Suling Pusaka Kumala 3
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Tanya Han Lin.
"Pertanyaan tolol! Tentu saja harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh manusia di dunia ini!"
Jawab sang guru.
"Apakah namanya orang yang mentaati dan melaksanakan ujar-ujar itu?"
Tanya pula Han Lin, suaranya masih lantang.
"Apa engkau lupa, bodoh? Namanya kuncu (budiman)."
"Dan apa namanya orang yang tidak nentaati dan tidak melaksanakan ujar-ujar itu?" "Namanya siauw-jin (manusia rendah)!" "Wah, kalau begitu, Sianseng. Kesini-kan tongkat itu, beri pinjam padaku sebentar."
Han Lin bangkit berdiri dan mengangsurkan tangannya untuk minta pinjam tongkat bambu
(Lanjut ke Jilid 03)
Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
yang berada di tangan gurunya.
"Heh? Hah?"
Can Sianseng menjadi bingung.
"Untuk apa?"
"Untuk memukul kepala Sianseng berapa kali biar benjol-benjol!"
Semua murid terbelalak dan guru itu sendiri terbelalak, akan tetapi lalu marah sekali.
"Apa? Kau..... anak sssee-se-tan! berani engkau hendak memukuli kepalaku?"
"Eh-eh-eh, ingat baik-baik, Sianseng jangan marah dulu. Baru kemarin sianseng mengajarkan sebuah ujar-ujar yang berbunyi demikian : "Jangan melaku-kan sesuatu kepada orang apa yang kita sendiri tidak suka orang melakukan kepadamu!' Nah, bukankah Sianseng mengajarkan begitu? Kalau sekarang Sianseng tidak suka saya pukul kepalanya dengan tongkat itu, kenapa Sianseng seenak saja memukuli kepala kami? Bukankah berarti Sianseng tidak menaati dan tidak melaksanakan ujar-ujar itu? Kalau Sianseng tidak suka kupukuli kepalanya den tongkat ini, berarti Sianseng adalah orang siauw-jin!"
Mendengar ucapan Han Lin itu, teman-temannya menjadi bersemangat dan berani, dan mereka meminta sepotong bambu itu dan berebutan untuk memukuli kepala dan muka Can Sianseng.
Biarpun hanya berhadapan dengan anak-anak kecil namun Can Sianseng adalah seorang yang lemah dan anak anak itu amat nakal, maka ketika menerima sabetan bambu itu, dia melarikan diri keluar dari tempat itu dan setengah menangis dia pulang ke rumahnya. Sejak peristiwa di hari itu, Can Sianseng mogok tidak mau mengajar dan Chan Li segera mendengar dari anak-anak tentang ulah Han Lin. Ia memarahi anaknya.
"Apakah kelak engkau akan menjadi seorang bodoh, menjadi seorang tukang pukul yang kasar?"
Tegur ibunya.
"Ah, ibu. Apa artinya mempelajari semua ujar-ujar kalau tidak dilaksanakan? seorang guru harus memberi contoh kepada muridnya, baru sang murid akan menurut, bukan? Can Sianseng bukan guru yang baik!"
Terpaksa Chai Li mengundang seorang guru lain yang lebih muda walaupun untuk itu ia harus mengeluarkan biaya yang lebih besar. Akan tetapi agaknya cara mengajar guru baru ini cocok dengan anak-anak dan mereka belajar dengan rajin. Pada suatu hari, ketika Han Lin sudah berusia enam tahun, datanglah Gobi Sam-sian berkunjung ke pondok Chai Li. Wanita mi segera menyambut dengan penuh kehormatan kepada tiga orang penolongnya dan cepat memanggil Han Lin. Han Lin sedang bermain dengan teman-temannya ketika dipanggil ibunya. Dia berlari-lari pulang dan melihat tiga orang tosu berusia lima puluh tahun lebih duduk di dalam pondok dan dihadapi ibunya yang kelihatan amat menghormati mereka.
Mata yang tajam dari Han Lin mengamati tiga orang tosu itu penuh perhatian, hatinya bertanya-tanya. Ketika mereka dahulu menolong dia dan ibunya, usianya baru tiga tahun dan yang teringat terus dan terbayang di depan matanya hanyala ibunya rebah telentang dengan wajah berlumuran darah, terutama mulutnya yang mengucurkan darah segar. Bayangan itu tidak pernah terlupakan olehnya, bahkan sering mengganggunya di waktu tidur Akan tetapi tiga orang tosu ini sama sekali tidak dikenalnya. Tiga orang Gobi Sam-sian itupun mengamati Han Lin dengan penuh perhatian Mereka tersenyum dan merasa gembira. Dugaan mereka tidak keliru. Anak itu telah tumbuh dengan baik, berbadan tinggi tegap dan biarpun agak kurus namun kokoh dan sinar matanya penuh semangat dan kecerdikan.
"Han Lin, cepat engkau berlutut memberi hormat kepada tiga orang suhumu (gurumu)!"
Kata Chai Li kepada puteranya. Namun Han Lin tidak segera melaksanakan perintah itu. Dia masih berdiri tegak memandang kepada tiga orang tosu itu bergantian, kemudian bertanya kepada ibunya.
"Ibu, bagaimana mendadak mereka ini dapat menjadi suhuku?"
"Han Lin, sam-wi in-kong (tiga orang penolong) ini pada waktu engkau baru berusia tiga tahun dahulu sudah mengatakan bahwa setelah engkau berusia enam tahun engkau akan menjadi murid mereka mempelajari ilmu silat."
"Ibu, sam-wi totiang (ketiga orang pendeta) ini mempunyai kemampuan apakah hendak mengajarkan silat kepadaku? Kalau aku belajar silat, aku harus mempunyai seorang guru yang sakti agar kelak aku dapat menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa seperti yang pernah ibu ceritakan. Aku harus dapat menjadi sakti seperti Sun Go Kong si Raja Monyet seperti yang pernah ibu dongengkan. Aku ingin mempelajari sastera dan silat sampai sedalam-dalamnya, bukan sembarangan saja."
"Hushhh. Han Lin. Sam-wi in-kong ini adalah..."
Gobi Sam-sian bangkit berdiri dan mereka tertawa.
Mereka tertarik sekal akan ucapan anak itu dan Ang-bin-sian Muka Merah berkata kepada Chai Li "Biarlah kami yang akan bicara dengannya."
Ang-Bin-Sian lalu menghampiri Han Lin dan dia berkata.
"Han Lin, apa yang kau katakan itu memang benar sekali. Untuk apa mempelajari suatu ilmu kalau hanya setengah-setengah? Kelak tidak ada gunanya, hanya dipakai untuk menyombongkan diri saja seperti gentong gosong yang nyaring bunyinya namun tak berisi. Marilah kita keluar dari dalam rumah dan engkau akan menilai sendiri sampai di mana kepandaian kami!"
Dia memegang tangan anak itu dan dituntunnya keluar. Dengan penuh semangat Han Lin keluar karena dia memang hendak melihat apakah tiga orang tua itu pantas untuk mengajarkan ilmu silat kepadanya. Setibanya di luar rumah, Ang-bin-Man melihat dua batang pohon sebesar manusia dan dua buah batu besar dipekarangan depan rumah itu. Dia tersenyum.
"Nah, engkau melihat dua batang pohon dan dua buah batu sebesar kerbau itu? Dapatkah orang biasa yang bagaiman kuatpun dengan sekali pukul menumbangkan pohon itu dan memecahkan batu itu dengan tongkatnya?"
Han Lin terbelalak dan menggelengkan kepalanya.
"Tidak mungkin. Pohon itu terlampau kuat dan batu itu terlalu besar untuk dipecahkan dengan pukulan tongkat!"
"Begitukah? Nah, engkau lihat sekarang. Pinto (aku) akan merobohkan pohon pohon dan memecahkan batu-batu itu dengan tongkat pinto!"
Setelah berkata demikian, Ang-bin-sian menggerakkan tongkat bajanya, bersilat di pekarangan itu. Tongkat bajanya menyambar- nyambar, mengeluarkan suara dahsyat bersuitan, makin lama dia bersilat makin mendekati dua batang pohon besar dan dua bongkah batu besar itu. Tak lama kemudian tongkatnya menyambar pohon.
"Krakkk! Krakkk!!"
Dua batang pohon itu tumbang terkena hantaman tongkat baja. Kakek itu terus bersilat dan kini tongkatnya terayun menghantam dua bongkah batu yang sebesar perut kerbau.
"Darrr! Darrr"
Tampak debu mengepul dan dua bongkah batu itupun pecah! Ang-bin-sian menghentikan permainan silatnya dan Han Lin terbelalak, lalu memuji.
"Hebat!Hebat sekali!"
Dan dia bertepuk tangan dengan girangnya. It-kiam-sian melangkah maju.
"Han Lin, engkau lihatlah sekarang aku menggunduli pohon di sana itu dengan pedangku!"
Setelah berkata demikian, tosu ini mencabut pedangnya dan mulai bersilat dengan pedangnya. Pedang itu menyambar-nyambar dan berubah menjadi segulungan sinar.
Ketika tosu ini bersilat semakin cepat, gulungan sinar pedang itu melayang ke arah pohon. Bayangan It-kiam-sian hanya tampak samar-samar saja dan kini ia meloncat tinggi ke atas pohon sambil tetap memutar pedangnya. Gulungan sinar pedang ke arah puncak pohon dan tampaklah daun-daun pohon dan ranting berhamburan dan dalam waktu singkat saja pohon itu telah "dicukur"
Sehingga bentuk seperti sebuah payung besar! Ketika it kiam-sian melompat turun dan menyimpan pedangnya, Han Lin yang sejak tadi terbelalak, menepuk tangan dengan kagum girang sekali.
"Hebat sekali!"
Pek-tim-sian mengebutkan kebutan sambil tertawa.
"Anak baik, agaknya engkau tidak akan yakin kalau belum melihat dengan mata kepala sendiri. Itu kebiasaan yang baik. Jangan mudah percaya kalau tidak melihat sendiri, itu sikap orang budiman. Sekarang lihatlah ekor burung yang sedang berloncatan ranting-ranting pohon itu. Aku akan menangkapkan burung-burung itu untukmu."
Setelah berkata demikian, Pek-tim-sian melompat. Tubuhnya amat ringan cepat dan memang tosu ini adalah seorang ahli gin-kang (meringankan tubuh) yang hebat. Kalau gerakan It-kiam-sian dengan pedangnya tadi masih tampak bayangannya, kini gerakan Pek-tim-sian dengan kebutannya sama sekali tidak tampak bayangannya, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di pohon dan dua kali hud him (kebutan dewa) di tangannya bergerak, dua ekor burung itu telah digulung oleh ujung kebutan dan ditangkapnya. Bagaikan seekor rajawali dia melayang turun dari atas pohon, ketika dia tiba di depan Han Lin, kedua kakinya sama sekali tidak mengeluarkan suara dan dia tertawa.
"Ha-ha-ha, pinto tidak mempunyai apa-apa, hanya dua ekor burung ini pinto akan kepadamu, boleh kau perbuat apa yang kau suka." Han Lin menerima dua ekor burung itu, mengelus bulunya lalu dia melemparkan mereka ke udara sehingga mereka terbang ringan cepat sekali.
"Han Lin, kenapa engkau lepaskan burung-burung itu?"
Akan tetapi Han Lin sudah menjatuhkan dirinya berlutut menghadap tiga tosu dan berkata sambil memberi hormat berulang kali.
"Teecu (murid) Han Lin mohon diterima menjadi murid sam-wi suhu (tiga orang guru) dan sejak saat ini tecu akan menaati semua perintah dan tunjuk suhu bertiga."
Tiga orang tosu itu tertawa senang.
Memang mereka ingin mengambil murid anak itu sejak tiga tahun yang lalu, maka melihat sikap anak itu mereka merasa gembira.
"Han Lin, engkau belum menjawab mengapa engkau membebaskan burung-burung tadi?"
"Suhu, burung adalah mahluk yang terbang bebas di udara. Kasihan sekali kalau mereka ditangkap dan dikurung. Tecu tidak suka mengurungnya, maka teecu lepaskannya."
"Bagus!"
Kata Ang-bin-sian.
"Kecil kecil engkau sudah dapat menghargai kebebasan."
"Sam-wi totiang (Para pendeta bertiga harap suka masuk ke dalam pondok untuki bicara. Silakan,"
Kata Chai Li sambil memberi hormat.
Tiga orang tosu itu tersenyum, mengangguk-angguk dan melangkah menuju pondok. Ang-bin-sian menggunakan tongkat bajanya menowel belakang punggung Han Lin dan anak itu terlempar keatas jungkir balik dan jatuh berdiri.
"Hayo engkau ikut kami."
Han Lin terkejut akan tetapi tidak menjadi takut, bahkan gembira sekali karena dia merasa yakin akan kelihaian tiga orang yang akan menjadi gurunya itu. Setelah mereka bertiga duduk di ruangan depan, Chai Li menghidangkan minuman air teh cair dan ia menceritakan tentang keadaan Han Lin.
"Saya telah memanggil guru untuk mendidik Han Lin dalam kesusasteraan, sekarang dia sudah mulai dapat membaca dan menulis, dan mempelajari beberapa buah kitab agama."
"Akan tetapi teecu tidak suka akan cara guru-guru itu mengajarkan isi kitab, suhu."
Ang-bin-sian mengerutkan alisnya yang tebal.
"Hemm, mengapa begitu?"
"Habis, mereka mengajarkan perbuatan-perbuatan baik tanpa mereka sendiri melakukannya! Apa artinya semua pelajaran perbuatan baik itu kalau tidak dilaksanakan?"
Kata Han Lin sambil memandang kepada tiga orang gurunya dengan matanya yang bersinar-sinar.
"Ha-ha-ha-ha, sungguh tepat!"
Kata It-kiam-sian.
"Engkau hanya mengenal kulitnya tanpa mengetahui isinya!"
Cela Pek tim sian.
Ang-bin-sian lalu berkata sungguh sungguh.
"Memang sesungguhnyalah. Pelajaran perbuatan baik adalah untuk dilaksanakan, bukan untuk dibicarakan. Akan tetapi kalau tidak dibicarakan lebih dulu bagaimana engkau dapat mengerti? Perbuatan baik adalah satu perbuatan yang tidak direncanakan oleh hati akal pikiran. Semua perbuatan yang direncanakan oleh hati akal pikiran tidak mungkin baik, atau baik untuk dirinya sendiri saja. Perbuatan begitu tentu berpamrih demi diri pribadi. Akan tetapi kalau engkau sudah mempelajari nilai-nilai tinggi dalam kehidupan seperti yang diucapkan oleh kaum bijaksana di jaman dahulu, maka engkau akan memiliki dasar yang baik sehingga apapun yang kau lakukan tentu baik."
Han Lin menjadi bengong, lalu menggaruk-garuk kepalanya.
"Wah, pelajaran suhu sungguh sulit dimengerti!"
Tiga orang gurunya tertawa.
"Tidak mengapalah. Kelak engkau akan mengerti sendiri. Sekarang kami memperkenalkan diri,"
Kata Ang-bin-sian.
"Kami bertiga disebut orang Gobi Sam-sian (Tiga Dewa dari Gobi) karena kami memang suka merantau di daerah Gobi. Pinto sendiri disebut Ang-bin-sian (Dewa Muka Merah) dan engkau boleh menyebut aku twa-suhu (guru tertua). Dia itu adalah It-kiam-sian (Dewa Pedang Tunggal) dan nenjadi ji-suhu (guru kedua) bagimu dan yang seorang lagi itu adalah Pek-tim-sian (Dewa Kebutan Putih) menjadi sam-suhu (guru ketiga)."
Han Lin memberi hormat kepada mereka seorang demi seorang sambil menyebut "Twa-suhu, ji-suhu dan sam-suhu".
"Sekarang dengar baik-baik, Han Lin. Engkau sudah minta kepada kami untuk membuktikan kesanggupan kami untuk menjadi gurumu. Oleh karena itu, sekarang kami juga minta kepadamu untuk membuktikan kesanggupanmu untuk menjadi murid kami!"
Kata Ang-bin-sian.
"Toa-suhu, teecu akan melaksanakan semua perintah suhu tanpa membantah!"
Kata Han Lin dengan suara tegas dan mantap.
"Sebaiknya begitu. Ingat, mempelajari bu (silat) berbeda dengan mempelajari bun (sastera). Untuk sastera, engkau harus mempergunakan pikiran dan perasaanmu, Akan tetapi untuk mempelajari ilmu silat harus ada kesatuan antara pikiran, perasaan dan gerakan tubuhmu. Oleh karena itu engkau sama sekali tidak boleh malas dan harus melakukan segala yang kami perintahkan."
"Teecu mengerti, suhu!"
"Engkau harus mempelajari sastera, tiga hari dalam seminggu dan yang empat hari kami akan melatih silat kepadamu. Kami akan mencari tempat bertapa di pegunungan ini dan datang kesini setiap waktu untuk mengajarkan silat. Akan tetapi sekarang, tugasmu yang pertama adalah membersihkan halaman itu, mengampak kayu-kayu itu menjadi kayu bakar dan membersihkan semua daun daun situ."
Han Lin terbelalak. Dua batang pohon besar tumbang dan banyak sekali ranting dan daun terbabat pedang. Kalau hanya mbersihkan daun dan ranting, dalam waktu sehari dua hari saja tentu akan selesai. Akan tetapi mengampak batang batang kayu itu menjadi kayu bakar yang kecil-kecil? Entah berapa lama dia harus bekerja keras! Akan tetapi tanpa ragu dia menjawab.
"Teecu akan melaksanakan tugas itu. baiknya, toa-suhu!"
Chai Li kelihatan gelisah mendengar caranya menerima tugas seberat itu dan melihat wajah wanita itu, Ang-bin-sian berkata sambil tersenyum.
"Nyonya, biarlah puteramu mengerjakan semua perintah kami. Keberhasilannya dalam ilmu silat akan bergantung sepenuhnya kepada ketekunannya."
Chai Li mengangguk walaupun ia merasa amat kasihan kepada puteranya. Dan tiga orang Gobi Sam-sian itu lalu berpamit untuk mencari tempat pertapaan yang cocok bagi mereka, yang tidak terlalu jauh dari kota Pao-tow. Mereka mendapatkan sebuah hutan cemara di lereng bukit dan mendirikan sebuah pondok kayu dan bambu di tempat itu untuk mereka tinggali dan bertapa. Sampai setengah bulan lamanya Han Lin membersihkan halaman rumah Nenek janda pemilik rumah menjadi senang sekali mendapatkan banyak kayu bakar dan memuji Han Lin sebagai anak yang rajin. Memang anak ini mempunyai semangat yang luar biasa. Biarpun bukan orang kaya, namun dia jarang melakukan pekerjaan berat. Akan tetapi begitu menerima perintah suhunya, setiap hari dia mengunakan kapak dan golok untuk membelah batang pohon. Dia bekerja tanpa mengenal waktu dan kedua telapak tangannya sampai lecet-lecet dan akhirnya menjadi tebal.
Setelah dia mulai dilatih oleh tiga orang tosu itu, dia mendapatkan tugas setiap hari yang lebih berat lagi! Pondok tiga orang tosu itu agak jauh dari sungai air, dan Han Lin bertugas untuk mencari dan memikul air dari sumber air dibawa ke pondok. Akan tetapi untuk melakukan pekerjaan itu, mula-mula dia harus menggunakan alas kaki dari kayu tebal yang kalau dipakai berjalan licin. Beberapa kali ia jatuh bangun menggunakan alas kaki kayu itu, air pikulannya tumpah sehingga ia harus kembali ke sumber air untuk menimba lagi. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, walaupun tidak ada orang menyaksikannya, sebentarpun dia tidak pernah melepas alas kaki itu dan dengan gigih dia berjuang sampai akhirnya dia dapat memikul air itu ke pondok menggunakan alas kaki!
Tampaknya saja ketiga orang gurunya tidak perduli, namun sesungguhnya mereka bertiga mengamati setiap gerak-gerik murid mereka dan mengintainya. Mereka sungguh merasa gembira sekali melihat kegigihan murid mereka yang masih berusia enam tahun itu. Bukan sampai di situ saja "penyiksaan"
Terhadap diri Han Lin yang kecil. Setelah itu mulai lincah dan terampil mempergunakan alas kaki sehingga dapat berlari-lari kecil sambil memikul airnya, tiga orang gurunya lalu memasang dua buah gelang kaki dikedua kakinya. Gelang baja itu masing-masing satu kati beratnya. Biarpun 1 kati itu ringan kalau diangkat, akan tetapi ketika dia mulai memikul air mengunakan alas kaki kayu, gelang itu rasanya lebih dari sepuluh kati beratnya! Dan tidak hanya sampai di sini saja.
Setelah dia mulai terbiasa dengan beban gelang itu, gelangnya ditambah dengan yang lebih besar dan berat sehingga dalam waktu tiga bulan gelang di kedua kakinya itu masing-masing seberat lima kati! Dia menaati perintah guru-gurunya tanpa mengeluh. Di lubuk hatinya dia tahu bahwa guru-gurunya sedang menggemblengnya untuk menjadi orang yang kuat dan dia membantu usaha guru-gurunya itu dengan menaatinya.
Setelah lewat tiga bulan, Ang-bi sian membuat sebuah pikulan baru. Pikulan itu terbuat dari rotan-rotan kecil yang digabung menjadi sebuah pikulan besar Han Lin diharuskan memikul kedua gentung airnya dengan pikulan dari rotan itu. Mula-mula dia merasa kaku, karena pikul itu agak lentur. Akan tetapi lama kelaman dia terbiasa dan dapat mengatur keseimbangannya sedemikian rupa sehingga kalau dia memikul air sambil setengah berlari, kedua kaki dan tangannya membuat gerakan seperti orang menari untuk menjaga keseimbangan badannya.
Akan tetapi sebulan kemudian, gurunya mengambil dan melolos sebatang rotan dari pikulan itu! Dan setiap seminggu sekali, pikulan itu dikurangi sebatang rotan sampai menjadi kecil dan lentur sekali. Namun, Han Lin dapat menyesuaikan diri dan dapat memikul air itu sampai ke pondok. Latihan-latihan sambil bekerja macam Itu dilakukan Han Lin selama dua tahun! dan dia sama sekali belum diajar ilmu silat! Sungguhpun demikian, dengan gerakan mengatur keseimbangan badan ketika ia memikul air, dia sudah menguasai dasar gerakan kaki dalam ilmu silat. Dia tahu bahwa dia belum dilatih ilmu silat, bahkan ibunya mulai mengomel kalau bertanya kepadanya apakah dia sudah diajari ilmu silat.
"Belum, ibu. Akan tetapi aku disuruh kerja berat. Lihat ini, otot-otot kaki dan tanganku menjadi kokoh. Aku tidak pernah masuk angin, aku selalu bangun pagi pagi sekali dan merasa tubuhku selalu sehat dan segar.
Ini semua berkat pekerjaan yang ditugaskan sam wi suhu (guru bertiga) kepadaku dan aku berterima kasih sekali!"
"Akan tetapi apa artinya kepandaian memikul air? Apakah engkau kelak akan menjadi tukang pikul air? Engkau harus menjadi seorang pendekar, Han Lin, dan karena itu engkau harus belajar ilmu silat. Biarlah besok akan kutanyai mereka mengapa sampai sekarang engkau belum dilatih ilmu silat,"
Kata ibu yang merasa kecewa itu.
"Jangan, ibu! Aku sudah senang sekali dengan cara mereka mengajar. Di sini aku tidak hanya mendapatkan teori saja akan tetapi langsung aku mendapatkan manfaat pada tubuhku. Kita harus bersabar, ibu. Bukankah kesabaran itu pangkal keberhasilan?"
Han Lin memang pandai bicara da kalau sudah begitu, ibunya mengalah "Baiklah, aku tidak akan bertanya secara langsung, akan tetapi akan menanyakan sampai di mana kemajuanmu. Hal itu boleh saja dan sudah menjadi hakku sebagai ibumu, bukan?"
Han Lin tersenyum. Diapun heran. Apa yang akan dijawab oleh ketiga gurunya kalau ibunya menanyakan kemajuannya dalam mempelajari ilmu silat? Benar saja. Pada keesokan harinya, ketika dengan berjalan santai tiga orang tosu itu datang ke rumahnya untuk "melatih"
Silat kepada Han Lin dan yang biasanya berakhir dengan membawa Han Lin pergi ke bukit mereka untuk bekerja keras, Chai Li bertanya dengan sikap hormat.
"Selamat pagi, sam-wi totiang (bapak pendeta bertiga). Dapatkah sam-wi totiang menjelaskan kepada saya, sampai di mana kemajuan ilmu silat yang sam-wi (kalian bertiga) ajarkan kepadanya?"
Tiga orang tosu itu saling pandang, kemudian memandang kepada Han Lin yang berdiri di situ sambil menundukkan mukanya. Pada saat itu tiba-tiba terdengar-eriakan banyak orang.
"Tolong cegat! Tolong!"
"Jangan boleh lari, tahan dia!"
Mereka semua melihat ke jalan dan ternyata serombongan orang sedang mengejar-ngejar seekor kerbau muda yang lepas. Kerbau itu agaknya panik dikejar kejar dan diteriaki, dan diapun mengamuk. Kalau ada orang hendak memegangnya, dia menyerang dengan tanduknya sehingga tak seorangpun berani menghalanginya.
"Han Lin, perlihatkan kepada ibumu bahwa engkau mampu menangkap kerbau itu. Cepat lakukan. Hati-hati terhadap tanduknya, engkau harus pandai menghindar, rangkul lehernya dan puntir kepala nya!"
Kata Ang-bin-sian. Tanpa mengucapkan sepatah pun kata. Han Lin lalu berlari ke jalan. Ibunya memandang dengan mata terbelalak dan hati gelisah sekali.
Orang dewasa saja tidak berani menangkap kerbau itu, kini anaknya disuruh menangkap! Dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran Chai Li berlari keluar pekarangan, diikuti oleh tiga orang tosu itu yang berjalan dengan santai. Kerbau yang mengamuk itu datang. Dengan sigapnya Han Lin menyambutnya. anak ini memiliki gerakan yang ringan dan cepat bukan main. Hal ini adalah hasil dari gelang-gelang kaki baja dan berlarian dengan alas kaki kayu licin sambil memikul air itu. Kedua kakinya tidak saja menjadi kokoh kuat kalau memasang Bhesi (kuda-kuda) akan tetapi juga amat ringan dan lincah. Dia berdiri mengembangkan kedua lengan terhadap kerbau itu dan mulutnya mengeluarkan teriakan.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hiuuuhh...... berhenti.....!"
Kerbau itu menjadi marah. Matanya merah mendelik kemerahan, tanda bahwa ia sudah marah sekali. Melihat ada seorang anak berani menghadang di depannya, dia lalu menurunkan kepalanya ke bawah, kemudian menerjang ke depan sambil menggerakkan kepalanya yang bertanduk dua. Sekiranya tanduk-tanduk itu mengenai perut atau dada Han Lin, mudah digambarkan akibatnya. Tentu dia akan terluka parah.
Namun Han Lin melihat betapa gerakan serangan kerbau itu lamban. Dengan cepat kakinya melompat ke samping sehingga serudukan kepala kerbau itu lewat samping tubuhnya. Secepat kilat dia membalikkan tubuhnya dan melompat ke depan merangkul leher kerbau, memegang kedua tanduknya dan dengan sekuat tenaga tangannya yang biasa memikul air dengan gentung dengan hanya beberapa batang rotan, dia memuntir leher kerbau itu bawah. Dan kerbau itupun rebah! Pemilik kerbau sudah tiba di situ dan cepat orang ini memasangkan tali kepada hidung kerbau yang sudah tidak berdaya itu. Setelah kerbau dapat dikuasai baru Han Lin melepaskannya. Tanpa rasa bangga sedikitpun dan menganggapnya sebagai hal yang lumrah dia mengebut-ngebutkan bajunya yang menjadi kotor karena pergulatan tadi.
Chai Li berlari dan merangkul putranya. Baru sekarang terdengar tepuk tangan dan seruan memuji kepada Han Lin. tiga orang tosu tiba di situ dan mereka hanya tersenyum. Melihat dirinya dipuji puji orang, Han Lin segera mengajak ibunya kembali ke pondok mereka. Chai Li memandang kepada tiga orang tosu itu dan berkata dengan suara terharu "Sam-wi totiang, terima kasih sekali. atas gemblengan totiang kepada anak saya."
Mulai hari itu, Han Lin mulai diajarkan dasar-dasar ilmu silat. Langkah-langkah ajaib dari It-kiam-sian, ilmu merinngankan tubuh yang istimewa dari Pek-ti sian, dan penghimpunan tenaga sakti dari Ang-bin-sian. Akan tetapi karena dia masih seorang kanak-kanak, tentu saja semua pelajaran disesuaikan dengan tubuhnya yang sedang bertumbuh dan berkembang. Gobi Sam-sian agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk menurunkan inti dari ilmu-ilmu mereka kepada Han Lin.
Mereka bahkan menggabungkan ilmu silat tangan kosong mereka menjadi semacam ilmu silat yang khusus diperuntukkan Han Lin dan ilmu silat tangan kosong ini mereka beri nama Sam-sian-kun (Silat Tiga Dewa). Di situ terkandung semua unsur terpenting dan terlihai dari ilmu silat tangan kosong masing-masing, karena dasar gerak langkahnya menggunakan ilmu dari It kiam-sian, keringanan tubuh dan kecepatannya menggunakan ilmu dari Pek-tim-sian dan tenaga sin-kangnya mengambil dari Ang-bin-sian! Mereka menggabungkan tiga macam ilmu silat tangan kosong dan bersama-sama mengajarkannya kepada Han Lin. Bahkan mereka sendiri tidak mampu kalau disuruh bersilat Sam-sian kun, karena tidak memiliki keistimewaan dari rekannya yang lain. Selama dua tahun dengan penuh ketekunan Han Lin melatih diri dengan Sam-sian-kun. Dia sudah mahir sekali.
Hanya saja karena dia masih terhitung kanak-kanak, maka tentu saja dalam hal tenaga dan kecepatan dia belum dapat menggunakan sepenuhnya, hanya setingkat dengan perkembangan dan pertumbuhan badannya saja. Akan tetapi dia tidak menyia-nyia-kan pesan ibunya. Walaupun dia amat suka mempelajari ilmu silat dan melatihnya tanpa mengenal lelah, akan tetapi ada waktunya dia belajar sastera, diapun mempelajari sastera dan menghentikan latihan silatnya. Dan dalam ilmu inipun dia amat berbakat sehingga dua tahun kemudian dia sudah dengan mudah membaca kitab-kitab Su-si Ngo-keng, bahkan kitab Agama Buddha yang artinya mendalam.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Han Lin sudah membaca kitab Tiong-yo buah pikiran Nabi Khong-cu. Sebetulnya isi kitab ini amat mendalam, namun Han Lin berusaha untuk membaca denga mengerti apa yang dibacanya. Hari itu adalah hari sastera, maka dia tidak berlatih silat.
"Han Lin, di mana engkau?"
Terdengar suara ibunya.
"Aku di sini, ibu, di kebun'"
Han Lin memang paling suka berada di kebun, baik kalau sedang berlatih silat maupun kalau sedang membaca kitab. Tempat itu selain sunyi, juga sejuk karena banyak di tumbuhi pohon.
Ibunya muncul, membawa rantang tempat makanan dan berkata.
"Han Lin pergi engkau ke rumah makan dan beli tiga macam masakan yang enak-enak."
ia menyerahkan rantang dan beberapa potong uang kepada anak itu. Han Lin terbelalak heran. Tidak pernah ibunya menyuruh dia membeli masakan di rumah makan. Harganya mahal dan ibunya dapat memasak sayur-sayuran yang tidak kalah lezatnya.
"Ada apakah, ibu? Mengapa membeli masakan di rumah makan?"
Ibunya menulis dengan jari tangan di atas meja.
"Sudahlah jangan banyak bertanya, Han Lin. Lakukan saja apa yang kuperintahkan. Nanti setelah makan-makan akan kuceritakan semua sejelasnya kepada mu."
Han Lin tidak membantah lagi dan dia segera pergi ke sebuah rumah makan besar di kota Pao-tow. Setibanya di situ, seorang pelayan menyambutnya dan dia memesan tiga macam masakan "yang paling enak"
Seperti yang dipesan ibunya sambil menyerahkan uang dan tempat masakan. Pelayan menyuruh dia duduk menunggu. Han Lin duduk di sebuah bangku yang kosong.
Tiba-tiba hatinya tertarik sekali mendengar percakapan dua orang yang duduk semeja, tidak jauh dari situ. Mereka adalah dua orang laki-laki berpakaian sastrawan, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Tampaknya mereka sudah setengah mabok dan mereka bicara lantang.
"Sim-twako (kakak Sim), aku sungguh tidak mengerti melihatmu. Setahuku engkau telah lulus berkali-kali dari perguruan Engkau terkenal pandai dan dapat menulis cepat dengan indah. Akan tetapi kenapa sampai sekarang engkau belum menjadi siucai (sarjana)? Bukankah engkau sudah mengikuti ujian di kota raja?"
Tanya orang yang tinggi kurus.
Orang yang bermuka merah itu menuangkan araknya ke dalam mulut, lalu menghela napas panjang dan berkata.
"Berkali-kali orang mengatakan, kalau tidak beruang jangan sekali-kali mempelajari sastra. Apa gunanya? Betapapun pandainya engkau dalam kesusasteraan, tanpa uang di saku, jangan harap akan lulus ujian negara. Sebaliknya, seorang tolol sekalipun dapat lulus dengan baik kalau dia mampu menyuap. Sudah lima kali aku mengikuti ujian negara. Semua hasil ujian ku baik sekali, namun tetap saja dinyatakan tidak lulus. Gagal!" "Benar sekali itu. Aku juga mendengar bahwa Louw Sam dari dusun Ki-bun sekali ujian lulus akan tetapi dia harus nenghabiskan harta orang tuanya untuk menyuap. Padahal waktu belajar dia bodohnya bukan main!"
"Tentu dia akan menjadi seorang pejabat yang korup untuk dapat menarik kembali hartanya yang telah dikeluarkan, berikut bunganya. Tidak mengherankan kalau semua pejabat sekarang ini melakukan korupsi, karena masuknya menjadi pejabat juga menelan biaya yang besar. Ah, orang miskin macam kita ini sebaiknya dulu belajar ilmu silat saja. Kalau kita pandai silat dan bertubuh kuat, setidaknya kita dapat masuk menjadi tentara atau bekerja diluar. Banyak yang membutuhkan orang yang kuat dan pandai silat. Akan tetapi, sasterawan? Hanya dicemooh orang, dikatakan kutu buku, tukang melamun dan sebagainya."
Masakan yang dipesan Han Lin sudah tiba dan terpaksa Han Lin menghentikan perhatiannya terhadap percakapan itu dan pulang. Akan tetapi apa yang didengarnya sudah lebih dari cukup. Amat berkesan didalam hatinya. Dia tahu bahwa para pejabat pengurus ujian bertindak curang korup, makan suapan sehingga yang lulus menjadi sarjana hanya anak-anak orang kaya saja yang sebenarnya bodoh. Mereka kini menghadapi meja makan berdua saja. Chai Li dan Han Lin. Ketika Chai Li mengajak Bibi Cu, janda pemilik rumah untuk makan bersama, Bibi Cu menolak dan tertawa.
"Kalian berdua makanlah, aku tidak ingin mengganggu kalian ibu dan anak,"
Chai Li mengajak puteranya maka minum sepuasnya: Nyonya itu tampak gembira bukan main, wajahnya yang masih tampak cantik dan segar itu bersinar sinar dan berseri penuh senyum. Setelah mereka selesai makan, barulah Chai Li bicara melalui tulisannya di atas kartu yang telah ia persiapkan sebelumnya karena ia hendak bicara banyak kepada anaknya itu.
"Han Lin, hari ini adalah hari lahirmu yang ke sepuluh! Karena itulah engkau kuajak merayakannya dengan makan enak. Dan bukan itu saja. Sebagai hadiah ulang tahunmu, engkau akan mengetahui semua tentang keadaan dirimu, tentang asal usulmu."
Han Lin menjadi gembira bukan main. sudah sering dia bertanya kepada ibunya tentang riwayat hidupnya, tentang ayahnya, akan tetapi ibunya selalu mengelak dan menyatakan belum tiba waktunya untuk memberi tahu. Dia segera duduk dengan baik dan tegak, siap membaca apa yang akan ditulis ibunya di atas kertas itu. Chai Li memang sudah mempersiapkan kertas dan alat tulis.
"Han Lin, dahulu ibumu ini adalah seorang Puteri Mongol, keponakan dari kepala suku Kapokai Khan Yang Besar, Paman kakekmu itu adalah seorang kepala suku yang gagah perkasa, bahkan kakekmu pernah menawan Kaisar Cheng Tung yang masih muda dari Kerajaan Beng. Kakekmu tidak membunuh Kaisar Cheng Tung yang gagah berani itu, bahkan menjadikannya tamu agung. Paman Kapokai Khan menyuruh aku untuk melayani Kaisar Cheng Tung dengan baik-baik. Akhirnya Kaisar Cheng Tung dan aku saling jatuh cinta dan kami menjadi suami isteri."
Han Lin terkejut sekali dan semua pertanyaan sudah berada di ujung lidahnya akan tetapi dia menelannya kembali ia siap membaca terus apa yang akan ditulis ibunya.
"Akan tetapi, karena keadaan kerajaan Beng membutuhkan Kaisar Cheng Tung untuk kembali, Paman Kapokai Khan, Ia membebaskannya dan mengembalikannya ke selatan. Untuk sementara aku ditinggalkan dan kelak akan dijemput. Kemudian terlahirlah engkau, Han Lin."
"Ibu, jadi aku ini......."
"Engkau putera Kaisar Kerajaan Beng anakku. Engkau putera Kaisar Cheng Tung. Engkau seorang pangeran dan nama aselimu adalah Cheng Lin. Akan tetapi demi kcamananmu sendiri, engkau telah memakai nama Han Lin. Setelah ayah mu pulang ke selatan, aku menanti nanti. Akan tetapi sampai engkau berus tiga tahun, tidak juga ada yang datang menjemputku."
Chai Li kelihatan bersedih dan tangannya mengeluarkan sebuah benda dari lipatan bajunya. Benda itu bukan lain adalah suling Pusaka Kemala pemberian Kaisar Cheng Tung. Dibelainya suling itu, didekapnya ke dada kemudian ia tidak dapat menahan perasaannya, ditempelkan suling itu di bibirnya dan mengalunlah lagu yang amat indah! Itulah lagu Mongol "Suara hati Seorang Gadis"
Lagu yang dulu sering dimainkan dan amat disuka oleh Kaisar Cheng Tung. Dan biarpun lidahnya sudah buntung separuh ia masih pandai meniup dan melagukan suling itu. Han Lin memandang kepada ibunya dengan bengong. Baginya, suara suling itu demikian indah dan kini dia memandangi -pada ibunya dengan perasaan lain. wanita yang lembut ini, yang selalu tampak cantik jelita walaupun tidak dapat bicara dengan jelas, adalah seorang Puteri Mongol!
Ketika Chai Li berhenti meniup suling dan ia memandang kepada puteranya, ia melihat sepasang mata Han Lin yang tajam itu basah, Ia lalu merangkul anaknya.
"Cheng Lin....!"
Terdengar ia menyebut nama itu dengan suara bercampur isak dan agak cadel dan ia mencium muka anaknya sambil menangis.
"Ibu...., ibuku.....!"
Kini Han Lin tidak dapat menahan hatinya lagi, ikut menangis bersama ibunya. Setelah tangis mereka mereda, Chai Li lalu memberikan suling berbentuk kecil itu kepada Han Lin dan menulis lagi.
"Terimalah suling ini, anakku. Suling ini adalah pemberian ayahmu kepadaku, Suling Pusaka Kemala inilah yang menjadi tanda bahwa engkau adalah keturunan Kaisar Cheng Tung. Terima dan simpanlah baik-baik."
Han Lin menerima suling itu bertanya dengan nada suara mengandung penasaran.
"Ibu, kenapa ibu berada disini dan meninggalkan Paman Kakek Kapokai Khan. Kenapa kita tidak bersama mereka?"
Ibunya menjawab dengan tulisan cepat "Masih panjang ceritanya, anakku. Ketika engkau berusia tiga tahun, terjad malapetaka itu. Seorang yang disangka utusan Kerajaan Beng datang untuk membunuh kita berdua."
Membaca tulisan ini, Han Lin melompat bangun dengan kaget dan heran seketika.
"Apa? Ayah mengutus orang untuk membunuh kita?"
"Bukan ayahmu, Han Lin. Aku yakin akan hal itu. Ayahmu mencintaiku dan ia seorang yang bijaksana. Tentu ada orang lain yang mengutus pembunuh itu.
Mungkin keluarga Kaisar yang merasa khawatir kalau-kalau engkau, pangeran yang yang berdarah Mongol, kelak akan menggantikan ayahmu menjadi kaisar."
"Hemm, sangat boleh jadi, ibu. Aku jarang mendengar pendapat ibu bahwa ayah yang mengutus pembunuh itu untuk membunuh kita."
"Aku berani bersumpah bahwa pasti dia bukan utusan ayahmu Kaisar Cheng Tung. Utusan itu bernama Suma Kiang, orang yang jahat dan kejam luar biasa. Juga dia seorang yang pandai dan cerdik, hampir saja dia dapat membunuh aku, menculikmu pergi dari perkampungan mongol."
Chai Li lalu menceritakan secara panjang lebar dan jelas akan semua peristiwa yang terjadi dalam tulisannya, ia ia menceritakan betapa ia menggigit putus lidahnya sendiri dalam usahanya membunuh diri daripada terjatuh ke dalam cengkeraman Suma Kiang yang hendak memperkosanya, Han Lin bangkit dari duduknya, berdiri tegak dan mengepalkan kedua tangannya
"Aku akan belajar silat sampai kelak dapat membunuh Suma Kiang yang jahat itu. Sekarang aku mengerti mengapa sering aku bermimpi melihat ibu mengletak dengan muka berlepotan darah. kiranya ibu berusaha membunuh diri dengan menggigit putus lidah ibu sendiri."
Chai Li merangkul puteranya, menciumnya lalu menulis lagi di atas kertas putih.
"Pada saat nyawa kita terancam bahaya maut di tangan Suma Kiang itu muncul ketiga orang gurumu, yaitu Gobi Sam-sian. Mereka berhasil mengusir Suma Kiang dan menyelamatkan kita."
"Akan tetapi pada waktu itu, kenapa ibu tidak mengajak aku kembali ke kampungan Mongol?"
Chai Li menulis.
"Kita sudah dibawa jauh sekali oleh Suma Kiang. Aku sudah putus asa dan kecewa. Ternyata bangsaku tidak dapat dan telah gagal melindungi kita dari tangan orang jahat. Maka aku menyatakan kepada Gobi Sam-sian untuk merantau ke selatan dan mohon agar dia suka menjadi gurumu agar kelak dapat mencari ayahmu dan dapat membalas dendam kepada Suma Kiang dan yang mengutusnya. Gobi Sam-sian menerimanya dan demikianlah, mereka yang membawa dan mengatur sehingga kita dapat tinggal di rumah Bibi Cu ini."
Han Lin merangkul ibunya dan berbisik di telinganya.
"Engkau telah mengalami banyak kesengsaraan, ibu. Mudah-mudahan kelak aku dapat mempertemukan ibu kembali dengan ayah."
Pada saat itu tampak berkelebat tiga sosok bayangan dan tahu-tahu Gobi Sam-sian telah berada di depan mereka. Sikap tiga orang tosu itu tidak seperti biasanya, tenang dan sabar.
Kini mereka kelihatan gelisah dan tergesa-gesa. Bahkan mereka telah memegang senjata mereka masing-masing, sudah siap untuk bertempur.
"Sam-wi suhu....!"
Han Lin berseru heran sambil memandang mereka. Juga Chai Li memandang mereka dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.
Akan tetapi Ang-bin-sian sudah berkata.
"Cepat Han Lin dan Nyonya! Cepat kalian kumpulkan pakaian yang perlu-perlu saja dalam buntalan. Kita pergi meninggalkan tempat ini sekarang juga!"
"Akan tetapi, suhu.....?"
"Jangan banyak membantah! Bahaya maut mengancam kalian. Cepat atau kita akan terlambat!"
Mendengar ucapan ini, Chai Li lebih mengerti keadaan. Tanpa bertanya ia dapat menduga apa yang terjadi maka ia menarik tangan Han Lin memasuki kamar dan mengeluarkan pakaian mereka, membungkus menjadi dua buntalan besar dan mereka menggendong buntalan itu. Suling pusaka kemala yang masih dipegang oleh Han Lin lalu diselipkan di ikat pinggang oleh anak itu.
"Hayo cepat, ikut kami!"
Kata Ang-bin-sian dan ia mengajak mereka berlari melalui pintu belakang. Han Lin menggandeng tangan ibunya dan diajaknya berlari secepatnya mengikuti Ang-bin-sian, sedangkan It-kiam-sian dan Pek-tim-sian menjaga di belakang mereka.
"Suhu, kenapa suhu mengajak kami berlari seperti ini?"
Han Lin sambil berlari minta keterangan dari Ang-bin-sian.
"Suma Kiang sudah sampai di Pao-tow!"
Kata Ang-bin-sian. Bangkitlah kemarahan Han Lin.
"Suhu, tecu (murid) tidak takut! Mari kita lawan iblis jahat itu!"
"Han Lin, dia lihai sekali!"
Kata Ang-in-sian dan Chai Li merangkul Han Lin ambil menggoyang-goyangkan tangan dia melarang Han Lin melawan.
Diam-diam Han Lin merasa heran, juga kecewa. Ketiga suhunya berada di situ, kenapa harus takut? Bukankah ketiga orang gurunya lihai sekali dan dahulu pernah mengalahkan manusia iblis Suma Kiang itu? Ibunya tidak menceritakan betapa ibunya pernah menghantamkan Suling Pusaka Kemala ke ubun-ubun Suma Kiang dan itulah yang menyebabkan Suma Kiang di waktu itu tidak kuat menandingi Gobi Sam-sian.
"Akan tetapi, suhu....."
Bantahnya.
"Han Lin, dia lihai sekali. Kami buka tandingannya dan dia membawa seorang kawan yang tidak kalah lihainya. Mari kita cepat pergi!"
Kata It-kiam-sian.
Han Lin menjadi semakin heran. Toa suhunya, Ang-bin-sian masih suka bersenda-gurau, akan tetapi ji-suhunya, It kiam-sian, adalah orang yang kalau bicara kepadanya selalu serius. Macam apakah musuh besarnya yang bernama Suma Kiang itu?
Mereka berlari terus naik ke atas bukit. Setelah mereka tiba di lereng atas dekat puncak, tiba-tiba terdengar suara tawa yang dahsyat sekali.
"Hua-ha-ha-ha!!!"
Suara tawa itu terdengar menggelegar dan meledak-ledak seperti halilintar, mengejutkan semua orang. Mendengar suara tawa itu. Ang bin-sian mendorong Han Lin untuk berlari lebih cepat lagi.
"Nyonya Chai Li dan Han Lin! Cepat lari ke puncak dan bersembunyi di sana!"
Dia tahu di puncak terdapat hutan yang lebat, tempat bersembunyi yang baik kali. Kini Han Lin menjadi khawatir juga. Bukan khawatir atas dirinya sendiri, melaainkan mengkhawatirkan ibunya. Andaikata tidak ada ibunya di situ, dia tentu tidak mau pergi meninggalkan tiga orang gurunya. Kini dia harus menyelamatkan bunya. Digandengnya tangan ibunya dan ditariknya ke atas, menuju puncak bukit.
Sementara itu, Gobi Sam-sian berdiri dengan kedua kaki terpentang, tegak menanti pemilik suara tawa yang pasti akan datang itu. Mereka bersiap siaga. It-kiam-sian sudah menyelipkan pedangnya di punggungnya, Pek-tim-sian menyelipkan kebutannya di pinggang dan Ang-binn-sian memegang tongkat bajanya dengan tangan kanan. Pandang mata mereka mencorong, mencari-cari. Biarpun hati terasa tegang, namun mereka bersikap tenang sebagai layaknya seorang pendekar.
Tadi ketika mereka berada di kota, tiba-tiba saja mereka bertemu dengan Suma Kiang! Datuk Huang-ho itu tampak lebih tua namun sama sekali tidak kehilangan pandang matanya yang liar dan mencemooh. Begitu melihat tiga orang Gobi Sam-sian, dia tersenyum mengejek. Di sebelahnya tampak seorang wanita yang cantik dan lembut, dilihat dari tubuhnya yang padat dan tampangnya yang cantik, orang tentu mengira ia baru berusia tiga puluh tahun, padahal usianya sudah lima puluh tahun.
Seekor anjing besar menggereng dan memperlihatkan taringnya kepada wanita cantik itu. Ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan suara lembut.
"Tidak ada anjing yang menggereng kepadaku kubiarkan hidup!"
Setelah berkata demikian, tampaknya ia seperti menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah anjing itu. Anjing itu menguik satu kali lalu berkelojotan dan mati! Gobi Sam-sian saja yang agaknya menjadi saksi peristiwa itu. Mereka terkejut bukan main.
"Kita pergi!"
Kata Ang-bin-sian kabur dan mereka bertiga segera pergi dan situ.
"Wanita itu...... ia sungguh berbahaya sekali!"
Ang-bin-sian berkata kepada dua orang rekannya.
"Nanti dulu!"
Kata It-kiam-sian.
"jari tangannya begitu lihai. Tentu mengandung hawa beracun yang mematikan. Siapa lagi kalau bukan Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun)?"
"Ban-tok-ci? Kau maksudkan ia itu Sam Ok (si Jahat ke Tiga)?"
Pek-it sian bertanya, kaget sekali.
"Agaknya dugaan It-kam-sian benar. Menghadapi Suma Kiang seorang saja sudah berat, apalagi ditambah Sam Ok. yang biasanya kalau Sam Ok muncul, maka Ji.Ok (si Jahat ke Dua) dan Toa Ok (si Jahat Pertama) akan muncul pula. Bagaimana kita akan mampu melindungi Han Lin dan ibunya? Kemunculan Suma Kiang tentu ada hubungannya dengan ibu an anak itu. Sebelum terlambat sebaiknya mari kita suruh Han Lin dan ibunya lari bersembunyi."
Karena maklum bahwa mereka tidak dapat lari lagi setelah mendengar suara tawa yang mengandung hawa sakti amat kuatnya itu, Gobi Sam-sian menyuruh Han Lin dan ibunya berlari terus dan mereka berhenti di lereng dekat puncak untuk menghalangi Suma Kiang melakukan pengejaran terhadap ibu dan anak itu.
Tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri dua orang yang ditunggu tunggu itu. Suma Kiang yang kini telah berumur lima puluh tahun lebih, jangkung kurus dengan sepasang matanya yang sipit seperti mata ular senduk, mulutnya tersenyum mengejek, memandang kepada Gobi Sam-sian dan berkata, suaranya menggeledek.
"Gobi Sam-sian, apakah kalian belum jera dan masih hendak melindungi Puteri Mongol dan puteranya itu?"
"Mana bocah remaja berdarah mongol itu? Serahkan dia kepadaku!"
Terdengar suara wanita cantik yang kulit mukanya agak pucat kehijauan itu.
Gobi Sam-sian maklum bahwa sekali ini mereka harus berjuang mati-mati melawan dua orang manusia iblis itu. Sam-sian yang teringat akan watak Ban-lok-ci atau Sam Ok, segera tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha, pinto sering mendengar tahwa Ban-tok-ci Sam Ok adalah seorang wanita yang gagah perkasa yang tidak suka mencampuri urusan orang lain, apa-lagi memihak dan mengeroyok. Apakah sikapmu sekarang ini membantah sendiri keebenaran berita itu?"
Sam Ok melirik dengan matanya yang tajam dan genit dan ia berkata.
"Engkau tosu yang membawa pedang di punggung tentu yang berjuluk It-kiam-sian! Aku tidak membantu Suma Kiang. Aku datang untuk mendapatkan anak keturunan kaisar itu. It-kiam-sian, engkau tentu tahu di mana dia. Hayo berikan dia kepadaku kalau engkau ingin tetap hidup!"
"Pinto tidak tahu di mana dia sekaing berada, akan tetapi seandainya pinto tahu, pinto tidak akan memberitahu kepadamu atau kepada Suma Kiang yang jahat!"
"Hi-hi-hik, kalau begitu aku akan menyiksamu sampai engkau terpaksa mengatakan di mana dia berada!"
Setelah berkata demikian, Sam Ok meraba pinggangnya dan tampak sinar hitam berkelebat ketika ia memegang sebatang pedang pendek berwarna hitam legam.
"Siancai (damai).......! Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam)!"
Kata It-kiam-sia tanpa rasa takut. Diapun sudah mencabut pedangnya dan tampak sinar kilat nyambar. Pedang milik It-kiam-sian ini amat terkenal di dunia kang-ouw (sungai telaga) wilayah utara. Itulah Lui-kong kiam (Pedang Sinar Kilat) yang dahsyat. Pedang ini amat tajam dan kuat, dapat mematahkan besi dan baja, akan tetapi karena pemiliknya seorang yang bersih, seorang pendekar, pedang itu tidak mengandung racun, tidak seperti Hek-kong kiam yang mengandung racun berbahaya sekali. Sambil tertawa mengejek Sam Ok menerjang maju, pedangnya menyambar ganas.
"Singgg...... wuuutttt.....!"
It-kiam-sian tidak berani memandang ringan serangan lawan yang tampaknya dilakukan sembarangan saja ini. Dia mengunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak dan langsung membalas lengan tusukan pedangnya ke arah dada anita itu.
"Ciaaaattt......! Tranggg.....!"
Bunga api berpijar ketika Hek-kong-kiam menangkis dan bertemu dengan Lui-kong-ham.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wuuuttt.....!"
Telunjuk tangan kiri Sam Ok menuding ke arah dada It-kiam-juan. Melihat serangan jari tangan kiri yang kemarin membunuh anjing itu, It-kiam-sian bersikap waspada. Dia mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya ke dalam ujung lengan baju kirinya dan menyambut serangan Ban-tok-ci (Jari selaksa Racun) itu dengan sampokan ujung lengan baju.
"Hyaaattt.....!"
Ketika ujung lengan baju bertemu dengan ujung jari tangan, tangan kiri Sam Ok tergetar akan tetapi juga ujung lengan baju itu hancur.
"Ha-ha-ha-hi-hik! Bersiaplah engkau untuk menerima siksaanku!"
Sam Ok tertawa mengejek.
Akan tetapi It-kian-sian adalah seorang ahli pedang yang memiliki banyak pengalaman di samping ilmu yang tinggi. Dia memutar pedangnya dengan dahsyat menyerang sehingga Sam Ok terpaksa berhenti mengejek dan mencurahkan perhatian untuk melawan tosu itu. Pertandingan pedang terjadilah dengan dahsyatnya Pedang mereka lenyap bentuknya dan yang tampak hanya sinar hitam dan sinar kilat yang menyambar-nyambar dengan ganasnya. Sementara itu, melihat Sam Ok sudah bertempur melawan It kian -sian, Suma Kiang tersenyum mengejek memandang kepada Ang-bin-sian dan Pek-tim-sian.
"Ha-ha, kalian tahu bahwa kalian berdua tidak akan kuat menandingi aku, oleh karena itu katakanlah saja di mana ibu dan anak itu sebelum aku membunuh kalian!"
"Suma Kiang, sampai matipun kami tidak akan sudi menyerahkan mereka kepadamu!"
Kata Ang-bin-sian dengan suara tegas dan dia sudah melintangkan tongkat bajanya di depan dada sedang Pek-tim-sian juga sudah melolos kebutan bulu putihnya yang tadi dipakainya sebagai sabuk.
Marahlah Suma Kiang. Dia mengeluarkan teriakan garang dan tubuhnya menerjang ke arah dua orang lawannya dengan gerakan tongkat ular hitamnya yang dahsyat. Dua orang tosu itu sudah waspada dan mereka segera menyambut dengan tongkat baja dari Ang-bin-sian dan kebutan dari Pek-tim-sian.
"Wuuuttt..... trang-trangg....!"
Hebat sekali pertemuan senjata itu dan dua orang tosu terdorong ke belakang. Mereka terkejut sekali karena merasa betapa tenaga sakti Suma Kiang kini lebih kuat dibandingkan tujuh tahun yang lalu! Akan tetapi mereka tidak menjadi gentar dan mereka balas menyerang dengan hebat.
Terjadilah pertandingan mati-matian, baik antara Sam Ok dan It-kiam-sian ataupun antara Suma Kiang yang dikeroyok dua oleh Ang-bin-sian dan Pek-tim-an. Akan tetapi setelah lewat puluhan jurus, Gobi Sam-sian mulai terdesak hebat.
Biarpun mereka sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka, namun pihak Suma Kiang dan Sam Ok memang lebih unggul maka mereka terdesak terus. Terutama sekali It-kiam-sian yang seorang diri harus melawan Sam Ok. Dia terus maju mundur dan bertahan melindungi dirinya. Namun, ilmu pedangnya memang hebat sekali sehingga pedang itu berubah sebagai lingkaran sinar perisai yang menghadang semua serangan lawan, dari manapun juga datangnya.
Sam Ok mengubah ilmu pedangnya Tiba-tiba tubuhnya menggelinding kebawah tanah dan sinar pedangnya mencuat dari bawah, seperti ular mematuk-matuk arah kaki dan perut It-kiam-sian. Tosu ini terkejut bukan main. Dia kibaskan pedangnya dan cepat tubuhnya meloncat ke atas, demikian ringannya bagaikan seekor burung terbang. Akan tetapi Sam Ok tidak tinggal diam. Ia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya juga melayang ke atas, bukan melayang biasa, melainkan berputar seperti gasing dan dari putaran itu pedangnya mencul secara tidak terduga-duga.
"Kena....!!"
La berteriak dan pedangnya bergerak demikian cepatnya sehingga tahu-tahu sinar hitam menyambar dan lengan kanan It-kiam-sian dekat siku terkena tusukan Hek-kong-kiam! Lengan kanan itu seketika lumpuh!
It-kiam-sian maklum bahwa kalau racun pedang lawan sudah menjalar sampai ke jantungnya, dia akan mati, tak mungkin tertolong lagi. Maka, cepat tangan kirinya mengambil pedang Lui-kong-kiam dan sekali tangan kirinya bergerak, pedang itu telah meyambar lengan kanannya di atas siku sehingga lengan kanan itu putus seketika. Darah muncrat. It-kiam-sian mengeluh dan roboh pingsan. Sam Ok tertawa dan berpikir bagaimana ia dapat menyadarkan It-kiam-sian untuk disiksanya agar dia itu mengatakan di mana adanya anak Kaisar itu.
Pada saat itu, tongkat ular hitam di tangan Suma Kiang menyambar. Dua orang tosu itu menangkis, akan tetapi sekali ini Suma Kiang mengerahkan seluruh tenaganya dan dua orang tosu itu terdorong ke belakang, hampir terjengkang. Melihat keadaan mereka berdua, dan melihat betapa It- kiam-sian juga sudah roboh oleh Sam Ok, Ang-bin-sian mendapatakal dan dia berseru nyaring sambil memandang ke bawah lereng.
"Han Lin! Jangan keluar dari tempat persembunyianmu!"
Mendengar seruan ini, kembali tongkat Suma Kiang menyambar ke arah Ang-bin-sian. Tosu ini, yang sudah terengah karena penangkisan tadi, mengerahkan sisa tenaganya, mengangkat tongkatnya menangkis.
"Desss....!!"
Ang-bin-sian roboh dan muntah darah. Kaki Suma Kiang menyambar dan gerakannya amat cepat, dilakukan dengan tubuh setengah terbang. Kakinya meluncur cepat dan kuat sekali dan biarpun Pek-tim-sian berusaha mengelak, tetap saja pundaknya terkena tendangan itu dan diapun roboh muntah darah.
(Lanjut ke Jilid 04)
Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
"Ha-ha-ha! Sam Ok, hayo kita cari anak itu!"
Kata Suma Kiang dan dia segera meloncat dan lari menuju ke puncak.
"Heii, Huang-ho Sin-liong.
"
Kenapa engkau malah naik? Bukankah tosu tadi berseru ke bawah?"
"Ha-ha-ha, aku bukan seorang kanak kanak yang bodoh, Sam Ok! Dan Ang bin-sian juga bukan seorang yang goblok untuk berseru ke bawah kalau mereka itu bersembunyi di bawah. Hayo kita berlumba mengejar dan menangkap mereka!"
Dua orang manusia iblis itu berlari seperti terbang cepatnya menuju ke puncak. Ang-bin-sian melihat ini dengan muka pucat. Akan tetapi karena tidak mampu berbuat apa-apa lagi, bersama Pek tim-sian dia lalu menghampiri It-kiam sian yang menggeletak pingsan dengan lengan kanan buntung sebatas atas siku. Dengan sisa tenaga yang masih ada, dua orang tosu ini menotok jalan darah untuk menghentikan darah mengalir keluar, kemudian mereka berdua menggotong It-kiam-sian meninggalkan tempat itu. Mereka tidak dapat berbuat lain kecuali berdoa agar dua orang manusia iblis itu tidak akan menemukan Han Lin dan ibunya.
Setelah tiba di puncak bukit yang ada hutannya itu, dua orang manusia iblis itu berdiri di atas batu besar dan mereka tertawa sambil mengerahkan hawa sakti dari perut.
"Hua-ha-ha-ha!" "Hi-hi-hi-hik!!"
Dua macam suara tawa rendah dan tinggi itu mengandung kekuatan sakti, melanda permukaan puncak bukit itu gaikan angin badai. Dua orang ibu dan anak yang bersembunyi di dalam hutan di puncak itu juga tergetar dan menggigil. Jantung mereka terasa diguncang dan suara tawa itu seperti terdengar tepat di atas kepala mereka.
"Han Lin, kita harus lari dari sini. Mereka telah datang dekat!"
Tulis Chai Li dengan jarinya di depan mukanya. Han Lin mengikuti gerakan jari tangan itu dan menjawab.
"Akan tetapi, ibu. Tadi kita mendengar suara suhu Ang-bin-sian yang melarang kita meninggalkan tempat persembunyian kita ini,"
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo