Ceritasilat Novel Online

Sakit Hati Seorang Wanita 4


Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Agaknya, perbuatan empat orang musuh besarnya terhadap dirinya menumbuhkan semacam perasaan benci di dalam hatinya terhadap pria pada umumnya, apalagi kalau pria itu memandangnya dengan sinar mata kagum dan membayangkan gairah birahi. Hal itu dianggapnya kurang ajar, dianggapnya bahwa pria yang memandangnya itu tiada bedanya dengan empat orang musuh besarnya, dan kalau mempunyai kesempatan tentu akan melakukan kekejian yang sama seperti yang pernah dilakukan empat orang musuh besarnya itu terhadap dirinya.

   Ketika Cui Hong selesai berbelanja dan berjalan perlahanlahan hendak meninggalkan dusun itu, membawa buntalan terisi barang-barang belanjaannya, tiba-tiba terdengar suara laki-laki di belakangnya.

   "Nona, bolehkah aku menemanimu?"

   Cui Hong terkejut dan seketika mukanya berubah merah. Ia melirik sambil menoleh dan melihat bahwa yang menegurnya itu seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang bertubuh besar dan perutnya agak gendut, matanya sipit dan sinar matanya penuh gairah, mulutnya menyeringai dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa orang ini kagum kepadanya dan berniat menggodanya. Cui Hong membuang muka dan tidak melayaninya, tidak menjawabnya, melainkan berjalan terus tanpa memperdulikan orang itu.

   "Aih, nona, mengapa diam saja? Aku sudah tahu bahwa nona tinggal di puncak gunung. Siapakah nama nona dan dengan siapakah nona tinggal di puncak? Kasihan sekali, seorang perempuan cantik jelita tinggal di tempat yang begitu tinggi, dingin dan sunyi."

   Cui Hong hampir tak dapat menahan lagi kemarahannya. Tanpa menoleh ia membentak lirih dan ketus.

   "Pergilah kau dan jangan ganggu aku!"

   Akan tetapi, orang itu bahkan memperlebar langkahnya sehingga kini dia berjalan di samping Cui Hong. Ketika Cui Hong melirik, dilihatnya orang itu menyeringai dan muka yang agak bulat putih itu mengingatkan ia akan muka seorang di antara musuh-musuh besarnya yang paling dibencinya, yaitu Koo Cai Sun. Akan tetapi jelas bukan karena orang ini masih muda, baru tiga puluh tahun usianya, sedangkan musuh besarnya itu sekarang sudah lebih dari empat puluh tahun.

   "Wahai, nona, kenapa marah? Aku bermaksud baik, ingin berkenalan denganmu. Marilah kutemani kau naik ke puncak dan biarlah barang-barangmu yang berat itu kubantu kubawakan."

   Laki-laki itu kembali berkata dengan suara mengandung rayuan. Dia bukan penduduk dusun itu, melainkan pendatang dari kota lain yang datang ke dusun itu untuk berdagang kain. Ketika dia tadi melihat Cui Hong, hatinya segera tertarik sekali. Dia memang seorang yang mata keranjang dan melihat ada seorang dusun demikian cantik manisnya, dia merasa gembira dan ingin sekali memetik bunga dusun itu. Apalagi ketika dia bertanya dan mendapat keterangan bahwa wanita serba hitam yang manis itu tinggal di puncak gunung, dan tak seorang pun mengenal namanya, agaknya merupakan seorang wanita penuh rahasia, hatinya menjadi semakin kagum. Dibereskannya dagangan-nya, dititipkan kepada seorang kenalannya dan diapun cepat mengikut i Cui Hong dan menegur di tengah jalan.

   "Aku tidak mau berkenalan dan tidak mau dibantu. Pergilah kau!"

   Kata pula Cui Hong.

   Laki-laki itu terkekeh. Mereka tiba di pinggir dusun, di mana keadaan sepi sehingga laki-laki itu menjadi semakin berani. Dia tahu, menurut pengalamannya, bahwa jika seorang wanita berkata tidak dengan mulutnya, hal itu besar kemungkinan berarti ya di dalam hatinya. Pengetahuan ini membuat ia semakin berani melihat betapa wanita cantik yang menarik hatinya ini "pura-pura"

   Tidak mau.

   "Nona manis, tidak usah malu-malu. Aku adalah pedagang kain. Nanti kuberi segulung kain yang paling baik, sutera halus yang mahal. Mari kutemani, mau bukan?"

   Dan tiba-tiba saja, sungguh di luar dugaan Cui Hong, laki-laki itu menggunakan tangan kirinya untuk meraba dan mencubit pinggulnya!

   Meledak kemarahan di hati Cui Hong dan sekali membalikkan tubuhnya dan mencengkeram, punggung baju baju orang itu sudah dicengkeramnya dan sekali ia berseru, tubuh laki-laki itu sudah diangkatnya ke atas. Buntalannya dilepaskan begitu saja dan kini tangan kirinya sudah diangkat hendak memukul remuk kepala orang yang berani kurang ajar kepadanya itu! Laki-laki itu terkejut, meronta namun tidak mampu melepaskan diri.

   Tangan kiri Cui Hong sudah diangkat dan sudah berisi tenaga sinkang sepenuhnya, akan tetapi mendadak ia teringat akan sumpahnya kepada suhunya. Dilarang membunuh! Maka, ketika tangannya meluncur turun, ia mengubah serangannya, bukan kepala orang itu melainkan tangan kirinya yang menjadi serangan tangan Cui Hong yang meluncur ke depan.

   "Krekkk.....I"

   Pergelangan tangan laki-laki itu remuk tulangtulangnya dan dia pun menjerit-jerit kesakitan. Cui Hong melontarkan tubuh itu jauh ke depan.

   "Brukkkk....!"

   Tubuh itu terbanting ke atas tanah dan tidak mampu bergerak lagi karena saking nyerinya laki-laki ceriwis itu jatuh pingsan ketika tubuhnya terbanting.

   Cui Hong tidak menengok lagi kepada laki-laki itu, mengambil buntalannya kemudian pergi dari situ dengan cepat. Setelah tidak ada orang melihatnya, ia lalu mengerahkan tenaganya dan menggunakan ilmu berlari cepat mendaki puncak. Wajahnya masih merah sekali, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi. Marah sekali ia. Kalau menurutkan hatinya, ingin ia menghancurkan kepala orang tadi, menginjak-injak dadanya sampai patah-patah semua tulang iganya! Orang itu baginya tadi seolah-olah menjadi pengganti empat orang musuh besarnya dan semua dendam dan kebencian ia tumpahkan kepada orang itu. Akan tetapi ia sudah bersumpah tidak akan membunuh dan bagaimanapun juga, ia tidak boleh melanggar sumpahnya sendiri.

   Ketika tiba di depan pondok kayu kasar yang menjadi tempat tinggal mereka, Cui Hong melihat suhunya sudah duduk bersila di depan rumah, tidak seperti biasanya karena pada saat seperti itu biasanya gurunya itu masih bersamadhi di depan kamarnya dan baru akan keluar kalau ia sudah memberitahukan bahwa makanan siang telah tersedia. Dan gurunya itu memandang kepadanya dengan matanya yang kecil mencorong itu dengan sinar aneh. Agaknya gurunya melihat perubahan pada wajahnya yang kemerahan, pada sinar matanya yang berapi itu.

   "Cui Hong, apakah yang telah terjadi?"

   "Suhu, teecu seperti yang telah teecu katakan ketika berpamit pagi tadi, pergi menjual ikan kering dan membeli bumbu-bumbu dan kain hitam untuk pakaian kita. Sayang benang hitamnya habis dan tidak ada yang menjual, suhu, terpaksa nanti teecu menjahit dengan benang merah."

   "Bukan itu maksudku. Engkau penuh dengan semangat berapi, penuh kemarahan. Apakah engkau telah membunuh orang?"

   Cui Hong terkejut.

   "Tidak, suhu. Mana berani teecu melanggar sumpah teecu sendiri? Teecu tidak membunuh orang, hanya..... teecu menghajar seorang laki-laki yang kurang ajar terhadap teecu."

   "Apa yang dia lakukan dan apa pula yang telah kau lakukan?"

   "Dia kurang ajar terhadap teecu, tidak teecu layani, akan tetapi dia berani meraba tubuh teecu. Teecu mematahkan tangan itu dan melemparkannya akan tetapi tidak membunuhnya, lalu teecu pulang."

   Kakek itu mengangguk-angguk, memandang muridnya dan berkata.

   "Cui Hong, sudah berapa lama engkau menjadi muridku?"

   "Teecu tidak dapat menghitung tepat, akan tetapi kurang lebih tujuh tahun."

   "Nah, bersiaplah, mari kau hadapi serangan-seranganku. Ini merupakan latihan terakhir, kalau lulus engkau boleh pergi, kalau tidak lulus engkau harus menemani aku sampai aku mati."

   Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri.

   Diam-diam Cui Hong terkejut mendengar ini. Suhunya sering mengajak latihan dan kadang-kadang menyerangnya dengan sungguh-sungguh, akan tetapi dalam batas-batas latihan. Kini, suhunya ingin mengujinya, sebagai latihan terakhir dan yang mengejutkan hatinya adalah kalimat terakhir itu. Kalau ia lulus, ia boleh pergi, kalau tidak lulus, ia harus menemani suhunya itu sampai suhunya mati! Jantungnya berdebar keras, inilah saat yang dinanti-nantikannya selama ini, yang ditunggunya dengan menyabarkan hatinya. Agaknya pelajarannya sudah tiba di saat terakhir, sudah tamat!

   "Teecu menaati perintah suhu."

   Katanya dan ia pun menyingkirkan buntalan itu, lalu berdiri tegak, menghadap suhunya, kedua tangan lurus ke bawah di kanan kiri tubuh, kedua kaki rapat.

   Inilah kuda-kuda yang aneh dari Toat-beng-kun! Gurunya juga memasang kuda-kuda yang sama. Mereka berdua itu saling berhadapan dengan berdiri tegak seperti patung, dengan kedua tangan merapat di kanan kiri dan kedua kaki juga merapat. Pasangan kuda-kuda yang lucu sekali, akan tetapi jangan dikira bahwa kuda-kuda seperti ini lemah! Biarpun pemasangan kuda-kuda itu demikian kaku, akan tetapi kaki dan tangan ini dapat bergerak setiap saat ke segala jurusan, baik ketika menghadapi serangan maupun ketika menyerang. Keistimewaan kuda-kuda ini adalah sukar bagi lawan untuk menduga ke arah mana kaki dan tangan akan bergerak dalam serangan pertama.

   "Lihat serangan!"

   Tiba-tiba kakek itu berseru dan mulailah dia menyerang dengan cepat, kuat dan dahsyat sekali.

   Namun, Cui Hong sudah siap s iaga dan ke manapun gurunya menyerang, ia selalu dapat mengelak atau menangkis dengan tepat sekali. Dan gadis itu pun tidak sungkan-sungkan lagi, hal yang diperbolehkan dalam latihan itu, dan ia pun membalas serangan gurunya setiap kali terbuka kesempatan baginya. Terjadilah serang-menyerang antara guru dan murid itu.

   Kakek itu tidak main-main, melainkan mengeluarkan semua keahliannya dan mengerahkan semua tenaganya. Juga Cui Hong tidak bersikap sungkan dan gurunya itu dianggap seorang lawan yang harus dilawannya mati-matian. Diam-diam Toat-beng Hek-mo merasa kagum, bangga dan girang sekali. Tidak percuma selama tujuh tahun menggembleng muridnya ini. Biarpun d ia berkelahi sungguh-sungguh, namun dia sama sekali tidak mampu mendesak muridnya dan setelah mereka bertanding selama seratus jurus, napasnya sendiri mulai terengah-engah sedangkan muridnya masih segar bugar.

   "Haiiiitttt....."

   Tiba-tiba kakek itu berseru keras dan tahutahu tongkat hitam sudah berada di tangannya. Dia menyerang dengan tongkatnya, memukul ke arah kepala Cui Hong. Gadis ini cepat mengelak dengan melempar diri ke kiri.

   Tongkat itu menyambar, dekat sekali dengannya dan agak lambat sehingga memikat orang untuk menangkap dan mencoba merebutnya. Namun Cui Hong tidak mau melakukan ini. Ia tahu bahwa itulah satu di antara keampuhan Ilmu Tongkat Toat-beng Koai-tung. Nampak begitu mudah dirampas, akan tetapi sekali lawan merampasnya, tentu dia akan terkena hantaman tongkat itu sendiri. Tongkat itu menyambar ke bawah, membabat kedua kakinya. Cui Hong melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang. Akan tetapi tongkat itu terus mengejar-sehingga terpaksa ia membuat jungkir balik berkali-kali makin mendekati pohon yang berada di sebelah kanan pondok.

   Ketika tongkat itu masih terus mengejar, Cui Hong tiba-tiba melempar tubuh ke belakang dan bergulingan di atas tanah, menuju ke pohon. Ketika tiba di bawah pohon, tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking dan tangannya bergerak. Segenggam pasir dan tanah menyambar ke depan, ke arah muka Toat-beng Hekmo. Kakek ini tentu saja tidak mau kalau mata atau hidungnya kena sambaran pasir dan tanah. Dia meloncat ke samping menghindarkan diri. Akan tetapi pada saat itu, Cui Hong sudah meloncat ke atas, menyambar sebatang dahan pohon sebesar lengannya. Terdengar dahan patah dan ketika meloncat turun kembali, gadis itu sudah memegang tongkat dari dahan pohon yang masih ada daunnya pada ranting-ranting kecil.

   "Haiiittt....!"

   Cui Hong berteriak, menggerakkan tongkatnya dan berhamburanlah ranting dan daun-daun itu sehingga dahan itu kini gundul dan berubah menjadi sebatang tongkat yang menjadi senjatanya.

   "Bagus!"

   Gurunya memuji kagum dan menyerang lagi. Cui Hong menangkis dan balas menyerang. Kembali guru dan murid itu saling serang dan kedua tongkat mereka berkali-kali saling bertemu mengeluarkan bunyi tak - tuk - tak - tuk. Keduanya bergerak cepat sehingga tubuh mereka lenyap terbungkus sinar kedua senjata itu.

   Kembali seratus jurus telah lewat dan Toat-beng Hek-mo sudah merasa lelah. Tiba-tiba dia meloncat jauh ke belakang dan berseru.

   "Cui Hong, kau lulus!"

   Cui Hong girang bukan main, membuang tongkatnya dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya.

   "Su-he, teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi suhu yang telah membimbing teecu selama tujuh tahun ini. Teecu tidak akan mampu membalas budi kebaikan suhu."

   "Hemm, akupun t idak mengharapkan balasan, Cui Hong. Asal saja engkau memegang teguh sumpahmu, tidak melakukan pembunuhan, berarti engkau telah membalas budi itu."

   "Teecu pasti akan memegang teguh sumpah teecu."

   "Bagus, kalau begitu kau pergilah turun gunung, muridku."

   "Tapi, suhu. Suhu sudah tua, bagaimana teecu tega meninggalkan suhu hidup sendirian di sini? Siapa yang akan menanak nasi untuk suhu, membuatkan minuman hangat, siapa yang akan merawat suhu?"

   Kakek itu menyeringai dan mulutnya menjadi sebuah guha kecil menghitam.

   "Heh-heh, engkau ini membuat diriku menjadi manja saja. Sebelum ada engkau, aku pun hidup sendirian dan mampu merawat diri sendiri. Pula, setelah engkau pergi, aku pun hendak pergi dari sini. Sudah bosan aku terlalu lama tinggal di sini. Pergilah dengan tenang, muridku, engkau berhak untuk menikmat i hidup di dunia ramai."

   Cui Hong memberi hormat lagi lalu mengusir keharuan hatinya yang tiba-tiba saja muncul. Ia tidak pernah merasa cinta kepada gurunya ini dan ia bahkan ingin menguasai ilmu silat tinggi. Akan tetapi setelah secara tiba-tiba gurunya mengambil keputusan bahwa ia telah selesai belajar memperbolehkan turun gunung, setelah secara tiba-tiba mereka hendak saling berpisah, timbul juga keharuan itu di dalam hatinya.

   Baru terasa olehnya betapa selama tujuh tahun ini, tanpa mengenal lelah, kakek ini melatihnya dengan ilmu silat yang hebat dan biarpun tak pernah memperlihatkan sikap kasih sayang, namun dari ketekunan kakek itu saja ia pun kini dapat melihat dengan jelas bahwa kakek itu amat sayang kepadanya! Dan selama hidup bersama tujuh tahun itu, Toatbeng Hek-mo yang sudah melepas budi, memberikan ilmunya yang tinggi, sebaliknya ia tidak pernah memberi apa-apa.

   "Suhu, teecu akan selalu ingat kebaikan-kebaikan suhu dan tidak akan melanggar sumpah teecu. Selamat tinggal, suhu, harap suhu menjaga diri baik-baik."

   "Selamat jalan, muridku. Engkaulah yang harus menjaga diri baik-baik dan ingatlah bahwa ilmu silat ada batasnya dan betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, masih ada orang-orang lain yang lebih lihai lagi. Karena itu, jangan terlalu mengandalkan ilmu silat. Kecerdikan dan kewaspadaan selalu lebih berguna daripada sekedar kekerasan ilmu silat."

   Cui Hong lalu turun dari puncak, membawa buntalan terisi dua stel pakaian hitamnya, dan juga membawa bekal daging kering dan roti yang tadi dibelinya di dusun. Sebagian belanjaannya ditinggalkan untuk suhunya.

   Hanya sebentar saja rasa keharuan karena berpisah dari gurunya itu menyelubungi hatinya. Setelah ia tiba di lereng gunung, melihat ke bawah, melihat dunia yang luas terbentang di bawah kakinya membayangkan betapa ia mulai sekarang hidup seorang diri, bebas lepas seperti seekor burung di udara, hatinya berdebar penuh ketegangan dan kegembiraan, la sudah bebas, berarti boleh berbuat apa saja sesuka hatinya sendiri. Dan tentu saja ia harus pergi mencari musuh-musuhnya. Itulah tujuannya mempelajari ilmu silat!

   Bahkan itulah tujuan hidupnya, karena kalau bukan untuk membalas dendam, tentu ia sudah mati membunuh diri. Untuk apa hidup menanggung aib, malu dan penghinaan yang sedemikian hebatnya, menderita kesengsaraan yang demikian mendalam? Ia harus membalas dendam! Tanpa disadarinya, ia berjalan sambil mengepal kedua tangannya dan bibirnya bergerak-gerak, akan tetapi suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri, karena hanya hatinya yang berbisik melalui gerak bibirnya,

   "Jahanam keparat Pui Ki Cong, Gan Tek Un, Koo Cai Sun, dan Louw Ti, tunggulah pembalasanku!"

   Kemudian gadis ini pun mempercepat langkahnya, dengan penuh semangat ia lalu turun gunung menuju ke kota Thiancin. Kalau dibandingkan dengan tujuh tahun yang lalu, sukarlah mengenal dara remaja puteri gur u silat Kim Siok itu. Kim Cui Hong kini bukan seorang gadis remaja lagi, bukan setangkai bunga yang sedang mulai mekar kuncupnya. Ia kini seorang gadis yang dewasa, berusia dua puluh dua tahun lebih seorang gadis bertubuh ramping dan padat, makin menonjol lekuk lengkung tubuhnya oleh pakaian serba "hitam yang ketat dan ringkas itu. Di dagunya masih nampak tahi lalat kecil yang membuat dagu itu nampak manis sekali.

   Sepasang matanya lebar dan jeli, bahkan kini memancarkan sinar yang mencorong tajam. Mulutnya bahkan lebih indah daripada dahulu, kini mulut itu nampak selalu segar basah kemerahan, dengan bibir yang dapat bergerak secara hidup dan menggemaskan, seakan-akan menantang dan menjanjikan kegairahan yang penuh nikmat. Mulutnya itu merupakan bagian yang paling manis dan indah dari wajah gadis ini. Selain buntalan digendong di punggungnya, ia tidak membawa apa-apa lagi. Tidak ada apa pun padanya yang membayangkan bahwa ia adalah seorang gadis yang memiliki

   ilmu silat tinggi!

   Ia tidak akan menarik perhatian orang sebagai seorang ahli silat, akan tetapi jelas bahwa seorang gadis seperti Cui Hong akan selalu menarik perhatian kaum pria karena gadis itu cantik jelita dan manis sekali. Justru pakaiannya yang serba hitam dan amat sederhana itulah yang membuat kecantikannya menonjol, kemulusan kulit yang putih kuning itu nampak jelas dan membuat ia berbeda daripada wanita lain. Akan tetapi tentu saja Cui Hong tidak menyadari hal ini sebelum ia terjun dalam dunia ramai.

   Perubahan besar terjadi di mana-mana, juga di Thian-cin semenjak ditinggalkan selama tujuh tahun oleh Cui Hong. Dalam waktu tujuh tahun itu telah terjadi banyak sekali peristiwa penting. Bukan hanya diri Cui Hong yang berubah banyak sekali, akan tetapi juga keadaan dalam negeri telah mengalami perubahan.

   Karena lemahnya kaisar Beng-tiauw terakhir, yaitu Kaisar Cung Cen, yang menjadi seperti boneka di tangan para pembesar thai-kam (kebiri), pemerintahan yang penuh dengan para pejabat korup itu menimbulkan kekacauan dan pemberontakan di mana-mana. Mereka yang merasa kecewa dengan pemer intah yang lemah dan korup itu memberontak dan yang paling terkenal adalah pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh Lee Cu Seng dan Bu Sam Kwi.

   Sementara itu, kekuasaan bangsa Mancu semakin berkembang dan pasukan-pasukan telah menerobos ke selatan, menguasai banyak wilayah di utara dan timur. Pada waktu itu, bangsa Mancu yang berhasil menaklukkan banyak suku bangsa liar di utara, dan sudah mulai melebarkan sayapnya ke selatan dan mendesak pemer intah Beng yang mulai suram, segera mendirikan suatu wangsa baru yang mereka namakan Kerajaan Ceng-tiauw. Yang menjadi kaisar pada waktu itu adalah Kaisar Thai Cung yang di waktu mudanya bernama Pangeran Huang Thai Ci, seorang pemuda yang gagah perkasa dan tampan, juga amat terkenal sebagai seorang penakluk wanita.

   Dan seperti tercatat dalam sejarah, di dalam kekuasaan Kaisar Thai Cung dari Kerajaan baru Mancu yang disebut Kerajaan Ceng itu, permaisurinya mempunyai jasa yang amat menonjol. Permaisuri dari Kaisar Thai Cung ini berasal dari puteri seorang kepala suku bangsa liar, dan namanya Ta Giok (Kemala Besar). la amat dicinta oleh Kaisar Thai Cung karena memang sejak muda, di antara mereka telah terjadi suatu jalinan cinta yang mesra.

   Ketika Kaisar Thai Cung masih muda dan masih disebut Pangeran Huang Thai Ci, di perbatasan Mancuria sebelah selatan terdapat sekelompok suku bangsa yang masih belum takluk kepada bangsa Mancu, penakluk oleh kepala suku yang gagah perkasa. Kepala suku ini mempunyai dua orang puteri yang sudah menjelang dewasa. Yang pertama diberi nama Kemala Besar atau Ta Giok, sedangkan yang ke dua diberi nama Siauw Giok atau Kemala Kecil.

   Keduanya merupakan dara-dara remaja yang cantik sekali, terutama Ta Giok yang amat jelita dan manis. Sebagai puteri kepa la suku, dua orang dara ini sejak kecil sudah pandai berburu binatang buas, pandai menunggang kuda, pandai melepas anak panah, memainkan senjata dan membela diri. Suku bangsa Mancu memang lebih besar, dan membiarkan wanita-wanita mereka bekerja seperti laki-laki, terbiasa dengan hidup yang serba keras dan sukar karena mereka adalah bangsa Nomad, yaitu bangsa yang suka berpindah-pindah dalam kelompok, mencari daerah baru yang lebih mencukupi kebutuhan hidup mereka.

   Suku bangsa yang dipimpin o leh ayah Ta Giok ini merupakan suku bangsa yang gagah perkasa dan dengan gigih mereka mempertahankan kedaulatan mereka, tidak mau tunduk kepada bangsa lain, juga tidak mau tunduk kepada bangsa Mancu yang mulai berkembang kuat itu. Mereka juga tidak peduli akan lahirnya kerajaan baru, yaitu Kerajaan Ceng-tiauw yang didirikan oleh bangsa Mancu yang mulai menguasai wilayah luas di sebelah selatan Tembok Besar.

   Dan agaknya, mengingat bahwa kelompok ini hanya merupakan sekelompok suku bangsa pemburu yang kecil jumlahnya, Kerajaan Ceng tiauw yang baru ini pun tidak mengganggu mereka, apalagi kerajaan yang baru ini ingin menarik para kepala suku bangsa yang kecil-kecil itu sebagai sekutu, maka kebebasan suku bangsa ini pun tidak mereka ganggu. Bangsa Mancu tidak mau mengganggu wilayah suku bangsa ini yang tidak begitu luas, dan menghindarkan setiap kesalah-pahaman atau bentrokan kecil antara perajurit mereka.

   Pada suatu pagi yang cerah, di sebuah sungai kecil yang mengalir di tepi hutan, terdengar dua orang gadis bersendagurau. Mereka mandi di sungai yang jernih airnya itu, berenang ke sana ke mari, saling siram, tertawa-tawa dan membuat suara berirama dengan menepuk-nepukkan telapak tangan ke permukaan air. Memang sejuk dan segar sekali mandi di air sungai itu, ditimpa sinar matahari pagi yang hangat.

   Suasana amat gembira dan meriah, apalagi karena tempat itu sunyi sekali. Dua orang gadis itu adalah Ta Giok dan Siauw Giok. Karena tempat itu sunyi dan tidak ada manusia lain kecuali mereka maka dua gadis itu mandi bertelanjang bulat tanpa malu-malu lagi. Mereka menanggalkan pakaian mereka di tepi sungai, ditumpuk di atas batu kering dan bagaikan dua ekor ikan yang aneh mereka masuk ke dalam air. Tubuh mereka yang berkulit mulus dan agak coklat karena sering kali tertimpa matahari itu nampak keemasan.

   Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan dua orang dara remaja itu terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa di tempat itu akan ada orang lewat! Mereka tentu saja cepat mendekam ke dalam air dan hanya nampak kepala mereka saja, dengan dua pasang mata yang lebar jernih itu terbelalak mereka memandang ke arah jalan di tepi hutan, tak jauh dari tempat mereka mandi.

   Tak lama kemudian, muncullah lima orang pria muda yang menunggang kuda. Mereka itu adalah lima orang muda, berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, kesemuanya nampak gagah dan bertubuh tegap, dengan pakaian indah dan kuda mereka merupakan kuda pilihan Mereka itu adalah seorang perwira dan empat orang pembantunya, perajurit-perajurit Kerajaan Ceng, orang-orang muda Mancu yang pandai menunggang kuda. Ketika mereka melihat dua wajah cantik tersembul di atas permukaan air sungai, mereka pun tertegun dan menahan kuda mereka.

   "Aihhh.... ada dua orang bidadari di sana....!"

   Kata perwira itu dan mereka berlima segera mengajukan kuda dan menghampiri sungai itu ke tepinya. Di situ mereka memandang dengan penuh kagum.

   Melihat ini, Ta Giok yang tadi sudah membisiki adiknya, tiba-tiba bangkit berdiri sehingga tampaklah tubuhnya dari pusar ke atas, telanjang sama sekali, diikuti adiknya. Tentu saja penglihatan ini membuat lima orang pria itu melongo, mata terbelalak dan mulut ternganga saking kagumnya menyaksikan segala keindahan di depan mata mereka itu. Akan tetapi, sebelum mereka sempat melompat turun untuk menuruti dorongan hati mereka, tiba-tiba dua orang dara remaja itu menggerakkan kedua tangan mereka bergantian dan hujan batu kerikil menyerang lima orang itu. Tiba-tiba lima ekor kuda itu meringkik kesakitan lalu meloncat dan kabur! Kiranya, dua orang dara itu memiliki kepandaian menyambit dengan baik sekali sehingga mereka berhasil menyambit dengan jitu dan kerikil-kerikil mereka mengenai mata lima ekor kuda itu.

   Binatang-binatang itu menjadi ketakutan sekali dan mereka kabur tanpa dapat dikendalikan lagi. Saking kuatnya mereka melompat dan mengangkat kedua kaki ke atas, dua di antara lima orang pria itu terlempar dari atas punggung kuda, dan karena kaki mereka masih terlibat, mereka pun terseret sampai beberapa mil jauhnya sebelum kuda mereka dapat ditenangkan dan mereka dapat membebaskan diri, dengan tubuh penuh luka dan babak belur! Tentu saja mereka menjadi marah sekali dan setelah mereka mampu menguasai kuda mereka, lima orang itu kembali ke tepi sungai, akan tetapi dua orang dara yang cantik jelita dan bengal itu sudah tidak nampak lagi batang hidungnya.

   Berita tentang peristiwa itu tersiar di kalangan perajurit dalam pasukan pemerintah Ceng dan lima orang itu menjadi bahan tertawaan mereka. Akan tetapi, ketika Pangeran Huang Thai Ci mendengar tentang dua orang dara itu, hatinya tertarik bukan main. Dia adalah seorang pria yang suka sekali mendekati wanita cantik, seorang mata keranjang dan penakluk wanita yang terkenal karena memang dia gagah perkasa, berwajah tampan dan bertubuh tegap. Kenyataan bahwa dua orang dara itu termasuk keluarga suku yang tidak bersahabat, yang tentu akan menyerang setiap orang asing yang memasuki wilayah mereka, tidak membuat pangeran mata keranjang dan petualang asmara ini menjadi gentar.

   Pangeran Huang Thai Ci ingin sekali berkenalan dengan dua orang dara itu. Dia lalu mengutus pembantu-pembantunya yang cerdik dan pandai untuk melakukan penyelidikan, siapa adanya dua orang dara itu dan kapan kiranya ia dapat bertemu dan berkenalan dengan mereka bertiga saja. Petugas itu melakukan penyelidikan dan segera melaporkan bahwa dua orang dara itu bernama Ta Giok dan Siauw Giok, dua orang puteri kepala suku itu dan melaporkan pula kebiasaan dua orang dara itu berburu binatang di dalam hutan dalam waktu-waktu tertentu.

   Mendengar laporan ini, sang pangeran lalu berangkat seorang diri. Dengan penuh keberanian dan menyembunyikan kudanya di dalam sebuah guha di tepi hutan di mana dua orang gadis itu akan datang berburu, dan diapun mengenakan kulit harimau yang sudah dipersiapkannya, dan menunggu di tengah jalan. Tak lama ia menunggu. Sesuai dengan laporan yang diterimanya, terdengar derap kaki kuda dan tak lama kemudian dua orang dara itu nampak menunggang kuda perlahan-lahan, membawa belasan ekor kelinci dan ayam hutan hasil buruan mereka, dan mereka lewat sambil bercakap-cakap dan bersendau-gurau penuh kegembiraan. Pangeran Huang Thai Ci mempersiapkan diri di balik semak-semak belukar, dan pada saat dua ekor kuda itu t iba di depannya, dia meloncat ke depan sambil mengeluarkan gerengan yang nyaring.

   Biarpun terkejut, dua ekor kuda itu agaknya tahu bahwa yang muncul dan menggereng ini bukan harimau aseli. Akan tetapi tidak demikian dengan dua orang dara itu. Siauw Giok menjadi demikian kagetnya sehingga ia membedal kudanya dan kabur meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi, penuh rasa takut karena seolah-olah merasa ada harimau mengejar di belakangnya! Memang demikianlah orang yang dicengkeram rasa takut.

   Ta Giok lebih tabah daripada adiknya, akan tetapi ia pun terpaksa harus mencabut pedangnya karena tidak mungkin lagi mempergunakan busur dan anak panahnya. Harimau itu terlampau dekat dan sebelum ia siap dengan busur dan anak panahnya, harimau itu dapat menyerangnya lebih dahulu. Dengan gagah sekali, dara ini siap dengan pedang di tangan, menghadapi harimau itu.

   Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hatinya ketika ia melihat harimau itu t iba-tiba dapat bangkit berdiri di atas kedua kaki belakang, seperti seorang manusia! Ta Giok adalah puteri kepala suku yang masih terbelakang dan tentu saja ia percaya akan tahyul. Melihat betapa ada harimau dapat berdiri seperti manusia ia pun segera menduga bahwa tentu ia berhadapan dengan seekor harimau jadi-jadian atau seorang siluman! Ketabahannya luntur dan ia pun memandang pucat dengan tubuh agak menggigil. Apalagi ketika tiba-tiba harimau itu dapat mengeluarkan suara ketawa, ia semakin takut lagi.

   Harimau itu tiba-tiba bergerak dan terlepaslah kulit harimau itu dan kini yang nampak berhadapan dengan dirinya adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali! Pemuda itu, Pangeran Huang Thai Ci, dengan sigapnya melompat ke depan, sekali renggut dia sudah merampas pedang dari tangan Ta Giok yang masih terpesona dengan tangan kirinya, lalu tangan kanannya meraih dan dia memondong tubuh Ta Giok dar i punggung kuda.

   Dara itu meronta-ronta, akan tetapi dia sama sekali tidak berdaya dalam dekapan Huang Thai Ci yang pandai merayu. Dihujani rayuan dan belaian pemuda yang sudah amat menarik hatinya itu, akhirnya Ta Giok bertekuk lutut, takluk dan tidak melawan lagi, bahkan menyambut pencurahan cinta birahi Pangeran Huang Thai Ci dengan penuh gairah dan semangat pula. Tanpa bicara kedua orang muda itu menurutkan gelora hati penuh birahi di balik semak belukar, di atas rumput hijau yang lunak tebal. Baru kemudian Tanpa bicara kedua orang muda itu menurutkan gelora hati penuh birahi di balik semak belukar, di atas rumput hijau yang lunak tebal.

   Ta Giok bertanya dengan lembut, memandang kekasihnya itu dengan sinar mata penuh kagum dan kasih sayang siapa adanya pemuda itu yang demikian beraninya melakukan siasat untuk menghadangnya. Sambil tersenyum dan merangkul leher kekasihnya, menciumnya, pemuda itu berbisik di dekat telinga Ta Giok.

   "Aku adalah Pangeran Huang Thai Ci"

   "Ahhhh.....!"

   Pengakuan ini membuat Ta Giok terkejut, akan tetapi juga kagum dan girang sekali. Kekasihnya, pria pertama yang menyentuhnya, adalah sang pangeran yang sudah amat terkenal itu. Dan dia pun balas merangkul dan keduanya kembali tenggelam ke dalam kemesraan yang mendalam.

   Kemudian mereka beristirahat, rebah di atas rumput sambil memperkenalkan diri masing-masing. Pangeran itu membujuk Ta Giok agar suka ikut bersama dia ke istana keluarganya. Ta Giok merasa ragu-ragu. Kalau ayahnya atau anggauta suku bangsanya tahu bahwa ia bukan hanya berkenalan dengan pangeran pihak musuh, bahkan telah bermesraan dan menyerahkan dirinya, tentu ayahnya akan marah sekali. Bahkan kalau pangeran itu ketahuan, besar sekali kemungkinannya Pangeran Huang Thai Ci akan dikeroyok dan dibunuh tanpa banyak cakap lagi.

   Selagi ia ragu-ragu dan belum dapat menjawab, tiba-tiba terdengar bunyi banyak kaki kuda menuju tempat itu, diseling teriakan-teriakan memanggil namanya!

   "Celaka.... mereka datang....!"

   Kata Ta Giok.

   "Cepat, kau pergilah, pangeran.....!"

   Huang Thai Ci juga terkejut sekali dan maklum akan bahaya yang mengancam, tanpa berkesempatan pamit lagi kepada kekasihnya, cepat melompat dan lari menuju ke guha di mana dia menyimpan kudanya, kemudian diam-diam dia kabur dari tempat itu melalui lain jurusan.

   Sementara itu, Ta Giok setelah membereskan pakaiannya, lalu pura-pura rebah pingsan di dekat semak-semak di tepi jalan. Ternyata rombongan itu terdiri dari belasan orang perajurit dipimpin oleh ayahnya sendiri dan ditemani oleh Siauw Giok yang menjadi penunjuk jalan.

   Ayahnya segera melompat turun dan bersama Siauw Giok menyadarkan Ta Giok. Kepala suku itu menghujaninya dengan pertanyaan di mana adanya harimau itu, akan tetapi karena khawatir kalau-kalau ayahnya merasa curiga, Ta Giok hanya menggeleng kepala ketakutan dan pura-pura tidak mampu bicara saking takutnya. Mereka membawa Ta Giok pulang dan dara ini dapat menyimpan rahasianya, hanya menyimpan pertemuannya dengan Pangeran Huang Thai Ci itu sebagai sebuah kenangan yang manis dan indah sekali. Akan tetapi ayahnya bukan orang bodoh dan diam-diam ayahnya menaruh hati curiga karena terjadi perubahan dalam sikap Ta Giok yang suka duduk termenung. Karena itu, ayahnya lalu memaksanya untuk menikah dengan seorang kepala suku yang masih muda dan yang menjadi sahabatnya.

   Pernikahan Ta Giok ini terdengar pula oleh Pangeran Huan Thai Ci. Tentu saja hati pangeran ini merasa kecewa sekali dan ketika terbuka kesempatan, yaitu ketika kaisar mengambil keputusan untuk membasmi kelompok-kelompok suku bangsa yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Ceng-tiauw, pangeran ini lalu mengepalai sendiri pasukan yang kuat dan dia lalu menyerbu ke perkampungan suku bangsa di mana Ta Giok ini menjadi isteri kepala sukunya. Dia membasmi kepala suku itu dan berhasil merampas Ta Giok dan Siauw Giok.

   Pertemuan dua hati yang dipisahkan keadaan ini amat menggembirakan kedua pihak. Dengan penuh kasih sayang, Huang Thai Ci lalu mengangkat Ta Giok menjadi isterinya, dan Siauw Giok lalu dinikahkan pula dengan adiknya, yaitu Pangeran Tuo Ek Kun.

   Sifat mata keranjang Pangeran Huang Thai Ci memang sudah tidak ketulungan lagi! Biarpun d ia sudah menguasai Ta Giok sebagai isterinya, namun melihat betapa Siauw Giok yang menjadi adik iparnya kini pun nampak cantik jelita menyaingi kakaknya, dia tidak dapat menahan gelora hatinya. Dan karena adiknya pun merupakan seorang pria yang tidak pantang melakukan pelanggaran susila, maka terjadilah tukar-menukar antara kakak beradik ini! Bukan merupakan hal yang aneh lagi kalau seringkali Ta Giok menemani adik iparnya dalam kamarnya, sebaliknya Siauw Giok tidur bersama Huang Thai Ci' Peristiwa seperti itu tidak jarang terjadi di dalam istana yang megah dan mulia, bahkan seringkali di tempat-tempat yang dianggap penuh kemuliaan dan kemewahan ini terjadi pelanggaran susila yang lebih hebat dibandingkan dengan yang terjadi di luar tembok istana.

   Hal ini adalah karena kebebasan para wanita di dalam tembok istana amat terbatas, dan kehidupan mereka itu seperti di dalam rumah penjara saja, di dalam tahanan walaupun mereka berenang dalam kemewahan. Dan para pangeran, keluarga kaisar, yang merasa bahwa mereka berada di puncak kekuasaan, kadang-kadang tidak pantang melakukan hal-hal yang tidak pantas, bahkan yang tidak akan dilakukan oleh seorang petani gunung yang bagaimana terbelakang dan bodoh sekalipun. Tentu saja hal-hal semacam itu tidak pernah dicatat di dalam sejarah.

   Sejarah orang-orang besar selalu penuh dengan kebaikan-kebaikan dan kebersihan-kebersihan belaka, penuh dengan catatan perbuatan yang patut-patut dan mulia. Demikianlah, ketika Pangeran Huang Thai Ci diangkat menjadi kaisar menggantikan ayahnya dan berjuluk Kaisar Thai Cung dari kerajaan Ceng, Ta Giok yang berasal dari keluarga kepala suku bangsa kecil sederhana itu diangkat pula menjadi Permaisuri! Dan ia masih menjadi permaisuri yang amat berpengaruh dan berkuasa ketika balatentara Mancu terus mengancam kota raja Kerajaan Beng-tiauw yang sudah hampir runtuh itu.

   Dalam keadaan Kerajaan Beng-tiauw yang sudah makin lemah itu, tentu saja roda pemerintahan tidak dapat berjalan lancar. Para pembesar di daerah-daerah seperti terlepas dari pengaruh kota raja dan mereka itu seolah-olah berdiri sendiri, menjadi raja-raja kecil di daerah masing-masing yang berada di dalam kekuasaan mereka. Dan dalam hal ini pun, hukum rimba tetap berlaku. Pembesar yang dekat dengan pasukan, terutama pembesar yang menguasai atau mengepalai pasukan yang terkuat, dialah yang menjadi raja tanpa mahkota! Dengan modal kekuatan pasukannya, dia dapat memaksakan kehendaknya di daerah yang dikuasainya dan tidak ada siapa pun yang berani menentangnya. Hal ini terjadi karena atasan mereka yang lebih kuat dan besar kekuasaannya berada di kota raja dan kota raja sedang kacau dilanda pemberontakanpemberontakan.

   Akan tetapi, di mana ada kekeruhan, di situ pasti ada yang ingin memancing ikan di air keruh, manusia-manusia yang ingin memperoleh keuntungan dari keadaan kacau itu. Setiap kali negara mengalami kekacauan, pasti muncul oknumoknum yang mencari sasaran dan ingin memperoleh keuntungan diri sendiri melalui kekacauan-kekacauan itu. Hal ini terjadi karena terbukanya kesempatan-kesempatan bagi mereka. Karena itu, ada benarnyalah kalau dikatakan bahwa kesempatan menimbulkan kemaksiatan! Demikian pula dengan para pembesar tinggi di kota raja. Mereka melihat kesempatan terbuka dengan adanya penguasa-penguasa daerah yang berdiri sendiri di daerah-daerah.

   Dengan pengaruh dan kekuasaan mereka, para pembesar tinggi ini mendatangi para pembesar daerah, menggertaknya dan mengancamnya dengan tuduhan korupsi dan kalau mereka melawan, akan dituduh pemberontak! Tentu saja, di jaman merajalelanya pemberontakan itu, para pejabat daerah paling takut dituduh pemberontak dan untuk meredakan kemarahan dan ancaman para pejabat tinggi yang datang dari kota raja untuk "mencari-cari kesalahan"

   Itu, para pembesar daerah tidak sayang untuk mengeluarkan banyak harta guna menyogok. Maka merajalela pula penyogokan dan penyuapan, agar para pemeriksa dari kota raja itu melaporkan yang baikbaik saja mengenai daerah mereka!

   Di kota Thian-cin yang dekat dengan kota raja, hal serupa juga terjadi. Para pejabat kota ini, tidak terkecuali, menggunakan keadaan selagi pemerintah pusat lemah, mereka ini hidup sebagai raja-raja kecil. Sebagai seorang kepala jaksa, maka Pui Kian atau Pui Taijin (Pembesar Pui), tidak mau ketinggalan berlumba mengumpulkan kekayaan dan memperkuat kedudukan. Dipeluknya komandan pasukan keamanan kota Thian-cin sebagai kawan akrabnya dan mereka berdualah yang seakan-akan menjadi raja-raja kecil di Thian-cin.

   Pui Taijin sebagai seorang kepala jaksa, berhak untuk menangkap siapa saja dan menuntutnya dengan tuduhan-tuduhan palsu atau tidak, dan men jebloskan mereka yang dianggap tidak taat atau menentang ke dalam tahanan penjara. Dan komandan pasukan itu, Ji-ciangkun (Perwira Ji), berdiri di belakang sang jaksa bersama pasukannya dan tidak seorang pun berani menentang atau melawan mereka!

   Dengan cara demikian, mudah saja bagi Pui Kian untuk memeras para hartawan, merampas tanah-tanah pertanian yang luas dan melakukan segala macam penindasan lagi. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila dia menjadi panik setengah mati ketika mendengar berita pengumuman bahwa pekan depan akan datang seorang pembesar tinggi dari kota raja untuk mengadakan pemer iksaan di Thian-cin! Dan dia mendengar bahwa Kwa Taijin (Pembesar Kwa) itu adalah seorang pembesar tinggi yang keras dan suka mengambil tindakan tegas, juga memiliki kedudukan yang kuat di kota raja! Tentu saja dia menjadi panik dan ketakutan, maka cepat dia menemui 3i Ciangkun, sekutunya di Thian-cin.

   "Ciangkun, engkau harus dapat menyelamatkan aku sekali ini. Aku gelisah sekali menghadapi pemeriksaan Kwa Taijin. Kabarnya dia keras sekali dan suka bertindak tegas!"

   Demikian katanya dengan muka agak pucat membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan dapat menimpa dirinya.

   Wajah pembesar militer itu juga nampak gelisah.

   "Pui Taijin, permintaanmu itu sungguh membingungkan hatiku. Bagaimana aku akan dapat menolongmu? Aku sendiri pun bingung mendengar dia akan muncul di sini. Sungguh heran, bagaimana dia tahu-tahu akan melakukan pemeriksaan di sini? Aku khawatir kalau-kalau ada orang yang mengadu ke kota raja."

   
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apa..... apa maksudmu? Apakah engkau tidak dapat mempergunakan kekuasaan dan pengaruhmu untuk..... untuk sekedar melemahkan semangatnya?"

   "Aih, kau tidak tahu, Taijin. Pembesar she Kwa itu amat berkuasa dan hatinya seperti terbuat dari baja. Kalau dia sedang tidak senang, biarpun disogok harta berapa banyak sekalipun, dia t idak akan goyah. Dan aku bahkan pernah menjadi korban ketegasannya. Ketahuilah bahwa aku dipindah ke Thian-cin dari kota raja juga karena dia!"

   "Apa..... apa maksudmu?"

   Tanya pembesar she Pui itu dengan kaget dan semakin panik.

   Perwira itu menarik napas panjang, mengenang kembali pengalamannya yang pahit ketika dia menjadi korban ketegasan Kwa Taijin. Ketika itu, lima tahun yang lalu, kedudukannya adalah seorang panglima di kota raja yang berkedudukan baik. Akan tetapi, pada suatu hari dia telah melakukan kesalahan, menggunakan kedudukannya untuk menekan keluarga yang sejak lama menjadi musuhnya. Dia berhasil menggunakan kekuasaannya untuk menuntut keluarga itu sehingga mereka ditahan dan dihukum dengan tuduhan melakukan perlawanan kepada alat negara dan memberontak, dan dia berhasil menguasai semua harta milik musuh itu.

   Dan gara-garanya hanyalah karena puteranya bentrok dan berkelahi dengan putera keluarga itu, dan puteranya itu kalah dalam perkelahian itu dan terluka. Akan tetapi, akhirnya urusan itu sampai ke tangan Kwa Taijin yang turun tangan menyelidiki dan mengadilinya melalui pengadilan kota raja. Dalam urusan ini, dia dianggap bersalah. Keluarga musuh itu dibebaskan, harta mereka dikembalikan dan dia sendiri lalu diturunkan pangkatnya dan dipindahkan ke Thiancin. Dan kini, sahabatnya ini minta kepadanya agar mau melindunginya dari Kwa Taijin! Tentu saja nyalinya belum apa-apa sudah menjadi kecil. Semua ini dia ceritakan kepada Pui Taijin yang menjadi semakin panik.

   "Celaka, kalau begitu, bagaimana baik nya?"

   "Jangan khawatir, sahabatku. Sebaik-baiknya orang, sekeras-kerasnya orang, pasti ada cacatnya dan ada kelemahannya. Kukatakan tadi bahwa kalau hatinya sedang tidak senang, Kwa Taijin itu dapat keras seperti baja dan sukar sekali dibelokkan kehendak dan keputusannya, bahkan disogok pun tidak dapat. Akan tetapi kalau hatinya sedang senang, dia pun murah hati sekali. Karena itu, engkau harus berusaha menyenangkan hatinya."

   "Bagaimana caranya, ciangkun? Ingat, ini kepentingan kita berdua. Engkau harus membantuku memikirkan jalan yang baik agar kita berdua dapat lolos dari bahaya. Bagaimana caranya untuk menyenangkan hatinya? Perempuan? Makan minum yang lezat?"

   Perwira itu menggeleng kepala.

   "Bukan, dia bukan tukang main perempuan, bukan pula pelahap makanan lezat. Akan tetapi dia punya kelemahan terhadap batu-batu permata yang indah, terutama sekali batu kemala dan mutiara. Terhadap dua macam batu permata itu, melebihi batu-batu mulia yang lain, dia tergila-gila."

   "Batu giok (kemala)? Mutiara? Wah.... alangkah mahalnya....!"

   "Apa artinya harta benda, taijin? Habis harta, bisa cari lagi. Kalau kehilangan kedudukan, apalagi dihukum, kita akan mati seperti tikus dalam jebakan."

   Pembesar itu mengangguk-angguk seperti ayam makan jagung.

   "Kau benar, kau benar! Baiklah, mulai sekarang aku akan mengumpulkan batu giok dan mutiara, akan kubeli dari semua pedagang batu permata. Akan kukumpulkan yang paling bagus, biar sampai habis uang simpananku asal hatinya menjadi senang."

   Pada saat itu, di dalam kegelapan malam, ada bayangan orang mengangguk-angguk pula ketika mendengar percakapan dua orang pembesar ini. Orang itu tadi menyelinap dan meloncat seperti seekor kucing saja, tanpa mengeluarkan suara dan tidak kelihatan oleh para penjaga. Orang itu bertubuh ramping, berpakaian serba hitam dan memiliki gerak-an luar biasa ringan dan cepatnya. Bayangan hitam ini adalah Kim Cui Hongl Sepasang matanya mencorong mengerikan ketika nampak berkilat.

   Seperti telah kita ketahui, gadis ini turun dari sebuah di antara puncak Pegunungan Lu-liang-san, berpisah dari guru nya, Toat-beng Hek-mo, membawa buntal an pakaian dan juga ilmu kepandaian t inggi yang dipelajarinya selama tujuh tahun setiap hari tak pernah berhenti secara tekun sekali.

   Tentu saja ia langsung menuju ke Thian-cin. la melakukan penyelidikan tentang jenazah ayahnya dan suhengnya, namun ia gagal dalam penyelidikannya. Tak seorang pun tahu di mana kuburnya dua orang itu. Tadinya ada niat di hatinya untuk menghubungi saudara-saudara seperguruannya, akan tetapi niat ini lalu d ibatalkannya. Tidak, la t idak akan mencari teman atau pembantu dalam usahanya membalas dendam. Akan ditanganinya sendiri dan andaikata gagal pun akan ditanggungnya sendiri! Balas dendam ini merupakan satusatunya tujuan sisa hidupnya.

   Pertama-tama ia harus dapat mencari dana untuk penyelidikan dan usahanya membalas dendam. Ia tahu ke mana harus mencari uang. Ke rumah gedung keluarga jaksa Pui! Ke mana lagi kalau bukan ke rumah musuh besar nomor satu itu? Mengambil harta dari situ merupakan sebagian pembalasan dendamnya.

   Demikianlah, dengan menggunakan ilmu kepandaiannya, ia berhasil menyelinap dan naik ke atas wuwungan rumah gedung keluarga Pui Taijin. Secara kebetulan saja ia melihat dan mendengar percakapan antara Kepala jaksa Pui Kian dan ji Ciangkun. Tentu saja percakapan antara kedua orang itu amat penting baginya. Dari percakapan itu ia dapat menangkap bahwa akan ada pembesar tinggi dari kota raja datang ke Thian-cin dan agaknya Kepala jaksa Pui bersama sekutunya yang berpakaian perwira itu akan berusaha mengambil hati pembesar tinggi itu dengan jalan menyogok dengan barang-barang yang amat disukainya, yaitu batu-batu mulia berupa batu kemala dan mutiara yang tentu amat mahal harganya.

   Kebetulan sekali, pikirnya dan kepalanya yang penuh dengan siasat terdorong oleh keinginannya membalas dendam itu sudah diputarnya dan ia sudah memperoleh siasat yang baik sekali. Sekali turun tangan, ia harus dapat menguasai barang-barang berharga itu dan juga memukul keluarga Pui! Setelah selesai urusan ini, baru ia akan turun tangan langsung kepada Pui Ki Cong yang belum dilihatnya di gedung itu.

   Diurungkannya niatnya mencuri barang berharga dari gedung itu dan pada keesokan harinya, kembali ia melakukan penyelidikan tentang keluarga Pui dan tentang segala sepakterjang kepala jaksa itu. Dan ia memperoleh keteranganketerangan yang amat penting. Kiranya sudah empat tahun lebih Pui Kongcu atau Pui Ki Cong tidak tinggal lagi di Thiancin, dan menurut keterangan yang diperolehnya, musuhnya nomor satu itu telah pergi pindah. kini tinggal di kota raja, menduduki jabatan tinggi dan penting di istana! Dan tentang Jaksa Pui sendiri, ia memperoleh berita bahwa pembesar itu kini seperti raja kecil, seolah-olah dialah yang paling ber kuasa di Thian-cin, menentukan segala hukum yang berlaku di Thian-cin, berbuat sewenang-wenang mengandalkan kedudukannya dan dilindungi pula oleh sekutunya, yaitu Ji Ciangkun, komandan pasukan keamanan Thian-cin.

   Juga gadis yang cerdik ini berhasil mendengar percakapan antara dua orang pegawai kabupaten yang sudah tua tentang diri Kwa Taijin, pembesar tinggi yang datang dari kota raja untuk mengadakan peneliti an dan pemeriksaan di Thian-cin dalam pekan depan ini. Cui Hong mengangguk-angguk dan ia mulai memintal siasat yang direncanakannya seperti seekor laba-laba memintal jaring laba- labanya dengan teliti dan tekun.

   Beberapa hal penting dicatatnya dan dikumpulkannya dari pendengarannya dalam percakapan Pui-taijin dan Ji Ciangkun, dan dari hasil penyelidikannya, yaitu Kwa Taijin, pembesar yang keras dan tegas dari kota raja akan tetapi memiliki kelemahan terhadap batu-batu permata, akan datang mengadakan pemer iksaan dan agaknya pembesar tinggi itu sudah mendengar akan sepak-terjang Pui Taijin di Thian-cin. Pui Taijin dibantu oleh sekutunya, Ji Ciangkun, sudah mempersiapkan diri untuk menyogok pembesar Kwa itu dengan batu-batu kemala dan mutiara yang indah-indah untuk menyenangkan hatinya agar terlepas dari pengamatan dan tuntutan, tentu saja.

   Malam terakhir dari hari kedatangan Kwa Taijin, kembali Pui Kian dan Perwira Ji mengadakan pertemuan di dalam kamar Jaksa Pui. Kepala jaksa itu memperlihatkan hasil usahanya mengumpulkan batu-batu kemala dan mutiara, dan membuka sebuah bungkusan kain merah. Di dalam bungkusan itu terdapat sebuah peti berukir indah dari kayu berwarna hitam.

   "Ciangkun, coba kauperiksa, apakah barang-barang ini kiranya cukup untuk menyenangkan hati Kwa Taijin?"

   Kata Pui Kian sambil tersenyum bangga.

   Ditaruhnya peti itu di atas meja dan ketika peti dibuka, Ji Ciangkun mengeluarkan seruan kagum. Di dalam peti itu nampak benda-benda indah dari batu giok yang berwarna kehijauan, gilang-gemilang dengan ukiran halus sekali. Ada sepasang naga berebut mustika terbuat dari batu giok kemerahan, ada burung merak hijau, burung hong terbang sepasang juga dari giok hijau, ada pula gelang-gelang batu giok yang amat halus dan indah, semua itu diukir dengan halus dan pengikatnya dari emas putih. Benda-benda ukiran yang demikian indahnya, terbuat dari batu-batu giok murni, sukar ditaksir berapa harganya. Tentu amat mahal! Dan di samping itu ada pula perhiasan-perhiasan terbuat dari batu-batu mutiara pilih an. Ada kalung mutiara, ada pula giwang yang terbuat dari mutiara bermacam warna, dan ada pula gelang dari mutiara hitam yang tentu amat mahal harganya.

   "Ah, selama hidupku belum pernah aku melihat kumpulan giok dan mutiara seindah ini, Taijin!"

   Kata Ji Ciangkun dengan kagum.

   "Kalau dia tidak puas dan senang dengan benda-benda ini, aku sendiri tidak tahu harus memberi yang bagaimana! Hebat sekali!"

   "Tentu saja hebat! Benda-benda ini adalah barang-barang pilihan, ciangkun. Bahkan ukiran naga dan burung hong kemala ini tadinya adalah benda dari kamar pusaka istana kaisar yang !olos keluar! Tak ternilai harganya dan untuk mengumpulkan benda-benda ini, apalagi dalam waktu tiga empat hari ini, uangku tidak cukup dan a ku harus pinjam dari banyak kawan."

   "Ah, apa artinya uang, Taijin? Yang penting, kedudukanmu masih selamat dan engkau masih tetap berkuasa. Apa sukarnya kelak mencari uang lagi? Yang penting, harimau dari kota raja itu harus dibikin senang hatinya agar tidak mencakar dan menggigit!"

   Ji Ciangkun mengakhiri kata-katanya sambil tertawa.

   Pui Taijin juga tertawa bergelak dan menutup kembali peti itu.

   "Ha-ha-ha, engkau benar. Harimau! Dia memang seperti harimau yang galak. Akan tetapi harimau pun akan kehilangan galaknya kalau dia diberi daging kesayangannya dan perutnya kenyang, bukan? Ha-ha-ha!"

   Pui Taijin nampak gembira sekali karena kekhawatirannya hilang atau setidaknya banyak berkurang setelah dia memperoleh kepastian sahabat dan sekutunya bahwa hadiah itu cukup untuk menyenangkan hati Kwa Taijin yang ditakutinya itu. Dia membungkus lagi peti hitam itu dan meletakkan bungkusan merah ke da lam almari yang berdiri di sudut kamar itu, di belakang tempat tidurnya.

   "Mari kita rayakan hasil ini, ciangkun. Hatiku terasa lega dan aku berterima kasih padamu atas nasihatmu. Kelak aku tentu tidak akan melupakan budimu ini. Mari, mar i kita makan minum sepuasnya di ruangan makan."

   Kepala jaksa itu mengajak sekutunya untuk mengadakan pesta di kamar makan.

   "Akan tetapi, engkau tentu tidak akan meninggalkan begitu saja barang-barang yang amat berharga itu di dalam kamar ini, Taijin!"

   Ji Ciangkun berseru ketika mereka hendak meninggalkan kamar. Pui Taijin tersenyum lebar dan membuka pintu kamar.

   "Kau lihat, aku tidaklah sebodoh itu, ciangkun. Kamar itu kusuruh jaga siang malam. Aku selalu berhati-hati menjaga diriku, dan setiap hari, kamar ini dijaga oleh enam orang penjaga secara bergilir. Mereka berada di luar kamar dan siapa pun, kecuali aku dan keluargaku, tidak mungkin dapat memasuki kamar ini. Belum lagi diingat bahwa di sekeliling gedung kami ini selalu d ijaga pengawal-pengawal siang malam. Penjahat yang berani mencoba memasuki gedung kami sama saja dengan bosan hidup dan mau bunuh diri. Ha-ha-ha!"

   Ji Ciangkun juga tertawa dan mengangguk kagum ketika dia melihat enam orang penjaga yang bersenjata lengkap memang nampak berjaga di depan kamar itu.

   Mereka lalu meningalkan kamar yang hanya ditutupkan begitu saja daun pintunya oleh Pui Taijin, dan menuju ke ruangan makan di mana telah menanti pelayan-pelayan wanita yang siap melayani mereka berdua makan minum dengan hidangan-hidangan yang masih panas dan mewah.

   Para penjaga di luar kamar itu, mau pun yang berjaga di sekeliling gedung Pui Taijin, adalah penjaga-penjaga biasa yang menjaga keamanan keluarga pembesar itu dari gangguan orang-orang biasa yang hendak memusuhi keluarga itu. Tentu saja mereka itu tidak ada artinya bagi seorang pengunjung seperti Kim Cui Hong yang sejak tadi sudah mengintai di antara wuwungan rumah dan mendengarkan, bahkan melihat ke dalam kamar ketika Jaksa Pui dan Ji Ciangkun bercakap-cakap dan melihat kumpulan batu permata yang hendak diserahkan sebagai sogokan kepada pembesar Kwa Taijin yang akan datang besok.

   Selagi dua orang pembesar itu bersenang-senang makan minum di ruangan makan dilayani oleh pelayan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik, Cui Hong yang memang sejak tadi sudah mempersiapkan rencana siasatnya, melayang turun ke dalam kamar tidur pembesar itu. Ia membuka genteng dan membongkar langit- langit, melayang turun bagaikan seekor burung walet ke dalam kamar itu sehingga sama sekali tidak terlihat atau terdengar oleh para penjaga.

   Cui Hong menggendong sebuah buntalan yang kini diturunkannya dari atas punggung dan diletakkannya di atas meja. Ia pun lalu membuka almari di belakang tempat tidur, mengambil buntalan kain merah yang tadi sudah dilihatnya ketika ia melakukan pengintaian. Dengan tenang

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   namun cepat dibukanya buntalan itu dan dengan hati-hati agar tidak mengeluarkan suara, dibukanya peti hitam yang penuh dengan barang-barang indah dari batu giok dan mutiara.

   Semua benda itu dikeluarkan ke atas meja, kemudian peti itu ia isi dengan isi buntalannya sendiri yang terisi batu-batu biasa. Setelah penuh dan beratnya sama dengan berat barang-barang berharga tadi, ditutupnya kembali peti Itu dan dibuntalnya kembali dengan kain merah, kemudian dikembalikan benda itu ke dalam almar i. Barang-barang berharga itu kini dibuntalnya dan digendongnya di atas punggung. Setelah memeriksa dengan telit i dan merasa yakin bahwa ia tidak meninggalkan bekas-bekas yang mencurigakan, Cui Hong lalu meloncat ke atas, tangannya menyambar tiang melintang dan menerobos melalui langit-langit yang sudah dibongkarnya dan melalui genteng-genteng yang sudah dibukanya.

   

Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini