Ceritasilat Novel Online

Si Rajawali Sakti 7


Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Wuuuttttt......... desssss.........!!"

   Kilatan putih itu menyambar lambat saja, akan tetapi ketika ditangkis lengan Kian Ki, pemuda itu merasa seolah dia menangkis benda keras yang kuat sekali sehingga tubuhnya terpental dan terbanting roboh sampai dua tombak! Akan tetapi dia merasa penasaran dan cepat dia sudah melompat berdiri dan kini dialah yang balas menyerang karena serangan dahsyat merupakan pertahanan yang baik pula. Kalau dia yang menyerang terus, maka tentu kakek itu tidak sempat menyerang dan dengan demikian dia dapat lolos dari lima jurus serangan!

   "Haiiiiittttt........!"

   Hebat sekali serangan Kian Ki. Dia menggunakan jurus terampuh dan mengerahkan seluruh tenaganya. Tubuhnya menerjang dengan lompatan ke atas dan meluncur ke arah kakek itu dengan kedua lengannya bergerak menyerang. Tangan kanan menghantam dari atas ke arah kepala lawan sedangkan tangan kiri menotok ke arah dada Dua serangan beruntun kedua tangannya ini meluncur cepat sekali dan dilakuka dengan tenaga dahsyat sehingga mendatangkan angin pukulan dahsyat.

   Hongsan Siansu terkejut. Dia tah bahwa serangan yang dilalukan Kian Ki itu merupakan serangan maut yang amat berbahaya. Bagaimanapun juga, dia tidak menghendaki cucu muridnya membunuh kakek aneh ini. Akan tetapi, untuk mencegahnya sudah tidak ada kesempatan lagi maka dia bersama dua orang rekannya memandang dengan hati tegang.

   "Plakkkk ............ tukkkkk............... desss...............!"

   Pukulan tangan kanan Kian Ki tepat mngenai kepala kakek itu, juga totokan jari tangan kirinya mengenai dada, akan tapi kakek itu seolah tidak merasakannya dan sebaliknya, tangan kirinya mengebut dan ujung kain itu membuat tubuh Kian Ki kembali terpental lebih jauh lagi.

   Tiga orang datuk itu terkejut bukan main. Kini mereka yakin bahwa kakek tua itu memang memiliki kesaktian tinggi.

   "Kian Ki, engkau telah kalah!"

   Seru Hogsan Siansu kepada cucu muridnya.

   Akan tetapi bagaimana mungkin Kian Ki yang memiliki watak tinggi hati itu mau menyerah? Dia merasa penasaran sekali dan cepat dia meloncat bangun, menggoyang kepala beberapa kali untuk mengusir kepeningannya. Dia tahu bahwa menyerang bahkan lebih berbahaya, maka dia cepat berseru.

   "Locianpwe, saya belum mengaku kalahl Baru dua jurus berjalan dan saya masih mampu bertahan. Silakan Locianpwe menyerang tiga jurus lagi, akan saya pertahankan!"

   Tantangnya.

   "Ho-ho, semangatmu memang boleh akan tetapi kebodohannya bertambah! Nah, ini seranganku ke tiga, sambutlah!"

   Setelah berkata demikian, Thian Beng Siansu bergerak maju. Sungguh hebat kedua kakinya sama sekali tidak tampak bergerak akan tetapi tubuhnya meluncur ke depan seolah-olah dia berdiri di atas roda yang didorong ke depan! Kini kedua tangan kakek itu yang bergerak ke depan, sama sekali tidak menggunakan ujung kain. Ada angin menyambar dahsyat dari kedua tangan itu.

   Kian Ki cepat mengerahkan seluruh tenaganya karena maklum bahwa sulit untuk menghindarkan serangan itu dengan mengelak. Dia menggunakan kedua tangannya menangkis sambil siap mencengkeram dan menangkap lengan kakek itu. Dipikirnya kalau dia dapat menangkap lengan kakek itu, tentu dia akan dapat membuat kakek itu tidak berdaya karena berapa sih kekuatan otot seorang tua renta seperti itu?

   Akan tetapi betapa kagetnya ketika kedua tangannya bertemu lengan yang lembek seperti ular dan licin pula sehingga tangkisan dan cengkeramannya meleset, lalu tiba-tiba saja dia tidak mampu bergerak karena sudah tertotok. Dia jatuh terduduk dan tidak mampu bergerak karena tubuhnya terasa lemas dan lumpuh!

   Thian Beng Siansu tertawa, kemudian menghampiri Kian Ki dan tangan kanannya lalu memukul ke arah dada pemuda itu. Dia setengah berjongkok dan tangan kanannya itu dengan jari-jari terbuka menempel pada dada Kian Ki. Wajah pemuda itu berubah merah sekali dan dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap!

   Melihat ini, tiga orang datuk itu terkejut.

   "Jangan bunuh murid kami!"

   Teriak Kang-lam Sin-kiam Kwan In Su sambil menjulurkan tangan hendak menangkap pundak kiri Thian Beng Siansu. Akan tetapi kakek tua renta itu cepat menggerakkan tangan kirinya dan menangkis tangan Kwan In Su. Pedang Sakti Kanglam ini terkejut karena merasa betapa tangannya menempel pada tangan kakek itu dan betapapun dia berusaha menarik tetap saja tidak dapat terlepas dan lebih kaget lagi dia ketika merasa betapa tenaga saktinya yang dia kerahkan meluncur keluar dari tangannya seperti sedot."

   Im Yang Tosu yang melihat betapa Kwan In Su tampak kaget, dapat menduga bahwa rekannya itu kalah tenaga maka dia pun cepat menempelkan tangannya pada punggung Kwan In Su untuk membantunya dengan tenaga saktinya. Akan tetapi dia pun terkejut sekal karena tenaga sakti yang dia salurkan lewat tangannya itu bagaikan besi menempei pada semberani, melekat dan dia merasa betapa tenaga saktinya tersedot keluar! Dia. mencoba untuk menarik tangannya atau menahan tenaganya, namun sia-sia sehingga dia terkejut sekali, mukanya berubah pucat.

   "Hongsan Siansu, bantu kami........!"

   Tanya sambil mencoba untuk menarik membanjirnya tenaga saktinya keluar seperti tersedot oleh kekuatan yang amat hebat.

   Hongsan Siansu menempelkan tangannya di punggung Kanglam Sin-kiam Kwun In Su, di sebelah tangan Im Yang Tosu sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. Akan tetapi, lagi-lagi tangan ketua Hong-tan-pai ini melekat dan tenaga saktinya membanjir keluar tanpa dapat ditahannya lagi!

   Tubuh Chou Kian K i yang menerima tenaga sakti dari empat orang itu kini berkelojotan dan mukanya semakin merah, uap yang mengepul dari ubun-ubun kepalanya semakin tebal. Dia seperti sedang sekarat akan tetapi tetap dalam keadaan duduk karena seolah-olah dadanya melekat pada tangan Thian Beng Siansu sehingga tertahan dan tidak dapat terguling. Tubuhnya berkelojotan dan tersentak-sentak seperti dimasuki aliran listrik!

   Tiga orang datuk itu merasa tubuhnya lemas. Dengan gelisah mereka merasakan betapa tenaga sinkang mereka yang dihimpun selama bertahun-tahun itu membanjir keluar tanpa dapat mereka cegah. Kalau hal ini berlangsung lama, mereka akan kehabisan tenaga dan menjadi orang-orang tua yang loyo tanpa tenaga!

   Tak lama kemudian setelah tenaga sakti mereka sudah lebih dari setengahnya tersedot, tiba-tiba Kian Ki yang masih berkeiojotan itu mengeluarkan bentakan nyaring seperti suara seekor binatang buas dan kedua tangannya didorong ke arah tubuh empat orang kakek tua.

   "Aaarrggghhhhh ............ blarrr..............!"

   Tubuh empat orang kakek itu terpental dan terlempar sampai tiga empat tombak jauhnya. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, biarpun tubuh mereka terasa lemah kehabisan tenaga, mereka dapat mengatur keseimbangan tubuh mereka sehingga mereka jatuh terduduk, tidak sampai terbanting.

   Biarpun tubuh mereka lemas karena sebagian besar tenaga sakti mereka hilang, tiga orang kakek itu bangkit di mengeluarkan senjata mereka masing-masing. Kwan In Su mencabut pedangnya, Im Yang Tosu melolos sabuk kulit ularnya, dan Kwee Cin Lok atau Hongsan siansu juga mencabut pedangnya. Mereka bertiga menghampiri dan mengepung kakek tua renta yang kini setelah tadi terlempar, juga duduk bersila itu.

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Si Rajawali Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   "Orang jahat, apa yang telah kau lakukan???"

   Bentak Hongsan Siansu sambil mengancam dengan pedangnya. Dua orang rekannya juga sudah mengancam dengan senjata mereka. Thian Beng Siansu membuka mata, senyum mengejek lalu berkata.

   "Orang-orang tolol, aku telah menyempurnakan dan membantu kalian membentuk seorang murid yang kelak akan dapat kalian banggakan, dan kalian bertiga hendak membunuh aku? Hmrnmm, apa kalian kira dengan sisa tenaga kalian itu kalian akan mampu membunuhku? Bodoh, tanpa ada yang membunuh pun, setelah selesai apa yang hendak kulakukan, aku akan mengakhiri hidupku sendiri. Aku masih harus menyempurnakan gerakan ilmu silatnya agar tenaga yang sudah terhimpun dalam dirinya dapat dipergunakan sebaiknya."

   Mendengar ini, baru tiga orang Itu menyadari apa yang telah terjadi. Mereka bertiga segera menoleh dan memandang ke arah murid mereka. Kini Kian Ki tidak berkelojotan lagi, melainkan duduk bersila dengan tegak seperti sebuah arca dan wajahnya tampak tenang dan berseri, sama. sekali tidak memperl lihatkan tanda kesakitan. Kini mereka maklum bahwa kakek tua renta Ini tadi bukan berniat membunuh KianKi melainkan menyalurkan tenaga saktinya untuk dipindahkan ke tubuh murid itu. Ketika mereka bertiga hendak mencegah otomatis tenaga sakti mereka yang di kerahkan untuk menarik lengan kakek itu ikut tersedot. Hal ini berarti bahwa Kiai Ki telah menerima tenaga sakti dar imereka berempat! Kalau mereka masmg-masing merasa kehilangan sebagian besar tenaga sakti mereka, dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga sakti yang di pindahkan ke dalam diri Kian Ki! Pantai saja tadi, dalam keadaan tidak sadar karena seperti "mabuk"

   Atau sekarat dibanjiri tenaga sakti demikian banyaknya, sekali dorong dia dapat membuat mereka berempat terpental!

   Kalau begitu, engkau hendak menurunkan ilmumu kepada murid kamu Chou Kian Ki? Akan tetapi mengapa, Thian Beng Siansu? Mengapa engkau lang sama sekali tidak kami kenal, juga jidak dikenal Chou Kian Ki, tiba-tiba tidak mengajarkan ilmumu kepadanya, bahkan telah memindahkan tenaga saktimu dan tenaga sakti kami kepadanya?"

   Kakek tua itu menghela napas panjang, kambil memejamkan matanya, dia bicara berlahan seperti kepada dirinya sendiri.

   "Aku telah berdosa melanggar larangan dan sumpah. Aku adalah pewaris ilmu Keluarga Kok karena itu aku harus mati. Akan tetapi sebelum itu, aku harus melengkapi dulu dosaku, yaitu mengajarkan ilmu Keluarga Kok kepada muridku, yaitu pemuda yang menjadi murid kalian itu. Biar aku mati untuk dia karena hanya dia yang akan mampu kelak memenuhi hukum Keluarga Kok."

   Thian Beng Siansu berhenti sebentar untuk menghela napas panjang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Hong Siansu yang tadi bersama rekan-rekan merasa terkejut bukan main, untuk kata dengan hormat.

   "Ah, kiranya Locianpwe adalah waris ilmu Keluarga Kok yang terkenal sebagai ilmu dewa itu!"

   Kata Hong Siansu yang kini menyebut locianpwe kepada Thian Beng Siansu, sebutan untuk menghormat orang yang memiliki tingkat dan kedudukan lebih tua dan tinggi dalam dunia persilatan.

   "Akan tetapi artinya melanggar sumpah dan dosa kami menerima murid, dan mengapa pula cianpwe seolah sengaja melakukan langgaran itu?"

   "Ada seorang murid pewaris ilmu keluarga Kok yang melanggar larangan itu dan aku tidak berhasil membunuhn Karena itu aku sengaja mengambilmu dan mengorbankan nyawa karena melanggar sumpah, agar murid itu kelak menyempurnakan tugasku, yaitu membunuh murid yang melanggar sumpah itu."

   Pada saat itu, Kian Ki telah berhasil mengendalikan tenaga sin-kang yang amat kuat yang tadi memenuhi tubuhnya. Dia berhasil menghimpun tenaga itu ke dalam tiantan (pusat di perut bawah) sehingga kesadarannya kembali dan dia sempat mendengar ucapan Thian Beng Siansu. Hatinya merasa girang bukan main. Kakek sakti itu mampu mengalahkannya dalam waktu beberapa gebrakan saja dan hal ini saja sudah cukup baginya untuk merasa tunduk dan kagum, juga mendorong keinginannya untuk berguru kepada kakek sakti itu. Apalagi setelah dia menyadari bahwa kakek itu telah menyalurkan dan memindahkan sinkangnya kepadanya, bahkan telah menyedot dan memindahkan pula sebagian besar tenaga sakti ketiga orang gurunya. Maka kini cepat dia menghampiri dan berlutut di depan Thian Beng Siansu.

   "Teecu Chou Kian Ki mohon petunjuk agar kelak teecu pantas menjadi murid Suhu Thian Beng Siansu dan dapat meraih cita-cita teecu'."

   Thian Beng Siansu tersenyum lemah Sebagian besar tenaganya sudah hilang dipindahkan ke dalam tubuh Kian Ki dan karena usianya sudah hampir seratus tahun, maka kehilangan sebagian besar sin-kangnya itu membuat tubuhnya menjadi lemah dan lemas.

   "Chou Kian Ki, tenaga sakti yang besar dalam tubuhmu itu tidak akan banyak gunanya apabila tidak disertai penguasaan ilmu silat yang tinggi dan yang sesuai dengan penggunaan tenaga sin-kang yang besar. Aku dapat mengajarkan ilmu silat itu kepadamu, ilmu. silat pusaka Keluarga Kok, akan tetapi dengan dua syarat yang harus kau pegang teguhdengan janji sumpah."

   "Teecu sanggup dan bersedia, Suhu Harap Suhu menjelaskan apakah dua syarat yang Suhu perintahkan itu!"

   Katai Kian Ki dengan tegas.

   "Pertama, engkau tidak boleh mengajarkan ilmu pusaka Keluarga Kok kepada siapapun dan kalau engkau melanggar larangan ini, engkau harus membunuh diri seperti yang kulakukan. Ke dua, telah menguasai ilmu pusaka Keluarga Kok, engkau harus mencari dan menghukum mati pewaris ilmu Keluarga Kok yang telah melakukan pelanggaran, yaitu Thai Kek Siansu dan murid-muridnya! Nah, berjanjilah dengan sumpah!"

   Dengan suara lantang dan tegas Kian Ki bersumpah.

   "Aku Chou Kian Ki, bertumpah di depan Suhu Thian Beng Siansu bahwa setelah mempelajari ilmu pusaka Keluarga Kok, kelak aku tidak akan mengajarkan ilmu itu kepada seorang murid. Dan kedua, aku bersumpah akan mencari dan menghukum mati Thai Kek Siansu dan murid-muridnya karena dia telah bersalah melanggar sumpah Keluarga Kok."

   Thian Beng Siamu mengangguk-angguk senang. Akan tetapi Hongsan Siansu yang merasa khawatir bukan main mendengar Kian Ki bersumpah untuk membunuh Thai Kek Siansu, kakek yang amat sakti itu, lalu bertanya.

   "Locianpwe, apakah Thai Kek Siansu itu juga pewaris ilmu Keluarga Kok?"

   "Dia adalah keponakan muridku.

   "Dia melanggar hukum telah mempunyai murid, maka harus dibunuh. Karena aku sudah tua dan tidak dapat melaksanakan hukuman itu, maka aku tugaskan Kian untuk membunuhnya dan untuk itu, aku rela berkorban nyawa."

   Sejak saat itu, Thian Beng Sian tidak mau membuka mulut untuk bicara lagi. Semua pertanyaan tidak dijawabnya dan dia hanya tekun menurunkan ilmu silat warisan leluhur Keluarga Kok kepada Chou Kian Ki. Selama enam bulan dia melatih dengan tekun sampai Kian benar-benar dapat menguasai ilmu silat yang dapat dimainkan dengan tanga kosong maupun dengan senjata.

   Pada suatu pagi mereka mendapatkan Thian Beng Siansu telah mati dalam kamarnya, mati dalam keadaan tubuh bersila. Cepat Hongsan Siansu memeriksa tubuhnya dan mendapat kenyataan bahwa kakek itu sama sekali tidak terluka dia mati karena kehabisan napas dan melihat betapa dadanya mengembung besar maka dia dapat menduga bahwa kakek itu mati karena bunuh diri dengan menahan napas sampai putus! Kini mengertilah mereka semua mengapa Thian Beng Siansu mengatakan bahwa dia rela berkorban nyawa. Dia sengaja melanggar sumpah Kelurga Kok, sengaja mengambil Kian Ki sebagai murid, kemudian dia melakukan bunuh diri. Hal ini dia lakukan agar ada yang lain yang mewakilinya untuk menghukum Thai Kek Siansu dan murid-muridnya yang dianggap melanggar sumpah keluarga Kok! Setelah menerima pemindahan tenaga sakti dari empat orang kakek sakti, kemudian menguasai ilmu silat pusaka leluhur Keluarga Kok, tentu saja tingkat kepandaian Kian Ki naik tinggi sekali! jauh lebih tinggi daripada tingkat semua gurunya. Sayang sekali bahwa ketinggian hati dan kesombongannya juga naik tingkatnya menjadi tinggi sekali!

   Pada waktu itu, Pangeran Chou Ban 'eng sudah kembali ke kota raja. Me ului bekas kerabat Kerajaan Chou yang lasih tinggal di kota raja dan bukan saja tidak diganggu Kaisar Sung Thai Cu bahkan mereka diperlakukan dengan diberi kebebasan bekerja, berdagang ataupun menerima jabatan, akhirnya Pangeran Chou Ban Heng dapat diterima oleh kaisar Sung Thai Cu dan diampuni setelah berjanji bahwa dia.tidak akan mengadakan pemberontakan dan tidak lagi ingin mendirikan kembali Kerajaan Chou.

   Karena Pangeran Chou Ban Heng dahulunya adalah seorang panglima daerah Selatan, maka oleh Kaisar Sung Thai Cu dia diberi pangkat sebagai penasihat Angkatan Perang Kerajaan Sung. Sunguhpun pangkat ini membuat dia tidak aktip dalam ketentaraan, hanya duduk kantor, namun setidaknya membuat terpandang sebagai orang yang berpengalaman di bidang ketentaraan dan ia dipercaya oleh Kaisar Sung Thai Cu.

   Tentu saja Pangeran Chou Ban Heng tidak pernah menghilangkan cita-cita untuk membangun kembali Kerajaan Chou agar dia dapat menjadi kaisar baru kerajaan Chou. Akan tetapi karena rasanya akan sukar untuk melakukan pemberontakan melalui perang, berhubung sulitnya menghimpun pasukan yang besar dan kuat, maka dia mengambil jalan atau menggunakan cara lain. Dia mencari kedudukan dan pengaruh dengan memegang kedudukan yang lumayan tingginya, Dia akan menghimpun kekuatan dari dalam, kalau mungkin menyalakan api pemberontakan dari dalam, yaitu dari kotaraja dengan dukungan para pejabat tinggi, Dan terutama sekali mencari kesempatan untuk dapat membunuh Kaisar atau menggantikan Kaisar Sung Thai Cu dengan cara lain yang dapat dia pengaruhi, Demikianlah, dengan tekun Pangeran Chou Ban Heng membuat persiapan rahasia,bagaikan seekor laba-laba merajut jaring untuk menangkap dan menjebak korbannya.

   Hutan itu lebat sekali. Hutan-hutan di daerah Pegunungan Ceng-lim-san memang terkenal lebat dan di situ terdapat banyak binatang hutan. Karena itu, banyak pemburu yang berdatangan untuk berburu binatang. Saking luasnya hutan-hutan di situ, maka selalu tampak bunyi dan seorang pemburu jarang bertemu dengan orang, apalagi dengan pemburu lain. Yang paling disukai para pemburu adalah banyaknya binatang kijang di hutan-hutan itu.

   Pada suatu pagi, dua orang laki-laki muda berjalan di dalam hutan. Masing-masing memanggul seekor kijang yang merupakan hasil buruan mereka. Mereka membawa busur dan anak panah, juga dipinggang mereka bergantung golok, pakaian mereka dari kulit menunjuki bahwa mereka adalah pemburu. Seorang dari mereka bertubuh tinggi besar seperti raksasa, tubuhnya berotot melinglingkar dibawah kulit, kepalanya juga besar dengan mata melotot dan tampak gagah walaupun wajah itu tidak dapat dibilang tampan.Usianya tentu sekitar empat puluh tahun. Orang kedua masih muda, usianya sekitar dua puluh tahun wajahnya tampan dan kulitnya putih.

   "Paman, aku sudah lelah sekali. Sekali.Semalam hampir tidak tidur dan kita sudah berrjalan jauh."

   Keluh yang muda.

   Pamannya, yang bertubuh tinggi besar Menjawab.

   "Ah, Dusun Kui-cu tak jauh lagi, paling banyak tinggal lima mil lagi. lebih baik cepat-cepat sampai ke sana, kita dapat makan, mandi, dan mengaso, kita boleh tidur sepuasnya, A Cin!"

   Tiba-tiba terdengar suara wanita, merdu namun mengandung penuh teguran. Alhhh, kalau sudah lelah dan mengantuk, jangan dipaksa. Kasihan Si Tampan ini!"

   Dua orang itu terkejut dan cepat membalikkan tubuh ke kanan. Mereka terbelalak dan merasa bulu tengkuk mereka berdiri meremang. Yang berdiri di lepan mereka adalah seorang wanita muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya dan mengenakan pakaian mewah.Wanita itu cantik sekali,kecantikan yang amat menonjol karena ditambah dengan polesan bedak dan gincu, sesungguhnya wajah itu memang sudah cantik manis. Namun ia pesolek sekali, bukan saja rambutnya yang diminyaki dandigelung rapi dihias bunga-bunga berwarna merah,wajahnya yang berbentuk bulat telur itu, yang pada dasarnya sudah putih bersih ditambah lagi dengan bedak dan pipinya diberi yanci tipis sehingg kemerahan, bibirnya yang bentuknya indah dan seolah menantang itu semakin merah oleh gincu, juga pakaiannya dari sutera berkembang yang mewah, tubuhnya yang langsing itu masih mengenaka perhiasan dari emas permata! Pantasnya wanita ini adalah seorang puteri istana Karena itu, paman dan keponakan itu merasa ngeri. Mana mungkin ada puteri istana tiba-tiba saja muncul di dalam hutan lebat seperti ini? Gadis cantik itu pasti bukan manusia, melainkan siluman Pada masa itu, hampir semua orang percaya akan adanya siluman-siluman, yaitu setan berujud hewan seperti serigal rase, anjing, babi, dan sebagainya yang dapat berganti wujud menjadi wanita cantik yang suka menggoda pria untuk kemudian dijadikan korbannya!

   Akan tetapi hanya sebentar saja dua orang pemburu itu merasa seram. Mereka adalah pemburu-pemburu yang sudah biasa berkeliaran dalam hutan-hutan lebat, sudah sering menghadapi ancaman bahaya dari binatang-binatang buas. Mereka bukan orarg-orang lemah, maka setelah dapat mengatasi kekagetan mereka, laki-laki bertubuh tinggi besar yang menjadi paman itu membentak sambil mencabut goloknya.

   "Siluman jahat! Jangan ganggu kami!"

   Karena merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan siluman, dia mengancam dengan goloknya agar siluman itu menjadi takut dan meninggalkan mereka. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak kelihatan takut bahkan tersenyum manis sekali. Karena menganggap bahwa wanita itu tentu siluman, senyum yang amat manis ini bagi laki-laki tinggi besar itu bahkan tampak menyeramkan sekali, Akan tetapi si keponakan yang muda, yang namanya disebut A cin tadi, memandang dengan kagum dan terpesona. Belum pernah dia melihat seorang gadis secantik itu!

   "Hi-hik,"

   Gadis itu terkekeh sehingga mulutnya agak terbuka, memperlihatkan rongga mulut dan ujung lidah yang kemerahan dan deretan gigi putih berkilauan.

   "Kalau aku siluman dan mengganggumu, engkau mau apa?"

   Merasa ditantang, laki-laki tinggi besar itu menjadi marah.

   "Aku akan mengirim kau ke neraka!"

   Bentaknya da dia sudah menyerang dengan goloknya Serangannya cukup dahsyat karena dia adalah seorang pemburu yang terbiasa hidup keras menghadapi banyak tantangan. Tenaganya besar dan gerakannya tangkas ditambah nyali yang besar. Ketika dia menyerang, gerakan goloknya yang menyambar kuat menimbulkan suara bersiutan.

   Akan tetapi gadis cantik itu dengan tenang menghadapi serangan pemburu itu. Hanya dengan sedikit gerakan ringan saja ia sudah dapat mengelak dari serangkaian serangan terdiri dari tiga kali bacokan dan dua kali tendangan.

   "Cukup! Berhentilah menyerang atau engkau akan mati!"

   Wanita itu berseru sambil menyentuh satu di antara tiga tangkai bunga penghias rambutnya.

   Akan tetapi pemburu yang merasa sasaran dan mengira bahwa dengan jurus mengelak berarti "siluman"

   Itu takut kepadanya, menyerang lagi dengan lebih ganas.

   "Mampuslah!"

   Bentak wanita itu dan Ungan kirinya yang mencabut setangkai bunga merah dari rambutnya bergerak. Nampak sinar merah menyambar dan pemburu itu menjerit, goloknya terlepas ban tubuhnya roboh terjengkang dan tewas seketika. Keponakannya memandang dan melihat betapa di dahi pamannya, tepat di antara sepasang alisnya, menancap bunga merah yang agaknya disambikan wanita itu.

   Acin, pemburu muda itu, memandang kepada Si Wanita dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya sama sekali untuk melawan. Dia sendiri belajar silat dari pamannya. Pamannya yang jauh lebih tangguh darinya dia saja begitu muda roboh dan tewas di tangan siluman ini, apa lagi dia!

   "Jangan............. jangan bunuh aku..............!"

   Katanya sambil melangkah mundur.

   Wanita itu melangkah maju mengha pirinya.

   "Jangan takut, pemuda tampan Siapa yang akan membunuhmu? Saya kalau engkau dibunuh.Kalau engkau memenuhi keinginanku dan mencintaku, engkau akan kubebaskan dan kuberi hadiah emas. Akan tetapi kalau engkau menolak berarti engkau menghinaku dan engkau akan mati seperti Pamanmu itu Sudah ada dua orang pemuda yang terpaksa kubunuh karena menolak dan menghinaku, jangan engkau menjadi yang tiga. Mari kita pergi bersenang-senang.. Wanita itu lalu menggandeng tangan Acin yang tidak berani menolak. Dia merasakan telapak tangan yang hangat halus, mencium bau harum yang keluar dari tubuh wanita itu dan membiarkan dirinya dirangkul dan diajak pergi meninggalkan tempat itu.

   "Tapi......... tapi ........ jenazah Pamanku..........

   "

   Acin menoleh, memandang mayat pamannya dengan gelisah.

   "Mayat itu? Biar saja, nanti tentu ada binatang yang memakannya. Atau engkau lebih senang mati disini?"

   "Tidak, tidak! Aku..............

   "

   "Hayolah dan jangan banyak menolak membuat aku marah."

   Wanita itu merangkul pinggang pemuda itu dengan mesra dan menariknya pergi dari situ. Sambil merangkul ketat dengan mesra wanita itu menggandeng Acin keluar dari hutan. Setelah keluar dari hutan dan tiba jalan umum yang sepi, di sana terdapat sebuah kereta kecil dengan dua berkuda. Dua ekor kuda itu dilepas ditambatkan pada batang pohon dimana mereka sedang makan rumput.

   "Mari, Sayang. Bantu aku memasang kuda-kuda itu."

   Kata wanita cantik sambil melepaskan rangkulannya setelah untuk kesekian kalinya ia mencium pemuda itu. Acin adalah seorang pria yang normal dan sehat, akan tetapi dirangkul, dicium dengan sikap mesra oleh seorang wanita muda yang demikian cantik, dia sama sekali tidak merasa terangsang. Bagaimana mungkin kalau ia mengingat betapa wanita itu telah membunuh pamannya? Sampai sekarang ia masih menganggap bahwa wanita itu adalah siluman dan menurut dongeng yang sering Dia dengar, siluman yang berujud wanitu cantik suka mempermainkan pria muda dan menghisap darah mereka sampai kering. Dia akan mati kehabisan darah! Tentu saja dia sama sekali tidak terangsang, betapapun hangat, lembut dan harum tubuh wanita itu.

   Dengan jantung berdebar dan tangan gemetar, terpaksa Acin membantu wanita Itu memasang kuda di depan kereta. Kemudian wanita itu naik ke atas kereta, duduk di depan memegang kendali.

   "Hayo, naiklah dan duduk di sebelahku sini"

   Wanita itu berkata.

   "Saya......... saya......... tinggal di sini saja............"

   Acin berkata ketakutan.

   "Apa? Engkau membantah?"

   Tiba-tiba wanita itu menggerakkan cambuk kudanya.

   "Tarrrrr...........!"

   Ujung cambuk itu melecut ke arah Acin.

   "Aduhhhhh........!"

   Acin berteriak dan meraba lehernya. Lecutan itu mengiris kulit lehernya sehingga mengeluarkan sedikit darah! Terasa perih dan membuat Acin semakin ketakutan.

   "Maaf, saya .............. saya tidak membantah.............."

   "Hayo naik, cepat!"

   Bentak wanita itu.

   Acin tidak berani membantah lagi. Dengan tubuh gemetar dia naik ke atas kereta dan duduk di sebelah wanita itu seperti yang diisaratkannya. Wanita itu menjalankan dua ekor kuda itu dan menoleh kepada Acin sambil tersenyum.

   "Kasihan engkau............! Sakitkah..........?"

   Acin tidak berani bersuara, hanya mengangguk.

   Wanita itu lalu mendekatkan mukanya dan mencium leher Acin yang lecet sehingga ada sedikit darah membas bibirnya, la menjilat darah di bibirnya itu dan tampak senang.

   "Selanjutnya turutilah semua perintahku dan cintailah aku maka engkau akan senang. Maukah engkau?"

   Acin hanya dapat mengangguk-angguk merasa ngeri melihat wanita itu menjilati darah yang berada di bibirnya, ia mencium lehernya tadi. la Siluman, pasti siluman yang suka minum darah, demikian pikirnya dan dia menggigil.

   Karena wanita itu duduk rapat sehingga tubuh mereka berdempetan maka ia dapa merasakan ketika tubuh pemuda Itu menggigil.

   
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Engkau kedinginan?"

   Acin menggelengkan kepalanya.

   "Kekasihku yang tampan, kenapa engkau diam saja? Hayo jawab, siapa namamu?"

   "Saya............ saya Liong Cin ..............."

   "Nama yang gagah, segagah dan sekaligus orangnya. Namaku Lai Cu Yin, orang-orang menyebutku Ang-hwa Niocu (Nona Bunga Merah), tapi engkau boleh memanggil aku Yin-moi (Dinda Yin)........... he-heh!"

   Gadis itu tersenyum lebar, memperlihatkan lidahnya yang ujungnya meruncing dan merah.

   "Aku senang engkau menurut dan mau mencintaku. Dua orang pemuda dusun yang berani menolakku telah kubunuh, kalau engkau, yang bersikap baik dan mencinta, seperti para pemuda lain sudah-sudah tentu akan kubebaskan kuberi hadiah."

   Karena sikap wanita itu mesra ramah, rasa takut Liong Cin atau yang biasa disebut Aon, berkurang walau dia masih merasa ngeri kalau harus jadi kekasih siluman!

   "Maafkan saya, Niocu.........., saya akan dibawa kemanakah?"

   Dia memberanikan diri bertanya.

   "Liong Cin, sudah kukatakan agar engkau memanggil aku Yin-moi, bukan Niocu (Nona). Aku mempunyai sebuah pondok diluar dusun, kita pulang sana dan bersenang-senang."

   Pada saat itu, terdengar seruan lantang.

   "Iblis betina, kembali engkau telah membunuh orang yang tidak bersalah dalam hutan itu! Akhirnya kutemukan juga engkau dan sudah saatnya engkau menerima hukuman!"

   Kemudian muncul seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar, berpakaian sederhana dan kain kasar. Sikapnya gagah, wajahnya ganteng dan jantan. Dia memegang sebatang toya yang dipegang melintang di depan dada. Sepasang matanya yang tajam memandang Ang-hwa Niocu dengan marah.

   Ang-hwa .Niocu menahan kudanya dan telah kereta berhenti, ia segera meloncat dan melayang dengan gerakan ringan, hinggap di depan pemuda yang memegang toya itu. Sejenak mereka berdua saling pandang. Ang-hwa Niocu, terenyum mengejek, sama sekali tidak genntar bahkan memandang tubuh yang kokoh dari pemuda itu dengan kagum, pemuda yang usianya sekitar dua puluh ya tahun dan begitu melihatnya, gairah berahi telah bangkit dalam hati wanita sesat itu.

   "Aih-aih, datang-datang engkau memaki orang! Siapa sih engkau, orang muda yang gagah, dan mengapa pula engkau memaki aku padahal kita belum pernah saling berjumpa dan tidak mempunnyai urusan apa pun?"

   Suara Ang-hwa locu merdu dan ketika bicara, sepasangnya yang jeli indah itu mengerling tajam dan bibirnya bergerak-gerak dengan manis penuh daya tarik dan tanpa tangan.

   "Siluman betina Ang-hwa Niocu! memang kita berdua belum pernah saling bertemu, akan tetapi jangan dikira bahwa di antara kita tidak.ada urusan apa pun Iblis betina, sejak engkau membunuh pemuda di kota Gak-ciu, aku telah mencari dan mengikuti jejakmu. Dengan keji engkau membunuh pula dua orang pemuda yang tidak mau menuruti nafsu iblismu, kemudian di dalam hutan itu aku melihat jenazah seorang laki-laki pula. Aku yakin bahwa pemuda yang diatas kereta itu juga menjadi korbanmu!"

   Mendengar ini, Ang-hwa Niocu tertawa manis, mulutnya terbuka dan karena tawanya bebas maka seluruh wajahnya tampak ikut tertawa.

   "Hemmm, orang muda, engkau salah paham. Siapakah namamu dan mengepa engkau mengejar-ngejar aku?"

   "Namaku Bu Eng Hoat dan memang aku secara pribadi tidak mempunyai permusuhan denganmu. Akan tetapi di Gak-ciu aku mendengar akan kejahatanmu. Engkau mengambil harta milik orang dan tidak segan membunuh kalau mendapat perlawanan. Engkau menggoda pria-pria muda dan kalau mereka menolak, engkau Membunuhnya. Aku mendengar engkau pembunuh seorang pemuda di Gak-ciu dan sejak itu aku mengambil keputusan untuk mencari dan membunuhmu! Ternyata di sepanjang jalan engkau menyebar kejahatan, membunuhi laki-laki muda, Maka aku sekarang setelah menemukanmu, harus membunuhmu!"

   "Hi-hi-hik, Bu Eng Hoat, engkau muda dan gagah. Semua yang kulakukan itu sama sekali bukan urusanmu, mengapa engkau mencampuri? Sayang kalau engkau nanti mati pula di tanganku, lebih baik mari ikut kami bersenang-senang. Aku membunuh orang bukan tanpa alasan. Mereka berani menolak dan menghinaku, maka sudah sewajarnya kalau aku membunuh mereka!"

   "Ang-hwa Niocu, sejak kecil aku mempelajari ilmu dan semua itu kupelajari dengan maksud agar dapat kupergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, membasmi iblis iblis jahat macam engkau!"

   "Wah, kiranya engkau ini seorang pendekar, ya? Bu Eng Hoat, sekali lagi kuperingatkan engkau. Mari kau ikut denganku bersenang-senang daripada eragkau mati di tanganku!"

   Berkata demikian wanita itu menghunus pedangnya yang mengeluarkan sinar kemerahan.

   "Huh, perempuan tidak tahu malu Lebih baik aku mati daripada harus menuruti kemauanmu yang rendah!"

   Bu Eng Hoat memasang kuda-kuda dengan toyanya.

   Bu Eng Hoat adalah seorang pendekar berusia dua puluh dua tahun yang baru sekitar setahun terjun ke dunia kang-ouw dan bertindak sebagai seorang pendekar gagah perkasa pembela kebenaran dan keadilan, selalu menentang para penjahat dengan penuh keberanian. Ke tika dia mendengar tentang Ang-hwa Niocu yang melakukan banyak kekejaman, apalagi membunuhi para pemuda yang tidak sudi menuruti kehendaknya yang kotor, dia marah sekali dan segera melakukan penyelidikan dan pengejaran. Pendekar muda yang bertubuh tinggi besar dan berwajah ganteng dan jantan itu adalah murid tunggal dari Thong Leng losu yang sudah kita kenal. Thong Leng losu adalah seorang di antara tiga orang kakek yang melakukan pertemuan di Bukit Naga Kecil, berbantahan tentang agama dan lain-lain kemudian dilerai oleh Thai Kek Siansu. Melihat betapa Thai Kek Siansu mempunyai seorang murid, Thong Leng Losu, seperti dua yang rekannya yang lain, segera mencari seorang murid pula. Pilihannya jatuh kepada Bu Eng Hoat, seorang anak yatim piatu berusia dua belas tahun yang hidup bagai seorang pengemis karena korban perang saudara. Selama sembilan tahun dia menggembleng muridnya itu dan setahun yang lalu, dia mengutus muridnya untuk memanfaatkan semua pelajaran itu dengan bertindak sebagai seorang pendekar.

   Kini Ang-hwa Niocu menjadi marah bukan main. Tadinya, kalau bisa, ia membujuk pemuda yang bertubuh kokoh kuat ini agar ia dapat bersenang-senang dengan dua orang pemuda itu. Akan tetapi Bu Eng Hoat bukan saja menolaknnya bahkan memaki-makinya. Keramahannya kini berubah menjadi kemarahan.

   "Kalau begitu, engkau lebih suka mampus daripada bersenang-senang. Setelah berkata demikian, cepat sekali bergerak dan pedangnya berkelebat, bagai sinar kemerahan menyerang Bu Eng Hoat dengan dahsyat!

   "Tranggggg........!"

   Tongkat itu atau toya itu merupakan senjata andalan Eng Hoat. Gurunya adalah seorang pendeta Buddha aliran Tibet yang terkenal dengan ilmu toyanya. Biasanya, para pendeta tidak suka menggunakan senjata apalagi senjata tajam karena hal itu tidak sesuai dengan pelajaran agama mereka yang menghindari semua kekerasan. Toya itu tadinya adalah semacam tongkat yang dipergunakan para hwesio untuk membantu mereka dalam perjalanan, terutama kalau melalui jalan yang sukar, seperti pendakian gunung, jalan yang berbatu-batu dan lain-lain. Juga dapat mereka pergunakan untuk melidungi dirinya dari serangan binatang buas. Dan toya itu akhirnya menjadi senjata andalan setelah selama berabad-abadan mengalami perubahan dan kemajuan berupa silat toya.

   Ang-hwa Niocu kagum juga ketika merasa betapa tenaga dalam toya yang menangkis pedangnya cukup kuat. Akan letapi, setelah wanita itu kini menyerang bertubi-tubi, Bu Eng Hoat terdesak. Ilmu silat pemuda itu sebetulnya sudah cukup tinggi dan kokoh kuat. Sebagai murid tunggal Thong Leng Losu dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari pendeta itu. Akan tetapi sekali ini dia bertemu dengan lawan yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi. Terutama sekali dalam ilmu gin-kang (meringankan tubuh), dia masih kalah sehingga wanita itu dapat bergerak lebih cepat. Pedang itu berkelebatan menyambar-nyambar menjadi sinar yang bergulung-gulung. Terpaksa Bu Eng Hoat mencurahkan semua tenaga dan ilmu kilatnya untuk bertahan dan melindungi dirinya. Toyanya berputar cepat menyelimuti seluruh tubuhnya menjadi semacam perisai yang kokoh kuat sehingga dimanapun juga pedang itu menyerang selalu dapat tertangkis oleh toya. Akan tetapi, setelah lewat tiga puluh jurus lebih, Bu Eng Hoat terdesak karena dia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang.

   Ang-hwa Niocu tadinya setelah melihat betapa ia lebih unggul, seperti main-main karena ia masih mempunyai harapan kalau-kalau Bu Eng Hoat mau menuruti kehendaknya. Akan tetapi ketika ia menoleh ke arah kereta dan melihat bahwa Liong Cin tidak berada lagi di atas kereta, ia menjadi marah sekali. Tahulah ia bahwa Liong Cin diam-diam menggunakan kesempatan selagi ia bertanding melawan Bu Eng Hoat, melarikan diri. Tentu saja sukar, bahkan agaknya tidak mungkin ia dapat menemukan la pemburu yang tidak ia ketahui di mana tempat tinggalnya itu. Kini kemarahnya ia tumpahkan kepada Bu Eng Hoa yang dianggap telah menyebabkan kehilangan Liong Cin.

   "Jahanam Bu Eng Hoat, sekali lagi engkau kuberi kesempatan! Engkau mau menyerah atau tidak?"

   "Tidak sudi!"

   Jawab Bu Eng Hoat.

   "Trang-cringgg...........!"

   Bunga api kembali berpijar ketika toya itu menangkis sambaran pedang.

   "Kalau begitu mampuslah kau!!"

   Dengan kemarahan meluap Ang-hwa Niocu lalu mengerahkan semua kepandaiannya untuk menyerang lebih gencar lagi sehingga Bu Eng Hoat menjadi terkejut dan kini dia bukan saja tidak mampu balas Menyerang, bahkan dia terpaksa harus diundur karena desakan sinar pedang itu amat hebat dan mengancam keselamatan nyawanya.

   Ketika keadaan Bu Eng Hoat amat gawat dan pangkal lengan kirinya bahkan lelah terkena sambaran sinar pedang hingga kulitnya robek berdarah, tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang bertubuh tinggi tegap. Pemuda ini memegang sepasang tongkat pendek yang dia mainkan seperti siangkiam (sepasang pedang).

   "Tak-tak-tranggg..........!"

   Sepasang tongkat pendeknya itu menyambar di antara dua orang yang sedang bertanding sekaligus menangkis pedang dan toya Otomatis dua orang yang sedang bertanding itu terkejut dan masing-masing melompat ke belakang. Akan tetapi Ang-hwa Niocu yang tadinya marah melihat ada orang mencampuri urusannya menggagalkan ia menumpahkan kemarahannya kepada Bu Eng Hoat yang hampir kalah, ketika memandang kepada orang yang datang melerai, wajahnya menjadi berseri. Yang datang adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan berwajah tidak kalah ganteng dan gagah dibandingkan Bu Eng Hoat!

   "Hemmm, orang muda, siapakah engkau yang datang mencampuri urusan kami yang sedang bertanding?"

   Tegur Ang-hwa Niocu dengan senyum manis.

   Pemuda yang berpakaian sederhana berwarna kuning itu adalah Liu Cin. Seperti telah kita ketahui, sekitar puluh tahun yang lalu, ketika Ceng In Hosiang hwesio tokoh Siauw-limpai itu dilukai lalu dikejar oleh Kanglam Sin-Kiam Kwan In Su, Im Yang Tosu, dan Hongsan Siansu, melarikan diri dan akkhirnya jatuh pingsan, dia ditolong oleh seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun yang kemudian menjadi murid tunggalnya. Anak itu adalah Liu Cin, seorang anak yatim-piatu lain yang juga menjadi korban perang saudara. Setelah digembleng selama sepuluh tahun oleh Ceng In Hosiang, Liu Cin lalu dilepas oleh Ceng In Hosiang, diperbolehkan turun gunung dan merantau untuk menambah pengalaman dan memanfaatkan semua pelajaran yang telah diterimanya dari gurunya. Oleh Ceng In Hosiang, Liu Cin sudah diberi banyak pelajaran tentang cara hidup seorang pendekar dan dia diharuskan menjaga sepak terjangnya sebagai murid yang mewarisi ilmu silat Sia Lim-pai agar jangan sampai mencemarkan nama besar dan nama baik perguruan silat terbesar itu. Kalau sampai dia menyeleweng dari jalan benar, maka bukan hanya Ceng In Hosiang yang akan mencari dan menghukumnya, bahkan semua tokoh Siau lim-pai yang terdapat di mana-mana pasti akan menghukumnya. Selain diajar watak-watak seorang pendekar budiman juga Liu Cin diberitahu tentang tokoh-tokoh dunia persilatan yang terkenal baik mereka yang termasuk golongan putih (pendekar) ataukah golongan hitam (pe jahat).

   Akan tetapi, setelah merantau berapa bulan saja, tentu Liu Cin belum banyak mendapatkan pengalaman sehingga ketika dia melerai perkelahian antar Ang-hwa Niocu dan Bu Eng Hoat, dia berhati-hati agar jangan melukai seorang di antara mereka. Dia tidak berani berpihak karena dia tidak tahu apa urusannya yang membuat pemuda dan gadis itu bertanding, siapa berada di pihak benar atau salah. Maka setelah tadi menangkis kedua senjata mereka dengan sepasang tongkat pendeknya, Liu Cin melompat kebelakang dan ketika gadis cantik itu bertanya kepadanya dengan sikap ramah dan senyum manis otomatis perasaan hatinya berpihak kepada wanita itu! Hal ini tidak mengherankan karena agak sukar menduga seorang gadis secantik dan selembut itu berada di pihak yang bersalah! Kalau sang gadis cantik bersikap ramah dan manis seperti itu, di tempat yang sepi, bertanding melawan seorang laki-laki, siapapun akan condong berpihak kepada wanita!

   Dia merangkap kedua tangan depan dada sebagai salam penghormatan kepada wanita itu lalu menjawab.

   "Saya bernama Liu Cin dan maafkan kalau saya tadi lancang melerai Ji-wi (Anda berdua) yang sedang rkelahi. Saya yang kebetulan lewat disin dan melihat Ji-wi berkelahi, tidak Ingin melihat seorang wanita terluka, apalagi menjadi korban dan tewass di tangan seorang laki-laki."

   Lalu dia memandang kepada Bu Eng Hoat dan bertanya dengan nada menegur.

   "saya kira seorang laki-laki tidak pantas untuk berusaha membunuh seorang wanita muda!"

   Bu Eng Hoat tentu saja menjadi marah sekali. Tadi dia terdesak hebat dan nyaris celaka di tangan iblis betina itu. Masih untung dia hanya mengalami lecet di pangkal lengan kirinya. Kini seorang pemuda yang tampaknya lihai yang dapat dia ketahui dari cara pemuda itu melerai dan menangkis senjata mereka berdua. Akan tetapi pemuda yang baru tiba ini tampaknya berpihak kepada Ang-hwa Niocu. Hai ini dapat diduga dari nada bicaranya!

   "Sobat!"

   Katanya gemas.

   "Engkau agaknya tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan! Ketahuilah bahwa wanita adalah Iblis Betina Ang-hwa Niocu yang suka mempermainkan pria dan sudah banyak membunuh laki-laki muda. Iblis betina ini sudah sepatutnya dibasmi agar jangan mengganggu para pria dan mengotorkan dunia!"

   "Liu-enghiong (Pendekar Liu), jangan percaya obrolan manusia palsu ini! Dia yang hendak kurang ajar dan merayu aku, ketika aku tidak sudi dan menolaknya, dia malah hendak merampas kereta dan kudaku. Nah, siapakah di antara kami yang jahat?"

   Kata Ang-hwa Niocu dengan suara merdu sambil menudingkan pedangnya ke arah muka Bu Eng Hoat.

   Pemuda murid Thong Leng Losu ini miliki watak yang keras. Mendengar ucapan Ang-hwa Niocu yang memutarkan kenyataan itu, menuduh balik padanya, membuat dia tidak dapat menahan diri lagi.

   "Iblis betina jahanam!"

   Bentaknya dan dia sudah menerjang lagi dengan nekat, menggunakan toyanya untuk menusuk kearah dada Ang-hwa Niocu. Gadis ini dengan gerakan ringan sengaja melompat belakang Liu Cin seolah, minta perlindungan. Liu Cin cepat menggerakkan sepasang tongkatnya sambil maju menangkis serangan Bu Eng Hoat.

   "Jangan menghina seorang wanita!"

   Bentak Liu Cin sambil mengerahkan tenaganya menangkis.

   "Dukkkkk!!"

   Dua orang pemuda itu terdorong ke belakang. Mereka terkejut dan maklum bahwa tenaga mereka seimbang. Bu Eng Hoat semakin mendongkol. Pemuda yang baru datang ini jelas berpihak kepada Ang-hwa Niocu. Dia bukan seorang yang bodoh dan nekat tanpa perhitungan. Dia tahu bahwa melawan pemuda ini saja sudah merupakan lawan yang tidak mudah dikalahkan, padahal tadi melawan Ang-hwa Niocu dia terdesak dan mungkin sekarang sudah terluka atau tewas kalau pemuda itu tidak muncul. Maka kalau sekarang dia nekat melawan keduanya, sama saja dengan bunuh diri. Dia lalu melompat jauh dan melarikan diri secepatnya.

   Melihat Bu Eng Hoat melarikan diri, Ang-hwa Niocu tertawa terkekeh-kekeh. ''He-he-hi-hi-hik, bocah sombong, baru Memiliki ilmu kepandiaan sebegitu saja sudah berani menggangguku!"

   Melihat wanita cantik itu tertawa terkekeh-kekeh seperti itu, Liu Cin yang masih belum banyak pengalamannya itu memandang heran, sampai bengong. Belum pernah dia melihat seorang gadis secantik dan sepesolek itu, juga belum pernah melihat ada wanita, apalagi yang masih begitu muda, tertawa sebebas itu.

   Ang-hwa Niocu kini memandang Liu Cin dan sambil tersenyum manis dan mata dimainkan sehingga tampak memikat, dan mengangkat kedua tangan didepan dada lalu membuat gerakan membungkuk dengan gemulai, ia berkata suaranya merdu merayu.

   "Liu-enghiong, terima kasih, engkau telah menyelamatkan nyawaku. Aku tidak tahu dengan cara apa aku harus membalas budimu yang sebesar gunung ini"

   Wajah Liu Cin berubah agak merah mendengar ucapan yang merayu ini.

   "Aih Nona, aku sama sekali tidak menyelamatkan nyawamu. Kulihat tadi bahwa eng'kau sama sekali tidak terancam bahaya, bahkan engkau yang mendesak orang itu. Aku hanya datang melerai."

   "Ah, agaknya engkau tidak tahu, enghiong. Orang jahat seperti itu biasanya memiliki banyak kawan. Kalau engkau tidak segera datang membuat dia melarikan diri, tentu kawan-kawannya akan datang mengeroyokku. Engkau telah menyelamatkan aku dan aku berterima kasih sekali!"

   "Sudahlah, Nona, tidak perlu terlalu dilebih-lebihkan perbuatanku yang tiada artinya itu. Nona telah mengetahui namaku, sebaliknya, kalau boleh aku mengetahui, siapakah namamu?"

   "Namaku adalah Lai Cu Yin dan duta kangouw menyebutku Ang-hwa Niocu. Aku merasa berbahagia sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Liu-enghiong."

   "Aku pun senang berkenalan denganmu, Nona Lai."

   "Pertemuan antara kita yang terjadi secara kebetulan ini membuat kita menjadi sahabat, bukan? Bolehkah aku meng-ggapmu sebagai seorang sahabat baik?" "Tentu saja, Nona Lai! Aku merasa terhormat menjadi sahabatmu."

   Ang-hwa Niocu tersenyum lebar, wajahnya yang cantik itu berseri gembira, selama dua tahun lebih ia menjadi liar dan suka memburu dan mempermainkan pria untuk memuaskan nafsu berahinya, belum pernah ia mendapatkan seorang pendekar. Biasanya, ia hanya dapat mempermainkan pemuda-pemuda lemah dengan menggunakan paksaan. Kini, bertemu dengan seorang pendekar seperti Liu Cin, ia ingin memperoleh pemuda gagah ini sebagai kekasihnya tanpa mengunakan paksaan, melainkan dengan sukarela. Ia merindukan belaian seorang laki laki yang jantan yang mencintanya, bukan yang melakukan karena takut atau terpaksa. Maka ia mencoba untuk menaklukkan Liu Cin dengan cumbu rayu.

   "Aih, sungguh lucu dan tidak enak didengar kalau di antara sahabat baik mesti memanggil dengan sebutan sungkan seperti engkau menyebut Nona pada seolah-olah aku ini seorang yang asing bagimu."

   Liu Cin tersenyum.

   "Lalu aku har menyebut bagaimana?"

   "Tidak perlu pakai nona-nonaan! berapakah usiamu sekarang?"

   "Dua puluh satu, hampir dua puluh dua tahun."

   "Ah, kalau begitu mungkin aku lebih muda setahun atau kurang,"

   Kata Ang-hwa Niocu yang sesungguhnya sudah beri usia dua puluh lima tahun, akan tetapi tentu saja ia juga pantas berusia dua puluh satu tahun karena memang pandai menjaga dan merias diri sehingga tampak jauh lebih muda.

   "Maka, lebih baik dan lebih akrab kalau kusebut engkau Cin-Ko (Kakak Cin) dan engkau menyebut aku Yin-moi (Adik Yin). Bagaimana, setujukah engkau, Cin-ko?"

   Liu Cin merasa girang sekali. Dia adalah seorang yatim piatu yang sejak kecil hidup sengsara. Ketika berusia sebelas tahun, baru dia terbebas dari belenggu kesengsaraan seorang anak miskin yang tertindas, yaitu ketika diambil murid oleh Ceng In Hosiang. Akan tetapi dari kehidupan seorang anak yang miskin dan papa, penuh penderitaan, dia memasuki kehidupan terpencil dan sepi, setiap hari selain melayani suhunya, juga dia harus berlatih silat dengan tekun dan keras. Boleh dibilang dia tidak pernah merasakan kehangatan hubungan persahabatan. Juga setelah dia turun gunung, dia menemukan banyak kejahatan dan belum sempat bertemu seorang yang baik kepadanya. Kini dia bertemu dengan seorang gadis yang selain cantik jelita dan lihai ilmu silatnya, juga yang demikian ramah, baik dan akrab sekali sikapnya.

   'Tentu saja aku setuju, Yin-moi!"

   Sebutan itu demikian ringan diIndahnya juga demikian mesra rasanya, membuatnya terharu karena ia tidak pernah memiliki saudara, apalagi saudara wanita dan belum pernah mempunyai seorang sahabat wanita.

   "Ah, aku senang sekali, Cin-ko. lum pernah aku memiliki seorang sahabat pria yang begini gagah perkasa dan baik hati sepertimu!"

   "Wah, jangan terlalu memuji, Yi-moi. Aku pun terus terang saja selama hidupku belum pernah mempunyai seorang sahabat seperti engkau dan aku masih merasa heran bagaimana seorang gadis seperti engkau mau bersahabat dengan seorang miskin dan tidak punya apa-apa seperti aku."

   "Wih, sudahlah tidak perlu lagi bersungkan-sungkan, Cin-ko. Sebetulnya engkau datang dari mana dan hendak kemana?"

   "Setelah beberapa bulan yang lalu aku disuruh turun gunung oleh guruku..........."

   "Siapakah nama gurumu yang mulia? Beliau tentu seorang datuk yang sakti."

   "Suhu adalah Ceng In Hosiang, seorang pendeta Siauwlimpai. Aku disuruh turun gunung dan aku merantau, tadinya aku berniat pergi ke kota raja untuk melihat keadaan kota raja, akan tetapi mendengar akan keramaian kota Pao-ting, aku ingin mengunjungi kota itu lebih dulu. Ketika lewat di sini aku melihat perkelahian tadi."

   "Aih, sungguh kebetulan sekalil Ini g dinamakan jodoh! Aku sendiri sedang dalam perjalanan menuju ke Pao-ling dan tujuanku terakhir memang kota raja Peking! Maka, kalau saja engkau sudi melakukan perjalanan bersamaku, kita dapat pergi ke sana bersama, Cin-ko!"

   Kata gadis itu dengan girang.

   "Ah, tentu saja aku senang sekali, Yin-moi, dan terima kasih!"

   "Nah, naiklah ke keretaku, Cin-koi. Sekarang ada engkau yang tentu suka menggantikan aku menjadi kusir!"

   Liu Cin tertawa senang. Mereka berdua menaiki kereta dan Liu Cin memegang kendali kereta setelah membantu gadis itu memasang dua ekor kuda, sedangkan gadis itu duduk di sampingnya Kereta bergerak cepat menuju ke timur, ke arah kota Pao-ting.

   Liu Cin merasa betapa jantungnya berdebar aneh ketika karena kereta bergoyang, tubuhnya bersentuhan dan terkadang merapat dengan tubuh Ang-hwa Niocu yang duduk disampingnya. Dia merasakan tekanan tubuh yang lembut dan hangat, mencium bau harum dan rambut dan tubuh wanita itu. Pengalaman yang baru pertama kali dalam hidupnya dia rasakan ini membuat jantungnya berdegup dan dia merasa bingung dan tegang.

   Akan tetapi sekali ini Ang-hwa Nioc sengaja tidak menuruti gejolak berahinya. Biasanya, berdekatan dengan orang laki-laki muda yang menggairahkan hatinya, ia langsung merangkul dan merayu. Akan tetapi ia maklum bahwa Liu Cin adalah seorang pendekar muda yang sama sekali belum mempunyai pengalaman bergaul dengan wanita. Masih seoorang perjaka, maka ia tidak mau membikin pemuda itu terkejut dan takut, la tidak mau kehilangan Liu Cin, juga tidak ingin menggunakan paksaan atau kekerasan kepada pemuda ini. la menginginkan Liu Cin mencintanya dengan sukarela. Lama ia merindukan cinta kasih tulus seorang pria, tanpa paksaan, dan bukan hanya tertarik oleh kecantikannya belaka. Karena itu ia membatasi diri, walaupun sentuhan-sentuhan yang terjadi kepada badan mereka karena duduk bersanding dan kereta berguncang di jalan yang kasar itu cukup membuat nafsu berahinya berkobar.

   Baru sekarang Ang-hwa Niocu Lai Cu Yin benar-benar haus kasih sayang sejati seorang pria. Karena itu, ketika dalam perjalanan itu Liu Cin bertanya tentang riwayatnya, ia mau menceritakan. Lai Cu Yin dibawa lari oleh ibu kandungnya keluar dari Ko-le-kok (Korea), mengungsi ke daerah pedalaman Cina bagian utara. Ibu kandungnya adalah seorang wanita berkepandaian tinggi yang menjadi isteri seorang jenderal di kerajaan Ko-le kok. Karena sakit hati melihat jenderal yang menjadi suaminya itu mulai menyia-nyiakannya setelah ia berusia empat puluh tahun, dengan mengambil semakin banyak selir muda dan tidak mempedulikannya. Leng Kin, wanita itu tergoda oleh seorang perwira muda dan menjalin hubungan cinta gelap dengan perwira itu. Akan tetapi setelah hubung an itu berjalan setahun, sang perwira juga meninggalkannya. Bukan itu saja, perwira itu membuat laporan palsu kepada suaminya bahwa ia telah melakukan penyelewengan. Suaminya marah dan hendak menghukumnya, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, Leng Kin dapat menyelamatkan diri dan pergi membawa lari puterinya, Cu Yin yang baru berusi sepuluh tahun. Mula-mula ia hanya lari keluar dari lingkungan keluarga bangsawan dan berhasil membunuh perwira yang telah mengkhianatinya. Kemudian karena menjadi buronan, ia membawa puterinya lari keluar dari daerah Ko-le-kok memasuki daerah Cina bagian Timur Laut.

   Di sana dia bertemu dengan seorang pendekar yang usianya lima puluh tahun, bernama Lai Koan, kemudian menjadi Isteri pendekar itu. Cu Yin yang berusia lima puluh tahun itu lalu memakai nama marga Lai dari ayah tirinya. Akan tetapi pernikahan itu pun hanya bertahan selama satu tahun karena setelah terjadi keributan di perbatasan yang menimbulkan permusuhan antara bangsa Ko-le-kok dan bangsa Cina, Lai Koan mulai membenci isterinya yang berbangsa Ko-le-kok. Apalagi dia mendengar akan riwayat isterinya yang sebagai isteri telah melakukan penyelewengan. Mereka bertengkar dan berpisah.

   Sejak saat itu, Leng Kin membenci kaum pria. Ia memperdalam ilmu silatnya dan mempelajari ilmu silat banyak aliran sehingga ia menjadi seorang datuk wanita yang lihai dan di daerah Timur Laut dikenal dengan julukan Hwa Hwa Mo-li. Ia mempunyai seorang murid wanita yang usianya lima tahun lebih tua dan Lai Cu Yin. Muridnya ini juga seorang anak yatim piatu, akan tetapi ketika menjadi murid Hwa Hwa Mo-li, ia telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang memiliki ilmu silat cukup tinggi. Gadis ini bernama Pek Bian Ci seorang gadis peranakan Mancu/Han. Maka, ketika menjadi murid Hwa Hwa Mo-li Leng Kin, ia menjadi lihai sekali Ia mewarisi semua ilmu Hwa Hwa Mo-li karena ia memang berbakat baik sekali dan ia juga amat disayang gurunya karena ia merupakan murid yang taat tekun dan setia. Hwa Hwa Mo-li yang membenci pria itu bahkan berhasil membuat Pek Bian Ci bersumpah bahwa ia tidak akan membiarkan seorang laki-lak menyentuhnya. Kalau ada yang menyentuhnya maka laki-laki itu harus dibunuhnya. Kalau terdapat pertikaian antara pria dan wanita, ia harus membantu wanita itu, tidak peduli wanita itu bersalah! Pendeknya, Hwa Hwa Mo-li berhasil mewujudkan kebenciannya terhadap pria yang telah banyak menyakiti hatinya dalam diri Pek Bian Ci!

   

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini