Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 14


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Ah, kalau begitu, periksalah lukaku dan obati, enci!"

   Katanya khawatir. Kiok Hwa tersenyum lalu menghampiri Eng-ji. Ia berjongkok dan merobek celana itu agar terbuka lebih lebar dan memeriksa lukanya. Ketika melihat bentuk paha dan kaki Eng-ji, Kiok-hwa berseru heran dan kaget.

   "Engkau..... engkau seorang wanita....!"

   "Hushh, enci. Ini rahasiaku dan jangan kau katakan kepada pemuda tadi."

   "Maksudmu koko Han Lin?"

   Tanya Kiok Hwa.

   Eng-ji memandang tajam.

   "Engkau sudah mengenal Lin-ko?"

   "Aku pernah bertemu dengannya dan kami saling mengenal."

   "Hemm. Sekali lagi, harap engkau tidak membuka rahasiaku ini kepada Lin-ko. Dia tetap menganggap aku sebagai seorang pemuda yang bernama Eng-ji."

   Kiok Hwa tersenyum heran. Akan tetapi ia mengangguk.

   "Jangan khawatir, aku tidak membuka rahasiamu."

   Ia memeriksa lagi dan berkata.

   "Tahanlah, aku akan menotok dan memijat untuk mengeluarkan racun dari lukamu, agak nyeri sedikit."

   "Cepat lakukan, aku akan bertahan. Cepat, jangan sampai Lin-ko melihat keadaanku ini."

   Kiok Hwa lalu menotok ke jalan darah di sekitar luka, lalu memijit-mijit sehingga darah yang keracunan keluar dari luka. Memang terasa nyeri, akan tetapi, Eng-ji menggigit bibirnya dan tidak mengeluarkan keluhan sehingga mengagumkan hati Kiok Hwa. Gadis ini ternyata tabah dan tahan nyeri, seorang yang gagah sekali. Setelah racunnya keluar semua, ia menaburkan bubuk obat kepada luka itu dan membalut paha itu dengan sehelai kain bersih. Kemudian ia membantu Eng-ji menukar celananya yang robek. Mereka bekerja cepat dan untung Eng-ji telah menukar celananya karena tak lama kemudian Han Lin muncul. Melihat wajah pemuda itu yang muram, Eng-ji segera menyongsongnya dan jalannya agak terpincang.

   "Bagaimana, Lin-ko? Apakah engkau dapat mengejar dan menyusul mereka?"

   Han Lin menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang.

   "Tidak. Mereka menghilang dalam sebuah hutan. Aku menyesal sekali tidak dapat menyusul mereka..... ibuku..... ahhh....."

   Han Lin menjatuhkan diri duduk di bawah pohon dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Kedua matanya basah dan dia menahan isak tangisnya, mengeraskan hatinya sehingga kedua tangannya menjadi tegang dan kaku karena dia mengerahkan tenaganya untuk menahan tangisnya. Kiok Hwa dan Eng-ji saling pandang sambil mengerutkan alisnya. Kiok Hwa menggeleng kepalanya perlahan seolah hendak melarang Eng-ji berbuat sesuatu dan membiarkan Han Lin tenggelam ke dalam kesedihannya. Akan tetapi Eng-ji tidak perduli dan dengan kaki terpincang dia menghampiri Han Lin dan menjatuhkan diri berlutut dekat pemuda itu, menaruh tangannya dengan lembut kepundak Han Lin.

   "Lin-ko,"

   Katanya lembut.

   "Sudahlah jangan bersedih, Lin-ko. Benarkah wanita tadi ibumu?"

   Tanpa menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya, Han Lin. menjawab dengan suara lirih dan parau.

   "Aku yakin bahwa ia itu ibuku....."

   "Akan tetapi kenapa ia.... tidak mengakuimu dan seperti tidak mengenalmu, bahkan menyerangmu dengan dahsyat?"

   Eng-ji bertanya penasaran sekali.

   Han Lin menggeleng kepalanya lalu menghela napas panjang.

   "Agaknya ia terpengaruh sihir laki-laki yang bersenjata sabuk sutera putih itu...."

   "Dia adalah Ji Ok, Si Jahat Nomor Dua, jahanam keparat itu!"

   Kata Eng-ji.

   "Melihat keadaan bibi itu, kemungkinan besar ia telah minumracun perampas ingatan."

   Kata Kiok Hwa dengan suara lembut. Mendengar suara ini, Han Lin melepaskan kedua tangannya dari depan mukanya dan menoleh, memandang kepada Kiok Hwa. Mukanya masih pucat dan kedua pipinya basah air mata.

   "Kiok-moi! Aku sampai lupa kepadamu. Terima kasih, Kiok-moi, engkau tadi telah membantuku menghadapi iblis-iblis itu."

   "Ah, tidak perlu dibicarakan lagi itu, Lin-ko. Aku ikut prihatin melihat ibumu."

   Han Lin memandang kepada Eng-ji. Pandang matanya menuju ke pahanya.

   "Dan engkau tadi agaknya terluka, Eng-ji? Aku khawatir sekali karena pedang di tangan Sam Ok itu tentu mengandung racun dan kalau melukaimu....."

   "Memang ia yang melukai pahaku dan memang luka itu mengandung racun yang berbahaya. Akan tetapi untung ada enci ini yang mengobatiku. Eh, enci yang baik, sampai lupa aku bertanya. Siapakah namamu?"

   Kiok Hwa tersenyum.

   "Namaku Tan Kiok Hwa, adik Eng-ji."

   "Untung ada Enci Kiok, kalau tidak mungkin kakiku harus dipotong!"

   Han Lin memandang kepada Kiok Hwa.

   "Kiok-moi, benarkah pendapatmu tadi bahwa mungkin ibuku telah minum racun perampas ingatan?"

   "Besar sekali kemungkinannya, Lin-ko. Kalau ia hanya terpengaruh sihir, teriakanmu yang mengandung tenaga khi-kang sepenuhnya tadi tentu akan mampu membuyarkan sihir dan mengembalikan ingatannya. Akan tetapi kalau ia minum racun perampas ingatan, tentu saja tidak dapat disembuhkan dengan teriakanmu tadi."

   Han Lin menggangguk-angguk lalu bangkit berdiri. Eng-ji juga bangkit berdiri, akan tetapi dia terhuyung dan tentu akan roboh kalau saja Kiok Hwa tidak cepat merangkulnya. Eng-ji juga merangkul gadis itu sehingga keduanya saling rangkul. Eng-ji tertawa.

   "Ah, ternyata masih terasa nyeri juga pahaku ini!"

   Katanya, tanpa menyadari bahwa dia saling rangkul dengan Kiok Hwa. Melihat sikap yang demikian mesra, saling rangkul dan tidak segera melepaskan rangkulan antara pemuda remaja dan gadis itu, tiba-tiba saja Han Lin merasa jantungnya seperti dicengkeram. Sakit dan panas! Tanpa dia sadari, dia telah dicengkeram oleh rasa cemburu yang besar. Kiok Hwa dirangkul Eng-ji, demikian suara hatinya berteriak dengan marah!

   Cemburu! Suatu perasaan yang membuat orang merasa tidak enak sekali. Panas, pedih dan menimbulkan sakit hati dan kemarahan besar. Orang bilang bahwa cemburu adalah kembangnya cinta. Bahwa adanya cinta harus ada cemburu, bahkan katanya cinta tidak sungguh-sungguh tanpa adanya cemburu! Benarkah itu? Cemburu menimbulkan kemarahan, membuat cinta berbalik menjadi benci! Cemburu timbul karena perasaan bahwa orang yang dicintanya, yang dimilikinya, direbut orang. Bahwa yang dicintanya itu ternyata mencinta orang lain. Cemburu hanya timbul kalau cinta itu sifatnya ingin memiliki, ingin menguasai, ingin memonopoli orang yang dicintainya. Cemburu timbul dari cinta yang ingin menyenangkan diri sendiri, sehingga menjadi marah dan benci kalau diri sendiri tidak disenangkan lagi. Cemburu timbul dari cinta yang bergelimang nafsu berahi, nafsu memiliki dan nafsu ingin disenangkan. Cinta sejati tidak akan menimbulkan cemburu! Cinta sejati mendorong orang ingin menyenangkan hati orang yang dicintanya, ingin membahagiakan dan mengesampingkan keinginan untuk senang sendiri. Kebahagiaan orang yang dicintanya mendatangkan kebahagiaan padanya juga. Cinta sejati tidak ingin mengikat atau diikat, memberi kebebasan kepada orang yang dicintanya. Akan tetapiHan Lin adalah seorang manusia biasa dan semua manusia tidak akan terlepas dari cengkeraman nafsunya sendiri.

   Melihat Kiok Hwa berangkulan bersama Eng- ji, hatinya terasa seperti dibakar dan hal ini tampak dari pandang matanya yang berapi-api! Kiok Hwa dapat melihat pandang mata itu dan seketika ia melepaskan rangkulannya kepada Eng-ji. Ia baru sadar bahwa ia saling berangkulan dengan seorang "pemuda"

   Menurut pandangan Han Lin. Wajahnya berubah kemerahan, namun jantungnya berdebar tegang. Kenapa Han Lin tampak marah melihat ia berangkulan dengan seorang "pemuda"? Tentu hanya berarti satu, yaitu bahwa Han Lin tidak suka ia berangkulan dengan pemuda lain! Untuk menutupi rasa rikuh ini, Kiok Hwa menegur Eng-ji.

   "Engkau berhati-hatilah kalau berdiri Engkau bisa terjatuh. Racun di lukamu memang sudah hilang, akan tetapi luka itu sendiri belum sembuh benar."

   Eng-ji sendiri tidak melihat pandang mata Han Lin yang berapi-api melihat dia berangkulan dengan Kiok Hwa tadi.

   Dia sendiri lupa bahwa tidak sepatutnya dia sebagai seorang "pemuda"

   Berangkulan dengan Kiok Hwa demikian mesranya. Pada saat itu memang dia lupa bahwa dia seorang pemuda.

   "Lin-ko, orang bersenjata sabuk sutera putih tadi adalah Ji Ok. Tadi mereka bertiga muncul dengan lengkap, yaitu Thian-te Sam-ok dan bersama wanita tadilah mereka menyerang guruku ketika itu."

   Kata Eng-ji.

   "Dan dua orang tosu tadi adalah tosu dari Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), tampak dari gambar teratai putih di balik jubah mereka."

   Kata Kiok Hwa.

   "Hemm, ternyata ibuku masih hidup dan ia telah terjatuh ke tangan Thian-te Sam-ok. Bagaimanapun juga aku harus membebaskan ibuku dari tangan mereka."

   Kata Han Lin sambil mengepal tinjunya.

   "Jangan khawatir, Lin-ko. Aku akan membantumu membebaskan ibumu!"

   Kata Eng-ji penuh semangat.

   "Akupun akan suka membantumu, Lin-ko,"

   Kata Kiok Hwa.

   "Akan tetapi bagaimana? Ke mana kita harus mencari mereka?"

   "Enci Kiok Hwa, benarkah kata-katamu tadi bahwa dua orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw?"

   Tanya Eng-ji kepada Kiok Hwa.

   "Benar sekali, Eng-ji. Aku melihat gambar teratai putih itu di balik jubah mereka."

   "Kalau begitu, Thian-te Sam-ok agaknya tentu berdiam di sarang Pek-lian-kauw dan aku tahu bahwa di balik gunung di sana itu terdapat sebuah bukit yang disebut Bukit Perahu dan di sana terdapat sarang cabang Pek-lian-kauw. Tentu mereka melarikan diri ke sana."

   "Bagus kalau begitu!"

   Kata Han Lin.

   "Aku akan menyusul ke sana!"

   "Aku ikut, Lin-ko!"

   Kata Eng-ji.

   "Akupun akan membantumu, Lin-ko."

   Kata Kiok Hwa.

   "Sebaiknya kalian tidak ikut, apalagi engkau, Kiok-moi.

   Perjalananku ini adalah untuk berusaha membebaskan ibuku dari cengkeraman Thian-te Sam-ok dan ini berbahaya sekali. Selain mereka bertiga itu sakti, juga Pek-lian-kauw memiliki tosu-tosu yang lihai. Aku tidak ingin kalian terancam bahaya kalau ikut denganku."

   "Aku tidak takut bahaya, Lin-ko. Enci Kiok Hwa lebih baik tidak ikut, akan tetapi aku akan ikut denganmu. Aku tidak takut mati!"

   Kata Eng-ji kukuh.

   "Akan tetapi yakinkah engkau bahwa bibi tadi ibumu, Lin-ko?"

   Tanya Kiok Hwa.

   "Akupun heran, Lin-ko. Bukankah dulu engkau pernah mengatakan kepadaku hahwa ibumu telah meninggal dunia?"

   Tanya pula Eng-ji.

   Han Lin menghela napas panjang. Teringat dia akan peristiwa ketika dia berusia sepuluh tahun dan mereka dikejar-kejar Suma Kiang itu.

   "Aku melihat sendiri ketika ibuku dikejar-kejar seorang jahat, ibu terjatuh ke dalam jurang yang teramat dalam. Tak mungkin kiranya orang yang terjatuh ke dalam jurang tak berdasar seperti itu akan tinggal hidup. Akan tetapi aku yakin benar bahwa wanita tadi adalah ibuku! Akan tetapi sungguh aneh dan mengherankan sekali bagaimana ia muncul sebagai isteri Ji Ok dan sama sekali tidak mengenalku. Dan ibu yang dahulu tidak pandai ilmu silat itu sekarang menjadi demikian lihai."

   Kembali dia menghela napas panjang dengan wajah muram.

   "Sudahlah, Lin-ko, tidak perlu engkau bersedih terus. Yang penting sekarang marilah cepat mencari ibumu di sarang Pek-lian-kauw di Bukit Perahu!"

   Kata Eng-ji penuh semangat. Mendengar ini, timbul pula semangat di hati Han Lin.

   "Baiklah, mari kita berangkat. Sebaiknya engkau tidak ikut, Kiok-moi. Aku khawatir kalau-kalau engkau terancam bahaya."

   Kata-kata ini keluar dari hati Han Lin yang mengkhawatirkan dara yang dicintanya itu.

   "Jangan khawatir, aku dapat menjaga diriku, Lin-ko. Mari kita berangkat."

   Kata Kiok Hwa. Mereka lalu pergi dari situ menuju ke gunung yang tampak menghadang di depan. Malam itu terang bulan. Akan tetapi karena terhalang hutan yang lebat di gunung itu, terpaksa Han Lin, Eng-ji dan Kiok Hwa menghentikan perjalanan mereka dan melewatkan malam di tengah hutan. Han Lin yang tampak murung dan berduka mendatangkan suasana sunyi dan diam. Bahkan Eng-ji yang biasanya lincah itu tampak pendiam, mengetahui akan kedukaan yang mengganggu hati Han Lin. Akan tetapi diam-diam diapun memperiapkan makanan malam untuk mereka bertiga, dibantu Kiok Hwa. Mereka berdua menyambit jatuh tiga ekor burung yang cukup besar dan memanggang daging burung itu untuk menjadi teman roti kering yang dibawa Kiok Hwa.

   "Lin-ko, mari makanlah. Kami telah memanggang daging burung untukmu."

   Kata Eng-ji menawarkan.

   Han Lin memandang tak acuh. Hatinya sedang tertindih perasaan duka yang mendalam. Mana mungkin ada selera makan dalam keadaan seperti itu? Maka dia hanya menggeleng kepalanya.

   "Lin-ko, makanlah dulu. Mari kita bertiga makan bersama, tidak baik perut dibiarkan kosong. Engkau bisa masuk angin."

   Kembali Eng-ji membujuk sambil menarik-narik tangan Han Lin. Kiok Hwa memandang ulah Eng-ji dan diam-diam ia merasa kasihan kepada Eng-ji. Dari sikap Eng-ji, ia maklum bahwa yang menyamar pria itu sebenarnya mencinta Han Lin! Hal ini mudah diduganya dari gerak-gerik dan pandang mata Eng-ji kepada pemuda itu. Melihat Eng-ji tidak berhasil membujuk Han Lin untuk makan, padaha Eng-ji sudah susah payah memanggangkan daging burung untuk pemuda itu, Kiok Hwa menjadi kasihan juga.

   "Eng-ji benar, Lin-ko. Engkau harus makan malam bersama kami. Tidak baik membiarkan hati berduka dan perut kosong. Engkau dapat jatuh sakit."

   "Ah, aku tidak ada selera makan Kiok-moi."

   "Harus dipaksa, Lin-ko. Bukan demi selera, melainkan demi kesehatan dan Eng-ji sudah bersusah payah membuatkan panggang daging burung untukmu."

   Han Lin merasa tidak enak menolak terus, maka dengan sikap apa boleh buat diapun duduk di dekat api unggun dan mereka bertiga makan roti kering dan panggang daging burung sambil minum air teh. Akan tetapi Han Lin hanya makan sedikit. Malam terang bulan. Bulan sepotonp itu cukup terang karena tidak terhalang awan. Langit amat bersih dan cahaya bulan sepotong mendatangkan cahaya kebiruan yang mendatangkan suasana romantis.

   Han Lin bangkit berdiri dan pergi menjauhi api unggun, menghampiri sebuah batu besar dan duduk di atas batu, melamun. Eng-ji saling pandang dengan Kiok Hwa dan melihat wajah Eng-ji yang demikian muram dan nelangsa, ia merasa kasihan. Ia menggunakan mukanya memberi isarat kepada Eng-ji untuk mendekati dan menemani Han Lin sedangkan ia sendiri menjaga agar api unggun tidak menjadi padam. Eng-ji maklum akan isarat itu dan dia lalu bangkit dan menghampiri batu besar di mana Han Lin duduk melamun.

   "Lin-ko......!"

   Katanya lirih.

   Tanpa menoleh Han Lin berkata kepadanya.

   "Eng-ji, kuminta dengan sangat agar engkau tidak menggangguku pada saat ini. Aku ingin bersendiri, tinggalkanlah aku dan beristirahatlah."

   "Lin-ko, aku ingin menemanimu, menghiburmu....."

   Kata pula Eng-ji dengan suara membujuk.

   "Sudah kukatakan, jangan ganggu aku Eng-ji!"

   Kata Han Lin dan suaranya terdengar agak ketus. Eng-ji mundur dar meninggalkannya. Dia duduk dekat apj unggun, di mana Kiok Hwa juga duduk.

   "Enci Kiok, dia marah kepadaku."

   Kata Eng-ji, penasaran dan kecewa, bahkan suaranya agak parau seperti orang mau menangis. Kiok Hwa merasa kasihan kepadanya.

   "Dia sedang berduka, Eng-ji. Sebaiknya dalam keadaan seperti itu biarkan saja dia seorang diri sampai kedukaannya mereda. Lebih baik engkau istirahat saja, tidur, biar aku yang berjaga di sini."

   Eng-ji memandang ke langit, ke arah bulan sepotong. Ada awan-awan tipis datang dan lewat, menipu penglihatan seolah-olah bulannya yang bergerak, bukan awannya.

   "Kau lihat bulan itu, enci Kiok. Aku merasa seperti bulan itu."

   Kiok Hwa menegadah.

   "Eh, seperti bulan itu? Mengapa?"

   "Menyendiri, kesepian!"

   Jawab Eng-ji yang lalu bangkit dan menyambung kata-katanya.

   "Sebaiknya aku tidur saja, untuk apa berjaga kalau tidak diperdulikan orang?"

   Diapun pergi ke bawah pohon, membersihkan tanah di bawahnya, menaburkan daun-daun kering lalu dia merebahkan diri miring, berbantalkan buntalannya. Sebentar saja dia tidak bergerak-gerak lagi dan pernapasannya halui tanda bahwa dia telah tidur pulas.

   Kiok Hwa memandang kepadanya, tersenyum, lalu menoleh ke arah Han Lin. Pemuda itu masih duduk termenung memandang ke langit, agaknya juga memandangi bulan. Berulang kali dia menarik napas panjang. Kiok Hwa merasa iba kepada pemuda itu. Ia sendiri sudah tidak mempunyai ayah bunda sehingga tidak ada yang diharapkannya lagi, tidak ada yang disusahkannya. Akan tetapi ia dapat merasakan betapa bingung dan hancur hati Han Lin yang menemukan kembali ibunya yang tadinya disangka telah mati itu dalam keadaan seperti itu.

   Kiok Hwa menengok lagi ke arah Eng-ji. Gadis yang menyamar pemuda itu masih tidur nyenyak. Watak Eng-ji yang masih muda itu demikian mudah berubah. Sebentar susah sebentar senang! Orang yang lincah seperti dia itu tidak dapat berlama-lama dalam kesusahan. Sebentar saja apa yang mengganjal hatinya akan lewat dan terlupa. Kalau tadi kelihatan kecewa dan bersedih karena merasa diabaikan oleh Han Lin, kini dia sudah tidur dan terbuai di alam mimpi! Sampai hampir tengah malam, Kiok Hwa melihat bahwa Han Lin masih saja duduk melamun seperti telah berubah menjadi arca batu, duduk diam tidak bergerak sama sekali di atas batu besar itu. Ia merasa kasihan sekali dan perlahan-lahan ia bangkit berdiri setelah menaruh kayu-kayu bakar kedalam api unggun. Lalu ia melangkah perlahan menghampiri batu besar dari arah belakang Han Lin. Setelah tangannya menyentuh batu besar itu iapun berkata lirih seperti kepada diri sendiri.

   "Susah dan senang datang silih berganti seperti ombak samudera yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Yang satu tidak dapat berada tanpa yang lain, silih berganti saling menguasai singgasan hati. Membiarkan diri hanyut terlalu dalam ke dalam gelombang susah senang bukanlah perbuatan bijaksana."

   Han Lin tersadar dari lamunannya merasa seolah ditarik oleh suara itu kembali ke dunia nyata. Dia merasa seolah mendengar suara Bu-beng Lo-jin, karena pernah gurunya itu mengeluarkan kata-kata yang sama artinya dengan yang baru saja terdengar olehnya itu. Dia menoleh dan melihat Kiok Hwa berdiri di bawah, di dekat batu besar yang didudukinya.

   
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, engkau itu, Kiok-moi? Kata-katamu menyadarkan aku dari alam lamunan. Engkau benar. Aku terlalu membiarkan diriku terseret dan hanyut ke dalam duka. Kiok-moi, maukah engkau naik ke sini, duduk dan bercakap-cakap denganku untuk memberi kesadaran sepenuhnya kepadaku? Hatiku sedang merana, dan aku merasa kehilangan kepribadianku."

   Kiok Hwa meragu, menoleh ke arah di mana Eng-ji tertidur. Ia melihat betapa Eng-ji masih pulas tidak bergerak-gerak, dan ia merasa kasihan kepada pemuda yang amat dikaguminya itu.

   "Baiklah."

   Katanya dan iapun melompat ke atas batu besar itu dengan gerakan ringan sekali.

   "Aku akan menemanimu bercakap-cakap sebentar, akan tetapi Engkau perlu istirahat, Lin-ko."

   Mereka duduk saling berhadapan di atas batu besar itu. Batu itu mempunyai permukaan yang rata, maka mereka dapat duduk bersila dengan enak di atasnya. Setelah duduk saling berhadapan di bawah sinar bulan itu, Han Lin mengamati dengan tajam wajah gadis yang diam-diam telah menjatuhkan hatinya itu.

   "Kiok-moi, kata-katamu tadi menyadarkan aku, seolah aku ditarik kembali kealam kenyataan oleh suaramu. Dan kata-katamu tadi tidak asing bagiku karena kelima orang guruku sudah sering membicarakannya. Aku tahu bahwa susah senang adalah dua hal yang tak terpisahkan mempengaruhi kehidupan manusia, bahwa itu adalah dua sifat yang saling bertentangan akan tetapi saling mengis dari Im dan Yang, dua kekuatan yan membuat alam semesta ini berputar, du kekuatan yang kalau bertemu dapat menimbulkan kehidupan di alam semesta ini Aku tahu akan semua itu dan bahka hafal akan pelajaran tentang Im dan Yang itu. Orang tidak akan mengenal Yan kalau tidak mengenal Im. Orang tida akan mengenal kesusahan kalau tidak mengenal kesenangan dan sebaliknya Menurut ujar-ujar para bijaksana, manusia baru akan dapat membebaskan dirinya secara penuh kalau dia tidak terseret oleh gelombang yang diakibatkan oleh Im dan Yang (Positif dan Negatif) itu. Akan tetapi, Kiok-moi, aku manusia biasa. Kedukaan yang menyelubungi hatiku ini tidak kubuat-buat, melainkan datang dengan sendirinya sebagai akibat daripada kenyataan yang kuhadapi. Betapa hatiku tidak akan hancur melihat ibuku seperi itu? Ah, engkau tidak tahu apa yang pernah diderita ibuku tercinta! Ibuku ditinggal ayah kandungku, kemudian ibu dan aku diculik penjahat, hampir saja ibuku diperkosa sehingga ia menggigit putus lidahnya sendiri. Kami dikejar-kejar penjahat sehingga hidup penuh penderitaan lahir batin. Kemudian aku melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa ibuku terjungkal ke dalam jurang yang tak berdasar sehingga tadinya aku yakin bahwa ibuku telah meninggal dunia. Kalau ibu meninggal dunia ketika terjatuh itu, berarti ia telah terbebas dari kesengsaraan hidup di dunia. Akan tetapi ternyata ia masih hidup dan berada dalam cengkeraman manusia-manusia iblis seperti Thian-te Sam-ok! Ah, dapat kubayangkan betapa hebat penderitaan ibuku yang tercinta itu! Bagaimana aku dapat menahan kedukaan yang begini besar, Kiok-moi? Ahhh, kasihan ibuku.....!"

   Han Lin tidak dapat menahan kesedihan hatinya lagi dan teringat akan keadaan ibunya, kedua matanya basah dan dia menundukkan mukanya. Sudah sejak pertemuan pertama, hati Kiok Hwa terpikat oleh Han Lin dan gadis yang bijaksana ini paham betul bahwa diam-diam ia jatuh cinta kepada pemuda itu. Kini, melihat wajah pemuda itu diliputi kedukaan, kedua matanya basah dan seluruh tarikan mukanya menunjukkan kepedihan hati yang amat besar, hati Kiok Hwa terasa seperti diremas-remas. Ia merasa kasihan sekali dan ingin ia menghibur hati pemuda itu sedapatnya. Karena ia merasa terharu sekali, perasaan hatinya mendorongnya untuk menyentuh pundak Han Lin dengan tangannya.

   "Lin-ko, kita memang manusia lemah Tak mungkin kita dapat menguasai hati kita sendiri. Karena itu, satu-satunya jalan hanyalah menyerah kepada Thian Yang Maha Kasih."

   Suara gadis itu menggetar penuh keharuan. Sentuhan tangan Kiok Hwa pada pundaknya mendatangkan getaran yang terasa menyusup ke seluruh dirinya. Seakan mencari pegangan bagi hatinya yang sedang limbung itu Han Lin menangkap tangan itu, memegang dan meremasnya lembut. Dua pasang mata saling bertemu dan bertaut.

   "Kiok-moi.....!"

   "Lin-ko.....!"

   Entahlah siapa yang bergerak lebih dahulu, akan tetapi tahu-tahu Kiok Hwa telah rebah dalam pelukan Han Lin dan gadis itu menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu. Han Lin mendekap kepala itu dengan kuat, seolah takut akan kehilangan sebuah mustika. Sampai lama sekali mereka berdua tenggelam dalam keadaan seperti itu. tak sepatahpun kata keluar dari mulut mereka, akan tetapi detak jantung mereka seperti bicara dalam seribu bahasa. Seluruh tubuh mereka tergetar oleh kekuatan ajaib yang menyusup ke dalam diri mereka. Pernapasan mereka seolah telah menjadi satu, detak jantung mereka pun menjadi seirama. Akhirnya Han Lin yang berbisik, suaranya penuh getaran karena keharuan dan kebahagiaan menyelubungi hatinya.

   "Terima kasih, Kiok-moi..... terima kasih.... engkau telah memberi kekuatan hidup kembali kepadaku....."

   Han Lin menunduk dan mencium rambut kepala gadis itu. Kiok Hwa terisak. Air matanya bercucuran membasahi baju Han Lin dan menembus membasahi kulit dadanya, menembus lagi menyirami jantungnya.

   Terasa sejuk segar mendatangkan gairah hidup baru, membangkitkan semangatnya. Han Lin memperkuat rangkulannya.

   "Engkau... engkau menangis, Kiok-moi...,?"

   Perlahan dengan lembut Kiok Hwa melepaskan kedua lengan Han Lin yang merangkulnya. Dengan mata basah ia memandang wajah pemuda itu dan tersenyum. Di bawah sinar bulan, wajah yang tersenyum dengan kedua mata basah itu tampak demikian cantik menggairahkan.

   "Aku..... aku bahagia, Lin-ko....."

   Tiba tiba ia menoleh kepada Eng-ji. Gadis yang menyamar sebagai pemuda itu telah membalikkan tubuhnya dan kini mukanya menghadap kepada mereka, akan tetapi kedua matanya masih terpejam dan tidak bergerak sama sekali.

   "Akan tetapi..... disana ada Eng-ji....."

   Han Lin juga baru teringat bahwa ada Eng-ji di situ.

   "Apa hubungannya dengan dia, Kiok-moi? Kita saling mencinta dan dia..... eh, Kiok-moi, apakah..... apakah dia..... juga mencintamu?"

   Kiok Hwa tersenyum.

   "Bagaimana engkau dapat menduga begitu, Lin-ko?"

   "Kulihat hubungan antara kalian demikian akrab dan mesra......!"

   Kata Han Lin, cemburu mulai menggerogoti hatinya.

   "Ah, kami memang saling menyayang, akan tetapi menyayang seperti saudara."

   Kiok Hwa lalu melompat turun dari atas batu besar.

   "Lin-ko, sekarang engkau harus beristirahat, biar aku yang menjaga api unggunnya."

   Api unggun itu sudah mengecil karena hampir kehabisan kayu bakar. Kiok Hwa menghampiri dan menambahkan kayu bakar. Han Lin masih duduk di atas batu besar. Seluruh tubuhnya masih gemetar karena gelora perasaannya ketika berpelukan dengan Kiok Hwa tadi.

   "Engkau yang harus beristirahat, Kiok moi. Biar aku yang berjaga."

   Katanya sambil melompat turun dari atas batu besar. Dia menghampiri Kiok Hwa di dekat api unggun, duduk di dekatnya dan hendak merangkul lagi. Akan tetapi dengan lembut Kiok Hwa mengelak dan menjauhkan diri.

   "Sudahlah, Lin-ko. Kita harus merahasiakan perasaan hati kita."

   Katanya sambil menoleh kepada Eng-ji.

   "Dan engkau tidurlah dulu, engkau perlu beristirahat untuk mengusir pergi semua perasaan dukamu."

   Han Lin merasa heran ketika tiba-tiba teringat betapa dia sama sekali sudah tidak merasa berduka, bahkan sama sekali telah melupakan ibunya! Kini dia seperti diingatkan dan kemuraman mulai menyelubungi wajahnya kembali.

   "Baiklah, Kiok-moi. Aku beristirahat lebih dulu, nanti kugantikan engkau berjaga."

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   Han Lin menjauhi api unggun dan duduk bersila. Begitulah caranya beristirahat dan dia tidak memerlukan tidur karena dengan bersila dia dapat mengendurkan semua urat syarafnya dan mengaso. Dua orang itu sama sekali tidak tahu, tadi telah terlena oleh gelombang asmara sehingga tidak tahu bahwa Eng-ji membuka matanya dan melihat mereka saling berangkulan! Hampir saja Eng-ji melompat bangun saking marahnya. Akan tetapi dia menahan diri dan pura pura tertidur. Padahal setelah melihat dan menyaksikan sendiri betapa Han Li dan Kiok Hwa saling mencinta, dia sama sekali tidak dapat tidur lagi dan diam diam, tanpa suara dia menangis. Air matanya bercucuran dan dia mengepal kedua tangannya kuat-kuat, seolah hendak menahan dirinya melakukan sesuatu yang merusak.

   Pada keesokan harinya, Eng-ji tidak berkata apa-apa dan tidak menyinggung tentang peristiwa yang dilihatnya semalam. Akan tetapi dia bersikap pendiam tidak seperti biasanya, bahkan setiap kali dia memandang kepada Kiok Hwa, sinar matanya seperti mengeluarkan sinar kilat Kiok Hwa adalah seorang gadis yang berperasaan halus dan peka sekali. Ia sudah melihat perubahan sikap Eng-ji dan menduga-duga apa yang menyebabkan dia bersikap seperti itu. Diam-diam timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Jangan-jangan Eng-ji telah mengetahui tentang hubungan cintanya dengan Han Lin! Ia terasa khawatir sekali karena ia dapat menduga bahwa gadis yang menyamar sebagai pria itu mencinta Han Lin!

   Pada suatu hari tibalah mereka di kota Tai-goan yang besar dan ramai. Mereka menyewa dua buah kamar. Sebuah untuk Kiok Hwa seorang diri dan sebuah kamar lagi untuk Han Lin dan Eng-ji. Kiok Hwa merasa tidak enak sekali melihat Han Lin tidur sekamar dengan Eng-ji akan tetapi karena mengingat bahwa Eng-ji dianggap pria oleh Han Lin, maka iapun menyingkirkan perasaan tidak enak itu. Malam itu tanpa banyak cakap mereka makan di rumah makan, kemudian memasuki kamar masing-masing untuk mengaso. Han Lin yang melihat Eng-ji diam saja tidak mengusik, maklum akan keanehan watak "pemuda"

   Remaja itu.

   Dianggapnya Eng-ji sedang mengambek, entah karena apa. Tak lama kemudian Han Lin sudah tidur pulas. Dia tidak tahu betapa Eng-ji turun dari pembaringannya, ada dua pembaringan di kamar itu, dan Eng-ji keluar dari kamar itu dengan hati-hati sambil membawa pedangnya! Kiok Hwa sudah tidur pulas akan tetapi ia dapat menangkap suara yang tidak wajar pada jendela kamarnya.

   Ketika bayangan itu berkelebat memasuki kamar, ia sudah melihatnya, bahkan dari sinar penerangan yang menerobos dari luar, ia mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Eng-ji! Kiok Hwa terkejut, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan tetap tidur pulas, akan tetapi setiap urat syarafnya tegang berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak dapat melihat dengan jelas wajah Eng-ji, akan tetapi dengan melihat bahwa Eng-ji membawa sebatang pedang terhunus! Kiok Hwa sudah berjaga-jaga. Kalau Eng-ji menyerang dengan pedangnya, tentu ia akan mengelak. Ia sudah bersiap siaga untuk menghadapi serangan itu. Ia melihat Eng-ji melangkah maju menghampiri pembaringan di mana ia rebah telentang.

   Di depan pembaringan ia berdiri mematung, tak bergerak seolah merasa ragu apa yang akan dilakukannya. Tiba-tiba ia mengangkat pedangnya ke atas, siap untuk membacok. Kiok Hwa juga sudah siap untuk menghindar. Akan tetapi setelah pedang tiba di atas kepala, pedang itu berhenti dan tidak segera dibacokkan, bahkan pedang itu turun kembali, tergantung di sisi tubuh Eng-ji. Kembali dia berdiri seperti berubah menjadi patung, sampai lama. Kiok juga berdiam diri, sama sekali tidak bergerak. Kembali pedang diangkat, siap membacok. Kembali Kiok Hwa bersiap untuk mengelak. Sampai lama pedang diangkat ke atas, tidak juga dibacokkan.

   "Kau merebutnya dariku...... kau merebutnya dariku....."

   Eng-ji berbisik-bisik dan kembali pedangnya bergerak, seperti hendak membacok, akan tetapi ditahannya. Akhirnya dia terisak, memutar tubuhnya dan membacokkan pedangnya pada sebuah bangku.

   "Crokkk!!"

   Bangku itu pecah menjadi dua potong. Eng-ji melempar pedangnya di atas meja dan diapun menjatuhkan dirinya duduk di atas bangku dekat meja itu dan menangis. Kiok Hwa bangkit dari pembaringan lalu turun.

   "Eh, engkaukah itu, adik Eng ji? Engkau menangis? Kenapakah, dan apa maksudmu malam-malam begini datang berkunjung?"

   Kiok Hwa menghampir dan merangkul pundak Eng-ji.

   Sambil terisak Eng-ji merenggutkar tangan Kiok Hwa yang memegang pundaknya.

   "Jangan sentuh aku!"

   "Aih, Eng-ji! Engkau kenapakah? Kenapa engkau marah-marah kepadaku? Apa kesalahanku kepadamu?"

   Akan tetapi mendengar pertanyaan ini, tangis Eng-ji semakin mengguguk sampai pundaknya bergoyang-goyang Kiok Hwa membiarkannya menangis. Setelah tangis itu mereda, ia bertanya lagi "Sekarang ceritakanlah, Eng-ji. Kenapa engkau begini marah dan berduka. Apa yang telah terjadi?"

   Tanya Kiok Hwa padahal di dalam hatinya ia sudah dapat menduga mengapa Eng-ji bersikap seperti itu. Tentu karena peristiwa beberapa hari yang lalu, di malam hari itu ketika ia saling menumpahkan rasa kasih sayangnya dengan Han Lin. Tentu Eng-ji telah melihatnya!

   "Engkau.... engkau pengkhianat!"

   Eng-li akhirnya dapat mengeluarkan kata-kata.

   "Apa..... apa maksudmu, Eng-ji?"

   Kiok Hwa bertanya, hatinya berdebar keras.

   "Engkau mengkhianatiku! Engkau merebut Lin-ko dariku......!"

   Kata Eng-ji sambil bangkit dan menatap wajah Kiok Hwa dengan mata mencorong marah.

   "Ah, itukah? Eng-ji, jadi engkau mencinta Lin-ko?"

   "Aku mencintanya dengan sepenuh jiwa ragaku. Aku mencintanya lama sebelum engkau muncul. Dan engkau mencoba untuk merebut dia dariku. Karena itu, ingin aku membunuhmu...... akan tetapi...ah, aku benci kamu! Benci kamu!"

   Eng-ji menangis lagi.

   "Adik Eng-ji, kalau engkau memang demikian mencintanya......, engkau memang jauh lebih cocok dengan dia. Kalian sama-sama pendekar gagah perkasa, tukang berkelahi, sedangkan aku...."

   "Awas, enci Kiok Hwa......!!"

   Tiba-tiba Eng-Ji berseru. Akan tetapi pada saat itu, sebuah benda dilemparkan orang dari jendela dan benda itu meledak, menimbulkan asap hitam yang tebal memenuhi kamar itu. Eng-ji menahan napas dan dia masih dapat melihat beberapa sosok bayangan berkelebatan memasuk kamar itu dan seorang di antara bayangan itu melompat ke dekatnya. Dengan hati marah sekali Eng-ji lalu mengerahkan tenaganya dan memukul dengan ilmu Toat-beng Tok-ciang, dengan jari-jari tangan terbuka.

   "Wuuuttt..... desss.....!!"

   Karena keadaannya gelap, pukulannya mengenai sasaran, tepat mengenai pundak orang itu. Orang itu terpelanting, akan tetapi karena kamar itu penuh asap tebal, Eng-ji tidak melihat apa-apa. Dia lalu melompat ke arah pintu kamar dan mendorong daun pintu terbuka. Suara ribut-ribut itu menarik perhatian para tamu losmen yang lain. Mereka keluar dari kamar dan terkejut melihat asap tebal keluar dari kamar Kiok Hwa.

   Han Lin juga sudah berada di situ dan melihat Eng-ji keluar dari kamar itu sambil membawa pedang, Han Lin terkejut.

   "Eng-ji, apa yang telah terjadi? Mana Kiok Hwa?"

   Tanya Han Lin. Eng-ji terbatuk-batuk karena tadi menahan napas ketika keluar dari kamar yang penuh asap itu.

   "Ia berada dalam kamar. Tadi kami berdua berada di dalam kamar ketika tiba-tiba ada yang melemparkan benda meledak di dalam kamar yang mengeluarkan asap tebal."

   Kata Eng-ji bukan tanpa rasa cemburu karena Han Lin tampaknya demikian mengkhawatirkan Kiok Hwa.

   Mendengar ini, Han Lin menahan napas dan melompat ke dalam kamar yang masih penuh dengan asap itu. Dia melepaskan bajunya dan menggunakan tenaga sin-kang untuk me-ngebut-ngebut sehingga asap membubung keluar dari jendela dan pintu. Setelah sap menipis, dan dia dapat melihat, ternyata Kiok Hwa tidak berada dalam kamar itu! Eng-ji juga memasuki kamar dan dia pun merasa heran tidak dapat menemukan Kiok Hwa. Ketika dia melihat pandang mata Han Lin kepadanya, dia berkata,

   "Tadi enci Kiok Hwa masih berada di sini!"

   Para penghuni kamar losmen yang lain bubaran setelah ternyata tidak terjadi apa-apa, meninggalkan Han lin dan Eng-ji yang masih berada di kamar itu.

   "Ke mana perginya Kiok-moi?"

   Tanya Han Lin kepada diri sendiri dan dia memeriksa keadaan kamar itu dengan teliti. Buntalan pakaian Kiok Hwa masih berada di kamar itu. Akan tetapi dia melihat bangku yang pecah menjadi dua potong bekas terbabat pedang dan dia memeriksa bangku itu.

   "Agaknya terjadi penyerangan di sini."

   Katanya dan Eng-ji diam saja karena bangku itu tadi dia yang membacoknya sehingga menjadi pecah.

   "Jangan-jangan enci Kiok Hwa telah berlari keluar melalui jendela."

   Katanya penuh harap.

   "Ah, lihatlah ini!"

   Han Lin menghampiri dinding di mana tertancap sebatang belati. dan terdapat sehelai kertas berisi tulisan di pisau itu. Han Lin mencabut pisau itu dan melemparkan pisau ke atas meja setelah mengambil suratnya. Kertas itu mengandung tulisan yang singkat.

   "Kalau ingin gadis itu dibebaskan, antarkan Im-yang-kiam ke Bukit Perahu."

   "Jahanam!"

   Han Lin mengepal tinjunya.

   "Thian-te Sam-ok keparat!"

   Eng-ji mengambil surat itu dari tangan Han Lin dan membacanya.

   "Hemm, tentu Sam Ok yang telah menawan enci Kiok Hwa dan membawanya ke sarang Pek-lian-kauw. Sayang tadi keadaannya gelap sekali sehingga aku tidak dapat melihat apa-apa. Akan tetapi aku telah berhasil memukul roboh seorang di antara mereka. Pukulanku itui keras sekali, aku yakin orang yang kupukul tentu akan mampus!"

   "Keparat Toa Ok!"

   Kembali Han Lin memaki.

   "Agaknya dia masih belum mau berhenti sebelum mendapatkan Im-yang-kiam. Berkali-kali dia mengajak teman-temannya untuk menyerangku dan merampas Im-yang-kiam dan sekarang dia menggunakan cara yang amat curang, menculik Kiok-moi."

   "Sekarang apa yang akan kau lakukan, Lin-ko?"

   "Tentu saja menyusul ke Bukit Perahu! Bukan hanya untuk membebaskan Kiok-moi, akan tetapi juga untuk membebaskan ibuku."

   "Akan tetapi sekarang mereka telah mengetahui bahwa kita akan datang. Tentu mereka telah bersiap-siap dan keadaan itu berbahaya sekali, Lin-ko. Mereka itu kuat sekali, apalagi ditambah dengan para tosu Pek-lian-kauw."

   "Aku tidak takut!"

   Kata Han Lin.

   "Aku juga tidak takut. Akan tetapi yang penting adalah bagaimana membebaskan enci Kiok Hwa -dan ibumu agar tidak sampai gagal."

   "Toa Ok menghendaki Im-yang-kiam. Kalau perlu aku akan menukar Im-yang-kiam dengan pembebasan Kiok-moi dan ibuku."

   "Aku masih khawatir, Lin-ko. Mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang curang dan licik. Aku khawatir mereka akan menggunakan kecurangan untuk menjebak kita."

   "Aku harus berani menghadapi resika itu, Eng-ji. Kalau engkau khawatir, sudalah jangan engkau ikut. Biar aku sendiri yang menghadapi bahaya. Aku merasa tidak enak sekali kalau engkau sampai tertimpa bahaya karena membantuku membebaskan Kiok-moi dan ibuku."

   Kata Han Lin dengan suara bersungguh-sungguh.

   Eng-ji marah sekali.

   "Begitukah pendapatmu, Lin-ko? Engkau sama sekali tidak menghargai bantuan dan kesungguhan hatiku membantumu! Apa engkau hanya dapat menghargai enci Kiok Hwa saja?"

   Han Lin terkejut dan memandang tajam kepada Eng-ji. Dia tadi sudah menyalakan lilin di atas meja sehingga dapat menentang pandang mata Eng-ji dengatl jelas. Mata pemuda remaja itu tampak berapi-api, penuh kemarahan.

   "Apa.... apa maksudmu, Eng-ji?"

   Eng-ji membanting kaki kanannya keatas lantai.

   "Sudahlah, kalau engkau tidak suka melakukan perjalanan bersama-ku, biar aku seorang diri pergi ke Bukit Perahu untuk membebaskan enci Kiok Hwa!"

   Setelah berkata demikian Eng-ji memutar tubuhnya dan bergegas kembali ke dalam kamarnya.

   Tak lama kemudian Han Lin menyusul memasuki kamar. Dia melihat Eng-ji sudah rebah miring menghadap ke dinding di atas pembaringan dan dia merasa menyesal sekali telah membuat marah sahabat baiknya yang selama ini ramah baik dan setia kepadanya itu. Dia duduk di tepi pembaringan dan menghela napas panjang.

   "Adik Eng-ji, aku minta maaf kepadamu. Bukan aku tidak menghargai bantuan mu, sama sekali tidak. Aku hanya mengkhawatirkan kalau akan terjadi apa-apa denganmu. Maafkan aku dan biarlah kita melakukan perjalanan bersama ke Bukit Perahu. Kalau mereka tidak mau membebaskan Kiok-moi dan ibuku, kita berdua akan mengobrak-abrik sarang mereka dan akan membasmi mereka!"

   Eng-ji membalikkan tubuhnya dan Han Lin merasa heran sekali melihat mata dan pipi pemuda remaja itu basah. Eng ji menangis! Sungguh sulit dia membayangkan hal ini. Pemuda yang demikian penuh keberanian, Jenaka cekatan nakal, Menangis! "Aku hanya ingin membantu, Lin-ko."

   Katanya dengan suara parau.

   Han Lin merasa terharu. Pemuda remaja ini sungguh amat baik terhadap dirinya. Biarpun dia putera Suma Kiang yang dibencinya dan merupakan musuh besar ibunya, namun Eng-ji ternyata seorang pemuda yang baik hati dan gagah. Sungguh jauh bedanya dibandingkan ayahnya yang seperti manusia iblis itu.

   "Aku terima bantuanmu, adik Eng ji dan aku akan selalu berterima kasih dan bersukur atas bantuanmu yang amat berharga itu."

   Malam itu Han Lin tidak tidur melainkan duduk bersila dan bersamadhi di atas pembaringannya sendiri. Dia mencoba untuk menenteramkan hatinya yang penuh kegelisahan. Memikirkan ibunya saja dia sudah gelisah, kini ditambah lagi memikirkan keadaan Kiok Hwa yang menjadi tawanan Sam Ok yang amat jahat.

   Apa yang terjadi dengan Kiok Hwa? Ketika benda itu meledak di dalam kamarnya dan mengeluarkan asap hitam yang amat tebal sehingga ia tidak dapat melihat apa-apa, tiba-tiba saja ada angin nenyambar dari sampingnya. Kiok Hwa mencoba untuk mengelak, akan tetapi dari lain sisi menyambar pula jari tangan yang menotoknya. Ia terkena totokan dan tidak mampu bergerak lagi. Tubuhnya menjadi lemas dan ia tidak berdaya ketika tubuhnya dipondong orang dibawa meloncat keluar jendela. Selanjutnya ia dibawa lari dan di bawah sinar bulan ia melihat bahwa yang melarikannya ada tiga orang dan ternyata mereka adalah Thian-te Sam-ok! Yang menotok dan membawanya lari itu adalah Toa Ok sendiri. Ia dipanggul dalam keadaan lemas dan tidak mampu bergerak.

   Tanpa diberitahu Kiok Hwa maklum bahwa ia dilarikan ke Bukit Perahu, ke sarang Pek-lian-kauw yang mempunyai cabang di tempat itu. Mereka tiba pagi pagi sekali di perkampungan Pek-lian kauw di puncak Bukit Perahu. Kiok Hwa yang dipanggul itu memperhatikan saja tadi ia melihat betapa Sam Ok berada dalam keadaan terluka dalam.

   Wanita itu agak terhuyung dan mukanya pucat sekali Setelah tiba di pintu gerbang perkampungan itu, Toa Ok membebaskan Kiok Hwa dan membiarkan gadis itu berjalan sendiri. Kiok Hwa memperhatikan keadaan sekelilingnya. Perkampungan Pek-lian kauw itu dikelilingi dinding yang cukup tinggi dan memiliki pintu gerbang yan cukup besar. Di pintu gerbang terdapat belasan orang anggauta Pek-Iian-kau yang kepalanya diikat kain putih dan baju di dada mereka terdapat gambar bunga teratai putih. Juga tampak beberapa orang tosu berjubah lebar dengan baju dalamnya juga digambari teratai putih. Para penghuni perkampungan itu berbondong keluar dan Kiok Hwa menaksir bahwa jumlah para anggauta dan para tosu itu tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya. Kedudukan mereka kuat juga, pikir Kiok Hwa dan ia mengkhawatirkan Han Lin. Ia tahu bahwa Han Lin tidak akan tinggal diam dan pasti akan menyusul ke tempat ini untuk membebaskannya dirinya juga membebaskan ibunya.

   Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tiba-tiba ia melihat wanita itu! Wanita yang diaku sebagai ibu oleh Han Lin. Kiok Hwa memandang dengan penuh perhatian. Wanita tu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan wajahnya masih cantik, walaupun agak pucat dan kurang semangat. Pandang matanya kurang bergairah dan sinarnya aneh, kadang bersinar keras dan ganas.

   Mulutnya yang bentuknya manis dan ramah itu tidak pernah tersenyum. Kiok Hwa merasa kasihan sekali. Sebagai seorang ahli pengobatan yang pandai ia dapat menduga bahwa wanita itu tidak sehat keadaannya. Sebatang pedang beronce merah tergantung di punggung wanita. itu. Ia berjalan datang dan memandang kepada Kiok Hwa dengan tak acuh dan sambil lalu saja. Kemudian ia mendekati Ji Ok yang segera memegang tangan wanita itu. Dan Kiok Hwa melihat sesuatu yang amat luar biasa. Ia melihat betapa Ji Ok memandang wanita itu dengan sinar mata penuh kasih sayang dan semnyumnya kepada wanita itupun membayangkan kasih sayang! Melihat pandang mata dan sikapnya saja Kiok Hwa hampB merasa yakin bahwa Ji Ok amat mencinta wanita itu.

   Ia diajak masuk ke dalam sebuam bangunan yang besar. Tiga orang Sam Ok, wanita ibu Han Lin itu, dan dua orang tosu Pek-lian-kauw yang melihat sikap dan jubah mereka tentulah merupakan tokoh atau pimpinan di situ. Setelah tiba di dalam, Toa Ok berkata kepada Kiok Hwa.

   "Nona, engkau tahukah mengapa engkau kami tawan dan bawa ke sini?"

   "Aku selalu dibutuhkan di mana terdapat orang sakit yang terancam maut untuk mengobatinya."

   Kata Kiok Hwa dengan sikap tenang, seolah-olah ia tidak sedang berada di sarang musuh yang berbahaya.

   Sam-ok saling pandang, demikian pula dua orang tosu yang menjadi ketua dan wakil ketua cabang Pek-lian-kauw. Ketua cabang Pek-lian-kauw di Bukit Perahu itu adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi kurus dan berjuluk Lian Hoat Tosu. Adapun wakilnya, yang sedikit lebih muda darinya dan bertubuh pendek gendut, adalah Lian Bok Tosu. Ilmu kepandaian silat mereka cukup tinggi. Juga mereka berdua adalah ahli-ahli sihir dan memiliki senjata bahan peledak yang mengeluarkan asap tebal, bahkan ada peledak yang mengandung asap beracun sehingga berbahaya sekali. Anak buah mereka yang berjumlah lima puluh orang juga rata-rata memiliki ilmu silat aliran Pek-lian-kauw. Toa Ok tertawa mendengar ucapan Kiok Hwa itu.

   "Ha-ha-ha, engkau terlalu membanggakan ilmumu mengobati orang, nona. Akan tetapi sekali ini engkau menjadi tawanan kami, menjadi sandera untuk memaksa pemuda itu datang menyerahkan Im-yang-kiam kepada kami. Kami tidak membutuhkan pengobatanmu karena tidak ada orang yang sakit di sini."

   Kiok Hwa dengan tenangnya tersenyum lalu menoleh kepada Sam Ok.

   "Sam Ok, apakah engkau merasa sehat-sehat saja?"

   Sam Ok terkejut dan mengerutkan alisnya.

   "Tentu saja aku sehat."

   "Aih, sungguh kasihan. Nyawa sudarara terancam maut masih merasa sehat. Coba engkau tekan Tiong-cu-hiat (jalan darah di belakang leher) perlahan saja kemudian tekan Kin-ceng-hiat (jalan darah di pundak kiri), dan engkau akan tahu bagaimana rasanya."

   Biarpun meragu dan alisnya berkerut tanda tak senang hati, namun tangan wanita itu lalu menekan jalan darah di belakang leher lalu di pundak kirinya. Dan ia menjerit lalu terpelanting roboh, mukanya pucat dan tubuhnya gemetaran menahan rasa nyeri.

   "Engkau menggunakan sihir!"

   Bentak Toa Ok marah.

   Kiok Hwa tersenyum.

   "Siapa menggunakan sihir? Aku menggunakan ilmu pengobatanku dan aku tahu bahwa nyawa Sam Ok terancam bahaya maut karena ia telah mendapatkan pukulan beracun yang amat berbahaya."

   Sam Ok bangkit berdiri sambil menyeringai menahan nyeri.

   "Aku memang menerima pukulan di dalam kegelapan kamar yang penuh asap itu, dan aku sempat jatuh. Akan tetapi pukulan itu tidak keras dan kemudian tidak terasa apa-apa."

   Ia membantah.

   "Begitukah? Coba buka bajumu bagian pundak dan lihat pundak kirimu."

   Kata Kiok Hwa. Sam Ok menyingkap bajunya dan semua orang melihat betapa pundak kiri yang berkulit putih itu kini telah menghitam dan ada tanda tiga buah jari tangan di pundak itu.

   "Pukulan beracun tiga jari tangan!"

   Kiok Hwa berseru.

   "Kalau aku tidak keliru, itulah pukulan beracun yang dinamakan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)! Memang tidak terasa dan tidak keras, namun hawa beracun berbahaya sudah masuk ke tubuh melalui bagian yang terpukul dan kalau sudah menjalar sampai ke jantung biar dewa sekalipun tidak akan dapat menolong. Kalau tidak percaya coba tekan tengah-tengah luka itu."

   Sam Ok menekan tengah-tengah tanda tiga jari tangan itu dengan ibu jarinya. Ia menjerit dan roboh pingsan! Toa Ok memandang Kiok Hwa dan berkata dengan suara mengandung ancaman.

   "Nona, cepat sembuhkan Sam Ok!"

   Kiok Hwa tersenyum. Sikapnya tenang sekali.

   "Toa Ok, selama aku mengobati orang sakit, tidak ada yang memaksaku dan tidak ada yang mengancamku. Akan tetapi tanpa diminta sekalipun aku akan mencoba untuk menolong orang yang sakit. Apakah engkau masih menganggap aku sebagai seorang tawanan?"

   Toa Ok sejenak menatap wajah gadis itu, kemudian wajahnya yang gagah dan tampan itu berseri, ia tersenyum dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada.

   "Nona, aku hampir lupa bahwa engkau adalah Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat Baju Putih) yang dihormati oleh semua orang kang-ouw. Tidak, Sian-li, kami tidak berani menganggap engkau sebagai tawananku. Kami harap engkau suka menaruh kasihan kepada Sam Ok dan suka menolong keselamatan nyawanya."

   Kiok Hwa tersenyum manis.

   "Toa Ok, guruku mengajarkan kepadaku bahwa untuk mengobati orang, aku tidak harus melihat apakah orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dan baik atau jahat. Juga aku harus mengobatinya tanpa pamrih. Soal dapat sembuh atau tidak itu adalah berada dalam kekuasaan Thian. Kalau Thian menghendaki, tentu si sakit akan menjadi sembuh, akan tetapi sebaliknya kalau Thian menghendaki lain, biar dewa sekalipun tidak akan mampu menolongnya. Aku harus melihat dulu apakah keadaan Sam Ok sudah terlambat atau belum. Harap bawa ia ke dalam kamar dan rebahkan ke atas pembaringan. Kemudian, sediakan air mendidih untuk mencuci jarum-jarumku..... ah, betul sekali. Jarum-jarumku berada di dalam buntalan pakaianku, berada di dalam kamarku di rumah penginapan itu. Dapatkah engkau mencarikan pinjaman jarum-jarum emas dan perak dari tabib-tabib dari Tai-goan?"

   Toa Ok lalu menoleh kepada Lian Hoat Tosu.

   "Totiang, dapatkah engkau menolong? Barangkali totiang lebih tahu tentang para tabib di kota Taigoan yang kiranya memiliki jarum-jarum emas dan perak."

   "Kami akan mencobanya. Kami dengar ada seorang tabib yang suka menggunakan jarum-jarum untuk pengobatan. Kami akan mencoba meminjam darinya."

   Kata ketua itu yang lalu mengutus anak buahnya untuk mencari jarum yang dibutuhkan ke kota Taigoan.

   Sementara itu, Sam-ok lalu digotong ke dalam kamar dan dibaringkan. Kiok Hwa cepat menanggalkan baju wanita itu dan memeriksa keadaan luka di pundak. ia tahu bahwa yang melakukan pemukulan itu tentu Eng-ji, karena di dalam kamar hanya ada dia dan Eng-ji. Dan ia tidak merasa heran kalau Eng-ji memiliki ilmu pukulan sekeji itu, karena melihat sifat dan wataknya, sangat boleh jadi Eng-ji adalah murid seorang datuk sesat yang sakti.

   Setelah melakukan pemeriksaan, ternyata bahwa berkat tubuhnya yang terlatih dan kuat serta tenaga sin-kangnya yang juga kuat, Sam Ok dapat mempertahankan diri dan hawa beracun dari pukulan Toat-beng Tok-ciang itu belum menjalar ke jantungnya. Melihat ini Kiok Hwa menjadi girang dan ia merasa yakin bahwa nyawa Sam Ok dapat tertolong. Ia lalu menggunakan ilmunya untuk menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan darah beracun mengalir lebih jauh lagi, kemudian mengurut-urut di sekeliling tanda tiga jari tangan menghitam itu sampai warna hitamnya berkumpul di tengah-tengah dan bagian itu membengkak. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki di belakangnya. Ia menoleh dan melihat wanita yang dianggap ibu oleh Han Lin sudah berdiri di situ dengan tangan memegang pedang.

   "Bibi, tolong pinjamkan pedangmu itu kepadaku,"

   Katanya lembut.

   "Untuk apa pinjam pedang?"

   Suara itu kaku dan tidak jelas seperti suara kanak kanak.

   "Engkau tidak boleh membunuh."

   "Tidak ada yang membunuh,"

   Jawab Kiok Hwa sambil tersenyum ramah dan halus.

   "aku meminjam pedang untuk merobek sedikit kulit di pundaknya untuk mengeluarkan darah yang beracun."

   Menunjuk ke arah pundak Sam Ok. Wanita itu tampak ragu lalu berkata dengan suara pelo.

   "Lakukanlah, akan tetapi kalau engkau membunuh Sam Ok aku akan membunuhmu."

   Ia menyerahkah pedangnya.

   Kiok Hwa menerima pedang itu dan menahan diri untuk bicara. ia tahu bahwa wanita itu masih belum menyadari keadaan dirinya, masih dikuasai pengaruh sihir dan racun perampas ingatan. Biarpun ia bicara juga tidak ada gunanya. Dalam keadaan seperti itu ia sendiripun tidak berdaya. Semua obat penting yang selalu dibawanya berada dalam buntalan pakaiannya yang tertinggal kamar penginapan. Ah, kalau saja ada jarum-jarum emas. Tiba-tiba ia teringat. Dengan jarum emas ia dapat membuka jalan darah tertentu untuk membuat wanita itu terbuka pula ingatannya, walaupun hanya untuk sebentar atau untuk sementara waktu. Kalau saja ia mendapat kesempatan untuk mempergunakan jarum-jarum yang diusahakan oleh pihak tuan rumah untuk dipinjamkan itu!

   Akan tetapi bagaimana caranya untuk mempergunakan jarum-jarum itu terhadap wanita ini? Pada saat itu Toa Ok memasuki kamar itu dengan wajah riang. Akan tetapi ketika dia melihat Kiok Hwa berdiri di dekat pembaringan sambil memegang sebatang pedang, dia terkejut dan memandang kepada wanita itu, lalu membentak Kiok Hwa.

   "Apa yang akan kau lakukan dengan pedang itu?"

   Dia bersiap-siap untuk menyerang.

   "Tenanglah, Toa Ok......"

   Toa Ok membentak ke arah wanita itu.

   "Bukankah itu pedangmu? Hayo ambil kembali!"

   Mendengar kata-kata itu, wanita itu tiba-tiba menyerang Kiok Hwa dengan cengkeraman ke arah dada. Kiok Hwa terkejut dan cepat mengelak dan cengkeraman itu berubah arah lalu merampas pedang yang dipegang Kiok Hwa. Karena Kiok Hwa tidak ingin berkelahi, maka ia melepaskan pedang itu dirampas oleh pemiliknya.

   "Hemm, Toa Ok. Apakah engkau tidak menghendaki kesembuhan Sam Ok? Apakah engkau ingin melihat ia mati?"

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Toa Ok.

   "Lihat pundak Sam Ok itu. Aku telah mengumpulkan darah beracun di tengah tengah bekas tapak jari dan aku meminjam pedang untuk menoreh dan membuka kulit itu agar darah yang beracun dapat keluar."

   "Ah, begitukah? Maafkan aku, Sian li. Akan tetapi pedang itu beracun. Ini jarum-jarum emas dan peraknya sudah berhasil kami dapatkan. Apakah engkau tidak dapat mempergunakan jarum-jarum ini untuk mengeluarkan darah itu?"

   "Bagus. Dengan jarum aku juga dapat menoreh kulit pundak ini. Tolong mintakan air mendidih, aku harus merendam dulu jarum-jarum itu ke dalam air mendidih."

   Kata Kiok Hwa sambil menerima untaian kain putih berisi jarum-jarum itu. Sementara wanita itu yang telah merampas pedangnya kembali, kini berdiri seperti patung dan hanya memandang kepada Kiok Hwa. Ia seperti seorang anak kecil yang tidak tahu urusan dan bodoh. Pada saat itu, anggauta Pek-lian-kauw yang memasak air datang membawa sepanci air mendidih.

   "Letakkan di situ!"

   Kata Toa Ok sambil menuding ke atas meja. Sepanci air panas itu lalu ditaruh di atas meja dan Kiok Hwa berkata kepada Toa Ok.

   "Toa Ok, aku akan segera melakukan pengobatan atas diri Sam Ok, harap engkau suka keluar dari kamar ini. tidak pantas kalau seorang pria menonton pengobatan ini."

   Toa Ok tertawa lalu berkata kepada wanita yang diaku sebagai ibu oleh Hai Lin itu.

   "Engkau berjaga di sini, jaga jangan sampai nona ini membunuh Sam Ok."

   "Baik,"

   Jawab wanita itu dengan singkat dan iapun lalu duduk di atas bangku di sudut berjaga-jaga dengan pedang di tangan.

   Kiok Hwa merendam tiga batang jarum emas dan tiga batang jarum perak di dalam air mendidih beberapa lamanya! Kemudian ia mengambil sebatang jarum emas dan menggunakan jarum itu untul menoreh kulit pundak sehingga kulit dan sebagian dagingnya terobek. Darah hitam mengalir keluar dari torehan kulit pundak itu. Kiok Hwa tanpa rasa jijik lalu mencuci pundak itu dengan kain dan air panas. Ia memijit-mijit sehingga banyak darah hitam keluar dari luka itu.

   

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini