Suling Pusaka Kumala 27
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
"Apakah dia mau melakukannya?"
"Kenapa tidak? Kami mendukungnya sebagai pangeran dan kami menjanjikan kelak akan mendukungnya menjadi puteri mahkota kalau para pangeran yang lair telah disingkirkan."
"Hernm, mengerti aku sekarang."
Siai Hwa Sian-li mengangguk-angguk.
"Dan kalau mereka berlima itu berhasil disingkirkan, kita lalu menyingkirkan Pangeran palsu itu, bukan? Wah, cerdik sekali rencana itu! Akan tetapi, bagaimana dengan Pangeran Cheng Lin yang aseli? Bukan-kah Ouw Ki Seng telah merampas Suling Pusaka Kemala itu dari tangannya? Di mana adanya Pangeran Cheng Lin yang aseli itu? Apakah telah dibunuh oleh Ouw Ki Seng?"
"Itulah yang kadang merisaukan hati ayah. Menurut keterangan Ouw Ki Seng Pangeran Cheng Lin yang aseli itu masih hidup dan dia adalah saudara seperguruannya sendiri bernama Han Lin yang katanya amat lihai."
Lo Sian Eng yang mendengarkan percakapan itu hampir saja mengeluarkar seruan kaget, akan tetapi cepal ia menggunakan tangan untuk membungkam mulut sendiri. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Han Lin itu penyamaran pangeran Cheng Lin?
"Nah, bagaimana kalau Pangeran Cheng Lin yang aseli itu muncul dan menceritakan semuanya kepada Kaisar Cheng Tung? Kedok Ouw Ki Seng akan terbuka dan persekutuan ini tidak ada gunanya lagi malah mungkin membahayakan nama baik ayahmu."
"Hal itupun sudah kami pikirkan dan justeru karena adanya kemungkinan munculnya Pangeran Cheng Lin yang aseli maka kami menarik Ouw Ki Seng menjadi sekutu kami. Dengan adanya Ouw Ki Seng yang berada di sini sebagai pangeran, apa yang dapat dilakukan Pangeran Cheng Lin yang aseli? Bukti diri pangeran itu hanyalah Suling Pusaka Kemala, dan benda pusaka itu sudah menjadi milik Ouw Ki Seng. Siapa yang akan percaya kepada Pangeran Cheng Lin yang aseli. Begitu muncul, dia akan ditangkap sebagai pemalsu pangeran. Juga dengan sdanya Ouw Ki Seng, maka kalau pangeran aseli itu muncul akan ada yang menandinginya."
"Wan, semua sudah diatur dan direncanakan dengan baik sekali. Ayahmu pangeran memang cerdik sekali, Cheng Kongcu. Aku senang sekali dapat membantu."
"Sudahlah, mari kita masuk, Sian li. Hawanya mulai dingin di sini."
Kata Cheng Kun sambil bangkit berdiri, diturut oleh Sian Hwa Sian-li. Tak lama kemudian mereka sudah meninggalkan taman sambil bergandeng tangan, memasuKi gedung melalui pintu belakang.
"Jahanam.....!"
Sian Eng memaki setelah dua orang itu pergi. Mei Ling memandang dengan heran dan penuh selidik. Tentu saja ia meraa ragu. Bukankah gadis ini puteri Suma Kiang yang menjadi pembantu utama Pangeran Cheng Boan?
"Siapa yang engkau maki?"
Tanyanya penuh keraguan.
"Mereka semua!"
Jawab Sian Eng sambil mengepal tinju dengan gemas "Mereka seluruh komplotan jahat itu. Aku mengenalmu, Ciang Mei Ling. Engkau tentu tunangan Pangeran Cheng Lin palsu itu. Enci Siang Kui sudah bercerita tentang engkau kepadaku. Engkau juga menjadi korban mereka."
"Akan tetapi engkau.... bukankah engkau ini puteri Suma Kiang?"
Tanya Mei Ling, masih ragu.
"Kita semua tertipu oleh mereka yang berhati palsu itu. Engkau tidak perlu tahu siapa aku, hanya engkau boleh tahu bahwa akupun memusuhi komplotan busuk Itu!"
Sikap keras dan tegas dari Sian Eng itu entah mengapa menimbulkan kepercayaan dalam hati Mei Ling.
"Aku tidak mengerti mengapa engkau sebagai puteri suma Kiang memusuhi mereka, akan tetapi aku percaya kepadamu, Suma Eng. kuharap engkau berhati-hati karena di sini terdapat banyak orang pandai. Baru Suma Kiang dan Toa Ok saja sudah merupakan dua orang yang amat sukar dikalahkan, apalagi kalau Ouw Ki Seng atau Pangeran palsu itu maju. Dia lebih lihai lagi. Juga Sian Hwa Sian-li seorang iblis betina yang licik dan jahat."
"Aku tahu, Ciang Mei Ling. Lalu, apa yang akan kaulakukan sekarang?"
Tanya. Sian Eng yang merasa bahwa mereka berdua telah mendengar terbukanya rahasia besar komplotan itu, dan tentu gadis yang telah dinodai Cheng Kun ini tidak akan tinggal diam.
"Aku akan membunuh si jahanan Cheng Kun itu!"
Kata Mei Ling dengan gemas.
"Dia dan iblis betina itu telah memperdayaku dan jahanam itu telah menodaiku!"
Sian Eng mengangguk.
"Mereka semua layak dibasmi. Akan tetapi engkau harus berhati-hati, Mei Ling. Iblis betina itu tentu akan membelanya."
Kedua orang gadis itu lalu berpisah meninggalkan taman dengan cara menyusup melalui kegelapan malam, kembali ke kamar masing-masing dalam gedung Pangeran Cheng Boan itu.
Mereka berunding di dalam ruangan belakang yang tertutup itu. Pangeran Cheng Boan duduk di kepala meja dan yang lain-lain duduk mengelilingi meja bundar yang besar itu. Ouw Ki Seng duduk di seberangnya dan di kanan kirinya duduk Suma Kiang dan Toa Ok, sedang-kan Sian Hwa Sian-li dan Cheng Kun di kanan kiri Pangeran Cheng Boan. Ciang Mei Ling tidak tampak di situ. Bagaimanapun juga, Pangeran Cheng Boan masih belum dapat menerima gadis itu sebagai orang kepercayaannya biarpun Mei Ling diaku sebagai tunangan Ouw Ki Seng. Bahkan Ouw Ki Seng sendiripun tidak berani mengajak gadis itu masuk ke dalam persekutuan rahasia itu dan diapun tidak ingin gadis itu mengetahui bahwa dia adalah seorang pangeran palsu. Karena itulah maka pada malam hari itu Mei Ling tidak diperkenankan hadir dalam rapat rahasia itu.
"Pangeran Cheng Lin, sudah paham benarkah engkau tugasmu? Coba ulangi apa yang harus kaulakukan."
Kata Pangeran Cheng Boan kepada Ki Seng yang duduk dengan sikap tenang.
"Sudah, paman. Saya sudah paham betul. Tiga hari yang akan datang Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Siu akan mengadakan perjalanan berburu binatang di hutan selatan seperti biasa dikawal sebanyak dua puluh orang perajurit pengawal. Saya harus menyamar dan mempergunakan kesempatan itu untuk membunuh mereka."
"Bagus. Ingat, untuk tugas ini engkau harus bekerja sendiri agar tidak mencurigakan. Dan yang terpenting dan yang harus tidak boleh lolos adalah Pangeran Cheng Hwa. Engkau tahu bahwa dia adalah Pangeran Mahkota yang kelak akan nenggantikan Kaisar Cheng Tung. Sukur kalau engkau dapat membunuh keduanya."
Kata pula Pangeran Cheng Boan.
"Jangan khawatir, paman. Saya akan dapat melakukannya dengan baik dan mudah. Apa artinya dua puluh orang perajurit pengawal itu untuk saya? Di-tambah dua kali lipat lagipun tidak akan lapat menghalangi aku membunuh mereka berdua."
"Bagus! Kalau Pangeran Cheng Hw sudah dapat disingkirkan, empat orang yang lain itu mudah menyusul. Aku sendiri yang akan menutupimu kalau ada yang berprasangka. Akan kunyatakan dengan sumpah bahwa pada saat kedua orang pangeran itu diserang orang di tengah hutan, engkau sedang berada bersamaku di rumah kami ini."
Setelah selesai mengadakan perundingan, mereka bubaran dan Ki Seng menuju ke sebuah kamar yang memang disediakan untuk dia kalau dia berada di istana Pangeran Cheng Boan. Denga gembira Ki Seng menuju ke kamar yang cukup besar dan mewah Itu karena sebelum rapat dimulai dia sudah memesan kepada Mei Ling untuk menunggunya dalam kamarnya itu. Malam ini dia ingin bersenang-senang dengan tunangannya yang secara tidak resmi telah menjadi isterinya itu.
Sementara itu, Cheng Kun juga kembali ke kamarnya. Ketika dia memasuk kamarnya, dia tercengang akan tetapi juga girang melihat Ciang Mei Ling telah berada di dalam kamar itu! Sejak dia berhasil menggauli gadis itu dengan bantuan obat perangsang dalam anggur yang disuguhkan Sian Hwa Sian-li kurang lebih sebulan yang lalu, dia tidak pernah lagi berkesempatan mendekati Mei Ling. Gadis itu selalu menjauhkan diri. Akan tetapi malam ini, tahu-tahu gadis itu sudah berada di dalam kamarnya dan menantinya, Tentu saja dia girang bukan main dan cepat dia menghampiri sambil mengembangkan kedua tangannya, siap untuk merangkul.
"Nona Chiang Mei Ling, betapa rindu aku kepadamu,
manis!"
Cheng Kun melangkah maju dan kedua tangannya sudah menyentuh pundak gadis itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba sebatang pedang yang dipegang tangan kanan gadis itu telah menodong dadanya. Dia merasa betapa ujung pedang yang runcing dan tajam itu telah menembus kain bajunya dan sudah menyentuh kulit dadanya.
"Cheng Kun, manusia busuk! Dengan bantuan iblis betina itu, engkau telah menodaiku, untuk itu sekarang engkau harus mampus di tanganku!"
Cheng Kun menjadi ketakutan. Wajarnya pucat, matanya terbelalak.
"Tidak....tidak....jangan bunuh aku.... tolooonngggg!!"
Akan tetapi jerit melengking itu di sambung teriakan kematian karena pedang di tangan Mei Ling sudah memasuki dadanya. Ketika Mei Ling melangkah mundur dan mencabut pedangnya, tubuh Cheng Kun terkulai roboh dan darahnya membanjiri lantai kamarnya.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Ouw Ki Seng telah berdiri di ambang kamar itu. Ketika tadi dia kembali ke kamarnya, dia tidak melihat Mei Ling berada di kamarnya seperti yang telah dipesannya. Dia menjadi kecewa dan bermaksud untuk pergi ke kamar gadis itu. Pada saat mencari Mei Ling itulah dia mendengar jerit melengking dari kamar Cheng Kun. Dia cepat melompat dan berlari menuju ke kamar itu dan dilihatnya Mei Ling telah berada di kamar itu dengan pedang yang berlumuran darah di tangannya sedangkan Cheng Kun telah menggeletak mandi darah.
"Ling-moi, apa yang kaulakukan ini?"
Seru Ki Seng dengan kaget sekali. Mei Ling memandang kepada Ki Seng dengan mata mencorong. Timbul kebencian dan kemuakan besar dalam hatinya terhadap pemuda yang dahulu membuatnya kagum dan tertarik ini.
"Ouw Ki seng!"
Katanya dengan suara yang dingin.
"Engkau pangeran palsu, engkau laki-laki jahanam!"
"Mei Ling, apa artinya sikap dan makianmu itu?"
Bentak Ki Seng dengan heran dan marah, juga terkejut sekali.
"Artinya bahwa aku tahu betapa engkau telah mengatur siasat yang amat jahat. Dibantu iblis betina Sian Hwa Sian-li itu engkau telah menodaiku, dan aku tidak akan sangsi lagi bahwa pembunuhan atas diri ayah ibuku tentu diatur olehmu."
"Mei Ling.....!"
Seru Ouw Ki Seng dan pada saat itu, Pangeran Cheng Boan datang berlari-lari bersama Toa Ok dan Sian Hwa Sian-li, diikuti pula enam orang perajurit pengawal. Melihat ini, Ki Seng segera mengambil keputusan. Mei Ling telah membunuh Cheng Kun dan karena gadis itu adalah tunangannya maka dia tentu akan terlibat kalau dia tidak mengambil keputusan cepat.
"Engkau pembunuh!"
Bentaknya dan cepat dia menyerang Mei Ling dengan pukulan maut Sin-liong-jut-tong (Naga Sakti Keluar Guha) sebuah jurus ampuh dari ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (lima Silat Naga Sakti).
Pukulan dengan kedua tangan mendorong ke depan mengarah dada Mei Ling ini hebat sekali. Serangkum tenaga sakti menyambar ke arah gadis itu. Mei Ling yang sudah tahu bahwa pemuda itu amat lihai, cepat melempar tubuh ke samping dan berjungkir balik tiga kali, kemudian dengan nekat ia menyerang dengan pedangnya. Dengan penuh kebencian ia menusukkan pedangnya untuk membunuh pemuda yang telah merusak kehidupannya itu. Akan tetapi tingkat kepandaian silat gadis puteri ketua Pek-eng-pang itu masih jauh di bawah tingkat kepandaian Ki Seng, maka tusukan itu dengan amat mudahnya dihindarkan oleh Ki Seng dengan miringkan tubuh ke kanan, menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini tiba di samping kiri Mei Ling. Dengan gerakan cepat sekali, dia membalik dan tangan kanannya sudah menampar ke arah punggung gadis itu dengan pengerahan tenaga sakti yang amat kuat.
"Wuuttt..... plakkk!"
Itulah pukulan ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang pernah dipelajari Ki Seng dari perkumpulan Ban-tok-pang. Tubuh Mei Ling tersungkur dan gadis itu tidak bergerak lagi. Tewas dengan mulut mengeluarkan darah. Ketika melihat puteranya menggeletak mandi darah, Pangeran Cheng Boan berteriak keras dan dia menangis setelah mendapat kenyataan bahwa puteranya telah tewas.
"Apa yang terjadi di sini? Siapa yang membunuh puteraku?"
Teriaknya.
Ouw Ki Seng melangkah maju.
"Paman Pangeran, saya mendengar teriakan dan ketika saya datang ke sini, saya melihat kanda Cheng Kun telah tewas Pembunuhnya adalah Ciang Mei Ling ini!"
Dia menuding ke arah tubuh gadis itu yang telah tewas pula.
"Melihat kejadian itu saya lalu membunuhnya."
"Akan tetapi..... mengapa ia membunuh Cheng Kun? Bukankah ia itu gadis tunanganmu?"
Pangeran Cheng Boan bertanya penasaran.
"Saya sendiri tidak mengerti, paman Agaknya terjadi percekcokan di antara mereka."
"Pangeran, kenapa tergesa-gesa membunuhnya? Seharusnya ia ditangkap dan ditanya dulu mengapa ia membunuh Cheng Kongcu."
Kata Sian Hwa Sian li dengan suara menegur. Ia merasa terpukul sekali dengan kematian Cheng Kun yang diharapkannya kelak akan mengangkat dirinya.
"Ia telah mengetahui rahasia...."
Ki Seng menyadari bahwa di situ terdapat pula enam orang perajurit, lalu disambungnya,
"....rahasia yang seharusnya tidak ia ketahui. Maka aku lalu membunuhnya, Sian-li."
"Aduh, celaka! Bagaimana sampai bisa terjadi hal seperti ini?"
Keluh Pangeran Cheng Boan dengan hati hancur. Dia hanya mempunyai seorang saja putera dan sekarang puteranya telah terbunuh! "Dimana Suma Kiang?
Dia seharusnya menjaga keselamatan Cheng Kun!"
Pada saat itu terdengar suara beradu-nya senjata tajam di ujung lorong yang menuju ke belakang. Semua orang terkejut dan tanpa diperintah lagi, Toa Ok dan Sian Hwa Sian-li sudah berloncatan menuju ke arah itu. Ki Seng juga me-lompat dan mengejar mereka. Apa yang terjadi di bagian belakang rumah itu? Suma Kiang sedang duduk di luar kamarnya mencari hawa sejuk karena di dalam kamarnya hawanya agak panas. Tiba-tiba muncul Sian Eng. Melihat gadis itu berdiri di depannya, Suma Kiang menegur dengan ramah sambil memandang kepada "puterinya"
Itu dengan sinar mata menyayang.
"Suma Eng, anakku, engkau belum tidur? Mari duduk di sini dan mengobrol bersama."
Akan tetapi alangkah heran hati Suma Kiang ketika melihat gadis itu tetap saja berdiri di depannya, bahkan ia bertolak pinggang dan berkata dengan suara aneh, suara yang penuh kemarahan dan kebencian.
"Suma Kiang, manusia iblis! Aku adalah Lo Sian Eng, bukan Suma Eng!"
"Eh, Suma Eng, apa artinya ini?"
Tanya Suma Kiang dengan kaget dan heran masih belum menduga apa-apa.
"Artinya, engkau sama sekali bukan ayah kandungku! Engkau bahkan musuh besarku yang telah memperkosa ibuku sehingga ia membunuh diri dan menyebabkan kematian ayah kandungku pula, karena itu, sekarang engkau harus mati di tanganku!"
Setelah berkata demikian, Sian Eng mencabut pedang Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) dari punggungnya dan langsung saja ia menyerang Suma-Kiang dengan cepat.
Pedangnya menyambar dari atas ke bawah, membacok ke arah kepala Suma Kiang. Serangan ini datangnya cepat sekali dan mengandung tenaga dahsyat. Suma Kiang terkejut setangah mati mendengar ucapan Sian Eng tadi. Seketika diapun tahu bahwa gadis itu telah mengetahui akan rahasianya, Entah bagaimana gadis itu dapat mengetahuinya, akan tetapi dia maklum bahwa gadis itu tentu akan membalas dendam dan benar-benar akan membunuhnya. Ketika Sian Eng menyerang dengan hebat itu, tidak ada jalan lain baginya untuk menghindarkan diri dari maut kecuali dengan melempar diri ke belakang dan terus bergulingan di atas lantai.
"Singg.....craakkkkk!"
Kursi yang tadi diduduki Suma Kiang terbelah menjadi dua oleh sambaran pedang. Akan tetapi Suma Kiang sudah dapat menyelamatkan diri dan karena maklum bahwa ilmu kepandaian gadis itu kini sudah tinggi sekali, diapun cepat mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya. Sebagai seorang pengawal pribadi dan penjaga keamanan di istana Pangera Cheng Boan, sepasang pedangnya tidak pernah terpisah dari tubuhnya.
"Suma Eng, sabar dulu, mari kita bicara...."
Katanya menyabarkan.
"Tutup mulut dan bersiaplah untuk mati dan menebus dosamu!"
Bentak Sian Eng yang sudah menyerang lagi. Pedangnya menyambar ke arah leher. Ketika Suma Kiang melangkah mundur dan menekuk lutut sehingga sambaran pedang itu lewat di atas kepalanya, tahu-tahu pedang di tangan Sian Eng sudah membalik dan kini menusuk lehernya. Suma Kiang terkejut dan cepat mengarakkan pedang kirinya menangkis.
"Tranggg....!"
Dua pedang bertemu dan pedang kanan Suma Kiang kini membalas dengan tusukan ke arah dada gadis itu. Akan tetapi dengan mudahnya Sian Eng mengelak. Segera mereka terlibat dalam perkelahian yang amat seru. Suma Kiang yang sebetulnya mencinta Sian Eng dengan sungguh-sungguh dan menganggapnya sebagai puterinya sendiri, terpaksa membela diri dan balas menyerang. Hatinya terasa sakit sekali melihat gadis yang disayangnya itu bersungguh-sungguh hendak membunuhnya. Akan tetapi, bagaimanapun juga tentu saja dia lebih sayang dirinya sendiri daripada gadis itu. Dia harus membela diri dengan sungguh-sungguh kalau tidak ingin mati di tangan gadis yang amat lihai itu. Dan pembelaan diri yang paling kuat adalah dengan balas menyerang pula.
"Haiiitttt.....!!"
Sian Eng sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya. Pedangnya lenyap bentuknya dan yang tampak hanya gulungan sinar kehijauan dari Ceng-liong kiam yang membacok ke arah leher suma Kiang dari samping. Bagaikan kilat menyambar pedang itu meluncur ke arah leher lawan dengan kekuatan yang cepat akan dapat memancung leher lawan kalau mengenai sasaran. Karena serangan itu berbahaya sekali, Suma Kiang tidak sempat mengelak dan kembali dia menangkis dengan pedang tangan kirinya.
"Tranggg....!"
Bunga api berpijar, Suma Kiang terkejut karena merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat, tubuhnya terdorong dan membuat dia terhuyung ke belakang. Pada saat itu, tangan kiri Sian Eng sudah berkelebat, menyerang dengan pukulan Pek-lek Ciang- hoat. Suma Kiang masih mencoba untuk membuang diri ke belakang, akan tetapi hawa pukulan yang amat dahsyat membuatnya terpelanting. Pada saat itu, pedang Sian Eng sudah menyambar lagi kearah lehernya!
"Celaka....!"
Suma Kiang berseru dan menggunakan kedua pedangnya untuk menggunting pedang Sian Eng yang menyerangnya. Pedang gadis itu tertangkis, meleset dan masih melukai pundak kiri suma Kiang! Datuk ini terpaksa melompat ke samping lalu bergulingan di atas tanah sambil melindungi tubuhnya dengan memutar kedua pedangnya. Keadaannya gawat dan berbahaya sekali. Sian Eng sudah siap untuk menyerang lagi pada saat musuh besarnya sedang bergulingan Itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar jejak kaki berlari mendatangi tempat itu dan terdengar pula teriakan Sian Hwa Sian-li.
"Tangkap pembunuh!"
Melihat Sian Hwa Sian-li datang bersama Toa Ok dan juga Ouw Ki Seng yang lihai, tahulah Sian Eng bahwa kalau ia melawan mereka, tentu ia akan celaka. Maka cepat ia meloncat dan melarikan diri keluar dari dalam rumah itu, terus ke taman belakang dan melompati pagar yang mengelilingi tempat tinggal Pangeran Cheng Boan. Ketika para kaki tangan pangeran itu mengejar, Sian Eng telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Pangeran Cheng Boan menjadi semakin bingung dan marah.
"Apa artinya semua ini?"
Teriaknya ketika dia mengetahui bahwa pembantu utamanya, Suma Kiang yang telah menjadi pembantu setianya sejak puluhan tahun yang lalu, nyaris terbunuh oleh anaknya sendiri.
"Sebetulnya ia bukan anak kandung saya, Pangeran."
Suma Kiang menjelaskan "Akan tetapi sejak berusia tiga tahun saya rawat dan didik menjadi seperti anak saya sendiri. Beberapa tahun ini menjadi murid supek (uwa guru) saya dan ilmu kepandaiannya meningkat hebat bahkan saya sendiri tidak mampu menandinginya."
"Akan tetapi mengapa ia hendak membunuh engkau yang merawat dan mendidiknya sejak kecil?"
Pangeran Cheng Boan bertanya, penasaran.
"Entahlah bagaimana..., ia tahu bahwa saya yang menyebabkan kematian ibunya dan ia hendak membalas dendam untuk itu."
"Hemm, ada-ada saja!"
Pangeran Cheng Boan berkata marah dan sedih mengingat akan kematian puteranya.
"Ia merupakan bahaya. Sebar para penyelidik cari dan bunuh gadis itu. Pangeran Cheng Lin, terjadinya peristiwa tidak enak ini, apalagi yang menyebabkan kematian puteraku, maka rencana kita harus dilaksanakan dengan cepat. Mari kita semua berunding di ruangan dalam!"
Jenazah Cheng Kun dan Ciang Mei Ling diurus oleh orang-orangnya pangeran itu dan keluarga Pangeran Cheng Boan menangisi kematian Cheng Kun. Akan tetapi pada malam hari itu juga Pangeran Cheng Boan mengajak para jagoannya untuk berunding di ruangan rahasia mereka. Dalam perundingan itu direncanakan dengan matang bagaimana Ouw Ki Seng harus melakukan tugas membunuh dua orang pangeran yang akan melakukan perjalanan ke hutan sebelah selatan kota raja untuk berburu binatang hutan.
"Ingat, Pangeran Cheng Lin. Engkau harus melakukan tugas ini seorang diri dan penuh rahasia. Jangan sampai gagal dan jangan sampai rahasia ini diketahui orang lain. Kalau sampai gagal dan bocor, engkau harus menanggungnya sendiri kami tidak dapat membela atau melindungimu."
Pesan Pangeran Cheng Boan
"Harap Paman Pangeran jangan khawatir. Saya pasti akan dapat membunuh Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Siu. Akan tetapi saya khawatir seorang di antara mereka akan lolos, Agar tugas saya dapat terlaksana dengan baik, saya minta agar Sian Hwa Sian li diperbolehkan membantu saya. Ia belum banyak dikenal orang di kota raja sehingga akan lebih aman kalau dia yang membantu daripada Paman Suma Kiang atau Paman Toa Ok."
Kata Ki Seng.
"Saya akan membantu Panger Cheng Lin, Yang Mulia, agar tugas dapat dilaksanakan dengan hasil baik"
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Sian Hwa Sian-li sambil tersenyum manis dan menatap wajah Pangeran Cheng Boan dengan pandang mata memikat. Setelah kini Cheng Kun tewas, perhatian wanita itu beralih kepada Pangeran Cheng Boan. Ia sudah mendengar seluruh siasat yang dilakukan pangeran ini menipu Ouw Ki Seng pangeran palsu itu. kalau semua rencana berhasil, Pangeran Cheng Boan inilah yang besar kemungkin besar akan menggantikan kedudukan kaisar, bahkan perlu ia dekati.
Pangeran Cheng Boan mengangguk-angguk.
"Baiklah, aku setuju kalau Sian hwa Sian-li ikut dan membantumu, Pameran Cheng Lin."
Rombongan berkuda itu terdiri dari dua puluh orang perajurit mengawal dua orang pangeran keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Mereka semua tampak gagah sekali, terutama dua orang pangeran itu. Pangeran Cheng Hwa adalah seorang pangeran yang bertubuh tinggi tegap, berusia dua puluh lima tahun dan dia merupakan putera mahkota karena dia adalah pangeran tertua, lahir dari permaisuri. Sikapnya lemah lembut dan agung berwibawa. Pangeran Cheng siu yang menemaninya pergi berburu berusia sekitar sembilan belas tahun merupakan pangeran kelima dan dia disayang oleh Pangeran Cheng Hwa. Pangeran kelima ini bertubuh tinggi kurus berwajah tampan agak kewanitaan. Dua orang pangeran ini menunggang dua ekor kuda pilihan yang besar, melarikan kuda mereka depan diikuti dua puluh orang perajurit pengawal itu. Di sepanjang perjalanan dua orang pangeran ini menjadi tontonan yang mengagumkan, terutama bagi para wanitanya.
Tidak lama kemudian mereka telah tiba di luar hutan selatan yang cukup lebat. Hutan ini merupakan hutan yang dilindungi, hutan yang memang dipelihara dan menjadi tempat Kaisar dan keluarganya pergi berburu. Para pemburu umum dilarang keras memburu binatang di hutan ini dan siapa berani melanggar diancam hukuman berat. Karena itu, hutan selatan ini dihuni banyak binatang hutan. Mereka berhenti di luar hutan itu. Matahari telah naik dan sinarnya menembus celah-celah daun pohon-pohon yang memenuhi hutan. Dari dalam hutan sudah terdengar kicau bermacam burung dan suara berbagai binatang hutan, seakan menantang para pemburu itu.
Pangeran Cheng Siu memandang kakaknya dengan wajah berseri.
"Kanda Cheng Hwa, mari kita berlumba. Kita berpencar masing-masing membawa sepuluh orang pengawal dan kita lihat nanti, siapa di antara kita yang mendapatkan buruan paling banyak!"
Pangeran Cheng Hwa tersenyum gembira. Dia senang melihat adiknya gembira seperti itu.
"Baiklah, Cheng Siu. Engkau boleh membawa lima belas orang mengawal, sisanya yang lima orang mengawalku. Akan tetapi kita tidak boleh curang, para pengawal dilarang ikut berburu, harus dari hasil buruan kita sendiri."
"Baik, kanda. Jangan khawatir, aku mengerti akan peraturan permainan!"
Kata Pangeran Cheng Siu yang lalu menoleh kepada rombongan pengawal.
"Harap lima belas orang dari kalian mengikuti aku, sedangkan sisanya yang lima orang mengawal kanda pangeran!"
Lima belas orang pengawal lalu memisahkan diri dan ketika Pangeran Cheng Siu menggerakkan kudanya memasuki hutan mereka juga menjalankan kuda mengiringkan dari belakang. Setelah adiknya bersama para pengawal lenyap di antara pohon-pohon dalam hutan, Pangeral Cheng Hwa juga lalu memberi isarat kepada lima orang pengawalnya dan mereka menjalankan kuda memasuki hutan. Pangeran Cheng Hwa mempersiapkan busur dan anak panah di tangan kirinya dan mulailah dia memandang ke sekeliling dengan waspada untuk mencari binatang buruan.
Dua orang pangeran dan dua puluh orang pengawal mereka itu sama sekai tidak tahu bahwa ada dua pasang mata mengikuti gerak-gerik mereka ketika mereka berhenti di luar hutan tadi. Pengintai-pengintai itu adalah Ouw Ki Seng dan sian Hwa Sian-li yang telah mendahului dan menanti di hutan itu, bersembunyi diantara semak belukar dan mendengarkan bercakapan antara kedua orang pangeran tadi.
Setelah melihat dua orang pangeran beserta rombongan mereka memasuki hutan, Ki Seng berkata kepada Sian Hwa Lan-li.
"Sian-li, kau bereskan pangeran yang dikawal lima orang itu. Yang dikawal lima belas orang tadi bagianku. Awas, jangan sampai gagal. Bunuh mereka semua!"
Sian Hwa Sian-li tersenyum, lalu memasang topeng kain hitam di depan mukanya.
"Jangan khawatir. Mari kita berlumba seperti mereka, siapa yang akan lebih cepat membereskan mereka."
"Jangan main-main. Lakukanlah!"
Kata Ki Seng dan dia sendiripun lalu memasang topeng kain hitam menutupi mukanya. Kedua orang itu lalu berpencar, melakukan pengejaran terhadap buruan masing-masing.
Sebentar saja Ki Seng sudah dapat nenyusul Pangeran Cheng Siu yang dikawal lima belas orang perajurit. Pangeran muda ini merasa gembira dan tegang. Busur dan anak panah telah siap di tangan kirinya. Matanya jalang memandang ke depan, kanan dan kiri untuk menangkap kalau ada gerakan seekor binatang hutan. Tiba-tiba matanya terbelalak girang. Dia melihat seekor kelenci putih menyusup di antara semak belukar. Cepat dia memasang anak panah pada busurnya dan membidik, kemudian melepaskan anak panahnya ke arah kelenci yang menongolkan kepalanya di antara semak. Anak panah meluncur cepat ke arah kelenci. Akan tetapi Pangeran Cheng Siu terbelalak kaget dan heran ketika melihat anak panahnya itu disambar tangan seseorang yang tiba-tiba saja sudah muncul di situ. Seorang yang mengenakan pakaian serba hitam dan memakai topeng kain hitam pula. Hanya sepasang mata orang itu yang tampak, mencorong di balik dua lubang pada topeng itu. Dengan beberapa loncatan, orang bertopeng itu telah berada di depan kuda yang ditunggangi Pangeran Cheng Siu.
"Hei, apa yang kaulakukan ini? Siapa kau....?"
Pangeran itu membentak, akan tetapi pada saat itu, orang bertopeng yang bukan lain adalah Ouw Ki Seng telah menggerakkan tangan kanannya. anak panah yang tadi ditangkapnya menyambar seperti kilat dan tepat mengenai dada pangeran itu sebelah kiri. Sedemikian kuatnya lontaran Ki Seng sehingga anak panah itu menancap sampai tembus ke punggung. Pangeran Cheng Siu mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya terpelanting dari atas kudanya yang meringkik dan mengangkat kedua kaki ke atas.
Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga lima belas orang perajurit pengawal itu tertegun. Sama sekali mereka tidak pernah mengira akan ada orang yang berani melakukan pembunuhan terhadap Pangeran Cheng Siu. Apalagi hutan itu adalah hutan terlindung dan terlarang. Mereka mengira tempat ini aman seperti biasa. Karena itu ketika Ki Seng menangkap anak panah dan mendekati pangeran, mereka masih belum menyadari akan adanya bahaya. Tahu-tahu orang bertopeng itu menyerang Pangeran Cheng Siu dengan anak panah yang ditangkapnya dan pangeran itu kini telah menggeletak di atas tanah dengan dada tertembus anak panah dan tewas seketika.
Barulah lima belas orang perajurit pengawal itu bergerak maju dan berteriak-teriak.
"Tangkap pembunuh!"
Akan tetapi Ki Seng tidak lari, bahkan dia menerjang ke depan, tangan kirinya menampar ke arah kepala seorang prajurit dan tangan kanannya merampas pedang yang dipegang perajurit yang roboh terjungkal itu. Para perajurit pengawal berloncatan dari atas kuda mereka dan sambil berteriak-teriak mengepung serta mengeroyok Ki Seng. Namun, dengan pedang rampasannya, Ki Seng mengamuk, dia memang sengaja merampas pedang untuk menghadapi para pengawal. Dia tidak mau mempergunakan pukulan tangan karena pukulan yang mengandung sinkang yang beracun akan dapat dikenali oleh seorang ahli silat. Akan tetapi bacokan atau tusukan pedang untuk membunuh tentu tidak akan ada yang mengenal siapa pelakunya. Dengan alasan itu pula tadi dia membunuh Pangeran Cheng Siu dengan menggunakan anak panah pangeran itu sendiri.
Lima belas orang perajurit pengawal itu sama sekali bukan tandingan Ki Seng yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi. Pedang di tangannya menyambar-nyambar, menjadi gulungan sinar yang panjang dan berturut-turut lima belas orang prajurit itu roboh. Darah muncrat di mana mana dan tempat itu menjadi mengerikan. Mayat-mayat malang melintang berserakan. Setelah lawan terakhir roboh Ki Seng membuang pedang rampasannya, sejenak meneliti dengan pandang matanya yang menyapu di antara mayat-mayat itu. Setelah merasa yakin bahwa mereka semua, terutama pangeran itu, sudah tewas, Ki Seng lalu melompat meninggalkan tempat itu untuk mencari Sian Hwa Sian-li yang diharapkan juga telah berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik.
Seperti telah disepakati berdua, Sian Hwa Sian-li melakukan pengejaran terhadap Pangeran Cheng Hwa yang dikawal lima orang perajurit. Sebentar saja Sian Hwa Sian-li sudah dapat menyusul pangeran itu dan karena ia ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya, kalau mungkin mendahului Ki Seng, Sian Hwa Sian-li langsung saja meloloskan sabuk sutera ikat pinggangnya. Biasanya, ia mempergunakan sehelai sabuk sutera berwarna merah. akan tetapi sekali ini, untuk merahasiakan dirinya, ia memakai sabuk sutera berwarna hitam, sesuai dengan pakaiannya yang juga serba hitam. Ia juga tidak membawa senjatanya yang aneh, yaitu sebuah payung karena kalau hal ini dilakukannya, tentu orang akan dapatmudah mengenalnya. Pangeran Cheng Hwa yang menjalankan kudanya di depan, terkejut bukan main ketika muncul seorang yang mengenakan pakaian serba hitam dan juga mukanya ditutupi topeng kain hitam. Hampir saja ia tadi melepaskan anak panah, karena ketika berkelebat, orang itu hanya tampak bayangan hitam saja yang dikiranya seekor binatang hutan.
Ketika melihat bahwa bayangan itu ternyata seorang manusia bertopeng, tentu saja dirinya tidak jadi melepaskan anak panahnya.
"Siapa engkau dan apa maksudmu menghadang kami?"
Bentak Pangeran Cheng Hwa.
"Aku datang untuk membunuhmu"
Kata Sian Hwa Sian-li dengan suara yang di rendahkan agar terdengar seperti suara pria. Mendengar ini, Pangeran Cheng Hwa yang ahli menunggang kuda dan sedikit banyak pernah belajar silat, cepat melompat ke belakang dan berjungkir balik sehingga dia berada di antara lima orang pengawalnya. Para pengawal itupun terkejut sekali mendengar ucapan orang bertopeng itu. Dengan marah mereka lalu berlompatan turun dari atas punggung kuda mereka, mencabut pedang dan serentak mereka maju mengeroyok orang bertopeng itu.
"Tar-tar-tar....!"
Sabuk sutera hitam itu meledak-ledak ketika digerakkan oleh Sian Hwa Sian-li, menangkis pedang pedang yang menyerang dan mengepungnya. Gerakan wanita itu amat lincah dan cepat sehingga lima orang yang menyerangnya menjadi bingung. Orang bertopeng itu seolah telah menjadi banyak, berkelebatan ke sana"sini dan selalu tidak dapat tersentuh pedang mereka. Kalau tidak mengelak cepat, bayangan itu menangkis dengan sabuk sutera hitam dan setiap kali pedang mereka bertemu dengan ujung sabuk, tangan mereka tergetar hebat.
Lima orang pengawal itupun bukan tandingan Sian Hwa Sian-li yang lihai. biarpun mereka mengeroyok dan mengepung dalam usaha mereka melindungi Pangeran Cheng Hwa, mengerahkan seluruh kemampuan mereka, namun setelah lewat belasan jurus, satu demi satu lima orang pengawal itu roboh terkena patukan ujung sabuk yang amat lihai itu, Setiap patukan merupakan totokan ke arah jalan darah kematian dan berturut-turut lima orang itu roboh dan tidak mampu bangkit kembali karena mereka telah tewas.
"Sekarang engkau mampus!"
Bentak Sian Hwa Sian-li sambil melompat ke dekat Pangeran Cheng Hwa dan sabuk sutera hitamnya menyambar ganas. Pangeran Cheng Hwa sudah mencabut pedangnya dan melihat sinar hitam menyambar ke arahnya, diapun menangkis dengan pedangnya.
"Wuuuttt.....tranggg.....!"
Pedang terlepas dari tangan Pangeran Cheng Hwa. Sian Hwa Sian-li mengulang serangannya. Ujung sabuk menyambar dan lecutan dahsyat dan mematikan ke arah ubun-ubun kepala pangeran itu.
"Ehh.....??"
Tiba-tiba Sian Hwa Sian li berseru kaget karena sabuknya itu berhenti di udara. Ketika ia memutar tubuhnya, ternyata ujung sabuk itu telah ditangkap seorang laki-laki muda yang berpakaian sederhana seperti seorang petani.
Wajahnya yang tampan itu tersenyum dan dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar. Tubuhnya sedang nampak kokoh berisi, dan matanya mencorong memandang kepada orang yang mukanya tertutup topeng itu. Pemuda itu bukan lain adalah Han Lin. Seperti kita ketahui, Han Lin bersama Siang Eng telah berhasil membunuh Ji Ok dan Sam Ok. Setelah itu Han Lin mengantar Sian Eng ke perguruan silat hek-tiauw Bu-koan di mana Sian Eng diterima dengan baik oleh toapek-nya (uwa tua) Lo Kang yang menjadi ketua Hek-Tiaw Bu-koan. Setelah melihat betapa gadis itu diterima oleh keluarganya, hati Han Lin merasa lega dan dia lalu meninggalkan keluarga Lo.
Selama ini dia tidak pernah meninggalkan kota raja. Dia mulai melakukan penyelidikan dengan hati-hati dan cermat. Dari para penduduk kota raja dia mendengar bahwa yang menjadi kaisar masih Kaisar Cheng Tung yang menurut keterangan ibunya adalah ayah kandungnya. Ayah kandungnya masih menjadi kaisar. Dan yang lebih membesarkan hatinya adalah keterangan yang di peroleh dari penduduk bahwa Kaisar Cheng Tung adalah seorang kaisar yang baik budi, dermawan dan memperhatikan nasib rakyat kecil. Sebetulnya di dasar hatinya sejak dulu telah timbul perasaan tidak senang kepada ayah kandungnya ini yang dianggapnya telah menyia-nyiakan ibunya sehingga ibunya yang isteri seorang kaisar itu hidup terlunta-lunta sengsara sampai akhirnya meninggal dunia dalam keadaan menyedihkan. Semua itu adalah karena Kaisar Cheng Tung tidak pernah menjemput ibunya seakan akan tidak memperdulikannya.
Namun nama baik kaisar itu di mata rakyat sedikitnya menyenangkan dan membanggakan hatinya, sedikit mengurangi rasa tidak senangnya. Diapun menyelidiki keadaan keluarga kaisar, mendengar bahwa di samping belasan orang puteri, kaisar memiliki enam orang putera. Pangeran pertama yang menjadi putera mahkota bernama Pangeran Cheng Hwa dan di antara lima pangeran yang lain terdapat seorang pangeran bernama Pangeran Cheng Lin. Mendengar pula bahwa pangeran yang satu ini baru beberapa pekan datang dan tinggal di istana, tahulah dia bahwa yang disebut Pangeran Cheng Lin itu tentu Coa Seng atau yang biasa dipanggil A Seng. Pemuda palsu dan jahat itu tentu telah memalsukan dirinya, menghadap kaisar Cheng Tung dan mengaku sebagai pangeran Cheng Lin sambil memperlihatkan Suling Pusaka Kemala sebagai bukti diri dan agaknya kaisar terpedaya dan menerimanya sebagai puteranya. Han Lin merasa gemas, akan tetapi dia tidak berdaya! Apa yang dapat dia lakukan? menghadap kaisar dan mengatakan bahwa dialah Pangeran Cheng Lin yang aseli sedangkan Coa Seng adalah pangeran palsu?
Apa buktinya? Satu-satunya benda yang dapat dijadikan bukti diri adalah suling Pusaka Kemala dan sekarang suling itu telah berada di tangan Coa Seng. Dia kalah bukti dan kalau dia nekat menghadap, tentu dia yang dituduh palsu dan akan ditangkap. Han Lin bersabar diri dan diam-diam melanjutkan penyelidikannya. Diapun tidak mungkin menyerang A Seng yang telah menjadi Pangeran Cheng Lin itu. bukan itu saja, baik di dalam istana maupun di luar. Semua orang tentu akan membela A Seng sebagai pangeran dan dia akan ditentang seluruh penduduk dan semua bala tentara. Dia harus bersabar.
Dalam penyelidikannya, dia mengetahui bahwa A Seng sering sekali pergi berkunjung ke istana Pangeran Cheng Boan, adik Kaisar Cheng Tung. Akan tetapi dia tidak tahu apa hubungan A Seng dengan Pangeran Cheng Boan selain sebagai paman dan keponakan. Akan tetapi ada sesuatu yang menegangkan hatinya, ia melihat Suma Kiang dan Toa Ok berada di istana Pangeran Cheng Boan itu. Biarpun hatinya terasa panas sekali melihat dua orang musuh besarnya itu, dua orang yang jahat sekali bahkan Suma Kiang adalah orang yang menjadi biang keladi kesengsaraan hidup ibunya, namun terpaksa dia menahan diri. Dua orang itu agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Cheng Boan dan kedudukan mereka kuat dan terlindung. Dia tidak boleh gegabah, Apalagi agaknya A Seng yang sempat berkunjung ke istana itu tentu mempunyai hubungan baik dengan Suma Kiang dan Toa Ok. Kalau mereka bertiga bergabung, sungguh merupakan kekuatan yang amat sulit dilawan, amat tangguh dan berbahaya sekali.
Han Lin masih bingung apa yang harus dia lakukan terhadap A Seng. Juga dia tidak tahu bagaimana dia dapat membalas dendam kematian dan kesengsaraan ibunya kepada Toa Ok dan Suma Kiang. Akan tetapi dia tidak merasa putus asa dan masih selalu mencari kesempatan. Pada hari itu, seperti biasa dia berjalan-jalan dan melewati depan istana tanpa tujuan tertentu. Pada saat itulah dia melihat rombongan dua orang pangeran yang dikawal oleh dua puluh orang perajurit itu. Dia merasa tertarik sekali. Dia sudah mengenal bahwa pangeran yang lebih tua itu adalah putera mahkota, Pangeran Cheng Hwa. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan dua orang pangeran itu. Maka, diam-diam dia membayangi rombongan berkuda itu keluar dari pintu gerbang selatan. Dia terpaksa mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari cepat untuk dapat mengimbangi larinya rombongan berkuda itu. Untung baginya bahwa rombongan itu tidak pergi jauh. Kalau jarak yang harus ditempuhnya terlampau jauh, tentu dia akan kehabisan tenaga dan napas, tenaganya tidak akan mampu mengimbangi tenaga larinya kuda yang memang sudah memiliki tenaga alamiah.
Setelah tiba tepi hutan lebat itu, rombongan berhenti lalu rombongan berpencar menjadi dua rombongan. Karena dia lebih tertarik kepada Putera Mahkota Pangeran Chei Hwa yang di luaran dia dengar merupakan seorang pangeran yang paling bijaksana, maka dia memilih untuk membayangi pangeran yang hanya dikawal oleh lima orang perajurit itu. Demikianlah, maka pada saat lima orang pengawal itu tewas di tangan orang bertopeng hitam dan keselamatan Pangeran Cheng Hwa terancam oleh sambaran sabuk sutera hitam yang amat lihai itu, Han Lin cepat turun tangan, melompat dekat dan berhasil menangkap ujung sabuk sutera hitam yang menyerang Pangeran Cheng Hwa. Sian Hwa Sian-li terkejut bukan main akan tetapi juga marah karena melihat kegagalannya, Han Lin hanya merupakan seorang petani muda.
"Engkau bosan hidup!"
Bentaknya.
"Lepaskan sabukku!"
Ia lalu mengerahkan tenaga untuk menarik sabuknya agar terlepas dari pegangan pemuda tampan itu. akan tetapi tarikannya macet. Sabuk itu seperti telah melekat pada jari tangan pemuda itu yang memegangnya. Sian Hwa Sian-li penasaran dan ia mengerahkan seluruh tenaganya menarik. Tiba-liba Han Lin melepaskan pegangannya sehingga ujung sabuk itu menyambar balik dengan amat cepatnya, melecut ke arah muka Sian Hwa Sian-li sendiri. Akan tetapi wanita ini adalah seorang yang amat lihai. Biarpun ia terkejut setengah mati menghadapi serangan senjatanya sendiri itu, ia masih sempat mengangkat tinggi tangannya yang memegang sabuk sehingga ujung sabuk itu menyambar lewat di atas kepalanya dan ia terhindar dari bahaya lecutan sabuknya sendiri.
"Manusia kejam!"
Han Lin menegur orang bertopeng itu. Sian Hwa Sian-li termasuk orang yang terlalu mengagulkan kepandaian sendiri dan biasa memandang rendah orang lain. Biarpun dua gerakan Han Lin tadi, menangkap ujung sabuknya lalu menahan tarikannya, sudah menunjukkan kelihaian pemuda itu, namun Sian Hwa Sian-li masih belum menyadari. Ia marah karena usahanya membunuh Pangeran Cheng Hwa digagalkan pemuda ini. Ia melihat pangeran itu kini berdiri jauh di belakang pemuda yang membelanya, maka ia harus dapat membunuh pemuda ini dan sebelum dapat menyerang Pangeran Cheng Hwa.
"Jahanam, kubunuh engkau!"
Bentaknya dan ia menggerak-gerakkan kedua tangannya yang membentuk cakar kucing, digerak-gerakkan menyilang seperti se ekor kucing marah. Han Lin melihat betapa kedua lengan itu, dari kukunya sampai pergelangan tangan, berubah menghitam. Maklumlah dia bahwa wanita itu ahli tangan beracun. Dan memang benar demikian.
Dalam kemarahannya Sian Hwa Sian-li telah mengerahkan tenaganya dan mempersiapkan ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) untuk membunuh pemuda yang menghalang-halangi usahanya membunuh pangeran itu.
"Haiiittt.......!"
Kembali sabuk sutera hitam berkelebat menyerang seperti seekor ular mematuk ke arah ubun-ubun kepala Han Lin. Pemuda ini dengan tenangnya mengelak sehingga serangan sabuk hitam itu luput. Akan tetapi, sabuk sutera hitam itu bergerak cepat membentuk gulungan sinar hitam yang terus nengejar Han Lin, serangan ujung sabuk diseling dengan serangan cakar kucing hitam. Serangan datang bertubi-tubi, akan tetapi Han Lin masih terus bersilat Ngo-heng Sin-kun dan mempergunakan keringanan tubuhnya untuk melejit kesana-sini, bagaikan telah berubah menjadi bayangan sehingga tak pernah tersentuh kabuk maupun kedua cakar hitam.
Setelah lewat dua puluh jurus, Han Lin dapat mengukur kepandaian penyerangnya dan diam-diam merasa heran. Melihat gerakan tubuh orang bertopeng Itu, dia dapat menduga bahwa lawannya tentu seorang wanita! Gerakannya demikian lentur dan menggeliat gemulai, juga dia dapat mencium bau harum minyak wangi yang biasa dipakai kaum wanita, Dia merasa heran mengapa ada seorang wanita memakai topeng hendak membunuh Putera Mahkota. Timbul niatnya untuk menangkap wanita itu hidup-hidup agar dapat dikenal siapa orangnya dan mengapa hendak membunuh Pangeran Cheng Hwa. Ketika dia mendapat kesempatan, sedikit saja pertahanan lawan itu terbuka, secepat kilat jari tangan kiri Han Lin meluncur dalam totokan It-yang-ci.
"Tukk....!"
Sian Hwa Sian-li mengeluh pelan, ia mencoba untuk menggulingkan tubuhnya ke atas tanah, akan tetapi pengaruh totokan yang mengenai pundaknya Itu membuat tubuhnya lemas dan iapun terkulai, tak berdaya karena tidak mampu bergerak lagi.
Pada saat itu, Ouw Ki Seng sudah tiba di situ. Dia melihat
dengan jelas ketika Sian Hwa Sian-li roboh oleh seorang pemuda dan ketika dia memandang penuh perhatian, dia terkejut setengah mati mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Han Lin. Celaka, pikirnya. Dia harus cepat melarikan Sian Hwa Sian-li karena kalau wanita itu tertangkap, rahasianya akan terancam. Persekutuannya dengan Pangeran Cheng Boan akan terbuka. Cepat ia menerjang maju, mngerahkan seluruh tenaganya menyerang Han Lin dengan pukulan yang mengandung tenaga sin-kang. Dia tidak berusaha menggunakan It-yang-ci karena pukulan ini tentu dikenal oleh Han Lin dan dan membuka rahasia penyamarannya.
"Wuuuuuttt......!"
Angin pukulan yang amat dahsyat mengejutkan Han Lin. Maklumlah dia bahwa dia diserang oleh orang yang memiliki tenaga sin-kang amat kuat. Maka cepat dia melompat ke belakang, menghindarkan diri. Kesempatan itu dipergunakan Ki Seng untuk menyambar tubuh Sian Hwa Sian-li dan sekali melompat, dia sudah lenyap di antara pohon-pohon dan semak-semak belukar. Han Lin tidak mengejar karena dia teringat bahwa Pangeran Cheng Hwa berada seorang diri di situ dan kalau dia meninggalkannya, hal itu amat berbahaya bagi keselamatan pangeran itu. Dia lalu memutar tubuhnya menghadapi sang pangeran, lalu memberi hormat dan bertanya.
"Paduka tidak apa-apa, pangeran?" Pangeran Cheng Hwa sejak tadi menonton pemuda yang membelanya dan dia merasa bersukur dan kagum sekali. Dia tahu bahwa tanpa adanya pertolongan dari pemuda sederhana itu, tentu dia sekarang telah tewas.
"Engkau mengenal aku, sobat? Siapakah engkau?"
"Paduka adalah Pangeran Cheng Hwa, putera mahkota. Semua orang mengenal paduka. Saya bernama Han Lin, pangeran."
"Han Lin, engkau telah menyelamatkan nyawaku. Jasa dan budimu ini tidak akan kulupakan. Ahh..... kita harus cepat mencari adikku, Pangeran Cheng Siu. Mari kita mencarinya. Engkau boleh menunggang seekor dari kuda para pengawalku yang tewas itu!"
Pangeran Cheng Hwa lalu menghampiri kudanya yang masih berada di situ dm menunggangi kuda itu. Han Lin juga melompat ke atas punggung seekor di antara kuda-kuda para pengawal, dan mereka berdua lalu menjalankan kuda masuk ke bagian kiri hutan itu di mana tadi Pangeran Cheng Siu berburu dikawal oleh lima belas orang perajurit. Ketika akhirnya mereka menemukan Pangeran Cheng Siu, Pangeran Cheng Hwa terbelalak pucat melihat adiknya terkapar tanpa nyawa, dan lima belas orang perajurit yang mengawalnya juga telah tewas semua! "Celaka!"
Serunya sambil berlutut dekat jenazah adiknya.
"Siapa yang berani melakukan ini? Membunuh adikku dan mencoba untuk membunuhku pula?"
"Penjahat-penjahat itu ada dua orang mungkin lebih, pangeran. Yang mencoba membunuh paduka tadi memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi orang kedua yang tadi melarikannya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Saya kira dia yang telah melakukan semua pembunuhan ini, kemudian dia datang menolong kawannya yang tadi menyerang paduka. Sayang mereka keburu melarikan diri dan tidak dapat saya tangkap."
"Engkau telah berhasil menyelamatkanku, jasa itu saja sudah cukup besar, Han Lin. Sekarang bantulah untuk mengangkat dan membawa pulang jenazah adikku Pangeran Cheng Siu ke istana. Biar nanti kukirim pasukan untuk mengurus semua jenazah para perajurit pengawal."
Han Lin segera mengangkat dan memondong jenazah Pangeran Cheng Siu dan membawanya naik ke atas punggung kuda. Dia menunggang kuda sambil memangku jenazah itu dan mengiringkan pangeran Cheng Hwa yang menunggang kuda di depan keluar dari hutan itu menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan Han Lin bersikap waspada, khawatir kalau-kalau ada orang yang akan menyerang Pangeran Cheng Hwa. Ternyata tidak terjadi serangan dan mereka tiba dikota raja dengan selamat. Istana menjadi gempar ketika orang-orang mengetahui bahwa Pangeran Cheng Siu telah dibunuh penjahat bertopeng ketika dia sedang berburu binatang hutan. Tentu saja Kaisar sekeluarganya berkabung dan Kaisar menjadi marah. Diperintahkannya kepada panglima pasukan keamanan kota raja untuk mencari para pembunuh itu.
Pangeran Cheng Hwa membawa Han Lin menghadap kaisar. "Mari kuperkenalkan engkau kepada Ayahanda Kaisar"
Kata pangeran itu.
"Beliau perlu mengetahui bahwa engkaulah yang telah menyelamatkan aku dari ancaman baha maut di tangan penjahat."
"Akan tetapi saya hanya melakukan apa yang menjadi kewajiban setiap warga negara, pangeran, Apa yang saya lakukan itu sudah semestinya dan tidak perlu di besar-besarkan."
Kata Han Lin merendah, dan jantungnya berdebar tegang ketika mendengar ajakan Pangeran Cheng Hwa yang hendak menghadapkan dia kepada kaisar. Dia akan dipertemukan dengan ayah kandungnya.
"Jasamu tidak dapat dilupakan begitu saja, Han Lin. Aku akan minta kepada Ayahanda Kaisar agar engkau diberi kedudukan sebagai pengawal istana. Mari kita menghadapi beliau."
Han Lin tidak dapat membantah lagi. Dan memang sebetulnya diapun ingin sekali menghadap dan bertemu muka dengan orang yang menjadi ayah kandungnya.
Pangeran Cheng Hwa membawanya masuk ke ruangan dalam istana dan setelah mendapat keterangan dari para thai-kam pengawal bahwa Kaisar sedang berada di dalam ruangan pustaka, menyendiri untuk menghibur diri atas kedukaan yang menimpa keluarganya, yaitu kematian Pangeran Cheng Siu.
Dua orang thaikam pengawal yang berada di pintu ruangan pustaka itu segera melapor ke dalam ketika melihat bahwa yang datang bersama seorang pemuda asing adalah Putera Mahkota. Kaisar Cheng Tung juga menyuruh pengawal itu mempersilakan puteranya masuk. Pangeran Cheng Hwa dan Han Lin memasuki ruangan itu dan mereka berdua segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaisar yang sedang duduk seorang diri menghadapi meja dan membaca kitab suci.
Agaknya untuk menghibur hatinya yang sedang susah itu kaisar menghiburan kepada ayat-ayat dalam kitab suci. Dia mengalihkan pandangannya dari kitab yang dipegangnya ketika puteranya menghadap dan ketika melihat Han Lin Kaisar Cheng Tung memandang dengan penuh perhatian dan dalam hatinya ia merasa heran karena dia merasa seperti pernah mengenal pemuda berpakaian seperti pemuda petani itu.
"Cheng Hwa, siapakah pemuda ini?"
Tanya kaisar kepada puteranya.
"Ayahanda, inilah pemuda yang telah menyelamatkan nyawa ananda dari ancaman maut di tangan para penjahat."
Kata Pangeran Cheng Hwa.
"Cheng Hwa, sebetulnya apakah yang telah terjadi sehingga adikmu Cheng Siu mengalami bencana dan tewas? Tadi kami belum sempat mendengar sejelasnya. Ceritakanlah."
Kata kaisar dengan suara yang dalam, mengandung kedukaan.
"Ananda berdua adik Cheng Siu mengadakan perburuan di hutan selatan dikawal oleh dua puluh orang perajurit. setelah tiba di hutan, adik Cheng Siu mengajak ananda untuk berpencar dan berlumba siapa yang akan mendapatkan buruan terbanyak. Ananda lalu menyuruh lima belas orang perajurit mengawalnya dan yang lima orang mengawal ananda, ketika ananda dan lima orang pengawal tiba di tengah hutan, tiba-tiba ada seorang yang mengenakan pakaian serba hitam dan mukanya tertutup topeng hitam menyerang ananda. Dia bersenjata aneh, yaitu sehelai sabuk hitam. Lima orang pengawal ananda mengeroyoknya, akan tetapi mereka semua roboh dan tewas!. Ketika orang itu hendak membunuh ananda, tiba-tiba muncul penolong ini. dia yang melawan dan merobohkan penyerang ananda, akan tetapi sebelum dapat menangkapnya, ada seorang bertopeng lain yang datang lalu membawa lari orang bertopeng pertama. Ananda lalu mengajak penolong ini untuk mencari adik Cheng Siu dan ananda menemukan adik Cheng Siu bersama lima belas orang pengawalnya telah tewas di bagian lain dalam hutan itu. Demikianlah, ayahanda, kalau tidak ada pemuda ini, ananda tentu sudah menjadi korban pembunuh seperti adik Cheng Siu."
Kaisar Cheng Tung memandang kepada Han Lin yang menundukkan mukanya. Keharuan menyelinap di hati pemuda ini. Dia telah berhadapan dengan ayah kandungnya. Akan tetapi, kemegahan dan kebesaran di ruangan itu menambah kewibawaan yang amat kuat dari pria yang duduk di depannya sehingga dia menundukkan muka, tidak berani memandang wajah yang tadi hanya dilihatnya sepintas lalu saja.
"Orang muda, siapa namamu?"
Terdengar kaisar bertanya, suaranya ramah dan lembut.
"Nama hamba Han Lin, Yang Mulia"
Kata Han Lin, tetap menunduk. Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya. Nama inipun terasa tidak asing baginya.
"Han Lin, coba angkat mukamu dan pandanglah kami!"
Han Lin mengangkat mukanya dan memandang. Dua pasang mata bertemu pandang. Bermacam perasaan mengaduk hati pemuda itu. Ada rasa bangga dan haru melihat wajah kaisar yang masih tampan dan berwibawa itu, akan tetapi juga ada rasa sakit mengingat betapa pria ini menyia-nyiakan ibu kandungnya. Kaisar Cheng Tung juga merasakan betapa sepasang mata pemuda itu mencorong dan seolah dapat menjenguk isi hatinya.
"Han Lin, engkau telah berjasa besar menyelamatkan Pangeran Mahkota. Katakan, apa yang kau minta sebagai imbalan."
(Lanjut ke Jilid 29)
Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
Han Lin kembali menundukkan mukanya "Ampunkan hamba, Yang Mulia. hamba menganggap bahwa perbuatan hamba itu merupakan kewajiban, karena itu hamba tidak mengharapkan imbalan apapun."
"Ayahanda, kalau paduka setuju, ananda mengusulkan agar Han Lin ini diberi kedudukan sebagai pengawal istana. Dengan ilmu silatnya yang tinggi tentu dia akan dapat memperkuat penjagaan di istana sehingga keselamatan keluarga kerajaan lebih terjamin."
Kaisar Cheng Tung mengangguk-angguk "Kami setuju sekali. Perintahkan saja kepada komandan pasukan pengawal istana bahwa Han Lin mulai sekarang kami angkat sebagai pengawal dalam istana yang tugasnya menjaga keselamatan keluarga kerajaan."
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo