Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 16


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



Kiok Hwa girang sekali. Dua kalimat itu saja sudah menunjukkan bahwa Chai Li mulai menyadari keadaan dirinya. ia mendekati dan berkata lembut.

   "Bibi Chai Li, aku Tan Kiok Hwa yang mengobatimu karena engkau terluka."

   Katanya.

   Chai Li memandang ke sekeliling dan melihat Ji Ok rebah seperti orang tidur. Ia mencoba untuk bangkit, dibantu oleh Kiok Hwa.

   "Dia suamiku.... kenapa dia.."

   "Dia juga terluka, akan tetapi sudah kuobati dan dia akan sembuh kembali. Akan tetapi, bibi, apakah engkau tidak ingat kepada puteramu Han Lin?"

   Chai Li membelalakkan matanya dan mukanya berubah pucat.

   "Han Lin anakku....! Di mana dia....?"

   "Dia telah terperangkap di dalam guha berpintu baja di bukit sebelah belakang. Dia terperangkap oleh Thian-te Sam-ok dan keselamatannya terancam."

   "Ohhhh....., akan tetapi kenapa? Kenapa.....? Ah, kepalaku pusing sekali!"

   Ia rebah kembali dan Kiok Hwa lalu berkata halus.

   "Kalau begitu tidurlah dulu, bibi Chai Li. Engkau perlu beristirahat untuk memulihkan pikiranmu."

   Ia lalu menotok beberapa jalan darah dan wanita itu lalu tertidur kembali.

   Dengan kepandaiannya dalam hal ilmu pengobatan yang tinggi, dalam waktu beberapa jam saja Kiok Hwa telah mampu menyembuhkan Thian-te Sam-ok dan juga Chai Li. Mereka itu hanya tinggal menyempurnakan kesembuhan itu dengan minum obat penguat tubuh. Malam itu Chai Li sudah sadar beberapa kali. akan tetapi Kiok Hwa yang mengatakan kepada Ji Ok bahwa ia masih harus merawat Chai Li, membuat wanita itu tertidur lagi dengan tusukan jarumnya.

   Pada keesokan harinya, Thian-te Sam Ok sudah merasa sembuh betul dan Kiok Hwa berkata kepada Toa Ok ketika mereka semua, kecuali Chai Li yang masih tertidur di kamarnya, berkumpul di ruangan besar di rumah ketua Pek-lian-kauw itu.

   "Toa Ok, sekarang kalian bertiga sudah sembuh, maka aku harap engkau suka memenuhi sumpah dan janjimu bahwa engkau akan membebaskan kami bertiga."

   Mendengar ucapan Kiok Hwa itu, Toa Ok tertawa bergelak dan sambil memandang kepada Ji Ok dan Sam Ok, dia bertanya.

   "Ji Ok dan Sam Ok, bagaimana pendapat kalian dengan permintaan Pek Yok Sian-li ini?"

   Memang watak tiga orang ini aneh sekali. Kemarin baru saja mereka saling serang untuk saling bunuh, dan sekarang mereka telah berkumpul dan berbicara kembali seolah tidak pernah terjadi apa apa kemarin di antara mereka.

   "Engkau yang berjanji, Toa Ok, akan tetapi aku tidak, maka aku tidak akan membebaskan mereka!"

   Kata Ji Ok dengan suara dingin.

   "Aku juga tidak setuju kalau mereka dibebaskan. Susah-susah kita menjebak mereka, enak saja mau dibebaskan. Tidak, pemuda-pemuda itu kalau tidak bisa keduanya, yang seorang di antara mereka, harus menjadi milikku!"

   Kata Sam Ok. Kiok Hwa sudah menduga akan hal ini dan tidak menjadi kaget atau heran. Ia lahu bahwa Thian-te Sam-ok adalah tiga orang yang amat jahat dan terkenal kelicikan mereka di dunia kang-ouw.

   Ia hanya menyesal bahwa Han Lin dan Eng-Ji tidak harapan untuk dibebaskan dan ia mencela Toa Ok.

   "Toa Ok, engkau sungguh seorang yang tidak pantas dihormati, menjilat sumpah sendiri."

   "Ha-ha-ha, siapa bilang bahwa aku salah seorang yang suka memenuhi janjiku? Akan tetapi terhadap engkau aku bersikap lain, Pek I Yok Sian-li. Sekarang juga aku membebaskanmu dan tidak seorangpun boleh menghalangi. Nah, engkau sekarang boleh pergi dengan bebas, tidak menjadi tawananku lagi."

   Kiok Hwa mengerutkan alisnya.

   "Aku datang bertiga, pergipun harus bertiga Toa Ok. Aku tidak mau bebas kalau dua orang kawanku itu tidak dibebaskan juga."

   "Tidak bisa, Sian-li. Permintaanmu itu tidak mungkin dapat kupenuhi. Dua orang pemuda itu tidak akan kubebaskan!"

   Kata Toa Ok.

   "Biarpun Im-yang-kiam akan diberikan kepadamu?"

   "Ya, biarpun Im-yang-kiam akan diberikan kepadaku, dua orang muda itu tidak akan kubebaskan."

   "Betul sekali, serahkan mereka kepadaku, Toa Ok!"

   Kata Sam Ok.

   Kiok Hwa memandang dengan sinr mata tajam.

   "Toa Ok, kalau begitu, biarlah aku kembali ke dalam guha. Aku tidak mau dibebaskan sendiri saja!"

   Kiok Hwa lalu melangkah keluar dari rumah menuju ke belakang, diikuti oleh Toa Ok. Sampai di depan guha, Kiok Hwa berkata kepada para penjaga.

   "Buka pintu guha, biarkan aku masuk!"

   "Sian-li, engkau sendiri yang minta kembali ke guha, kelak jangan salahkan kami!"

   Kata Toa Ok yang memberi isarat kepada para penjaga untuk membuka pintu guha itu.

   Kiok Hwa menyelinap masuk. Han Lin dan Eng-ji menyambutnya dengan heran.

   "Kiok-moi, bagaimana engkau kembali ke sini?"

   Tanya Han Lin.

   "Enci Kiok Hwa, apakah mereka itu menipumu dan mengembalikanmu ke sini?"

   Tanya Eng-ji.

   "Tidak, aku kembali ke sini atas permintaanku sendiri karena mereka hanya akan membebaskan aku dan tidak mau membebaskan kalian. Aku tidak mau meninggalkan kalian."

   Diam-diam Han Lin merasa terharu. Gadis ini sungguh merupakan seorang yang setia! Karena dia menduga bahwa tentu Kiok Hwa tidak mau meninggalkan dia seorang diri menghadapi bahaya, maka dengan hati terharu dan juga bahagia Han Lin menghampiri Kiok Hwa dan memegang kedua tangan gadis itu dan memandang dengan mesra.

   "Kiok-moi, kenapa engkau lakukan semua ini? Aku rela menderita apa saja asalkan engkau selamat lolos dari sini. Kenapa engkau masuk kembali?"

   Kiok Hwa melirik ke arah Eng-ji dan melihat betapa Eng-ji memandang mereka dengan muka berubah merah dan mata berapi-api. Maka, dengan halus ia melepaskan pegangan tangan Han Lin dan berkata.

   "Kita terjebak bersama-sama bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian menghadapi bahaya berdua saja. Biarlah kita menghadapi bahaya bertiga juga."

   Kini Thian-te Sam-ok bertiga sudah berada di depan pintu guha semua, di temani oleh dua orang pimpinan Pek-lian kau w. Matahari mulai naik tinggi dan keadaan di dalam guha tidak begitu gelap lagi. Han Lin melihat bahwa guha ini mempunyai terowongan yang dalamnya ada sepuluh meter, akan tetapi lalu tertutup sama sekali oleh dinding batu. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri dari dalam guha itu sama sekali!

   "Heiii, Han Lin. Cepat kau lemparkan Im-yang-kiam ke pintu ini! Kemudian kalian satu demi satu keluar dan menyerah kepada kami!"

   Terdengar Toa Ok berseru dengan lantang. Han Lin tidak segera menjawab, melainkan bertanya kepada Kiok Hwa dan Eng-ji.

   "Bagaimana pendapat kalian?"

   "Terserah kepadamu, Lin-ko."

   Kata Kiok Hwa lembut.

   "Tidak, jangan menyerah. Kalau kita menyerah, kita tentu akan celaka. Sebaiknya kita menerjang keluar dan melawan Mati-matian!"

   Kata Eng-ji.

   "Toa Ok, engkau sungguh seorang yang tidak tahu malu, tidak dapat memegang janji dan sumpahmu. Aku tidak akan menyerahkan Im-yang-kiam kepada orang seperti kamu!"

   Toa Ok menjadi marah sekali.

   "Ledakkan pembius ke dalam guha!"

   Perintahnya dan dua pimpinan Pek-lian-kauw lalu memberi isarat kepada anak buah mereka. Beberapa orang lalu melemparkan berapa buah benda hitam ke dalam guha dan terdengar ledakan-ledakan. Asap kebiruan mengepul tebal memenuhi guha.

   "Cepat masuk ke sini!"

   Han Lin berseru kepada dua orang kawannya dan mereka lalu memasuki terowongan guha Asap kebiruan itu tidak mencapai sebelah dalam guha, akan tetapi terdengar ledakan-ledakan lagi dan asap semakin tebal mulai perlahan-lahan masuk dan mengejar mereka yang bersembunyi di sebelah dalam guha! Keadaan mereka gawat sekali. Kabut asap sudah memenuhi dalam guha itu. mereka akan terkepung asap dan tidak mungkin mereka terus menahan napas. Akhirnya mereka akan menyedot asap itu dan akan terbius!

   "Kita tahan napas dan menerobos keluar dengan nekat!"

   Kata Eng-ji. Ia sudah siap untuk menerjang keluar dan mengamuk di pintu guha.

   "Tunggu dulu!"

   Han Lin memegang tangannya dan mencegahnya karena pada saat itu terdengar suara dari belakang mereka. Dinding batu itupun bergerak dan segera terbuka sebuah lubang selebar satu meter pada dinding itu! Sesosok bayangan muncul dari dalam lubang itu. Tiga orang muda itu terkejut karena tidak menyangka bahwa dinding itu dapat terbuka dan muncul seorang yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka.

   "Ibuuuu......!!"

   Han Lin berteriak sambil melangkah maju menyambut wanita yang keluar dari lubang itu.

   Chai Li menatap wajah Han Lin dengan muka pucat dan matanyaterbelalak.

   "Han Lin......?"

   Katanya dengan suara cadel.

   "Engkau.... Han Lin.....?"

   Suaranya tergetar mengandung isak.

   "Ibuuuu......!!"

   Han Lin berseru lagi dan mengembangkan kedua lengannya. Ibu dan anak itu saling tubruk dan di lain saat mereka sudah berangkulan sambil menangis. Han Lin tidak malu-malu untuk menangis seperti seorang anak kecil dan Chai Li mendekap kepala Han Lin di dadanya, lalu memegang kepala itu dengan kedua tangannya, memandangi muka itu lalu menciuminya dengan mata bercucuran air mata.

   "Han Lin..... anakku.....!"

   Isaknya.

   "Darr..... darrr.....!"

   Terdengar lagi ledakan-ledakan di dalam guha itu dan hal ini menyadarkan Chai Li. Ia segera memegang tangan kanan puteranya dai menariknya.

   "Mari, kita harus cepat pergi dari sini!"

   Katanya dengan suara yang tidak jelas, akan tetapi cukup dimengerti oleh Han Lin yang sudah terbiasa mendengar suara atau cara bicara ibunya yang pelok.

   Chai Li menarik Han Lin memasuki lubang pintu yang muncul di dinding tadi. Tanpa diajak atau diperintah, Eng-ji dan Kiok Hwa mengikuti mereka memasuki pintu itu. Setelah tiba di dalam, Chai Li menggerakkan sebuah besi yang menonjol di antara batu-batu di dinding. Terdengar suara keras dan dinding itu bergerak menutup kembali. Kiranya pintu itu adalah sebuah pintu rahasia yang dapat dibuka tutup dari sebelah dalam. Chai Li terus menarik tangan Han Lin diajak lari melalui sebuah terowongan yang lebarnya hanya satu meter dan tingginya sekitar dua meter.

   Sementara itu, di luar guha, mereka tidak mengetahui apa yang terjadi di dalam karena memang tidak tampak dari luar. Akan tetapi ketika mereka sedang menonton asap kebiruan yang bergulung-gulung memenuhi guha, tiba-tiba Ji Ok berseru.

   "Eh, mana Chai Li?"

   Seruan Ji Ok ini menyadarkan Toa Ok.

   "Celaka! Jangan-jangan wanitamu itu berusaha untuk membebaskan mereka lewat pintu rahasia!"

   Setelah berkata demikian, Toa Ok lalu berkata kepada dua orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw.

   "Ji-wi totiang (bapak pendeta berdua) harap kalian menjaga di sini dan jangan biarkan mereka menerjang keluar. Kami akan memeriksa dari balik bukit!"

   Dia lalu berlari dan mengajak belasan orang anak buah Pek-lian-kauw, diikuti pula oleh Ji Ok dan Sam Ok.

   Lorong sempit itu ternyata panjang dan berbelak-belok lagi gelap. Sambil meraba-raba Chai Li yang berjalan di depan, terus bergerak maju dan tiga orang muda itu mengikutinya. Setelah suatu perjalanan yang gelap dan lama, akhirnya mereka melihat cahaya di depan dan ternyata lorong itu tembus sebuah guha kecil balik bukit!

   Akan tetapi begitu mereka muncul keluar dari guha kecil itu, terdengar bentakan-bentakan nyaring dan mereka berempat telah dikepung oleh Thian-te Sam-ok dan lima belas orang anak buah Pek-lian-kauw yang kesemuanya telah memegang senjata tajam di tangan mereka!

   "Chai Li! Engkau mau mengkhianat aku suamimu?"

   Terdengar Ji Ok membentak dengan suara mengandung kemarahan.

   Terdengar suara gerengan melengking yang menggetarkan seluruh tempat itu dan mengguncang jantung semua orang. Itulah teriakan Sai-cu Ho-kang yang dikeluarkan oleh Han Lin yang menjadi marah sekali! Sekaligus lengkingan itu mengusir semua pengaruh sihir dan dia berseru.

   "Ibu, jangan dengarkan omongannya yang beracun. Manusia laknat itu telah menyihirmu!"

   Akan tetapi Toa Ok dengan marah sudah menerjangnya sambil mengerahkah semua anak buah untuk mulai mengepung dan menyerang.

   Sementara itu, Chai Li dengan suaranya yang tidak jelas berkata.

   "Suamiku, ini adalah Han Lin puteraku...!"

   Kata-kata itu membuat Ji Ok menjadi semakin marah dan dia sudah mengeluarkan tiga buah pisau terbang dan dengan repat tangannya bergerak dan tiga sinar menyambar ke arah Han Lin.

   Melihat ini, Chai Li menjerit.

   "Jangan bunuh anakku!"

   Dan diapun melompat, menghadang dan melindungi Han Lin dari sambaran tiga batang pisau itu. Tak dapat dicegah lagi, sebatang pisau menancap di dada Chai Li dan ia-pun roboh terpelanting! Han Lin terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ibunya akan melakukan perbuatan nekat itu.

   "Ibuuuuu......!"

   Teriaknya, akan tetapi karena Toa Ok dan Sam Ok sudah mendesaknya, diapun terpaksa menggerakkan Im-yang-kiam untuk rnelindungi dirinya.

   Sementara itu, Eng-ji mengamuk, dikeroyok oleh belasan orang anak buah Pek-lian-kauw. Amukan Eng-ji mengerikan karena setiap kali pedangnya berkelebat, tentu ada seorang anggauta Pek lian-kauw yang roboh terluka hebat atas tewas seketika! Kiok Hwa juga dikeroyok akan tetapi ia hanya mengelak dan merobohkan penyerangnya dengan totokan totokan. Melihat betapa lontaran pisau-pisaunya tidak mengenai sasaran bahkan sebatang pisau telah mengenai Chai Li dan merobohkannya, mata Ji Ok terbelalak, mukanya menjadi pucat dan tanpa memperdulikan apapun dia lalu menubruk Chai Li, mengangkat tubuh atasnya dan merangkulnya sambil mengeluh dan meratap!

   "Chai Li, isteriku...... ah, mengapa kau lakukan ini.....? Isteriku, bukalah matamu...... jangan mati, jangan tinggalkan aku seorang diri....."

   Dan terjadilah suatu keganjilan! Ji Ok Phoa Li Seng, datuk yang terkenal sadis, kejam dan amat jahat itu, kini menangis seperti seorang anak kecil!

   Dia tidak berani mencabut pisau yang menancap di dada Chai Li. maklum bahwa kalau hal itu dilakukan akibatnya akan membahayakan keselamatan nyawa wanita itu. Chai Li membuka matanya dan berkata lemah.

   "..... jangan..... jangan bunuh anakku Han Lin..... jangan......"

   Kembali ia memejamkan kedua matanya.

   "Isteriku.....! Jangan mati.....!"

   Ji Ok kembali berseru dan merangkul isterinya dengan khawatir sekali.

   Sementara itu, Han Lin melihat betapa Ji Ok merangkul ibunya. Dia menjadi arah bukan main, hatinya penuh kebencian dan kemarahannya membuat gerakannya liar dan ganas sekali. Toa Ok dan Sam Ok yang mengeroyoknya dibantu beberapa orang anak buah Pek-lian-kauw, terpaksa mundur melihat betapa Im-yang-kiam berubah menjadi tangan maut yang menyambar-nyambar.

   Eng-ji yang mengamuk akhirnya telah merobohkan semua pengeroyoknya dan kini dia menerjang mereka yang mengeroyok Han Lin. Terjangannya membuat para pengeroyok menjadi semakin kacau. Melihat ini, Toa Ok dan Sam Ok maklum bahwa keadaan mereka berbalik terancam bahaya, maka tanpa dikomando lagi, mereka berdua lalu berlompatan jauh dan melarikan diri, diikuti oleh sisa anak buah Pek-lian-kauw yang belum roboh Hanya Ji Ok yang masih berada di situ, masih merangkul dan menangisi Chai Li. Han Lin tidak mengejar Toa Ok dan Sam Ok yang melarikan diri. Dia menengok ke arah ibunya dan melihat Ji Ok merangkul tubuh ibunya. Dengan geram dia melangkah maju.

   "Jahanam busuk, lepaskan ibuku!"

   Bentaknya dengan suara yang lantang sekali saking marahnya.

   Demikian lantang bentakannya sehingga mengejutkan Ji Ok dan perlahan-lahan Ji Ok melepaskan tubuh atas Chai Li dan merebahkannya di atas tanah. Begitu Ji Ok melepaskan Chai Li, Han Lin menerjang ke depan dan gerakannya demikian cepat dan demikian ganas kakinya mencuat dengan tendangan yang kuat sekali, yang tidak mungkin dapat dielakkan atau ditangkis oleh Ji Ok yang masih berjongkok.

   "Wuuuutt...... desss......!"

   Bagaikan sebuah bola, tubuh Ji Ok melambung dihantam tendangan kaki kanan yang amat keras itu dan jatuh terbanting. Han Lin hendak mengejar, dengan pedang Im-yang-tiam masih di tangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar Chai Li berseru.

   "Han Lin, jangan.....!! Han Lin, kesinilah.....!"

   Mendengar seruan ibunya, Han Lin tidak melanjutkan pengejarannya dan cepat menjatuhkan dirinya berlutut di dekat Chai Li sambil meletakkan pedangnya di atas tanah, lalu dirangkulnya ibunya yang sudah terengah-engah itu.

   "Jangan pukul dia, Han Lin..... dia......ia...... suamiku....."

   "Akan tetapi, ibu....."

   "Aku berhutang...... nyawa..... kepadanya....."

   
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kembali Chai Li berkata, suaranya terputus-putus dan iapun terkulai pingsan.

   "lbuuuu.....! Kiok-moi, cepat tolonglah ibuku.....!"

   Kata Han Lin kepada Kiok hwa. Gadis itu cepat berlutut di sebelah Han Lin, memeriksa keadaan Chai Li, detak jantungnya melalui urat nadi, pernapasannya dan ia lalu menggeleng dengan sedih sambil memandang kepada Han Lin dengan penuh perasaan iba.

   "Ibumu telah mangkat, Lin-ko...."

   Katanya lirih.

   Han Lin terbelalak memandang ibunya, mengguncang-guncang tubuh yang masih hangat itu dan sekali lagi Chai Li menggerakkan bibirnya.

   "Han Lin..... carilah!! ayahmu......"

   Lalu ia terkulai dan menghembuskan napasnya yang terakhir.

   "Ibuuuuu......!"

   Han Lin menjerit dan diapun roboh pingsan. Kepala ibunya terkulai menindih dadanya.

   Melihat keadaan Han Lin ini, Eng ji menjadi marah bukan main. Dengan pedang di tangan dia menerjang ke arah Ji Ok sambil membentak.

   "Aku harus membunuhmu untuk ini!" Dan diapun sudah menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi Ji Ok yang tadinya memandang kearah Chai Li dengan air mata bercucuran cepat meloncat dan melarikan diri dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Eng-ji hendak mengejar, akan tetap dia teringat akan Han Lin dan menengok lalu menghampiri Han Lin yang masih roboh pingsan.

   "Lin-ko......!"

   Diapun mengguncang pundak Han Lin dan tak dapat menahan kesedihan hatinya diapun menangis sesenggukan!

   "Minggirlah, Eng-ji, biar aku menyadarkannya."

   Kata Kiok Hwa dan ia lalu menekan bagian tengah bawah hidung Han Lin. Tak berapa lama kemudian Han Lin siuman dan dia menghela napas dan membuka matanya. Dia segera teringat akan keadaan ibunya dan kembali dia merangkul jenazah ibunya sambil menangis, tidak melihat betapa Eng-ji juga menangis sesenggukan di sebelahnya.

   "Ibuuu...... ah, ibu.....!!"

   Han Lin tidak kuasa menahan kesedihan hatinya lagi dan dia mengguguk sambil menciumi muka ibunya.

   Kiok Hwa memandang dengan kedua mata basah. Hatinya seperti menjerit-jerit menemani kesedihan Han Lin. Hatinya penuh iba kepada laki-laki yang dicintanya itu, akan tetapi dengan kekuatan batinnya ia menahan diri agar tidak menyakitkan hati Eng-ji yang masih sesenggukan itu.

   Setelah menenangkan hatinya yang terguncang keharuan, Kiok Hwa berkata dengan lembut dan lirih.

   "Sudahlah, Lin ko. Tidak ada gunanya lagi ditangisi bahkan kesedihanmu yang berlarut-larut akan menjadi penghambat perjalanan ibumu. Ibumu telah kembali ke alam asalnya, telah terbebas dari segala macam penderitaan dunia. Bahkan ibumu tewas karena melindungimu, Lin-ko. Ibumu telah melakukan sesuatu pada saat terakhir yang amat berharga dan bijaksana bagi seorang ibu."

   Han Lin menahan tangisnya dan menoleh kepada Kiok Hwa.

   "Akan tetapi, Kiok-moi. Sudah bertahun-tahun aku menganggap ibu telah meninggal, sekarang kami dapat saling berjumpa lagi, akan tetapi ia...... ia..... ah, kasihan ibu..... aku harus membunuh jahanam itu.....!"

   Tiba tiba Han Lin mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melompat jauh lalu berlari cepat seperti terbang melakukan pengejaran dan pencarian terhadap Ji Ok.

   Ji Ok melarikan diri. Dalam hatinya terjadi guncangan hebat. Dia merasa bersedih bukan main atas kematian Chai Li yang baginya telah menjadi isterinya Yang terkasih. Akan tetapi dia terpaksa harus melarikan diri karena dia maklum bahwa kalau dia tidak lari, tentu dia akan tewas. Apalagi dia merasa gentar menghadapi Han Lin yang kematian ibunya dan tentu pemuda itu menyalahkan dirinya dan akan membunuhnya. Maka, dia melarikan diri tunggang-langgang dan secepat mungkin. Karena berlari terlalu cepat, melebihi kekuatannya dan mengerahkan seluruh tenaganya, maka ketika tiba di depan sebuah rumah dusun yang terpencil dan berada di luar dusun, napasnya terengah-engah seperti akan putus!

   Seorang petani setengah tua, berusia kurang lebih empat puluh lima tahun yang sedang mencangkul di kebun depan tumahnya, melihat Ji Ok berhenti dari berlari-lari dan napasnya terengah-engah, mukanya pucat, segera menghentikan pekerjaannya dan menghampiri Ji Ok. Ji Ok yang mengenakan pakaian mewah dan sikapnya lemah-lembut itu menimbulkan rasa hormat dalam hati petani sederhana itu dan dia menegur dengan heran.

   "Tuan, ada apakah tuan berlari lari seperti ada yang mengejar?"

   Ji Ok mengusap keringatnya dengai ujung lengan baju dan menjawab denga sungguh-sungguh.

   "Aku memang dikejar seekor harimau yang besar sekali, hampir saja aku diterkamnya. Ah, aku lelah sekali,

   (Lanjut ke Jilid 17)

   Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17

   haus sekali. Boleh aku singgah sebentar untuk beristirahat di rumahmu sobat?"

   Petani itu memandang dengan wajah berseri. Mendapat tamu orang kota yang terhormat itu tentu saja dia senang dan merasa terhormat sekali.

   "Silakan marilah singgah di rumah kami yang butut, tuan."

   Mereka memasuki rumah itu dan petani bergegas memanggil isterinya "Cepat masak air dan buatkan air teh yang kental, dan potong seekor ayam buatkan masakan untuk tamu kita yang terhormat ini!"

   Sang isteri juga menyambut tamunya dengan wajah berseri dan gembira sekali. Ia segera melakukan apa yang diperintah suaminya.

   Memang sudah menjadi kebiasaan penduduk dusun, kalau didatangi orang kota merasa gembira dan terhormat sekali, memiliki apapun akan dikeluarkan dan dihidangkan dengan hati rela. Tak lama kemudian Ji Ok sudah dijamu oleh suami isteri yang hanya berdua tanpa anak itu, disuguhi makan dengan masakan daging ayam dan minuman teh hangat. Ayam satu-satunya milik mereka itu mereka korbankan untuk dihidangkan kepada tamu terhormat itu. Padahal, sama sekali mereka tidak pernah mengenal Ji Ok.

   Ji Ok merasa lega setelah makan minum. Tubuhnya lelah dan perutnya lapar. Kini dia telah disuguhi makan dan dapat beristirahat di rumah petani itu, merasa aman. Andaikata Han Lin mengejarnya, pemuda itu tentu tidak menyangka bahwa dia berada di rumah petani yang terpencil itu. Ji Ok sedang duduk di dalam rumah itu ditemani oleh si petani. Isteri petani itu berada di luar rumah. Tiba-tiba memasuki rumah itu dan berkata.

   "Dari jauh aku melihat ada seorang laki-laki datang menuju ke sini."

   Wajah Ji Ok berubah mendengar ini "Laki-laki tua atau muda?"

   "Dia masih muda, pakaiannya seperti petani....."

   Tiba-tiba wanita itu roboh dan tidak bergerak lagi ketika Ji Ok mendorongkan tangan kirinya ke depan.

   Itulah pukulan Ban-tok-ciang yang seketika menewaskan wanita itu. Si petani terkejut, melompat berdiri, akan tetapi diapun segera roboh ketika sekali lagi Ji Ok menggerakkan tangannya. Ji Ok telah membunuh suami isteri yang baru saja menjamunya itu agar mereka tidak membuka suara dan tidak membuka rahasianya bahwa dia berada di situ! Ketika Ji Ok mengintai dari balik pintu, benar saja dia melihat Han Lin berjalan ke arah rumah itu sambil menoleh ke kanan kiri mencari-cari. Cepat Ji Ok lalu berlari keluar rumah dari pintu belakang.

   Melihat rumah yang terpencil itu timbul niat di hati Han Lin untuk singgah dan bertanya kepada pemilik rumah itu kalau-kalau mereka melihat Ji Ok. Akan tetapi rumah itu tampak sunyi saja ketika dia tiba di depan rumah. Dia tidak melihat penghuninya dan setelah beberapa kali memanggil tidak ada pemilik rumah yang keluar, Han Lin mengira bahwa pemilik rumah tidak berada di rumah, maka diapun lalu kembali. Dia telah kehilangan jejak Ji Ok dan tidak tahu ke mana larinya datuk itu. Setelah tiba di belakang bukit, dia melihat Kiok Hwa dan Eng-ji masih berada di situ, menunggu jenazah ibunya. Han Lin tidak menangis lagi dan dia berlutut di samping jenazah ibunya. Dia merasa seolah-olah dunia ini menjadi kosong dan dia merasa kesepian sekali, dengan jari-jari tangan gemetar dia lalu mencabut pisau yang masih menancap didada ibunya. Tidak ada lagi darah yang keluar. Dia lalu menyimpan pisau itu, diselipkan di ikat pinggangnya.

   "Lin-ko, apakah engkau dapat mengejar jahanam busuk itu?"

   Tanya Eng-ji. Suaranya masih serak karena tangisnya tadi. Han Lin menoleh kepadanya dan menggeleng kepalanya.

   "Aku kehilangan jejaknya."

   Katanya pendek.

   "Mari kita basmi sarang Pek-lian kauw itu, Lin-ko. Mereka itupun bukan perkumpulan yang baik, telah membantu Thian-te Sam-ok!"

   Kata Eng-ji penuh semangat dan penasaran.

   "Lin-ko, lebih baik kita kuburkan jenazah ibumu dulu. Kasihan kalau terlalu lama dibiarkan seperti itu."

   Kata Kiok Hwa dengan lembut.

   Han Lin mengangguk. Dia lalu membungkuk, memondong jenazah ibunya lalu membawanya mendaki bukit itu untuk mencari tempat yang baik guna mengubur ibunya. Akhirnya dia mendapatkan tempat yang dianggapnya cukup baik, dekat sebuah sumber air yang mengucur dari celah-celah batu.

   "Aku akan menguburkan jenazah ibu di sini."

   Katanya.

   Dia merebahkan jenazah itu di atas rumput, kemudian mulai menggali lubang, ditunggui oleh Eng-Ji dan Kiok Hwa. Akan tetapi melihat pemuda itu sibuk menggali lubang, Eng-ji tidak tahan untuk berdiam diri saja. tanpa diminta diapun lalu turun tangan membantu Han Lin menggali lubang. Melihat ini, Kiok Hwa menghela napas panjang dan terasa olehnya betapa besar rasa cinta Eng-ji kepada pemuda itu. Mereka memang cocok untuk menjadi pasangan, sedangkan ia sendiri, ah, ia tidak akan pernah merasa damai kalau menjadi pasangan Han Lin yang dimusuhi begitu banyak orang. Ia pernah mendengar nama ayah Eng-ji sebagai seorang datuk sesat, akan tetapi iapun melihat bahwa Eng-ji biarpun galak dan pemberani namun tidak dapat dibilang sesat atau jahat.

   Di bawah bimbingan Han Lin, ia akan menjadi seorang isteri yang baik. Ia harus mengalah, pikirnya sambil menekan perasaannya agar jangan timbul kedukaan di balik sikap mengalah itu. Ia memang mencinta Han Lin dengan sepenuh jiwanya, akan tetapi seperti pernah ia dengar dari gurunya, cinta bukan berarti memiliki dan menguasai. Bahkan menurut gurunya itu, cinta membutuhkan bukti pengorbanan dan ia siap untuk mengorbankan perasaannya sendiri.

   Setelah lubang kuburan telah siap, Han Lin, dibantu Eng-ji dan Kiok Hwa mengubur jenazah ibunya. Setelah memasukkan jenazah ke dalam lubang, Han Lin tidak segera menutupi lubang itu dengan tanah, melainkan dia berlutut sambil mengamati wajah ibunya. Wajah jenazah itu tampak demikian cantik, tersenyum ikhlas seperti orang tidur saja. Dia merasa tidak tega untuk menutupinya dengan tanah sehingga sampai lama dia hanya berlutut sambil menatap wajah itu.

   Wajah yang selalu dirindukannya, wajah yang selama ini dianggapnya sudah meninggal dunia. Wajah yang amat dikasihinya, yang amat dihormati dan dijunjung tinggi. Ibunya yang bijaksana! Mati seperti itu. Tak terasa air matanya turun lagi menetes-netes dari kedua matanya.

   "Lin-ko, jenazah ibumu perlu segera dimakamkan dengan baik."

   Kata Kiok Hwa sambil menahan diri agar jangan menyentuh lengan atau pundak pemuda itu.

   Han Lin membalikkan tubuhnya dalam keadaan masih berlutut, lalu berkata dengan suara parau.

   "Kiok-moi, Eng-ji, tolonglah aku, kalian tutuplah lubang jenazah itu. Aku tidak tega......!"

   Dia lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis. Kiok Hwa memberi isarat kepada Eng-ji dengan kedipan matanya, kemudian mereka berdua lalu menggunakan tanah untuk menutupi jenazah itu dengan urukan tanah sedikit demi sedikit seolah-olah tidak ingin menyakiti jenazah itu. Dalam keadaan terpaksa sekali jenazah itu dimakamkan tanpa menggunakan peti jenazah. Setelah lubang itu ditutup menjadi gundukan tanah, Han Lin lalu memberi hormat sambil berlutut. Setelah memberi hormat, dia lalu berkata dengan suara lantang.

   ""Ibu, harap ibu tenang. Aku pasti akan dapat membalaskan sakit hati ibu terhadap Ji Ok si laknat itu!"

   Kiok Hwa mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi, Lin-ko. Bukankah ibumu tadi mengatakan bahwa ia berhutang nyawa kepada Ji Ok?"

   Han Lin mengerutkan alisnya.

   "Kalau ibu pernah berhutang nyawa, sekarang telah ditebusnya karena nyawa itu direnggut oleh pisau Ji Ok. Akan tetapi perbuatannya terhadap ibu, menyihirnya dan meracuninya, tidak dapat kumaafkan begitu saja."

   Kiok Hwa menghela napas panjang dan tidak membantah lagi. Ia tahu bahwa Han Lin sedang dilanda kedukaan besar dan mendalam maka sebaiknya didiamkan saja. Kalau dia sudah tenang tentu rasa permusuhan dan kebencian itu akan dapat disadarinya sendiri.

   "Mari, Lin-ko, kita basmi Pek-lian-kauw!"

   Tiba-tiba Eng-ji berkata penuh semangat.

   "Mari kita berangkat."

   Han Lin menoleh kepada Kiok Hwa.

   "Mari, Kiok-moi engkau ikut juga."

   Akan tetapi Kiok Hwa menggeleng kepalanya.

   "Tidak, Lin-ko. Kalau kalian berdua hendak berkelahi, pergilah dan aku akan menanti di sini saja."

   Han Lin memandang dengan alis berkerut dan hatinya kecewa, juga khawatir.

   Dia masih ingat ketika dia berkelahi melawan Toa Ok dahulu,Kiok Hwa meninggalkannya tanpa pamit, hanya meninggalkan coretan yang mengatakan bahwa ia pergi karena tidak mau terlibat dalam perkelahian dan permusuhan.

   "Akan tetapi, aku ingin engkau bersama kami, Kiok-moi."

   "Maafkan aku, Lin-ko. Aku tidak perlu ikut. Sudah ada Eng-ji yang akan membantumu. Biar aku menunggu di sini saja."

   Jawab Kiok Hwa.

   "Marilah, Lin-ko. Aku khawatir kalau kita terlambat, mereka sudah melarikan diri!"

   Kata Eng-ji tidak sabaran lagi, apa lagi melihat Han Lin seperti hendak membujuk Kiok Hwa untuk ikut, hal yang tidak disukainya tentu saja.

   Karena Kiok Hwa berkeras tidak mau ikut dan Eng-ji sudah mendesaknya, akhirnya Han Lin berkata.

   "Akan tetapi aku mengharap engkau akan menunggu kami di sini, Kiok-moi."

   Dia tidak berani terlalu menyolok memperlihatkan cintanya kepada gadis itu karena dia melihat betapa Eng-ji agaknya juga amat erat hubungannya dengan gadis itu. Mereka berdua lalu berlari cepat meninggalkan balik bukit itu menuju ke perkampungan Pek-lian-kauw. Mereka bermaksud untuk membasmi cabang Pek-lian kauw karena biarpun tadinya mereka berdua tidak ada permusuhan dengan Pek lian-kauw, namun perkumpulan itu telah membantu Thian-te Sam-ok untuk memusuhi mereka, bahkan menjebak mereka dengan tempat-tempat jebakan mereka. Karena Eng-ji dan Han Lin mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja mereka sudah tiba di depan pintu gerbang pagar dinding perkumpulan itu. Akan tetapi di sana tampak sepi saja tidak tampak seorangpun.

   "Hemm, agaknya mereka sudah meninggalkan perkampungan, seperti yang kuduga, Lin-ko."

   Kata Eng-ji penasaran.

   Mereka memasuki perkampungan dan benar saja. Perkampungan itu kosong, tidak tampak seorang pun manusia. Agaknya dua orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu sudah mengetahui betapa Thian-te Sam-ok telah kalah dan melarikan diri. Karena menduga bahwa para pemuda yang sakti itu tentu akan membuat perhitungan dengan mereka, maka mereka sudah cepat-cepat mengosongkan perkampungan dan melarikan diri.

   Setelah melihat bahwa perkampungan itu benar-benar telah kosong ditinggalkan penghuninya, Eng-ji lalu membakar semua rumah yang berada di situ! Api mengamuk, berkobar menelan habis semua benda yang berada di situ. Puaslah hati Eng-ji melihat api berkobar membasmi bekas sarang cabang Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi setelah melihat api berkobar besar, Han Lin yang teringat kepada Kiok Hwa lalu mengajaknya kembali ke kuburan ibunya.

   "Mari kita tinggalkan, tempat ini, Eng-ji. Kembali ke kuburan ibuku."

   Eng-ji mengerutkan alisnya. Hatinya panas membayangkan bahwa Han Lin tergesa-gesa karena ingin segera berkumpul kembali dengan Kiok Hwa. Akan tetapi dia tidak membantah dan mereka berdua lalu meninggalkan perkampungan yang telah menjadi lautan api itu dan kembali ke tempat di mana jenazah Chai Li dikubur dan di mana Kiok Hwa menanti mereka. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka tidak menemukan Kiok Hwa! Han Lin terkejut dan bingung, mencari sana-sini dan memanggil-manggil nama Kiok Hwa. Akan tetapi Eng-ji diam-diam maklum bahwa Kiok Hwa telah pergi. Ternyata Kiok Hwa melakukan apa yang pernah dikatakan kepadanya bahwa Eng-ji lebih cocok dengan Han Lin dan gadis baju putih itu telah mengalah dan diam-diam pergi meninggalkan mereka berdua. Dia merasa terharu sekali dan duduk bertopang dagu di dekat gundukan tanah kuburan. Han Lin kembali dari mencari-cari dan menghampiri Eng-ji.

   "Ia tidak ada. Ah, ke mana perginya dan mengapa ia pergi tanpa berpamit kepada kita?"

   Dia mengeluh lalu menjatuhkan diri terduduk di depan makam ibunya.

   "Aku yang kehilangan besar sekali, Lin-ko. Tahukah engkau bahwa aku.. aku amat mencintanya? Aku telah jatuh cinta kepadanya sejak pertemuan kami yang pertama kali."

   Setelah berkata demikian Eng-ji memandang Han Lin dengan sinar mata tajam penuh selidik.

   Han Lin tidak terkejut mendengar ini karena memang sudah diduganya bahwa Eng-ji mencinta Kiok Hwa. Dia hanya mengangguk dan berkata.

   "Aku tidak heran kalau engkau jatuh cinta kepada-nya. Ia memang seorang gadis yang baik sekali, berbudi mulia."

   Ucapannya terdengar lirih dan mengandung kesedihan. Hatinya memang terasa sedih bukan main. Baru saja dia ditinggal mati ibunya dan kenyataan ini merobek-robek hatinya dan membuatnya merasa ngelangsa sekali. Kini ditambah lagi dengan kepergian Kiok Hwa tanpa pamit kepadanya! Mengapa? Bukankah mereka saling mencinta? Ah, dunia rasanya sunyi sekali setelah kini Kiok Hwa pergi.

   "Lin-ko, memang enci Kiok Hwa seorang gadis yang luar biasa. Apakah.....apakah engkau juga...... tidak jatuh cinta kepadanya?"

   Pertanyaan Eng-ji ini terdengar seperti sambil lalu saja, akan tetapi sebenarnya merupakan pertanyaan yang serius dan sinar matanya menatap mata Han Lin seperti hendak menjenguk isi hati pemuda itu.

   Han Lin memandang Eng-ji dan melihat betapa sinar mata pemuda remaja itu mencorong dan memandang kepadanya penuh selidik. Ah, untuk apa mengaku cinta kepada Kiok Hwa di depan pemuda ini? Hanya akan menimbulkan perasaan yang tidak enak saja.

   Maka diapun lalu menggeleng kepalanya dan kembali berlutut didepan makam ibunya sehingga Eng-ji tidak bertanya lebih jauh. Han Lin mencari sebatang pohon muda lalu memindahkan pohon itu di bagian atas dari makam ibunya, menanamnya dengan baik, kemudian dia menggelindingkan sebuah batu besar yang dipergunakan sebagai tanda atau nisan kuburan ibunya. Dengan pisau tajam yang telah merenggut nyawa ibunya, dia membuat ukiran huruf-huruf di atas batu itu yang berbunyi :

   Di sini kuburan ibunda tercinta.. Chai Li.

   Kemudian dia teringat akan pesan terakhir ibunya bahwa dia harus mencari ayahnya, maka dia mengajak Eng-ji untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja.

   Sudah lama sekali kita meninggalkan pemuda yang mengaku bernama Coa Seng atau A-seng, yang dengan tipu daya yang keji dan amat cerdiknya telah dapat menipu Cheng Hian Hwesio sehingga dia dapat diambil murid oleh hwesio tua yang sakti itu dan diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi! Kemudian, setelah dapat menguasai hampir semua ilmu silat tinggi dari Cheng Hian Hwesio, dia membunuh Nelayan Gu dan Petani Lai, dum orang murid dan juga pelayan Cherng Hian Hwesio. Bahkan dia nyaris dapat membunuh Cheng Hian Hwesio sendiri. Namun gagal karena ketika dilawan gurunya itu, dia masih kalah setingkat dalam hal tenaga sakti. Kemudian, dia menipu Han Lin, bermalam di kamar Han Lin dan mencuri Suling Pusaka Kemala milik Han Lin dan melarikan diri!

   Siapakah sebenarnya Coa Seng atau A-Seng itu? Dia adalah seorang pemuda bernama Ouw Ki Seng. Sejak kecil dia telah ditinggal mati ayah ibunya dan dia oleh kedua orang pamannya yang menjadi ketua dan wakil ketua Ban-tok-pang (Perkumpulan Selaksa Racun), sebuah perkumpulan sesat yang berada di sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan hai-san. Kedua pamannya itu bernama Hiw Kian dan Ouw Sian yang menjadi ketua dan wakil ketua Ban-tok-pang. mereka ini pernah menjadi murid Toa Ok dan menguasai ilmu pukulan Ban-tok-Ciang, maka mereka mendirikan perkumpulan dengan nama Ban-tok-pang, disesuaikan dengan nama ilmu mereka Ban-tok-lang (Tangan Selaksa Racun). Sejak kecil Ouw Ki Seng merupakan seorang anak yang nakal dan cerdik bukan main. Kenakalan dan kecerdikannya ini membuat kedua orang pamannya berhati-hati dan biarpun mereka mendidik Ki Seng dan mengajarkan ilmu silat namun pemuda itu tidak diberi pelajaran ilmu-ilmu simpanan mereka, apalagi Ban tok-ciang yang ampuh.

   Di dalam hatinya, Ki Seng merasa penasaran dan sakit hati, namun dia tidak memperlihatkannya dan tetap bersabar. Pada suatu hari, Ban-tok-pang kedatangan seorang tamu yang dihormati oleh ketua dan wakilnya. Tamu itu adalah lah Suma Kiang yang telah dikenal sejak lama oleh Ouw Kian dan Ouw Sian sebagai Huang-ho Sin-liong. Ketika mendengar bahwa tamu itu seorang datuk yang berilmu tinggi, diam-diam timbul keinginan di hati Ki Seng untuk menjadi muridnya. Akan tetapi dia tidak berani menyatakan keinginan hatinya.

   Setelah Suma Kiang meninggalkan Ban-tok-ciang, diam-diam Ki Seng mengikuti dari jauh dan tanpa disengaja dia melihat Suma Kiang dan Suma Eng, yaitu puteri Suma Kiang yang ikut ayahnya menjadi tamu Ban-tok-pang, mendaki puncak dan menyerang Nelayan Gu dan petani Lai yang dikalahkan oleh Suma Kiang. Akan tetapi, ketika Cheng Hian Hwesio muncul, Suma Kiang dapat dikalahkan dengan mudah oleh hwesio tua yang sakti itu.

   Setelah melihat peristiwa ini, Ki Seng tidak jadi minta untuk dijadikan murid oleh Suma Kiang. Sebaliknya dia mengincar Cheng Hian Hwesio yang sakti untuk menjadi gurunya. Maka, diaturnyalah siasat yang amat keji itu. Dia membunuh sepuluh orang dusun, kemudian lari ke puncak menemui Cheng Hian Hwesio dan menceritakan betapa keluarganya dibantai orang jahat. Bahkan dia nekat berlutut selama dua hari dua malam tanpa makan minum dan bertekad untuk tidak bangun lagi sebelum Cheng Hian Hwesio menerimanya sebagai murid. Keteguhan hatinya ini menarik perhatian Cheng Hian Hwesio. Tipu dayanya yang keji dapat mengelabui Cheng Hian Hwesio sehingga akhirnya dia diangkat menjadi murid!

   Setelah membunuh Nelayan Gu dan Petani Lai dan gagal membunuh Cheng Hian Hwesio, kemudian berhasil mencuri Suling Pusaka Kemala milik Han Lin, Ki Seng lalu melarikan diri pulang ke Ban-tok-pang. Ouw Kian dan Ouw Sian sudah mendengar bahwa keponakan mereka berhasil diterima sebagai murid oleh Cheng Hian Hwesio dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Maka setelah pemuda itu pulang, mereka menyambut dengan gembira dan menjamu pemuda itu dengan sebuah pesta keluarga yang meriah.

   Mereka semua menghadapi meja dengan gembira. Ouw Kian yang berusia lima puluh tahun dan bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok duduk di kepala meja, wajahnya tampak riang. Dialah ketua Ban-tok-pang. Wakil ketua adalah adiknya sendiri, Ouw Sian yang berusia empat puluh delapan tahun dan bertubuh tinggi kurus bermuka kuning. Wajahnya tampak agak muram karena memang orang ini tidak pernah memperlihatkan kegembiraan dan selalu murung. Kalau kakaknya, Ouw Kian terkenal lihai mempergunakan pedang, Ouw Sian bersenjatakan siang-to (sepasang golok) dan tentu saja kedua kakak beradik ini merupakan ahli-ahli ilmu pukulan Ban-tok-riang yang ampuh.

   Karena merasa bangga dan gembira, Ouw Kian sendiri menyuguhkan beberapa cawan arak kepada Ki Seng untuk menyatakan selamat atas keberhasilan pemuda itu. Mereka makan minum dengan gembira dan sambil makan minum, keluarga itu minta kepada Ki Seng untuk menceritakan semua pengalamannya. Setelah makan minum selesai, mereka masih bercakap-cakap di meja makan.

   "Ki Seng, sungguh aku merasa girang sekali dengan kepulanganmu membawa ilmu kepandaian yang tinggi. Engkau dapat memperkuat kedudukan Ban-tok-pang, membantu aku dan pamanmu Ouw Sian."

   Kata Ouw Kian dengan gembira.

   "Paman, kedudukan yang diberikan kepada seseorang haruslah disesuaikan dengan tingkat kepandaian orang itu. Setujukah paman dengan pendapatku itu?"

   Tanpa mencurigai maksud ucapan itu, Ouw Kian mengangguk.

   "Tentu saja aku setuju sekali!"

   "Dan bagaimana dengan engkau, paman Ouw Sian? Setujukah paman dengan pendapatku bahwa kedudukan seseorang harus disesuaikan dengan tingkat kepandaian orang itu?"

   "Hemm, aku setuju akan tetapi apa maksudmu dengan ucapan itu?"

   Tanya Ouw Sian, agak curiga.

   "Maksudku, tingkat kepandaian Paman Ouw Kian tentu yang tertinggi di Ban tok-pang, maka dia diangkat menjadi ketua dan kepandaian Paman Ouw Sian berada di bawahnya, maka hanya menjadi wakil ketua. Bukankah begitu?"

   "Benar, betul sekali!"

   Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata Ouw Kian masih belum dapat menduga ke arah mana tujuan kata-kata Ki Seng itu.

   "Wah, sekarang aku datang. Untuk menentukan kedudukanku, tentu sudah sepatutnya kalau aku diuji dan siapa pengujinya kalau bukan Paman Ouw Kian atau Paman Ouw Sian sendiri? Paman berdua hanya baru mendengar bahwa aku telah mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi tanpa menguji, bagaimana kedua paman akan menjadi yakin akan kemampuanku?"

   "Bagus, memang sudah sepantasnya begitu. Biarlah sekarang juga, kami akan mengujimu. Sian-te (adik Sian), cobalah engkau dulu yang menguji Ki Seng. Engkau harus bersilat sungguh-sungguh dan mengeluarkan semua kemampuanmu, baru kita dapat menilai sampai di mana tingkat kepandaiannya. Mari kita pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)."

   Dia mengajak semua keluarganya, termasuk isterinya, dua orang anak laki-laki berusia tiga belas dan dua puluh lima tahun isteri Ouw Sian dan seorang anak perempuan Ouw San yang berusia sembilan belas tahun, untuk menonton ujian kepandaian silat Ki Seng itu. Bahkan beberapa orang anggauta Ban-tok-pang yang menjadi pembantu-pembantu, yang merupakan tokoh-tokoh Ban-tok-pang yang sudah memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup, ikut pula menonton.

   Ouw Sian berhadapan dengan Ki Seng di lian-bu-thia, ditonton oleh keluarga dan para pembantu. Semua orang berwajah gembira karena mengharapkan pertunjukan yang menarik dan tentu saja tidak ada bahayanya karena adu kepandaian itu hanya merupakan ujian belaka, tidak sungguh-sungguh.

   "Ki Seng, engkau hendak menggunakan senjata apakah? Pilihlah di rak senjata itu. Aku sendiri akan menggunakan siang-to (sepasang golok) ini!"

   Kata Ouw Sian sambil mencabut sepasang goloknya yang biasanya tergantung di punggungnya.

   "Suhu mengajarkan bahwa segala benda di dunia ini dapat saja dijadikan sebagai senjata, kecuali kaki dan tangan sendiri."

   Kata Ki Seng dengan senyum dingin.

   Dia tidak berbohong karena memang demikian yang diajarkan Cheng Hian Hwesio. Buktinya, Nelayan Gu dapat mempergunakan dayung sebagai senjata, dan Petani Lai juga dapat mempergunakan sebatang cangkul sebagai senjatanya yang ampuh. Dia melirik ke arah kursi dan menyambung.

   "misalnya kursi itu, dapat saja kupakai sebagai senjata untuk menghadapi serangan golokmu, Paman Ouw Sian."

   Dua orang pimpinan Ban-tok-pang itu mengerutkan alisnya. Mereka menganggap Ki Seng terlalu sombong. Baru belajar silat lima tahun sudah berani menantang untuk menghadapi Ouw Sian dengan sepasang goloknya yang amat lihai hanya dengan bersenjatakan sebuah kursi kayu!

   "Ki Seng, jangan gegabah. Sepasang golok pamanmu Ouw Sian amat hebat, bagaimana akan kau lawan dengan sebuah kursi? Pilihlah pedang atau golok!"

   Kata Ouw Kian.

   "Tidak, paman, aku cukup mengguna-kan kursi kayu ini dan seandainya aku kalah oleh Paman Ouw Sian, biarlah aku menempati kedudukan sebagai anggauta biasa saja."

   Ucapan ini walaupun dikeluarkan dengan sederhana, namun mengandung tantangan yang memandang rendah Ouw Sian! Ouw Kian dan Ouw Sian adalah murid-murid Toa Ok. Mereka merasa diri mereka sudah mencapai tingkat tinggi dalam ilmu silat, maka melihat sikap dan mendengar ucapan Ki Seng, tentu saja mereka menjadi penasaran sekali. Terutama Ouw Sian, wajahnya yang biasanya kekuningan kini menjadi agak merah dan dia sudah menjadi marah.

   "Baiklah, Ki Seng, engkau yang berjanji sendiri. Kurasa tingkat kepandaianmu juga tidak terlalu jauh dari tingkat seorang anggauta perkumpulan kita yang biasa. Nah, mari kita mulai!"

   Setelah berkata demikian, Ouw Sian sudah menyilangkan sepasang goloknya di depan dada dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Melihat ini, Ki Seng mengambil sebuah kursi kayu berkaki empat. Dia menganggap kursi itu merupakan senjata yang cukup baik untuk menghadapi sepasang golok pamannya.

   "Aku sudah siap, Paman Ouw Sian!"

   Katanya lantang dan sikapnya biasa saja. Dia berdiri tegak dan memegang kursi itu secara terbalik sehingga empat buah kaki kursi berada di depan.

   Ouw Sian merasa dipandang rendah sekali. Dia mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada keponakannya yang bersikap jumawa ini. Akan dihancurkannya kursi yang dipegangnya, kemudian dia akan merobohkan Ki Seng dengan tendangan kakinya. Maka dia lalu memutar sepasang goloknya di atas kepala dan berseru.

   "Awas, Ki Seng, lihat seranganku!"

   Dan diapun menyerang dengan dahsyatnya. Dia memperhitungkan bahwa serangan sepasang goloknya tentu akan ditangkis dengan kursi itu dan itulah saatnya sepasang goloknya membikin remuk kursi itu menjadi berkeping-keping. Akan tetapi ternyata tidak terjadi seperti yang ia sangka.

   Ketika sepasang goloknya menyambar, mengancam tubuh Ki Seng dengan bacokan dan tusukan, pemuda itu sama sekali tidak menggunakan kursi itu untuk menangkis, melainkan dia mengelak dengan gerakan cepat sekali sehingga mengejutkan hati Ouw Sian. Akan tetapi hati orang tinggi kurus ini selain terkejut, juga penasaran sekali melihat betapa amat mudahnya Ki Seng mengelak dari serangan-serangannya, seolah penyerangannya itu tidak ada artinya dan dipandang rendah. Dia lalu mempercepat gerakan sepasang goloknya dan menyerang dengan hebat.

   Akan tetapi dia terkejut sekali ketika kehilangan Ki Seng! Pemuda itu berkelebat dan lenyap dari depannya dan tahu tahu telah berada di belakangnya! Demikian cepat gerakan tubuh Ki Seng seolah olah dia pandai menghilang saja. Ouw Sian memutar tubuhnya dan menggunakan sepasang goloknya untuk membacok dengan cara menyilang dan menggunting Sekali ini Ki Seng menggerakkan kursi nya dua kali, akan tetapi dia tidak menangkis dengan memapaki pedang, melainkan menghantam dari samping mengenai badan golok.

   "Trang-trang......!!"

   Demikian kuatnya tangkisan itu membuat Ouw Sian menjadi terpelanting dan terhuyung! Tentu saja kursi itu tidak menjadi rusak karena menangkis dari samping, tidak bertemu dengan mata golok yang tajam. Ouw Sian menjadi semakin terkejut dan dia hampir tidak percaya bahwa tangkisan kursi itu dapat membuat dia terhuyung. Dari terkejut, heran dan penasaran, dia menjadi marah. Wakil ketua Ban-tok-pang ini bukanlah orang yang dapat menerima kekalahan. Dia selalu mengagulkan kepandaian sendiri dan tidak memandang mata kepada orang lain. Karena marahnya, lupalah dia bahwa yang dihadapinya adalah keponakan sendiri dan dia sedang menguji kepandaian sang keponakan itu. Kini dalam pandang matanya, yang dihadapinya adalah seorang musuh besar yang telah membuat dia malu! Dia mengeluarkan suara gerengan dahsyat lalu menyerang dengan dahsyat pula, sepasang goloknya berubah menjadi tangan-tangan maut yang siap mencengkeram dan membinasakan Ki Seng!

   Namun Ki Seng tersenyum dingin. Diapun tahu akan kemarahan pamannya dan bahwa kini pamannya sudah mata gelap dan penyerangannya adalah untuk mematikannya. Akan tetapi dia bersikap tenang saja karena maklum bahwa dia dapat mengatasi pamannya ini dengan mudah. Ketika golok kiri pamannya menyambar lagi, dia mengelak ke kanan dani sebelum golok kanan bergerak, dia sudah mendahului pamannya, menggunakan kursi untuk balas menyerang dan menghantami ke arah tangan kanan Ouw Sian. Kaki kursi itu menotok ke arah siku dan seketika lengan kanan Ouw Sian menjadi kaku dan golok kanannya terlepas dari pegangan. Hal ini membuat Ouw Sian semakin marah dan tanpa memperdulikan apapun dia sudah menubruk dan melancarkan pukulan Ban-tok-ciang yang ampuh itu ke arah tubuh Ki Seng! Jari-jari tangan terbuka itu menyambar ke arah dada dengan kecepatan luar biasa dan mendatangkan hawa panas yang beracun.

   "Wuuuuttt......!"

   Pukulan Ban-tok-ciang itu meluncur ke arah dada Ki Seng. Melihat ini, Ki Seng tersenyum dan sinar matanya mencorong, berubah kejam. Tahulah dia bahwa kalau Ouw Sian dibiarkan hidup, kelak hanya akan menjadi orang yang memusuhinya. Maka, cepat dia menangkis serangan itu dengan tangan kirinya dan tangan kanannya secepat kilat menotok dengan satu jari. Itulah It-yang-ci dan dengan tepat sekali jari telunjuk kanannya masuk dan menotok dada Ouw Sian bagian kiri.

   "Tukkkk.....I"

   Ouw Sian mengeluh dan roboh terjengkang, tewas seketika karena totokan tadi telah merusak jantungnya! Ouw Kian terkejut bukan main ketika adiknya roboh dan tidak bangkit kembali. Apalagi ketika dia melihat betapa mata adiknya mendelik dan tidak bergerak-gerak. Cepat dia meloncat ke dekat adiknya dan berjongkok untuk memeriksa. Matanya terbelalak ketika dia mendapat kenyataan bahwa adiknya ternyata telah tewas! Dia lalu bangkit berdiri, memutar tubuhnya menghadapi Ki Seng dengan mata melotot.

   "Ki Seng.....!!"

   Bentaknya dengan kemarahan luar biasa.

   "Apa yang telah kau lakukan ini? Engkau telah membunuhi pamanmu Ouw Sian!"

   "Hemm, paman sendiri tentu tahu bahwa yang menggunakan Ban-tok-ciang dan bermaksud membunuhku adalah Paman Ouw Kian. Aku hanya membalas apa yang hendak dia lakukan terhadap diri-ku."

   Jawab Ki Seng dengan sikap tenang-tenang saja, bahkan pandang matanya menantang.

   "Ki Seng, engkau anak durhaka. Engkau telah membunuh Ouw Sian dan karena itu aku harus menghukummu!"

   Bentak Ouw Kian marah dan dia sudah mencabut pedangnya.

   Ki Seng mengerutkan alisnya.

   "Hemm kalau paman hendak menyusulnya, mari kuantarkan paman!"

   Ucapan ini bagaikan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan Ouw Kian, membuat kemarahannya semakin berkobar.

   "Anak setan, mampuslah engkau!"

   Setelah berkata demikian, Ouw Kian menyerang dengan pedangnya. Melihat ini, Ki Seng membungkuk dan menyambar sebatang golok milik Ouw Sian yang tadi terjatuh dan dia menangkis dengan golok itu ketika pedang menyambar.

   Sementara itu, ketika mendengar bahwa suami dan ayah mereka telah tewas, isteri Ouw Sian dan anak perempuannya lalu menubruk mayat Ouw Sian sambil menangis. Perkelahian antara Ouw Kian dan Ki Seng makin hebat dan ketika tangkisan golok Ki Seng membuat tangannya tergetar dan pedangnya terpental, Ouw Kian menjadi terkejut sekali dan segera meneriaki para pembantunya untuk turun tangan membantunya. Lima orang pembantu ketua itu lalu mencabut golok masing-masing dan berlompatan maju mengeroyok Ki Seng. Serangan Ouw Kian dan para pembantunya itu merupakan serangan mematikan karena mereka semua sudah bertekad untuk membunuh pemuda yang berbahaya itu.

   Akan tetapi Ki Seng kini mengamuk, dan goloknya berkelebatan, menjadi sinar yang bergulung-gulung dan belasan jurus kemudian, lima orang pembantu ketua itu roboh satu demi satu dan tewas seketika karena golok di tangan Ki Seng menyerang dengan amat hebatnya! Melihat itu Ouw Kian menjadi marah akan tetapi juga gentar. Bagaimana juga, dia tidak dapat menghindarkan diri lagi dan ketika dia menangkis golok yang menyambar dahsyat, pedangnya terpental dan terlepas dari tangannya. Pada saat itu tangan kiri Ki Seng sudah meluncur ke depan dan totokan satu jari yang demikian dahsyatnya sehingga gerakan itu mengeluarkan suara mencicit. Itulah It-yang ci yang dipergunakan untuk menyeran ke arah ulu hati.

   "Tukk....!!"

   Tubuh Ouw Kian terjengkang lalu roboh menggelepar, mulutnya muntahkan darah segar dan dia hanya dapat terbelalak, tangannya menuding ki arah Ki Seng dan diapun tewas seketika Pada saat itu terdengar teriakan nyaring.

   Ouw Cun, putera Ouw Kian yang berusia dua puluh lima tahun sudah menerjang dengan sebatang pedang di tangannya. Juga Ouw Ci Hwa, puteri Ouw Sian yang tadi menangisi ayahnya kini menyerang dengan sebatang pedang. Bahkan janda kedua orang pimpinan Ban-tok-pang itu sudah mencabut pedang dan ikut menyeroyok untuk membalas kematian suami mereka. Ki Seng tersenyum lebar. Golok di tangannya berkelebat dan Ouw Ci Hwa, gadis berusia sembilan belas tahun itupun roboh mandi darah, dadanya terobek golok dan dia tewas di dekat jenazah ayahnya.

   Ouw Cun dengan marah dan nekat menubruk maju dengan pedangnya, dibantu oleh dua orang janda yang juga sudah nekat. Ki Seng memutar goloknya.

   "Trang-trang-tranggg......!"

   Tiga batang pedang itu terpental dan terlepas dari tangan tiga orang pengeroyok itu dan sebelum mereka sempat menghindar, golok di tangan Ki Seng menyambar-nyambar dan robohlah tiga orang itu, tewas seketika terkena bacokan golok yang dilakukan dengan tenaga dalam yang amat kuatnya. Sunyi di tempat itu. Kesunyian yang mencekam.

   Para anak buah Ban-tok-pang yang tadi berlari-lari mendatangi ruangan yang menjadi tempat pembantaian itu berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat. Di lantai berserakan sebelas orang yang telah menjadi mayat dan darah membanjiri lantai itu. Ki Seng berdiri tegak, memandang ke kanan kiri, menyapu wajah-wajah para anak buah Ban-tok-pang, Sinar mata Ki Seng mencorong ketika dia mengamati wajah-wajah para anggauta itu sehingga setiap orang anggauta yang bertemu pandang dengan dia merasa ngeri dan menundukkan muka. Para anggauta Ban-tok-pang adalah orang-orang yang sudah biasa melakukan perbuatan sewenang-wenang dan kejam, tidak mengenal rasa takut. Akan tetapi kini menghadapi Ki Seng yang membantai sebelas orang, di antaranya paman-paman dan bibi-bibinya sendiri, mereka menjadi ketakutan dan merasa ngeri.

   

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini