Ceritasilat Novel Online

Pendekar Dari Hoasan 2


Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



"Kalian sungguh gagah perkasa,"

   Kata seorang kakek yang berada di antara mereka.

   "Hek-lian-pang telah bertahun-tahun merajalela dan tak seorangpun berani menentangnya, akan tetapi hari ini mereka hancur dan rusak binasa di dalam tangan kalian bertiga orang-orang muda. Untungnya bahwa pangcu mereka sedang keluar kota kalau tidak, belum tentu kalian dapat keluar dengan selamat."

   "Mengapa begitu, lopeh?"

   Tanya Ciasuw In dengan heran.

   "Kalian tidak tahu, ketua rnereka yang sedang pergi itu lihai sekali dan menurut cerita orang, kepandaiannya masih beberapa kali lipat lebih tinggi dari pada kepandaian Gu- pangcu yang binasa itu."

   "Aku tidak takut!"

   Kata Bwee Hiang mengangkat dada.

   "Kalau lain kali aku bertemu dengan dia, pasti akan kupenggal batang lehernya!"

   Kakek itu memandang kagum.

   "Lihiap kalau ia bertemu dan bertempur dengan kau pasti akan merupakan pertandingan yang amat indah dan sedap dipandang!"

   Akan tetapi ketiga anak murid Hoa-san itu tidak memperdulikan mereka, bahkan Ciauw In lalu berpesan agar supaya mereka itu suka turun tangan merawat mereka yang luka serta mengurus yang telah tewas.

   Kemudian mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Kui-san untuk memenuhi tugas yang diserahkan kepada mereka oleh suhu mereka, yakni mewakili Hoa-san untuk mengadu kepandaian di puncak Kui-san! Bukit Kui-san adalah sebuah bukit yang bersih. Tidak terdapat hutan liar di tempat itu dan banyak dusun dibuka orang di lereng-lereng bukit ini yang memiliki tanah subur. Pohon-pohon turnbuh di sana sini dan seluruh permukaan bukit ditumbuhi rumput-rumput hijau yang gemuk menyedapkan mata. Di puncak bukit ini terdapat sebuah kelenteng tua yang amat besar, mempunyai pekarangan yang luas sekali. Tempat inilah yang dipilih oleh Pek Bi Hosiang tokoh besar Go-bi-pai itu untuk mengadakan pibu persahabatan.

   Hwesio ini telah menghubungi ketua kelenteng dan mendapat perkenannya untuk meminjam tempat ini sebagai tempat pibu. Ketika hari-hari pertama musim Chun (musim semi) tiba, berangsur-angsur datanglah segala jago silat dari berbagai tempat hingga suasana di tempat itu ramai bagaikan sedang berpesta. Para penduduk dusun di sekitar bukit, juga orang-orang darl kota jauh yang mendengar akan pertandingan ini, sengaja datang untuk menonton. Ketika Ciauw In, Ong Su, dan Bwee Hiang datang di tempat itu, ternyata di situ telah banyak berkumpul jago-jago muda dan tua dari segala cabang persilatan. Kedatangan ke tiga orang muda itu disambut oleh Pek Bi Hoasiang yang bertindak sebagai tuan rumah atau pengundang. Sikap hwesio tua ini ramah tamah dan setelah mereka menjalankan penghormatan selayaknya, hwesio tua yang beralis putih seluruhnya ini sambil tersenyum bertanya.

   "Sam-wi, di mana adanya Ho Sim Siansu? Apakah orang tua itu akan datang belakangan?"

   "Maaf, locianpwe. Suhu tak dapat datang oleh karena suhu tidak tertarik untuk turun tangan sendiri mengadu pibu, yang menurut katanya seperti permainan kanak-kanak saja,"' jawab Ong Su yang jujur, akan tetapi selagi Pek Bi Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini, Ciauw In segera memotong pembicaraan sutenya yang lancang itu.

   "Locianpwe,"

   Katanya dengan sikap hormat.

   "Suhu tidak ada waktu untuk datang, oleh karena itu suhu sengaja mengutus teecu bertiga untuk mewakilinya."

   "Sayang, sayang... agaknya seperti juga tokoh-tokoh tua dari lain cabang persilatan, suhumu sudah kehilangan kegembiraan hidup. Tidak hanya suhumu yang datang, bahkan sebagian besar dari cabang-cabang persilatan anak-anak murid muda saja, kecuali cabang yang biarpun hanya mengutus Kun-lun-pai dan mendatangkan jago tua, akan Thai-san-pai, tetapi juga tokoh-tokoh tingkat dua saja. Mereka ini benar-benar terlalu sungkan, sayang..."

   Ketiga anak murid Hoa-san ini lalu dipersilakan duduk di ruang yang telah penuh dengan para tamu yang rata-rata bersikap gagah sekali itu. Oleh karena diantara para anak murid yang datang di situ banyak pula terdapat pendekar-pendekar wanita, maka Bwee Hiang merasa gembira sekali dan ia memandang dengan kagum kepada mereka itu. Sebaliknya para pendekar wanita ketika mendengar bahwa gadis muda yang baru datang itu adalah murid dari Hoa-san-pai yang amat terkenal, memandang dengan mata menduga-duga sampai di mana kelihaian gadis ini. Diantara para wanita yang berada di situ, yang amat menarik perhatian Bwee Hiang adalah seorang wanita muda yang berusia paling banyak dua puluh tahun dan yang duduknya menyendiri seakan-akan tidak berteman.

   Dara ini berpakaian hitam dan wajahnya luar biasa cantiknya, sedangkan sikapnya amat gagah, terutama sepasang matanya yang bening dan indah itu benar-benar memikat hati. Setelah semua tamu duduk di tempat masing-masing memenuhi ruangan itu, Pek Bi Hosiang ketua Go bi-pai yang mennjadi pengundang lalu berdiri dari tempat duduknya. Ia menduduki tempat yang khusus disediakan buat para tingkat tua, bersama dua orang tokoh tua lain, yakni Gui Im Tojin dari Kun-lun-pai dan Lan Lau Suthai dari Thai-san-pai. Pek Bi Hosiang yang bertubuh tinggi besar itu nampak girang dan gagah sekali. Jubahnya putih bersih, kepalanya gundul licin dan mukanya berwarna kemerah-merahan dan belum nampak ada keriput. Yang paling menarik perhatian adalah alisnya yang telah berwarna putih dan amat tebal itu. Alis inilah yang membuat ia mendapat nama Pek Bi Hosiang atau Hwesio Alis Putih.

   "Cuwi sekalian,"

   Katanya dengan suaranya yang nyaring dan jelas.

   "pinceng menghaturkan banyak terima kasih dan merasa amat bergembira atas sedatangan cuwi sekalian yang telah memenuhi undangan pinceng untuk datang mengadakan pertemuan pada hari ini, sungguhpun ada sedikit kekecewaan pinceng bahwa para sahabat baik dari golongan tua tak berkesempatan turut hadir. Biarlah, pertemuan kali ini dilakukan oleh yang muda-muda untuk menambah pengalaman dan mempererat persahabatan, dan lain kali akan pinceng usahakan untuk mengadakan pertemuan khusus bagi para locianpwe! Sebagaimana cuwi sekalian ketahui, pertemuan ini diadakan untuk menyelenggarakan sebuah pibu secara persahabatan. Sebuah lumba yang akan menentukan siapakah yang memiliki ilmu silat terbaik, yang dilakukan dalam suasana persahabatan, saling mengisi kekurangan, menambah pengalaman dan mempererat hubungan antara segolongan. Pertemuan ramah tamah seperti ini amat pentingnya dan ada baiknya apabila kelak setelah kami orang-orang tua ini tidak ada lagi di dunia ini, kalian orang-orang muda suka mengusahakan pertemuan macam ini agar persatuan para orang gagah sedunia tidak akan terpecah belah dan setiap persengketaan atau kesalahfahaman dapat dibereskan dalam pertemuan seperti ini. Nah, sekarang mari kita mulai!"

   Pidato ketua Go-bi-san ini disambut dengan tepuk tangan gembira oleh semua hadirin hingga keadaan menjadi makin gembira. Pek Bi Hosiang lalu mengadakan perundingan dengan Gui Im Tojin dan Lan Lau Suthai untuk mengatur cara-cara pertandingan persahabatan itu dilakukan. Setelah berunding beberapa lama, lalu diputuskan bahwa setiap orang muda yang mewakili cabang persilatan mereka, boleh mendaftarkan nama sebagai pengikut dan pertandingan pibu ini akan dilakukan dalam dua babak. Apabila seorang pengikut dapat memenangkan dua pertandingan dalam babak pertama, maka ia berhak ikut dalam babak kedua.

   Kemudian pemenang-pemenang babak kedua ini akan "diuji"

   Kepandaiannya oleh ketiga orang tua yang dianggap sebagai jurinya, yaitu Pek Bi Hosiang sendiri, Gui Im Tojin, dan Lan Lau Suthai. Setelah hal ini diumumkan, maka ramailah orang-orang muda itu mendaftarkan nama masing-masing. Akan tetapi tidak semua ikut mendaftarkan diri. Diantara mereka, yang merasa bahwa kepandaian sendiri masih kurang sempurna, tidak berani mendaftarkan diri, karena takut kalau-kalau mendapat malu. Mereka maklum bahwa yang berkumpul di waktu itu adalah ahli-ahli silat pilihan karena kalau tidak memiliki kepandaian tinggi tidak nanti diutus sebagai wakil golongan masing-masing. Setelah semua nama peserta, maka ternyata bahwa dari partai Go-bi terdapat dua orang peserta, yakni Lo Sun Kang, murid pertama Pek Bi Hosiang, dan sumoinya yang bernama Cui Hai Eng.

   Dari Kun-lun-pai yang ikut adalah Bong Hin dan Bong Le, kakak beradik yang juga merupakan murid pertama dan kedua dari perguruan Kun-lun-pai, sedangkan Gui Im Tojin adalah susiok (paman guru) mereka. Siauw-lim-pai diwakili oleh seorang hwesio muda bernama Hwat Siu Hwesio, seorang kepala gundul yang pendiam dan tak banyak bicara, akan tetapi sepasang matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh. Partai Bu-tong-pai diwakili oleh Ong Hwat Seng, seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang tampan dan gagah, akan tetapi yang mempunyai watak amat sombong dan tekebur. Dari pihak Thai-san-pai, keluarlah dua orang gadis cantik dan gagah bernama Tan Bi Nio dan Kui Ek Li, kedua-duanya murid Lan Lau Suthai yang hadir di situ.

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Pendekar Dari Hoasan/Hoasan Tayhiap (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   Selain wakil-wakil dari partai, ada juga beberapa orang yang tidak mewakili partai, atau peserta luar yang juga diperbolehkan mengikuti pibu ini. Diantara mereka terdapat dua orang yang perlu dikemukakan, yakni seorang pemuda bernama Kam Sui Hong, dan seorang dara jelita yang tadi dikagumi oleh Bwee Hiang, dan yang mendaftarkan namanya sebagai Gu Sian Kim. Juga Ciauw In, Ong Su, dan Bwee Hiang mendaftarkan namanya hingga dari fihak partai yang terbanyak adalah partai Hoa-san ini. Dengan demikian maka jumlah peserta ada lima belas orang. Tentu saja mereka ini adalah orang-orang pilihan, karena pada waktu itu yang datang memenuhi ruangan tidak kurang dari lima puluh orang dari berbagai golongan. Ketika para peserta itu dipersilakan untuk bersiap dan karena agaknya mereka ini masih merasa malu-malu ketika diminta seorang di antaranya naik ke panggung akan tetapi tidak ada yang muncul.

   Pek Bi Hosiang sebagai tuan rumah lalu menyuruh muridnya yang kedua mendahului mereka. Ciu Hai Eng, gadis bermuka kuning murid Go-bi-pai ini mentaati perintah suhunya dan dengan gerakan ringan sekali ia melompat ke atas panggung. Munculnya gadis ini di sambut oleh tepuk tangan para penonton, yakni penduduk dusun dan kota yang sengaja datang menonton karena mereka yang telah menanti-nanti dari pagi tadi maklum bahwa kini pertandingan akan segera dimulai. Melihat gadis Go-bi-pai itu telah melompat naik ke panggung, maka murid kedua dari Thai-san-pai, yakni Kui Ek Li yang bertubuh kecil langsing dan bermuka manis, lompat menyusul, disambut dengan tempik sorak pula. Kui Ek Li mengangkat kedua tangannya kepada Ciu Hai Eng yang tersenyum dan membalas penghormatannya.

   "Cici, bagaimanakah kita bertanding, bertangan kosong, atau bersenjata?"

   Tanya Kui Ek Li dengan senyum manis, kepada Hai Eng yang lebih tua darinya itu. Memang tadi telah ditetapkan bahwa dalam pertandingan ini, kedua peserta boleh berunding sendiri apakah mereka akan bertanding dengan tangan kosong atau bersenjata.

   "Adik yang manis,"

   Jawab Hai Eng sambil tersenyum pula.

   "telah lama aku mendengar tentang kehebatan ilmu golok Thai"san-pai ingin sekali aku mencobanya."

   Sambil berkata demiklan, Ciu Hai Eng mengeluarkan pedangnya, sedangkan Kui Ek Li segera mencabut keluar goloknya yang kecil dan tipis dari pinggang.

   "Berlakulah murah hati kepadaku, cici,"

   Katanya sambil memasang kuda-kuda dan setelah saling mengangguk, kedua orang gadis itu mulai bersilat dan saling serang. Ciu Hai Eng segera mengeluarkan ilmu pedang cabang Go-bi-pai yang tangguh dan cepat gerakannya itu, sedangkan Kui Ek Li juga tidak mau kalah. Goloknya berkelebatan merupakan sinar putih yang lebar dan panjang, menyerang dengan hebatnya.

   Bagi para penonton yang tidak mengerti ilmu silat, tentu saja pertandingan ini membuat hati mereka berdebar tegang dan cemas karena kuatir kalau-kalau seorang di antara kedua gadis itu akan terbacok golok atau tertusuk pedang. Akan tetapi bagi mereka yang mengikuti pertandingan itu dan mengerti akan ilmu silat tinggi, tidak ada kekuatiran ini di dalam hati. Mereka maklum bahwa orang yang telah memiliki ilmu kepandalan silat tinggi, dapat menguasai gerakan senjata mereka sepenuhnya hingga mereka takkan kesalahan tangan membunuh atau melukai hebat kepada lawan, sungguhpun setiap serangan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan hebat, karena mereka telah cukup gesit untuk menghindarkan diri dari setiap serangan, dan juga andaikata lawan kurang cepat mengelak, mereka ini masih dapat menguasai senjata dan menahan serangan hingga tidak sampai mendatangkan luka yang mematikan.

   Setelah kedua orang gadis itu bertempur selama dua puluh jurus lebih, maka bagi mata para ahli yang berada di situ, ternyatalah bahwa gerakan pedang Ciu Hai Eng lebih kuat dan matang hingga perlahan-lahan golok Kui Ek Li mulai terdesak. Akan tetapi hal ini tentu saja tidak diketahui olen para penonton yang tidak rnengerti ilmu silat tinggi, oleh karena mereka hanya melihat betapa kedua gadis itu bergerak cepat sekali hingga bayangan tubuh mereka lenyap tertelan sinar pedang dan golok. Kui Ek Li juga maklum akan kehebatan ilmu pedang lawannya, maka untuk menjaga nama perguruan dan untuk rnemperoleh kemenangan, tiba-tiba ia melakukan serangan yang luar biasa hebatnya, yakni dengan tipu Hong-sauw-pat-yab atau Angin Sapu Daun Rontok.

   Goloknya benar-benar merupakan angin taufan yang berkelebatan dan menyambar-nyambar dengan ganas sekali. Diam-diam Ciu Hai Eng merasa kagum melihat kegesitan gadis muda itu, akan tetapi ia memang lebih kuat dan lebih tenang hingga menghadapi serangan hebat ini ia tidak menjadi gugup. Dengan ketenangan disertai kegesitannya yang mengagumkan, Ciu Hai Eng lalu mainkan tipu silat Seng-siok-hut-si atau Musim Panas Kebut Kipas. Pedangnya terputar melindungi tubuhnya dari depan hingga tiap tusukan dan babatan golok lawannya selalu tertangkis dengan kuatnya, bahkan ia lalu membalas dengan serangan Hui-pau-liu-cwan atau Air Terjun Bertebaran. Karena memang ia menang kuat dalam hal tenaga lweekang, maka serangannya ini membuat Kui Ek Li merasa kewalahan dan setelah terdesak mundur dengan hebat, ia melompat sambil berseru.

   "Cici, ilmu pedangmu hebat sekali!"

   Kalau para penonton di luar menganggap Ek Li mengalah, adalah para ahli yang melihatnya maklum bahwa tadi dalam pertempuran terakhir, ujung pedang Hai Eng telah berhasil membabat putus ujung ikat pinggang Ek Li yang melambai ke bawah!

   Menurut peraturan, maka untuk dapat memasuki babak kedua, Ciu Hai Eng harus menangkan satu pertandingan lagi. Oleh karena itu, ia masih berdiri seorang diri di atas panggung setelah EK Li turun dan dengan tenang menanti datangnya lawan kedua. Melihat kelihaian Ciu Hai Eng, Ong Su menjadi tertarik. Ia dulu pernah bertemu dengan seorang anak murid dari Go-bi-pai yang mengantarkan surat untuk suhunya dan menurut pandangannya, ilmu kepandaian pengantar surat itu walaupun cukup baik, akan tetapi tidak setinggi ilmu silat gadis bermuka kuning dari Go-bi-pai ini. Setelah mendapat persetujuan suheng dan sumoinya, ia lalu melompat naik ke atas panggung sambil membawa toyanya. Mendengar nama Ong Su sebagai murid Hoa-san-pai disebut oleh Pek Bi Hosiang, semua orang memandang dengan penuh perhatian. Ong Su menjura kepada Ciu Hai Eng dan berkata,

   "Enci yang gagah perkasa, perkenankanlah aku merasai kelihaian ilmu pedang cabang Go-bi-pai!"

   Katanya dengan suaranya yang nyaring sesuai dengan tubuhnya yang kuat dan tegap itu. Ciu Hai Eng maklum akan ketangguhan lawan ini, akan tetapi ia merasa agak heran melihat pemuda ini memegang sebatang toya.

   "Saudara yang baik,"

   Katanya.

   "telah lama aku mendengar bahwa Hoa-san-pai memiliki ilmu pedang yang jarang tandingannya di dunia ini dan tadi aku telah merasa amat gembira mendengar bahwa aku mendapat kehormatan untuk merasakan kehebatan Hoa-san Kiam-hwat. Akan tetapi mengapa kau membawa-bawa toya?"

   Ong Su tertawa, suara ketawanya bebas lepas menandakan kejujuran dan kepolosan hatinya.

   "Enci yang gagah, semenjak belajar ilmu silat, aku lebih suka memegang toya ini dan ilmu pedang yang kupelajari belum cukup untuk menandingi ilmu pedangmu tadi. Selain ilmu pedang, Hoa-san-pai juga memiliki ilmu toya dan marilah kita main-main sebentar untuk menambahkan pengetahuanku yang amat dangkal."

   Karena memang wataknya amat jujur, maka biarpun merendahkan diri namun ucapan Ong Su terdengar kaku. Sambil tersenyum Ciu Hai Eng lalu memasang kuda-kuda dan berkata,

   "Saudara Ong yang baik, silakan menyerang!"

   Ong Su tidak sungkan-sungkan lagi dan segera menggerakkan toyanya dan terkejutlah Cui Hai Eng melihat gerakan toya yang benar-benar hebat itu. Ia maklum bahwa dalam hal tenaga, ia tidak dapat mengimbangi tenaga lawan yang kuat bagaikan seekor harimau muda ini, maka ia berlaku hati-hati sekali dan memutar pedangnya dengan cepat untuk mendesak Ong Su dengan ginkangnya yang tinggi. Akan tetapi, kembali ia terkejut karena biarpun tubuhnya besar dan kuat, namun gin-kang dari Ong Su cukup lihai dan tidak berada di sebelah bawah ginkangnya sendiri!

   Pertempuran kali ini lebih hebat dari pertempuran tadi sehingga penonton bersorak-sorak gembira. Memang benar-benar mengagumkan gerakan kedua orang itu. Toya di tangan Ong Su bergerak-gerak kuat bagaikan gelombang ombak samudera yang bergulung-gulung memukul pantai, sedangkan Ciu Hai Eng dengan amat gesitnya berkelebat dengan sinar pedangnya diantara gulungan gelombang sinar toya itu! Kalau diukur, kepandaian kedua orang muda ini memang seimbang. Ong Su memang boleh dibilang menang tenaga, akan tetapi dalam hal kegesitan, ia masih kalah sedikit. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh ginkang, karena ilmu meringankan tubuh mereka setingkat, hanya karena senjata di tangan gadis itu lebih ringan dan dipegang di ujung tangan, maka dapat digerakkan lebih cepat dari pada gerakan toya yang dipegang oleh kedua tangan.

   Dalam hal mempertahankan diri, memang senjata toya lebih bermanfaat dan praktis, akan tetapi dalam penyerangan, kalah ganas oleh gerakan pedang. Hal ini dapat dilihat dengan baik oleh para ahli yang berada di situ, dan bagi mereka juga amat sukar untuk menentukan siapakah yang lebih unggul diantara kedua orang muda yang sedang bertempur itu. Ciu Hai Eng yang sudah mulai lelah, segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat, yakni ia menggunakan gerak tipu Dewi Kwan Im Menyebar Bunga. Gerakan pedangnya kali ini benar-benar cepat sekali sehingga Ong Su merasa amat terkejut. Seakan-akan berubah menjadi dua batang, pedang di tangan gadis itu dengan secara tiba-tiba dan bertubi-tubi menyerang dengan tusukan ke arah lehernya lalu diteruskan membacok dadanya!

   Ong Su menggerakkan toyanya menangkis, akan tetapi ketika dua kali serangan ini dapat ia tangkis, tahu-tahu pedang gadis itu telah terpental dan langsung menusuk ke perutnya! Ong Su merasa terkejut dan tak tempat menangkis lagi. Akan tetapi, tiba-tiba pedang di tangan Hai Eng berubah gerakannya karena gadis ini tidak mau melukai lawannya dan kini pedang itu meluncur ke pinggir perut Ong Su dan hanya menyerempet bajunya saja. Pada saat itu toya Ong Su yang ditangkisnya tadi telah tiba dan menghantam pedang itu sekerasnya hingga pedang di tangan Hai Eng terlepas dari pegangan! Ong Su adalah seorang yang jujur. Ia maklum bahwa kalau mau, tadi gadis itu telah dapat mengalahkannya, dan bahwa gadis itu telah berlaku mengalah, maka kini melihat betapa pedang gadis itu terlepas dari pegangan karena sampokan toyanya, iapun lalu melepaskan toyanya itu dari pegangan hingga jatuh ke atas lantai panggung! Ciu Hai Eng tersenyum dan menjura.

   "Ong-enghiong, tenagamu besar sekali, aku mengaku kalah."

   Ong Su buru-buru membalas dengan menjura dalam. Ketika para penonton menyambut kemenangannya dengan tepuk sorak, ia lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata dengan suara keras.

   "Bukan siauwte yang menang, akan tetapi nona inilah yang menang! Aku mengaku kalah!"

   Setelah berkata demikian, ia menjura lagi kepada Hai Eng dan berkata.

   "Enci yang gagah, aku benar-benar mengaku kalah dan terima kasih atas kemurahan hatimu tadi!"

   Setelah berkata demikian, Ong Su mengambil toyanya dan melompat turun kembali ke tempat duduknya semula di dekat Ciauw In dan Bwee Hiang.

   "Ji-suheng, sikapmu tadi benar-benar baik dan membanggakan hatiku,"

   Kata Bwee Hiang. Sedangkan Ciauw In hanya mengangguk-angguk dan berkata,

   "Dia memang lihai ilmu pedangnya."

   Para juri yang terdiri dari Pek Bi Hosiang, Gui Im Tojin, dan Lan Lau Suthai juga tahu akan hasil pertempuran tadi, maka dalam babak pertama ini, Ciu Hai Eng dinyatakan keluar sebagai pemenang dan ia diperbolehkan duduk mengaso dan menanti untuk masuk dalam babak kedua! Tepuk-sorak ramai menyambut kemenangan Hai Eng ini dan gadis itu lalu duduk di tempatnya sendiri dan diam-diam merasa kagum akan kejujuran hati Ong Su, murid Hoa-san-pai yang lihai ilmu toyanya itu.

   Ketika peserta lain dipersilakan naik, wakil Bu-tong-pai yang bernama Ong Hwat Seng pemuda yang menjadi wakil tunggal dari partai Bu-tong itu melompat ke atas panggung. Ia sengaja melakukan gerak lompat Garuda Sakti Melayang Naik, sebuah gerakan yang amat indah dipandang. Sambil melompat, ia membuka kedua lengannya ke kanan kiri bagaikan sayap garuda, kedua kakinya ditekuk ke atas seakan-akan cakar garuda hendak menyambar dan tubuhnya seakan-akan telungkup di udara. Ketika tubuhnya turun ke atas papan panggung luitai (panggung tempat bersilat), kedua kakinya diturunkan dan hinggap di atas papan, demikian ringannya bagaikan seekor burung kecil saja! Tentu saja gerakannya ini disambut oleh tepuk sorak penonton yang merasa kagum sekali.

   Dengan lagak dibuat-buat, pemuda ini lalu menjura ke empat penjuru, kemudian berdiri mengangkat dada dan bertolak pinggang, menanti datangnya lawan! Ong Hwat Seng memang tampan dan gagah orangnya, serta mempunyai kesombongan besar. Hal ini adalah karena ia masih amat muda, belum lebih dari dua puluh tahun dan karena ia memang berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya, maka sifat ini tak begitu mengherankan. Akan tetapi, harus diakui bahwa ia memiliki bakat baik sekali dan ilmu silatnya amat lihai sehingga Bu-tong-pai merata bangga mempunyai seorang murid muda seperti dia. Seorang peserta lain yang tidak mewakili partai, yakni Kam Sui Hong, ketika melihat lagak pemuda di atas pangpung, tidak dapat menahan hatinya lagi. Sambil berkata "maaf!"

   Ia melompat naik ke atas panggung dan menghadapi Ong Hwat Seng sambil menjura.

   "Saudara Ong dari Bu-tong-pai, siauwte Kam Sui Hong minta pengajaran!"

   Katanya.

   "Saudara Kam Sui Hong. baru tadi aku mengenal namamu, akan tetapi aku belum mengerti dari manakah kau berasal, dan kau mewakili cabang persilatan manakah?"

   Pertanyaan ini diajukan dengan senyum dikulum, dan nampaknya Ong Hwat Seng ini memandang rendah sekali. Melihat lagak ini, Bwee Hiang yang melihat betapa Ong Su memandang dengan mata tak senang, segera menggoda ji-suhengnya itu.

   "Ong suheng, saudaramu itu benar-benar memalukan!"

   Ong Su memandang kepada Bwee Hiang dengan merengut.

   "Saudara siapakah? Siapa sudi mempunyai saudara seperti dia?"

   Bwee Hiang tersenyum.

   "Dia juga she Ong, sama seperti shemu sendiri, setidak-tidaknya kau masih ada hubungan saudara dengan dia."

   Makin panaslah hati Ong Su. la bangkit berdiri dan hendak melompat ke atas panggung, akan tetapi tangannya segera dipegang oleh suhengnya.

   "Sute, kau hendak pergi ke manakah?"

   Tanya Ciauw In.

   "Biar aku naik ke panggung dan melawan orang sombong itu!"

   "Hush! Jangan kau begitu, sute. Kau tadi sudah mengaku kalah, dan karenanya kau tidak berhak lagi untuk naik ke panggung. Kau lihat, orang sombong itu kurasa tidak akan kuat menghadapi Kam Sui Hong itu!"

   Juga Bwee Hiang membujuk dan berkata,

   "Ong-suheng, aku tadi hanya bicara main-main saja, apakah kau tidak bisa memaafkan?"

   Luluh lagi kemarahan Ong Su dan dinginlah rasa panas yang membakar hatinya ketika mendengar ucapan Bwee Hiang ini, maka ia menarik napas panjang dan duduk kembali di tempatnya. Sementara itu, Kam Sui Hong ketika mendengar pertanyaan Ong Hwat Seng yang sombong, lalu tersenyum dan menjawab.

   "Saudara Ong Hwat Seng, kau mewakili partai Bu-tong-pai yang ternama, maka tentu kau lihai sekali. Akan tetapi, aku tidak mewakili siapapun juga, kecuali diriku sendiri. Aku hanyalah seorang perantau bodoh yang karena gembira melihat pertemuan ini, melupakan kebodohan sendiri dan ingin menambahkan pengalaman dalam pertandingan pibu persahabatan ini."

   "Sayang sekali, kalau begitu, aku berada dalam keadaan dan kedudukan yang rugi. Kalau menang, maka kemenangan itu tidak dapat mengharumkan nama partaiku, kalau kalah, aku akan malu sekali."

   Bukan main panas hati Kam Sui Hong mendengar ini.

   "Tak usah kau merasa ragu-ragu, saudara Ong. Ketahuilah, biarpun bodoh, akan tetapi aku adalah keturunan langsung dari Kam Ek locianpwe yang mencipta ilmu silat Ang-sin-tiauw-kun-hwat (Ilmu Silat Rajawali Merah)."

   Mendengar pengakuan ini, kagetlah Ong Hwat Seng dan juga semua orang kini menaruh perhatian besar kepada Kam Sui Hong karena nama Ang-sin-tiauw-kun-hwat bukanlah nama ilmu silat yang tidak terkenal.

   "Bagus, kalau begitu biarlah aku belajar kenal dengan Ang-sin-tiauw-kun-hwat!"

   Seru Ong Hwat Seng dengan suara garang dan ia lalu maju menyerang. Kam Sui Hong berlaku waspada dan segera mengelak lalu membalas dengan serangan tak kalah hebatnya. Pertempuran kali ini berbeda dengan yang tadi-tadi, oleh karena dilakukan dengan tangan kosong. Biarpun mereka bertempur dengan tangan kosong, akan tetapi tidak kalah ramainya dengan pertempuran yang sudah-sudah. Kedua orang itu sama kuat, sama cepat, dan ilmu silat keduanya memang tinggi.

   Ilmu silat Bu-tong-pai mempunyai gerakan dan tendangan kaki yang kuat dan lihai maka Ong Hwat Seng mempunyai ilmu tendang yang amat berbahaya. Selain kepandaian menendang ini, iapun ahli tiam-hwat (ilmu menotok jalan darah) dari Bu-tong-pai yang disebut coat-meh-hoat. Ilmu tiam-hwat (totok) ini berbeda dengan ilmu totok dari cabang Siauw-lim-pai yang disebut Tiam-hwee-louw, oleh karena kalau tiam-hwat dari Siauw-lim-pai digunakannya harus tepat dan mencari urat-urat penting, adalah coat-meh-hoat dari Bu-tong-pai tidak mencari urat dan di mana saja totokan itu mengenai tubuh akan mendatangkan kelumpuhan pada lawan. Akan tetapi, ilmu silat turunan yang dimiliki oleh Kam Sui Hong bukanlah ilmu silat biasa saja dan Ang-sin-tiauw-kun-hwat ini telah mengandung pukulan-pukulan lihai dari Hun-kin-coh-kut atau ilmu pukulan untuk memutuskan otot dan melepaskan tulang lawan,

   Juga pemuda ini telah mempelajari ilmu kebal Tiat-pouw-san (Baju Besi) yang membuatnya kebal terhadap segala totokan yang tidak tepat dan kuat datangnya. Bahkan senjata tajam yang mengenai badannya, asal datangnya tidak telak sekali dan tidak dilakukan dengan tenaga lweekang yang tinggi, takkan dapat melukainya! Maka dapat dibayangkan betapa hebatnya pertempuran itu, Sebetulnya, menurut imbangan kepandaian mereka, Ong Hwat Seng seharusnya mendapat kemenangan, oleh karena ilmu kepandaiannya masih tinggi setingkat, juga gerakannya mempunyai banyak variasi yang tak terduga. Akan tetapi, oleh karena ia sombong, maka ia memandang rendah dan juga ia terlalu banyak melagak dan mendemonstrasikan gerakannya agar supaya nampak indah.

   Sudah tiga kali ia berhasil memasukkan jari tangannya dan mengirim serangan totokan, akan tetapi, totokan-totokan ini dapat ditahan oleh kekebalan tubuh Kam Sui Hong hingga meleset dan tidak melukainya. Hal itu membuat Ong Hwat Seng menjadi panasaran dan marah maka sambil berseru keras ia lalu mengeluarkan kepandaian simpanannya, yakni tendangan berantai Siauw-cu-twi. Tendangan yang amat lihai ini dilakukan dengan kedua kaki dipentang sedikit dengan badan agak merendah ke bawah, kemudian secara tiba-tiba ia melompat ke atas kira-kira satu setengah kaki tinggi, kemudian kaki kirinya menendang dengan lutut ditekuk, lalu disusul dengan sambaran tendangan kaki kanan, terus berulang-ulang dan bergantian, bertubi-tubi ditujukan ke arah anggauta berbahaya fihak lawan! Inilah tendangan maut yang amat berbahaya dan sekali saja tendangan itu mengenai sasaran, jiwa Kam Sui Hong takkan tertolong lagi!

   Kam Sui Hong yang melihat keganasan serangan lawan yang seakan-akan lupa bahwa mereka hanya berpibu secara bersahabat itu, dengan terkejut lalu mencoba mengelak, akan tetapi ia merasa kewalahan menghadapi tendangan berantai yang lihai, itu, maka sambil menggunakan kedua tangan untuk menyampok tiap tendangan yang datang, ia terhuyung mundur dan satu kali tendangan itu meleset mengenai pahanya hingga merasa sakit sekali. Menurut patut, Ong Hwat Seng harus menghentikan serangannya karena dengan terdesaknya lawan dan berhasilnya tendangan ke arah paha sudah boleh dianggap menang. Akan tetapi, pemuda ini agaknya masih belum puas kalau belum merobohkan lawan, maka ia tidak mau berhenti dan terus melancarkan serangan tendangannya! Kam Sui Hong yang tertendang pahanya, menjadi lemas sebelah kakinya maka ia terjatuh berlutut dan ini merupakan satu pembelaan diri yang tidak disengaja,

   Oleh karena untuk menghadapi tendangan Siauw-cu-twi memang paling tepat harus merendahkan diri dan menyembunyikan tubuh bagian bawah yang berbahaya. Dengan keadaan itu, maka tendangan Ong Hwat Seng menyambar ke atas kepalanya dan kesempatan itu dipergunakan dengan baiknya oleh Kam Sui Hong yang segera mengulur tangan, menangkap belakang kaki lawan dan mendorongnya sekuat tenaga ke depan hingga Ong Hwat Seng yang sedang menendang itu tidak ampun lagi lalu telempar sampai terjatuh di bawah panggung! Tepuk sorak riuh rendah menyambut kemenangan Kam Sui Hong oleh karena semua orang diam-diam berfihak kepadanya dan tidak senang melihat lagak Ong Hwat Seng yang terbanting ke bawah panggung, setelah merayap bangun dengan muka meringis, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu sambil setengah berlari-lari!

   "Ong-sicu, tunggu...!"

   Pek Bi Hosiang berteriak memanggil pemuda itu, akan tetapi Ong Hwat Seng hanya menengok sebentar dan menjawab,

   "Aku sudah kalah, mau apa lagi!"

   Dan terus berlari pergi! Pek Bi Hosiang menghela napas dan berkata.

   "Ah, mengapa Bu-tong-pai mengirim seorang murid seperti dia?"

   Akan tetapi, ia lalu menarik muka gembira dan memberi tanda agar supaya pertandingan pibu dilangsungkan. Kam Sui Hong biarpun mendapat kemenangan, akan tetapi ia telah menderita luka pada pahanya yang walaupun tidak berbahaya, akan tetapi tak memungkinkan kepadanya untuk menghadapi seorang lawan baru, maka sambil menjura kepada Pek Bi Hosiang ia berkata.

   "Locianpwe, teecu yang bodoh telah membuat onar, maka harap suka dimaafkan dan teecu menganggap bahwa barusan teecu tidak berada di fihak menang. Biarlah selanjutnya teecu menjadi penonton saja, karena untuk menghadapi seorang saudara lain, teecu tidak kuat lagi."

   Orang-orang memuji sikap pemuda yang halus dan sopan ini, bahkan ketiga murid Hoa-san-pai memandangnya dengan kagum.

   "Seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan patut dicontoh,"

   Kata Ong Su. Oleh karena dalam pertandingan yang baru terjadi tidak ada fihak yang dianggap menang, maka lalu muncul jago muda dari Kun-lun-pai yang bernama Bong Lee, yakni murid kedua dari Kun-lun-pai. Bong Lee berada di atas panggung, tiba-tiba berkelebat bayangan orang gundul dan ternyata bahwa Hwat Sui Hwesio wakil dari Siauw-lim-pai telah berada di atas panggung menghadapi Bong Lee sambil menjura dengan sikap hormat. Hwesio ini biarpun masih muda, akan tetapi pada wajahnya nampak kesabaran besar seakan-akan ia telah puluhan tahun menjalani penghidupan suci.

   "Sahabat dari Kun-lun-pai, marilah pinceng melayanimu main-main sebentar untuk menambah kegembiraan,"

   Katanya. Dari gerakannya ketika melompat ke atas panggung tadi saja sudah diketahui bahwa hwesio muda ini tak boleh dipandang ringan, maka Bong Lee sambil membalas menjura lalu berkata.

   "Siauw-suhu, harap berlaku murah hati kepadaku."

   Kemudian, ia maju menyerang sambil mengeluarkan ilmu silat Kun-lun-pai yang cepat. Kedua kakinya tiada hentinya berlompat-lompatan ke kanan kiri dengan gerakan cepat, sedangkan kedua tangannyapun bergerak-gerak membingungkan lawan dengan banyak pukulan-pukulan pancingan dan palsu.

   Inilah ilmu silat Pek-wan-sin-na atau Ilmu Silat Lutung Putih yang benar-benar luar biasa. Ilmu silat ini tidak mengandalkan keteguhan kedudukan kaki, akan tetapi mengandalkan kecepatan dan keringanan kaki untuk melakukan serangan mendahului lawan dengan mempunyai banyak sekali gerakan-gerakan palsu untuk memancing dan membingungkan lawan! Sebetulnya apabila menghadapi seorang yang kurang tenang hatinya, biarpun orang itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi, ilmu silat ini mungkin akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi dalam menghadapi hwesio muda itu, ternyata Bong Lee telah salah taksir. Ia tidak tahu bahwa Hwat Sui Hwesio telah lama menjadi hwesio dan setiap hari meyakinkan ilmu batin dan samadhi hingga ia menjadi tenang sekali.

   Maka, ketika melihat betapa lawannya menggunakan ilmu silat yang amat cepat dan membingungkan, ia persatukan seluruh perhatiannya dan berlaku waspada sambil mainkan ilmu silat Lo-han-kun-hwat, yakni ilmu silat cabang Siauw-lim-pai yang sudah terkenal keteguhannya itu. Dengan gerakan-gerakan yang mantap dan penuh tenaga, walaupun nampak tidak cepat, akan tetapi setiap kali pukulan asli dari lawan menyambar, dengan enak dan mudah saja Hwat Sui Hwesio dapat mengelak atau menangkis, bahkan membalas dengan serangan-serangan cukup berbahaya. Akibatnya Bong Lee harus mengakui keunggulan jago dari Siauw-lim itu ketika sebuah gerakan kaki yang menyapu membuatnya terguling dan dengan cepat hwesio itu lalu menggunakan kedua tangannya untuk membangunkan lawannya.

   "Terima kasih atas pengajaranmu, Siauw-suhu,"

   Kata Bong Lee yang segera mengundurkan diri. Setelah Bong Lee, murid kedua dari Kun-lun-pai ini melompat turun, maka berkelebatlah bayangan hijau dari bawah panggung dan tahu-tahu seorang gadis berpakaian serba hijau telah berdiri di depan Hwat Siu Hwesio.

   Inilah pendekar wanita Tan Bi Nio, murid pertama dari Thai-san-pai atau suci (kakak seperguruan) dari Kui Ek Li yang telah dikalahkan oleh Ciu Hai Eng murid Go-bi-pai tadi. Kalau dibandingkan dengan kepandaian Kui Ek Li, maka kepandaian Tan Bi Nio ini menang jauh dan setingkat lebih tinggi. Dengan sikap sopan ia mengajak pibu hwesio Siauw-lim-si itu dengan menggunakan senjata. Hwat Sui Hwesio segera menyetujuinya dan mengeluarkan senjatanya, sebatang toya. Adapun Tan Bi Nio adalah seorang ahli senjata siang-kek, yakni sepasang tombak pendek yang ujungnya bercagak. Pertempuran kali ini benar-benar mengagumkan karena keduanya memiliki ketenangan yang sama dan juga lweekang masing-masing agaknya setingkat.

   Akan tetapi kemudian ternyata bahwa Tan Bi Nio masih lebih unggul dalam hal kecepatan gerakan. Hwat Sui Hwesio mainkan ilmu toya Hok-houw-kun-hwat, yakni ilmu toya penakluk harimau yang amat terkenal dari cabang Siauw-lim. Akan tetapi lawannya yang telah banyak mengalami pertempuran itu tahu bagaimana harus menghadapi toyanya dan setelah pertempuran berjalan dengan amat serunya selama hampir lima puluh jurus, sebatang tombak bercagak di tangan kirinya berhasil merobek ujung lengan baju hwesio itu yang segera melompat mundur dan menjura mengaku kalah. Sambutan penonton terhadap kemenangan ini meriah sekali karena semua orang merasa suka sekali melihat Tan Bi Nio yang selain cantik, juga tinggi ilmu silatnya dan tidak sombong lagaknya. Adapun Hwat Sui Hwesio, setelah mengaku kalah, lalu duduk kembali ke tempat semula dengan, tenang. dan sikap biasa.

   Dari fihak Siauw lim hanya dia sendri yang datang oleh karena sesungguhnya fihak Siauw-lim tidak begitu bernafsu untuk ikut dalam pibu ini. Kedatangan Hwat Sui Hwesio hanyalah untuk menghormat dan memenuhi undangan Pek Bi Hosiang saja. Setelah wakil Siauw-lim-si kalah, naiklah seorang peserta lain yang tidak mewakili cabang persilatan, akan tetapi sebagai perseorangan lain, hendak mencari pengalaman dan persahabatan. Peserta ini adalah seorang tinggi besar dengan muka hitam. Dia adalah seorang penduduk di kaki bukit Kui-san yang bertenaga besar. Akan tetapi ternyata bahwa peserta ini hanya bertenaga besar saja dan tidak memiliki ilmu silat yang tinggi, maka setelah bertempur dengan tangan kosong melawan Tan Bi Nio, baru belasan jurus saja ia sudah terlempar lagi turun ke bawah panggung!

   Dengan kemenangan berturut-turut ini, Tan Bi Nio berhak memasuki babak kedua dan iapun lalu melompat turun untuk mengaso dan menanti sampai babak kedua dimulai. Pemenang-pemenang selanjutnya dalam babak pertama ini adalah Bong Hin murid pertama dari Kun-lun-pai yang merobohkan dua orang peserta dari luar, dan juga Lo Sun Kang murid pertama dari Go-bi-pai telah mengalahkan seorang peserta dari luar. Ketika Lo Sun Kang masih berdiri menanti, dan Ciauw In hendak melompat naik untuk menghadapi murid Go-bi-pai yang lihai itu, tiba-tiba bayangan hitam yang amat gesit gerakannya melompat naik menghadapi Lo Sun Kang dengan tersenyum manis. Bayangan ini bukan lain ialah gadis baju hitam yang tadi dikagumi oleh Bwee Hiang, karena bersikap gagah dan berwajah cantik jelita.

   
Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memang, dara baju hitam ini benar-benar manis dan jelita sekali. Rambutnya panjang hitam digelung menjadi dua bukit rambut di kanan kiri, diikat dengan sutera kuning yang melambai ke bawah. Kulit mukanya yang putih kemerahan itu nampak lebih putih dan menarik oleh karena pakaiannya yang hitam seluruhnya. Hidungnya mancung dan mulutnya kecil dengan bibir berbentuk indah dan berwarna merah segar. Terutama sepasang matanya amat indah bentuknya dan bening sekali, akan tetapi dari situ terpancar sinar yang tajam berpengaruh. Para penonton memandang kagum dan juga Lo Sun Kang merasa agak sungkan dan malu-malu menghadapi nona cantik ini. Ia segera menjura dengan hormat, sementara itu suara Pek Bi Hosiang yang memperkenalkan tiap peserta yang naik panggung, terdengar menyebut nama peserta ini sebagai Gu Sian Kim.

   "Bolehkah siauwte mengetahui, lihiap ini anak murid dari manakah?"

   Tanya Lo Sun Kang. Sambil tetap bersenyum manis, Sian Kim menjawab,

   "Lo-taihiap, sebetulnya memalukan sekali untuk menuturkan keadaanku, dan sesungguhnya aku amat lancang dan tak tahu kebodohan sendiri berani naik ke sini, karena sesungguhnya aku tidak mewakili cabang persilatan dari manapun juga. Kepandaianku hanyalah ilmu silat pasaran belaka dan kedatanganku ini mohon pengajaran darimu."

   Lo Sun Kang adalah seorang murid terpandai dari Pek Bi Hosiang yang telah banyak merantau hingga ia banyak kenal orang-orang pandai di dunia persilatan, akan tetapi ia belum pernah mendengar nama Sian Kim, maka ia memandang sambil menduga-duga. Ia maklum bahwa orang yang sekali-kali tidak boleh dipandang rendah tentang ilmu silatnya ialah orang-orang yang nampaknya lemah seperti para Pendeta dan para wanita, lebih-lebih apabila mereka ini pandai merendahkan diri. Maka melihat Sian Kim, ia mendapat dugaan bahwa dara ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

   "Lihiap harap jangan terlalu merendahkan diri,"

   Katanya.

   "Tidak tahu lihiap hendak mengadakan pibu dengan tangan kosong atau bersenjata?"

   "Aku pernah mempelajari sedikit permainan pedang dan karena telah lama mendengar bahwa perguruan Go-bi-pai memberi pelajaran delapan belas macam senjata yang lihai kepada murid-muridnya, harap taihiap sudi memberi pelajaran kepadaku dengan semacam senjata yang biasa kau gunakan, agar pengalamanku lebih luas dan terbuka mataku yang bodoh dan sempit pandangan."

   Sambil berkata demikian, Sian Kim meloloskan pedang yang tergantung di pinggangnya dan semua orang berseru kagum karena ternyata bahwa pedangnya mengeluarkan cahaya tanda bahwa pedang itu adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh.

   Lo Sun Kang makin merasa yakin akan kelihaian lawan ini, maka ia lalu mengambil senjatanya yang paling diandalkan, yakni sebatang tombak yang disebut Coa-kut-chio atau Tombak Tulang Ular karena tombak ini melengkung-lengkung seperti tubuh ular dan pada ujungnya terpecah dua seperti bentuk mulut ular yang terbuka. Ujung yang bercabang ini gunanya untuk menggigit atau menangkap senjata lawan untuk diputar dan dirampasnya dan dalam hal permainan tombak ini Lo Sun Kang benar-benar merupakan seorang ahli yang lihai. Sementara itu, diantara semua orang yang memandang ke arah Sian Kim dengan kagum, terdapat pula seorang pemuda yang tiba-tiba merasa betapa dadanya berdebar keras. Pemuda ini adalah Ciauw In, murid Hoa-san-pai itu.

   Selama ini, belum pernah Ciauw In tertarik kepada seorang wanita, bahkan sumoinya sendiri, Bwee Hiang, yang ia tahu menaruh hati kepadanya, diterimanya dengan dingin. Akan tetapi, semenjak saat Sian Kim melompat naik ke atas panggung, ia memandang dengan mata terbelalak dan terbakarlah hatinya oleh api asmara. Ia memandang kepada dara baju hitam itu bagaikan melihat seorang bidadari baru turun dari kahyangan. Gadis itu benar-benar merupakan kenyataan dari pada gadis impiannya, demikian cantik jelita dan terutama sekali kerlingan mata gadis itu membuat ia roboh betul-betul. Bwee Hiang memang tiada hentinya memandang kepada suhengnya yang telah mencuri hatinya ini, maka gadis inipun dapat melihat betapa cahaya dalam mata Ciauw In berubah ketika dara baju hitam itu naik ke panggung.

   Sebagai seorang wanita yang berperasaan halus, Bwee Hiang dengan hati kuatir dapat menduga bahwa suhengnya ini tertarik kepada Sian Kim, maka diam-diam ia merasa panas hati. Sementara itu, kedua orang muda di atas panggung telah mulai bertempur dan segera setelah keduanya menggerakkan senjata di tangan masing-masing, terdengar sorakan penonton yang merasa amat gembira karena kepandaian kedua orang itu benar-benar hebat luar biasa. Tak lama kemudian, sorakan-sorakan itu tiba-tiba terhenti dan mereka ini memandang dengan mulut ternganga dan napas tertahan! Ternyata bahwa ilmu pedang dara baju hitam itu benar-benar mentakjubkan sekali karena setelah bertempur kurang lebih lima belas jurus,

   Tiba-tiba gadis itu berseru nyaring dan gerakan pedangnya berubah sedemikian rupa hingga kini sinar pedangnya berkelebat dan menyambar-nyambar demikian ganas hingga tubuhnya sama sekali tertutup dan sinar pedang itu kini mengurung Lo Sun Kang dengan ganasnya! Ciauw In mengeluarkan seruan tertahan karena ia merasa heran dan kagum sekali, akan tetapi ada juga perasaan ngeri dalam hatinya karena ilmu pedang gadis itu benar-benar ganas sekali. Setiap gerakan merupakan serangan maut yang sukar ditangkis! Kalau saja yang manghadapinya bukan Lo Sun Kang murid pertama dari Pek Bi Hosiang, tentu dalam beberapa gerakan saja ia akan roboh! Akan tetapi Lo Sun Kang melakukan perlawanan sekuat tenaga dan tombak tulang ular di tangannya digerakkan secepatnya untuk mengimbangi serangan lawan yang datang bergelombang itu.

   Akan tetapi, ia hanya dapat bertahan saja oleh karena sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membalas. Pedang Sian Kim terlalu cepat gerakkannya hingga tidak ada ketika sama sekali bagi Lo Sun Kang untuk mengadakan serangan balasan. Tiap kali tombaknya dapat menangkis pedang lawan, maka pedang yang tertangkis itu bukan terpental kembali kepada sipemegang, akan tetapi terpental miring merupakan serangan susulan yang otomatis! Belum pernah Lo Sun Kang menghadapi lawan setangguh ini, maka ia benar-benar merasa gugup dan kagum. Namun, sebagai seorang murid pertama dari cabang persilatan Go-bi-pai, murid Pek Bi Hosiang yang telah terkenal sebagai tokoh besar, tentu saja ia ingin menjaga nama perguruannya.

   Sayang sekali bahwa Lo Sun Kang orangnya berhati lemah dan ia tidak tega untuk membalas dengan serangan kejam terhadap lawannya yang cantik jelita ini. Perasaan bahwa ia sedang bertanding menghadapi seorang lawan wanita dalam sebuah pertandingan persahabatan, selalu mencegahnya untuk bersikap keras dan kejam. Ia tidak ingat bahwa lawannya tidak menggunakan perasaan macam ini, dan bahwa lawannya selalu menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Andaikata ia juga menggunakan kenekatan ini, belum tentu ia akan dapat menang, apalagi karena ia berlaku sungkan-sungkan, tentu saja makin lama ia makin terdesak hebat. Adapun Sian Kim makin lama makin ganas ilmu pedangnya dan mendesak hebat sekali, sama sekali tidak mau memberi kelonggaran.

   Pada suatu ketika, Lo Sun Kang melihat pedang lawan membacok ke arah kepalanya dengan gerakan cepat, segera menggunakan ujung tombaknya untuk "menangkap"

   Pedang itu dan segera tombak diputar cepat untuk merampas pedang. Akan tetapi, pada saat itu, dengan gerakan tak terduga dan cepat sekali, kaki kiri dara baju hitam itu bergerak mendupak ke arah dadanya dengan kecepatan luar biasa! Lo Sun Kang yang sedang mengerahkan seluruh perhatian untuk merampas pedang lawan yang berbahaya itu, tidak menduga sama sekali dan tidak berdaya menghindarkan diri dari dupakan ini, maka cepat ia mengerahkan lweekangnya untuk melindungi dadanya yang disambar kaki! "Duk!"

   Tendangan tepat mengenai dada dan tubuh Lo Sun Kang terhuyung-huyung mundur dan wajahnya menjadi pucat sekali! Pemuda ini lalu menjura di depan Sian Kim dan berkata.

   "Lihiap, kau benar-benar lihai aku Lo Sun Kang mengaku kalah!"

   Kemudian, tanpa menanti jawaban, ia melompat turun ke bawah panggung dan setelah tiba di depan Pek Bi Hosiang, ia muntahkan darah merah dan roboh pingsan! Dengan tenang dan masih tersenyum, Pek Bi Hosiang berkata kepada murid-rnurid lain.

   "Bawa ia ke dalam dan beri kim-tan (obat)!"

   Sementara itu, Sian Kim yang mendapat kemenangan dan menerima tepuk tangan pujian dari para penonton, berdiri dengan tenang dan senyumnya tak pernah meninggalkan mulutnya.

   Ia mengangguk-angguk keempat penjuru sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat sebagai pernyataan terima kasih atas pujian para penonton. Ia belum mau turun oleh karena maklum bahwa untuk dapat memasuki babak kedua, ia harus menangkan sebuah pertandingan lagi. Cauw ln sudah merasa gatal-gatal tangannya untuk dapat mencoba kepandaian bidadari yang menarik hatinya itu, dan ia sudah bangkit berdiri hendak melompat naik ke panggung. Akan tetapi, tiba-tiba Bwee Hiang telah mendahuluinya dan gadis ini telah melompat ke atas panggung terlebih dulu, menghadapi Sian Kim yang memandangnya dengan mata tajam. Terpaksa Ciauw In duduk kembali dengan kecewa, dan ia berkata kepada Ong Su.

   "Mengapa kau tidak melarang dia nalk? Gadis baju hitam itu lihai sekali dan sumoi takkan dapat menang terhadapnya!"

   Ong Su yang ditegur rnenarik napas panjang dan menjawab,

   "Sumoi agaknya marah sekali dan penasaran melihat cara bertempur yang kejam dari gadis baju hitam itu!"

   Ciauw In mengerutkan kening. Kejam? menurut pandangannya, Sian Kim tidak kejam, akan tetapi menggunakan taktik untuk mencapai kemenangan yang sudah wajar dilakukan dalam sebuah pertandingan! Memang, hati seorang muda yang sudah tergoda asmara, takkan melihat atau tidak mau melihat keburukan orang yang dicintainya! Ia jadi ingin naik ke panggung menghadapi Sian Kim bukan dengan maksud hendak merebut kemenangan, akan tetapi untuk dapat berhadapan dan menguji kepandaian gadis yang menarik hatinya itu. Sementara itu, begitu berhadapan dengan Sian Kim, Bwee Hiang segera meloloskan sepasang pedangnya dan berkata keras menahan marahnya,

   "Sobat yang gagah perkasa, biarlah aku mencoba ilmu pedangmu yang ganas itu!"

   Ketika Pek Bi Hosiang menyebut nama Bwee Hiang untuk memperkenalkannya kepada penonton, berubahlah air muka Sian Kim. Gadis baju hitam ini seakan-akan kurang jelas mendengar nama yang disebut oleh tokoh Go-bi-pai itu, maka dengan suaranya yang merdu dan halus ia bertanya kepada Bwee Hiang,

   "Nona manis, siapakan namamu tadi? Tadi kurang jelas terdengar olehku."

   "Aku adalah Gak Bwee Hiang, anak murid Hoa-san-pai!"

   Jawab Bwee Hiang.

   Semua orang yang berada di situ, yang merasa kagum akan kelihaian Sian Kim, menduga-duga siapakah adanya gadis ini dan siapa pula gurunya. Biarpun Pek Bi Hosiang sendiri tidak tahu ilmu pedang apakah yang dimainkan oleh dara baju hitam yang telah berhasil mengalahkan murid pertamanya itu. Juga Ciauw In yang menduga-duga dengan hati tertarik tidak pernah menduga bahwa sebetulnya dara baju hitam ini bukan lain ialah pangcu atau ketua dari Hek-lian-pang! Gadis inilah yang menjadi ketua Hek-lian-pang yang telah diobrak-abrik olehnya dan kedua orang saudara seperguruannya, bahkan Gu Mo Ong yang tewas dalam tangan Bwee Hiang. Itu adalah ayah dari Sian Kim! Ilmu pedang yang dimainkannya tadi adalah ilmu pedang ciptaan seorang pengemis tua yang menjadi guru Sian Kim,

   

Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini