Sakit Hati Seorang Wanita 10
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
Ternyata kelumpuhan tangan akibat totokan itu hanya sebentar saja dan Cai Sun sudah memperoleh tenaganya kembali. Kini dia menubruk dengan dua tangan kosong yang dibuka seperti cakar harimau, menubruk dan menerkam untuk mengadu nyawa.
"Dukkk....!"
Sebuah tendangan menghantam perutnya yang gendut dan dia pun terpelanting roboh, terbanting keras. Cai Sun meringis karena perutnya terasa mendadak mulas, nyeri sekali. Mungkin usus buntunya yang tercium ujung sepatu Cui Hong tadi.
"Bangunlah, anjing hina! Bangunlah!"
Cui Hong menantang, ingin menikmati perkelahian itu sepuasnya, la menendang-nendang perlahan untuk membangunkan Cai Sun.
Cai Sun mengerang sambil mendekam, akan tetapi ini pun hanya siasatnya, karena tiba-tiba ia menubruk dan menangkap kaki kiri Cui Hong! Sekali tertangkap, dia menggunakan kedua lengannya untuk merangkul kaki itu dan menggunakan seluruh tenaganya untuk menyeret gadis itu. Hal ini sama sekali tidak pernah di sangka oleh Cui Hong sehingga ketika kakinya tertangkap, sejenak ia terkejut dan tidak mampu berbuat sesuatu dan ia pun ikut roboh ketika lawan menggunakan tenaga terakhir untuk membetotnya ke bawah.
Cai Sun mengeluarkan suara ketawa aneh dan kedua tangannya lalu menerkam, maksudnya hendak mencekik leher wanita itu yang kini sudah digumulinya. Akan tetapi, Cui Hong sudah dapat memulihkan lagi ketenangannya dan secepat kilat, jari tangan kanannya yang terbuka menusuk ke depan.
"Hekkk....!"
Seketika Cai Sun kehilangan tenaganya dan saat itu dipergunakan oleh Cui Hong untuk meloncat bangun. Ia merasa gemas sekali. Hampir saja ia celaka oleh kecurangan Cai Sun. Kini ia harus berhati-hati.
"Bangunlah, anjing busuk, bangun dan berkelahilah!"
Bentaknya.
Hanya sebentar saja tusukan jari ke arah ulu hatinya tadi membuat Cai Sun kehilangan tenaganya. Dia maklum bahwa dia harus berkelahi sampai napas terakhir, maka dia pun meloncat bangun dan kembali menyerang. ilmu silat tangan kosong Thian-te Sin-kun yang menjadi andalannya, dia mainkan dengan pengerahan tenaga terakhir.
Cui Hong menyelipkan ranting tadi di ikat pinggangnya dan ia pun menyambut serangan lawan itu dengan tangan kosong saja. Akan tetapi, kini tenaga Cai Sun sudah hampir habis, dan bukan saja tenaganya habis, juga napasnya terengah-engah, membuat gerakannya lambat dan tak bertenaga. Tentu saja dia merupakan lawan yang terlalu lemah kini bagi Cui Hong, menghilangkan kegembiraan Cui Hong untuk berkelahi terus. Maka gadis itu kini mencabut rantingnya.
"Anjing keparat Koo Cai Sun, sekarang rasakanlah pembalasanku!"
Bentaknya dan ranting di tangannya berkelebat ke depan dengan cepat dan amat kuatnya. Dua kali ranting itu menyambar ke arah kedua daun telinga Cai Sun.
Bagaikan sebatang pedang saja, ranting itu membabat dan dua kali Cai Sun berteriak ketika sepasang daun telinganya terbabat buntung dan darah pun muncrat keluar dari luka di telinganya. Dapat dibayangkan betapa nyerinya ketika Cai Sun meraba telinga dengan kedua tangan dan melihat daun telinganya sudah lenyap dan telapak tangannya penuh darah. Dia meraung seperti seekor binatang buas, dengan nekat menubruk ke depan, akan tetapi dengan gerak langkah yang aneh, dengan mudah saja Cui Hong mengelak dan kembali ranting di tangannya menyambar.
"Crottt....!"
Cai Sun terpelanting dan meraung kesakitan, mukanya penuh berlepotan darah karena bukit hidungnya remuk dan rata dengan pipi, juga kedua bibirnya hancur dan lenyap terbabat sehingga nampak giginya yang besar-besar! Dia bangkit dan mengeluarkan suara tidak karuan karena setelah bibirnya hilang, sukar baginya untuk bicara, apalagi hidungnya juga buntung, yang keluar hanya suara "ngak-ngeng-ngang-ngeng"
Tidak karuan. Dia menerkam lagi akan tetapi Cui Hong menendang ke arah pergelangan tangan kanannva.
"Krekkk!"
Tulang pergelangan tangan kanan itu remuk dan tangan itu pun menjadi lumpuh. Cui Hong melanjutkan dengan sabetan ranting ke arah pundak kiri. Kembali terdengar tulang remuk ketika ranting itu menghancurkan tulang pundaknya. Tulang itu sama sekali hancur sehingga tidak mungkin tersambung lagi, membuat lengan kirinya bengkok dan miring. Cai Sun kembali meraung-raung, akan tetapi suara raungannya menjadi semakin lemah, juga tubuhnya yang ber-kelojotan menjadi melemah dan akhirnya dia tidak bergerak lagi karena sudah jatuh pingsan! Dia tidak tahu betapa Cui Hong menaburkan obat pada luka di telinga, hidung dan mulutnya. Ia tidak ingin membunuh musuhnya, dan kalau darah dibiarkan terlalu banyak keluar, mungkin saja Cai Sun tewas karena kehabisan darah. Obat bubukitu seketika mengeringkan luka, membuat bekas luka menghitam dan seperti terbakar, akan tetapi darah tidak keluar lagi.
Sejak tadi, Pui Ki Cong menyaksikan semua itu dan melihat betapa Cai Sun disiksa, beberapa kali dia memejamkan mata dan hampir jatuh pingsan saking ngerinya. Dia mulai merasa menyesal bukan main. Terbayanglah di pelupuk matanya ketika dia mengeram Cui Hong selama tiga malam di kamarnya, mempermainkan gadis itu, memperkosanya sampai sepuas hatinya, sampai dia menjadi bosan! Teringat akan itu, dan melihat betapa gadis itu kini menyiksa Cai Sun, teringat pula akan keadaan Louw Ti, Ki Cong menjadi ketakutan setengah mati dan tanpa disadarinya, dia telah terkencing-kencing dan terberak-berak di dalam celananya!
Tidak lama Cai Sun pingsan. Dia siuman akan tetapi begitu sadar, dia menjerit-jerit dan meraung-raung kembali. Mungkin rasa nyeri yang luar biasa itulah yang membuat dia siuman. Ketika dia memandang dengan matanya yang sudah nanar karena kemasukan darahnya sendiri, dia melihat betapa kedua ujung kakinya terbakar! Kiranya, Cui Hong telah menyiram kedua ujung kaki itu dengan minyak dan membakarnya! Sia-sia saja Cai Sun menendang-nendangkan kedua kakinya untuk memadamkan api dan akhirnya, dengan teriakan yang menyayat perasaan dia jatuh pingsan lagi!
Api baru padam setelah minyak pada kakinya habis terbakar, membuat ujung kedua kaki itu melepuh, jari-jari kakinya hangus terbakar. Kini Cui Hong merasa puas dan menghampiri Ki Cong, membebaskan totokannya dan melepaskan borgol kedua tangannya. Begitu bebas, Pui Ki Cong lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.
"Nona, ampunkan saya.... ah, kau ambillah seluruh harta kekayaan saya.... akan tetapi ampunkan saya, Nona"
Ratapnya sambil menangis sesenggukan.
"Bangsat Pui Ki Cong yang biadab! Coba ingat kembali betapa engkau menyuruh bunuh Ayah dan Suhengku, dan lupakah engkau akan apa yang kaulakukan terhadap tubuhku ini selama tiga hari t iga malam?"
"Ampun.... saya mengaku salah, ampun...."
Ki Cong meratap. Dia takut sekali, dan tidak seperti Cai Sun tadi, dia sama sekali tidak mempunyai niat untuk melawan, karena apakah yang akan dapat dia lakukan terhadap wanita yang amat lihai ini? Cai Sun saja tidak mampu berbuat banyak, apalagi dia yang hampir tak pandai ilmu silat sama sekali!
"Engkau masih dapat minta ampun kepadaku? Hemm, Pui Ki Cong, selama bertahun-tahun aku mendendam dan aku bersumpah bahwa aku akan membalas dendam semua perbuatanmu kepadaku tujuh tahun yang lalu! Seluruh sisa hidupku kutujukan untuk pembalasan dendam ini dan engkau minta ampun? Jangan harap!"
Kini Cui Hong mencabut ranting dari ikat pinggangnya.
"Aku akan menyiksamu sampai engkau menjadi manusia bukan setan pun bukan, aku akan menghabiskan seluruh hartamu dan membunuh seluruh keluargamu!"
Tentu saja ini hanya merupakan ancaman-ancaman untuk menyiksa batin Ki Cong.
"Lakukanlah semua itu, akan tetapi ampunkan saya, Nona."
"Apa? Engkau membiarkan aku menghabiskan hartamu dan membunuh seluruh keluargamu asal engkau diampuni?"
"Benar, Nona. Lakukanlah segalanya, akan tetapi ampunkan aku...."
"Jahanam! Benar-benar seorang pengecut dan iblis berhati kejam!"
Bentak Cui Hong yang tadinya merasa heran mendengar ada orang mau mengorbankan anakisteri dan hartanya asal dirinya se lamat! Dari sikap ini saja dapat dilihat betapa rendahnya martabat manusia bernama Pui Ki Cong ini.
"Sikapmu ini mendorongku untuk segera turun tangan karena manusia macammu ini pantas sekali dihajar!"
Ranting di tangannya menyambar-nyambar, terdengar bunyi ranting itu bercuitan dan meledak-ledak di atas tubuh Ki Cong yang meraung-raung kesakitan.
Cui Hong menyalurkan seluruh dendamnya melalui cambukan-cambukan itu, akan tetapi ia masih ingat untuk menyimpan tenaganya agar tidak memukul terlalu keras dan membunuh orang itu. Ia terus mencambuki seluruh tubuh Ki Cong sampai pakaiannya hancur semua, sampai kulit tubuhnya pecah-pecah dan penuh darah, la memukul terus sedangkan tubuh Ki Cong berkelojotan di atas tanah, dan ketika memukul kedua lengan dan kaki, Cui Hong menambah tenaganya sehingga tulang-tulang dari siku ke bawah dan dari lutut ke bawah remuk-remuk semua! Ki Cong tidak mampu meraung lagi, hanya mer intih dan menggeliat, hampir tak mampu bergerak lagi. Ketika ranting itu menghujani mukanya, muka itu menjadi hancur kulitnya, kedua biji matanya keluar, hidung dan bibirnya hancur, juga kedua daun telinganya putus. Keadaannya lebih mengerikan daripada keadaan Cai Sun karena dia kehilangan kedua matanya!
Menjelang pagi, Cui Hong menyeret dua tubuh yang empas-empis itu, yang sudah tidak mengeluarkan darah lagi karena dibubuhi obat bubuk, dua tubuh yang pingsan, menuju ke kota raja. Dengan kepandaiannya, ia dapat membawa mereka melompati pagar tembok dan menggantung kedua tubuh itu dengan kepala di bawah kaki di atas, tepat di depan pintu gerbang keluarga Pui!
Pagi hari itu, gegerlah kota raja. Semakin banyak saja orang berlarian mendatangi rumah gedung keluarga Pui dan mereka berkumpul di depan pintu gerbang yang menjadi ramai seperti pasar. Pemandangan di situ sungguh mengerikan semua orang. Dua tubuh itu digantung terbalik, dalam keadaan pingsan dan kalau siuman hanya dapat mer intih lirih lalu pingsan lagi. Karena tadinya orang sukar mengenali dua tubuh itu, maka para penjaga dan pelayan di gedung itu merasa ragu-ragu untuk menurunkan mereka.
Yang membuat orang merasa ngeri adalah melihat wajah dua orang itu. Sudah hancur penuh darah dan sukar dikenali lagi. Hidung, telinga dan bibir mereka hilang, nampak lubang hidung dan gigi mereka, apalagi yang seorang memiliki sepasang kaki yang hangus dan melepuh bekas terbakar. Yang seorang lagi, tidak ada bagian tubuhnya yang tidak berdarah, seolah-olah dia telah dikuliti. Kulit tubuhnya masih ada, akan tetapi sudah hancur dan penuh darah!
Baru setelah Cia Kok Han dan Su Lok Bu datang ber larian, semua orang tahu bahwa dua tubuh itu adalah tubuh Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun! Tentu saja dua tubuh itu segera diturunkan dan dirawat. Memang nyawa mereka tertolong, akan tetapi tubuh mereka tidak mungkin tertolong lagi. Tubuh itu telah menjadi penuh cacat, menjadi tubuh yang menakutkan. Tanpa hidung tanpa bibir tanpa daun telinga, dengan kaki dan tangan lumpuh bengkok-bengkok, bahkan Pui Ki Cong kini menjadi buta! Sungguh, hukuman yang dijatuhkan Cui Hong kepada musuh-musuhnya terlalu kejam dan sadis, membuat mereka nampak seperti bukan manusia lagi, seperti gambaran iblis-iblis yang amat menakutkan dan menyeramkan.
Yang menggegerkan mereka yang menonton, kecuali keadaan dua orang yang amat mengerikan itu, juga sehelai kain putih yang ditulis dengan huruf-huruf besar, tintanya merah karena yang dipergunakan adalah darah korban-korban itu :
MEWAKILI PARA WANITA YANG MEREKA PERKOSA DAN
ORANG-ORANG TAK BERDOSA YANG MEREKA BUNUH.
Gegerlah penduduk kota raja, akan tetapi banyak di antara mereka yang ikut merasa puas karena Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun sudah terkenal sebagai pengganggu para wanita cantik, baik wanita itu isteri orang lain, atau janda, ataukah masih perawan. Dan banyak pula orang yang tewas di tangan mereka tanpa berani menuntut balas. Akan tetapi banyak pula yang merasa penasaran karena kedua orang itu pandai menutupi kejahatan mereka dengan sikap dermawan, menggunakan uang mereka yang kelebihan. Mereka yang pernah ditolong tentu saja merasa penasaran dan menyesal melihat betapa dermawan penolong mereka mengalami nasib yang demikian mengerikan.
Ketika banyak orang berkerumun dan tubuh manusia setengah mati yang tergantung terbalik itu, terdapat pula seorang tosu yang menonton sambil menangis! Dia hendak menyembunyikan dan menahan tangisnya, tidak mengeluarkan bunyi, akan tetapi kedua matanya bercucuran air mata.
Ketika dua tubuh itu diturunkan oleh Cia Kok Han dan Su Lok Bu, ditangisi oleh keluarga Ki Cong dan Cai Sun, dibantu oleh anak buah pasukan pengawal tosu iu menyelinap pergi di antara para penonton yang berjubel di tempat itu. Dia seorang tosu yang usianya belum begitu tua, di bawah lima puluh tahun akan tetapi wajahnya yang penuh kerut merut tanda penderitaan batin itu membuat wajahnya nampak lebih tua. Pakaiannya sederhana sekali, berwarna kuning yang agak luntur dan kumal. Tosu ini bermata tajam, akan tetapi matanya membayangkan kedukaan besar, apalagi setelah tadi dia melihat dua orang yang keadaannya amat mengerikan itu.
"Siancai....! Kekuasaan alam tak mungkin diingkari manusia. Tangan kanan menanam tangan kiri menuai, itu sudah adil namanya. Semoga aku t idak akan menyeleweng daripada Jalan Kebenaran, siancai, siancai!"
Berkali-kali tosu itu bicara kepada diri sendiri, menarik napas panjang dan berkali-kali menggeleng kepala seperti hendak mengusir penglihatan yang tidak menyedapkan hatinya.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa sejak di tempat keramaian tadi, ada seorang laki-laki muda yang memperhatikannya, bahkan ketika dia meninggalkan depan gedung keluarga Pui, laki-laki muda itu membayanginya dari jauh. Tosu itu berjalan terus, seperti orang kehilangan semangatnya, seperti orang melamun, keluar dari pintu gerbang kota sebelah barat, dan terus berjalan dengan wajah penuh duka. Laki-laki muda itu tetap membayanginya dari jauh. Setelah meninggalkan kota sejauh kurang lebih lima belas Li, barulah tosu itu berhenti dan masuk ke dalam sebuah kuil yang tua dan sunyi menyendiri, di tepi jalan simpangan yang kecil, di luar sebuah dusun kecil tempat tinggal para petani.
Dan begitu dia memasuki kuil itu, sampai di ruangan dalam, tosu itu pun menjatuhkan diri berlutut dan menangis dengan suara terisak-isak seperti anak kecil! Kemudian terdengar dia mengeluh dengan suara yang cukup keras, karena dia yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali dia sendiri,
"Nah, menangislah, Gan Tek Un! Sesalilah semua perbuatanmu yang terkutuk dan bertaubatlah, camkanlah bahwa semua perbuatan jahat akhirnya akan mendatangkan malapetaka yang lebih hebat, yang akan menimpa diri sendiri. Buah dari pohon yang kautanam akan kaumakan sendiri...!"
Dan dia pun menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangan, teisak-isak dan kedua pundaknya terguncang.
Tiba-tiba dia menghentikan tangisnya. Ada suara kaki orang tertangkap oleh pendengarannya yang tajam. Dia bangkit berdiri dan membalikkan tubuh setelah cepat-cepat menghapus air matanya dan dia berhadapan dengan seorang laki-laki muda yang tidak dikenalnya. Tosu itu mengerutkan alisnya dan memandang penuh selidik. Kemunculan laki-laki ini yang secara tiba-tiba mendatangkan kecurigaan. Seorang laki-laki berusia t iga puluh tahun, pakaiannya seperti seorang petani, dari kain kuning yang kasar, rambutnya digelung ke atas dengan pita biru, tubuhnya sedang dengan dada yang bidang. Dia tidak mengenal pemuda ini dan jelas dia bukan seorang pemuda dusun dekat kuil itu. Akan tetapi, sudah menjadi kebiasaan tosu itu untuk menyambut siapa pun dengan ramah dan sopan, walaupun kedatangan pemuda ini kurang sopan, tahu-tahu langsung saja masuk ke ruangan dalam.
Tosu itu menjura dengan sikap hormat.
"Selamat datang di kuil pinto yang sederhana inij orang muda. Tidak tahu apakah yang dapat pinto lakukan untukmu? Mari, silakan duduk di ruangan depan, di mana ada bangku dan kita boleh bercakap-cakap dengan enak. Apakah ada yang sakit dan membutuhkan obat? Atau engkau datang untuk bersembahyang?"
Akan tetapi orang muda itu membalas penghormatan tosu itu, kemudian memandang tajam penuh selidik dan akhirnya dia berkata.
"Paman Gan Tek Un, apakah Paman tidak ingat lagi kepada saya?"
Tosu itu nampak kaget sekali mendengar ada orang memanggil namanya, nama yang selama beberapa tahun ini tidak pernah dipergunakannya. Kini dia lebih dikenal dengan sebutan Gan Tosu. Dia memandang dengan alis berkerut dan penuh perhatian, mengingat-ingat siapa gerangan orang muda ini, akan tetapi tetap saja dia tidak mampu mengenalnya.
"Orang muda, pinto adalah Gan Tosu, dan pinto merasa tidak pernah bertemu atau berkenalan denganmu. Siapakah engkau, datang dari mana dan ada keperluan apakah?"
Akhirnya dia berkata dengan heran.
Pemuda itu tersenyum.
"Paman Gan Tek Un, saya adalah Tan Siong, keponakan Paman sendiri."
Tosu itu terbelalak, pandang matanya menatap wajah Tan Siong penuh selidik dan akhirnya dia teringat. Kurang lebih dua puluh tahun, seorang anak laki-laki yang bernama Tan Siong, keponakannya, putera encinya yang pada waktu itu baru berusia sepuluh tahun, telah pergi dibawa oleh seorang tosu! Dan teringatlah dia akan semua perbuatannya.
"Siancai.... siancai. siancai....!"
Dia menengadah dan mengangkat kedua tangan ke atas.
"Betapa cepatnya dan tidak terduganya datangnya hukuman bagi seseorang!"
Lalu dia memandang kepada Tan Siong.
"Tan Siong, sekarang pinto teringat, engkau memang keponakanku, putera dari mendiang Enciku. Ahh, engkau baru datang, Tan Siong? Nah, inilah pinto, orang yang penuh dosa. Kalau engkau datang untuk menghukumku, lakukanlah, pinto siap untuk menebus dosa-dosa pinto terhadap orang tuamu, Tan Siong!"
Dan tosu itu lalu menjatuhkan diri berlutut, kedua lengan bersilang di depan dada, kepalanya menunduk dengan sikap pasrah!
Sejak tadi Tan Siong sudah membayangi tosu ini. Dia tadi ikut pula tertarik oleh keributan orang-orang yang mengabarkan bahwa di depan pintu gerbang keluarga Pui terdapat dua orang yang digantung dalam keadaan luka-luka parah. Ketika dia berdesakan dengan banyak orang untuk menonton, dia segera mengenal Cai Sun, dan orang ke dua yang digantung itu walaupun tidak dikenalnya, akan tetapi di antara orang banyak ada yang mengatakan bahwa dia adalah Pui Ki Cong, majikan gedung besar itu. Dan melihat tulisan di atas kain putih, tulisan dengan darah itu, jantung Tan Siong berdebar penuh ketegangan. Kim Cui Hong! Siapa lagi kalau bukan Kim Cui Hong yang dapat melakukan hal itu? Ah, kini baru dia sadar. Kiranya Cai Sun merupakan seorang di antara empat orang musuh besar Cui Hong, empat orang yang pernah merusak kehidupan Cui Hong dengan perbuatan mereka yang keji, yaitu memperkosa dan menghinanya.
Tahulah dia kini mengapa Cui Hong berada di kota raja dan menyamar sebagai Ok Cin Hwa. Kiranya sedang melakukan penyelidikan dan. sedang berusaha membalas dendam dan kini, melihat cara wanita itu membalas dendam, dia bergidik. Keterlaluan! Wanita itu harus dicegah melanjutkan usahanya yang kejam. Tidak, dia tidak akan membiarkan wanita yang sampai kini masih dicintanya itu menjadi tersesat seperti itu.
Dalam dendamnya berubah menjadi iblis yang luar biasa kejamnya. Bergidik dia melihat keadaan dua orang itu. Dia tahu bahwa biarpun mereka berdua itu dapat tertolong nyawanya karena tidak menderita luka yang parah, hanya luka-luka di kulit saja, namun mereka akan menjadi seorang penderita cacat yang mengerikan keadaannya. Dengan muka yang rusak dan menjadi buruk dan menakutkan sekali, tanpa telinga, tanpa hidung dan bibir, dan dengan kaki tangan tidak normal. Betapa mengerikan!
Dan pada saat itu Tan Siong melihat sesuatu yang amat menarik hatinya. Seorang tosu yang mengis melihat keadaan dua orang itu, walaupun tangisnya itu ditahan dan hendakdisembunyikan. Dan selain keadaan yang aneh ini, juga diatertarik kepada tosu itu. Ada sesuatu yang menarik hatinya. Dia seperti sudah mengenal wajah itu. Maka ketika tosu itu pergi, dari jauh Tan Siohg membayanginya dan setelah tosu itu keluar dari pintu gerbang kota, dia pun teringat. Wajah itu seperti wajah ibunya! Wajah itu adalah wajah pamannya yang sedang dicarinya selama ini!
Dan ternyata benar! Ketika dia mengintai tosu yang sedang menangis di dalam kuil, dia mendengar keluhan tosu itu yang menyebutkan namanya sendiri, yaitu Gan Tek Un. Maka dia pun lalu menjumpainya dan tak disangkanya bahwa pamannya yang kini telah menjadi tosu itu telah berubah pula. Kini bukan seorang yang ganas, melainkan seorang tosu yang berbudi lembut, yang siap menerima hukuman dan mengakui dosanya terhadap ayah dan ibunya.
Akan tetapi dia tidak mendendam. Dia sudah mendengar dan tahu semuanya. Pamannya ini sejak dahulu memang seorang yang tergolong jahat, suka melakukan apa saja yang kurang patut dan mengandalkan kepandaiannya untuk melakukan kejahatan dan penindasan. Dia tahu pula bahwa pamannya ini telah menipu kedua orang tuanya sehingga harta kekayaan orang tuanya yang tidak seberapa, termasuk rumahnya, terjatuh ke tangan Gan Tek Un dan setelah harta bendanya habis, kedua orang tuanya terlunta-lunta meninggalkan dusun dan kabarnya telah meninggal dunia, entah di mana. Dia mencari pamannya bukan untuk membalas dendam, bukan menuntut kembalinya harta kekayaan orang tuanya, melainkan untuk bertanya di mana adanya orang tuanya, dan kalau mereka sudah meninggal, di mana kuburnya.
Sejenak Tan Siong menunduk, melihat kepala tosu itu yang berlutut didepannya. Dia lalu ikut berlutut menghadapi tosu itu.
"Paman, jangan begitu. Aku datang mencari Paman, sama sekali bukan untuk membalas dendam karena tidak ada dendam di dalam hatiku...."
"Karena engkau belum tahu apa yang telah kulakukan terhadap Ayah Ibumu."
"Sudah, Paman. Aku mendengar bahwa Paman telah menipu mereka dan menguasai harta kekayaan mereka, membuat mereka menjadi orang miskin yang hidup terlunta-lunta dan terlantar, sehingga mereka akhirnya meninggal dunia dalam keadaan miskin."
"Benar sekali! Akulah yang membuat mereka menjadi miskin, menjadi sengsara sampai mereka meninggal dunia dalam keadaan orang terlantar. Dan engkau mau bilang bahwa engkau tidak mendendam kepada Pinto?"
"Tidak sama sekali, Paman."
"Kalau begitu engkau tentu pengecut, penakut sekali! Engkau mengerti bahwa pinto lihai maka engkau tidak berani mendendam! Jangan khawatir, kau pukulilah aku, kau bunuhlah aku, dan aku takkan melawan. Pinto siap menebus dosa, anakku!"
Kata pula tosu itu dengan suara sedih.
"Paman salah sangka. Biarpun belum tentu aku dapat mengalahkanmu, akan tetapi sedikitnya aku pernah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi di Kun lun-san. Paman lihat, apakah dengan tangan sekuat ini aku harus takut menghadapi Paman? Aku sama sekali tidak takut."
Dan Tan Siong lalu menggunakan jari-jari tangannya menusuk lantai yang terbuat dari batu. Nampak jelas bekas jar i-jari tangannya menusuk lantai itu! Diam-diam tosu itu terkejut bukan main.
"Engkau telah menjadi seorang yang lihai! Akan tetapi kenapa... kenapa engkau tidak mendendam walaupun sudah tahu bahwa aku penyebab kesengsaraan, bahkan mungkin penyebab kematian orang tuamu?"
Tan Siong memegang kedua pundak orang tua itu.
"Marilah bangun dan mari kita duduk dan bercakap-cakap dengan baik, Paman."
"Siancai... siancai.... siancai....! Tak pinto sangka sama sekali bahwa sikapmu akan begini tehadap pinto. Aihhh.... keponakanku yang gagah dan bijaksana, tahukah engkau bahwa sikapmu ini bukan main menyiksa hatiku, lebih menyakit kan daripada kalau engkau menyerang dan memukuhku? Ah, penyesalan dalam hatiku semakin bertambah berat dengan sikapmu ini...."
Dan tosu itu menggunakan ujung lengan bajunya menghapus air matanya.
"Makin terasa kini oleh pinto betapa dahulu pinto menjadi seorang yang sejahat-jahatnya...., dan hati pinto takkan pernah tenteram sebelum datang hukuman bagi pinto."
"Mari kita duduk, Paman,"
Kata Tan Siong, membimbing tosu yang kelihatan lemas itu untuk sama-sama duduk berhadapan di atas bangku di dalam ruangan itu.
Setelah mereka duduk berhadapan dan saling berpandangan beberapa lamanya. tosu itu kembali bertanya dengan suara heran dan penasaran.
"Tan Siong, pinto lihat bahwa engkau telah menjadi seorang laki-laki dewasa yang berilmu tinggi. Melihat caramu menusuk lantai dengan jari tangan itu, pinto dapat menduga bahwa engkau telah memiliki sin-kang yang amat kuat dan agaknya tingkat kepandaianmu sudah melampaui tingkat pinto. Mengapa engkau tidak turun tangan membalas kejahatan yang telah pinto lakukan terhadap orang tuamu?"
"Paman, segala peristiwa yang menimpa diri manusia, walaupun diakibatkan oleh ulah manusia sendiri, namun segalanya telah ditentukan oleh Thian. Kematian orang tuaku tentu sudah menjadi kehendak Thian pula, dan perbuatan Paman yang Paman lakukan dahulu itu hanya menjadi satu di antara sebab saja."
"Ya, Tuhan.... kenapa engkau yang masih begini muda dapat memiliki kebijaksanaan yang demikian tinggi, sedangkan pinto.... ah, pinto bergelimang dengan kejahatan."
Tosu itu nampak sedih sekali.
"Sudahlah, Paman. Betapapun juga, melihat betapa Paman kini telah menjadi seorang tosu yang penuh dengan penyesalan, melihat Paman telah bertobat, maka hal itu sudah merupakan satu kenyataan yang baik sekali. Lebih baik menjadi seorang yang sadar dan bertobat akan kejahatannya yang lalu, daripada seorang yang merasa dirinya paling bersih sehingga menjadi t inggi hati dan sombong. Yang pertama itu, bagaikan orang sakit telah sembuh dari sakitnya, sedangkan yang ke dua adalah orang yang jumawa dan sembrono sehingga mudah sekali dihinggapi penyakit. Aku mencari Paman bukan untuk menuntut sesuatu, hanya ingin mohonpertolongan Paman agar suka memberi tahu kepadaku, di mana adanya Ayah Ibuku, atau lebih tepat, di mana kuburan mereka karena aku ingin mengunjungi makam mereka."
Tosu itu bangkit dan merangkul keponakannya sambil menangis.
"Ah, agaknya bukan hanya ilmu silat tinggi yang pernah kau pelajari di Kun-lun-san, akan tetapi para tosu yang bijaksana dari Kun lun-pai telah mengisi batinmu dengan kebajikan-kebajikan yang tinggi pula. Ayah Ibumu meninggal secara wajar, yaitu karena penyakit dan karena berduka, dan mereka dimakamkan dengan sederhana oleh para penduduk dusun, di dusun Hek-kee-cun di sebelah selatan kota. Namun".."
Girang sekali rasa hati Tan Siong setelah dia mengetahui di mana adanya makam orang tuanya. Dan dia pun merasa kasihan kepada pamannya. Jelaslah bahwa pamannya ini sekarang telah terhukum di dalam hatinya, menyesali semua perbuatannya yang telah lalu. Tidak ada hukuman yang lebih berat menjadi der ita batin daripada derita yang timbul karena penyesalan yang tak kunjung padam. Dia dapat menduga bahwa tentu banyak kejahatan dilakukan pamannya ini di waktu muda, karena kalau hanya kejahatan menipu untuk menguasai harta benda ayah ibunya yang tidak berapa banyakitu saja, kiranya tidak seperti ini keadaannya.
Apalagi pamannya sampai menangis ketika melihat orang tersiksa di pintu gerbang rumah gedung keluarga Pui. Tentu pamannya ini dahulunya menjadi seorang penjahat besar. Akan tetapi, dia ikut merasa lega dan girang bahwa adik kandung ibunya ini sekarang telah sadar dan bertobat dan untuk menghibur hati orang tua, dia tidak tergesa-gesa me-ninggalkan pamannya dan tidak menolak ketika pamannya mengajaknya makan siang. Bahkan pamannya minta kepadanya untuk tinggal di kuil itu menemaninya selama beberapa hari.
"Selama ini kau mengira bahwa aku hidup seorang diri saja tanpa sanak keluarga di dunia ini, dan tiba-tiba engkau, keponakanku satu-satunya muncul dalam keadaan yang begini mengagumkan. Temani lah pinto selama beberapa hari untuk melepas kerinduanku, Tan Siong."
"Maaf, Paman. Aku harus cepat pergi mencari makam orang tuaku, maka sore nanti, atau paling lambat besok pagi aku harus pergi meninggalkan Paman."
Paman dan keponakan itu lalu bercakap-cakap dan dengan penuh perhatian dan girang dan bangga, Gan Tosu mendengarkan cerita keponakannya tentang masa belajarnya di Kun-lun-san. Bahkan untuk menyenangkan hati pamannya, ketika diminta, Tan Siong lalu mainkan beberapa jurus ilmu silat Kun-lun-pai, baik dengan tangan kosong maupun dengan pedang tipisnya. Gan Tosu menonton demonstrasi itu dengan hati penuh kagum karena baru melihat keponakannya bersilat saja, dia pun tahu bahwa dia tidak akan mampu menandingi kehebatan keponakannya!
"Hebat, hebat...!"
Serunya dengan girang.
"Ilmu silatmu demikian indah dan mengandung kekuatan dahsyat."
"Ah, Paman terlalu memuji. Aku masih mengharapkan petunjuk dari Paman."
"Pinto tidak sekedar memuji, Tan Siong. Tingkat ilmu silatmu sudah jauh lebih tinggi daripada tingkat pinto. Akan tetapi, sebaiknya kalau ilmu sepasang pedang pinto, yaitu Siang-liong-kiam (Pedang Sepasang Naga) kau pelajari dan biarlah kuturunkan kepadamu. Nah, lihatlah pinto mainkan ilmu itu perhatikan baik-baik."
Tosu itu kini bergembira dan agaknya sudah mulai melupakan kesedihannya karena penyesalan itu. Dia mengeluarkan sepasang pedang hitam putih dan bersilat pedang. Memang inilah ilmu silat andalannya dan sepasang pedang itu membentuk dua gulungan sinar hitam putih yang saling bantu dan saling melindungi, merupakan ilmu pedang pasangan yang tangguh. Girang sekali rasa hati Tan Siong dan setelah pamannya berhenti bersilat, pamannya lalu menyerahkan sebuah kitab.
"Ilmu pedang Siang-liong-kiam itu sudah pinto catat dalam kitab ini. Pelajarilah dan kau terimalah sepasang pedang ini, Tan Siong."
"Akan tetapi, Paman. Sepasang pedang ini adalah pedang pusaka milik Paman, masih Paman perlukan untuk pelindung diri."
Tosu itu menarik napas panjang.
"Terimalah, baru akan puas hati pinto kalau pedang-pedang ini berada di tangan seorang bijaksana dan gagah seperti engkau."
Dia memaksa dan akhirnya Tan Siong menerimanya.
"Di tangan pinto, sepasang pedang ini dahulu hanya membuat dosa. Biarlah mereka pun menebus dosa-dosa mereka dengan perbuatan baik, menentang kejahatan di tangan seorang pendekar seperti engkau. Pinto sekarang tidak membutuhkan perlindungan pedang, tidak membutuhkan kekerasan lagi. Ancaman kematian akan pinto hadapi dengan tenang dan ikhlas."
Pada saat itu terdengar suara orang dari luar kuil, suara yang halus, suara wanita.
"Gan Tek Un, keluarlah dari kuil, aku ingin bicara denganmu!"
Gan Tojin terkejut dan wajahnya berubah puoat ketika ia mendengar suara itu. Tan Siong mengerutkan alisnya dan bangkit berdiri. Akan tetapi pamannya sudah mendahuluinya.
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tan Siong, kuminta dengan sangat kepadamu agar engkau berdiam saja di sini dan jangan mencampuri urusan di luar kuil. Ini adalah urusan pribadi pinto sendiri. Duduklah saja dan kau tunggu di sini."
Tan Siong mengangguk dan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa kecewa. Tadi dia melihat pamannya sudah bertobat Ia dan bahkan sudah menjadi seorang tosu. Akan tetapi bagaimana sekarang muncul seorang wanita dalam kehidupan pamannya sebagai tosu? Apakah pamannya hanya pura-pura saja menjadi tosu untuk menutupi semua perbuatannya? Dan pamannya jelas memesan agar dia tidak mencampuri karenaurusan dengan wanita itu adalah urusan pribadi! Kekecewaanmembuat hatinya merasa penasaran dan marah. Sebaiknya dia cepat meninggalkan pamannya ini, yang memiliki kepribadian yang tidak meyakinkah. Dia lalu menyambar buntalan pakaiannya dan biarpun agak meragu, terpaksa dia menyimpan pula sepasang pedang dan kitab pemberian pamannya. Keadaan pamannya membuat kegembiraan untuk mempelajari ilmu sepasang pedang itu menjadi kendur. Akan tetapi, baru saja dia bangkit dan hendak pergi, tiba-tiba dia mendengar suara wanita yang tadi lantang memaki-maki! Cepat dia berjalan berindap dan biarpun pamannya sudah memesan, dia kini menuju ke luar dan mengintai ke luar dari balik jendela depan.
Siapakah wanita yang memanggil Gan Tosu dengan nama aselinya itu? Baru mendengar suaranya saja, Gan Tosu sudah dapat menduga siapa yang memanggil, dan dengan muka pucat dia pun keluar. Di luar kuil, berdiri di pekarangan sambil bertolak pinggang, Cui Hong telah menantinya. Ya, wanita itu adalah Kim Cui Hong! Ketika ia menyeret tubuh Koo Cai Sun dan Pui Ki Cong keluar dari dalam pondok kecil dan memasuki hutan, ia telah berhasil memaksa kedua orang tua itu untuk mengaku di mana adanya musuhnya yang terakhir, yaitu Gan Tek Un. Dari kedua orang tawanannya yang sudah ketakutan setengah mati itu, ia mendengar bahwa Gan Tek Un kini telah menjadi seorang tosu bernama Gan Tosu, tinggal di sebuah kuil tua di sebelah barat kota raja, kurang lebih belasan mil dari kota raja.
Maka, setelah ia menyiksa kedua orang musuhnya dan menggantung tubuh mereka di depan pintu gerbang rumah gedung keluarga Pui, Cui Hong lalu beristirahat di tempat persembunyiannya.
Hatinya terasa puas dan ia dapat tidur nyenyak setelah semalam suntuk tidak tidur dan tubuhnya letih sekali. Setelah tidur sampai sore, barulah ia meninggalkan tempat persembunyiannya dan dengan pucat ia pergi mencari musuhnya yang terakhir, yaitu Gan Tek Un.
Sejak melihat tubuh Pui Ki Cong dan Koo Cai Sun tergantung di depan gedung keluarga Pui, dan pernah pula dia bertemu dengan Louw Ti yang telah menjadi manusia cacat, tahulah Gan Tosu bahwa cepat atau lambat, gadis she Kim puteri guru silat Kim itu tentu akan menemukan dirinya. Dia merasa menyesal sekali dan merasa bahwa dia telah melakukan perbuatan yang amat keji terhadap gadis itu. Maka dia pun sudah siap untuk menerima hukuman untuk menebus dosanya. Maka, begitu dia mendengar seruan wanita yang memanggilnya, dia pun dapat menduga bahwa tentu gadis itu
pula yang kini datang mencarinya. Dia lalu memesan kepada Tan Siong agar tidak mencampuri, kemudian dengan muka pucat dan hati tenang dia pun berlari keluar.
Melihat wanita cantik dan gagah yang kini berdiri bertolak pinggang di pekarangan kuil, Gan Tosu segera teringat akan gadis remaja yang pernah diperkosanya bersama Koo Cai Sun dan Louw Ti, setelah Pui Ki Cong yang mempermainkan gadis itu selama tiga hari merasa bosan dan menyerahkan gadis itu kepada mereka bertiga. Teringat dia betapa dia pun ikut pula memperkosa dan menghina gadis itu. Mukanya yang tadinya pucat, kini berubah menjadi merah sekali. Dia merasa menyesal dan juga malu mengingat akan kejahatan itu. Tergopoh dia menghampiri gadis itu dan menjura.
"Nona baru datang? Pinto memang sudah mengharapkan kedatanganmu,"
Katanya dengan sikap tenang. Setelah kini berhadapan dengan orang yang hendak membalas dendam kepadanya, tosu ini bersikap tenang dan pasrah, bahkan dia membayangkan betapa sebentar lagi dia akan dapat menebus dosanya yang amat keji terhadap wanita ini, beberapa tahun yang lalu ketika wanita ini masih seorang gadis remaja.
Cui Hong memandang dengan sinar mata mencorong dan ia mengerutkan alisnya.
"Hemni, Gan Tek Un, engkau masih mengenalku? Bagus sekali kalau begitu! Biarpun berganti baju domba atau kelenci, seekor serigala tetap serigala. Biarpun engkau sudah berganti pakaian menjadi tosu, bagiku engkau tetap saja Gan Tek Un si jahanam keparat yang lebih jahat dari iblis sendiri. Gan Tek Un, apakah engkau masih ingat kepada semua perbuatan yang pernah kaulakukan terhadap diriku?"
"Tentu saja pinto ingat semuanya, Nona, dan karena itulah pinto menanti kedatanganmu agar pinto dapat membayar hutang dan melunasi dosa pinto yang amat besar itu dengan hukuman yang akan nona jatuhkan kepada pinto."
Melihat sikap yang pasrah ini, kata-kata yang lembut dan penuh penyesalan, hati Cui Hong agak kecewa, la ingin melihat lawan atau musuh terakhir ini juga masih dalam keadaan jahat dan pongah seperti tiga orang musuhnya yang telah dihukumnya, agar hatinya menjadi puas dalam pembalasan dendamnya, karena di samping membalas dendam pribadi, juga berarti ia telah menyingkirkan seorang manusia berwatakiblis dari dunia ramai, membuat si jahat itu tidak akan mampu berbuat jahat lagi.
"Gan Tek Un pendeta palsu banyak cakap, keluarkan sepasang pedangmu dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menggeletak di sini!"
Tantangnya, tangannya hanya memegang sebatang kayu ranting pohon sebesar pergelangan tangannya.
"Nona Kim Cui Hong, sudah pinto katakan bahwa pinto memang menanti datangnya hukuman atas dosa pinto terhadap Nona. Pinto tidak akan melawan, juga tidak akan minta ampun. Nah, pinto sudah siap. Jatuhkanlah hukuman apa saja yang Nona kehendaki atas diri pinto. Pinto tidak akan melawan!"
Berkata demikian, tosu itu lalu menjatuhkan diri berlutut, bersedakap dan memejamkan mata, dengan tubuh dan kepala tegak, siap menanti siksaan yang bagaimanapun tanpa melawan atau mengeluh. Dia memusatkan seluruh perhatian kepada keyakinan bahwa dia sedang menebus dosa dengan hati iklas.
Melihat sikap musuhnya itu, Cui Hong mengerutkan alisnya dan sejenakia termangu-mangu. Bagaimana mungkin ia menyerang seorang yang sama sekali tidak melawan, bahkan kini duduk bersila dengan kedua mata dipejamkan? Akan tetapi, bagaimana mungkin pula ia melepaskan musuh yang satu ini? Bagaimanapun juga, Gan Tek Un ini tidak lebih baik daripada yang lain. Seperti yang lain, dia dulu juga memperkosanya dan menghinanya dan hal itu sama sekali tak pernah dilupakan. Selama tujuh tahun ini, bayangan mengerikan diperkosa secara bergantian oleh empat orang musuh besarnya itu selalu membayanginya, kalau malam menjadi mimpi buruk dan kalau siang membuat ia termenung seperti orang kehilangan semangat. Dan hanya dendam dan pembalasan itu saja yang membuat ia dapat bertahan untuk hidup terus, bahkan memberi ia semangat untuk belajar silat dengan tekun. Balas dendam! Tak mungkin ia melepaskan orang ini.
"Gan Tek Un, jahanam busuk! Bangkitlah dan jangan menjadi pengecut. Bangkitlah dan kaulawan aku, keparat!"
Akan tetapi Gan Tek Un sudah siap untuk menerima siksaan yang betapa hebat pun, dan dia sudah pasrah, kini sama sekali tidak menjawab dan tidak pula membuka kedua matanya.
"Gan Tek Un, sekali lagi. Bangkitlah dan lawanlah aku, kalau tidak, aku terpaksa akan turun tangan membalas dendam padamu!"
Suara Cui Hong penuh dengan kemarahan dan rasa penasaran, dan ranting di tangannya sudah tergetar ujungnya.
Kembali Gan Tek Un tidak menjawab dan duduknya tidak pernah bergoyang.
"Keparat! Jangan mencoba menggunakan kelembutan untuk menghapus dendamku! Sampai mati pun aku tidak akan dapat menghapus dendamku. Nah, terimalah pembalasanku!"
Berkata demikian, Cui Hong sudah mengangkat ranting itu ke atas kepalanya, siap untuk menghajar tubuh Gan Tek Un seperti ia pernah menghajar tubuh Pui Ki Cong sampai kulitnya pecah-pecah semua.
"Tahan dulu!"
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan ranting di tangan Cui Hong itu tertahan oleh sebatang pedang tipis. Cui Hong melangkah ke belakang dan memandang dengan marah, kemudian matanya terbelalak.
"Engkau.....!?!?"
La memandang wajah Tan Siong dengan bingung, sama sekati tak pernah mengira bahwa pemuda ini akan muncul, bahkan menghalanginya untuk membalas dendam.
"Kau. mau apa kau.?"
Tanyanya, agak gagap, hatinya.
"Lihiap, aku harus mencegah engkau melakukan kekejaman, menyerang orang yang tidak berdosa dan tidak mau melawanmu."
Kata Tan Siong sambil menarik kembali pedang yang tadi dipakai menangkis ranting di tangan Cui Hong.
Cui Hong tersenyum dingin.
"Tan-toa-ko, apakah engkau tahu siapa orang yang kau katakan tidak berdosa ini?"
"Tentu saja aku mengenalnya. Dia adalah Can Tosu yang dulu bernama Gan Tek Un, yaitu adik mendiang ibuku, Pamanku yang selama ini kucari."
Cui Hong terkejut dan kerut di alisnya makin mendalam.
"Ahhh! Kiranya dia inikah Pamanmu? Inikah orangnya yang dulu pernah menipu orang tuamu sehingga orang tuamu menjadi terlunta-lunta dan meninggal dunia?"
"Benar, lihiap."
"Dan engkau kini hendak membelanya? Betapa anehnya sikapmu! Toako, jangan mencampuri urusan kami. Mundurlah dan biarkan aku menyelesaikan urusan pribadiku dengan Gan Tek Un!"
"Tidak, Lihiap. Engkau tidak boleh bertindak kejam."
"Apa? Engkau benar-benar hendak melindungi Pamanmu yang jahat ini?"
"Biar dia Pamanku ataukah orang lain, aku tetap akan mencegah engkau bertindak kejam, Lihiap. Menyerang orang yang tidak bersalah, orang yang tidak melawan, sungguh merupakan perbuatan yang kejam dan tidak patut dilakukan seorang pendekar wanita seperti engkau ini."
"Hemm, Tan-toako, tahukah engkau mengapa aku hendak menyiksa orang ini?"
Tan Siong menggelengkan kepalanya.
"Apa pun kesalahannya, tidak sepatutnya kalau engkau kini hendak menyerangnya karena dia sudah t idak mau melawan sama sekali."
"Tan-toako, sudah kuceritakan kepadamu tentang empat orang manusia iblis yang telah menghinaku, memperkosaku sampai lewat batas perikemanusiaan, perbuatan mereka melebihi kekejaman iblis sendiri dan yang tiga orang sudah kubereskan. Hanya tinggal seorang lagi dan yang seorang itu adalah Gan Tek Un!"
Bukan main kagetnya hati Tan Siong mendengar ini. Dia tahu bahwa pamannya memang pernah menjadi penjahat, akan tetapi tak pernah disangkanya bahwa pamannya pernah melakukan perbuatan sekeji itu, meniperkosa gadis yang tidak berdaya, beramai-ramai dengan tiga orang kawannya! Dengan muka berubah pucat dia membalik dan memandang kepada tosu yang masih duduk bersila itu.
"Paman, benarkah Paman dulu melakukan perbuatan keji dan hina itu?"
Tanyanya dengan suara nyaring. Gan Tosu memang sejak tadi mendengarkan dan kini dia menarik napas panjang, tanpa membuka kedua matanya.
"Semua yang dikatakan Nona ini benar belaka. Tan Siong. Memang aku pernah melakukan perbuatan jahat itu dan perbuatanku terhadap Nona inilah yang merupakan satu di antara banyak perbuatanku yang membuat aku menyesal setengah mati. Biarkan dia menyiksa atau membunuhku untuk menebus dosaku, Tan Siong."
"Nah, engkau mendengar sendiri, Toa-ko. Apakah engkau kini masih hendak melindungi dia?"
Cui Hong menuntut.
"Kim-lihiap, pendirianku tidak berubah Aku tetap mencegah engkau melakukan perbuatan kejam itu. Aku membelanya bukan karena dia Pamanku, melainkan seorang yang tidak melawan terancam oleh kekerasan. Dan aku mencegah engkau melakukan kekejaman itu karena.... terus terang saja, Lihiap, cintaku kepadamu masih tetap. Aku mencegah engkau menjadi pembunuh kejam demi cintaku kepadamu!"
Kembali Cui Hong tersenyum, akan tetapi kini senyumnya mengejek dan sepasang matanya mencorong penuh kemarahan, la merasa dipermainkan.
"Tan Siong!"
Bentaknya dengan suara ketus.
"Engkau bilang bahwa engkau mencintaku, akan tetapi engkau menentang aku yang hendak membalas dendam kepada orang yang telah merusak kebahagiaanku, yang telah menghancurkan harapanku, yang telah menggelapkan sinar kehidupanku, yang telah membunuh ayahku dan suhengku! Cinta macam apakah itu? Tidak perlu engkau merayu, kalau engkau membela jahanam Gan Tek Un ini, berarti engkau adalah musuhkul Majulah!"
Cui Hong menodongkan rantingnya, siap untuk menyerang.
"Kim-lihiap, sungguh engkau membuat aku bersedih bukan main. Tentu saja aku tidak akan melayani tantanganmu, karena sampai mati pun aku tidak akan memusuhimu. Aku hanya melindungi orang yang terancam, bukan berarti memusuhimu. Engkau tidak dapat mengerti pendirianku. Sekali lagi, ingatlah dan hapuslah dendam dari dalam hatimu, karena itu merupakan racun yang hanya akan merusak lahir batinmu sendiri."
"Cerewet! Aku mau hajar dan siksa dia untuk membalas dendam, baik engkau suka maupun tidak!"
Dan Cui Hong kini dengan kemarahan meluap sudah mengayun rantingnya untuk memukul remuk tulang kaki Can Tosu yang duduk bersila itu.
"Singggg...... takkkk!"
Ranting itu tertangkis pedang di tangan Tan Siong. Pemuda ini sudah cepat menangkis dan kini dia berdiri menghalang di antara Cui Hong dan tosu itu dengan sikap melindungi.
"Tan Siong, terpaksa aku harus menyingkirkan segala penghalang untuk membalas dendamku, termasuk engkau!"
Teriak Cui Hong dan ia sudah menyerang dengan rantingnya, ujung rantingnya tergetar dan seolah-olah terpecah menjadi tujuh yang melakukan serangkaian totokan ke arah tujuh jalan darah di tubuh bagian depan dari lawan.
Tan Siong terkejut sekali. Dia memang sudah tahu betapa lihainya wanita Ini ketika membantunya menghadapi jagoan-jagoan yang menjadi pelindung Pui Ki Cone, akan tetapi baru sekarang dia menghadapinya langsung sebagai lawan. Dia pun cepat menggerakkan pedang tipisnya, diputarnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya. Namun, pemutaran pedang saja tidak cukup dia harus berlompatan kesana-sini karena ujung ranting itu seolah-olah dapat menerobos di antara gulungan sinar pedangnya.
Cui Hong tidak bermaksud mencelakai pemuda itu, sama sekali tidak. Dia masih merasa kagum dan suka kepada pemuda perkasa itu, apalagi mendengar betapa sampai kini pemuda itu masih tetap mencintanya, walaupun sudah mendengar riwayatnya, tahu bahwa ia bukanlah seorang perawan terhormat lagi, melainkan seorang wanita yang sudah ternoda dan terhina. Ia hanya ingin merobohkan Tan Siong agar tidak dapat menghalangi pelaksanaan balas dendamnya terhadap Gan Tek Un, maka semua serangannya me rupakan totokan-totokan yang amat hebat. Sebaliknya, Tan Siong juga hanya ingin melindungi pamannya, bukan berniat untuk melukai apalagi membunuh gadis yang dikagumi dan dicintanya itu, maka dia pun hanya menggerakkan pedangnya untuk melindungi tubuhnya, menangkis dan mengelak tanpa balas menyerang.
Akan tetapi, segera dia terdesak hebat. Andaikata dia membalas semua serangan Cui Hong pun belum tentu dia akan mampu mengalahkan gadis perkasa itu, apalagi kini dia hanya menangkis tanpa bisa menyerang. Gulungan sinar pedangnya semakin menyempit, terjepit dan tertekan oleh sinar hijau dari ranting di tangan Cui Hong.
"Tahan senjata kalian! Jangan berkelahi dan dengarkan pinto!"
Tiba-tiba terdengar teriakan Gan Tojin, tosu yang tadi duduk bersila.
Mendengar ini, Tan Siong melompat ke belakang dan Cui Hong juga menahan gerakan rantingnya, ingin tahu apa yang akan dikatakan musuh besarnya itu. Siapa tahu musuh besarnya itu timbul keberanian untuk maju sendiri menghadapinya dan melarang Tan Siong mencampuri urusan pribadi mereka.
Tosu itu masih duduk bersila, mukanya pucat akan tetapi sinar mata mencorong penuh semangat. Agaknya kesedihannya yang tadi sudah lenyap.
"Siancai...! Dengan sikap kalian, maka dosa pinto bertambah dalam dan besar saja. Setelah menjadi seorang pemeluk agama yang taat, pinto bahkan mengakibatkan perpecahan dan perkelahian antara dua orang muda yang saling mencinta. Nona Kim Cui Hong, engkau sudah sepatutnya membalas dendam kepada pinto karena perbuatan pinto terhadapmu dahulu itu memang tak dapat diampuni. Dan engkau pun benar, Tan Siong, karena engkau melindungi yang lemah, bukan karena pinto pamanmu, dan itu merupakan sikap seorang pendekar. Akan tetapi kalau pinto membiarkan kalian saling berkelahi sampai seorang di antara kalian roboh tewas atau terluka, pinto akan merasa berdosa lebih hebat lagi yang takkan dapat pinto lupakan selama hidup. Karena itu, biarlah pinto mengakhiri saja semua derita ini!"
Tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu tosu itu sudah menusukkan sebuah pisau ke dadanya.
"Creppp....!"
Pisau itu menembus dada sampai ujungnya nampak sedikit di punggung dan dia masih tetap duduk bersila!
"Paman....!"
Tan Siong terkejut bukan main dan cepat berlutut di dekat tubuh pamannya.
Perbuatan tosu itu sama sekali tak pernah disangkanya, maka dia pun tidak sempat lagi mencegah bunuh diri itu. Cui Hong memandang dengan mata terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah antara penasaran, marah dan kecewa, la pun sama sekali tidak pernah mengira bahwa tosu itu akan membunuh diri, maka seperti juga Tan Siong, ia tidak sempat mencegah dan kini hanya berdiri sambil memandang dengan mata terbelalak.
"Paman, mengapa Paman melakukan perbuatan yang bodoh ini?"
Tan Siong menegur pamannya, tanpa berani menyentuhnya karena dia melihat bahwa nyawa pamannya tak mungkin dapat di selamatkan lagi dengan ditembusnya dada itu dengan pisau.
"Tan Siong..... bunuh diri memang bodoh.... dan dosa. akan tetapi.... setidaknya pinto dapat menyelamatkan kalian.. kasihan ia..... bimbinglah ia.... dengan kasih sayang...."
Tosu itu tidak kuat lagi. Jantungnya tertembus pisau dan dia pun menjadi lemas, terkulai dan roboh terjengkang.
Tan Siong cepat merangkulnya dan merebahkannya baik-baik. Tiba-tiba terdengar suara ketawa Cui Hong. Tan Siong terkejut dan meloncat bangkit, memandang dengan mata terbelalak. Gadis itu tertawa bebas lepas, sambil menengadah memandang langit.
"Ha-ha-ha-.... habislah sudah mereka! Ayah, Suheng.... aku telah berhasil membalas dendam, selesailah sudah tugas hidupku, lenyaplah sudah ganjalan hatiku, beban yang demikian berat menekan batinku, ha-ha-ha-hi-hi-hi....!"
Gadis Itu tertawa-tawa seperti orang kemasukan setan sehingga Tan Siong merasa ngeri. Cui Hong seperti telah menjadi gila, tawanya bukan tawa seorang wanita normal lagi, tawa terkekeh-kekeh dan terbahak-bahak. Tan Siong segera melompat dekat gadis itu dan memegang kedua pundaknya, diguncang-guncangnya tubuh gadis itu.
"Hong-moi (Adik Hong)! Sadarlah engkau! Sadarlah...!"
Dia membentak-bentak dan mengguncang-guncang, maklum bahwa gadis itu dikuasai perasaan yang mengguncang ingatannya. Maka dia mengerahkan tangannya sehingga kedua tangannya seperti cengkeraman kuat pada pundak gadis itu, mengguncang-guncangnya sehingga tubuh Cui Hong terdorong dan tertarik ke depan belakang. Tiba-tiba Cui Hong berhenti tertawa, memandang kepada orang yang memegang kedua pundaknya dengan mata nanar dan bingung. Akhirnya, kedua matanya normal kembali, tidak liar seperti tadi.
"Toako..., engkau?"
Cui Hong mendadak menangis, menjatuhkan diri berlutut di atas tanah. Tangisnya mengguguk, seperti anak kecil. Kedua punggung tangannya mengusap air mata yang jatuh bercucuran, pundaknya terguncang dan suara tangisnya seperti Drang mer intih-rintih, terisak dan tersedu-sedu. Air matanya bagaikan air bah menerobos bendungannya yang pecah. Selama bertahun-tahun ini, ia menyimpan saja segala rasa dukanya, bahkan berusaha sekuat tenaga untuk melupakan malapetaka yang menimpa dirinya setiap kali ia teringat akan keadaan d irinya. Hidupnya sebatang kara, tidak ada keluarga, tidak ada harapan sedikit pun akan dapat merasakan kebahagiaan hidup masa depan.
Namun, selama ini ia menyembunyikan semua kedukaan dan kecemasan akan keadaan dirinya di dasar kalbunya dengan cara mencurahkan seluruh perhatiannya kepada dendam sakit hatinya, kepada usahanya yang mati-matian untuk membalas dendamnya. Kini setelah empat orang musuhnya menerima hukuman, menerima, pembalasan dendamnya dengan setimpal, seolah-olah dendam yang selama ini membendung air bah kedukaannya, menjadi bobol dan muncullah semua kedukaan dan kegelisahan yang selama bertahun-tahun mengendap di dasar batinnya.
Tan Siong tidak mengerti apa yang terjadi di dalam hati gadis itu. Dia hanya berdiri bengong memandang gadis yang menangis tersedu-sedu. Mengapa gadis itu menangis seperti ditinggal mat i orang yang amat dicintanya? Bukankah sepatutnya ia bersuka cita karena dendamnya telah terbalas? Akan tetapi Tan Siong tahu bahwa tangis merupakan saluran yang amat baik untuk melepaskan perasaan yang meluap-luap, maka dia pun mendiamkannya saja dan membiarkan gadis itu menangis sepuasnya. Setelah isak tangis gadis itu agak mereda, barulah Tan Siong berlutut di depan Cui Hong dan dengan hati-hati dia berkata lembut.
"Hong-moi, mengapa engkau menangis demikian sedih?"
Tangannya menyentuh lengan Cui Hong, hatinya diliputi perasaan iba yang mendalam karena dari tangis tadi dia dapat merasakan bahwa sesungguhnya gadis itu tenggelam ke dalam kesengsaraan batin yang amat hebat dan mendalam. (Lanjut ke Jilid 11)
Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
Sepasang mata gadis itu merah membengkak, wajahnya pucat, rambutnya awut-awutan, mukanya masih basah air mata. Perasaan iba menusuk hati Tan Siong sehingga kedua tangannya nenggigil ketika dia merangkul gadis itu.
"Hongmoi...., jangan bersedih...."
Bagaikan dipatuk ular, Cui Hdng menarik lengannya yang disentuh Tan Siong lan melompat bangkit berdiri menjauhi pemuda itu. Dengan mata merah rnembengkak ia memandang pumuda itu, terbelalak.
"Jangan! Jangan sentuh aku...! Aku .. aku sudah kotor, aku sudah ternoda aku bergelimang aib...!"
Serunya tergagap dan kembali ia tersedu dan air mata yang agaknya tidak akan pernah habis itu bercucuran lagi menetes-netes di kedua pipinya. Kini baru Tan Siong mengerti mengapa gadis itu menangis sedih. Dia merasa iba sekali, bangkit berdiri dan suaranya bergetar penuh keharuan.
"Hong-moi... aku cinta padamu... engkau tetap suci dan mulia bagiku... cinta ku tak berubah sejak pertama kita bertemu..."
Tan Siong melangkah maju menghampiri, hendak memegang kedua tangan Cui Hong. Gadis itu mengelak dan mundur menjauh.
"Tidak! Tidak...! Jangan bohong aku tidak percaya! Aku... aku bukan perawan lagi, aku.... telah ternoda.... kehormatanku diinjak-injak empat orang laki-laki iblis itu...! Seorang dari mereka adalah pamanmu sendiri! Aku tidak percaya!"
Cui Hong melompat jauh dan melarikan diri.
"Aku tidak percaya...!"
Suaranya masih terdengar dari jauh.
"Hong-moi...!"
Tan Siong mengejar, akan tetapi gadis itu sudah jauh dan terdengar suara bergema.
"Jangan kejar.....! Aku tidak sudi mendengar rayuanmu...!"
Tan Siong menahan kakinya. Dia menghela napas panjang berulang kali, berdiri dengan muka pucat. Hatinya terasa pedih dan kosong. Dia harus mengaku dengan jujur kepada dirinya sendiri bahwa memang ada perasaan hampa dan kecewa kalau dia mengingat betapa gadis yang dicintanya itu telah dirusak kehormatannya oleh empat orang laki-laki jahat,termasuk pamannya sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa Cui Hong telah berubah menjadi seorang gadis kejam yang dihantui dendam, bertindak kejam kepada orang-orang yang dulu memperkosanya. Memang gadis itu t idak membunuh mereka, akan tetapi penyiksaan yang ia lakukan bahkan lebih mengerikan daripada kalau ia membunuh mereka sebagai balas dendam.
Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo