Suling Pusaka Kumala 10
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
Penumpangnya hanya seorang. seorang pemuda berpakaian serba kuning. Pemuda ini melihat betapa Suma Eng berada di atas perahu besar kosong yang digoncang dari bawah oleh banyak laki-laki. Dan dia melihat pula betapa gadis itu terjatuh ke dalam air Ia gelagapan timbul tenggelam, tanda hahwa gadis itu tidak pandai berenang!
Melihat ini, pemuda itu lalu meloncat ke dalam air lalu berenang dengan amat cepatnya ke arah Suma Eng. Gadis itu telah menjadi lemas dan banyak menelan air. Ketika akhirnya pemuda itu dapat meraih dan merangkulnya, Suma Eng jatuh pingsan sehingga dengan mudah pemuda itu dapat mengangkat dan membawanya berenang tanpa perlawanan.
Beberapa orang bajak yang melihat ini, segera berenang mendekati dan mereka menjulurkan tangan untuk merampas tubuh Suma Eng. Namun, biarpun lengan lengannya memanggul tubuh Suma Eng, tangan kiri pemuda itu dapat digerakan ke sana-sini membagi-bagi pukulan dan semua pukulannya mengenai sasaran, membuat para pengeroyoknya terpelanting! Pemuda itu lalu berenang dengan tepat ke arah perahunya yang hanyut terbawa air. Cepat dia menangkap perahunya, melepaskan tubuh Suma Eng ke dalam perahu dan dia sendiri lalu naik dan masuk ke dalam perahunya, menyambar dayung perahunya. Pada saat itu, berapa orang bajak sungai sudah berenang mendekati perahunya. Pemuda itu lalu mengayun dayungnya ke kanan kiri, memukul para bajak sehingga mereka terpaksa menjauh.
Dengan cekatan pemuda itu lalu mendayung perahunya ke tepi sungai. Cepat sekali perahu itu meluncur, menandakan betapa kuatnya pemuda itu mendayung perahu. Setelah tiba di tepi, dia menarik perahunya naik dan mengikat tali perahunya ke sebatang pohon. Setelah itu baru ia menghampiri Suma Eng yang masih telentang pingsan di dalam perahu. Melihat betapa perut gadis itu agak menggembung, tahulah dia apa yang harus dilakukannya. Dia mengangkat tubuh Suma Eng dan dijungkir balikkan tubuh gadis itu sehingga air mengalir keluar dari mulut dan hidung Suma Eng! Semua air yang tadi tertelan masuk ke perutnya kini mengalir keluar.
Setelah itu, dia merebahkan kembali Suma Eng telentang, kini memindahkan ke atas rumput di tepi sungai. Gadis itu menggeletak dengan wajah pucat dan tidak bergerak sama sekali. Pemuda itu mendekatkan jari tangannya ke depan mulut dan hidung Suma Eng dan dia terkejut. Celaka, pikirnya. Gadis ini napasnya terhenti! Sebagai seorang yang sering melihat korban yang tenggelam dalam air dan tahu akan cara pengobatannya, dia mengambil keputusan tetap.
Dia menyingkirkan semua rasa rikuh, dan tekadnya hanya untuk menyelamatkan nyawa seorang manusia tanpa memperdulikan lagi akan sopan santun dan kesusilaan. Dengan tangan kirinya dia mengangkat leher gadis itu, dengan tangan kanan membuka mulutnya dan menutup hidungnya, kemudian melupakan segalanya kecuali niatnya hendak menolong, diapun mempertemukan mulutnya dengan mulut gadis yang ternganga itu dan meniup sekuatnya! Dia mengangkat mulutnya, lalu menempelkan lagi dan meniup lagi. Perbuatan ini diulanginya sampai lima kali dan dengan girang dia melihat betapa gadis itu sudah dapat bernapas kembali!
Dia merebahkan lagi kepala Suma Eng yang terbatuk-batuk dan gadis itu cepat meloncat bangkit. Wajahnya menjadi merah sekali, sambil berbatuk-batuk ia memandang kepada pemuda itu dan menudingkan telunjuknya ke arah muka orang. Bagaimana ia tidak akan marah. Pada ciuman keempat tadi saja ia sudah siuman dari pingsannya dan melihat serta merasakan dengan penuh kesadaran betapa pemuda itu kembali "mencium"nya untuk terakhir kalinya! Ia hendak meronta ketika dicium dan mulut pemuda itu meniup kuat sehingga ia terbatuk-batuk, akan tetapi entah mengapa, mungkin saking kaget dan marahnya, ketika dicium untuk terakhir kalinya tadi, ia tidak mampu bergerak, semangatnya seperti tenggelam. Baru setelah ia meloncat bangun, ia menjadi marah sekali.
"Jahanam keparat engkau!!"
Bentaknya dan tangannya sudah menampar ke arah muka pemuda itu. Akan tetapi dengan sigapnya pemuda itu mengelak mundur. Cepat sekali gerakannya sehingga tamparan itu luput.
"Nona, mengapa engkau menyerangku?"
Pemuda itu bertanya dengan heran dan terkejut. Suma Eng menatap wajah itu. Wajah yang tampan dan gagah, tubuh yang tegap dan sedang besarnya. Akan tetapi hal Ini tidak mengurangi kemarahannya.
"Jahanam engkau!"
Dan ia menyerang lagi dengan tamparan, sekali ini lebih cepat lagi. Akan tetapi kembali pemuda itu melompat ke belakang dan ketika Suma Eng menyambung serangannya dia menangkis.
"Dukkk!"
Pertemuan dua lengan itu membuat si pemuda terhuyung dan hal ini membuat dia terkejut bukan main. Dia merasakan betapa kuatnya tenaga yang ada pada lengan kecil mungil itu.
"Nanti dulu, nona. Dengarkan dulu kata-kataku, setelah itu kalau engkau tetap hendak menyerangku, silakan!"
Suma Eng menahan serangannya.
"Engkau hendak bicara apa lagi? Engkau berani..... men.....ciumku selagi aku pingsan!"
Kemarahan membuat suaranya tergagap, juga ia merasa malu bukan main dan merasa terhina.
"Nona, kalau nona sudah mengetahui bahwa nona pingsan, bagaimana dalam keadaan pingsan nona dapat berada di tepi sungai ini? Lihat, pakaian nona basah kuyup seperti juga pakaianku. Aku telah menolongmu dari bahaya tenggelam dalam sungai setelah engkau terjatuh dari perahu, dan aku yang menghalau para bajak yang hendak menyerangmu selagi engkau akan tenggelam. Aku menaikkan engkau ke perahuku dan membawamu sampai ke tepi sungai ini....."
"Apakah untuk semua itu engkau harus menciumku? Apakah engkau merasa berhak melakukan apa saja terhadap diriku setelah engkau menolongku? Engkau harus menebus dengan nyawamu!"
Suma Eng sudah hendak bergerak menyerang lagi, akan tetapi pemuda itu berseru.
"Nanti dulu, untuk itupun aku mempunyai penjelasan. Ketahuilah nona. Setelah engkau kubawa ke tepi, aku melihat perutmu kembung penuh air. Maka aku terpaksa harus menjungkirbalikkan tubuhmu sehingga semua air keluar dari mulutmu. Akan tetapi kemudian aku melihat bahwa napasmu terhenti! Engkau terancam maut karena paru-parumu tidak bekerja. Dan aku tahu bahwa untuk menyelamatkanmu dari ancaman maut, jalan satu-satunya hanya meniupkan hawa melalui mulut ke dalam paru-parumu sehingga paru-paru itu bekerja kembali dan engkau dapat bernapas lagi. Sama sekali aku tidak berniat berbuat tidak sopan atau melanggar susila. Yang teringat olehku hanya untuk menyelamatkan sebuah nyawa, tidak ada apa-apa lagi. Kalau engkau tidak percaya kepadaku dan hendak membunuhku, silakan!"
Pada saat itu, tampak banyak orang muncul dari sungai dan berteriak-teriak.
"Itu mereka! Tangkap! Bunuh!"
Dua puluh lima bajak berloncatan ke tepi sungai dengan golok di tangan, dipimpin oleh kepala bajak yang tinggi besar itu. Mereka semua marah bukan main karena gadis itu telah membunuh banyak kawan mereka. Suma Eng menjadi marah kepada para bajak sungai itu. Tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedang Ceng-liong-kiam dari punggungnya dan menyambut para bajak sungai yang menyerang. juga pemuda itu mencabut sebatang pedang lalu melawan ketika dia dikeroyok banyak bajak sungai. Ternyata pemuda itu lihai juga. Gerakan pedangnya indah dan bagi ahli pedang kalau melihat gerakan pedangnya tentu akan mengetahui bahwa dia memainkan ilmu pedang dari partai persilatan Kun-lun-pai. Pedangnya bergerak naik turun seperti seekor naga bermain di angkasa dan banyak golok terpental ketika bertemu dengan pedangnya, bahkan beberapa batang golok terlepas dari pemegangnya. Akan tetapi, pemuda itu tidak menggunakan pedangnya untuk merobohkan para pengeroyok, melainkan menggunakan kedua kaki dan tangan kiri nya untuk merobohkan mereka tanpa membunuh.
Dalam beberapa gebrakan saja sudah ada empat orang bajak sungai yang roboh oleh tendangan atau tamparannya. Gerakan Suma Eng jauh lebih ganas Ketika pedangnya berdesing dan membentuk sinar kehijauan yang bergulung-gulung, cepat sekali pedang itu mendapatkan korban. Berturut-turut lima orang pengeroyok sudah roboh dan tewas seketika, terbacok atau tertusuk pedang. Melihat betapa lihainya gadis dan pemuda itu, kepala bajak sungai berteriak memberi aba-aba dan mereka semua lalu berloncatan ke dalam air sungai, menyelam dan berenang melarikan diri.
Suma Eng berdiri di tepi sungai, pedang di tangan dan ia membanting kaki dengan gemas.
"Sayang mereka melarikan diri lewat air. Kalau lewat darat, mereka akan kubunuh semua!"
Katanya.
Pemuda berbaju kuning Itu menyarungkan pedangnya dan menghampiri Suma Eng.
"Nona, kalau ada kesempatan, jauh lebih baik memberi ampun kepada mereka daripada membunuh mereka. Berilah kesempatan kepada mereka untuk bertaubat dan hidup melalui jalan benar."
Suma Eng memutar tubuhnya dan memandang kepada pemuda itu. Ia kini tidak marah lagi. Ia telah ditolong, bahkan diselamatkan nyawanya. Bagaimana ia dapat marah? Tentang "ciuman"
Itu, karena itu perlu untuk menyelamatkan nyawa, sebaiknya akan ia lupakan saja, kalau dapat.
"Mereka bertaubat? Jangan mimpi, sobat. Tidak ingatkah engkau, berapa anyak orang yang tidak berdosa mereka bunuh, wanita lemah mereka hina? Orang orang seperti itu tidak akan mau bertaubat, dan sudah saatnya nereka itu dihukum mati!"
Pemuda itu menghela napas panjang akan tetapi tidak membantah.
"Nona, bajumu basah kuyup, aku khawatir kalau engkau akan masuk angin dan sakit."
Hampir Suma Eng tertawa. Ia masuk angin? Betapa lucunya ucapan itu. Tubuhnya yang terlatih dan kuat, sehat dan segar bugar, tidak mungkin masuk angin. Akan tetapi ia segera merasakan betapa tidak enaknya mengenakan pakaian yang basah kuyup! Ia menoleh ke arah sungai dan berkata dengan gemas.
"Keparat-keparat itu! Buntalan pakaianku hanyut dan hilang entah ke rnana! Berikut uangku! Aku tidak dapat berganti pakaian, keparat!"
Pemuda itu tampak bengong melihat gadis itu marah-marah dan maki-makian demikian mudahnya meluncur dari sepasang bibirnya yang manis dan merah basah itu.
"Nona......"
Dia menahan kata-katanya, takut kalau-kalau gadis itu akan marah. Suma Eng menengok dan memandang kepadanya dengan alis berkerut.
"Engkau mau bicara apa sih? Katakan, apa maumu?"
Pemuda itu semakin gugup.
"Nona, kalau sudi, engkau dapat berganti pakaian dan pakailah satu stel pakaianku yang kering dan bersih."
Tanpa menanti jawaban dia lalu mengambil buntalan pakaiannya dari perahu, membuka dan mengeluarkan sestel baju dan celana yang baru dan bersih berwarna kuning. Tanpa berkata-kata lagi dia menyerahkan setumpuk pakaian itu kepada Suma Eng.
Gadis itu ragu-ragu akan tetapi menerima juga ketika melihat bahwa pakaian itu bersih dan kering. Akan tetapi ia ragu-ragu lagi. Bagaimana ia dapat berganti pakaian? Agaknya pemuda itu maklum akan hal ini.
"Nona, di sana ada batu besar. Engkau dapat berganti pakaian di balik batu itu."
Suma Eng menoleh dan benar saja. Tak jauh dari situ terdapat sebuah batu besar dan ia sama sekali tidak akan tampak kalau berada di balik batu itu. Ia mengangguk lalu melangkah ke arah batu besar dan menghilang di balik batu. Pemuda itu lalu duduk menghadap ke arah air sungai sambil melamun. Dia merasa betapa hatinya terpikat dan jatuh terhadap gadis itu. Betapa cantik jelitanya, manis menarik. Dia tertarik sekali dan timbul rasa sayang kepada gadis itu. Gadis yang lihai bukan main. Melihat sepak terjangnya tadi ketika menghadapi pengeroyokan para bajak, dia dapat menduga bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian silat yang amat hebat namun juga ganas sekali!
Akan tetapi sayang, gadis itu liar dan ganas sekali! Begitu mudahnya membunuh orang! Gadis ini membutuhkan bimbingan karena kalau tidak ia dapat terjerumus ke dunia sesat yang penuh kekejaman. Sayang sekali kalau sampai terjadi demikian. Gadis itu masih demikian muda.
"Wah, aku menjadi seperti laki-laki!"
Terdengar suara dan pemuda itu memutar tubuh. Dia melihat gadis tadi sudah mengenakan pakaian miliknya, agak kebesaran dan tampak lucu karena pakaian itu pakaian pria sedangkan tata-rambut itu masih menujukkan bahwa ia seorang wanita.
"Nona, kurasa itu bahkan baik sekali. Kenapa engkau tidak menyamar saja sebagai pria? Atur rambutmu itu agar tata rambutnya seperti tata-rambut pria. Sebagai pria engkau tentu tidak akan mengalami gangguan dalam perjalanan, lebih leluasa."
Wajah Suma Eng berseri dan matanya bersinar-sinar.
"Ah, bagus juga pendapat-rnu itu! Akan tetapi bagaimanakah dandanan rambut seorang pria? Aku tidak bisa...."
"Maaf, kalau boleh aku membantumu. Rambutmu itu harus diikat ke atas dengan pita rambut. Aku masih mempunyai beberapa helai pita rambut."
Pemuda itu mencari-cari dalam buntalannya dan mengeluarkan sehelai pita rambut berwarna biru.
"Maaf, kalau boleh, aku dapat menata rambutmu seperti seorang pria, nona."
"Tentu saja boleh. Lakukanlah!"
Suma Eng lalu duduk di atas batu dan pemuda itu lalu menata rambutnya. Dia mengedarkan sebuah sisir dan menyisir rambut Suma Eng ke atas, lalu mengikatnya dengan pita rambut biru.
"Untung engkau tidak biasa memakai hiasan telinga dan daun telingamu juga tidak dilubangi sehingga engkau kini tampak sebagai seorang pemuda remaja aseli. Kalau engkau dapat membesarkan sedikit suaramu, tentu tidak ada seorang pun yang menduga bahwa engkau seorang wanita."
Suma Eng merasa gembira sekali Seperti seorang anak kecil ia lalu turun dari atas batu, berlagak dan mengambil sikap seperti seorang pria tulen dan berkata dengan suara dibesarkan.
"Aku Suma Kongcu (Tuan Muda Suma) dari kota raja Peking, perkenalkanlah!"
Lagaknya dibuat buat seperti seorang pria tulen dan pemuda itu mau tidak mau tertawa dibuatnya karena tingkah gadis yang lucu itu.
Melihat pemuda itu tertawa, Suma Eng baru ingat bahwa pemuda itu telah menolongnya dan bahwa ia sama sekali belum mengenalnya, maka lapun bertanya.
"Sobat, siapakah namamu?"
"Aku she (marga) Gui bernama Song Cin. Aku berasal dari Lok-yang di Propinsi Ho-nan dan baru saja aku turun gunung setelah beberapa tahun belajar ilmu silat di Kun-lun-pai."
"Hemm, jadi engkau murid Kun-lun-pai? Pantas engkau lihai. Akan tetapi bagaimana engkau pandai bermain di air?"
"Kampung halamanku di dusun Si-tek-bun daerah Lok-yang di tepi sungai Huang-ho dan ayahku menjadi pedagang ikan. Aku sejak kecil sudah biasa bermain di Sungai Huang-ho, maka aku pandai berenang."
"Saudara Gui Song Cin, aku berterima kasih atas pertolongan tadi, juga atas pemberian pakaian ini. Aku bernama...."
"Engkau she Suma......"
Potong Song Cin dan Suma Eng tersenyum.
"Benar, aku she Suma dan namaku Eng. Aku biasa dipanggil Eng Eng."
"Dari manakah asalmu, Eng-moi (adik Eng). Aku boleh menyebutmu Eng-moi, bukan?"
"Hemm, boleh saja karena engkau tentu lebih tua. Usiaku baru delapan belas tahun. Engkau tentu lebih tua."
"Aku sudah dua puluh satu tahun. Dari mana engkau berasal dan siapakah erang tuamu, Eng-moi?"
"Orang tuaku tinggal ayahku saja. akan tetapi dia seorang perantau yang tidak diketahui di mana dia sekarang, Aku juga baru saja turun gunung, dari Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san."
"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama besar gurumu di sana, Eng-moi?"
Tanya Song Cin sambil menggantungkan matanya pada bibir gadis itu.
Betapa manisnya bibir itu, apalagi kalau tersenyum.
"Kuberitahu juga engkau tidak akan mengenalnya, Cin-ko (kakak Cin). Almarhum guruku itu berjuluk Hwa Hwa Cinjin, seorang pertapa di Puncak Ekor Naga di pegunungan Cin-ling-san."
"Hwa Hwa Cinjin? Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin kalau para suhu di Kun-lun-pai sudah mendengarnya."
"Tentu saja. Guruku itu dahulu terkenal sekali di dunia persilatan."
"Tentu gurumu itu sakti dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi."
"Tentu saja, Cin-ko. Kurasa tidak ada orang di dunia ini yang mampu menandingi mendiang guruku itu. Ayahku juga seorang yang terkenal di dunia kang-ouw. Ayah adalah murid keponakan dari mendiang Hwa Hwa Cinjin. Julukan ayah ku adalah Huang-ho Sin-liong, namanya Suma Kiang."
Suma Eng memperkenalkan dengan nada penuh kebanggaan.
Gui Song Cin mengerutkan alisnya.
"Huang-ho Sin-liong? Ah, aku pernah mendengar julukan itu dari guruku. Kabarnya dia seorang datuk yang menguasai Lembah Sungai Huang-ho, akan tetapi telah bertahun-tahun tidak pernah muncul !agi."
"Memang selama bertahun-tahun Itu ayahku merantau ke utara. Sekarang aku pun sedang mencarinya."
Percakapan terhenti dan suasana menjadi hening. Song Cin menatap wajah gadis itu dan ketika Suma Eng kebetulan juga memandangnya, dua pasang mata bertemu dan jantung Song Cin terguncang. Betapa indahnya sepasang mata itu! Dalam pandangannya, segala gerak gerik gadis itu amat mempesona, begitu cantik jelita dan manisnya seperti gambaran seorang bidadari! Terasa benar oleh Song Cin betapa dia sudah jatuh cinta ada gadis itu. Cinta mendatangkan khayalan yang muluk-muluk dan indah-indah. Padahal, pada hakekatnya cinta asmara adalah Nafsu yang terselubung pakaian yang svrba indah dan halus sehingga tampak bersih dan mengharukan. Cinta adalah Nafsu sex yang wajar, dan seperti biasanya nafsu selalu berpamrih.
Pamrihnya adalah kesenangan bagi dirinya sendiri, nafsu adalah aku yang ingin memiliki, ingin senang sendiri. Kalau kita meneliti kepada diri sendiri, mengamati dengan waspada "cinta"
Kita yang kita anggap suci dan mulia, maka akan tampaklah bahwa di balik semua kehalusan dan keindahan itu bersembunyi nafsu yang mengerikan. Kita mencinta pacar kita, bahkan isteri kita. Akan tetapi cinta kita itu berpamrih untuk kesenangan diri kita sendiri. Kalau si pacar atau isteri itu tidak mencinta kita, tidak melayani kita dengan baik, kalau tidak setia, ke manakah larinya cinta kita yang kita dengung-dengungkan itu? Bukan hanya akan lenyap, bahkan mungkin berganti benci! Cinta kita itu hanya seperti jual beli di pasar saja. Kita beli dengan cinta kita, akan tetapi kita minta balasan yang lebih lagi. Memang sebuah kenyataan yang pahit sekali.
Cinta asmara yang sejak dahulu dipuja-puja semua orang, sehingga nuncul istilah-istilah cinta suci, cinta murni dan sebagainya, setelah diamati benar-benar, ternyata hanyalah harimau berbulu domba! Cinta asmara tidak lain hanyalah gairah berahi, tidak lain hanyalah nafsu sex yang berpakaian indah. Apakah kalau begitu kita harus meniadakan cinta jelmaan nafsu sex ini? Tentu saja tidak, karena hal Itu tidak mungkin.
Sejak kita lahir, kita telah disertai nafsu nafsu, di antaranya nafsu sex. Akan tetapi nafsu ini hanyalah peserta, hanya pelayan, untuk melengkapi hidup ini karena tanpa adanya nafsu sex, manusia tidak akan berkembang biak. Kita dapat mempergunakan nafsu sex ini pada tempatnya yang wajar, misalnya dalam hubungan suami isteri. Akan tetapi kalau kita lengah, dan nafsu sex ini menguasai kita, mencengkeram hati akal pikiran kita, maka nafsu sex dapat menjerumuskan kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang sesat, seperti misalnya pelacuran, perjinahan, perkosaan. Seperti dengan nafsu-nafsu lain, nafsu sex merupakan peserta yang teramat penting bagi kehidupan, akan tetapi di lain pihak dia juga dapat menjerumuskan kita ke dalam malapetaka kalau kita sampai dicengkeramnya. Lalu bagaimana baiknya? Nafsu itu lawan akan tetapi juga kawan.
Nafsu itu kawan kalau kita mampu mengendalikannya, dan menjadi lawan kalau kita dikuasainya. Jadi jalan keluarnya, kita hanya dapat mengendalikannya. Akan tetapi mampukah kita? Mengendalikan nafsu apapun merupakan pekerjaan yang teramat sukar sekali, bahkan hampir tidak mungkin. Kalau kita hanya mempergunakan hati akal pikiran saja untuk mengendalikan, kebanyakan kita akan gagal karena hati-akal-pikiran sendiri sudah bergelimang nafsu sehingga bukannya mengendalikan nafsu, bahkan membela dan membenarkan nafsu. Semua pencuri di seluruh dunia ini tahu belaka bahwa mencuri itu tidak baik, akan tetapi mereka tidak dapat menghentikan perbuatan mereka karena hati akal pikiran mereka bahkan membela perbuatan mencuri itu dengan berbagai dalih. Karena terpaksa, karena ingin menghidupi keluarga, dan sebagainya lagi.
Satu-satunya jalan untuk dapat menguasai nafsu sendiri hanyalah datang dari Tangan Tuhan. Kita serahkan segalanya kepada Tuhan dan mohon bimbinganNya dan atas kehendakNya sajalah nafsu dalam diri kita dapat kita kuasai. Hati akal pikiran, yaitu kesatuan dari aku, hanya mengamati saja sambil pasrah kepada Kekuasaan Tuhan. Si aku tidak bergerak lagi, yang ada hanyalah Kewaspadaan, yaitu waspadadalam mengamati diri sendiri luar dalam, dengan mawas diri. Dalam menghadapi segala kepalsuan sebagai ulah nafsu ini, ada satu pegangan hagi batin untuk memperkuat diri.
Pegangan itu ialah Kewajiban. Kalau kita memegang teguh dan melaksanakan kewajiban dalam kehidupan, maka batin kita kuat menghadapi segala godaan dan serangan yang datangnya dari nafsu kital sendiri. Kewajiban itu ada di segala waktu. Kewajiban sebagai seorang anak, kewajiban sebagai seorang sahabat, kewajiban sebagai seorang kekasih, sebagai seorang suami atau isteri, sebagai se-orang ayah atau ibu, dan seterusnya.
Memenuhi semua kewajiban sambil menyerahkan diri kepada Kekuasaan Tuhan akan membuat kita menjadi manusia seutuhnya, menjadi manusia yang selalu memenuhi kewajiban,kewajiban sebagai manusia, sebagai warga negara dan bangsa. Gui Song Cin jatuh dalam perangkap cinta. Tidaklah aneh kalau dia jatuh cinta kepada Suma Eng. Sembilan dari sepuluh orang pria tentu akan mudah jatuh cinta kepada gadis itu karena gadis itu memang cantik jelita! Andaikata gadis itu buruk rupa, belum tentu Song Cin! akan jatuh cinta. Begitu perasaannya jatuh cinta, berarti dia telah memberi beban duka kepada batinnya.
Melihat gadis itu bangkit berdiri dan berkata.
"Nah, aku harus pergi sekarang', dia merasa terkejut dan juga khawatir. Dia akan ditinggalkan oleh orang yang membuatnya tergila gila ini! Dan hal ini, perpisahan ini, agaknya tidak mungkin dapat dicegah lagi. Dia akan merasa kesepian, rindu dan kehilangan!
"Eng-moi, engkau hendak pergi ke lanakah?"
Tanyanya cepat seolah hendak mencegah kepergian gadis itu dengan pertanyaan ini.
"Aku hendak mencari sarang dari para bajak sungai bertali rambut merah itu. Semua pakaian dan uangku habis, hanyut di sungai karena ulah mereka. Mereka arus membayar untuk semua kehilangan nu!"
Kata Suma Eng tegas.
Wajah Song Cin berseri penuh harapan.
"Apakah engkau sudah tahu di mana sarang bajak sungai itu, Eng-moi?"
Suma Eng memandang bingung dan nenggeleng kepalanya.
"Apakah engkau tahu, Cin-ko?"
Song Cin mengangguk.
"Aku tahu. Aku pernah mendengar tentang Bajak Ikat Rambut Merah ini. Mari kutunjukkan!"
"Bagus! Mari kita berangkat, Cin ko."
Dua orang itu segera pergi dari situ mendorong perahu dan naik ke perahu kecil itu, kemudian Song Cin mendayung perahu itu ke barat.
"Agaknya engkau mengenal daerah ini dengan baik, Cin-ko."
Kata Suma Eng.
"Tentu saja aku banyak mengenal tempat di sepanjang Sungai Huang-ho ini Kampung halamanku, dusun Si-tek-hui berada di tepi Huang-ho, tidak begitu jauh dari sini, dua hari perjalanan dengai perahu ke hilir."
"Jauhkah sarang bajak itu, Cin-ko?"
"Kalau aku tidak salah duga, sebelum sore kita sudah akan tiba di sana. Mereka mempunyai sebuah perkampungan bajak di tepi sungai. Akan tetapi setelah kita tiba di sana, apa yang hendak kau lakukan Eng-moi?"
"Apa yang hendak kulakukan terhadaf anjing-anjing itu? Tentu akan kubasmi mereka sampai habis, terutama pemimpin mereka, akan kubunuh!"
Song Cin merasa bulu tengkuknya berdiri. Alangkah ganasnya gadis ini.
"Akan tetapi, Eng-moi, engkau tidak boleh membunuh mereka semua!"
"Mengapa tidak boleh? Mereka itu teluh menggangguku, melenyapkan pakaian lan uangku, dan hampir saja membunuhku!"
Kata Suma Eng dengan penasaran.
"Memang mereka jahat dan pekerjaan ereka memang merampok. Akan tetapi ingatlah, mungkin mereka itu juga mempunyai anak isteri yang tentu akan menderita kalau engkau membunuhi ayah dan uami mereka."
"Hemm, kalau menurut engkau bagaimana?"
"Sebaiknya suruh saja mereka menyerah, mengembalikan atau mengganti milik mu yang hilang, kemudian mereka disuruh berjanji untuk bertaubat, sarangnya bakar dan mereka diharuskan kembali hidup sebagai rakyat yang baik. Kiranya itu sudah lebih dari cukup, Eng-moi."
"Kita lihat saja bagaimana sikap mereka nanti. Kalau mereka tidak mau menyerah dan menyerangku, tentu mereka akan kubunuh."
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku mendengar bahwa Bajak Ikat Rambut Merah memiliki seorang ketua yang lihai sekali, Eng-moi. Kita harus berhati-hati."
"Wah, aku tidak takut! Dan setelah aku menyamar sebagai pria, sebaiknya tempat umum engkau tidak menyebut aku Eng-moi. Sebutan itu tentu akan membuat semua orang terheran dan kemudian tahu bahwa aku seorang wanita Maka percuma saja penyamaranku."
Song Cin tersenyum dan mengangguk.
"Maafkan aku, engkau benar juga, Eng-moi...... eh, maksudku siauw-te (adik laki-laki)."
"Bagus, engkau harus menyebutku siauw-te. Aku mulai senang dengan penyamaranku ini. Mari kita percepat lajunya perahu agar cepat tiba di tempat tujuan."
Benar saja dugaan Song Cin. Matahari baru mulai condong ke barat ketika perahu mereka tiba di sebuah perkampungan yang berada di tepi sungai. Mereka melihat betapa perkampungan itu dikelilingi tembok yang tinggi dan ada pintu pagar yang besar menghadap ke sungai. Song Cin mendayung perahunya ke tepi dan menarik perahu itu ke darat, lalu mengikatkan tali perahu kepada sebuah batu besar. Kemudian kedua orang muda itu melangkah menghampiri pintu gerbang pagar itu. Baru saja mereka tiba di situ, enam orang yang memakai ikat kepala merah menyambut mereka dengan sikap garang.
Mereka semua memegang sebatang golok dan memandang kepada dua orang itu itu dengan sinar mata mengancam. Akan tetapi, seorang di antara mereka tadi ikut membajak dan biarpun ia tidak mengenal Suma Eng yang kini berpakai pria, dia masih mengenal Song Cin yang tadi menolong gadis itu dan merobohkan beberapa orang anak buah bajak sungai. Maka, dengan panik orang itu lalu kembali ke dalam pintu gerbang dan terdengarlah kentungan dipukul gencar sebagai tanda bahaya! Suma Eng dan Song Cin melihat betapa banyak orang berlari lari dari dalam pintu gerbang menuju keluar dan sebentar saja mereka berdua telah dikepung oleh kurang lebih tiga puluh orang anak buah bajak sungai, Akan tetapi agaknya para bajak sungai itu masih menunggu komando, karena mereka tidak segera mengeroyok dan menyerang, melainkan mengepung saja dengan ketat.
Suma Eng bersikap tenang saja. Ia bahkan tersenyum-senyum melihat pengepungan itu dan ia membiarkan Song Cin yang menghadapi mereka. Ia hendak melihat bagaimana pemuda itu akan menghadapi para bajak. Kalau menurut ia, ingin rasanya ia bergerak mengamuk membunuhi para bajak yang mengepungnya ini, akan tetapi karena ada Song Cin di situ iapun menyerahkan saja kepada pemuda itu.
"Kami berdua hendak bicara dengan ketua kalian!"
Kata Song Cin dengan sikap gagah.
"Akulah ketuanya!"
Terdengar suara parau dan muncul seorang laki-laki yang bertubuh pendek gendut, bermuka bundar dan tampaknya lucu dan kekanak-kanakan, akan tetapi melihat sepasang mata-yang bersinar tajam, dapat diduga bahwa dia adalah seorang yang memiliki kepandaian dan kecerdikan. Hal inipun dapat diduga melihat kenyataan bahwa ia dapat menjadi kepala dari segerombolan bajak sungai yang ganas. Tanpa memiliki ilmu kepandaian tinggi bagaimana mungkin dia dapat memimpin segerombolan bajak yang terdiri dari puluhan orang? Pakaian kepala bajak itu terbuat dari kain tebal dan bersih, berwarna biru, Rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan pita merah. Di punggungnya tampak sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Kakinya memakai sepatu satin sebatas bawah lutut dan di pinggangnya terdapat sederetan senjata rahasia pisau pendek atau belati, berjumlah tiga belas batang. Penampilannya lucu, akan tetapi juga menyeramkan. Song Cin mengamati kepala bajak itu, Dia sudah mendengar bahwa bajak sungai Ikat Kepala Merah mempunyai seorang pemimpin yang lihai. Agaknya inilah orangnya.
"Sobat,"
Kata Song Cin.
"Kami berdua datang untuk berdamai dengan kalian."
Kepala bajak sungai itu berjuluk Huang-ho Tiat-go (Buaya Besi Sun Huang-ho) dan bernama Lo Kiat. Mendengar ucapan Song Cin, dia memandang heran lalu tertawa bergelak sambil menengadah sehingga tampak perut gendut di balik baju itu bergoyang-goyang. Dia telah mendengar tentang kegagalan anak buahnya membajak seorang wanita, dan tadi menerima laporan bahwa pemuda yang bicara itu adalah orang yang menolong wanita yang terbajak itu. Tentu saja dia merasa heran mengapa orang itu kini datang mengajak berdamai!
"Ha-ha-ha, kalian datang mengajak berdamai? Apa maksudmu?"
"Maksudku begini. Pagi tadi anak buahmu telah mencoba untuk merampok orang nona dan anak buahmu dihajar ampai kocar-kacir. Akan tetapi nona itu kehilangan buntalan berisi pakaian dan uangnya. Sekarang, saudara ini, adik dari nona itu, bersama aku datung untuk minta kerugian kepada kalian yang telah membuat buntalan itu hilang. Kalau kalian menyerah dan mengganti kerugian itu, kamipun tidak akan mengganggu kalian."
"Ha-ha-ha, enak saja engkau bicara, telah membunuhi beberapa orang anak buah kami, sekarang datang malah menuntut kerugian! Kalau kami menolak bagaimana?"
"Kalau menolak kami akan membasmi dan membunuh kalian semua!"
Tiba-tiba Suma Eng yang sudah tidak sabar lagi berkata dengan suara dibesarkan.
Mendengar ucapan ini, kepala bajak itu menjadi marah sekali. Sepasang matanya seperti memancarkan sinar berapi mukanya berubah merah dan kedua tangannya dikepal. Juga para bajak yan mengepung menjadi marah dan mereka mengacung-acungkan goloknya dengan sikap mengancam.
"Singgg.....!"
Huang-ho Tiat - go Lo Kiat mencabut pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, jari telunjuk kirinya ditudingkan ke arah muka Suma Eng.
"Bocah lancang mulut! Agaknya engkau telah bosan hidup maka berani mengeluarkan kata-kata sombong! Berani engkau mengancam Huang-ho Tiat-go Lo Kiat yang menguasai seluruh Lembah Huang-ho ini!"
"Hah, segala Bo-bwe Jau-go (Buaya Jahat Tanpa Ekor) berani bicara besar! Engkaulah yang bosan hidup dan biarlah yang akan mengantarmu ke dasar neraka!"
Kata pula Suma Eng sambil tersenyum lebar mengejek. Dapat dibayangkan betapa marahnya Huang-ho Tiat-go Lo Kiat. Dia merasa dipandang rendah sekali, dimaki-maki di depan anak buahnya!
"Serbuu! Bunuh.....!!"
Dia membentak memberi aba-aba kepada anak buahnya dan dia sendiri sudah menerjang Suma Eng, diturut oleh anak buahnya. Sekali- tidak kurang dan enam orang menyerang Suma Eng dengan golok mereka. Sedangkan Song Cin pun tidak terluput dari pengeroyokan. Sebetulnya Lo Kiat ingin menghadapi Song Cin yang menurut anak buahnya merupakan seorang yang lihai.
Akan tetapi karena panas dan marah sekali terhadap Suma Eng, dia menyerang gadis yang menyamar pemuda itu yang belum diketahui bagaimana kepandaiannya. Melihat tujuh orang menyerangnya itu Lo Kiat dan enam orang anak buahnya, Suma Eng bersikap tenang saja. lalu mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya, berkelebat dan lenyap dari depan mereka yang mengeroyoknya! Selagi tujuh orang itu terkejut dan bingun Suma Eng telah berada di belakang mereka dan sekali kedua tangannya menyambar, dua orang pengeroyok roboh dan berkelojotan karena mereka terkena pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Deiaci Pencabut Nyawa)' Huang-ho Tiat-go Lo Kiat menjadi terkejut setengah mati nelihat ini. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian lihai dan ganasnya. Maka diapun Ia menyerang dengan pedangnya. Serangannya seperti kilat menyambar dan bukan saja cepat melainkan juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Melihat serangan ini berbahaya juga, Suma Eng melompat ke belakang sambil meraba pedangnya.
"Singgg.....!"
Sinar kehijauan berkelebat ketika Ceng-liong kiam tercabut dari sarungnya. Lo Kiat cepat mengejar dan menyerang lagi dengan dahsyat. Suma Eng menangkis dengan pedangnya.
"Tranggg......"' Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua pedang bertemu. Ternyata pedang di tangan Lo Kiat tidak rusak dan hal ini saja membuktikan bahwa pedangnyapun sebatang pedang yang ampuh dan baik. Suma Eng balas menyerang namun dapat dielakkan pula oleh si gendut pendek. Ternyata, biarpun tubuhnya gendut pendek, Lo Kiat dapat bergerak dengar cepat sekali. Para anak buahnya kini mengepung Suma Eng dan menyerang dari segala penjuru.
"Tranggg.....!"
Pedang Suma Eng membabat berputar menangkis banyak golok dan dua batang golok menjadi patah karenanya. Patahnya golok disusul menyambarnya sinar hijau dan dua orang anggauta bajak yang kehilangan golok itu berteriak dan roboh mandi darah, tewas seketika! Para pengeroyok menjadi gentar. Hanya Lo Kiat yang masih menyerang dengan dahsyat, sedangkan yang lain hanya mengepung sambil mengacung-acungkan golok saja. Song Cin sibuk sekali. Dia dikeroyok oleh belasan orang anak buah bajak! Pemuda ini memainkan pedangnya dengan hati-hati dan dengan tenaga terbatas karena dia tidak mau main bunuh. Sudah ada empat orang roboh oleh pedangnya akan tetapi tidak satnpun mati, akan tetapi pengeroyokan masih saja ketat dan di dihujani serangan golok. Terpaksa pemuda tokoh Kun-lun-pai ini memutar pedangnya melindungi diri.
Sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi perisai, seolah-olah tubuhnya terlindung benteng baja yang mengelilinginya sehingga dari arah manapun golok menyerang, golok itu selalu bertemu dengan
(Lanjut ke Jilid 11)
Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
tangkisan pedang yang kokoh kuat. Akan tetapi karena pengereyoknya banyak sekali, bahkan kini yang tadinya membantu Lo Kiat juga ikut mengeroyok Song Cin sehingga jumlah mereka hampir tiga puluh orang, Song Cin menjadi repot juga. Kalau dia mempergunakan kekejaman membunuh mereka, kiranya dia masih akan merobokan sebanyak -banyaknya pengeroyok.
Namun pemuda tokoh Kun-lun-pai itu sudah menerima gemblengan dari para tosu Kun-lun-pai, bukan hanya gemblengan ilmu silat, akan tetapi juga gemblengan batin maka dia tidak tega untuk sembarangan membunuhi para anak buah para bajak sungai. Sedapat mungkin dia hanya merobohkan mereka dengan tendangan, tamparan tangan kiri atau kalau merobohkan dengan pedangnya, dia tidak melukai bagian tubuh yang membahayakan nyawa, hanya melukai paha, pundak dan sebagainya. Pertandingan antara Suma Eng dan Lo Kiat berjalan semakin seru. Kepala bajak itu merasa semakin terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa lihainya "pemuda"
Itu. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, bahkan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun sama sekali dia tidak mampu mendesak lawannya yang amat muda itu. Ilmu pedang pemuda itu amat aneh dan memiliki perubahan-perubahan yang sama sekali tidak dapat dia menduganya.
Beberapa kali hampir saja dia menjadi korban pedang bersinar hijau itu dan yang menggemasan hatinya, setiap kali dia nyaris terkena pedang, pemuda itu tertawa mengejek, Lo Kiat mengerahkan tenaganya dan membacok dari kanan ke kiri. Pedangnya membabat ke arah pinggang lawan dan gerakan ini dilakukan cepat sekali karena dia mengerahkan seluruh tenaganya. Melihat serangan yang berbahaya ini, Suma Eng mengelak ke belakang sehingga babatan pedang Lo Kiat luput.
Akan tetapi pada saat itu yang memang sudah diperhitungkan oleh kepala bajak sungai itu Lo Kiat menggunakan tangan kirinya, berulang-ulang mencabut pisau belati dan setiap kali tangan kirinya bergerak, sebatang hui-to (pisau terbang) menyamba ke arah bagian tubuh yang mematikan dari Suma Eng. Mula-mula pisau pertama menyambar ke arah muka. Ketika Suma Eng mengelak, pisau kedua sudah menyambar ke arah lehernya! Kembali gadis itu mengelak dan pisau ke tiga dan ke empat sudah cepat menyambar ke arah kedua pundak, lalu pisau ke lima menyambar ke ulu hati! Suma Eng menjadi gemas dan kini ia memutar pedangnya menangkis. Biarpun tiga belas batang pisau menyambar secara bertubi-tubi dan mengarah bagian tubuh yang berbahaya, tapi Suma Eng dapat menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan. Marahlah gadis itu.
"Buaya darat, sudah habiskah pisau terbangnya? Nah, sekarang nyawamu yang habis!"
Bentak Suma Eng dan tubuhnya meluncur bagaikan terbang, pedangnya menyerang ke arah dada lawan dengan kecepatan kilat.
"Wuuuuuuttt...... trang.....!!"
Pedang Suma Eng ditangkis sehingga terpental, akan tetapi cepat sekali pedang itu membalik dan kini dari menusuk menjadi membabat pinggang! Lo Kiat cepat melompat ke belakang sehingga babatan pedang itu luput, akan tetapi kembali pedang itu sudah menyambar ke arah lutut kanan! Diserang serara bertubi-tubi itu, Lo Kiat menjadi terdesak juga. Dengan pedangnya dia menangis pula, akan tetapi karena keadaannya udah terdesak, dia tidak mampu menghindar lagi ketika tangan kiri Suma Eng membarengi serangan pedang ke lutut itu dan menampar ke arah dadanya.
"Tranggg...... plakkk..... auughhh.....!!"
Tubuh Lo Kiat terjengkang, mulutnya muntahkan darah segar dan matanya mendelik. Dia tewas seketika terkena pukulan Toat-beng Tok-ciang yang amat ampuh dan keji. Suma Eng memandang kepala bajak itu, kemudian ia mendengar ribut-ribut dari belakangnya. Ketika ia menengok, ia melihat Song Cin dikeroyok banyak sekali orang yang mengeroyoknya sambil berteriak-teriak dan ternyata Song Cin terdesak oleh pengeroyokan demikian banyaknya orang. Melihat ini, Suma Eng lalu melompat ke depan, ringan dan cepat sekali lompatannya. Begitu tiba di luar kepungan, ia mengamuk dengan pedangnya dan dalam beberapa detik saja empat orang telah roboh mandi darah dan tewas seketika! Para pengeroyok itu terkejut sekali dan ketika mereka melihat betapa ketua mereka telah roboh dan tewas, pembantu ketua yang bertubuh tinggi besar itu segera berseru nyaring.
"Lari.....!"
Akan tetapi baru saja mulutnya mengeluarkan teriakan itu, diapun mengaduh dan roboh mandi darah, lehernya kena disambar pedang di tangan Suma Eng. Melihat ini, para anak buah bajak sungai menjadi semakin panik dan tanpa dikomando lagi mereka lalu melarikan diri cerai berai tanpa menoleh lagi. Sebagian besar dari mereka lari ke arah sungai dan menceburkan diri, selanjutnya mereka menjauhkan diri dengan berenang dan ada yang sempat menaiki perahu mereka yang bercat hitam.
"Mari kita geledah sarang mereka lalu basmi sarang itu!"
Ajak Suma Eng ke pada Song Cin yang hanya menurut saja, Masih mending bahwa gadis itu tidak membunuh semua bajak, pikirnya. Ngeri juga hatinya membayangkan keganasan gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu. Mereka memasuki perkampungan bajak dan tercenganglah hati Suma Eng ketika melihat bahwa di situ terdapat banyak wanita dan kanak-kanak. Ternyata apa yang dikatakan Song Cin benar.
Para bajak itu ada yang mempunyai isteri dan anak-anak. Anak-anak yang tidak berdaya! Melihat para isteri bajak itumemandang dengan wajah pucat dan ketakutan, Suma Engberkata kepada mereka.
"Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian. Kalau ada suami kalian yang tewas dalam pertempuran, itu adalah kesalahan suami kalian sendiri yang menjadi bajak sungai. Yang suaminya belum tewas, bujuklah suami kalian agar jangan menjadi bajak lagi, sedangkan yang suaminya tewas, kuburkan dengan baik-baik dan hiduplah sebagai orang baik-baik. Sekarang katakan di mana rumah yang ditinggali kepala bajak Huang-ho Tiat-go Lo Kiat."
Para wanita itu menunjuk sebuah rumah yang terbesar di perkampungan itu. Suma Eng lalu memasuki rumah itu dan tiga orang isteri kepala bajak itu menjatuhkan diri mereka berlutut.
"Ampunkan kami, tai-hiap (pendekar besar).....!"
Mereka memohon kepada Suma Eng dan Song Cin.
"Jangan takut, kalian tidak bersalah, kami tidak akan mengganggu kalian. Sekarang tunjukkan tempat penyimpanan harta Lo Kiat, dia mempunyai hutang padaku yang harus dibayarnya."
Tiga orang wanita itu lalu menunjukkan kamar suami mereka dan harta itu disimpan dalam sebuah peti besar. Suma Eng membuka peti itu dan ternyata berisi si emas, perak dan permata yang banyak sekali.
"Jangan khawatir, aku bukan perampok! Akan tetapi ketika aku diganggu anak buah suamimu, barang milikku hanyut di sungai. Karena itu suamimu harus membayar kembali barang-barangku yang hilang!"
Suma Eng lalu mengambil beberapa potong emas untuk mengganti uangnya yang hilang dan mengambil beberapa potong perak untuk membeli pakaian pengganti pakaiannya yang hilang. Dibuntalnya emas dan perak itu ke dalam sehelai kain berwarna biru dan ia lalu menoleh kepada Song Cin.
"Cin-ko, engkau boleh mengambil sebagian dari harta ini kalau engkau membutuhkannya untuk bekal dalam perjalanan. Wajah Song Cin berubah kemerahan dia menggeleng kepalanya.
"Aku masih mempunyai bekal, Eng..... siauwte,"
Jawabnya cepat karena hampir dia menyebut Eng-moi lagi,
"Dan para bajak itu tidak berhutang apapun kepadaku."
"Hei, kalian bertiga,"
Kata Suma Eng kepada tiga orang isteri Lo Kiat.
"Ada beberapa orang bajak yang mati dan karena mati dalam membela suami kalian, maka sudah sepatutnya kalau kalian mengeluarkan biaya untuk membantu penguburan mereka. Kuharap kalian dapat membujuk para bajak yang masih hidup agar mereka mengubah jalan hidup mereka. Menjadi petani tersedia tanah yang amat subur di Lembah Huang-ho, menjadi nelayanpun Sungai Huang-ho menyediakan ikan yang amat banyak. Mengertikah kalian?"
"Baik, baik, tai-hiap."
Kata tiga orang isteri Lo Kiat itu dengan berbareng. Di sebelah Suma Eng, Song Cin mendengarkan dan wajahnya berseri.
Gadis ini pada dasarnya bukan seorang yang berhati kejam dan ganas, pikirnya. Dapat memaafkan para isteri bajak, bahkan menasihatkan mereka agar membujuk para bajak yang masih hidup agar menjadi orang baik-baik. Dan ketika mengambil sebagian uang, iapun hanya mengambil sebagia kecil saja sesuai dengan uangnya yang hilang, tidak mempergunakan kesempatan itu untuk mengambil sebanyaknya. Bahkan tidak sepotongpun perhiasan permata ia ambil. Gadis itu tidaklah sekeras seperti yang diperlihatkannya. Agaknya ia hanya terpengaruh lingkungan, seperti batu permata di antara batu-batu biasa berdebu. Kalau digosok, tentu debunya hilang dan akan tampak kecemertangnya.
"Tadinya kami bermaksud hendak membakar sarang para bajak ini, akan tetapi melihat kalian para wanita dan kanak-kanak, kami tidak melakukan pembakaran. Akan tetapi kalau lain kali kami lewat di sini dan para bajak masih melakukan pekerjaan jahat itu, terpaksa kami akan membakar perkampungan ini!"
Kata lagi Suma Eng kepada para wanita itu yang hanya mampu mengangguk-angguk ketakutan.
"Mari, Cin-ko, kita pergi dari sini."
Kata pula Suma Eng dan Song Cin mengangguk. Dua orang muda itu lalu pergi dari perkampungan itu. Setelah tiba di dekat sungai dan melihat gadis itu menanti, Song Cin berkata.
"Eng-moi,"
Dia berani menyebut demikian karena di situ tidak terdapat orang lain.
"Silakan naik ke perahuku."
Dia mendorong perahunya memasuki air, dan memegangi tali perahunya.
"Tidak, Cin-ko. Kita berpisah di sini. Kita mempunyai urusan masing-masing."
Song Cin memandang dengan wajah berubah agak pucat. Mendengar bahwa ia harus berpisah dari gadis itu membuat perasaannya terasa nyeri dan begitu tiba-tiba datangnya. Sebelumnya dia tidak pernah membayangkan akan berpisah dari gadis yang dicintanya itu.
"Tapi..... tapi, Eng-moi. Tidak dapatkah kita melakukan perjalanan bersama?"
"Tidak, Cin-ko. Aku akan pergi mencari ayah dan mencari pengalaman, sedangkan engkau tentu mempunyai urusanmu sendiri."
"Akan tetapi, aku juga sedang merantau dan akan kubantu engkau mencari ayahmu, Eng-moi."
Song Cin membantu karena dia tidak ingin berpisah.
Akan tetapi Suma Eng menggeleng kepalanya.
"Terima kasih, Cin-ko. Akan tetapi aku hendak mencarinya sendiri. lagi Pula, aku ingin mencari pengalaman se-orang diri. Juga apabila aku bertemu dengan ayah dan dia melihat aku melakukan perjalanan denganmu, mungkin dia akan marah kepadaku."
Song Cin menghela napas panjang. Baru teringat dia sekarang bahwa sesungguhnya memang tidak pantas bagi Suma Eng, seorang gadis belia, melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang pria yang bukan anggauta keluarganya, bahkan baru saja dikenalnya! Baru dia melihat kejanggalan itu dan sebagai seorang yang terdidik baik, dia maklum dan mengerti akan penolakan Suma Eng untuk melakukan perjalanan bersama.
"Eng-moi, aku..... tidak akan melupakanmu."
Suma Eng adalah seorang gadis yang masih hijau dan ia tidak dapat menangkap getaran suara pemuda itu, menganggap ucapan itu seperti ucapan biasa saja. Maka iapun menjawab dengan senyum ramah.
"Akupun tidak akan melupakanmu, Cin-ko."
Bagi Song Cin, jawaban ini menyenangkan sekali. Dia sendiripun seorang pemuda yang belum pernah jatuh cinta dan sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam bercinta. Akan tetapi mendengar betapa gadis yang dicintainya itu tidak akan melupakannya, dia merasa gembira sekali!
"Aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, dan aku akan merindukanmu, Eng-moi."
Ucapan yang jelas menunjukkan perasaan cinta inipun tidak dimengerti oleh Suma Eng yang menganggapnya bagai ucapan ramah dan biasa.
"Akupun akan mengenangmu sebagai eorang yang baik sekali dan sudah menyelamatkan aku diri ancaman maut, Cin-ko."
"Eng-moi, kalau hari ini kita berpisah,kapankah kita dapat bertemu kembali?"
"Sekali waktu kita pasti akan dapat bertemu kembali, Cin-ko. Nah selamat tinggal, aku hendak melanjutkan perjalananku."
"Selamat jalan dan selamat berpisah Eng-moi......"
Suara Song Cm terdengar hampa dan lirih. Suma Eng membalikka tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pemuda itu. Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, Song Cin memanggilnya.
"Eng-moi......!"
Suma Eng menoleh dan ia melihat Song Cin berlari menghampirinya.
"Ada apakah, Cin-ko?"
"Eng-moi, engkau jagalah dirimu baik-baik, Eng-moi. Dan jangan sekali-kali membiarkan dirimu terpancing naik perahu. Engkau tidak pandai bermain di air sedangkan orang-orang jahat itu licik sekali."
Kata Song Cin dengan nada suara penuh kekhawatiran. Suma Eng tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Tidak lagi, Cin-ko. Sekali saja sudah cukup bagiku. Aku tidak akan naik perahu dengan orang yang belum kukenal keadaannya. Nah, selamat tinggal."
"Selamat jalan, Eng-moi."
Song Cin memandang gadis itu dengan wajah muram dan pandang matanya sayu. Dia merasa seolah-olah sukmanya terbawa pergi oleh gadis itu. Dia mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya sampai gadis itu lenyap di sebuah tikungan.
Dan dia merasa begitu kehilangan, begitu kesepian seolah-olah hanya hidup seorang diri saja di dunia yang mendadak menjadi sepi ini. Kalau dia seorang anak-anak, tentu dia akan menangis sedih. Dengan langkah gontai dia kembali menghampiri perahunya, mendorong lagi perahunya ke air, kemudian duduk di dalam perahu, tanpa menggerakkan dayung dan duduk saja di situ sambil melamun.
Perahunya bergoyang-goyang lirih dan Song Cin memejamkan mata karena di depan matanya yang terbayang hanyalah wajah Suma Eng dengan matanya yang bening indah, mulutnya yang bibirnya merah basah berbentuk gendewa terpentang itu. Semakin dikenang, semakin rindu rasa hatinya. Kini teringat dan terbayanglah semua kenangan itu, terutama sekali di waktu dia menolong gadis itu dengan pernapasan, merapatkan mulutnya dengan mulut gadis itu dan meniup kuat-kuat! Kalau dulu di waktu melakukannya dia tidak membayangkan yang bukan-bukan,! kini ketika perbuatan itu dikenangnya, teringatlah dia akan peristiwa itu sampai hal yang sekecil-kecilnya, betapa hangat dan lunak bibir itu! Betapa manis kenangan itu dan timbullah berahinya terhadap Suma Eng.
"Ahhh, Eng-moi.....!"
Dia mengeluh berkali-kali sambil membisikkan nama itu dengan mesra. Sumber segala macam perasaan, malu, senang, sedih, marah, duka timbul dari pikiran yang mengenang-ngenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan.
Mengenangkan masa lalu menimbulkan duka, kemarahan atau rasa malu. Membayangkan masa depan menimbulkanrasa takut atau khawatir. Karena itu, tidak ada gunanya mengenangkan masa lalu dan membayangkan masa depan. Yang terpenting adalah masa kini, sekarang, saat ini. Hidup adalah saat demi saat yang kita hadapi, seperti apa adanya, kesunyataannya. Kalau kita menghadapi segala sesuatu yang datang pada saat ini dengan penuh kewaspadaan, dengan mawas diri dan dengan penuh kepasrahan kepada Tuhan di samping tindakan kita yang keluar secara spontan, maka kita akan dapat menanggulangi setiap masalah yang timbul. Suka dukanya sebab dari timbulnya pikiran yang mengunyah-ngunyah permasalahan. Kita harus berani menghadapi segala permasalahan yang timbul dengan penuh ketabahan, tidak melarikan diri, melainkan menghadapinya dan mengatasinya.
Itulah seni kehidupan. Menghadapi kenyataan dan mengatasinya! Kenyataan hidup adalah suatu kewajaran, tidak baik maupun untuk selama si-aku tidak muncul dan menilai-nilai, membanding-bandingkan, menyesuaikan dengan kepentingan diri sendiri, dengan dasar diuntungkan atau dirugikan, disenangkan atau tidak disenangkan. Kalau kita hanyut dalam ulah si-aku yang bukan lain adalah nafsu yang mengaku-aku, maka kita akan terombang-ambing di antara suka dan duka, di mana kenyataannya, lebih banyak duka ketimbang suka.
Pemuda itu berpakaian sederhana seperti seorang pemuda petani biasa, namun pakaian itu bersih dan rapi. Bentuk tubuhnya sedang dan tampak kuat ketika dia berjalan dengan langkah seperti langkah seekor harimau. Langkahnya begitu ringan namun membayangkan kekuatan yang kokoh. Wajahnya tampan dan menarik dengan sepasang mata mencorong penuh wibawa namun juga sinarnya lembut, hidungnya mancung dan bibirnya selalu terhias senyum terbuka dan ramah. Di punggungnya tergendong sebuah buntalan kain kuning yang berisi pakaian.
Pemuda itu melangkah dengan tenang dan gagahnya menyusuri Sungai Fen Ho. Tadinya dia berjalan biasa saja ketika masih berpapasan dengan orang-orang yang melakukan perjalanan melalui jalan itu. Akan tetapi setelah jalan itu sunyi dan dia hanya berjalan seorang diri, setelah menengok ke depan belakang dan tidak melihat adanya orang lain, dia lalu melompat dan lari cepat sekali seperti terbang! Kalau ada yang melihatnya, tentu orang itu terkejut dan baru mengetahui bahwa pemuda yang berpakaian dan bersikap sederhana itu sesungguhnya merupakan seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pemuda yang agak jangkung itu adalah Han Lin atau Cheng Lin Seperti telah kita ketahui, Han Lin disuruh turun gunung oleh kedua orang gurunya, yaitu Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian Hwesio.
Dia melakukan perjalanan merantau sambil mengemban tugas yang berat dan banyak. Pertama, tentu saja dia harus melakukan sepak-terjang sebagai seorang pendekar yang berkepandaian silat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, untuk menentang si-jahat yang menindas dan untuk membela si-lemah yang tertindas. Kedua, dia harus mencari A-seng dan merampas kembali Suling Pusaka Kemala yang dicuri oleh pemuda berhati palsu dan jahat itu. Ke tiga, gurunya Bu-beng Lo-jin berpesan agar mencoba peruntungannya untuk mencabut pedang Im-yang kiam peninggalan Panglima Kam Tio yang gagah perkasa dan setia kepada negara dan bangsa.
Ke empat, dia harus bertemu dengan ayah kandungnya, yaitu Kaisar Cheng Tung dan melihat bagaimana sikap kaisar itu kalau bertemu dengan dia dan menegur ayah kandungnya yang sama sekali melupakan ibu kandungnya itu. Dan ke lima, walaupun agaknya hal ini sia-sia belaka, dia harus menyelidiki apakah ibu kandungnya benar-benar sudah tewas ketika terjerumus ke dalam jurang. Ucapan-ucapan Cheng Hian Hwesio menimbulkan harapan baru dalam hati kalau kalau ibu kandungnya masih hidup. Masih ada satu hal lagi sebagai yang ke enam, yaitu dia akan mencari Huang ho Sin-liong Suma Kiang yang telah menyebabkan ibunya tewas dalam jurang, lihat keadaan orang itu.
Kalau masih saja merupakan seorang yang jahat, tentu ia akan turun tangan menghajarnya, kalau perlu membunuhnya, bukan semata untuk membalaskan sakit hati ibunya, melainkan terutama sekali untuk membasmi orang jahat yang membahayakan manusia lain itu.
Pagi hari itu amat indahnya. Biarpun ia berlari cepat, Han Lin yang selalu waspada itu, dapat menikmati keindahan alam itu. Air sungai mengalir tenang, menampung bayang-bayang pohon-pohon dari sepanjang tepi yang ditimbulkan oleh sinar matahari pagi. Air sungai berkeriput dalam alirannya, kadang memecah ketika bertemu batu besar yang menonjol dari permukaan air. Karena sudah jauh meninggalkan sumber mata airnya, maka air yang dulunya bersil jernih itu sekarang telah berubah keruh kekuningan bercampur segala macam kotoran yang ditampungnya di sepanjang perjalanan dari sumber air menuju ke Sungai Huang-ho dimana Sungai Fen-ho membaurkan diri-nya. Burung-burung berkicau di dahan dan ranting-ranting pohon, di antara daun daun hijau, siap untuk melaksanakan pekerjaan mencari makan di hari itu. beberapa ekor kelinci dengan ketakutan dan tergesa-gesa menyusup ke dalam semak-semak ketika Han Lin lewat dan pemuda itu tersenyum sendiri. Dalam keadaan dan waktu lain, mungkin saja dia menangkap seekor kelinci gemuk untuk sarapan pagi.
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo