Suling Pusaka Kumala 9
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Hayo, biruang jelek. Lawanlah aku dan aku akan membunuhmu!"
Kakinya menendang sepotong batu yang terlempar menyambar ke arah biruang itu. Akan tetapi binatang yang besar itu ternyata gesit juga. Dengan mudah dia mengelak dari sambaran batu yang ditendang Suma Eng dari dia menjadi marah. Dia menurunkan kaki depannya, menggereng-gereng seperti menggertak.
Suma Eng tidak menjadi gentar, bahkan ia sudah menerjang ke depan, membacokkan pedangnya ke arah dada biru-ang itu. Biruang itu bangkit berdiri dan menyampok dengan kaki depan kanannya, tepat mengenai dari arah samping. Kuat bukan main sampokan itu. Saking kuatnya sehingga pedang itu terpental dan tubuh Suma Eng ikut pula terpental dan cepat gadis remaja ini bergulingan! karena pada saat itu, biruang sudah menubruknya. Kalau ia tidak bergulingan, tentu ia kena ditubruk dan celakalah ia kalau sampai empat kaki yang berkuku panjang itu dapat mencengkeramnya. Suma Eng melompat lagi dan kini ia lebih berhati-hati. Ia tahu bahwa binatang itu bertenaga besar sekali dan kaki depannya amat kuat sehingga berani menangkis pedangnya. Kalau ia kurang hati hati pedangnya dapat tertangkis dan terpental lepas dari pegangannya. Maka, kini ia tidak menyerang lagi melainkan menunggu serangan binatang itu.
"Grrrr......"
Biruang itu menggereng dan tiba-tiba ia menubruk ke depan. Suma Eng melihat betapa tubuh yang besar itu menerkam ke arahnya, namun baginya gerakan binatang itu lamban saja sehingga dengan amat mudah ia sudah mengelak dengan loncatan ke samping, Ia mengelak lagi ketika biruang itu membalik dan menubruk lagi. Suma Eng menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak terus, sengaja mempermainkan biruang itu agar menjadi marah dan lengah. Ia memaki-maki untuk memancing kemarahan biruang itu.
"Biruang jelek! Engkau seperti tikus besar, jelek dan bau!"
Suma Eng memaki maki sambil berloncatan mengelilingi biruang itu. Biruang itu berdiri di atas dua kaki belakangnya dan kini mencoba untuk menerkam dengan kedua kaki depannya. Suma Eng kembali mengelak dan ketika ia melihat biruang itu agak lengah, membuka kedua kaki depan lebar-lebar, secepat kilat pedangnya menusuk ke arah dada binatang itu. Tusukannya selain cepat juga amat kuat karena ia mengerahkan tenaga sin-kangnya.
"Singgg..... ceppp.....!"
Pedang itu amblas ke dalam dada biruang sampai setengahnya! Begitu menancap, Suma Eng mencabut lagi sambil melompat ke belakang sehingga ia lolos dari sambaran kaki depan biruang. Biruang itu menggereng-gereng, darah mengulir keluar dari luka di dadanya. Dia kesakitan dan agaknya menjadi jerih karena tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan lari dari situ sambil berteriak-teriak.
"Bagus, Eng Eng. Engkau telah mampu mengalahkannya!"
Teriak Suma Kiang dengan girang.
"Akan tetapi aku belut dapat membunuhnya, ayah!"
Kata Suma Eng menyesal.
"Siapa bilang? Tusukan pedangmu tadi sudah cukup dalam untuk melukai bagian dalam dadanya. Dia tentu akan mati di tempat persembunyiannya."
"Ayah, ada lagi!"
Tiba-tiba Suma Eng berteriak sambil menuding ke depan dengan mata terbelalak. Suma Kiang membalikkan tubuhnya dan diapun terbelalak kaget karena di sana berdiri seekor biruang kulit putih yang besarnya luar biasa! Ada dua kali tubuhnya besar biruang itu.
"Wah, hati-hati, Eng Eng, dia berbahaya sekali!"
Seruanya lirih.
"Mari kita pergi saja dari sini!"
"Tidak, ayah. Aku akan melawannya!"
Kata gadis remaja yang tidak mengenal takut Itu. Suma Kiang memandang dengan khawatir sekali dan diapun mencabut sepasang pedangnya. Suma Eng sudah tiba di depan biruang putih itu. Tiba-tiba ia mendapat akal yang berani sekali. Sambil mengeluarkan teriakan keras, gadis itu menggulingkan tubuhnya ke depan, bergulingan cepat dan pedangnya menyerang ke arah kedua kaki belakang yang berdiri itu!
Akan tetapi ternyata biruang itu, biarpun memiliki tubuh yang amat besar, dapat bergerak lincah. Dia dapat mengelak dari sambaran pedang itu dan melompat ke atas, kemudian menurunkan kedua kaki depannya dan menubruk ke arah Suma Eng!
"Awas, Eng Eng!"
Suma Kiang berseru kaget. Akan tetapi Suma Eng yang masih rebah di atas tanah sudah menggulingkan tubuhnya dengan cepat bagaikan seekor binatang trenggiling dan tubrukan biruang itu pun mengenai tempat kosong! Sebelum binatang itu mampu menyerang lagi, Suma Eng sudah melompat berdiri pula dan memasang kuda-kuda, siap untuk menghindarkan diri dari serangan biruang itu. Ia hendak menggunakan siasat yang sama dengan ketika mengalah-kan biruang hitam tadi, yaitu membiarkan binatang itu menyerang terus sampai terlengah sehingga ia dapat menusukkan pedangnya ke arah perut atau dada.
Akan tetapi biruang itu kini sudah berdiri lagi di atas kedua kaki belakangnya dan kedua kaki depan yang menjadi seperti sepasang tangan itu siap untuk menyerang. Dia melangkah perlahan ke depan, kedua kaki depan siap di kanan kiri dan setelah dekat, kedua kaki itu menyambar dan kanan kiri dengan kuat dan cepat. Suma Eng mengelak mundur dan ketika tangan atau kaki depan yang kanan menyambar lagi, ia menyusup ke bawah kaki yang menyambar itu dan dari situ ia menusukkan pedangnya.
"Cessss.....!"
Pedangnya menusuk dada bawah lengan, akan tetapi tidak terjadi apa-apa. Ia merasa seperti menusuk setumpuk kapas saja dan ketika pedang dicabut, tidak tampak binatang itu terluka, bahkan kaki depan kanan kembali menyambar disusul pula dengan kaki depannya yang kiri dan hampir saja kepala Suma Eng kena disambar kaki depan kiri yang lebih besar dari kepalanya! Akan tetapi gadis remaja itu memang memiliki kecepatan gerakan yang cukup hebat, maka ia masih berhasil menghindarkan diri dari kaki depan itu. Suma Eng terkejut bukan main. Pedangnya sudah jelas menusuk dada sampai hampir setengahnya, akan tetapi mengapa biruang itu tidak terluka? Seperti menusuk kapas, atau seperti menusuk bayangan saja! Dengan marah ia lalu melompat ke atas dan mengayunkan pedangnya, dengan cepat sekali sambil melompat itu ia menebas leher biruang itu.
"Singgg.... wusssshhhh.....!"
Kembali pedangnya mengenai leher, akan tetapi biruang itu tidak apa-apa dan pedangnya seperti menembus leher tanpa merasakan apa-apa seolah leher itupun hanya bayangan saja!
"Ayah.....!!"
Suma Eng berseru, kini terkejut dan gentar. Kalau binatang itu tidak dapat terluka oleh pedangnya, tentu ia berada dalam bahaya besar sekali.
Sejak tadi Suma Kiang juga sudah memperhatikan perkelahian antara puterinya dan biruang itu dan melihat pula keganjilan itu. Biruang itu tidak dapat terluka oleh pedang, Kalau tidak terluka karena kebal, hal itu masil tidak mengejutkan. Akan tetapi ini bukan karena ketebalan kulit atau kekebalan karena pedang itu tembus dan seperti mengenai bayangan belaka.
"Eng Eng! Mundur kau....!"
Serunya. Akan tetapi biruang itu telah menerkam ke arah Suma Eng dan gadis itupun cepat menghindarkan diri dengan lompatan ke samping. Suma Kiang berkemak-kemik dan menudingkan telunjuknya ke arah biruang itu. Dia menggunakan sihirnya karena menduga bahwa ini tentu permainan sihir. Mendadak biruang itu terpecah menjadi dua dan muncul dua biruang yang sama besarnya! Suma Eng menjerit kecil dan cepat ia melompat mendekati ayahnya. Suma Kiang juga terbelalak. Sihirnya tidak dapat mempengaruhi biruang jadi-jadian itu bahkan kini berubah menjadi dua, menggereng dan mengancam dengan buasnya.
Tiba-tiba dia teringat dan cepat Suma Kiang menjatuhkan diri berlutut.
"Supek yang mulia, maafkan teecu berdua yang datang untuk menghadap supek!"
Mendengar ini, Suma Eng terkejut sekali dan baru menyadari bahwa biruang itu adalah binatang jadi-jadian yang diciptakan oleh uwa kakeknya yang menurut ayahnya merupakan seorang yang memiliki kesaktian hebat. Ia adalah seorang anak yang cerdik sekali, maka tanpa diperintah iapun sudah menjatuhkan diri berlutut meniru perbuatan ayahnya. Sambil berlutut ia melirik ke depan, ke arah dua ekor biruang putih itu dan tiba-tiba ada asap mengepul dan dua ekor biruang itupun lenyap.
Di tempat binatang-binatang itu kini berdiri seorang kakek yang sudah tua sekali. Usianya tentu lebih dari tujuh puluh tahun, jenggotnya panjang putih, matanya mencorong tajam dan tubuhnya tinggi kurus sekali seperti tengkorak. Pakaian kakek itu serba kuning potongan pakaian tosu (pendeta To) atau pertapa. Kedua ujung jubahnya amat panjang sehingga hampir menyentuh tanah kalau tangannya tergantung lepas-lepas. Rambutnya yang sudah putih itu digelung dan diikat dengan kain berwarna putih.
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya engkau Suma Kiang! Aku tertarik sekali kepada bocah perempuan itu, maka aku sengaja ingini melihat ketabahan dan kelincahannya lalu menggodanya. Ha-ha, ternyata ia sama sekali tidak takut bahkan melawan mati matian. Siapakah anak ini, Suma Kiang? Apakah ia muridmu?"
"Bukan hanya murid, supek. Akan tetapi juga anak. Ia anak tecu, namanya Suma Eng. Hayo, Eng Eng, beri hormat kepada uwa-kakek gurumu!" "Teecu Suma Eng menghaturkan hormat kepada su-pek-kong (uwa kakek guru)!"
"Ha-ha, bagus! Suma Eng. Kalau engkau mendapat latihan yang baik, kelak engkau bahkan lebih hebat daripada ayah mu. Ha-ha-hal"
Tentu saja ayah dan anak itu gembira sekali mendengar ini, karena memang kedatangan mereka ke tempat tinggal kakek ini adalah untuk minta digembleng ilmu-ilmu yang tinggi.
"Supek, sesungguhnya kunjungan teecu berdua ini adalah untuk minta petunjuk supek."
"Mari kita bicara di pondokku. Aku-pun ingin bicara, sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bicara dengan siapapun juga!"
Kata kakek itu gembira dan tanpa menoleh lagi dia lalu melangkah pergi dari situ mendaki puncak.
Suma Kiang bergegas mengajak putennya untuk mengikuti. Agaknya kakek itu memang sengaja hendak melihat bagaimana mereka, terutama gadis remaja itu, mengejarnya, maka dia melangkah dengan cepat, tentu saja tidak terlalu cepat karena dia hanya ingin menguji Suma Eng. Suma Kiang tentu saja dengan mudah mengikuti supeknya yang berjalan tidak terlalu cepat. Akan tetapi bagi Suma Eng, langkah uwa-kakeknya itu sudah cepat sekali sehingga ia harus mengerahkan tenaga untuk mengejarnya sehingga ia tidak sampai tertinggal jauh.
Siapakah kakek tua renta yang aneh itu? Kalau kita tahu bahwa Suma Kiang seorang datuk yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja kakek itu sebagai uwa gurunya memiliki kesaktian yang amat hebat. Kakek itu menyebut dirinya sebagai Hwa Hwa Cinjin dan puluhan tahun yang lalu dia adalah seorang datuk yang amat terkenal dengan wataknya yang aneh. Akan tetapi dia terkenal pula sebagai tokoh golongan yang tidak bersih. Usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan di antara saudara-saudara seperguruannya, yaitu guru Suma Kiang dan para paman-gurunya, hanya dia seorang yang masih hidup. Selama belasan tahun ini, Hwa Hwa Cinjin bertapa di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san dan tidak pernah terdengar namanya di dunia persilatan. Bahkan dunia ramai tidak mengenalnya dan tidak pernah melihatnya karena kakek ini memang menjauhkan diri dari dunia ramai dan hanya bertapa. Akan tetapi dasar seorang datuk yang tidak bersih, dia bertapa bukan untuk menebus dosa dan mencari jalan terang, melainkan untuk memperdalam ilmu-ilmu nya, yaitu ilmu silat dan ilmu sihirnya!
Setelah tiba di depan pondoknya, sebuah pondok bambu dan kayu sederhana yang berada di purcak itu, Hwa Hwa Cinjin berhenti dan membalikkan tubuhnya, tertawa senang melihat Suma Eng dapat tiba pula di situ tidak tertinggal jauh walaupun mukanya kemerahan dan lehernya basah oleh keringat. Diam-diam dia menjadi semakin senang dengan anak perempuan itu.
"Supek-kong tampaknya berjalan dan melangkah biasa saja, akan tetapi bagaimana dapat demikian cepatnya melebihi orang lari?"
Suma Eng bertanya kepada kakek itu setelah ia tiba di depannya.
"Itulah Ilmu Liok-te Hui-teng (Lari Terbang di Atas Bumi), kalau sudah kau kuasai engkau dapat berlari secepat terbang. Maukah engkau mempelajarinya?"
Tiba-tiba Suma Eng menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek Hwa Hwa Cinjin.
"Tentu saja teecu suka mempelajarinya!"
"Ha-ha-ha, Suma Kiang. Anakmu ini cocok dengan aku!"
"Teecu merasa beruntung sekali, supek. Memang kunjungan teecu berdua ini untuk memohon kepada supek agar sud memberi bimbingan kepada Suma Eng."
"Eh? Kenapa engkau mempunyai pikiran begitu? Bukankah kepandaianmu sendiri sudah memadai untuk mendidik puteri mu sendiri?"
"Itulah, supek. Teecu merasa bahwa kepandaian yang teecu miliki tidak ada artinya. Berkali-kali teecu dikalahkan orang, dan teecu menginginkan agar kepandaian puteri teecu melebihi teecu, agar kelak dapat membalaskan kekalahan teecu dari orang-orang itu."
"Oho! Ada yang dapat mengalahkan-mu? Engkau yang sudah menguasai Ciu-sian Tung-hoat (Ilmu Tongkat Dewa Arak) dan Coa-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Racun Ular)? Siapa mereka yang dapat mengalahkanmu itu?"
Suma Kiang menghela napas panjang. Hatinya masih merasa penasaran sekali mengingat betapa dia kehilangan Chai Li dan Cheng Lin, karena dikalahkan orang.
"Pertama tecu kalah ketika bertanding melawan Toa Ok."
"Toa Ok? Kau maksudkan Toat-beng-kui (Setan Pencabut Nyawa) itu? Hemm, dia memang lihai, akan tetapi tidak semestinya engkau kalah oleh dia. Lalu siapa lagi yang dapat mengalahkanmu?"
"Menghadapi Toa Ok, teecu masih dapat melakukan perlawanan. Akan tetapi menghadapi hwesio tua yang bertapa di Puncak Awan Putih di Thai-san itu, sungguh teecu merasa seperti seorang anak anak yang tidak berdaya, Dalam beberapa gebrakan saja teecu telah tertotok dan tidak berdaya!"
Hwa Hwa Cinjin membelalakkan matanya.
"Hemm, begitukah? Dan siapa hwe-sioa tua yang amat sakti itu?"
"Teecu tidak tahu siapa dia, hanya dua orang pembantunya mempunyai ciri yang khas. Yang seorang adalah seorang nelayan yang membawa dayung baja dan orang kedua adalah seorang petani yang membawa cangkul sebagai senjata."
"Ahhh....! Hwesio yang mempunyai pembantu seperti pengawal Aku dapat menduga siapa dia. Dia tentu Cheng Hian Hwesio! Tidak aneh kalau engkau, kalah menghadapi dia, karena dia adalah seorang yang menguasai ilmu sakti It-yang-ci. Aku sendiri, biarpun tidak akan kalah olehnya, setidaknya juga tidak mudah untuk mengalahkannya. Sudahlah, aku akan menurunkan semua ilmu simpananku kepada Suma Eng agar kelak ia dapat menjunjung tinggi nama kita. Tinggalkan ia di sini bersamaku selama lima tahun."
"Baik, dan terima kasih, supek."
Kemudian kepada puterinya dia berkata.
"Eng Eng, engkau baik-baiklah belajar kepada supek. Hari ini juga aku akan meninggalkanmu di sini."
"Akan tetapi, ayah hendak pergi ke manakah? Apakah ayah tidak bisa tinggal di sini pula bersama supek-kong dan aku?"
"Tidak bisa. Supek menghendaki aku pergi dan aku hanya akan mengganggu ketekunanmu kalau aku berada di sini. Aku akan mengembara dan lima tahun kemudian aku akan menjemputmu di sini."
Mereka memang orang-orang yang memiliki watak aneh. Murid keponakannya baru saja tiba dan sudah disuruhnya pergi lagi meninggalkan putennya di situ, demikian anehnya watak Hwa Hwa Cinjin. Suma Kiang juga tidak keberatan dan dengan mudah saja dia meninggalkan puteri yang dicintanya. Bahkan Suma Eng juga sudah menunjukkan watak yang keras dan aneh. Ia tidak tampak sedih atau terharu ditinggal ayahnya di tempat yang asing baginya itu, apalagi mereka akan berpisah selama lima tahun! Dari sini saja dapat dibayangkan betapa keras dan tabahnya hati gadis remaja ini.
Demikianlah, mulai hari itu Suma En tinggal di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san, menerima gemblengan ilmu-ilmu dari uwa-kakek gurunya. Dua ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya, yaitu Ciu-sian Tung-hoat dan Coa-tok Kiam-hoat (Ilmu Pedang Racun Ular), disempurnakan oleh Hwa Hwa Cinjin menjadi ilmu yang amat ampuh. Di samping menyempurnakan dua ilmu yang telah dikuasai Suma Eng, diapun menurunkan ilmu pukulan Pek-Lek ciang-hoat (Ilmu Silat Halilintar) dan juga ilmu sihir yang mengandalkan tenaga khi-kang. Selama lima tahun Suma Eng belajar dengan giat dan tekun sekali sehingga ia memperoleh kemajuan yang hebat.
Akan tetapi ada sesuatu kesedihan yang kadang mengganjal hati Suma Eng, yaitu kalau ia teringat akan ibunya. Seperti anak-anak biasa, sejak kecil ia merindukan ibunya. Akan tetapi setiap kali ia bertanya kepada ayahnya di mana ibunya, ayahnya selalu mengatakan bahwa ibunya telah mati. Kalau ia mendesak kepada ayahnya agar menceritakan tentang ibunya, ayahnya bahkan membentaknya dengan marah, dan ketika ia menanyakan dari mana ibunya berasal, ayahnya hanya mengatakan dengan singkat bahwa ibunya orang dari dusun Ban-Li-cung di kaki pegunungan Thai-san. Nama dusun ini tak pernah terlupakan oleh Suma Eng dan timbul niatnya bahwa sekali waktu ia pasti akan berkunjung ke dusun itu untuk mencari keterangan tentang ibunya. Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua renta itu agaknya senang sekali kepada Suma Eng.
Melihat ketekunan dan juga kecerdikan gadis itu, yang dengan mudah mampu menerima pelajaran ilmu yang tinggi-tinggi, kakek itu lalu menurunkan semua ilmunya. Agaknya sebelum dia mati, dia ingin mewariskan ilmu-ilmunya kepada seseorang dan sekarang dia telah menemukan ahli warisnya, yaitu Suma Eng. Dengan amat cepatnya waktu berlalu dan tahu-tahu Suma Eng sudah tinggal di Puncak Ekor Naga selama lima tahun!
Pada suatu hari, di kebun belakang pondok di Puncak Ekor Naga itu tampak seorang gadis yang sedang duduk bersila di atas sebuah batu datar. Gadis itu berusia delapan belas tahun, cantik jelita wajahnya, manis dengan tahi lalat di pipi kiri, matanya yang terpejam itu dilindungi bulu mata yang panjang lentik, tubuhnya yang duduk bersila dengan punggung tegak lurus itu ramping padat mempesona. Pakaiannya berwarna nrerah muda dan tampak ringkas. Di punggungnya tergantung sebatang pedang sehingga gadis itu tampak cantik jelita dan juga gagah sekali. Gadis itu bukan lain adalah Suma Eng yang kini telah menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun. Pagi itu dia sudah berlatih silat dan setelah lelahi berlatih silat tangan kosong, silat pedang dan silat tongkat, ia lalu duduk bersila di situ untuk menghirup hawa murni dan memulihkan tenaga menghilangkan kelelahan.
Tiba-tiba telinganya yang memiliki pendengaran amat tajam dan terlatih, dapat menangkap suara yang tidak wajar yang datang dari depan pondok. Cepat ia meloncat turun dari atas batu dan dengan gerakan seperti seekor burung terbang, ia sudah lari menuju depan pondok. Ketika tiba di depan pondok, ia tertegun.
Uwa-kakek gurunya, Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua renta itu, sedang berdiri di luar pintu dan sedang mengadu tenaga sakti melawan empat orang! Hwa Hwa Cinjin berdiri dengan tubuh direndahkan dan kedua tangannya didorongkan ke depan, bertemu dengan dua tangan yang juga didorongkan menyambut tangan Hwa Hwa Cinjin. Dua tangan ini milik seorang kakek berusia tujuh puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian mewah. Di belakang kakek tinggi besar ini masih berdiri secara berbaris tiga orang lagi.
Seorang berusia enam puluhan tahun yang bertubuh sedang juga mendorongkan kedua tangan ke depan menempel pada punggung laki-laki tinggi besar tadi. Di belakang laki-laki ke dua ini berdiri seorang wanita cantik berusia hampir empat puluh tahun juga menempelkan kedua tangan di punggung laki-laki ke dua, dan di belakang sendiri berdiri seorang wanita pula yang berusia enam puluh tahun namun masih nampak cantik jelita dan mewah. Mereka semua mengerahkan tenaga sin-kang dan di kepala mereka mengepul uap putih. Sekali pandang saja tahulah Suma Eng apa yang sedang terjadi.
Empat orang itu sedang mengadu tenaga sin-kang melawan kakek gurunya! Mereka berempat menyatukan tenaga sin-kang dan melalui kakek terdepan mereka berusaha sekuatnya untuk mengalahkan Hwa Hwa Cinjin. Dan melihat keadaan kakek gurunya yang sudah berpeluh dan seluruh tubuhnya gemetar, mengerti pula Suma Eng bahwa kakek gurunya terdesak dan dalam bahaya besar. Tanpa membuang waktu lagi ia melompat ke belakang gurunya lalu mendorongkan kedua tangannya, ditempelkan ke punggung gurunya dan nengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya.
Akibat bantuan Suma Eng ini hebat sekali. Empat orang yang sedang mengeroyok Hwa Hwa Cinjin itu terpental ke belakang dan roboh tunggang langgang saling tindih! Tentu saja mereka terkejut sekali dan hampir tidak percaya bahwa tenaga yang luar biasa besarnya itu datang dari seorang gadis muda belia. Mereka maklum bahwa kalau gadis itu membantu Hwa Hwa Cinjin, mereka tidak akan menang. Apalagi Hwa Hwa Cinjin yang biarpun sudah terdesak, kini masih tampak segar dan kokoh kuat.
"Pergi......!"
Kata kakek pertama yang paling tua dan empat orang itu lalu melompat jauh dengan cepat sekali dan pergi meninggalkan Puncak Ekor Naga. Suma Eng yang merasa penasaran hendak mengejar, akan tetapi tidak jadi karena ia melihat betapa uwa-kakek gurunya terhuyung dan dari mulutnya keluar darah segar!
"Supek-kong (uwa kakek guru)...!"
Katanya khawatir. Akan tetapi kakek itu terhuyung dan roboh.
Cepat Suma Eng menangkap tubuh itu dan merangkulnya sehingga tidak jatuh akan tetapi ternyata kakek itu telah pingsan! Suma Eng lalu memondong tubuh Hwa Hwa Cinjin dan membawanya memasuki pondok. Dia merebahkan tubuh kakek itu ke atas pembaringan kayu dalam kamar Hwa Hwa Cinjin dan cepat melakukan pemeriksaan. Melihat keadaan kakek itu berbahaya sekali, isi dadanya terguncang dan tampak tanda-tanda bahwa dalam dada itu penuh hawa beracun, ia lalu menotok beberapa jalan darah di pundak dan leher untuk menghentikan pendarahan. Kemudian setelah membuka baju kakek itu, ia menempelkan kedua telapak tangannya ke atas dada yang berwarna agak kehitaman itu dan mengerahkan sinkang untuk mengukir hawa beracun dan dalam dada Hwa Hwa Cinjin. Tiba-tiba Suma Eng terkejut dan melepaskan kedua telapak tangannya dari dada kakek itu. Ada hawa yang amat panas menyambut kedua tangannya. Hwa Hwa Cinjin membuka kedua matanya dan mengeluh lirih. Suma Eng segera mendekatkan mukanya dan bertanya,
"Supek-kong, bagaimana rasanya badan supek-kong?"
Kakek itu memandang kepada Suma Eng, mulutnya menyeringai seperti kalau dia tertawa.
Biasanya, kakek ini memang suka sekali tertawa, dalam keadaan bagaimanapun dia selalu tertawa. Akan tetapi sekarang agaknya rasa nyeri membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara tawa.
"Mereka menyerangku dengan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun), dalam tubuhku penuh hawa beracun...."
"Siapakah mereka yang menyerangmu tadi, supek-kong?"
Kakek itu agaknya berdaya mengumpulkan semua tenaga yang tersisa untuk dapat bicara.
"..... mereka itu.... Thian-te Sam-ok (Tiga Jahat Bumi Langit) dan yang seorang wanita mungkin murid mereka."
"Hemm, Thian-te Sam-ok? Mengapa mereka menyerangmu, supek-kong?"
"Ha-ha-ha..... uh-uh-uhhh.....!"
Karena tertawa ini, kakek itu terbatuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya. Suma Eng cepat membersihkan bibir kakek itu dengan sehelai saputangan.
"Mereka memang musuh lama. Tidak pernah menang melawanku dan tadi mereka muncul setelah berhasil menemukan tempat pertapaanku ini. Aku sudah terlalu tua, tenagaku banyak berkurang namun aku masih dapat bertahan menghadapi mereka. Akan tetapi mereka mempergunakan Ban-tok-ciang yang penuh dengan hawa beracun yang busuk......"
Dia terengah-engah.
"Supek-kong....!"
Seru Suma Eng dengan khawatir.
"Sudahlah, jangan banyak bercakap, supek-kong harus beristirahat untuk memulihkan tenaga."
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.
"Tidak ada gunanya..... seluruh tubuhku telah keracunan..... tak mungkin disembuhkan lagi. Dengar baik-baik pesan ku, Eng Eng......"
Dengan alis berkerut dan sikap bersungguh-sungguh, Suma Eng mengangguk.
"Teecu mendengarkan, supek-kong!"
"Setelah aku mati, bakar pondok ini dan biarkan jenazahku terbakar di dalamnya. Lalu taburkan dan biarkan hanyut abu jenazahku ke Sungai Huang-ho di bawah lereng itu...."
"Baik, supek-kong."
Kata Suma Eng tegas.
"Kemudian jangan lupa, kelak carilah Thian-te Sam-ok dan bunuh mereka......"
"Baik, supek-kong. Akan teecu bunuh mereka satu demi satu "
Kata pula Suma Eng sambil mengepal tangan kanan.
"Ha-ha, aku puas sudah.... bantulah aku bangkit duduk...."
Suma Eng membantu kakek itu duduk bersila di atas pembaringannya. Setelah duduk bersila dengan tegak, kakek itu mengambil napas dalam sekali dan tubuhnya menjadi kaku, masih duduk bersila akan tetapi matanya terpejam dan napasnya putus! Kiranya tadi dia mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk bicara dan setelah berhenti bicara, tenaga dan daya tahannyapun habis dan dia menghembuskan napas terakhir dalam keadaan masih duduk bersila.
"Supek-kong.....!"
Suma Eng memanggil, lalu menyentuh nadinya dan mendekatkan tangannya ke depan hidung kakek itu. Maka tahulah ia bahwa gurunya itu telah tewas. Biarpun hatinya merasa sedih, Suma Eng tidak menangis, hanya memandang kepada jenazah yang duduk bersila itu dengan mata penasaran.
"Supek-kong, tenangkan arwahmu, teecu pasti akan membunuh Thian-te Sam-ok!"
Kemudian ia teringat akan pesan kakek itu untuk membakar pondok, la lalu berkemas, mengumpulkan semua miliknya yang kiranya dapat ia bawa merantau, membungkus semua pakaian dalam sebuah buntalan kain biru. Setelah itu, ia mengumpulkan daun dan kayu kering, menumpuknya di dalam dan di luar sekitar pondok kemudian membakar pondok itu. Api berkobar melahap pondok, menimbulkan suara berkerotokan. Suma Eng menjauhi pondok dan duduk di bawah pohon memandang api yang bernyala besar, dan pada saat itu terbayang olehnya semua kebaikan Hwa Hwa Cinjin selama ia berguru kepada kakek tua renta itu. la mengepal tangan kanannya dan mulutnya mengeluarkan bisikan lirih.
"Awas kalian, Thian-te Sam-ok. Aku akan membalaskan kematian supek-kong!"
Berjam-jam ia menunggu sampai seluruh pondok terbakar habis. Setelah semua api padam, la lalu mencari di antara puing dan menemukan abu putih setumpuk, abu jenazah Hwa Hwa Cinjin. Dengan hati-hati ia mengumpulkan abu itu dan memasukkan dalam buntalan kain kuning yang memang sudah ia persiapkan, lalu membungkus abu itu dalam kain kuning. Setelah itu, ia menggendong dua buntalan itu, yang sebuah buntalan pakaiannya dan yang sebuah lagi dan kecil adalah buntalan abu jenazah gurunya. Maka berangkatlah ia meninggalkan Puncak Ekor Naga, menuruni puncak menuju ke Sungai Huang-ho yang mengalir di bawah lereng sebelah selatan. Suma Eng berjalan seenaknya sambil melamun. Ia teringat akan ayahnya. Di mana ayahnya berada? Dahulu ayahnya mengatakan bahwa setelah lewat lima tahun, ayahnya akan datang ke Puncak Ekor Naga untuk menjemputnya.
Bagaimana kalau nanti ayahnya datang dan melihat pondok sudah terbakar habis dan ia sudah tidak berada di sana? Ia terpaksa harus membakar pondok untuk menaati pesan supek-kongnya, dan sekarang ia harus pergi menebarkan abu jenazah itu ke Sungai Huang-ho. Teringat akan ayahnya, ia merasa rindu juga dan segera ia kembali ke Puncak Ekor Naga yang belum jauh ia tinggalkan. Di depan pondok itu terdapat sebuah pohon besar dan Suma Eng lalu mencabut pedangnya. Sinar kehijauan tampak ketika ia mencabut Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau), kemudian ia mencorat-coret dengan ujung pedangnya pada batang pohon.
Ia meninggalkan beberapa huruf untuk memberitahu kepada ayahnya, kalau ayahnya datang ke Puncak Ekor Naga.
"Supek-kong telah meninggal dunia. Aku membawa abunya untuk dihanyutkan di Sungai Huang-ho dan setelah itu aku akan merantau ke selatan."
Demikianlah coretan-coretan berupa huruf-huruf yang dibuat di batang pohon itu. Kalau ayahnya datang ke Puncak Ekor Naga, ayahnya tentu akan melihat tulisan itu dan akan mengerti. Setelah elesai meninggalkan pesan lewat coretan di belakang pohon, Suma Eng lalu menuruni kembali puncak itu dan kini ia mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar saja sudah tiba di lereng. Tiba-tiba muncul belasan orang yang keluar dari balik semak belukar dan pohon-pohon yang banyak terdapat di luar hutan itu. Mereka terdiri dari laki-laki berusia antara dua puluh lima sampai empat puluh tahun, sikap mereka kasar dan bengis dan tangan mereka memegang sebatang golok yang tajam. Biarpun Suma Eng belum pernah mengalami hal seperti ini, namun dari cerita ayahnya ia dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan segerombolan perampok yang biasa menghadang orang lewat dan merampas barangnya. Melihat belasan orang itu sengaja menghadang di depannya, Suma Eng bertanya dengan suara nyaring,
"Siapakah kalian dan mau apa kalian menghadang perjalananku?"
"Mau apa? Ha-ha-ha, apa-apa kami mau! Terutama buntalan di punggungmu itu!"
Kata seorang yang brewokan dan berkulit hitam.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Orangnya kami juga mau!"
Terdengar orang lain dan semua laki-laki itu tertawa bergelak. Mereka menyeringai dan sikap mereka kurang ajar sekali.
"Hushh!"
Kata si brewok yang tampak nya adalah pemimpin mereka.
"Sekali ini orangnya untukku dan barang-barangnya kita bagi rata!"
Suma Eng mengangguk-angguk dan senyumnya melebar. Orang-orang itu tidak tahu betapa bahayanya kalau Suma Eng sudah tersenyum lebar seperti itu. Ini tandanya bahwa ia marah sekali. Ia marah bukan karena dihadang hendak dirampok, melainkan marah karena kata-kata mereka yang kurang ajar terhadap dirinya.
"Hemm, mengerti aku sekarang! Jadi kalian ini adalah anjing-anjing perampok yang tak tahu diri dan kurang ajar? Bagus, kebetulan sekali, nonamu juga sedang gatal tangan dan akan mengirim nyawa kalian ke neraka! Kalian mau mengambil buntalan- buntalan ini?"
La menurunkan dua buntalannya dan meletakan di atas tanah.
"Nah, siapa mau boleh ambili"
Katanya.
Setelah buntalan itu turun dari punggungnya, baru tampak oleh para perampok itu bahwa gadis itu membawa sebatang pedang di punggung mereka. Akan tetapi tentu saja mereka tidak gentar oleh ucapan Suma Eng. Gadis muda seperti itu, akan mampu berbuat apakah terhadap mereka? Maka, dua orang segera menubruk hendak mengambil buntalan itu.
"Plak! Plak!"
Dua kali tangan kiri dan kanan Suma Eng bergerak menampar dan tepat mengenai muka dua orang itu tanpa dapat dielakkan atau ditangkis karena perhatian mereka ditujukan kepada buntalan itu dan tamparan yang dilakukan Suma Eng cepat seperti kilat. Dua orang itu terpelanting roboh, berkelojotan dan tewas dengan mata mendelik. Semua orang terkejut melihat betapa di muka dua orang rekan mereka itu terdapat tanda telapak tangan hitam.
"Dan siapa mau memiliki aku? Boleh ambil!"
Suma Eng membusungkan dadanya seperti hendak menyerahkan dirinya. Kepala perampok yang brewokan dan berkulit hitam itu menjadi marah sekali.
Dia membuka bajunya sehingga tampak dadanya yang berbulu dan membentak.
"Gadis setan berani engkau membunuh anak buahku?"
Dia lalu menubruk, seperti seekor biruang yang menubruk sambil mengembangkan kedua lengan seperti hendak menerkam Suma Eng. Gadis itu menggerakkan kedua tangan menangkis dan ketika lengan tangan kepala rampok itu terpental ke kanan kiri dan dadanya terbuka lebar, tangan kirinya menghantam dengan telapak tangan terbuka kearah dada itu.
"Bukk.....!!"
Tubuh kepala perampok Itu terpental ke belakang dan roboh terjengkang, berkelojotan lalu tewas. Di dadanya yang hitam itu tampak bekas telapak tangan yang lebih hitam lagi!
Melihat pimpinan mereka roboh dan tewas, para perampok itu terbelalak dan menjadi marah sekali. Mereka adalah orang-orang yang busa mengandalkan kekuatan tidak mempergunakan pikiran sehingga mereka tidak menyadari bahwa mereka berhadapan dengan orang yang memiliki kesaktian. Belasan orang itu lalu menggerakkan golok mereka dan menerjang Suma Eng dari berbagai jurusan.
Suma Eng maklikn bahwa biarpun ilmu kepandaian para perampok itu tidak seberapa, namun karena belasan orang maju bersama, maka dapat membahayakan keselamatannya juga. Hal ini membuatnya makin marah dan dengan mempergunakan kecepatan gerakannya, ia berloncatan dan menyusup di antara mereka, menggunakan ilmu silat yang disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Memasuki Serbuan Ratusan Golok). Tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuknya hanya tampak bayangan yang berkelebatan di antara golok-golok itu dan kedua tangannya sibuk membagi-bagi tamparnn yang dilakukan dengan ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Hanya terdengar suara piok-plak plak dan disusul jeritan dan robohnya para perampok. Satu demi satu mereka roboh dan semua tewas dengan tanda telapak jari tangan hitam dan mata mendelik!
Setelah hampir semua dari mereka roboh dan tewas, tinggal dua orang yang masih hidup, barulah mereka menyadari dan dua orang itu lalu membalikkan tubuh dan lari tunggang-langgang Suma Eng tertawa mengejek, memungut dua batang golok dari atas tanah dan sekali ia lontarkan golok itu, dua sinar menyambar ke arah orang yang melarikan diri dan di lain saat mereka berteriak dan roboh menelungkup dengan punggung ditembusi golok.
Suma Eng menepuk-nepuk kedua tangan seperti hendak membersihkan dari debu sambil tersenyum puas. Matanya bersinar-sinar dan ia merasa bangga sekali atas kemampuan dirinya. Kalau saja ayahnya dan supek-kongnya menyaksikan apa yang baru saja ia lakukan, mereka tentu akan merasa senang dan bangga sekali.
Ia memandang belasan mayat yang berserakan itu dan menggumam sendiri.
"
Anjing-anjing perampok hina, baru kalian tahu sekarang akan kelihaian nonamu!"
Dia mengambil buntalannya, menggendong lagi buntalan pakaian dan buntalan abu jenazah gurunya, lalu melanjutkan perjalanannya. Hari telah jauh siang ketika ia tiba di kaki pegunungan dan memasuki sebuah dusun yang cukup ramai. Ketika melihat sebuah warung makan di tepi jalan, barulah terasa olehnya betapa perutnya lapar sekali dan teringatlah ia bahwa sejak pagi ia belum makan apapun atau minum apapun. Bau sedap masakan yang memakai bawang menusuk hidungnya dan membuat perutnya menjadi semakin lapar. Ia lalu memasuki warung itu. Sebuah warung makan yang sederhana namun cukup besar dan mempunyai tujuh meja. Tiga buah meja telah dihadapi tamu, dan ia lalu memilih meja kosong dan duduk di bangku. Buntalannya ia lepas dari punggung dan ia letakkan di atas meja, tanpa melepas pedangnya dari punggung. Seorang pelayan, satu-satunya pelayan di warung itu, seorang yang usianya sudah setengah tua, lima puluhan tahun, menghampirinya.
"Nona hendak memesan makanan dan minuman?"
"Ambilkan air teh cair, arak lunak setengah guci kecil dan nasi serta dua macam masakan yang enak dari dagingi ayam dan sapi." "Baik, nona."
(Lanjut ke Jilid 10)
Suling Pusaka Kumala (CeritaLepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
Pada saat itu, tamu yang makan di meja sebelah, tiga orang banyaknya, telah selesai dengan makanan mereka dan mereka sudah hendak meninggalkan meja. Seorang di antara mereka mengeluarkan sebuah pundi-pundi kecil untuk mengeluarkan uang. Pada saat itu barulah Suma Eng teringat bahwa membeli makanan dan minuman haruslah membayar, padahal ia sama sekali tidak mempunyai uang sepeserpun! Ia memandang orang yang memiliki pundi-pundi uang itu.
Pemilik pundi-pundi uang itu mengeluarkan beberapa potong uang dan dibayarkan kepada pelayan, kemudian menyimpan kembali pundi-pundi uangnya di dalam saku bajunya yang longgar. Suma Ing tersenyum. Ada jalan untuk dapat membayar harga makanan dan minuman, pikirnya. Ia menanti sampai tiga orang itu bangkit berdiri dan melangkah melewati dekat mejanya. Tiba-tiba ia berdiri dan menghadang laki-laki yang memiliki pundi-pundi uang itu dan menepuk pundaknya sambil tersenyum girang.
"Heii! Tan-twako (kakak Tan), engkau hendak pergi ke manakah?"
Laki-laki itu memandang dengan bingung akan tetapi tersenyum girang karena yang menegurnya adalah seorang gadis yang amat cantik.
"Aku.... aku bukan orang she (marga) Tan....."
Katanya ragu.
"Nona siapakah?"
"Ah, maafkan aku.Wajahmu mirip sekali dengan Tan- twako."
Kata Suma Eng,tersipu lalu kembali duduk di kursinya.
Tiga orang itu melanjutkan langkah mereka sambil tertawa-tawa. Orang yang ditegurnya tadi berkata kepada dua orang temannya.
"Sungguh sayang aku bukan orang she Tan, kalau iya, alangkah senangnya mengobrol dengan si cantik jelita itu."
Dan tiga orang itu tertawa-tawa lagi sambil keluar dari warung makan. Sementara itu, sambil mengulum senyum, Suma Eng menyelipkan pundi-pundi uang yang telah diambilnya dari kantung orang tadi ke dalam buntalannya.
Suma Eng lalu makan dengan enaknya. Setelah selesai makan dan membayar harga makanan dan minuman, ia lalu menggendong lagi buntalannya dan beranjak meninggalkan warung makan itu. Akan tetapi baru saja ia tiba di depan warung, terdengar teriakan orang dan tiga orang laki-laki tadi datang berlarian. Pemilik pundi-pundi tadi menuding-nuding kepadanya.
"Itu ia! Cepat jangan sampai ia lari!"
Akan tetapi Suma Eng tidak lari dan memandang kepada mereka dengan sikap heran. la melirik ke keranjang sampah di depan warung, di mana baru saja ia melemparkan pundi-pundi kosong itu dan semua uang yang tadi berada di pundi-pundi kini telah berada dalam buntalan pakaiannya dengan aman.
"Hei, nona. Kembalikan pundi-pundi uangku!"
Laki-laki itu menghampiri Suma Eng dan menudingkat telunjuknya ke arah muka gadis itu.
"Hemm, apa maksudmu? Aku tidak tahu tentang pundi-pundi uangmu!"
Jawab Suma Eng dengan tenang.
"Engkau tentu yang mengambil pundi-pundi uangku. Sejak aku keluar dari warung ini, selain engkau tidak ada orang lain lagi yang mendekati aku. Hayo turun kan dan buka buntalanmu, akan kuperiksa. Pundi-pundi uangku tentu berada dalam buntalanmu itu!"
Kata pula pemilik pundi-pundi.
"Asalkan engkau mau melayani kami bertiga selama sehari semalam, biarlah pundi-pundi itu tidak usah kau kembalikan!"
Kata seorang di antara mereka ber tiga sambil menyeringai. Ucapan dan sikap inilah yang membuat Suma Eng menjadi marah, Ia melepaskan buntalannya dan membuka buntalan itu di atas tanah di depan mereka.
"Nah, kalian lihat. Mana pundi-pundi itu? Kau kira aku tidak punya uang dan mencuri pundi-pundimu? Lihat, akupun mempunyai cukup banyak uang."
Katanya sam bil memperlihatkan uang dalam buntalan, uang pindahan dari pundi-pundi. Tentu saja orang tidak akan mampu mengenali uang, karena uang itu di mana-manapun sama saja. Pundi-pundi yang menjadi tanda milik orang itu sudah tidak ada!
Banyak orang berdatangan dan merubung tempat itu untuk menonton apa yang terjadi. Tiga orang itu tidak menemukan pundi-pundi dalam buntalan dan si pemilik pundi-pundi berkata.
"Tentu kau sembunyikan dalam bajumu!"
"Kita geledah saja pakaiannya!"
Kata pula yang tadi mengeluarkan ucapan kurang ajar.
Suma Eng menggendong lagi buntalannya dan nenghadapi tiga orang yang sudah siap untuk menggeledah pakaiannya itu ia berkata.
"Kalian hendak menggeledah pakaianku. Silakan, kalau kalian mampu!"
Seperti tiga ekor anjing berebutan tulang, tiga orang laki-laki itu menjulurkan tangan-tangan yang penuh gairah hendak mengerayangi tubuh Suma Eng. Gadis itu mengelak ke belakang dan ketika tiga orang itu mengejar, kedua tangannya bergerak cepat sekali.
"Plak-plak-plak-plak-plak-plak!"
Dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti pandang mata, tiga orang itu masing-masing telah kena ditampar pipi kiri dan kanan mereka. Mereka mengaduh-aduh dan terhuyung sambil menggunakan kedua tangan memegangi kedua pipi mereka yang bengkak-bengkak dan bibir mereka yang berdarah karena gigi mereka banyak yang copot!
"Masih ingin menggeledahku?"
Tanya Suma Eng yang hanya menggunakan tenaga ketika menampar, tidak mengerahkan pukulan beracun. Biarpun ayahnya selalu menasihatkan padanya agar membunuh setiap orang yang berani menentangnya, namun gadis ini tidaklah sekejam ayahnya.
Para perampok itu memang dibunuhnya karena kesalahan mereka sudah jelas. Akan tetapi tiga orang ini tidak bersalah apa-apa kecuali bersikap kurang ajar, bahkan uang mereka telah ia curi. Karena itulah maka ia hanya menghajar mereka dengan tamparan itu saja. Tiga orang itu merasa kesakitan dan juga ketakutan. Mereka lalu melarikan diri sambil memegangi kedua pipi mereka. Para penonton banyak yang tertawa melihat peristiwa yang mereka anggap lucu. itu. Akan tetapi banyak pula yang memandang kepada Suma Eng dengan jerih, apalagi melihat sebatang pedang tergantung di punggung gadis itu.
Suma Eng tidak memperdulikan pandang mata semua orang itu dan ia melanjutkan perjalanan dengan cepat meninggalkan dusun itu. Setelah senja tiba, belum juga ia bertemu dusun lain dan terpaksa ia berhenti di luar sebuah hutan, membuat api unggun di bawah sebatang pohon besar dan melewatkan malam di tempat itu. Ia tidak dapat tidur pulas membiarkan dirinya terancam bahaya di tempat terbuka itu, akan tetapi hal ini bukan merupakan persoalan baginya, la sudah dilatih oleh Hwa Hwa Cinjin dan sudah biasa duduk bersila dalam samadhi. Dalam keadaan seperti ini, tidak bedanya dengan orang tidur karena semua urat syaraf di tubuhnya beristirahat sepenuhnya, namun kesadarannya selalu siap sehingga sedikit saja terdengar suara yang tidak wajar akan cukup untuk membangunkannya. Dapat dikata bahwa ia tidur dalam keadaan sadar! Demikian pula, kalau api unggun hampir padam, ia dapat merasakannya, terbangun dan menambahkan kayu bakar pada api unggun. Dan panasnya api unggun itu mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Suma Eng membuka matanya. Api unggun sudah hampir padam dan hawa udara masih dingin. Akan tetapi karena sinar matahari pagi sudah mulai menerangi tanah, iapun tidak membesarkan api unggun. Pagi telah tiba. Sejenak ia menikmati suasana pagi yang cerah itu. Kicau burung di atas pohon, diseling kuruyuk ayam jantan dari hutan, mendatangkan suasana yang tenteram dan penuh emangat hidup. Suma Eng bangkit berdiri, menggendong buntalannya dan meninggalkan bawah pohon untuk mencari anak sungai atau sumber air.
Akhirnya ia enemukan pancuran air di dalam hutan itu segera ia membersihkan dirinya degan air yang jernih itu. Segar sejuk rasanya. Kemudian ia lalu mengikuti aliran air dari pancuran itu karena maklum bahwa Sungai Huang-ho tentu sudah dekat dan air yang mengalir dari pancuran itu akhirnya tentu akan terjun ke dalam Sungai Huang-ho. Ternyata air itu masuk ke dalam sebatang anak sungai yang lumayan besarnya dan ia lalu menyusuri tepi anak sungai ini, mengikuti jalannya yang menuju ke barat. Perutnya terasa lapar. Melihat betapa banyaknya ikan yang berenang di anak sungai itu, ia lalu mengambil sebatang ranting, diruncingkannya ujungnya dan dengan senjata ini ia menuruni tepi sungai. Sebentar saja, dengan rantingnya, ia telah dapat menangkap dua ekor ikan sebesar tangannya. Lalu dibuatnya api unggun dan dipanggangnya ikan itu. Akan tetapi ketika dimakannya, ia menyeringai. Rasa daging ikan itu hambar.
Tentu saja hambar. Segala macam daging akan terasa hambar dan tidak enak kalau dipanggang atau dimasak tanpa bumbu terutama garam, la sama sekali tidak berpengalaman melakukan perjalanan seorang diri, maka iapun tidak membawa garam maupun bumbu masak lainnya. Dibuangnya ikan-ikan itu dan setelah mencuci tangannya, ia melanjutkan perjalanannya.
Setelah hari menjadi siang, barulah anak sungai itu terjun ke dalam Sungai Huang-ho. Suma Eng menjadi girang sekali. Inilah tempatnya di mana ia harus menaburkan abu jenazah Hwa Hwa Cinjin seperti yang dipesan oleh kakek itu. Akan tetapi ia tidak mempunyai perahu. Bagaimana dapat menaburkan abu itu? Dari tepi? Penaburan itu tentu tidak sempurna, dan abunya akan banyak yang terjatuh di tepi sungai karena terbawa angin ketika ia taburkan. Suma Eng menjadi bingung dan duduk di atas sebuah batu besar. Tempat itu sunyi, dari mana ia akan dapat menyewa perahu? Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan wajahnya berseri, la melihat sebuah perahu hitam didayung oleh seorang laki-laki setengah tua.
"Paman..... Paman tukang perahu! Kesinilah, aku ingin menyewa perahumu!"
Teriak Suma Eng sambil mengerahkan tenaga dalamnya sehingga suaranya melengking nyaring dan dapat terdengar dari jauh.
Tukang perahu itu juga mendengarnya dan berdiri di perahunya sambil memanjang ke arah pantai di mana Suma Eng melambai-lambaikan tangannya.
"Ke sinilah, paman! Aku akan menyewa perahumu menyeberang, berapa saja sewanya akan kubayar!"
Kembali Suma Eng berseru. Agaknya tukang perahu itu mengerti baik dan iapun duduk kembali mendayung perahunya menuju ke pantai di mana Suma Eng berdiri. Gadis itu men jadi girang bukan main.
Setelah perahu itu tiba di pinggir, Suma Eng melihat bal tukang perahu itu bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah setengah tua, tampak sehat dan kokoh kuat. Sebuah caping besar menutupi kepalanya. Tidak tampak alat jala atau pancing di perahu seperti dimiliki tukang perahu yang pekerjaannya sebagai nelayan. Akan tetapi Suma Eng tidak memperhatikan hal ini. Ia sudah terlalu girang ada perahu di situ dan si tukang perahu mau mendatanginya untuk disewa perahunya.
"Paman, aku hendak menyeberang dan sekalian hendak menaburkan abu jenazah) di tengah sungai. Seberangkan aku dan aku akan membayar berapapun yang engkau minta."
Tukang perahu itu mengamati wajah dan tubuh Suma Eng, juga mengamati buntalan yang berada di punggung gadis itu. Akhirnya dia mengangguk.
"Baiklah nona. Naiklah ke perahuku. Akan tetapi maklumlah, tidak ada pelindung dari panas matahari di perahuku."
"Tidak mengapa, paman."
Kata Suma Eng yeng segera melangkah ke atas perahu.
"Pinjamkan saja capingmu itu kepadaku."
Tukang perahu menyerahkan capingnya dan ketika dia menanggalkan capingnya, baru tampak bahwa rambutnya diikat bagian atasnya dengan sehelai pita merah dari sutera. Akan tetapi hal ini tidak menarik perhatian Suma Eng yang sudah memakai caping dan duduk di atas perahu. Tukang perahu lalu mendayung perahunya ke tengah sungai yang lebar itu. Perahu meluncur cepat ke tengah sungai. Akan tetapi perahu itu tidak langsung menyeberang, melainkan menghilir-milir dengan cepatnya. Melihat ini, Suma Eng berkata.
"Paman, aku ingin menyeberang, bukan ingin ke hilir."
"Akan tetapi, nona. Di seberang sana terdapat tepi sungai yang terjal dan melupakan bagian dari bukit berhutan yang liar. Aku membawa nona sedikit ke hilir karena di sana terdapat pedusunan. Apakah nona tidak lebih senang mendarat di pedusunan itu?"
"Ah, begitukah? Baik, teruskan mendayung. Tentu saja aku lebih suka menyeberang ke pedusunan itu."
Perahu meluncur terus. Karena mengikuti aliran air ditambah kekuatan dayung, perahu itu meluncur cepat sekali. Tak lama kemudian, tiba-tiba dari tepi sungai sebelah sana, muncul tiga buah perahu besar yang masing-masing ditumpangi sedikitnya sepuluh orang. Melihat ini, Suma Eng tidak menduga buruk karena perahu mereka sudah tiba dekat pantai. Pantai sana sudah dekat walaupun ia belum melihat ada pedusunan di sana, melainkan pohon-pohon dan semak-semak belukar.
Mendadak tukang perahu itu bersuit nyaring tiga kali dan dia mendayung perahunya menyongsong tiga buah perahu besar itu. Melihat ini, barulah Suma Eng merasa heran. Akan tetapi ia mengira bahwa perahu mereka itu sudah hampir tiba di tempat tujuan dan si tukang perahu hendak mendayung perahu mendekati daratan. Akan tetapi tiga perahu besar itu bergerak mengepung perahu kecil yang ditumpanginya.
"Hei, apa artinya ini, paman?"
Tanya Suma Eng sambil bangkit berdiri, Ia memandang ke arah tiga perahu besar dan para penumpangnya terdiri dari laki-laki kasar yang menyeringai memandang ke arahnya dan apa yang tampak menyolok dari mereka adalah pita rambut mereka yang kesemuanya merah!
"Artinya, nona, bahwa engkau kini sudah dikepung oleh kawan-kawanku. Menyerahlah dan berikan semua milikmu agar kami tidak perlu melakukan kekerasan."
Kata tukang perahu yang kini sikapnya berubah sama sekali.
Diapun bangkit berdiri dan tahu-tahu sudah memegang sebatang golok yang tajam mengkilat. Seorang laki-laki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu besar yang berada terdekat dengan perahu kecil itu berseru dengan suaranya yang lantang.
"A-sam, jangan lukai gadis itu! Tangkap dan bawa ke sini!"
Suma Eng menjadi marah bukan main. Kini mengertilah ia bahwa ia berhadapan dengan bajak sungai seperti yang sering ia dengar dari ayahnya. Ayahnya adalah seorang datuk Sungai Huang-ho, dan semua bajak sungai di situ tunduk belaka! kepada ayahnya. Biarpun demikian ia tidak mau menggertak mereka dengan nama ayahnya, la sudah terlampau marah dan mengambil keputusan untuk memberi, hajaran kepada para bajak sungai itu.
"Hemm, kiranya kalian ini adalah anjing-anjing bajak sungai yang tidak tahu diri dan sudah bosan hidup!"
La melepaskan buntalan abu jenazah gurunya, menaburkan abu itu ke dalam sungai sampai habis, melepaskan buntalan pakaiannya ke atas perahu dan mencabut pedangnya. Melihat gadis itu menaburkan abu dari buntalan, A-sam, tukang perahu itu, tidak mencegahnya. Akan tetapi ketika melihat gadis itu mencabut pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan dia terkejut. Apalagi ketika tiba-tiba sinar kehijauan itu meluncur ke arahnya. Dia cepat menggerakkan goloknya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk membuat pedang itu terpental dari tangan pemegangnya.
"Singgg..... trang......!"
Golok itu patah menjadi dua, disusul leher A-sam yang putus terbabat sinar kehijauan dan kepalanya terpental dalam air sungai! Suma Eng menendang dengan kaki kirinya dan tubuh itupun terlempar dari tercebur ke dalam sungai. Perahu bergoyang goyang keras dan perahu besar yang ditumpangi kepala bajak yang tinggi besar itu sudah menempel dekat perahu kecil, bahkan hendak menabraknya. Suma Eng maklum bahwa kalau perahunya ditabrak, tentu akan terguling dan iapun akan terjatuh ke dalam air. Maka sebelum perahu kecil itu tertabrak, ia sudah mengenjot tubuhnya, melompat ke atas perahu besar!
Kepala bajak itu bersama anak buahnya segera menyambutnya dengan juluran tangan, seolah sekumpulan kanak-kanak lendak memperebutkan seekor burung. Akan tetapi sinar hijau berkelebat dan empat orang roboh mandi darah dan tewas seketika. Melihat ini, semua bajak itu terkejut dan mereka lalu menyerang dengan golok mereka, dipimpin oleh kepala bajak yang memegang sebatang pedang. Menghadapi hujan serangan golok ini, Suma Eng mengenjot tubuhnya dan meloncat ke atas atap perahu besar itu, dan dari atas atap ia menerjang lagi ke bawah.
Bagaikan seekor burung walet tubuhnya menyambar dan empat orang kembali roboh mandi darah. Sisanya, tiga orang termasuk kepala bajak, menjadi jerih menyaksikan kehebatan gerakan Suma Eng dan tanpa dikomando lagi mereka melompat ke dalam air, meninggalkan perahu mereka.
Akan tetapi mereka bukan hanya mencebur sekedar untuk melarikan diri. Mereka lalu memegang perahu dari bawah dan mengguncang perahu itu, berusaha untuk menggulingkan perahu! Suma Eng terkejut sekali ketika perahu yang sudah ditinggalkan para bajak itu terguncang hebat, la berusaha mengatur keseimbangan tubuhnya agar jangan terlempar dari perahu, akan tetapi perahu terguncang semakin keras, la melihat betapa perahu kecil yang ditumpanginya tadi telah terbalik. Maka ia menoleh ke kanan, ke arah perahu besar kedua yang sudah mulai mendekat. Setelah memperhitungkan jaraknya, ia mengenjot tubuhnya lagi, dengan cepat dan ringan tubuhnya melompat ke atas perahu besar kedua. Para bajak sungai di perahu itupun menyambutnya dengan serangan golok. Akan tetapi sambil melompat Suma Eng sudah memutar pedangnya sehingga pedang itu lenyap berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung.
"Trang-trang.... trak-trakk!"
Empat batang golok patah-patah begitu bertemu gulungan sinar kehijauan itu disusul suara jeritan empat orang dan robohnya empat tubuh mereka yang mandi darah. Lima orang yang lain terkejut dan merekapun berlompatan ke dalam air sungai. Mereka melihat betapa hebatnya gadis itu memainkan pedang, hal yang sudah mereka saksikan ketika Suma Eng mengamuk di perahu pertama tadi. Mereka berlima lalu mengguncang perahu itu dan kembali Suma Eng harus mempertahankan keseimbangan tubuhnya yang ikut terguncang. Ketika ia sudah tidak dapat bertahan lagi, ia melompat ke perahu ke tiga yang tidak berapa jauh dari perahu ke dua itu.
Bagaikan seekor burung terbang, ia melayang ke perahu ke tiga. Akan tetapi di sini ia tidak disambut dengan golok, karena semua yang berada di perahu itu sudah melihat sepak terjang gadis itu di perahu pertama dan ke dua. Mereka semua lalu melompat keluar dari perahu, terjun ke dalam air dan mengguncang perahu ke tiga!
Sedapat mungkin Suma Eng mempertahankan diri agar jangan sampai jatuh keluar perahu. Akan tetapi guncangan itu semakin kuat, membuat perahu miring dan hampir terbalik. Suma Eng menyarungkan lagi pedangnya di punggung dan dengan susah payah ia mengatur keseimbangannya, melompat ke sana -sini di atas perahu itu dan akhirnya kakinya terpeleset dan iapun terjatuh ke dalam air sungai. Pada saat itu tampak meluncur perahu kecil.
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo