidak melakukan balas dendam, berarti aku tidak menjadi mata lantai yang menyambung sehingga rantai karma yang bunuh membunuh itu pun terputus dan berakhir, terganti karma lain yang lebih baik. Mengertikah kau, Kui Lin?"
"Ah, rumit benar! Aku tidak mengerti. Pokoknya, aku akan bertindak sesuka hatiku, menentang para penjahat, kalau perlu membunuh mereka agar mereka tidak mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat dan membela mereka yang benar dan tertindas. Pendeknya, aku akan menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang. Kalau seorang pendekar tidak mau membunuh penjahat, dia itu seorang pengecut!"
Han Lin mengerutkan alisnya. Gadis ini sungguh liar dan ganas, pikirnya dan tidak ada gunanya berbantahan dengannya.
"Terserah kepadamu, Kui Lin. Akan tetapi sekali-kali kau ingat dan kenangkan kembali percakapan kita ini."
Han Lin berseru memanggil rajawalinya. Burung itu melayang turun dan Han Lin segera melompat ke punggungnya dan rajawali terbang membubung ke angkasa. Setelah Han Lin pergi, barulah Kui Lin merasa kehilangan. Ia tentu saja dapat mengerti maksud semua ucapan Han Lin tadi. Gurunya juga mengajarkan hal yang hampir sama. Akan tetapi kekerasan hatinya membuat ia enggan untuk mengaku salah. Setelah Han Lini pergi, baru ia merasa betapa hatinya merasa amat kagum kepada pemuda itu, hanya ia menyayangkan bahwa pemuda itu baginya terlalu lemah!
Kui Lin tidak mempedulikan lagi mayat Joa Gu dan lima orang anak buah perampok yang terluka. la lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Setelah hampir celaka di tangan para perampok dan ditolong Han Lin lalu percekcokannya dengan pemuda itu, Kui Lin ingin pulang. Ia lalu melakukan perjalanan cepat pula ke rumah ibunya di Cin-an. Nyonya Song Kak, janda yang membuka toko obat di Cin-an itu berusia sekitar empat puluh tahun, masih tampak cantik dan sehat. Toko obatnya cukup laris karena Nyonya Song memiliki keahlian memeriksa orang sakit dan memberi obatnya yang tepat. Ia mempelajari soal pengobatan ini dari mendiang suaminya.
Ketika Kui Lin muncul di pintu rumahnya, Nyonya Song berteriak girang, menyambut puteri yang menjadi anak tunggalnya itu dengan rangkulan dan ciuman. Segera ia menyuruh dua orang pembantunya menjaga toko dan ia menggandeng Kui Lin memasuki rumah. Di dalam rumah, ributlah Kui Lin menceritakan semua pengalamannya kepada ibunya yang terkadang menggelengkan kepalanya mendengar semua cerita anaknya. Terutama sekali ia merasa khawatir mendengar akan pengalaman Kui Lin yang baru saja terjadi ketika ia tertawan para perampok.
"Jangan khawatir, Ibu. Aku sudah hajar mereka, bahkan seorang diantara tiga pemimpin mereka telah berhasil kutewaskan. Mereka pasti jera dan tidak akan berani melakukan perampokan lagi"Kui Lin menghibur ibunya.
"O ya, sebulan yang lalu guru Louw Keng Tojin, datang berkunjung sini, Kui Lin."
"Ah, Suhu datang ke sini, Ibu? Ada keperluan apakah beliau berkunjung sini?"
"Tadinya dia datang untuk bertemu denganmu, Kui Lin. Setelah kuberitahu bahwa engkau belum pulang, dia lalu pergi lagi dan meninggalkan surat untukmu."
Nyonya Song lalu mengambil sepucuk surat dari almari dan menyerahkannya kepada puterinya.
Kui Lin segera membacanya. Dalam surat itu, Louw Keng Tojin menyuruh ia pergi ke kota raja untuk membantu gurunya dan para tokoh dunia kangouw dalam usaha mereka mencegah terjadinya perang saudara yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata. Kita akan bertemu kelak di sana, demikian Louw Keng Tojin menutup suratnya.
Ketika Nyonya Song membaca surat itu, ia berkata.
"Kui Lin, aku tidak dapat melarangmu memenuhi permintaan gurumu, karena kurasa mendiang ayahmu juga akan menyetujui. Aku tahu bagaimana tugas seorang pendekar. Akan tetapi engkau baru saja datang, maka jangan engkau buru-buru pergi lagi, anakku. Berdiamlah di rumah bersama ibumu, setelah reda rasa kangenku, baru engkau boleh pergi lagi."
Kui Lin tidak membantah dan demikianlah, ia tinggal di rumah bersama ibunya dan setiap hari membantu ibunya melayani pembeli obat di toko mereka. Beberapa hari kemudian. Malam itu sunyi sekali. Langit gelap oleh mendung tebal. Hawa udara dingin dan karena semua orang mengetahui bahwa ada ancaman hujan lebat yang setiap saat akan turun, maka mereka lebih suka berdiam di dalam rumah.
Sejak sore tadi toko obat Nyonyi Song sudah ditutup. Hal ini bukan hanya karena mendung mengancam akan menurunkan hujan lebat, melainkan karena sebuah peristiwa yang membuat Nyonyi Song ketakutan. Tadi, ketika Nyonya Song masih duduk di toko dibantu dua orang pelayannya dan Kui Lin sedang pergi ke belakang untuk mandi, tiba tiba mereka mendengar suara di pintu toko. Ketika mereka bertiga melihat ternyata suara itu ditimbulkan sebatang pisau yang menancap di pintu toko itu dan di gagang pisau terdapat sehelai kertas yang ada tulisannya. Ketika Nyonya Song membaca tulisan itu, wajahnya berubah pucat sekali dan cepat ia memerintahkan dua orang pelayannya untuk menutup toko. la sendiri lalu masuk dan menemui puterinya. Kui Lin yang telah selesai mandi dan bertukar pakaian, heran melihat ibunya tampak pucat dan gelisah.
"Ibu, ada apakah? Engkau kelihatan gelisah "
Nyonya Song tidak menjawab, melainkan menyerahkan surat dan pisau itu kepada puterinya. Kui Lin menerimanya dan menjadi semakin heran, akan tetapi dibacanya surat itu. Isinya hanya singkat aja.
"Malam ini, semua mahluk yang bernyawa di rumah ini akan matil"
Surat itu tidak ditandatangani.
"Dari mana datangnya surat itu, Ibu?"
Tanya Kui Lin dengan alis berkerut karena ia marah sekali.
"Tadi ada yang menyambitkan pisau ke pintu toko dan surat itu diikat pada gagang pisau. Aku suruh menyuruh Paman dan Bibi Kwa menutupkan semua pintu dan jendela."
Melihat ibunya tampak khawatir, Kui Lin menghibur.
"Ibu, jangan khawatir. Ini pasti ulah penjahat-penjahat licik yang pengecut. Hanya gertakan saja! Biar aku akan menjaga semalam suntuk kalau betul ada yang berani datang mengacau pasti akan kupengga! leher dengan pedangku!"
Biarpun sudah dibujuk dan dihibur puterinya, tetap saja Nyonya Song merasa khawatir sekali. Ia maklum bahwa dahulu, suaminya yang pendekar terkenal memiliki banyak musuh dari golongan sesat, bahkan suaminya tewas dikeroyok banyak tokoh sesat. Sekarang ditambah lagi dengan puterinya yang juga telah menanam banyak bibit permusuhan dengan golongan sesat. Ia sendiri, biarpun tidak selihai mendiang suaminya atau puterinya, bukan seorang wanita lemah. Ia sudah menerima latihan dari suaminya sehingga memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan untuk menjaga dan membela dirinya sendiri. Akan tetapi sekali ini ia merasa khawatir akan datangnya ancaman itu. Ia seolah dapat merasakan bahwa ancaman itu bukanlah hanya gertakan saja seperti yang dikatakan puterinya. Apalagi setelah Kui Lin bercerita tentang pengalamannya berkelahi dengan serombongan penjahat yang di pimpin Tiat-pi Sam-wan dan betapa seorang di antara tiga kepala perampok itu telah dibunuh oleh Kui Lin.
Sebagai isteri seorang pendekar, ia banyak mendengar tentang kekejaman para golongan sesat di dunia kangouw. Seperti telah disangka dan ditunggu banyak orang, malam itu mulai turun hujan. Hujan dan angin menderu-deru. Hujan turun seperti air ditumpahkan dari atas. Banyak rumah kebocoran dan penghuninya sibuk menampung air bocor atau mencoba untuk membetulkan genteng rumah mereka. Akan tetapi ternyata bahwa hujan deras itu tidak terjadi lama, seolah-olah semua air yang terkandung dalam awan gelap itu telah ditumpahkan semua ke seluruh kota Cin-an. Sesungguhnya tidak demikian.
Akan tetapi angin kuatlah yang membebaskan kota Cin-an dari kebanjiran. Angin itu bertiup keras dan mendorong awan, sebagian besar dari awan, menuju ke barat sehingga awan yang berada di atas Cin-an segera habis menjadi hujan dan daerah lain di sebelah barat yang kini guyur hujan lebat. Setelah hujan berhenti, suasana kota Cin-an menjadi semakin sunyi dingin. Hampir tidak ada orang keluar dari rumah pada malam yang dingin kali itu. Sebagian besar sudah pergi tidur karena dalam hawa udara sedingin itu memang paling nyaman adalah tidur di bawah selimut tebal dan hangat.
Akan tetapi di rumah Nyonya Song penghuninya tidak dapat tidur sejenakpun. Mereka semua dalam keadaan tegang dan khawatir, yaitu Nyonya Song kakek dan nenek pelayan, ada pun Kui Lin duduk di ruangan tengah dengan sikap tenang. Ia menyuruh dua orang pelayan itu tinggal di dalam kamar mereka dan tidak boleh keluar. Ibunyapun, dianjurkan untuk tinggal didalam kamar dan siap dengan pedangnya untuk menjaga diri. Berulang-ulang Kui Lin menenangkan hati mereka dengan mengatakan bahwa ia telah siap untuk menghajar siapa saja yang berani mengganggu.
Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo