Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 12


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Karena itu, pedang Im-yang-kiam itu menjadi terkenal sekali dan hampir setiap orang berbondong-bondong datang, ada yang hanya ingin menyaksikan, juga ada yang ingin mencoba peruntungannya untuk mencabut pedang pusaka itu. Karena para jagoan istana dan para datuk gagal mencabut pedang Im-yang-kiam, muncul anggapan bahwa pedang itu bertuah dan hanya orang yang berjodoh dengan pedang itu saja yang akan mampu mencabutnya. Hari itu telah siang,matahari sudah berada di atas kepala condong ke selatan. Orang-orang yang berdatangan di tempat itu sudah cukup banyak. Tidak kurang dari tiga puluh orang. Akan tetapi sebagian besar dari mereka hanya ingin menonton.

   Han Lin dan Kiok Hwa juga tiba di tempat itu. Mereka telah melakukan perjalanan bersama selama beberapa hari. Selama dalam perjalanan itu, Kiok Hwa mendapat kenyataan bahwa Han Lin adalah seorang pemuda yang selalu sopan terhadap dirinya. Ketika mereka tiba di tempat itu, merekapun menggabungkan diri dengan mereka yang ingin menonton pertunjukan ang menarik itu. Pada saat itu, seorang bertubuh tinggi besar dengan muka penuh brewok dengan langkah tegap menghampiri batu besar di mana pedang Im-yang-kiam menancap. Dia memandang ke kanan kiri sambil tersenyum, seolah dia sudah yakin akan mampu mencabut pedang itu. Lalu ditanggalkan bajunya yang hitam. Dengan bertelanjang dada dia menghadapi gagang pedang itu.

   "Waaaahhhh......!"

   Banyak orang mengeluarkan seman kagum ketika melihat tubuh dari pinggang ke atas itu. Tampak otot besar menggembung melingkari tubuh itu. Tubuh yang amat kokoh kuat dan melihat bentuk tubuh seperti itu mudah diduga bahwa orang itu tentu memiliki tenaga raksasa! Semua orang menonton dengan hati tegang. Agaknya orang inilah yang akan mampu mencabut pedang itu.

   Setelah memberi waktu cukup lama untuk memamerkan otot-ototnya, sambil tersenyum si tinggi besar brewokan itu lalu memegang gagang pedang dengan tangan kirinya. Dia hendak pamer bahwa hanya dengan tangan kiri saja dia pasti sudah akan dapat mencabut keluar pedang itu. Semua orang memandang sambil menahan napas. Setelah memegang gagang pedang dengan tangan kirinya, dia berseru dengan nyaring.

   "Hyaaaaaaatttt......!"

   Dia mengerahkan segala tenaganya pada tangan kiri dan menarik pedang itu. Akan tetapi pedang itu sama sekali tidak bergoyang, apalagi tercabut keluar! Beberapa kali dia mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka. Dengan penasaran dia menggunakan kedua tangannya, menarik dan mengeluarkan suara ah-ah uh-uh. Sia-sia, pedang itu tidak dapat tercabut. Si tinggi besar brewokan ini semakin penasaran. Dia berusaha terus sampai peluhnya membasahi badan dan dadanya berkilauan, napasnya terengah-engah. Akhirnya dia menyerah dan terdengar suara tawa di sana-sini. Sambil menyambar bajunya dan menundukkan mukanya, si tinggi besar itu pergi meninggalkan tempat itu.

   Para penonton ramai membicarakan kegagalan demi kegagalan yang terjadi sejak pagi tadi. Sudah ada belasan orang yang gagal. Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, berpakaian seperti seorang tosu, melangkah maju menghampiri Im-yang-kiam. Orang itu bertubuh sedang saja, sama sekali tidak tampak kokoh kuat seperti si tinggi besar tadi. Gerak-geriknya bahkan tenang sekali, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam membuat orang yang bertemu pandang dengannya dapat menduga bahwa orang ini "berisi"!

   Dengan langkah tenang dan penuh kepercayaan pada diri sendiri, tosu (pendeta To) itu menghampiri batu besar. Sejenak dia memandang gagang pedang itu. Ronce-ronce merah pada gagang pedang itu sudah kotor dan lapuk, saking lamanya berada di situ, kehujanan dan kepanasan. Kemudian tosu itu memegang gagang pedang dan diam tak bergerak. Dia mengumpulkan segala kekuatannya dan mengerahkan tenaga saktinya. Kemudian, dia menarik sekuat tenaga.

   "Haaiiiiittttt!"

   Dia berseru sambil menarik. Akan tetapi sia-sia belaka. Pedang itu seolah telah melekat menjadi satu dengan batu. Tiga kali dia mengerahkan tenaga dan mencoba untuk menarik, namun selalu gagal. Akhirnya dia melepaskan pegangannya, memandang kepada gagang pedang dengan alis berkerut, lalu pergi dengan muka merah.

   Dua orang tinggi besar yang kelihatan kasar kini maju dan mereka meraba batu besar, seperti hendak mendorong atau membongkarnya. Akan tetapi sebelum mereka membongkar, dua losin perajurit sudah mengepung mereka. Komandannya berkata.

   "Dilarang keras untuk membongkar batu-batu ini. Bacalah pengumuman itu!"

   Dia menunjuk ke batu di sebelah. Dua orang itu memandang ke arah yang ditunjuk dan ternyata pada batu itu terdapat ukir-ukiran huruf yang cukup jelas.

   "Siapapun juga diperbolehkan untuk mencoba peruntungan mencabut Im-yang-kiam. Akan tetapi dilarang keras untuk membongkar batu-batu untuk mendapatkan pedang itu."

   Demikianlah bunyi huruf-huruf yang terukir di situ. Dua orang itu mengerutkan alisnya, akan tetapi karena maklum bahwa kalau mereka memaksa, selain belum tentu mampu membongkar batu-batu besar itu, juga mereka akan ditangkap dan dikeroyok, maka merekapun tidak jadi mencoba-coba untuk membongkar batu. Dengan bergantian mereka mencoba untuk menarik gagang pedang, akan tetapi seperti juga yang lain, mereka gagal dan pergi dari situ dengan kecewa.

   Setelah menanti sampai lama tidak ada lagi yang mencoba untuk mencabut pedang itu, Kiok Hwa berbisik kepada Han Lin.

   "Lin-ko, apakah engkau juga ingin mencobanya? Kalau begitu, lakukan-lah sekarang juga. Siapa tahu engkau berjodoh dengan pedang itu."

   Han Lin mengangguk.

   "Baik, akan ku-coba."

   Setelah berkata demikian, dengan langkah tegap namun tenang Han Lin berjalan menghampiri guha yang letaknya agak tinggi itu. Di depan batu besar di mana pedang itu menancap dia berhenti dan mengamati keadaan batu itu denganl seksama.

   Dia membaca pengumuman pemerintah yang melarang membongkar batu-batu itu dan yang hendak mencoba peruntungannya harus mencabut pedang itu. Dia teringat bahwa pedang itu peninggalan seorang panglima yang gagah perkasa dan setia dan tiba-tiba timbul perasaan hormatnya yang mendalam terhadap pemilik pedang itu. Panglima itu tentulah seorang yang setia dan berjiwa patriot. Rasa hormat ini membuat Han Lin tidak berani sembarangan mencabut pedang, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan batu besar itu, seolah hendak minta ijin untuk mencabut pedang. Dia memberi hormat dengan membenturkan dahinya ke atas tanah. Pada saat itu, matanya melihat ukiran yang berbentuk huruf-huruf amat kecilnya. Kalau dia tidak berlutut dan membenturkan dahinya ke atas tanah, dia tidak akan melihat ukiran-ukiran huruf-huruf itu!

   "Putar batu hitam ini tiga kali kekanan"

   Demikianlah bunyi ukir-ukiran itu dan di dekatukiran itu terdapat sebuah batu hitam sebesar kepalan tangan. Giranglah hati Han Lin membaca ini. Agaknya rahasia pencabutan pedang itu berada di sini, pikirnya, mengingat betapa banyaknya orang pandai yang telah mencoba mencabut pedang tanpa hasil. Tanpa ragu lagi dia lalu memegang batu hitam itu, mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) dan memutar ke kiri.

   Memang ternyata berat sekali, akan tetapi karena dia sudah mengerahkan tenaga, batu itu dapat diputarnya ke kiri. Dia memutar tiga kali ke kiri, kemudian tiga kali ke kanan. Karena dia melakukannya sambil berlutut, maka tidak ada orang lain yang mengetahui apa yang dilakukannya itu. Mereka yang masih menonton hanya merasa geli, bahkan ada yang tertawa mencemoohkan melihat Han Lin berlutut sampai lama di depan batu itu.

   "Heii! Engkau hendak mencabut pedang atau hendak bersembahyang minta rejeki?"

   Terdengar seorang mengolok-olok, disusul suara tawa yang lain.

   Namun Han Lin hanya tersenyum mendengar ini dan dia menggunakan telapak tangannya mengusap huruf-huruf yang terukir di bawah batu itu. Karena dia menggunakan sin-kang yang amat kuat, permukaan batu itu menjadi halus dan ukiran huruf itupun lenyap. Setelah itu barulah dia bangkit berdiri. Semua orang memandangnya dengan ingin tahu sekali. Diam-diam Han Lin mengerahkan sinkang ke dalam lengan kanannya, lalu dipegangnya gagang pedang Im-yang-kiam itu, lalu ditariknya. Pada saat itu terdengar suara keras dan batu besar itu bergoyang. Han Lin memperkuat tarikannya dan...... dia berhasil mencabut pedang

   Semula semua orang terdiam dan terbelalak, lalu pecah suara gaduh dan mereka semua mendekati dan menghampiri Han Lin untuk melihat macam apakah pedang itu. Melihat kemungkinan ada orang yang berniat jahat merampas pedang dari tangan yang berhak, komandan pasukan lalu mengerahkan anak buahnya untuk melindungi Han Lin.

   "Berhenti! Kalian tidak boleh mengganggu pemuda ini. Dialah yang berhak memiliki Im-yang-kiam seperti bunyi peraturan yang telah ditetapkan. Mundur semua!"

   Orang-orang itu mundur. Dengan wajah berseri karena gembiranya telah dapat memenuhi pesan gurunya untuk mencabut Im-yang-kiam, Han Lin memperlihatkan pedang itu kepada Kiok Hwa yang telah mendekatinya. Gadis ini memegang pedang itu dengan kagum. Ditelitinya pedang itu. Sebatang pedang yang aneh warnanya, sebelah hitam sebelah putih! Yang hitam tajam yang putih tumpul. Tahulah ia apa maksudnya. Yang hitam itu adalah mata pedang untuk membunuh lawan, sedangkan yang putih adalah mata pedang yang dipergunakan untuk mengobati orang yang keracunan!

   "Pokiam (Pedang Pusaka), kuharap pemilikmu yang baru akan lebih banyak mempergunakan putihmu daripada hitammu."

   Kata Kiok Hwa dari ia mengembalikan pedang itu kepada Han Lin. Karena pedang itu tidak memiliki sarung pedang, Han Lin lalu menyimpannya di dalam buntalannya. Setelah menggendong buntalan pakaiannya itu kembali ke punggungnya, dia lalu mengajak Kiokh Hwa pergi.

   Para penonton yang berada di situ juga bubaran dan dalam perjalanan pulang, mereka ramai membicarakan pemuda yang dengan mudahnya dapat mencabut pedang pusaka itu setelah memberi hormat dengan berlutut.

   "Nah, apa kataku. Pedang itu bertuah! Baru mau dicabut setelah diberi hormat secara berlebihan!"

   Kata seorang.

   "Kalau aku lebih percaya bahwa di dalam batu besar itu ada setannya yang memegangi ujung pedang sehingga tidak dapat dicabut. Setelah diberi hormat, setan itu lalu melepaskan pedang sehingga pemuda itu mampu mencabutnya."

   Kata yang lain.

   Ramai mereka membicarakan dan mengutarakan pendapat mereka masing-masing. Sementara itu, Han Lin dan Kiok Hwa dihadang oleh komandan pasukan yang tadi berjaga di tempat itu.

   "Nanti dulu, sicu (orang gagah),"

   Kata komandan itu dengan sikap hormat dan ramah.

   "Sudah menjadi peraturan dan kewajiban kami untuk mencatat nama dan alamat sicu sebagai orang yang berhasil memiliki Im-yang-kiam."

   Han Lin tersenyum.

   "Baiklah, ciang-kun (perwira). Aku she Han dan namaku Lin dan aku adalah seorang perantau yang berasal dari Pegunungan Thai-san."

   Perwira itu mencatat dalam buku catatannya untuk bahan laporan, lalu berkata.

   "Kami percaya bahwa engkau seorang pendekar, sicu. Karena itu kami hanya mengharapkan agar engkau mempergunakan pedang untuk membela kebenaran dan keadilan. Kalau kelak ternyata engkau mempergunakan untuk kejahatan, pemerintah tentu akan menentangmu."

   "Aku mengerti, ciangkun."

   Jawab Han Lin. Han Lin mengajak Kiok Hwa untuk melanjutkan perjalanan meninggalkan Puncak Burung Hong. Setelah mereka tiba di kaki pegunungan itu, Han Lin berhenti, menurunkan buntalannya, mengambil Im-yang-kiam dari buntalan dan menyerahkannya kepada Kiok Hwa.

   "Kiok-moi, aku berpikir bahwa pedang ini lebih pantas menjadi milikmu. Engkau memang benar, lebih baik pedang ini dipergunakan untuk mengobati orang dari pada melukai atau membunuh."

   "Tidak bisa begitu, Lin-ko. Pedang itu engkau yang mencabutnya, maka engkau pula yang berhak memilikinya."

   "Akan tetapi aku memberikannya kepadamu dengan hati yang ikhlas karena tahu bahwa di tanganmu pedang ini akan lebih bermanfaat bagi orang banyak."

   "Terima kasih, Lin-ko, akan tetapi aku tidak dapat menerimanya. Untuk mengobati orang, aku tidak membutuhkan bantuan pedang itu."

   Han Lin menghela napas panjang dan tidak memaksa. Dia masih memegang Im-yang-kiam dengan tangan kanannya! ketika tiba-tiba ada lima sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada lima orang! tosu berdiri di depannya.

   "Siancai......! Engkau harus menyerahkan pedang itu kepada kami, sicu!"

   Se-orang di antara mereka, yang berjenggot panjang sampai ke dada, berseru dengan! suara lembut. Han Lin dan Kiok Hwa memandangi dengan penuh perhatian. Mereka adalah lima orang tosu yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, dipimpin tosu berjenggot panjang dan di punggung mereka masing-masing terdapat sebatang pedang. Sikap mereka tenang namun berwibawa. Di bagian depan jubah mereka, tepat di dada, terdapat gambar tanda Im-yang hitam putih.

   "Mereka orang-orang Im-yang-pai (Partai Im Yang)!"

   Bisik Kiok Hwa kepada Han Lin.

   Biarpun Kiok Hwa hanya berbisik lirih, agaknya terdengar oleh para tosu itu dan si jenggot panjang tersenyum.

   "Bagus kalau kalian sudah mengenal pinto dan kawan-kawan sebagai orang-orang Im-yang-pai."

   Han Lin juga pernah mendengar akan nama besar Im-yang-pai dari Gobi Sam-sian, guru-gurunya yang pertama. Maka dia cepat memberi hormat karena maklum bahwa orang-orang Im-yang-pai adalah golongan putih yang tidak pernah berbuat jahat, bahkan berjiwa patriot dan banyak jasanya ketika tentara rakyat dahulu menjatuhkan kekuasaan Mongol sehingga kerajaan Beng yang pemerintahannya dipegang bangsa sendiri, didirikan.

   "Kiranya ngo-wi totiang (lima orang pendeta) adalah tokoh-tokoh Im-yang-pai. Terimalah hormat saya, Han Lin, dan kalau saya boleh mengetahui, apa maksud ngo-wi (anda berlima) menjumpai saya?"

   "Siancai (damai)! Ternyata sicu adalah seorang pemuda yang sopan bijaksana. Pinto berharap sicu dapat mempergunakan kebijaksanaan untuk memenuhi permintaan kami."

   "Permintaan apakah itu, totiang?"

   "Permintaan kami ialah agar sicu suka menyerahkan Im-yang-kiam kepada kami. Kami amat membutuhkan pedang pusaka itu untuk dijadikan pusaka perkumpulan kami. Bukankah pedang itu bernama Im-yang-kiam? Jadi cocok sekali dengan perkumpulan kami yang bernama Im-yang-pai."

   Han Lin otomatis memandang pedang yang masih terpegang oleh tangan kanannya. Dia memandang tosu berjenggot panjang itu dan berkata.

   "Akan tetapi, totiang. Pedang ini saya dapatkan karena saya telah mencabutnya dari himpitan batu. Kalau memang totiang membutuhkan, kenapa totiang tadinya tidak mencoba untuk mencabutnya?"

   Tosu itu tersipu, lalu tersenyum dan berkata sejujurnya.

   "Kami berlima telah mencobanya, namun kami telah gagal mencabutnya, sicu. Sebetulnya kami tidak berhak minta dari sicu, akan tetapi karena perkumpulan kami membutuhkan.

   Kami mohon kebijaksanaan sicu untuk menyerahkan Im-yang-kiam itu kepada kami. Untuk itu, sicu boleh menerima pedang pinto sebagai penggantinya. Pedang pinto ini juga sebatang pedang pusaka yang ampuh."

   Setelah berkata demikian, tosu berjenggot panjang itu mencabutpedangnya dan tampak sinar berkilauan dari pedang itu.

   "Pinto harap sicu suka menukar Im-yang-kiam itu dengan pedang ini beserta ucapan terima kasih perkumpulan kami."

   "Maafkan saya, totiang, bahwa saya terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan totiang. Hendaknya ngo-wi totiang ketahui bahwa saya mencabut Im-yang-kiam itu atas perintah guru saya, dan kedua kalinya untuk menghormati mendiang pahlawan Kam Tiong yang telah mengijinkan saya mencabut pedang itu terpaksa saya harus mempertahankan pedang Im-yang-kiam ini."

   Wajah lima orang tosu itu berubah kemerahan dan alis mereka berkerut.

   "Kalau begitu, kami hanya ingin meminjamnya, sicu. Kami akan membuat tiruannya untuk dijadikan pusaka kami, setelah itu akan kami kembalikan kepadamu."

   "Maaf, terpaksa tidak dapat kuberikan totiang."

   Lima orang tosu itu menjadi marah "Kalau begitu, terpaksa pula kami akan menggunakan kekerasan mengambil pedang itu dari tanganmu!"

   Kiok Hwa yang sejak tadi mendengarkan dan diam saja, kini berkata dengan suaranya yang lembut.

   "Selama ini saya mendengar bahwa orang-orang Im-yang-pai adalah orang-orang yang gagah perkasa. Akan tetapi sungguh mengecewakan,hari ini mereka bersikap seperti sekawanan perampok!"

   Tosu berjenggot panjang itu memandang kepada Kiok Hwa dengan sinar mata mencorong.

   "Engkau siapakah, nona? Berani berkata demikian terhadap kami?"

   Han Lin yang menjawab.

   "Totiang, nona ini adalah murid locianpwe (orang tua gagah) Thian-te Yok-sian."

   "Siancai......!"

   Tosu itu terperanjat dan memandang kepada Kiok Hwa dengan penuh perhatian.

   "Kiranya nona yang berjuluk Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat Baju Putih)? Maaf kalau kami bersikap kurang hormat. Nama besar nona sudah terpuji oleh ribuan orang, membuat kami kagum. Akan tetapi kami harap dalam urusan Im yang-kiam ini, nona tidak akan mencampuri. Pinto berlima, orang-orang Im-yang-pai bukan perampok. Kami hanya ingin meminjam dan terpaksa kami menggunakan kekerasan kajau ditolak, karena kami membutuhkan sekali."

   "Maaf, totiang. Dipinjampun saya tidak dapat memberikan pedang ini!"

   Kata Han Lin dengan tegas.

   "Orang muda, engkau berani menantang kami?"

   Bentak tosu berjenggot panjang itu.

   "Saya tidak menantang siapa-siapa!"

   "Akan tetapi engkau menolak permintaan kami, berarti bahwa engkau berani melawan kami?"

   "Apa boleh buat, saya hanya membela diri."

   "Hemm, kami juga terpaksa demi perkumpulan kami, bukan ingin merampok, hanya ingin pinjam selama beberapa waktu. Nah, bersiaplah, orang muda. Hendak pinto lihat bagaimana kepandaianmu maka engkau berani menentang kami!"

   "Singgg......!"

   Ketika tosu itu mengelebatkan pedangnya di atas kepala, terdengar bunyi berdesing. Han Lin maklum bahwa orang itu memiliki ilmu pedang yang hebat. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan melintangkan pedangnya di depan dada.

   "Saya sudah siap membela diri, totiang."

   Katanya.

   "Lihat pedang!"

   Tiba-tiba tosu jenggot panjang itu membentak dan pedangnya berubah menjadi sinar menyambar ke arah tangan Han Lin yang memegang pedang.

   Agaknya dia hendak memaksa pemuda itu melepaskan pedangnya untuk dirampas. Akan tetapi dengan tenang namun cepat, Han Lin sudah menarik tangannya lalu membuat geseran langkah ke lepan lalu membalik sehingga tahu-tahu dia berada di sebelah kiri lawan. Tosu itu terkejut, namun cepat diapun membalik ke kiri, didahului pedangnya yang menyambar lagi, kini ke arah muka Han Lin. Kembali Han Lin mengelak dengan gerakan ringan sekali dan tahu-tahu dia telah berada di belakang lawan. Tosu berjenggot panjang itu kembali terkejut dan juga penasaran. Di Im-yang-pai dia adalah orang ke dua setelah ketuanya, dan ilmu pedangnya juga sudah mencapai tingkat tinggi, hanya kalah setingkat dibandingkan tingkat ketua Im-yang-pai. Akan tetapi beberapa kali serangannya yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga, dapat dielakkan dengan mudah oleh pemuda itu! Gerakan pemuda itu sedemikian ringan dan gesitnya sehingga seolah-olah dapat menghilang saja. Dia memutar pedangnya lebih gencar dan kini terpaksa Han Lin menangkis dengan pedang Im-yang-kiam yang masih dipegangnya.

   "Cringgg..... trakkk.....!!"

   Tosu berjenggot panjang itu terkejutbukan main karena ujung pedang pusakanya patah! Han Linjuga terkejut dan merasa menyesal telah mematahkan pedang pusaka lawan.

   "Maaf, totiang. Saya tidak tahu... tidak sengaja..."

   "Sudahlah!"

   Dengus tosu itu.

   "Sekali lagi, orang muda. Kau berikan kepada kami atau tidak Im-yang-kiam itu?"

   "Tidak, totiang."

   Tosu berjenggot panjang memberi isarat kepada empat orang rekannya dar kini lima orang tosu itu mengepung Han Lin.

   "Orang muda, kalau engkau mampu memecahkan Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur) kami akan mengundurkan diri dar tidak akan mengganggumu lagi."

   Han Lin sudah mendengar dari Gobi Sam-sian bahwa Im-yang-pai amat terkenal dengan Ngo-heng-tin itu. Boleh dikata hampir tidak ada orang yang mampu memecahkan barisan lima unsur yang saling menunjang itu. Lima unsur itu adalah Logam, Kayu, Air, Tanah dan Api. Yangmenempati kedudukan yang satu menunjang dan membelayang lain sehingga barisan pedang ini berbahaya sekali.

   Namun Han Lin tidak menjadi gentar, biarpun dia belum memiliki banyak pengalaman bertanding, namun dia telah digembleng secara hebat oleh dua orang sakti dan telah menerima banyak petunjuk tentang pertandingan dari Gobi Sam-sian. Biarpun sudah mendengar akan kehebatan Ngo-heng-tin, dia malah merasa bergembira karena akan dapat membuktikan sendiri bagaimana kehebatannya. Selain itu, dia juga dapat menguji kemampuannya sendiri dan juga keampuhan Im-yang-kiam yang tadi telah mematahkan ujung pedang tosu berjenggot panjang. Han Lin penuh kepercayaan akan dirinya sendiri, apalagi dia yakin bahwa lima orang tosu Im-yang-pai itu bukanlah orang-orang jahat, melainkan hanya ingin "meminjam"

   Pedang pusakanya. Mustahil orang-orang golongan bersih seperti mereka akan menurunkan tangan keji terhadap dirinya.

   "Tidak berani saya memecahkan Ngo-heng-tin, akan tetapi saya akan membela diri sekuat tenaga!"

   Jawabnya dan dia melintangkan pedangnya di depan dada, mengerahkan tenaga sakti Matahari dan Bulan ke dalam kedua lengannya.

   "Hyaaaaattt.....!"

   Lima orang tosu itu membentak dengan suara berbareng sehingga terdengar lantang sekali. Juga di dalam suara ini terkandung khi-kang (hawa sakti) yang amat berwibawa, dapal menggetarkan jantung dan membuat takut lawan. Namun Han Lin yang mengalami selombang suara yang menyerangnya itu segera menggeram dan mengeluarkan suara seperti singa. Itulah Sai-cu Ho-kang (Ilmu Auman Singa) yang mengandung getaran amat kuatnya. Jangankan hanya bentakan lima orang tosu itu, bahkan segala macam kekuatan sihir akan punah kalau dilawan dengan Sai cu Ho-kang ini. Lima orang tosu itu berbalik menjadi tergetar oleh auman itu, maka mereka-pun segera menyusun serangan yang silih berganti dan bertubi-tubi datangnya!

   Han Lin menggerakkan pedang Im-Yang-kiam dan tampaklah gulungan sinar keabu-abuan, campuran dari warna hitam dian putih. Dia memainkan ilmu pedang seperti yang telah diajarkan oleh It-kiam-lan dan sudah disempurnakan oleh Bu-beng Lo-jin. Gerakannya seperti bayang-bayang saja, dan kecepatannya seperti seekor burung walet. Tubuhnya yang berubah menjadi bayang-bayang itu menyusup di antara gulungan lima sinar pedang lawan. Setelah dia mempergunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri sambil memperhatikan gerakan barisan itu, tahulah dia bahwa kelihaian barisan itu terletak kepada sifatnya yang sambung menyambung dan saling melindungi seperti sehelai rantai baja yang amat kuat.

   Setelah memperhitungkan, dia bergerak cepat, berputaran. Lima orang lawannya terpaksa ikut berputar-putar dan mereka sama sekali tidak sempat menyerang lagi karena gerakan berputar Han Lin amat cepatnya seperti gasing! Dan selagi mereka kebingungan dan hendak menyusun kembali barisan mereka yang tidak berdaya menyerang itu, tiba-tiba saja Han Lin berbalik menyerang dan dia menyerang di bagian tengah, yaitu orang ke tiga dari pinggir yang berada di tengah-tengah. Tosu yang diserang itu terkejut karena masih bergerak melangkah berputaran, terpaksa dia menangkis sendiri tidak dapat mengandalkan kawan di sebelahnya untuk melindunginya.

   "Cringgg..... trakkk.....!"

   Pedangnya patah menjadi dua potong! Sebelum barisan itu sempat mengatur kembali posisinya, pedang Han Lin sudah menyambar-nyambar, membuat para lawannya terpaksa menangkis. Terdengar suara nyaring berturut-turut dan semua pedang di tangan lima orang tosu itu telah patah tengahnya menjadi dua potong! Tenti saja lima orang tosu itu terkejut bukan main dan mereka cepat berlompatan ke belakang. Tahulah mereka bahwa sekali ini Ngo-heng-kiam-tin mereka telah dapat dipecahkan orang! Wajah mereka menjadi pucat lalu kemerahan. Tosu yang berjenggot panjang lalu menjura kepada Han Lin.

   "Siancai.....! Ilmu kepandaian sicu sungguh hebat! Pinto mengaku kalah. Akan tetapi kekalahan ini membuat kami menjadi penasaran dan ingin sekali mengetahui. Murid siapakah sicu yang memiliki kepandaian sehebat ini?"

   Terhadap lima orang tosu dari Im-yang-pai itu, Han Lin tidak ingin menyembunyikan keadaan dirinya. Apalagi yang ditanyakan hanya guru-gurunya dan sudah menjadi haknya untuk membanggakan siapa gurunya. Diapun balas menjura sebagai tanda penghormatan lalu menjawab.

   "Guru-guru saya ada lima orang. Gobi Sam-sian, Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian Hwesio. Merekalah yang mengajar saya, totiang."

   "Siancai.....! Gobi Sam-sian adalah tiga orang datuk yang berkepandaian tinggi. Sedangkan Cheng Hian Hwesio, hwesio perantau yang penuh rahasia itu, kabarnya seorang sakti pula. Hanya kami tidak pernah mendengar siapa itu Bu-beng Lo-jin. Akan tetapi melihat kelihaianmu, kami percaya bahwa diapun seorang yang amat sakti. Kami tidak menjadi penasaran lagi, juga bahwa kami tidak dapat memaksamu meminjamkan Im-yang-kiam, karena kami memang tidak mampu mengalahkanmu. Selamat tinggal, sicu. Mudah-mudahan pedang pusaka itu akan kau pergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan!"

   Setelah berkata demikian, lima orang tosu itu lalu berjalan pergi meninggalkan tempat itu.

   Han Lin menoleh ke arah di mana tadi Kiok Hwa berdiri dan dia melihat gadis itu masih berada di sana, akan tetapi pandang matanya tidak gembira dan bahkan alisnya berkerut ketika ia memandang kepada Han Lin.

   
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Engkau kenapa, Kiok-moi?"

   Gadis itu menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak apa-apa, akan tetapi engkau yang agaknya setelah mendapatkan Im-yang-kiam tiba-tiba saja dimusuhi banyak orang! Aih, betapa tepatnya kata orang-orang bijaksana bahwa silat dan pedang hanya mendatangkan permusuhan belaka."

   "Akan tetapi, Kiok-moi. Pertentangan itu mana dapat dihilangkan? Bukankah sudah sejak semula terdapat dua unsur yang bertentangan di dunia ini, sebagai perwujudan dari Im-yang? Ada siang ada malam, ada susah ada senang, ada baik ada jahat? Selama ada baik dan ada jahat, pertentangan tidak akan pernah berhenti. Tergantung kepada kita hendak menempatkan diri di unsur mana. Yang jahat atau yang baik. Kalau kita berdiri berpijak kebenaran dan kebaikan, kita tidak perlu takut menghadapi tantangan kejahatan."

   "Hemm, tentu saja engkau akan berdalih demikian, Lin-ko. Akan tetapi kebaikan yang bagaimanakah? Kejahatan yang bagaimanakah? Bukankah kebaikan dan keburukan itu tergantung kepada penilainya? Engkau tentu menganggap para tosu Im-yang-pai tadi jahat karena mereka hendak memaksa pinjam Im-yang-kiam yang menjadi milikmu. Akan tetapi sebaliknya, mereka tentu menganggap engkau jahat yang tidak mau meminjamkan po-kiam (pedang pusaka) yang amat mereka butuhkan itu. Nah, bukankah dalam pandangan masing-masing kalian semua sama jahatnya?"

   Han Lin merasa terdesak dan diapun berkata mengalah.

   "Habis, kalau menurut pcndapatmu, bagaimana, Kiok-moi? Apakah aku harus memberikan Im-yang-kiam kepada mereka tadi?"

   "Bukan begitu maksudku, Lin-ko. Apa yang kaulakukan tadi sudah benar. Aku hanya ingin mengatakan bahwa setelah mendapatkan pedang itu, engkau mendapatkan banyak musuh dan hal itu sungguh amat tidak baik bagimu."

   "Apa boleh buat. Yang penting aku tidak mencari permusuhan, aku tidak memusuhi mereka. Akan tetapi kalau mereka memusuhi aku, tentu aku akan membela diri."

   Untuk menyudahi percakapan tentang Im-yang-kiam, Han Lin lalu mengajak gadis itu.

   "Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Kiok-moi!"

   Gadis itu mengangguk dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Huang-ho yang lebar. Akan tetapi belum ada satu li (mil) mereka berjalan, tiba-tiba terdengar seruan orang dari belakang.

   "Orang muda, perlahan dulu!"

   Han Lin dan Kiok Hwa menengok dan sesosok bayangan berkelebat dan muncullah seorang laki-laki berusia tua renta, sedikitnya tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan pakaiannya mewah seperti hartawan atau bangsawan. Wajahnya lebar dan ramah, mukanya cerah dan dipandang sepintas lalu, pantasnya dia seorang yang baik hati. Akan tetapi kalau orang menentang matanya, orang akan melihat sesuatu yang mengerikan pada pandang matanya. Pandang matanya seperti harimau kelaparan melihat domba!

   Ketika Han Lin memandang kakek itu, dia terkejut bukan main. Jantungnya berdebar keras, mukanya terasa panas karena dia teringat akan ibunya. Inilah seorang di antara mereka yang mengakibatkan ibunya tewas terlempar ke dalam jurang, walaupun tidak secara langsung dia melakukannya. Suma Kiang yang bertanggung jawab, akan tetapi kakek ini juga ikut memperebutkan dia, bahkan berusaha untuk membunuhnya belasan tahun yang lalu, atau sepuluh tahun yang lalu. Orang itu membawa sebatang pedang di punggungnya dan memandang kepadanya dengan penuh perhatian, lalu menatap ke arah buntalan di punggungnya. Han Lin tidak melupakan orang itu karena wajahnya tidak berubah dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Wajah Toa Ok (si Jahat ke Satu).

   Kiok Hwa yang masih muda itu ternyata juga mempunyai pandangan tajam dan pengetahuan yang luas. Melihat kakek ini, ia sudah dapat menduga siapa orangnya dan ia terkejut bukan main kakek ini, ia sudah dapat menduga siapa orangnya dan ia terkejut bukan main karena ia sudah mendengar bahwa Toa Ok yang berjuluk Toat-beng Kwi-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa) adalah seorang datuk sesat yang amat ditakuti di dunia kang-ouw bersama dua rekannya, yaitu Ji Ok (si Jahat ke Dua) dan Sam Ok (si Jahat ke Tiga).

   "Dia Toa Ok......!"

   Bisik Kiok Hwa kepada Han Lin. Namun Han Lin bersikap tenang dan tidak menjadi kaget karena dia memang sudah tahu siapa kakek itu. Bagaimanapun juga, dia berhadapan dengan seorang yang sudah tua sekali, maka dia bersikap cukup hormat ketika berkata.

   "Toat-beng Kwi-ong Toa Ok, apa maksudmu mengejarku?"

   "Ha-ha-ha, kalian ini dua orang muda ternyata awas juga. Bagus kalau kalian tahu bahwa aku adalah

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   Toat-beng Kwi ong Toa Ok. Biasanya kalau aku hendak mengambil sesuatu dari seseorang, aku akan bunuh orang itu dan mengambil barangnya, habis perkara. Akan tetapi melihat kalian masih muda, biarlah sekali ini aku mengampuni kalian dan membiarkan kalian pergi setelah kalian menyerahkan Im-yang-kiam kepadaku."

   Han Lin mengerutkan alisnya dan Kiok Hwa mengundurkan diri menjauh, agaknya tidak ingin mencampuri urusan mereka.

   "Toa Ok, apa alasanmu minta Im-yang-kiam dariku?"

   Tanyanya, diam diam mencatat bahwa datuk sesat ini dalam usia tuanya ternyata masih juga jahat sehingga pantas dia tentang.

   "Alasannya? Ha-ha-ha, aku sudah mendengar bahwa engkau berhasil mencabut Im-yang-kiam, dan kalau engkau tidak memberikannya kepadaku dengan baik-baik, tentu engkau akan kubunuh dan Im-yang-kiam dalam buntalanmu itu akan kuambil juga, ha-ha-ha!"

   Toa Ok mengelus jenggotnya yang jarang sambil tertawa dan memandang kepada pemuda itu dengan meremehkan sekali. Han Lin melepaskan buntalannya dan menaruhnya di atas tanah. Dia berdiri tegak di depan kakek itu dan berkata.

   "Boleh saja engkau merampas Im-yang-kiam kalau engkau mampu merebutnya dari tanganku!"

   Toa Ok membelalakkan matanya saking kaget dan herannya.

   "Apa katamu? Engkau, bocah kemarin sore ini, berani menantangku? Ha-ha-ha-ha-ha!"

   "Bukan menantang, Toa Ok. Engkaulah yang mencari perkara dan permusuhan, bukan aku!"

   "Aku bukan hanya ingin merampas Im-yang-kiam, akan tetapi juga untuk mencabut nyawamu. Ingat julukanku adalah Toat-beng Kwi-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa)!"

   "Pencabut nyawa atau pencabut rumput aku tidak perduli. Aku akan membela diri sekuat kemampuanku!"

   Kata Han Lin, sederhana namun tegas dan mengandung ejekan akan nama julukan kakek itu. Sepasang mata kakek itu mencorong karena marah.

   "Akan kuremukkan kepalamu, akan kupecah dadamu!"

   Berkata demikian, tiba-tiba Toa Ok menubruk dengan pukulan yang amat dahsyat. Si Jahat Nomor Satu ini begitu menyerang sudah tidak segan-segan untuk mempergunakan ilmu pukulannya yang keji dan mengerikan, yaitu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun)! Akan tetapi Han Lin yang sudah mengenal kelihaian orang, sudah cepat mengelak, mengandalkan kegesitan tubuhnya dan ketika kakek itu hendak menyambar buntalannya yang berada di atas tanah, diapun cepat menyerang dengan tamparan ke arah ubun-ubun kepala kakek itu.

   "Wuuuutttt......!!"

   Sambaran angin yang dahsyat itu membuat Toa Ok terperanjat dan cepat dia menggerakkan lengannya untuk menangkis tamparan itu.

   "Plakkk!"

   Dua lengan bertemu dan akibatnya Toa Ok terhuyung ke belakang, akan tetapi Han Lin juga melangkah dua tindak ke belakang. Toa Ok menjadi semakin terheran-heran. Dia menatap wajah Han Lin seperti orang melihat setan di siang hari. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga mampu menandingi tenaga Ban-tok-ciang yang mengandung hawa beracun itu. Apakah dia yang sudah menjadi terlalu tua?

   "Orang muda siapakah engkau?"

   Dia bertanya, kini tidak berani memandang rendah.

   Han Lin tersenyum.

   "Toa Ok, lupakah engkau kepadaku? Engkau pernah memperebutkan diriku dengan Sam Ok, bahkan hendak membunuhku, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu."

   Toa Ok mengerutkan alisnya dan diapun teringat.

   "Ah, engkaukah bocah itu? Bagus, kalau dulu aku tidak sempat membunuhmu, sekarang engkau tidak akan dapat lolos lagi!"

   Diapun menyerang lagi dengan Ban-tok-ciang, kini mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi kembali pukulannya mengenai tempat kosong dan Han Lin juga membalas dengan serangan ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Sin-kun. Ilmu silat ini jauh bedanya dengan Ngo-heng Klam-tin yang dipergunakan oleh lima orang tosu Im-yang-pai, karena kalau para tosu itu mempergunakan pedang untuk memainkan barisan itu, Ngo-heng Sin-kun (Silat Sakti Lima Unsur) menggunakan tangan kosong yang berubah-ubah lima macam sehingga membingungkan lawan. Kadang ganas dan liar seperti api, kadang bergelombang seperti air, kadang tenang keras seperti logam.

   Terjadilah perkelahian yang amat seru. Akan tetapi, Toa Ok merasa memperoleh tanding yang amat kuat. Kalau dia mengerahkan pukulan Ban-tok-ciang yang mengeluarkan bunyi mencicit dan mengandung hawa beracun, Han Lin mengimbanginya dengan It-yang-ci, serangan dengan satu jari yang juga mengeluarkan suara mencicit dan memiliki daya serang yang amat berbahaya. Pukulan Ban-tok-ciang terpental kalau bertemu dengan It-yang-ci, menunjukkan bahwa ilmu Ban-tok-ciang itu kalah kuat dalam hal tenaga sakti.

   "Bocah keparat, awan racun hitam akan menelan dirimu!"

   Tiba-tiba Toa Ok membentak dan tiba-tiba dari kedua tangannya keluar asap hitam yang amat tebal bergerak ke arah Han Lin. Pemuda ini maklum bahwa itu adalah kekuatan sihir yang dikerahkan oleh Toa Ok, maka diapun mengerahkan kekuatan batinnya dan mengeluarkan auman seperti singa dengan ilmu Sai-cu Ho-kang.

   "Hauuuungggg.....!"

   Suara itu demikian kuat, mengandung getaran hebat dan asap tebal hitam itu yang tadinya menyerang ke arah Han Lin tiba-tiba membalik seperti tertiup angin yang kuat dan Toa Ok yang tadinya tidak tampak tersembunyi di dalam asap hitam itu kini tampak kembali. Dia menjadi semakin penasaran. Bocah itu malah dapat memunahkan sihirnya!

   Tiba-tiba Toa Ok berseru dengan suara yang penuh wibawa.

   "Orang muda, marilah ikut aku tertawa! Tidak ada yang dapat menahan engkau tertawa. Tertawalah sepuasmu. Hayo tertawa. Ha ha-ha-ha-ha!"

   Toa Ok tertawa bergelak sampai tubuhnya bergoyang-goyang. Han Lin merasa betapa ada dorongan yang kuat sekali memaksanya untuk tertawa, akan tetapi dia maklum pula bahwa ini-pun pengaruh ilmu sihir, maka dia menahan napas dan mengerahkan sin-kangnya untuk menolak pengaruh itu.

   "Hauuungggg....., engkaulah yang tertawa sepuasmu, Toa Ok!"

   Katanya setelah mengeluarkan suara auman singa.

   Dan Toa Ok terus tertawa, sampai terguncang-guncang dia tertawa. Dia merasa terkejut sendiri dan cepat tangan kirinya menotok tiga kali ke dadanya. Baru suara tawanya berhenti dan dia menarik napas panjang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian lihainya. Kenyataan ini membuat dia menjadi marah. Demikianlah watak datuk sesat itu. Dia tidak dapat menerima kenyataan bahwa ada orang yang dapat mengalahkannya!! Apalagi seorang yang masih demikian muda.

   Karena itulah, melihat kenyataan yang menjadi kebalikan dari keinginannya itu dia menjadi marah dan otaknya yang cerdik dan curang itupun bekerja keras. Dia membentak dan mengirim serangan, kini bukan dengan tangan melainkan dengan pedang. Demikian cepat dia mencabut pedang dan menyerang sehingga yang nampak hanyalah sinar emas yang menyambar panjang ke arah tubuh Han Lin. Itulah pedang milik Toa Ok yang disebut Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas). Pedang itu terbuat dari baja akan tetapi dibalut emas sehingga tampaknya seperti pedang emas. Pedang itu menyambar dengan dahsyatnya sehingga Han Lin cepat melompat ke belakang. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Toa Ok juga melompat ke dekat Kiok Hwa dan sekali sambar dia telah memegang lengan gadis itu dan menempelkan pedangnya di leher Kiok Hwa!

   "Toa Ok!"

   Seru Han Lin kaget.

   "Apa yang kau lakukan itu?"

   "Ha-ha-ha-ha, orang muda. Engkau tinggal pilih. Serahkan Im-yang-kiam kepadaku dan gadis ini kubebaskan atau engkau lebih suka melihat gadis ini mampus di depan hidungmu?"

   "Kakek curang!"

   Bentak Han Lin akan tetapi dia merasa tidak berdaya. Dia melihat betapa Kiok Hwa tampak tenang-tenang saja walaupun lehernya telah ditodong pedang dan gadis ini memandangnya dengan mata bersinar-sinar penuh selidik. Dia tidak tahu mengapa dalam keadaan terancam nyawanya, gadis itu masih tetap tenang dan memandangnya seperti itu. Dia menoleh ke kiri, memandang kepada sepotong bambu yang menggeletak di atas tanah.

   "Hayo cepat serahkan Im-yang-kiam, itu kepadaku atau akan kupenggal kepala gadis ini!"

   Ancam Toa Ok dan Han Lin tidak ragu lagi bahwa kakek itu bukan hanya menggertak kosong belaka. Bukan Toa Ok julukannya kalau dia tidak kejam dan curang jahat.

   "Baiklah, akan tetapi engkau harus berjanji untuk membebaskan gadis itu setelah menerima Im-yang-kiam."

   Toa Ok tidak bodoh. Dia berpikir sejenak. Kalau Im-yang-kiam dan Kim liong-kiam berada di tangannya, bocah itu dapat berbuat apakah? Memang dalam ilmu tangan kosong pemuda itu mampu mengimbanginya, akan tetapi kalau kedua pedang pusaka itu berada di tangannya, pemuda itu tentu tidak akan mampu menandinginya. Pula, kalau pedang sudah diberikan kepadanya, diapun tidak akan melepaskan mereka begitu saja! Mereka berdua itu harus dibunuh agar di kemudian hari tidak mendatangkan kerepotan kepadanya. Demikianlah jalan pikirannya, maka tanpa ragu dia menjawab dengan suara lantang.

   "Aku berjanji akan membebaskan gadis ini setelah Im- yang-kiam kau serahkan kepadaku!"

   Han Lin lalu mjengambil buntalan pakaiannya yang terletak di atas tanah, membukanya dan mengeluarkan Im-yang-kiam dari dalamnya. Sambil lalu dia melirik ke arah potongan bambu itu dan dengan girang mendapat kenyataan bambu itu masih utuh dan baik, dan panjangnya tepat untuk dia pakai sebagai senjata tongkat. Dia bangkit berdiri dan menjulurkan tangannya menyerahkan pedang Im-yang-kiam kepada Toa Ok sambil berkata dengan tenang.

   "Inilah Im-yang-kiam, boleh kau terima. Akan tetapi bebaskan Nona Tan dengan segera."

   Katanya.

   Toa Ok melepaskan tangannya yang menangkap lengan Kiok Hwa dan menggunakan tangan kiri itu untuk menerima Im-yang-kiam sambil tertawa. Akan tetapi tiba-tiba dia berseru.

   "Mampuslah!"

   Dan pedangnya dengan cepat sekali telah menyerang Kiok Hwa yang baru saja dilepas lengannya. Pedang menyambar ke arah leher gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dengan cepatnya Kiok Hwa dapat mengelak sambil menggeser kakinya.

   "Ehhh.....?"

   Toa Ok menjadi heran dan terkejut. Pedangnya menyambar lagi berturut-turut, akan tetapi sampai tiga kali pedangnya menyerang, tetap saja Kiok Hwa dapat mengelakkan diri dengan cepatnya.

   "Tua bangka curang!"

   Han Lin membentak dan dia sudah menyambar tongkat bambu tadi. Dengan tongkat itu dia menyerang ke arah Toa Ok sehingga kakek itu terpaksa meninggalkan Kiok Hwa dan menghadapi Han Lin dengan dua pedang di tangan!

   Han Lin segera mainkan Sin-kek -tung (Tongkat Bambu Sakti) dan tongkatnya bergerak seperti seekor naga bermain di antara gelombang yang menekan lawan. Toa Ok terkejut dan cepat memainkan sepasang pedangnya. Akan tetapi karena dia tidak biasa memainkan sepasang pedangnya, permainannya agak kaku dan pedang di tangan kiri itu hanya membantu saja, sedangkan yang benar-benar melakukan penyerangan adalah pedang di tangan kanan, yaitu pedang Kim-liong-kiam.

   Terjadi perkelahian yang amat hebat. Kini Han Lin mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan kepandaiannya. Bukan hanya tongkatnya yang bergelombang dimainkan dengan ilmu tongkat Sin-tek-tung, akan tetapi juga kadang kalau ada kesempatan, tangan kirinya melepaskan tongkat dan melakukan penyerangan dengan It-yang-ci yang ampuh. Diserang seperti ini, Toa Ok menjadi repot. Ilmu tongkat lawannya yang masih muda itu sudah membingungkannya, apalagi ditambah lagi dengan penyerangan It-yang-ci yang membuat dia gentar karena ilmu totok itu benar-benar dahsyat sekali dan amat berbahaya baginya. Dia merasa kecelik sekali. Tadinya dia mengira bahwa kalau pedang Im-yang-kiam sudah berada di tangannya, dia akan dengan mudah dapat membunuh Han Lin dan gadis itu. Sekarang ternyata bahwa pemuda itu menemukan sebuah senjata sederhana, sebatang tongkat bambu yang dapat di-mainkannya sedemikian hebatnya sehingga dia mulai terdesak. Jangankan membunuh kedua orang muda itu, mendesak Han Lin pun dia tidak mampu!

   Setelah lewat lima puluh jurus, Toa Ok menjadi benar-benar repot dan terdesak hebat. Pedangnya seolah bertemu dengan dinding baja, ke manapun pedangnya menyerang selalu bertemu dengan gulungan sinar tongkat bambu yang demikian kuatnya. Sebaliknya, ujung tongkat bambu itu beberapa kali mengancam jalan darahnya. Tiba-tiba Han Lin memutar tongkatnya secara aneh dan tahu-tahu tongkat itu sudah menyambar ke arah tenggorokan Toa Ok. Kakek ini terkejut sekali, cepat menarik tubuh atasnya ke belakang dan menggerakkan pedangnya menangkis. Pada saat itu, tangan kiri Han Lin menyerang dengan totokan It-yang-ci ke arah lengan kirinya.

   "Cusss....!"

   Siku lengan kiri Toa Ok terlanggar totokan dan seketika lengannya lumpuh dan pedang Im-yang-kiam terlepas dari pegangannya. Sebelum dia hilang kagetnya, pedang pusaka itu telah berpindah ke tangan kiri Han Lin!

   Biarpun dia kaget dan marah sekali, namun kakek yang licik ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka, maka sambil mengeluarkan suara melengking panjang, tubuhnya melayang jauh ke depan dan dia melarikan diri, lenyap di antara pohon-pohon. Han Lin yang sudah berhasil merampas kembali Im-yang-kiam, tidak melakukan pengejaran. Dia tersenyum senang dan memutar tubuhnya untuk menghadapi Kiok Hwa. Akan tetapi gadis itu tidak berada ditempat di mana ia tadi berdiri. Han Lin celingukan mencari-cari dengan pandang matanya akan tetapi tetap saja tidak dapat menemukan gadis itu. Akhirnya dia melihat coret-coretan di atas tanah di mana Kiok Hwa tadi berdiri.

   Cepat dihampirinya tempat itu dan tak lama kemudian dia sudah berjongkok membaca tulisan yang ditinggalkan Kiok Hwa di atas tanah itu.

   "Aku pergi karena tidak ingin terlibat ke dalam perkelahian-perkelahian dan permusuhan yang tiada habisnya."

   Han Lin tertegun, merasa betapa hatinya kosong dan kesepian. Dia merasa kehilangan sekali dengan kepergian gadis itu dan merasa ngelangsa. Kenyataan ini membuat dia merasa heran sendiri. Meng apa dia merasa begitu bersedih ditinggal pergi Kiok Hwa? Merasa kesepian dan keadaan sekelilingnya terasa tidak menarik lagi? Tiba-tiba dia teringat. Tadi, ketika ditawan Toa Ok, gadis itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar dan aneh, kemudian dia teringat pula betapa gadis itu diserang beberapa kali oleh pedang Toa Ok namun selalu dapat menghindarkan diri. Kenapa ketika ditangkap Kiok Hwa tidak menghindarkan diri? Dan pandang mata itu Han Lin termangu-mangu.

   Agaknya baru sekarang dia dapat memahami apa artinya pandang mata gadis itu. Kiok Hwa ingin mengujinya! Kiok Hwa ingin melihat apakah dia mau menukar pedang Im-yang-kiam untuk membebaskan dirinya. Kiok Hwa sengaja membiarkan dirinya ditawan untuk melihat sampai di mana pembelaannya terhadap gadis itu! Dan dia merasa girang sekali bahwa dia telah mengambil keputusan yang tepat, yaitu menyerahkan pedang untuk ditukar dengan kebebasan Kiok Hwa. Hal ini saja sedikitnya sudah menunjukkan bahwa dia memberatkan keselamatan gadis itu dari pada pedang Im-yang-kiam. Akan tetapi setelah mengetahui perasaannya terhadap dirinya, kenapa gadis itu meninggalkannya? Dalam waktu singkat itu, terbayanglah semua yang terjadi ketika gadis itu masih melakukan perjalanan bersamanya, ketika gadis itu masih dekat dengannya.

   Dan dalam bayangan ini, terasa olehnya betapa segala gerak-gerik gadis itu, setiap tutur katanya, setiap pandang matanya, selalu amat menyenangkan hatinya. Biarpun Han Lin belum pernah selamanya jatuh cinta kepada seorang wanita, namun dia merasakan betapa dia rindu terhadap Kiok Hwa, betapa di dalam hatinya hanya ada rasa suka dan selalu ingin berdekatan dengan gadis itu. Maka diam-diam diapun harus mengakui bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis ahli pengobatan itu. Bukan hanya tertarik karena wajahnya yang cantik jelita, akan tetapi terutama sekali karena tertarik oleh wataknya yang amat bijaksana dan berbudi mulia.

   "Kiok-moi......!"

   Dia mengeluh lalu menggendong buntalannya dan melanjutkan perjalanan dengan hati terasa hampa. Terasa benar himpitan cinta di dalam, hatinya pada saat itu. Dengan penuh kewaspadaan dia meneliti perasaannya sendiri dan dapat merasakan bahwa cinta asmara membuat dia rindu kepada wanita yang dicintanya. Rindu, ingin bertemu, ingin berkumpul, ingin mendekati, ingin menyenangkan, ingin menghibur dan ingin melindungi.

   "Kiok-moi.....!"

   Kembali dia mengeluh dan mempercepat langkahnya untuk mengusir pikiran yang mengganggu itu, akan tetapi juga dengan harapan mudah-mudahan dia akan dapat mengejar dan menyusul gadis itu!

   Senja telah tiba dan Han Lin belum juga bertemu dengan dusun. Dia berjalan menyusuri Sungai Huang-ho. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya membuat garis merah memanjang di permukaan sungai. Burung-burung yang sehari sibuk mencari makan sudah berbondong-bondong terbang pulang ke sarang. Cuaca mulai gelap. Han Lin mengeluh. Agaknya tidak terdapat dusun di dekat situ. Tidak tampak sebuahpun perahu, dan tidak ada pula penggembala ternak yang menggiring ternak mereka pulang kandang. Agaknya terpaksa dia harus melewatkan malam di alam terbuka.

   Baginya sudah terbiasa melewatkan malam di tempat terbuka, akan tetapi entah mengapa. Setelah ditinggalkan Kiok Hwa, dia merindukan kehadiran orang-orang lain dan dia akan merasa senang dan terhibur kalau dapat bermalam di rumah keluarga dusun. Akan tetapi agaknya dia harus melewatkan malam di tepi sungai seorang diri. Tidak akan ada makanan dan minuman hangat seperti kalau dia bermalam di rumah seorang dusun dengan keluarganya yang ramah. Padahal perutnya terasa lapar sekali. Terakhir kali perutnya terisi adalah ketika pergi tadi dia sarapan di sungai bersama Kiok Hwa. Gadis itu masih membawa bekal roti kering dan dia menangkap ikan besar yang banyak berkeliaran di tepi sungai, kemudian ikan itu dibumbui oleh Kiok Hwa dan dipanggang. Betapa lezatnya makan roti kering dengan panggang ikan! Apalagi makan bersama Kiok Hwa. Dan semenjak pagi tadi dia belum makan apa-apa, maka sekarang perutnya terasa lapar sekali.

   Dia harus cepat mencari makanan, sebelum malam tiba, pikirnya. Dia melepaskan buntalan pakaiannya dan meletakkan di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi sungai. Lalu dia mendekat ke tepi sungai, membawa sepotong bambu yang tadi dia pakai melawan Toa Ok. Maksudnya hendak mencari kalau-kalau ada ikan berenang di tepi, akan ditangkapnya dengan tongkat bambu itu. Akan tetapi hatinya kecewa karena di tepi sungai itu tidak ada ikan yang berenang. Untuk mencari ke tengah tentu saja dia tidak mampu karena tidak ada perahunya. Maka dia lalu meninggalkan tepi sungai dan mencari-cari di antara semak belukar. Akhirnya dia melihat apa yang dicarinya. Seekor kelenci bergerak hendak lari dari semak-semak.

   Cepat Han Lin melemparkan tongkat bambunya dan tepat tongkat bambu itu mengenai kelenci dan tewaslah binatang itu. Han Lin cepat mengambilnya. Kalau ada Kiok Hwa, gadis itu mempunyai persediaan yang lengkap. Pisau dan bumbu-bumbu. Akan tetapi dia sama sekali tidak mempunyai perlengkapan. Pisaupun tidak punya. Terpaksa dia menggunakan Im-yang-kiam, bagian mata pedang yang putih, untuk menguliti kelenci itu!

   Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi, Suaranya merdu dan Han Lin mengira bahwa yang bernyanyi itu seorang wanita, akan tetapi ternyata penyanyi itu seorang pemuda yang mendayung perahu ke tepi, dekat tempat dia duduk menguliti kelenci. Dia memandang dan melihat seorang pemuda remaja yang pakaiannya seperti seorang petani, wajahnya tampan dan tersenyum-senyum, mata nya bersinar-sinar nakal.

   "Aihh, menguliti kelenci menggunakan pedang! Ha-ha, betapa lucu dan canggungnya!"

   Pemuda itu berkata sambil tertawa ketika menarik perahunya ke pinggir dan mengikat tali perahunya pada pohon di bawah mana Han Lin duduk. Han Lin memperhatikan pemuda remaja itu. Seorang pemuda biasa saja, pemuda dusun, agaknya nelayan atau petani. Tampan dan gembira sikapnya.

   "Terpaksa, kawan. Aku tidak mempunyai pisau, maka terpaksa menggunakan pedang."

   Jawab Han Lin sambil tersenyum juga.

   "Pedang yang begitu indah lagi. Sayang dipergunakan untuk menguliti kelenci. Aku mempunyai pisau kalau engkau membutuhkannya."

   Kata pemuda itu dan dia mengambil sebuah pisau dari dalam perahunya, menyerahkannya kepada Han Lin.

   Han Lin tersenyum senang.

   "Engkau baik sekali, sobat. Terima kasih. Maukah engkau menemani aku memanggang kelenci ini dan makan bersamaku?"

   Dia menawarkan. Pemuda remaja itu mengernyitkan hidungnya, seperti memandang rendah.

   "Panggang kelenci? Pakai bumbu apa?"

   Han Lin menjadi rikuh.

   "Aku tidak mempunyai bumbu, jadi dipanggang begitu saja."

   "Ih, mana bisa dimakan? Daging apapun tidak enak rasanya tanpa bumbu. Aku tidak suka makan panggang daging tanpa bumbu, tentu rasanya hambar dan tidak enak. Kulitilah sampai bersih, buang isi perutnya. Nanti akan kuberi bumbu dan baru dipanggang."

   "Engkau mempunyai bumbunya?"

   "Jangan khawatir. Aku mempunyai persediaan lengkap."

   Kata pemuda remaja itu.

   "Bahkan aku mempunyai sepuluh buah bakpau yang masih baru, dan tadi aku menangkap enam ekor udang besar. Biarkan aku yang memanggang daging kelenci dan udang itu, ditanggung lezat!"

   Han Lin merasa girang sekali. Harus diakui bahwa dia tidak begitu pandai memanggang daging, apalagi tanpa bumbu. Rasanya memang tidak enak dan tidak karuan, hambar seperti dikatakan pemuda remaja itu.

   "Terima kasih. Engkau baik sekali. Aku sungguh beruntung dapat bertemu dan berkawan denganmu. Kenalkan, nama ku Han Lin. Engkau siapa?"

   "Aku Eng-ji."

   Jawab pemuda remaja itu dengan singkat dan dia mengeluarkan sebuah buntalan dari dalam perahunya, juga enam ekor udang besar yang masih hidup. Dibukanya buntalan itu dan ternyata dia membawa perlengkapan masak yang lebih lengkap dibanding perlengkapan yang dibawa Kiok Hwa. Bahkan terdapat pula panci, mangkok dan sumpit!

   "Sudah selesai membersihkan kelenci itu? Ke sinikan dagingnya dan buatkanlah api unggun yang besar."

   Kata Eng-ji dengan suara memerintah. Han Lin tidak membantah atau menjawab, melainkan memberikan daging kelenci dan pisaunya, mencuci tangannya lalu mencari dan mengumpulkan daun dan kayu kering untuk membuat api unggun.

   Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan cekatan dan trampil sekali Eng-ji memotong begini kelenci, memilih dagingnya dan membuang tulangnya, kemudian menusuk daging-daging itu dengan dua potong kayu. Setelah itu, dia menyayat enam ekor udang itu, memberinya bumbu seperti juga daging kelenci tadi, bumbunya sederhana saja, garam, mrica dan bawang, lalu dia membungkus udang itu dengan tanah liat! Han Lin memandang dengan heran dan tak dapat menahan dirinya untuk tidak bertanya.

   "Kenapa udang-udang itu dibungkus dengan tanah liat seperti itu? Apakah tidak menjadi kotor dan bagaimana memanggangnya?"

   Eng-ji memandang kepadanya, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum. Han Lin melihat betapa manisnya pemuda remaja itu kalau tersenyum. Giginya putih kecil-kecil dan rata.

   "Engkau belum pernah makan udang panggang bungkus tanah liat? Hem kau lihat dan coba saja nanti. Tidak ada masakan udang yang lebih lezat daripada di panggang dalam tanah liat begini."

   Mulailah Eng-ji memanggang dua tusuk daging kelenci dan enam ekor udang yang dibungkus tanah liat itu. Sibuk dia bekerja, dan ketika Han Lin hendak membantunya, ditolaknya dengan keras.

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini