Suling Pusaka Kumala 7
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Orang tinggi kurus itu mengerutkan alisnya.
"Orang she Gu, jangan sembarangan saja engkau bicara! Aku Cian Hok, ketua Pek-eng-pang, bukan pemimpin perampok dan pembunuh Kami bekerja sebagai piauwsu (pengawal pengkiriman barang) dan selalu bertindak sebagai orang gagah, bagaimana engkau berani melakukan tuduhan sembarangan kepada anak buah kami?"
"Sebetulnya kami tidak mencurigai Pek-eng-pang, karena yang melakukan pembantaian itu adalah orang-orang yang mengenakan pakaian yang dadanya bergambarkan harimau hitam."
"Ah! Kalau begitu orang Hek-houw-pang yang melakukannya!"bentak ketua Pek-eng-pang yang bernama Ciang Hok Itu.
"Tadinya kami juga menduga demikian,"
Jawab Nelayan Gu.
"Akan tetapi setelah kami menyelidiki ke sana, kami tidak menemukan orang-orang yang melakukan pembunuhan itu. Dan dari ketua Hek-houw-pang kami mengetahui bahwa Pek-eng-pang bermusuhan dengan Hek-Houw pang, maka menurut keterangan ketua Hek-houw-pang, sangat boleh jadi orang Pek-eng-pang yang menyamar sebagai anak buah Hek-houw-pang dan melakukan pembantaian itu untuk membumikan nama Hek-houw-pang."
"Keparat Si Toat-beng Hek-houw. Ini merupakan fitnah yang hanya dapat dite-bus dengan darah! Dan engkau telah mendengar hasutan mereka, lalu datang ke sini, mau apa?"
Teriak Ciang Hok dengan marah.
"Kami hanya hendak mencari pembunuh-pembunuh keji itu, dan karena kami tidak mempunyai permusuhan dengan Pek-eng-pang, maka kami datang dengan baik menanyakan kepadamu sebagai ketuanya."
"Aku katakan bahwa tidak ada anak buahku yang melakukan pembunuhan itu! Yang kami bunuh hanya bangsa perampok dan pencuri! Kedatangan kalian dengan tuduhan anggauta kami yang melakukan pencurian pedang dan pembunuhan merupakan penghinaan!"
"Kalau memang benar anak buahmi tidak ada yang melakukan pembunuhan itu, sudahlah, kami juga tidak memaksa kalian untuk mengaku. Kami akan pergi dari sini dan tidak mengganggu kalian lagi."
Kata Nelayan Gu yang melihat sikap dan bicara ketua Pek-eng-pang itu sudah merasa percaya. Kaum piauw-su (pengawal barang kiriman) ini agaknya tidak mungkin menyamar sebagai anggauta Hek-houw-pang melakukan pembunuhan dan merampas pedang. Tentu ada gerombolan lain yang melakukannya.
"Hemm, tidak begitu mudah kalian pergi dari sini setelah menghina kami!"
Bentak Ciang Hok yang sudah marah sekali.
"Habis kalian mau apa?"
Tanya Petani Lai yang perangainya lebih keras ketimbang rekannya.
"Kau baru boleh pergi setelah dapat menandingi sepasang golokku ini!"
Ciang Hok meraih ke belakang punggung dan dia sudah melolos dua batang goloknya yang besar dan mengkilat saking tajamnya.
"Nelayan Gu, biarkan aku yang menandinginya!"
Kata Petani Lai sambil melangkah ke depan dan menggerakkan cangkulnya, siap menandingi sepasang golok di tangan Ciang Hok yang kini tampak galak itu karena marahnya. Dia merasa dihina sekali dengan tuduhan bahwa anak buahnya telah menyamar sebagai anak buah Hek-houw-pang, melakukan pembunuhan terhadap petani dan mencuri pedang.
"Marilah, pangcu, kalau engkau ingin bermain-main denganku, aku sudah siap menandingi sepasang golokmu!"
Tantang Petani Lai.
"Baik, lihat sepasang golokku!"
Bentak Ciang Hok dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya. Sepasang goloknya berputar dan menyerang dari kedua jurusan dengan gerakan menggunting. Petani Lai yang melihat datangnya serangan yang dahsyat, tidak berani memandang rendah dan dia sudah mengelak dengan langkah ke belakang dan begitu sepasang golok itu menyambar lewat, dia menggerakkan cangkulnya dari atas mencangkul ke arah kepala lawan!.
"Wuuuttt..... tranggg....!"
Cangkul itu bertemu dengan sebatang golok, menimbulkan bunga api yang berpijar.
Keduan merasa betapa tangan mereka tergetar, akan tetapi Ciang Hok mundur dua langkah, tanda bahwa dia masih kalah kuat dalam hal tenaga sln-kang melawan Petani Lai. Akan tetapi setelah golok kanannya menangkis, golok kirinya sudah membacok ke arah lambung kanan Petani Lai. Kembali yang diserang mengelak cepat, lalu membalas dengan ayunan cangkulnya.
"Cringggg.....!"
Kembali bunga api berpijar dan keduanya lalu saling serang dengan dahsyatnya. Nelayan Gu yang menyaksikan pertandingan ini, menjadi semakin yakin bahwa agaknya tidak mungkin orang-orang Pek-eng-pang ini yang melakukan pembantaian. Dalam hal pertandingan ini saja tampak kegagahan dan watak ketua Pek-eng-pang. Mereka tidak melakukan pengeroyokan, tidak seperti orang-orang Hek-houw-pang. Kalau memang mencurigai kedua kelompok ini, tentu Hek-houw-pang yang lebih patut dicurigai.
Perkelahian itu berlangsung sampai lima puluh jurus dan kini perlahan-lahan Petani Lai mulai mendesak lawannya. Nelayan Gu melihat hal ini dan dia tidak mau kalau sampai rekannya itu melukai lawan. Dia tidak ingin menanam permusuhan dengan Pek-eng-pang. Oleh karena itu, ketika cangkul Petani Lai mendesak hebat dan ketua Pek-eng-pang itu mundur mundur mempertahankan diri, Nelayan Gu melompat ke depan, menahan cangkul rekannya dengan dayung bajanya dan berseru nyaring.
"Cukup sudah pertandingan ini!"
Petani Lai maklum dan diapun melompat ke belakang.
"Ilmu kepandaian PeK eng Pangcu cukup mengagumkan!"
Katanya dengan jujur tanpa maksud mengejek karena walaupun dia mampu mendesak lawan, namun agaknya akan makan waktu yang cukup lama untuk mencapai kemenangan.
Ketua Pek-eng-pang itu menyimpan sepasang goloknya di punggung dan dia memberi hormat.
"Ilmu kepandaianmu hebat dan aku mengaku kalah. Akan tetapi tetap saja kami menyangkal keras kalau dikatakan bahwa kami menyamar sebagai orang Hek-houw-pang, mencuri pedang dan melakukan pembunuhan terhadap sepuluh orang petani!"
Kata-katanya tegas.
"Sudahlah, pangcu. Kalau memang anak buahmu tidak ada yang melakukannya, kamipun percaya akan ucapanmu. Maafkan kami dan biarkan kami pergi dari sini."
"Silakan, akan tetapi kami tetap akan nembikin perhitungan kepada Hek-houw-pang yang telah menjatuhkan fitnah atas diri kami!"
"Terserahlah kepadamu. Kami tidak mencampuri urusan di antara kalian. Permisi!"
Nelayan Gu lalu mengajak Petani Lai dan A-seng untuk pergi meninggalkan tempat itu.
Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba kembali di Puncak Awan Putih. Cheng Hian Hwesio masih saja duduk di atas batu besar seperti kemarin! agaknya batu besar yang datar itu menjadi tempat kesukaan hwesio ini untuk bersamadhi di luar pondok dan memang dari batu itu tampak pemandangan alam yang luar biasa eloknya.
"Hemm, kalian telah pulang. Bagaimana hasil penyelidikan kalian"
Tanyanya lembut kepada dua orang murid dan pembantunya itu. Dua orang itu berlutut menghadap Cheng Hian Hwesio dan A-seng juga berlutut di sebelah mereka. Nelayan Gu lalu menceritakan semua pengalamannya betapa mereka telah menguburkan semua jenazah mereka yang terbantai, kemudian betapa mereka telah mendatangi Hek-houw-pang dan Pek-eng pang.
"Teecu tidak mendapatkan bukti kedua perkumpulan itu bahwa mereka yang telah melakukan pembantaian. Biar pun A-seng ini mengatakan bahwa para pembunuh itu memakai baju yang ada gambarnya Harimau Hitam, akan tetapi-dia tidak menemukan orang-orang itu antara anak buah Hek-houw-pang. Dari Hek-houw-pang kami mendapat keterangan bahwa mungkin Pek-eng-pang yang telah sengaja menyamar sebagai orang Hek-houw-pang, melakukan pembunuhan dan mencuri pedang dari ayah A-seng Akan tetapi hal itupun tidak dapat dibuktikan, bahkan Pek-eng-pang mengancam akan membuat perhitungan dengan Hek houw-pang."
"Omitohud, urusan menjadi berlarut-larut. Kalau ada pedang pusaka yang lenyap, maka sangat boleh jadi bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah gerombolan penjahat. Akan tetapi sudah-lah, kita tidak perlu mencampuri urusan mereka. Anak muda, namamu A-seng?"
"Nama saya Coa Seng, biasa dipanggil A-seng, losuhu. Sekarang ayah dan ibu dan semua keluarga saya telah tewas, saya hidup sebatang kara, saya mohon sudilah losuhu menerima saya sebagai murid untuk belajar ilmu agar kelak saya dapat mencari para pembunuh keluarga saya."
Setelah berkata demikian, A-seng menangis lalu membentur-benturkan kepalanya ke atas tanah sebagai penghormatan.
"Omitohud, pinceng tidak ingin mengambil murid, A-seng. Lebih baik engkau segera pulang dan bekerja sebagai petani melanjutkan pekerjaan orang tuamu."
Sambil menangis A-seng berkata.
"Losuhu, saya telah kematian orang tua, kematian semua keluarga, tidak memiliki apa-apa lagi. Bagaimana saya dapat hidup seorang diri di tempat sunyi itu, tanpa keluarga dan tanpa tetangga? Pun saya ingin sekali memiliki ilmu kepandaian agar kelak dapat mencari pembunuh keluarga saya."
"Omitohud, sungguh tidak baik menyimpan dendam dalam hati. Apalagi mengajarkan ilmu untuk kelak dipakai membalas dendam dan melakukan pembunuhan, tentu tidak akan pinceng lalukan. Sudahlah, A-seng, engkau pergilah, pin ceng tidak dapat menerimamu sebagai murid."
Tangis A-seng semakin menjadi-jadi.
Sambil sesenggukan dia tetap berlutut dan berkata.
"Saya tidak akan bangkit dan akan berlutut di sini sampai mati sebelum suhu menerima saya sebagai murid."
Nelayan Gu dan Petani Lai menghampiri.
"A-seng, engkau tidak boleh memaksa Suhu tidak mau menerimamu sebagai murid!"
Kata Nelayan Gu.
"Benar, A-seng. Pergilah dan jangan memaksa!"
Kata pula Petani Lai.
"Tidak, saya tidak mau pergi dari sini. saya tidak mempunyai apa-apa dan siapa-siapa lagi di dunia ini. Saya mohon lo-suhu menerima saya sebagai murid dan saya tidak akan beranjak dari sini sebelum saya diterima sebagai murid."
Kata anak itu kukuh dalam tangisnya.
"Sudahlah, mari kita tinggalkan dia!"
Terdengar suara lembut Cheng Hian Hwesio. Tiga orang itu lalu meninggalkan A-seng dan memasuki pondok. Dua orang pembantu itu bekerja di belakang pondok mengurus tanaman sayur, sedangkan Cheng Hian Hwesio bersamadhi dalam kamarnya. Mereka bertiga tidak memperdulikan A-seng lagi. Namun A-seng tetap berlutut menghadap batu besar dan tidak bergerak pergi dari situ. Dia sudah mengambil ke-putusan untuk berlutut di situ sampai mati kalau hwesio tua itu tidak mau menerimanya menjadi murid. Malam tiba dan A-seng tetap berlutut di tempat itu.
Malam itu gelap dan dingin sekali, hawa dingin menembus pakaian dan kulit, nenyusup ke dalam tulang-tulang. Dapat dibayangkan betapa dinginnya berada di luar rumah, di udara terbuka. Namun, A-seng masih tetap berlutut seperti sore tadi, menggigit bibir menahan rasa dingin yang membuat tubuhnya menggigil. Dapat dibayangkan penderitaan yang dialami bocah itu.
Perutnya mulai berkruyuk minta diisi dan hawa dingin membuat semua bulu di tubuhnya bangkit berdiri dan tubuhnya menggigil. Namun dengan keras hati dia tidak pernah bergerak dari tempatnya! Semalam suntuk itu dia tetap berlutut dan pada keesokan harinya, ketika fajar menyingsing hawa dingin menjadi hampir tak tertahankan lagi. Giginya sampai berbunyi ketika di menahan hawa dingin dan tubuhnya mengigil. Akan tetapi setelah matahari naik cukup tinggi, hawa udara menjadi hangat dan nyaman, membuat penderitaanny banyak berkurang walaupun dia merasa lapar dan tubuhnya penat sekali karena sejak kemarin sore terus dalam keadaan berlutut. Namun, dia sama sekali tidak memperdulikan semua itu dan tetap berlutut.
Nelayan Gu dan Petani Lai sampai mengoyang-goyang kepala melihat kekerasan hati pemuda remaja itu. Akan tetapi Cheng Hian Hwesio yang melihat ini hanya diam dan tersenyum saja. Malam kedua tiba dan tetap A-seng masih berlutut di tempat semula. Nelayan Gu dan Petani Lai merasa tidak tega dan mereka mengantarkan makanan dan minuman sederhana untuk A-seng.
"Ini makanan dan minuman, kau makan dan minumlah A-seng, agar perutmu tidak kosong dan terserang hawa dingin ang akan membuat engkau sakit,"
Kata mereka.
Akan tetapi A-seng hanya menggeleng kepalanya dan tidak bergerak. Makanan dan minuman itu ditinggal di situ, akan tetapi pada keesokan harinya lagi makanan dan minuman itu masih tetap berada di situ dalam keadaan utuh! Dan tubuh pemuda remaja Itu mulai tampak lemah setelah lewat dua hari dua malam.
"Suhu,"
Mereka menghadap Cheng Hian Hwesio.
"A-seng masih tetap berlutut di luar. Teecu khawatir kalau dia jatuh sakit."
Kata Petani Lai.
"Omitohud...... ketahanan yang luar biasa, kekerasan hati yang mengagumkan, Biarkan saja, pinceng ingin melihat sampai di mana kekuatannya."
Kata hwesio itu sambil tersenyum menerima laporan kedua orang pembantu dan muridnya.
Malam ke tiga merupakan malam penyiksaan bagi A-seng. Tubuhnya sudah lemah dan kaku semua rasanya, perutnya lapar sekali sehingga terasa menusuk nusuk nyeri. Namun dia tetap bertahan dan ketika pada keesokan paginya Nelayan Gu dan Petani Lai menengoknya, mereka mendapatkan pemuda remaja itu masih dalam keadaan berlutut, akan tetapi dia telah jatuh pingsan! Kalau dibiarkan pemuda ini tentu akan mati dalam keadaan berlutut. Ketika mereka melapor kepada Cheng Hian Hwesio, barulah hwesio ini bangkit dan berjalan keluar mendengar bahwa pemuda remaja itu berlutut dalam keadaan pingsan. Dia menghampiri A-seng dan melihat keadaan pemuda itu, di menggeleng kepalanya dan menghela napas.
"Omitohud, ingin pinceng mendengar apa akan kata Bu-beng Lo-jin melihat kenekatan anak ini."
Dia lalu meraba tubuh itu, menotok beberapa jalan darah.
A-seng mengeluh lirih dan siuman akan tetapi begitu siuman tubuhnya terguling roboh telentang. Akan tetapi, dia sudah berusaha pula untuk bangkit duduk dan berlutut lagi! Cheng Hian Hwesio berkata kepada dua orang muridnya yang juga mengikutinya keluar.
"Angkat dia ke dalam dan buatkan bubur cair untuknya."
Dua orang itu segera mengangkat tubuh A-seng, dibawa masuk ke dalam pondok dan direbahkan ke atas sebuah pembaringan.
"Tidur sajalah dan jangan banyak bergerak. Permohonanmu telah dikabulkan suhu."
Kata Nelayan Gu kepada A-seng.
Akan tetapi ketika Cheng Hian Hwesoi masuk ke pondok untuk melihat keadaan A-seng, anak itu lalu nekat turun dari pembaringannya dan berlutut di depan kaki Cheng Hian Hwesio.
"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suhu yang telah menerima teecu sebagai murid."
Dia lalu mencoba untuk memberi penghormatan dongan delapan kali berlutut, akan tetapi tubuhnya terlampau lemah dan diapun terguling roboh.
"Omitohud, cukuplah. Kekerasan hatimu yang membuat engkau menjadi muridku . Mudah-mudahan saja kelak engkau akan mempergunakan ilmu dari pinceng untuk kebenaran dan keadilan dan tidak mempergunakan untuk kejahatan."
Dengan tongkatnya dia membantu A-seng berdiri dan mendorong anak itu kembali rebah telentang di atas pembaringannya.
"Mengasolah sampai tubuhmu kuat dan sehat kembali."
Kata Cheng Hian Hwesio yang lalu meninggalkannya.
A-seng memang memiliki tubuh yang kuat sekali. Dalam dua hari saja kesehatannya telah pulih kembali dan ternyata diapun seorang anak yang pandai membawa diri. Tanpa diperintah dia membantu Nelayan Gu dan Petani Lai dengan pekerjaan mereka sehari-hari, bahkan kini dialah yang mengerjakan pekerjaan yang berat untuk keperluan mereka berempat. Mengambil air, mencari kayu bakar membersihkan pondok dan halamannya juga membantu pekerjaan di ladang. Karena merasa kasihan akhirnya Cheng Hian Hwesio mulai mengajarkan ilmu silat kepadanya dan ternyata pemuda remaja itu memiliki bakat yang baik sekali. Juga dia telah memiliki dasar yang kuat, pernah mempelajari ilmu sllat dari guru yang baik, sehingga dasarnya tepat dan mudah menerima pelajar yang lebih tinggi.
Sementara itu, Han Lin juga digembleng oleh Bu-beng Lo-jin di Puncak Bambu, sebutan puncak di mana dia tinggal karena puncak itu ditumbuhi banyak bambu dari berbagai jenis. Karena sudah lima tahun lamanya digembleng ilmu silat oleh Gobi Sam-sian, maka Han Lin memiliki dasar yang amat kuat dan yang sealiran dengan pelajaran ilmu silat Bu-beng Lo-jin. Setiap bulan sekali Han Lin mendaki Puncak Awan Putih untuk belajar ilmu silat dari Cheng Hian Hwesio seperti telah dijanjikan hwesio itu. Tiga hari dia mempelajari teorinya dan dilatih ketika dia kembali ke Puncak Bambu.
Karena sering datang belajar di Puncak Awan Putih, dengan sendirinya Han Lin menjadi sahabat baik dari A-seng. A-seng adalah murid Cheng Hian Hwesio, maka masih terhitung saudara seperguruannya dan karena A-seng berusia enam belas tahun, setahun lebih tua dari Han Lin, maka Han Lin menyebutnya suheng (kakak seperguruan) dan A-seng menyebut sute (adik laki-laki seperguruan) kepada Han Lin.
Sikap A-seng yang ramah dan rendah hati membuat Han Lin suka bersahabat dengannya, bahkan seringkali dua orang pemuda ini berlatih bersama. Han Lin juga seorang pemuda yang pandai membawa diri. Setiap kali berlatih dengar A-seng, dia tidak pernah memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Bu-beng Lo-jin, melainkan berlatih dengar ilmu yang dipelajarinya dari Cheng Hian Hwesio sehingga A-seng dapat mengimbanginya dengan ilmu yang sama.
Dari Cheng Hian Hwesio, mereka menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat. Hwesio sakti itu mengajarkan permainan senjata tongkat bambu yang disebut In-liong-tung-hoat (Ilmu Tongka Naga Awan) yang gerakannya lembut seperti gerakan awan tertiup angin, namun dahsyat seperti amukan seekor naga. Juga hwesio itu mengajarkan ilmu silat tangan kosong yang dasarnya dari ilmu silat Liong-kun (Silat Naga) dari Siauw-n-pai, yaitu yang disebut Sin-liong-ciang-hwat (Silat Tangan Kosong Naga Sakti). Dua macam ilmu ini lebih dulu jajarkan dan setiap bulan sekali kalau dia datang ke Puncak Awan Putih, Han Lin tentu berlatih bersama A Seng dalam dua macam ilmu silat itu. Ternyata keduanya memiliki bakat besar. Bahkan dalam hal sin-kang (tenaga sakti) dan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) kedua nya juga seimbang.
Melihat kemajuan dua orang muridnya, Cheng Hian Hwesio merasa gembira sekali. Pada suatu hari, seperti biasa Han Lin datang menghadap Cheng Hian Hwesio dan mendengarkan petunjuk-petunjuk Cheng Hian Hwesio untuk menyempurnakan gerakan In-liong-tung-hoat.
"Berlatihlah sebaiknya dengan A-seng agar kalian bersama-sama mendapat kemajuan,"
Kata Cheng Hian Hwesio sambil memandang wajah cucu buyut keponakan tu. Dia dapat membayangkan persamaan antara wajah Han Lin dan wajah Kaisar Cheng Tung. Dahinya yang sama lebar, mata yang tajam mencorong penuh kewibawaan.
"Baik, losuhu."
"Nah, sekarang carilah A-seng. Mungkin dia sedang mengerjakan pencabut rumput di ladang sayur. Akan tetapi tidak apa, ajaklah dia untuk berlatih, sendiri mendapat kesempatan baik kalau berlatih denganmu daripada dengan dua orang suhengnya yang jauh lebih tua."
Han Lin lalu mencari A-seng di belakang pondok dan benar saja, pemuda itu sedang mencabuti rumput di ladang sayur sawi. Tanpa diminta Han Lin cepat membantunya dan setelah selesai, keduanya lalu pergi ke lapangan rumput di dekat ladang untuk berlatih silat.
"Kita berlatih In-liong-tung-hoat, suheng. Ada beberapa gerakan yang kurasakan masih sulit."
Kata Han Lin.
"Aku yang mendapat bimbingan kedua orang suheng Nelayan Gu dan Petani Lai juga masih mengalami kesulitan, sute. Memang In-liong-tung-hoat merupakan ilmu tongkat yang sukar dipelajari, banyak perkembangannya yang harus kita buat sendiri."
Keduanya lalu mengambil dua batang pangkat bambu dan mulailah mereka bertanding untuk berlatih. Gerakan kedua orang muda yang kini usianya sudah tujuh belas tahun itu cepat dan Juga bertenaga. setiap kali tongkat mereka bertemu, Berasa getaran dari beradunya dua tenaga yang dahsyat.
Setelah berlatih tongkat, mereka lalu berlatih ilmu silat tangan kosong Sin-long Ciang-hoat (Silat Tangan Kosong paga Sakti) dan kembali keduanya bergerak cepat dan mantap sekali. Setiap gerangan mendatangkan angin mengiuk dan tangan mereka bergerak sedemikian cepatnya sehingga tampaknya mereka memiliki lebih dari dua tangan! Keringat membasahi leher mereka, ketika mereka berhenti berlatih. Sambil mengusap keringat di leher dengan ujung lengan bajunya Han Lin bertanya.
"Suheng, setelah engkau selesai belajar Ilmu kepada suhu, apa yang akan kau kerjakan?"
Mendapat pertanyaan itu, yang datangnya tiba-tiba dan tidak disangkanya sama sekali, A-seng menatap wajah Han Lin dengan tajam dan dia lalu menundukkan mukanya, menghela napas panjang menjawab.
"Kalau aku telah selesai belajar suhu menyuruhku turun gunung, yang pertama-tama kukerjakan adalah menyelidiki dan mencari para pembunuh keluarga ku."
"Ah, suheng. Bukankah losuhu telah mengajarkan bahwa tidak baik bagi kita untuk mendendam, dan perbuatan yang lahir dari dendam adalah kekejaman dan kejahatan?"
A-seng memandang wajah Han Lin dan tersenyum.
"Aku tidak mendendam sute. Akan tetapi aku percaya bahwa orang-orang yang sudah melakukan kekejaman seperti itu, membantai sepuluh orang yang tidak berdosa, tentu akan tetap menjadi manusia-manusia jahat yang perlu dibasmi. Kalau aku membasmi mereka, bukan karena mendendam melainkan untuk membasmi kejahatan seperti yang diajarkan suhu. Dan engkau sendiri, sute? Apa yang akan kau lakukan setelah engkau selesai berguru?"
Han Lin tidak menjawab, melainkan termenung dan beberapa kali menghela napas panjang.
"Sute, semenjak kita berkenalan dan menjadi saudara seperguruan, aku belum pernah mendengar tentang riwayatmu. Engkau sendiri sudah tahu akan riwayat-ku. Seluruh keluargaku terbunuh oleh orang-orang jahat. Aku hidup sebatang kara dan ditolong oleh suhu. Akan tetapi bagaimana dengan engkau? Aku yakin engkau mempunyai riwayat yang menarik karena aku melihat engkau bukan seperti orang muda biasa. Ataukah engkau belum percaya kepadaku sehingga tidak mau menceritakan riwayatmu kepadaku?"
"Bukan begitu, suheng, akan tetapi...."
"Akan tetapi apakah, sute? Sudahlah, kalau engkau tidak percaya kepadaku, jangan ceritakan dan biarlah engkau tetap merupakan seorang yang penuh rahasia bagiku."
"Losuhu sendiri tidak pernah mendengar tentang riwayatku, juga belum pernah bertanya. Akan tetapi suhu Bu-beng Lo-jin tentu saja sudah mendengarnya dari ketiga suhu Gobi Sam-sian. Aku tidak ingin orang lain mengetahui riwayatku......."
"Hemm, akan tetapi aku bukan orang lain, sute. Aku adalah suhengmu, bukan? Atau...... engkau tidak menganggap aku ini suhengmu?"
Han Lin merasa tersudut dengan ucapan A-seng itu. Walaupun ucapan itu di keluarkan dengan ramah dan lembut namun menyudutkannya dan membuat dia tidak berdaya untuk mengelak lagi.
"Baiklah, biar engkau mendengar pula riwayatku, akan tetapi engkau harus berjanji dulu tidak akan menceritakan kepada orang lain."
Dengan sikap lucu A-seng bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan depan dada seperti memberi hormat dan berkata.
"Aku berjanji, demi Bumi dan Langit, tidak akan membuka rahasiamu, sute."
"Baiklah. Nah, dengarlah. Namaku yang sesungguhnya bukan Han Lin melainkan Cheng Lin."
"Bukan she Han melainkan she Cheng? Akan tetapi mengapa harus diganti dengan she Han?"
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Agar orang tidak mengetahui bahwa she Cheng, bahwa aku adalah putera Kaisar Cheng Tung."
A-seng melompat dari tempat duduknya dan berdiri terbelalak memandang kepada Han Lin.
"Putera Kaisar Cheng Tung? Ah, kalau begitu engkau adalah seorang pangeran! Ah, aku tidak tahu, maafkan."
Dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan Han Lin.
"Hushh! Apa-apaan engkau ini? Dengan sikapmu itu sama saja engkau hendak mengatakan kepada semua orang siapa diriku!"
Tegur Han Lin. Mendengar teguran ini, A-seng bangkit berdiri lagi. Sikapnya kini berubah menjadi menghormat sekali, bahkan memandangpun tidak berani langsung ke wajah Han Lin.
"Duduklah dan jangan bengong begitu,"
Kata Han Lin.
"Atau engkau tidak ingin mendengar riwayatku?"
"Maaf, tentu saja aku mau mendengarnya. Harap lanjutkan."
Nada suaranya juga penuh hormat.
"Ibuku adalah seorang Puteri Mongol. Belasan tahun yang lalu, Kaisar Che Tung pernah menjadi tawanan bangsa Mongol selama hampir dua tahun ketika itu dia bertemu dengan ibuku mereka lalu menikah. Sebelum aku di lahirkan, ayahku itu kembali ke selatan dan menjadi kaisar, ibu menanti-nanti penjemputan ayah yang tak kunjung datang. Yang muncul malah seorang datuk jahat sekali berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Huangho) bernama Suma Kiang. Penjahat itu menculik ibu dan aku, dan kami dibawa lari ke selatan. Kami ditolong oleh ketiga suhu Gobi Sam-sian dan dibawa lari ke Pao-touw. Ibu dan aku tinggal di Pao-touw, akan tetapi ibu telah menjadi gagu karena menggigit putus lidahnya sendiri ketika hendak diperkosa Suma Kiang sebelum ditolong Go-bi Sam-sian."
"Hemm, betapa jahatnya Suma Kiang itu!"
Kata A-seng dengan gemas.
"Memang dia jahat sekali. Ketika aku berusia sepuluh tahun, muncul lagi Suma Kiang bersama seorang wanita yang menurut keterangan ketiga suhu Go-bi Sam-sian kemudian adalah Sam Ok yang terkenal sebagai datuk sesat yang lihai. Kiranya tempat persembunyian kami diketahui oleh Suma Kiang! Kami dikejar-kejar. Go-bi Sam-sian membela kami akan tetapi mereka kalah oleh dua orang datuk sesat itu. Ibuku yang hendak ditangkap Suma Kiang meloncat ke dalam jurang yang amat dalam!"
"Aduh kasihan ibu paduka......!"
Han Lin memandangnya dengan sinar mata menegur.
"Kasihan sekali ibumu, sute.....!"
A-seng berkata lagi, biarpun agak kaku menyebut sute kepada "pangeran"
Itu.
"Aku dijadikan perebutan antara Suma Kiang dan Sam Ok. Lalu muncul Toa Ok dan Suma Kiang melarikan diri. Kemudian aku menjadi rebutan antara Toa Ok dan Sam Ok, lalu muncullah suhu Bu-beng Lo jin yang mengalahkan dan mengusir mereka."
"Suhumu itu sakti bukan main. Tapi.. heran siapa yang lebih sakti di anta suhumu dan suhu kita di sini."
"Setelah itu, suhu Bu-beng Lo-jin menyusul Go-bi Sam-sian dan mengobati mereka, bahkan suhu It-kiam-sian kehilangan lengan kanannya ketika bertanding melawan Sam Ok. Oleh suhu Bu-beng Lojin aku lalu diserahkan kepada ketiga suhu Go-bi Sam-sian untuk dididik selama lima tahun. Setelah lima tahun ketika suhu itu membawa aku ke Puncak Bambu dan menyerahkan aku kepada suhu Bu beng Lo-jin."
"Paduka..... eh, engkau beruntung sekali dapat menjadi murid Bu-beng Lojin dan juga murid suhu. Akan tetapi setelah nanti engkau selesai belajar sini dan turun gunung, apa yang aka kau lakukan, sute? Apakah engkau juga akan membalas dendam kepada musuh musuhmu terutama kepada Suma Kiang yang menyebabkan kematian ibumu? apakah engkau juga akan mencari menyusul ayahmu di kota raja?"
"Kalau aku bertemu dengan Suma Kiang dan manusia itu masih jahat seperti dulu, aku tentu akan membasminya. Orang macam dia itu amat berbahaya bagi manusia dan dunia. Juga orang-orang seperti ketiga Sam Ok itu akan kutentang. Tentang menyusul ayahku...... aku masih belum mengambil keputusan tetap, akan tetapi ingin juga aku berhadapan dengan ayahku untuk menegurnya mengapa dia tidak menyuruh jemput ibuku dan membiarkan ibu hidup merana."
"Akan tetapi, sute. Andaikata engkau -dapat menghadap Kaisar Cheng Tung, bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa engkau adalah puteranya? Apa buktinya?"
"Buktinya? Buktinya adalah ini!"
Han Lin mengeluarkan Suling Pusaka Kemala yang tidak pernah terpisah dari badannya, selalu diselipkan di pinggang dan dibawa ke manapun dia pergi.
A-seng memandang suling itu dengan mata terbelalak kagum.
"Ah, betapa indahnya!"
Katanya dan otomatis dia mengulurkan tangannya. Han Lin menyerahkan suling itu kepadanya dan A-seng mengamatinya dengan penuh perhatian.
"Sebuah pusaka yang indah sekali!"
Katanya mengagumi ukiran naga pada suling kemala itu.
"Dapatkah engkau memainkannya, sute?"
"Aku masih ingat betapa ibuku memainkan suling itu, meniup sebuah lagu Mongol."
Kata Han Lin. Memang sering-kali dia, selagi seorang diri, meniup suling itu dan meniru lagu yang pernah dimainkan ibunya sehingga dia menjadi hafal.
"Tentu indah sekali! Maukah engkau memainkan lagu itu untukku, sute?"
Han Lin segera meniup suling dan memainkan lagu "Suara hati seorang gadis""yang dia hafal lagunya akan tetapi tidak tahu apa judulnya. A-seng melihat dan mendengarkan dengan penuh perhatian dan setelah Han Lin selesai memainkan suling itu, dia bertepuk tangan memuji.
"Hebat sekali! Indah sekali, sute?"
Katanya. Pada saat itu, terdengar seruan lembut.
"Omitohud...!"
Dua orang pemuda itu menoleh dan mereka segera menjatuhkan diri berlutut ketika melihat bahwa yang datang adalah Cheng Hian Hwesio.
"Suling apakah yang kau pegang dan lagu apakah yang kau mainkan tadi, Han Lin?"
Han Lin tidak dapat berbohong.
"Ini suling pemberian mendiang ibu teecu, losuhu. Dan lagu itupun teecu pelajari dari mendiang ibu teecu."
Cheng Hian Hwesio menghela napas panjang.
"Omitohud. Pusaka warisan harus disimpan dengan baik dan tidak boleh sembarangan diperlihatkan dan diceritakan kepada orang lain."
Han Lin merasa bersalah, akan tetapi karena sudah terlanjur, diapun berkata.
"Maaf, losuhu. Suheng A-seng bukanlah orang lain, melainkan suheng teecu sendiri."
"Baiklah, akan tetapi jangan sekali kali membuka rahasia warisan orang tua kepada orang lain. Pula, engkau bicara tentang mendiang ibumu. Siapa yang bilang bahwa ibumu sudah meninggal dunia?"
"Losuhu, ibu terjatuh ke dalam jurang yang tidak tampak dasarnya saking curamnya. Tidak mungkin orang terjatuh ke jurang seperti itu tidak menjadi tewas."
"Omitohud, apakah ada buktinya bahwa ibumu sudah tewas?"
Han Lin tertegun, dan menggeleng kepalanya.
"Memang belum ada buktinya losuhu. Akan tetapi bahkan suhu Bu-beng Lo-jin sendiri mengatakan bahwa tidak mungkin orang terjatuh dari tempat setinggi itu dapat terbebas dari kematian.""
"Omitohud, suhumu terlalu memandang rendah kekuasaan dari Yang Maha Kuasa. Pinceng juga tidak dapat mengatakan apakah ibumu masih hidup, akan tetapi sebelum melihat buktinya, sebaiknya jangan membicarakan ibumu seperti orang yang sudah mati."
"Baik, losuhu, dan maafkan kesalahan teecu."
"Sudahlah, sekarang lebih baik kalian berlatih lagi, pinceng ingin melihat kemajuan kalian."
"Suhu menghendaki kami berlatih silat apakah?"
Tanya A-seng kepada gurunya.
"Coba kalian berlatih silat tangan kosong, karena silat tangan kosong merupakan dasar dari segala macam ilmu silat bersenjata. Pinceng ingin melihat sampai di mana kemajuan kalian dalam ilmu silat tangan kosong."
"Akan tetapi, suhu. Bagaimana dapat dilihat kemajuan masing masing kalau kami berdua melakukan ilmu silat tangan osong yang sama? Kami sudah saling mengenal gerakan masing-masing. Berbeda kalau kami berlatih dengan ilmu ilat yang berbeda, baru dapat dilihat kemajuan masing-masing."
Kata A-seng.
"Benar juga pendapatnm, A-seng. Han Lin, berlatihlah bersama A-seng dengan menggunakan ilmu silat tangan kosong seperti yang kau pelajari dari Go-bi Sam-sian atau Bu-beng Lo-jin."
"Baik, losuhu."
Jawab Han Lin dengan patuh.
"Nah, mulailah."
Kata pula Cheng Hian Hwesio sambil duduk di atas batu besar, siap menonton kedua orang murid itu berlatih.
"Mulailah, sute. Aku sudah siap!"
Kata A-seng dan nada suaranya gembira sekali.
"Baik, suheng. Lihat seranganku!"
Han Lin lalu menyerang, tidak lagi menggunakan ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat yang diajarkan hwesio itu, melainkan menyerang dengan ilmu silat Ngo-heng Sin kun (Silat Tangan Kosong Lima Unsur yang diajarkan oleh Bu-beng Lo-jin. A seng segera menyambutnya dengan mengelak dan selanjutnya dia membalas dan bersilat dengan ilmu silat Sin-liong Ciang hoat (Silat Tangan Kosong Naga Sakti) yang diajarkan oleh Cheng Hian Hwesio.
Mereka lalu saling serang dengan hebatnya. Akan tetapi tentu saja keadaan Han Lin lebih untung. Pemuda ini sudah mengenal gerakan Sin-liong Ciang hoat yang juga dipelajarinya dan dia mengerti ke arah mana A-seng akan menyerang. Sebalikny A-seng sama sekali tidak mengenal Ngo heng Sin-kun sehingga kalau Han Lin menyerangnya, dia harus waspada sekali karena dia tidak tahu perubahan pada ilmu silat itu. Ilmu silat Ngo-heng Sin kun berdasarkan bekerjanya Ngo-heng (Lima Unsur), yaitu tanah, air, api, kayu dan logam yang saling menunjang dan saling menundukkan. Perubahannya banyak sekali dan A-seng menjadi bingung dengan perubahan-perubahan gerakan ilmu silat itu.
Sebaliknya, Han Lin yang sudah mempelajari Sin-liong Ciang-hoat, tentu saja dapat berjaga diri dengan baik terhadap serangan jurus-jurus ilmu silat ini. Keadaannya menjadi tidak berimbang dan setelah terdesak, dalam jurus ke dua puluh lima dada A-seng kena dorongan tangan Han Lin dan dia jatuh terjengkang.
Tentu saja Han Lin tidak menggunakan tenaga sepenuhnya dan tidak pula memukul melainkan hanya mendorong dengan tenaga terbatas sehingga A-seng tidak menderita luka. Hanya yang mengherankan hati Han Lin, mengapa gerakan A-seng terasa lambat sekali sehingga dorongannya itu tidak dapat ditangkis atau dielakkan.
"Ah, maaf, suheng.....!"
Kata Han Lin sambil membantu A-seng bangun.
"Tidak mengapa, sute. Ilmu silatmu tadi hebat sekali!"
A-seng memuji sambil tersenyum.
Cheng Hian Hwesio mengerutkan alisnya.
"A-seng, gerakanmu tadi terlambat sehingga engkau terkena dorongan Han Lin. Andaikata gerakanmu tidak demikian lambat, tentu engkau masih dapat mengelak atau menangkis."
"Suhu, gerakan kaki tangan sute demikian rumit dan aneh perubahannya sehingga teecu menjadi bingung."
"Hemm, engkau harus belajar lebih giat lagi."
Kata Cheng Hian Hwesio dan diapun masuk ke dalam pondok dengan alis berkerut. Setelah hwesio itu memasuki pondo Han Lin berkata,
"Suheng, maafkan aku. Doronganku tadi membuat engkau ditegur oleh losuhu."
"Tidak mengapalah, sute. Memang aku harus belajar lebih keras lagi agar dap memperoleh kemajuan. Mari kita latihan lagi, sute. Sekarang kita mempergunaka senjata. Aku akan mainkan In-Iiong-tung hoat (Ilmu Tongkat Naga Awan) dan engkau boleh memainkan ilmu silat senjata yang kau pelajari dari Bu-beng Lojin."
"Baik, suheng. Aku akan mempergunakan tongkat bambu sebagai pedang dan mainkan Leng-kong-kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin) yang kupelajari dari suhu."
"Bagus, dengan demikian kita dapat lebih cepat memperoleh kemajuan."
Dua orang pemuda Itu lalu berlatih silat dengan mempergunakun tongkat bambu. Akan tetapi berbeda dengan tadi, mereka bersilat dengan dua macam ilmu silat, bahkan Han Lin bermain silat pedang yang tentu saja berbeda jauh dengan ilmu silat tongkat yang dimainkan A-seng. Dengan memainkan dua macam Ilmu silat ini dengan sendirinya pertandingan itu menjadi lebih ramai dan me-reka juga bersilat dengan lebih hati-hati. Terutama sekali bagi A-seng yang tidak Mengenal ilmu pedang yang dimainkan Han Lin.
Dia harus waspada sekali karena tidak tahu perubahan gerakan pedang bambu di tangan Han Lin. Dia melawan mati-matian dengan ilmu tongkat In-Iiong-Tung-hoat (Ilmu Tongkat Naga Awan). Akan tetapi seperti juga tadi, Han Lin mendapat lebih banyak kesempatan untuk mendesak A-seng karena dia sudah tau akan perubahan gerakan ilmu tongkat In Liong-tung-hoat itu, sebaliknya A-seng sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal gerakan ilmu pedang Leng-kok-kia sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin) yang mainkan Han Lin.
Akan tetapi lima puluh jurus kemudian tongkat bambu yang dimainkan sebagai pedang di tangan Han Lin memukul pundak kirinya, Han Lin merasa bahwa gerakan A-seng kurang cepat sehingga dapat "terbacok"
Pedang.
"Wah, ilmu pedangmu juga hebat sute! Aku menerima kalah!"
"Suheng, hal ini karena aku sudah ngenal baik ilmu tongkatmu sedangkan engkau sama sekali tidak pernah mengenal ilmu pedangku."
"Mulai sekarang sebaiknya kita berlatih secara rajin sute. Dengan demikian aku dapat memperoleh kemajuan dalam ilmu yang kupelajari. Engkaupun dapat memperoleh kemajuan dalam ilmu-ilmu yang kau dapatkan dari Bu-beng Lo-jin."
"Baiklah, suheng. Kalau memang engkau dan juga losuhu menghendaki demikian, tentu saja aku suka sekali agar dapat saling memajukan ilmu yang kita pelajari."
Setelah Han Lin pulang ke Puncak Bambu, meninggalkan Puncak Awan Putih, dan A-seng menghadap Cheng Hian Hwesio, dia berkata dengan suara biasa seperti membuat laporan.
"Teecu senang sekali dapat berlatih dengan sute Han Lin yang mempergunakan Ilmu-ilmu yang dia pelajari dari Bu beng Lo-jin. Teecu sudah berlatih ilmu tongkat Sin-liong-tung-hoat, dilawan sute dengan ilmu pedang yang disebut Leng-kong-kiam-sut. Wah, hebat sekali ilmu pedangnya itu, suhul Teecu dapat bertahan sampai lima puluh jurus dan akhirnya terkena bacokan pada pundak kiri teecu. Memang hebat sekali. Pantas saja sute Han Lin berkali-kali mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Bu-beng Lo-jin merupakan ilmu pilihan dan nomor satu di dunia persilatan, tidak mungkin ada yang mampu menandinginya!"
"Omitohud, begitukah yang dikatakan Han Lin?"
Kata Chcng Hian Hwesio sambil mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi sute Han Lin mengatakan demikian bukan untuk menyombongkan diri, suhu. Dia hanya mengatakan yang sebenarnya. Mulai sekarang teecu akan berlatih secara demikian dengan dia. Dia memainkan ilmu ilmu yang didapatinya dari Bu-beng Lojin dan teecu memainkan ilmu-ilmu dari suhu. Dengan demikian, tentu teecu akan memperoleh kemajuan pesat."
Kerut merut di antara alis Cheng Hian Hwesio semakin mendalam.
"A-seng, apakah engkau merasa bahwa selama menjadi murid pinceng engkau tidak memperoleh kemajuan dalam ilmu silatmu?"
A-seng memandang kepada suhunya dengan mata terbelalak.
"Ah, tentu saja teecu tidak "merasa begitu, suhu! Teecu telah memperoleh kemajuan besar, dan terima kasih atas semua jerih payah dan kebaikan hati suhu! Akan tetapi dibandingkan sute Han Lin, memang teecu masih kalah. Hal ini mungkin karena teecu memang kalah berbakat dibandingkan sute Han Lin. Dan teecu tidak merasa penasaran kalau kalah olehnya."
"Engkau tidak perlu kalah olehnya, A-seng. Tidak ada ilmu yang tidak terkalahkan di dunia ini. Juga ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Bu-beng Lo-jin bukannya tidak terkalahkan. Sekarang perhatikan baik-baik, engkau harus memperdalam ilmu silat tangan kosong Sin-liong Clung-hoat dan ilmu tongkat In liong Tung-hoat dengan mempelajari inti-intinya yang tersembunyi dari pinceng. Setelah itu, pinceng akan mengajarkan ilmu It yang-ci yang pinceng rahasiakan dan belum pernah pinceng ajarkan kepada siapapun juga. Pinceng hanya akan mengajarkannya kepadamu."
A-seng terbelalak memandang kepada wajah suhunya.
"Apakah suhu juga tidak akan mengajarkannya kepada sute Han Lin, suhu?"
Cheng Hian tampak ragu-ragu, akan tetapi kemudian menggeleng kepala.
"Juga tidak karena dia sudah mendapat banyak ilmu silat dari Bu-beng Lo-jin. Ia telah sempurna semua ilmu-ilmu yang kau pelajari, baru pinceng akan mengajarkan Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih) kepadamu?"
(Lanjut ke Jilid 08)
Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
"Hoat-sut (Ilmu Sihir)?"
"Ya, ilmu sihir. Akan tetapi ilmu sihir yang bersih, bukan untuk melaksanakan kejahatan, melainkan untuk menolak segala macam ilmu sihir yang hitam."
Tentu saja A-seng merasa senang bukan main, akan tetapi dia menahan dan tidak memperlihatkan perasaannya pada wajahnya.
"Teecu akan menaati semua petunjuk suhu dan akan mempelajari dengan tekun."
Hati Cheng Hian Hwesio terbakar. Dia merasa penasaran sekali karena seolah dia merasa direndahkan, lebih rendah dari Bu-beng Lo-jin! Beginilah kerjanya nafsu. Biarpun Cheng Hian Hwesio telah menjadi pendeta dan pertapa sejak puluhan tahun, namun tetap saja Nafsu masih belum bersih benar dari hati akal pikirannya. Hati akal pikiran memang menjadi tempat tinggal Nafsu yang mengangkat diri menjadi Raja, menjadi Aku dan selalu memaksa manusia untuk memperhatikan Aku-nya. Aku yang paling benar, Aku yang paling baik, Aku yang paling pandai dan sebagainya. Aku tidak kalah oleh orang lain!
Sejak manusia dilahirkan, dia sudah disertai nafsu karena nafsu amat diperlukan untuk mempertahankan hidupnya, diperlukan untuk memajukan hidupnya, membela dirinya, dan membuat manusia dapat menikmati hidup di dunia ini. Tanpa adanya nafsu kita tidak dapat hidup atau setidaknya tidak dapat hidup normal sebagai manusia. Mungkin kita akan hidup sebagai binatang yang hanya mengandalkan naluri belaka, tidak bisa memperbarui dan memajukan segala sesuatu, tidak dapat hidup senang karena nafsu memang tujuannya hanya satu, yakni kesenangan! Nafsu memperkenalkan diri kita dengan kesenangan, kenikmatan dan kepuasan, namun sebaliknya juga membuat kita berhubungan dengan kesusahan, sesengsaraan dan kekecewaan!
Manusia yang mampu menguasai dan mengendalikan nafsu, dia akan menjadi seorang yang hidupnya berbahagia, karena nafsu yang terkuasai akan menjadi peserta dan juga pembantu yang amat berguna bagi kehidupan, mendatangkan kesenangan dan kepuasan. Akan tetap apabila nafsu tidak terkendali, sebalikn nafsu malah mengendalikan kita, maka kita akan terseret ke dalam jurang! Kita akan menjadi pengejar kesenangan dan biasanya, kalau nafsu sudah menguasai diri, dalam pengejaran kesenangan hati kita tidak segan melakukan apa saja yang menyimpang dari kebenaran.
Nafsu mencari kesenangan dan kecukupan melalui harta memang perlu bagi kehidupan. Kita hidup tidak akan terepas dari kebutuhan yang hanya dapat ditutup dengan uang. Namun kalau nafsu mengejar uang sudah mencengkeram kita, apa jadinya? Kita tidak segan-segan untuk menipu, mencuri, merampok, korupsi sebagainya. Nafsu untuk mencari kesenangan melalui kedudukan memang baik. Kita hidup juga memerlukan agar menjadi orang pandang, agar menjadi orang berguna, akan tetapi kalau nafsu mengejar kedudukan sudah mencengkeram kita, kita tidak segan-segan untuk memperebutkan kedudukan dan kekuasaan dengan saling nenjegal, saling melakukan fitnah, bahan saling membunuh!
Nafsu sex adalah hal yang wajar, terutama sekali sebagai perkembang, biakan manusia. Namun kalau nafsu sex sudah mencengkeram kita, apa jadinya? Pelacuran, perjinaan, perkosaan yang terjadi di mana-mana menunjukkan keganasan nafsu sex yang sudah menguasai manusia. Nafsu teramat penting, namun juga teramat berbahaya bagi kita manusia, satu-satunya cara untuk membuat nafsu menjadi pelayan yang baik dan bukan menjadi majikan yang jahat, adalah MENGUASAINYA! Namun dapatkah kita menguasai nafsu? Dapatkah semua pengertian tentang bahayanya pengaruh nafsu itu menguasai nafsu itu sendiri? kenyataannya tidak demikian.
Semua pencuri tahu bahwa mencuri itu tidak baik, namun mereka tidak dapat menghentikan kebiasaannya mencuri. Semua koruptor tahu bahwa pekerjaan mereka itu tidak baik, namun mereka tidak dapat menghentikan kebiasaan itu. Nafsu membuat orang menjadi ketagihan dan kalau sudah begitu, pengertian tidak ada gunanya. Bahkan pengertian di hati akal pikiran menjadi pembela nafsu sehingga para koruptor mengatakan.
"Ah, aku korup karena terpaksa, orang lain juga berbuat seperti itu."
Dan sebagainya.
Hati dan pikiran para pencuri yang sudah bergelimang nafsu juga menjadi pembela dengan kata-kata,
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, aku mencuri karena terpaksa untuk memberi makan anak isteri, untuk menyekolahkan anak."
Dan sebagainya. Tidak, pengertian tidak dapat mengekang nafsu. Hati akal pikiran tidak dapat menundukkan nafsu.
Lalu apa yang harus kita lakukan? Meniadakan nafsu? tidak mungkin. Membiarkan nafsu merajalela amat berbahaya. Mengendalikan nafsu juga hampir merupakan suatu ketidak-mungkinan. Apa yang harus kita perbuat? Jalan satu-satunya hanya menyerahkan segalanya kembali kepada Tuhan! Tuhan Maha Pencipta. Juga Tuhan yang memberi nafsu kepada kita. Hanya Tuhanlah deengan KekuasaanNya yang mampu mengekang nafsu. Hanya Kekuasaan Tuhan saja yang dapat membimbing kita, memperkuat batin kita untuk tidak terseret oleh nafsu, melainkan menjadikan nafsu sebagai alat, sebagai pelayan dalan kehidupan ini. Penyerahan diri, kepasrahan dengan penuh keikhlasan, penuh ketawakalan, sepenuh iman. Cheng Hian Hwesio adalah seorang yang terlatih. Hampir setiap hari dia nenggunakan kesempatan dalam waktu luangnya untuk bersamadhi, memiliki batin yang telah menjadi kuat. Namun, menghadapi nafsu sendiri diapun masih kalah.
Melihat kenyataan bahwa muridnya kalah oleh murid Bu-beng Lo-jin mengugah semangatnya yang tidak mau kalah oleh dorongan nafsu. Ingin menang. Ingin lebih besar, lebih pandai, lebih sakti! Kalau saja di sana tidak ada Bu-beng Lo-jin, tentu dia tidak akan membanding-bandingkan. Akan tetapi Bu- beng Lojin ada di sana, sebagai sahabatnya, kenalan lamanya ketika dia berkelana Pegunungan Himalaya. Dia tahu bah Bu- beng Lo-jin adalah seorang yang sakti. akan tetapi dia merasa tidak kalah, bahkan dalam banyak hal dia seringkali menasihati Bu-beng Lo-jin yang dianggapnya sebagai seorang yang tidak tentu agama , tosu bukan hwesio pun bukan. Akan tetapi mempelajari segala macam falsafah agama dan ajaran Khong-hu-cu. Kalau saja Han Lin tidak menjadi murid Bu beng Lo-jin, diapun tentu tidak membandingkan kepandaian Han Lin dengan kepandaian muridnya yang sama mudanya yaitu A-seng.
Mulai hari itu, Cheng Hian Hwesio mulai menggembleng A-sengdengan lebih tekun, dan semua ilmunya diajarkan kepada murid itu. Dua ilmunya yang tadinya merupakan ilmu simpanannya, yaitu Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok Jalan Darah) yang disebut It-yang-ci (Menotok Satu jari) dan ilmu Pek-in Hoat-sut yang merupakan ilmu yang berdasarkan kekuatan batin dan hawa sakti, mulai diajarkan kepada A-seng, dan ilmu-ilmu yang lain juga diperdalam sehingga A-seng memperoleh banyak sekali kemajuan.
Cheng Hian Hwesio menjadi lupa bahwa Han Lin adalah cucu buyut keponakannya sendiri, dan kepada pemuda itu dia hanya mengajarkan Sin-liong Ciang-Hoat dan In-liong-tung-hoat, ilmu silat langan kosong dan ilmu tongkat itu. Akan tetapi, Han Lin yang digembleng oleh Bu-beng Lo-jin yang menurunkan semua ilmunya, antara lain Sin-tek Tung-i aat (Ilmu Tongkat Bambu Sakti), Ngo-leng Sin-kun (Ilmu Silat Tangan Kosong lima Unsur), Leng-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Dingin), juga ilmu-ilmu berdasarkan sin-kang yang tinggi, seperti Jeng-kin-cui (Beratkan Badan Seribu Kati), Sia-kut-hoat (Ilmu Lemaskan Tulang) dan semacam ilmu melalui suara yang disebut Sai-cu Ho-kang (Auman Singa). Ilmu ini merupakan suara melengking yang dapat memunahkan semua kekuatan sihir lawan, dan juga dapat menggetarkan jantung, membuat lawan menyerah tanpa bertanding seperti seorang yang beerhadapan dengan seekor singa yang mengaum-ngaum.
Apabila kita memperhatikan waktu maka waktu merayap bagaikan siput. Apa lagi kalau kita menanti sesuatu yang telah kita harapkan, agaknya waktu tidak pernah berjalan maju. Menanti datangnya teman yang telah berjanji dengan kita untuk suatu pertemuan, terlambat sejenak saja rasanya seperti sehari. Akan tetapi sebaliknya kalau kita tidak memperhatikan waktu, maka waktu terbang dengan sangat cepatnya sehingga bertahun-tahun lewat, rasanya seperti baru beberapa hari saja. Kalau seorang tua mengingat-ingat ketika dia masih kanak-kanak, maka seperti baru terjadi beberapa bulan saja padahal sudah lewat puluhan tahun!
Demikianlah, lima tahun lewat dengan sangat cepatnya sejak A-seng menjadi murid Cheng Hian Hwesio. Dalam lima tahun itu, anak yang cerdik itu telah menguasai semua ilmu yang diajarkan kepadanya oleh Cheng Hian Hwesio. Dia telah menguasainya dengan baik sekali, Cheng Hian Hwesio mengajarkan ilmu-ilmunya yang rahasia seperti It-yang-ci dan Pek-in Hoat-sut dengan diam-diam, bahkan dua orang muridnya, Nelayan Gu dan Petani Lai sendiri juga tidak mengetahui bahwa sute mereka yang muda itu telah mempelajari kedua ilmu yang mereka tahu merupakan ilmu simpanan suhu mereka itu.
Pada suatu malam terang bulan. Nelayan Gu dan Petani Lai setelah melayani guru mereka makan malam dan mereka sendiripun sudah makan malam, masih duduk di ruangan belakang dan mereka membicarakan sute mereka yang muda itu.
"Nelayan Gu, apakah kau juga memperhatikan apa yang kulihat?"
"Apakah maksudmu?" "Mengenai diri sute kita A-seng. Dia telah belajar lima tahun kepada suhu dan agaknya dia telah memperoleh kemajuan yang amat pesat.
Kemarin dulu ketika aku melihat dia berlatih silat In liong-tung, aku melihat gerakannya ringan seperti awan dan dahsyat seperti naga, mengingatkan aku akan gerakan suhu sendiri. Agaknya dalam ilmu itu dia telah melampaui kita."
Kata Petani Lai.
"Hemm, hal itu dapat saja terjadi. Dia masih muda dan kita tahu bahwa sebelum belajar kepada suhu, dia telah memiliki dasar yang amat baik dan kuat. Ditambah lagi ketekunannya berlatih yang selalu mengagumkan hatiku."
"Akupun melihatnya, akan tetapi ada suatu hal yang kadang merisaukan hatiku! Dia tampak luar biasa cerdiknya dan tampaknya suhu amat menyayangnya, dan betapa seringnya suhu berdua saja dengan dia dalam kamar suhu. Bukan tidak mungkin suhu mengajarkan ilmu-ilmu rahasia yang tidak suhu ajarkan kepada kita."
Kata Nelayan Gu.
"Maksudmu, suhu mengajarkan It-yang ci dan Pek-in Hoat-sut kepada sute A seng?"
Tanya Petani Lai dengan alis berkerut.
"Sangat boleh jadi. Pernah aku secara tidak sengaja lewat di belakang kamar suhu ketika mereka berdua berada di dalam dan aku mendengar suara bercuitan, suara yang hanya ditimbulkan oleh ilmu It-yang-ci apabila dipergunakan."
"Ah, aku ingat sekarang. Suhu pernah mencari lilin dan minta aku mencarikan ke dusun di bawah gunung. Sebanyak tiga belas batang lilin. Bukankah suhu pernah menyinggung bahwa mempelajari Pek-in Hoat-sut membutuhkan tiga belas lilin untuk latihan? Benar sekali, Nelayan Gu. Mungkin anak itu telah diberi pelajaran It-yang-ci dan Pek-in Hoat-sut!"
"Akan tetapi mengapa? Kita yang sudah puluhan tahun dengan setia mengikuti dan melayani suhu, tidak diajarkan ilmu-ilmu itu, sedangkan A-seng yang belum kita ketahui benar asal-usulnya telah diberi pelajaran ilmu rahasia itu!"
Kata Nelayan Gu dengan penasaran.
Tiba-tiba Petani Lai memberi isarat kepada rekannya dan diapun bergerak ke tempat yang tertutup bayang-bayang gelap. Perbuatannya ini ditiru oleh Nelayan Gu yang melihat berkelebatnya bayangan dua orang, agak jauh di belakang pondok.
"Ada orang!"
Bisik Petani Lai.
"Ya, aku melihat dua orang." "Mencurigakan sekali. Mari kita bayangi ke belakang, mengambil jalan memutar."
Dengan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) mereka yang tinggi, kedua orand itu lalu melompat ke dalam gelap di bawah bayang-bayang pohon. Bulan bersinar terang sehingga menciptakan banya bayang-bayang pohon dan di bawah bayang-bayang inilah kedua orang itu melakukan penyelidikan ke belakang pondok. Di belakang pondok itu terdapat sebuah kebun sayur dan di sebelah sananya terdapat sepetak rumput. Mereka bersembunyi ketika melihat ada seorang berdiri d atas petak rumput itu, menghadap bulan membelakangi mereka dan orang itu melipat kedua lengan di depan dada.
Kemudian, tampak bayangan dua orang berkelebat dan tiba-tiba dua orang muncul dan berada di depan orang yang berpeluk tangan itu.
"Kongcu.....!"
Mereka memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu membungkuk sampai dalam.
"A-kiu dan A-hok, sudah kukatakan jangan lagi muncul di sini. Apa mau kalian malam-malam datang ke sini?"
Tanya orang yang menghadap bulan itu dengan suara keren dan Nelayan Gu bersama Petani Lai yang mengintai menjadi ter-heran-heran karena mereka mengenal suara A-seng! Akan tetapi kalau suara A-seng selalu ramah dan merendah, suara itu kini amat angkuh dan berwibawa!
"Ampunkan kami, kongcu. Akan tetapi kami diutus oleh pangcu untuk memanggil kongcu pulang karena perkumpulan kita akan mengadakan perayaan peringatan ke lima puluh tahun perkumpulan kita. Kata pangcu kongcu sekarang tentu telah menjadi seorang pemuda dewasa dan sudah cukup mempelajari ilmu, maka Kongcu diharapkan untuk pulang sekarang juga bersama kami!"
Tiba-tiba A-seng, orang yang tadi bersedakap itu, membalikkan tubuhnya dan memandang ke arah di mana Nelayan Gu dan Petani Lai bersembunyi.
"Di sana ada dua orang bersembunyi. Tangkap mereka!"
Perintahnya kepada dua orang yang dipanggil sebagai A-kiu da A-hok itu. A-kiu dan A-hok bergerak cepat kali, tiba-tiba tubuh mereka sudah melayang ke arah di mana dua itu bersembunyi dan langsung mereka menyerang menggunakan sebatang pedang di tangan masing-masing. Nelayan Gu dan Petani Lai, biarpun terheran-heran dan terkejut mereka sudah siap siaga dan menghadapi serangan mendadak itu, mereka menyambut dengan gerakan senjata mereka.
"Trang-tranggggg.....!"
Bunga api berpijar-pijar ketika dayung baja dan cangkul itu bertemu dengan kedua pedang penyerang mereka. Segera terjadi perkelahian hebat antara mereka dan kedua orang murid Cheng Hian Hwesio itu mendapat kenyataan bahwa dua orang itu memiliki ilmu pedang yang aneh dan cukup kuat.
Akan tetapi, Nelayan Gu dan Petani Lai adalah dua orang yang telah menerima gemblengan Cheng Hian Hwesio, ilmu silat mereka sudah tinggi, tenaga sin-kang mereka juga kuat sekali dan mereka sudah memiliki banyak pengalaman dalam perkelahian. Maka, setelah mereka berkelahi tiga puluh jurus lebih di bawah sinar bulan purnama itu, perlahan-lahan akan tetapi tentu, mereka dapat mendesak kedua orang lawan mereka yang berpedang, i
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo