Ceritasilat Novel Online

Sakit Hati Seorang Wanita 5


Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



Ia membetulkan kembali langit-langit dan genteng dari luar, kemudian tersenyum puas melihat hasil perbuatannya. Ia telah melakukan siasat yang telah direncanakannya dengan sempurna. Seperti sebatang pedang yang tajam kedua sisinya, sekali bergerak ia telah mendatangkan dua hasil yang baik. Pertama, ia memperoleh barang-barang berharga yang akan dapat menjamin biaya semua usahanya membalas dendam, memperolehnya dari keluarga Pui Ki Cong musuh besarnya nomor satu, dan ke dua, ia pun dapat menjerumuskan Jaksa Pui ke dalam kesulitan kalau peti yang sudah diganti isinya dengan batu-batu kali itu besok diserahkan kepada pembesar tinggi dari kota raja!

   Memang tadinya tidak sedikit pun terkandung dalam hati Cui Hong untuk mencelakakan Kepala Jaksa Pui ini, kecuali mengambil harta untuk dipakai sebagai biaya mencari dan membalas dendam kepada empat orang musuhnya. Akan tetapi, ketika ia mendengar bahwa putera jaksa itu tidak berada lagi di situ, dan ketika secara kebetulan selagi melakukan penyelidikan hendak mencuri harta ia mendengar percakapan antara Jaksa Pui itu dengan Perwira Ji, timbullah rencananya untuk mencelakakan Pui Taijin.

   Bagaimanapun juga, kepala jaksa ini adalah ayah Pui Ki Cong dan telah membantu perbuatan puteranya tujuh tahun yang lalu! Ia maklum bahwa belum tentu usahanya mendatangkan kesulitan kepada keluarga Pui ini berhasil. Bisa saja gagal, misalnya, kepala jaksa itu kebetulan memer iksa peti atau melihat kembali isi peti sebelum diserahkan kepada pembesar tinggi dari kota raja itu. Andaikata benar demikian, ia pun tidak akan terlalu kecewa karena tujuan utamanya adalah mencari dana untuk biaya usahanya membalas dendam dan dalam hal itu ia telah berhasil dengan baik. la akan menanti saja sampai besok dan menyelidiki hasil perbuatannya malam ini.

   Agaknya memang nasib Cui Hong sedang baik atau nasib Kepala Jaksa Pui Kian sedang sial. Peti hitam itu tak pernah dibuka lagi oleh pembesar itu sampai t iba saatnya peti itu diserahkan kepada Kwa Taijin dari kota raja!

   Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya rombongan yang dinanti-nanti dengan jantung berdebar tegang oleh para pejabat di Thian-cin itu tiba. Sebuah kereta berkuda empat yang dikawal oleh pasukan pengawal kota raja yang berpakaian indah dan gagah sebanyak lima puluh orang. Pada waktu itu, para pembesar kota raja tidak berani rnelakukan perjalanan ke luar kota raja tanpa pengawal yang kuat, karena banyak nya kerusuhan dan pemberontakan yang timbul di mana-mana.

   Biarpun di Thian-cin ada kepala daerah yang sebetulnya memiliki kedudukan lebih tinggi dari Kepala Jaksa Pui, namun pengaruh dan kekuasaan kepala daerah Teng itu kalah oleh Pui Taijin sehingga ketika para pembesar melakukan penyambutan, kepala daerah ini diam saja, bahkan menganjurkan ketika Pui Taijin mempersilakan tamu agung itu untuk tinggal di gedungnya. Diam-diam Kwa Taijin mencatat sikap ini. Memang dia sudah mendengar desas-desus dan keluhan ra kyat di Thian-cin yang sampai ke kota raja tentang pembesar she Pui ini, yang menurut kabar h idup sebagai raja yang berkuasa penuh di Thian-cin! Maka, melihat sikap Pui Taijin dan mendengar penawarannya agar dia suka tinggal di gedung pembesar itu, dia pun menerimanya karena hal itu akan memudahkan usahanya untuk melakukan penelitian dan penyelidikan.

   Penyambutan di gedung Pui Taijin amat meriah. Hal ini memang sudah dipersiapkan lebih dahulu oleh Pui Taijin. Pembesar tinggi Kwa dari kota raja itu disambut seperti orang menyambut kaisar sendiri saja. Dan begitu tiba di rumah gedung Pui Taijin yang luas, pembesar dari kota raja itu bersama para pengiringnya lalu dijamu dengan hidangan-hidangan yang mewah dan lezat. Bahkan lima puluh orang pengawal itupun dijamu d i ruangan lain oleh kepala pengawal yang dikepalai oleh Ji Ciangkun, komandan pasukan keamanan di Thian-cin.

   Di dalam kesempatan ini, setelah memberi sambutan selamat datang dan penghormatan dengan cawan-cawan arak, disaksikan oleh para pembesar lain, dengan wajah penuh senyum, Pui Kian lalu menyerahkan buntalan kain merah terisi peti hitam itu kepada Kwa Taijin.

   "Mendengar akan kesukaan taijin, maka sebagai penyambutan selamat datang dan penghormatan, saya haturkan sedikit barang-barang kesenian terbuat dari batu kemala dan mutiara ini, harap taijin sudi menerimanya dengan senang hati."

   Kwa Taijin adalah seorang yang paling suka mengumpulkan barang-barang terbuat dari batu kemala dan mutiara. Mendengar ucapan itu, dengan mata berseri dia memandang ke arah buntalan kain merah itu.

   "Batu giok dan mutiara? Ah, Pui Taijin terlalu sungkan,"

   Katanya sambil menerima buntalan itu, meletakkannya ke atas meja dan karena ingin sekali melihat benda-benda yang tentu amat indah itu, dibukanya bundalan itu, kemudian dikeluarkannya peti kecil hitam itu, diikuti oleh pandang mata Pui Taijin yang tersenyum gembira karena hadiahnya diterima dengan sikap demikian gembira oleh pembesar tinggi yang amat ditakuti ini.

   Peti hitam itu dibuka o leh Kwa Taijin sendiri dan..... wajah Kwa Taijin berubah keruh, sinar matanya penuh kemarahan, sebaliknya wajah Pui Taijin menjadi pucat, matanya terbelalak dan dikejap-kejapkan beberapa kali seolah-olah dia tidak dapat percaya kepada matanya sendiri melihat betapa barang-barang ukiran batu giok dan mutiara yang amat indah itu kini telah berubah menjadi setumpuk batu-batu kali biasa! Juga mereka yang duduk dekat meja itu memandang dengan kaget.

   Gilakah kepala jaksa itu? Sungguh berani mati mempermainkan Kwa Taijin dari kota raja, memberi hadiah berupa batu-batu biasa dikatakannya perhiasan dari batu giok dan mutiara!

   Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan yang bergelora di hati Kwa Taijin. Dia merasa dipermainkan, bahkan dihina oleh kepala jaksa yang dia dengar merupakan orang paling berkuasa di Thian-cin ini. Dia begitu datang ke Thiancin dihina dan dijadikan bahan tertawaan oleh kepala jaksa ini! Diangkatnya peti terbuka itu dan dilemparkannya ke atas lantai dengan wajah -berubah merah sekali.

   "Brakkkk....!"

   Peti itu pecah dan isinya, batu-batu kali itu berantakan di atas lantai. Pembesar itu lalu memutar tubuhnya menghadapi Kepala Daerah Teng yang duduk di dekatnya.

   "Teng Taijin, mari kita pergi!"

   Dan dia pun memberi isarat kepada komandan pasukan pengawalnya untuk pergi dari situ tanpa pamit kepada Pui Taijin.

   Tentu saja Pui Kian tidak mampu bicara apa-apa, saking kagetnya, heran dan takutnya. Baru setelah pembesar itu pergi, dia berjongkok dan memunguti batu-batu itu, mengamatinya satu-satu seperti orang kehilangan ingatan.

   "Taijin, apakah yang terjadi? Bagaimana bisa menjadi batubatu ini....?"

   Suara Ji Ciangkun menyadarkan Pui Taijin dan dia pun cepat memegang tangan Ji Ciangkun.

   "Ciangkun, ada..... ada yang tidak beres....."

   Dan dengan marah sekali, tanpa memperdulikan betapa para pejabat lainnya sudah berbondong-bondong meninggalkan ruangan itu untuk meninggalkan tempat itu agar tidak terlibat, Pui Kian lalu berteriak memanggil kepala pasukan pengawalnya.

   "Periksa mereka yang semalam berjaga di luar kamarku! Siksa mereka agar mengaku siapa yang telah mencuri barang-barang dari dalam peti ini. Lakukan penggeledahan di tempat

   tinggal mereka!"

   Dengan marah akan tetapi juga khawatir sekali Kepala jaksa Pui mengajak Perwira Ji berunding di dalam kamarnya. Mereka berdua juga melakukan pemeriksa an di dalam kamar itu, akan tetapi tidak nampak tanda-tanda bahwa kamar itu kebobolan. Keduanya mengambil kesimpulan bahwa yang bermain gila tentu seorang di antara para pengawal!

   Kita tinggalkan dulu dua orang pembesar yang berunding dengan hati penuh kekhawatiran itu, dan mengikuti perjalanan Kwa Taijin yang dengan muka merah saking marahnya kini menuju ke gedung Kepala Daerah Teng. Karena marah dan juga kesal hatinya, pembesar dari kota raja ini langsung saja memasuki kamar yang sudah disediakan untuknya dan menyatakan kepada pihak tuan rumah bahwa malam itu dia tidak mau diganggu lagi dan baru pada keesokan harinya dia mulai bekerja! Diam-diam Kepala Daerah Teng merasa girang melihat adanya peristiwa aneh itu. Dia pun menduga bahwa pasti terjadi hal-hal yang luar biasa karena dia tahu bahwa orang she Pui itu kaya raya dan sudah biasa memberi hadiah kepada atasannya.

   Tak mungkin Jaksa Pui itu sengaja menghina Kwa Taijin. Hal ini sama dengan bunuh diri! Akan tetapi, diam-diam dia merasa girang karena peristiwa itu mungkin saja akan menjatuhkan Pui Taijin yang menjadi saingan utamanya, atau setidaknya akan mengurangi kekuasaan Pui Taijin sehingga dia sendiri akan mampu mengembangkan kekuasaannya di Thian-cin yang sebenarnya merupakan wilayahnya karena dialah kepala daerah di situ, sedangkan Pui Taijin hanyalah kepala jaksa yang terhitung anak buahnya.

   Biarpun hatinya marah sekali akhirnya saking lelahnya, Kwa Taijin dapat pulas juga di dalam kamarnya yang mewah, disediakan oleh Kepala Daerah Teng. Akan tetapi lewat tengah malam, dia terbangun. Dia terkejut melihat bayangan orang di dalam kamarnya, dan jelas bahwa orang itu mengambil cap kebesarannya yang terletak di atas meja, lalu orang itu meloncat keluar dari jendela kamarnya. Kwa Taijin bangkit dan mengucek-ucek matanya. Akan tetapi dia tidak bermimpi dan cap kebesaran itu sudah lenyap dari atas meja. Kemudian terdengar suara orang di luar kamarnya, di luar jendela dari mana orang tadi meloncat keluar.

   "Aku berhasil mengambil cap kebesarannya. Cepat larikan cap ini kepada Pui Taijin. Cepat!"

   Mendengar suara itu, Kwa Taijin kini yakin bahwa memang ada maling memasuki kamarnya dan mencuri cap kebesarannya. Dia lalu berteriak-teriak keras "Maling.....! Maling.....! Tangkap.....!!"

   Teriakannya disambut oleh derap kaki para pengawal yang lari mendatangi. Kwa Taijin sendiri lari ke jendela yang terbuka dan dia melihat bahwa empat orang penjaga yang berada di luar jendela telah roboh pingsan! Gegerlah gedung itu ketika para pengawal lari berserabutan untuk mengejar dan mencari maling itu. Akan tetapi, bayangan maling itu tidak nampak lagi.

   "Cepat, antar aku ke rumah Jaksa Pui. Sekarang juga!"

   Tiba-tiba Kwa Taijin memberi perintah kepada komandan pengawalnya.

   "Dan bersiaplah untuk menangkapnya!"

   Komandan pengawal itu segera mengumpulkan anak buahnya, dan ditemani oleh Kepala Daerah Teng yang masih merasa bingung dan kaget itu, Kwa Taijin lalu naik keretanya menuju ke rumah gedung Kepala jaksa Pui. Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Kepala jaksa Pui Kian ketika dia menerima kedatangan Kwa Taijin bersama Kepala Daerah Teng dan semua pengawal dari kota raja itu pada waktu lewat tengah malam!

   Begitu berhadapan dengan Pui Kian, Kwa Taijin mengerutkan alisnya, dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan, telunjuk kanannya menuding ke arah muka kepala jaksa itu, dia membentak.

   "Pengkhianat she Pui! Hayo cepat kau kembalikan Cap besaranku!"

   Tentu saja Pui Kian melongo, tidak mengerti apa yang dimaksudkan pembesar tinggi itu.

   "Cap..... cap kebesaran....? Apa..... apa yang taijin maksudkan?"

   Sikap dan ucapan ini oleh Kwa Taijin dianggap sebagai sikap pura-pura yang palsu, maka kemarahannya makin memuncak.

   "Keparat, kau masih mau berpura-pura lagi setelah menyuruh maling mencuri cap itu dari kamarku? Pengawal, geledah kamarnya dan cari cap itu, dan tahan dia!"

   Para pengawal pribadi Pui Kian hanya melongo, tidak berani membela majikan mereka karena mereka pun mengenal siapa Kwa Taijin dan tahu bahwa para pengawal kota raja itu adalah pasukan yang lebih tinggi kedudukannya daripada mereka. Kepala pengawal bersama anak buahnya cepat melakukan penggeledahan dan tak lama kemudian, kepala pengawal sudah keluar dari kamar membawa sebuah cap kebesaran milik Kwa Taijin yang tadi dicuri maling.

   "Hemm, lihat ini! Kau masih hendak menyangkal lagi?"

   Kwa Taijin memperlihatkan cap itu di depan hidung Pui Kian. Pucatlah wajah Pui Kian.

   "Tapi..... sungguh mati...... saya..... saya tidak mencurinya....."

   "Hemm, kau penjahat kepalang tanggung! Kalau t idak menyuruh curi, apakah cap kebesaranku itu bersayap, terbang meninggalkan meja kamarku lalu hinggap di meja dalam kamarmu?"

   "Fitnah...., ini tentu fitnah....."

   Pui Kian meratap.

   "Tangkap dia! Bawa ke dalam tahanan di tempat kepala daerah!"

   Bentak Kwa Taijin.

   Malam itu Pui Kian, kepala jaksa Thian-cin yang biasanya menjadi raja kecil di kota itu, harus meringkuk di dalam penjara di belakang gedung kepala daerah, dijaga ketat oleh pengawal-pengawal kota raja atas perintah Kwa Taijin sendiri. Akan tetapi, penjagaan yang amat ketat ini masih tidak mampu mencegah Cui Hong yang membungkus sebuah kerikil dengan kertas yang telah diberi tulisan, lalu melontarkan kertas itu ke dalam kamar tahanan dari jauh, dan kertas yang membungkus kerikil itu melayang melalui jeruji besi, dan tepat mengenai kepala Pui Kian.

   "Tukk!"

   Pui Kian mengaduh dan melihat benda kecil putih itu yang tadi menyambar kepalanya, dia cepat memungutnya. Penerangan lampu di luar kamar tahanan cukup terang menerobos melalui jeruji-jeruji besi dan dia lalu membuka kertas yang membungkus kerikil itu, dan dibacanya tulisan tangan yang halus di atas kertas.

   "Kepala Jaksa Pui, kami mengucapkan selamat kepadamu!. Mendiang guru silat Kim Siok sekeluarga".

   Membaca tulisan itu, Pui Kian mengerutkan alisnya. Guru silat Kim Siok? Sudah mendiang? Dia mengingat-ingat, lalumengepal tinju dengan geramnya. Ah, kini dia teringat akan peristiwa tujuh tahun yang lalu. Guru silat Kim? Dengan anak gadisnya yang dilamar oleh Pui Ki Cong puteranya, akan tetapi ditolak. Guru silat itu bersama seorang muridnya telah tewas dan gadis itu..... ah, ke mana perginya gadis itu? Bukankah menurut kabar yang diperolehnya, gadis anak Kim Kauwsu itu oleh puteranya diberikan kepada Thian-cin Bu-tek Sam-eng? Dan bagaimana mungkin guru silat Kim yang sudah mati itu mampu melemparkan surat ini? Kini dia dapat menduga bahwa yang mencuri barang-barang berharga dan menggantinya dengan batu, kemudian melakukan fitnah atas dirinya dengan mencuri cap kebesaran milik Kwa Taijin kemudian menaruh ke dalam kamarnya tentu juga orang yang melemparkan surat itu!

   Akan tetapi siapa? Kim Kauwsu tidak mungkin karena dia sudah mati. juga muridnya yang akan menjadi mantunya itu. Lalu siapa? Anak perempuannya? Rasanya tidak mungkin. Anak perempuan itu sudah dibawa Bu-tek Sam-eng, kalau belum mati pun tentu menjadi bini muda mereka. Apakah murid-murid Kim Kauwsu? Ah, bisa jadi. Bukankah banyak juga murid-murid guru silat itu? Dia mengepal tinju.

   Dikirimkannya surat pemberian selamat atas malapetaka yang menimpa dirinya itu jelas merupakan ejekan. Ingin dia menangkap orang itu, menghukumnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi, pembesar itu teringat akan keadaan dirinya dan lenyaplah semua kemarahan terhadap orang yang memfitnahnya, terganti oleh ketakutan yang amat hebat. Dia membayangkan dirinya dihukum, dipecat, dan dibuang, atau bahkan mungkin dihukum mati! Gemetar seluruh tubuhnya mengingat ini dan tanpa dapat ditahannya lagi dia menangis!

   Kerap kali terbukti bahwa orang-orang yang paling kejam hatinya adalah orang-orang yang paling penakut! Ada kalanya pula sifat pengecut dan penakutlah yang mendorong seseorang untuk berwatak kejam terhadap sesama manusia. Karena merasa takut dan merasa terancam keselamatannya, maka orang itu akan menyerang siapa saja yang dianggapnya men jadi ancaman bagi keselamatannya, kesejahteraannya atau kemuliaan hidupnya. Agaknya Kepala Jaksa Pui ini orang seperti itulah. Biasanya, kalau dia memperlihatkan kekuasaannya menindas orang lain, hatinya merasa gembira dan puas sekali melihat orang lain itu meratap-ratap minta ampun, menangis di depan kakinya minta keringanan hukuman.

   Puas dan gembira karena tangis orang lain itu merupakan mahkota kekuasaannya. Ratap tangis orang lain bagaikan nyanyi merdu di telinganya. Kini, menghadapi ancaman terhadap dirinya yang sukar untuk dapat dihindarkannya, melihat betapa kekuasaannya runtuh dan dia sama sekali tidak ber daya, kebanggaan dirinya runtuh pula dan timbul iba diri yang berlebihan besarnya, yang mendorong mengalirnya air mata dari sepasang matanya yang sudah lama mengering tak pernah disentuh perasaan itu. Dan si pelempar surat, Kim Cui Hong, sambil tersenyum puas dengan sinar mata berkilat dan wajah berseri-seri, meninggalkan kota Thian-cin pada pagi hari itu juga, masih gelap, membawa bungkusan pakaiannya yang kini juga terisi sebuah kantung terisi barang-barang berharga yang indah dan amat mahal harganya.

   Kota raja masih nampak megah dan ramai, walaupun sebenarnya banyak penduduknya merasa gelisah karena kini pasukan-pasukan pemberontak sudah semakin maju mendekati kota raja dari semua jurusan. Dari timur kabarnya pemberontak yang dipimpin oleh Lie Cu Seng sudah semakin maju sampai ke perbatasan propinsi, hanya tinggal tiga ratus li dari kota raja. Di barat juga pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Bu Sam Kwl memperoleh kemenangan-kemenangan.

   Apalagi di utara. Pasukan kerajaan kewalahan menghadapi serbuan-serbuan bangsa Mancu yang semakin kuat saja. Pendeknya, kota raja telah dikepung dari berbagai jurusan oleh banyak musuh. Bukan hanya tiga golongan musuh itu saja. Mereka bertiga itu adalah golongan musuh paling besar dan paling kuat. Masih banyak lagi pemberontakan-pemberontakan kecil terjadi di daerah-daerah. Semua ini membuat para menteri yang masih setia kepada kerajaan menjadi semakin gelisah. Akan tetapi apa daya mereka? Kaisar dininabobokkan oleh para thaikam dan selalu menerima pelaporan yang baik-baik saja dari para thaikam itu.

   Karena keadaan seperti mendung dan gelap oleh kegelisahan, oleh ancaman-ancaman yang tidak nampak dan terasa oleh semua orang bahwa kota raja berada dalam ancaman bahaya besar, maka yang berpesta pora dalam keadaan seperti itu adalah orang-orang yang menjual tenaga dan kepandaian silat mereka sebagai pengawal-pengawal dan penjaga-penjaga keamanan. Orang-orang berpangkat dan orang-orang hartawan yang memiliki uang, tidak sayang mengeluarkan banyak uang membayar jagoan-jagoan yang bertugas menjaga keamanan mereka dan keluarga mereka.

   Dalam keadaan ketakutan, orang memang dapat melakukan hal-hal yang menggelikan. Orang-orang hartawan itu sama sekali tidak ingat lagi bahwa ancaman perang tidak mungkin dapat dihindarkan oleh perlindungan yang diberikan jagoan-jagoan silat begitu saja! Dan mereka pun lupa bahwa yang mungkin mengganggu dalam keadaan kacau itu justeru orang-orang yang biasa bertindak kasar dan keras, yaitu orang-orang yang merasa punya kepandaian silat dan yang merasa unggul, termasuk orang-orang yang mereka angkat menjadi jagoan-jagoan itu! Mereka tidak ingat betapa sudah banyak terjadi adanya pagar makan tanaman, atau orang-orang yang diandalkan sebagai penjaga keamanan bahkan menjadi pengacau keamanan itu sendiri! Seperti memelihara harimau untuk mencegah serbuan serigala. Serigalanya tidak datang, akhirnya sang harimau peliharaan itu yang akan menerkam dan memangsanya!

   Betapapun juga, sudah pasti bahwa para jagoan atau mereka yang merasa memiliki kepandaian silat dan yang berani berkelahi, dalam keadaan seperti itu menjadi laris sekali. Tenaga mereka dan jaminan mereka dibayar mahal oleh orang-orang beruang yang rela membayar mahal hanya sekedar untuk menenteramkan hati mereka dan "merasa terlindung".

   Banyak jagoan-jagoan atau tukang-tukang pukul yang memiliki ilmu silat tinggi dan yang ditakuti dan disegani orang, yang perlindungannya berharga mahal sekali, berhasil mengumpulkan kekayaan dan menjadi orang kaya. Di antara mereka terdapat seorang jagoan yang terkenal sekali dengan julukannya, yaitu Toat-beng joan-pian (Cambuk Pencabut Nyawa)! Dia telah menjadi kaya raya karena menjadi pelindung beberapa orang hartawan di kota raja. Melihat betapa usaha di luar lebih baik daripada menjadi kepala-kepala pengawal yang makan gaji, sudah lama jagoan ini meninggalkan pekerjaannya sebagai pengawal seorang pembesar di kota raja dan membuka usaha melindungi hartawan-hartawan dengan menerima bayaran mahal setiap bulannya. Dan dia agaknya memang berdarah pedagang.

   Usahanya ini dapat diperluasnya menjadi semacam perusahaan penjaga keamanan dan dia memiliki puluhan orang pembantu yang bertugas men jaga rumah-rumah hartawan. Dia sendiri hanya dipakai namanya saja untuk menakuti-nakuti orang. Dan memang sesungguhnyalah, hartawan yang dijaga oleh anak buah Toat-beng Joan-pian ini, tidak ada yang berani mengganggu. Agaknya para penjahat di kota raja tidak berani menentang Si Cambuk Pencabut Nyawa yang selain terkenal lihai bukan main, akan tetapi juga terkenal bertangan besi dan tidak pernah mau mengampuni siapa yang berani mengganggu hartawan yang dilindunginya. Setelah membunuh beberapa orang yang berani mencoba-coba, akhirnya tak seorang pun berani mengganggunya lagi dan dalam waktu dua tiga tahun saja dia telah menjadi seorang yang kaya raya.

   Jagoan itu kini mempunyai sebuah gedung besar di pinggir kota raja dekat pintu gerbang sebelah barat. Dia hidup mewah di situ bersama seorang isterinya dan dua orang anaknya. Usianya sudah empat puluh tahun lebih, tubuhnya pendek tegap dan mukanya buruk, ternyata isterinya masih muda dan cantik sekali! Isterinya itu baru berusia dua puluh lima tahun dan dua orang anaknya baru berusia tujuh tahun dan tiga tahun. Hal ini tidak mengherankan karena dia memiliki kepandaian tinggi, memiliki banyak uang dan nama besar! Dan karena dia pun pandai mencinta isterinya yang muda dan cantik, wanita ini pun dapat menjadi seorang isteri yang setia dan seorang ibu anak-anaknya yang baik. Pendek kata, Toatbeng Joan-pian Louw Ti, ya namanya adalah Louw Ti, hidup serba kecukupan dan dapat diduga hidup berbahagia bersama keluarganya.

   Para pembaca tentu masih ingat kepada nama ini. Louw Ti, jagoan yang pandai memainkan joan-pian, semacam ruyung lemas atau cambuk yang saking tangguhnya diberi nama Cambuk Pencabut Nyawa yang kemudian menjadi julukannya. Ya, dia adalah Louw Ti, seorang di antara Thian-cin Bu-tek Sam-eng (Tiga Jagoan Tanpa Tanding dari Thian-cin), bahkan orang yang paling tua, lebih tua setahun daripada dua jagoan lainnya dari Bu-tek Sam-eng.

   Louw Ti, seperti yang lainnya, mendengar juga akan kejatuhan Kepala Jaksa Pui Kian di Thian-cin. Akan tetapi karena persahabatannya dengan pejabat itu dahulu hanyalah persahabatan belian, dalam arti kata persahabatan yang dijalin karena saling menguntungkan, maka di dalam hatinya dia sama sekali t idak merasa akrab dan sama sekali bukan sahabat Pui Kian. Karena itu, mendengar betapa bekas kepala jaksa itu kini menjadi orang hukuman, dia hanya tersenyum saja dan beberapa menit kemudian sudah melupakan lagi berita tentang kejatuhan orang she Pui itu. Kalau saja dia tahu mengapa dan siapa yang menyebabkan kejatuhan Pui Kian, mungkin dia tidak akan tersenyum acuh! Dia sama sekali tidak tahu bahwa mendung kelabu mulai datang dari jauh untuk membikin gelap sinar keberuntungan yang menerangi kehidupannya.

   Mula-mula terjadi pencurian di rumah gedung seorang hartawan yang dijaga oleh empat orang anak buah Louw Ti. Bukan hanya sejumlah perhiasan emas permata yang dicuri orang, akan tetapi juga empat orang anak buah itu dihajar babak-belur oleh pencuri itu.

   "Orangnya bertubuh kecil, akan tetapi mukanya memakai topeng hitam dan pakaiannya juga hitam semua,"

   Demikian empat orang anak buah itu melapor kepada Louw Ti.

   "Ilmu silatnya lihai sekali. Ketika dia melakukan pencurian, kami berempat yang berjaga di depan pintu besar sama sekali tidak mengetahuinya. Adalah dia sendiri yang mendatangi kami dan mengejek, mengatakan bahwa dia telah mencuri banyak barang perhiasan berharga dari kamar tuan rumah."

   "Hemm....!"

   Louw Ti mengerutkan alis nya dan sepasang matanya yang lebar itu memancarkan sinar berkilat karena marahnya.

   "Apakah kalian t idak memberi tahu bahwa kalian adalah anak buahku?"

   "Sudah kami beri tahu, Louw-twako. Kami memberi tahu bahwa kami adalah pembantu-pembantu Toat-beng Joan-pian yang bertugas menjaga di rumah itu dan kami minta agar dia mengembalikan barang-barang itu dan jangan mengganggu kami."

   Orang yang bercerita itu berhenti seolah-olah takut melanjutkan.

   "Dan apa katanya?"

   Louw Ti menuntut, penasaran.

   "Saya..... saya tidak berani menceritakan....."

   "Dess....!"

   Tubuh orang itu terlempar dan bergulingan kena tendangan Louw Ti yang menjadi marah bukan main.

   "Apakah kau ingin mampus? Sudah gagal melakukan penjagaan sehingga tuan rumah kemalingan, masih berani merahasiakan keterangan kepadaku?"

   "Ampun, twako. Akan tetapi orang itu..... dia menghina sekali kepada twako."

   "Hemm, berani menghinaku? Apa kata nya?"

   "Dia bilang bahwa tidak takut kepada Toat-beng Joan-pian, bahwa dia tidak takut kepada Louw Ti yang pendek bermuka hitam, bahkan dia minta kami menyampaikan kepada twako bahwa dia adalah Pencabut Nyawa orang she Louw....."

   "Jahanam keparat....!!!"

   Louw Ti meloncat dan tentu dia sudah menerjang empat orang pembantunya itu kalau saja dia tidak ingat bahwa dia sendiri yang memaksa mereka mengaku. Sepasang mata yang lebar itu menjadi kemerahan, mulutnya terengah-engah seperti mengeluarkan uap panas, kedua tangannya dikepal dan berbunyi berkerotokan.

   "Di mana dia?"

   Hanya itu yang dapat ditanyakan karena kemarahan yang hebat membuat dia sukar bicara.

   "Kami tidak tahu, twako. Mendengar penghinaannya, kami lalu maju mengeroyoknya, akan tetapi kami tidak mampu menandinginya dan kami dihajar sampai tidak mampu bangun kembali."

   "Kerbau tolol! Kamu tidak tanya siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?"

   Bentak Louw Ti.

   "Saya sudah tanyakan, akan tetapi dia hanya tertawa dan meloncat pergi, menghilang dalam kegelapan malam."

   Tentu saja peristiwa itu membuat hati Louw Ti menjadi panas dan marah sekali. Hiburan isterinya pun tidak dapat mengobati luka di hatinya dan sejak malam itu, dia sering keluar malam untuk meronda, kalau-kalau dia akan dapat bertemu dengan orang bertopeng hitam itu. Dan untuk menjaga nama baiknya, dia mengganti kerugian hartawan yang kecurian itu dan meyakinkan hati hartawan itu bahwa pencurian seperti itu tidak akan terulang kembali dan dia akan menangkap si pencuri. Memang perbuatannya mengganti kerugian ini membuat namanya menjadi bersih kembali dan kepercayaan para hartawan itu timbul lagi walaupun tadinya mereka meragu dengan adanya pencurian itu. Akan tetapi hanya untuk beberapa hari saja karena segera terjadi lagi pencurian-pencurian yang sama. Pencuri itu datang mencuri uang yang cukup banyak atau perhiasan dari hartawan-hartawan yang rumahnya dijaga oleh anak buah Louw Ti, dan selalu menghajar para penjaga itu sambil menyampaikan ucapan penghinaan kepada Louw Ti.

   Setelah terjadi peristiwa seperti itu sampai lima enam kali, Louw Ti benar-benar merasa dirongrong dan setiap malam dia melakukan penyelidikan untuk menangkap pencuri itu. Tanpa hasil. Hartanya sampai hampir habis untuk mengganti kerugian para hartawan itu, karena yang dicuri oleh pencuri berkedok hitam itu bukan jumlah yang kecil. Kalau begini terus, akhirnya dia akan jatuh miskin dan namanya tentu akan menjadi rusak. Di antara hartawan langganannya bahkan sudah ada tiga orang yang berhenti dan mencari jagoan lain untuk menjaga keamanan keluarga mereka. Hal ini merupakan pukulan hebat bagi Louw Ti.

   "Aku bersumpah untuk menangkap pencuri keparat itu!"

   Omelnya marah-marah ketika pada suatu malam dia pulang dari meronda tanpa hasil.

   "Akan kupatah-patahkan kedua lengannya, kubikin buntung kedua kakinya dan kutusuk buta kedua matanya!"

   Isterinya bergidik mendengar ancaman-ancaman itu.

   "Ah, kenapa marah-marah setiap hari, suamiku? Kalau pencuri itu memang tidak mau bertemu denganmu, biar setiap malam kau meronda pun, takkan ada gunanya. Lebih baik mengurangi jumlah langganan dan melipatgandakan penjagaan agar lebih kuat."

   "Uang kita sudah hampir habis untuk mengganti kerugian. Kalau dikurangi jumlah langganan, mana penghasilan kita bisa cukup? Selama pencuri jahanam itu masih berkeliaran, aku akan tak dapat tidur nyenyak. Agaknya dia memang sengaja memusuhiku. Sudah kuselidiki di kota raja ini, tidak ada tempat lain yang diganggunya kecuali rumah-rumah hartawan yang menjadi langgananku."

   "Aih, kalau begitu jelas dia itu seorang musuhmu."

   Kata isterinya khawatir.

   "Cari saja siapa musuhmu itu, tentu engkau akan dapat menduga siapa adanya pencuri itu."

   Suaminya menggeleng-geleng kepala dan matanya yang lebar itu makin bercahaya penuh ancaman yang amat bengis.

   "Mana aku tahu? Selama menjadi pengawal orang-orang besar dahulu, sudah banyak yang menjadi lawan dan musuhku. Hemm.... sekali waktu aku pasti akan bertemu dengan dia dan joan-pianku inilah yang akan menghabiskan nyawanya!"

   Dia meraba senjata itu yang tak pernah terpisah dari pinggangnya.

   "Hati-hatilah, suamiku. Bagaimana kalau kau kalah? Menurut laporan anak buahmu, pencuri itu lihai bukan main."

   "Betapapun lihainya, aku tidak mungkin kalah!"

   Bentak suami itu dengan hati mendongkol dan isterinya tidak berani banyak cakap lagi.

   Pada keesokan harinya, ketika Louw Ti masih tidur karena semalam dia kurang t idur sehingga setelah matahari naik tinggi belum juga bangun, dia tergugah oleh isterinya.

   "Ah, aku masih ngantuk, kenapa kau membangunkanku?"

   Omelnya dengan sikap ogah untuk meninggalkan bantal gulingnya.

   "Suamiku, ada tamu penting yang ingin sekali bertemu dan bicara denganmu. Katanya dia mempunyai pekerjaan untukmu yang akan mendatangkan penghasilan besar sekali dan hanya dapat dilakukan oleh engkau sendiri."

   "Hemm.... pekerjaan apa? Siapa dia?"

   "Agaknya ia puteri seorang bangsawan atau hartawan besar, ia seorang wanita yang cantik sekali dan pakaiannya serba mewah, seperti puteri istana saja...."

   Mendengar keterangan ini, Louw Ti seketika membelalakkan matanya dan cepat dia membersihkan mukanya, bertukar pakaian lalu keluar menemui tamunya yang disambut oleh isterinya di ruang depan. Ketika berhadapan dengan tamu itu, Louw Ti cepat memberi hormat dan dia merasa kagum bukan main. Benar isterinya. Tamu ini seorang wanita yang luar biasa cantiknya! Seperti seorang puteri istana memang. Ketika dia menoleh keluar, di sana berdiri sebuah kereta dengan empat ekor kuda, sebuah kereta yang amat indah. Tentu dia seorang wanita bangsawan, pikirnya dan diam-diam dia merasa heran karena belum pernah dia melihat wanita ini. Dengan kedua matanya yang lebar dan bersinar tajam, dia memperhatikan tamu itu.

   Ia seorang wanita muda, usianya masih lebih muda dari isterinya, antara dua puluh satu dan dua puluh dua tahun. Wajahnya cantik jelita dan terutama sekali matanya yang lebar dan jernih, mulutnya yang berbibir segar kemerahan itu, sungguh amat menarik hati. Rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan hiasan sanggul terbuat daripada emas permata yang amat indah, berbentuk seekor burung Hong. Pakaiannya juga terbuat dari sutera yang amat mahal, dan tubuhnya penuh dengan perhiasan yang serba indah. Gelang, kalung, cincin, hiasan rambut, hiasan baju di dada, semua begitu indah dan mahal, gemerlapan.

   Ketika Louw Ti memberi hormat, wanita itu pun bangkit berdiri dan mengangguk, lalu tersenyum manis dan bertanya.

   "Apakah aku berhadapan dengan Louw-enghiong (Pendekar Louw)?"

   Suaranya merdu dan halus, sikapnya lembut seperti seorang puteri istana atau puteri bangsawan tinggi. Girang hati Louw Ti mendengar dirinya disebut enghiong!

   "Benar, siocia (nona), saya adalah Louw Ti, seorang di antara Thian-cin Bu-tek Sam-eng!"

   
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia sengaja menyebut julukan itu untuk menonjolkan diri dan mengaku bahwa memang dia seorang enghiong, seorang di antara Sam-eng (Tiga Pendekar).

   "Ah, kalau begitu tepat sekali nasihat pamanku agar aku minta bantuanmu, Louw-enghiong. Pekerjaan ini amat penting, barang yang harus dilindungi berharga ribuan tail emas, dan mengingat bahwa pada waktu sekarang ini sangat tidak aman, maka pekerjaan ini hanya dapat dilakukan dengan hasil baik oleh seorang yang memiliki kepandaian tinggi seperti Louw-enghiong."

   "Barang apakah yang dilindungi dan di mana, siocia? Dan kalau boleh saya mengetahui, siapakah siocia?"

   "Maaf, aku harus merahasiakan diriku, juga pekerjaan ini harus dirahasiakan, dan hanya Louw-enghiong dan isteri saja yang boleh mengetahui. Kalau engkau setuju dengan syarat itu, kami akan memberi upah sebanyak lima puluh tail emas! Kalau tidak setuju, biarlah aku pergi mencari pengawal lain."

   Mendengar upah lima puluh tail emas, jantung dalam dada Louw Ti berdebar. Jumlah itu bukan sedikit! Jauh lebih banyak daripada jumlah yang sudah dikeluarkannya untuk mengganti kerugian kepada hartawan-hartawan langganannya yang kecurian. Hartanya akan pulih kembali bahkan bertambah!

   "Baik, ceritakanlah, nona. Pekerjaan apakah yang harus saya lakukan?"

   "Ayahku seorang pejabat tinggi dalam istana yang kini mengundurkan diri. Kami mempunyai harta pusaka yang harus kami kirim ke dusun di mana ayah telah membeli dan mendirikan sebuah rumah.

   "Nah, tugasmu adalah mengirim dan mengawal harta kami itu ke dusun itu sampai tiba di sana dengan selamat. Akan tetapi tak seorang pun boleh tahu akan harta itu. Karena itu, engkau harus membawanya sendiri, jangan memberi tahu lain orang dan jangan membawa kawan. Harta pusaka itu terdiri dari benda-benda berharga terbuat dari emas permata yang amat mahal harganya, mencapai seribu tail emas lebih, dapat kau bawa dengan berkuda. Setelah tiba di dusun itu, kami menanti di sana untuk menerimanya dan setelah kami terima dengan selamat, kami akan membayar lima puluh tail emas, dalam bentuk emas murni."

   Wajah Louw Ti berseri gembira, akan tetapi dia pun khawatir. Membawa harta sebanyak itu bukan merupakan hal yang ringan, apalagi perjalanannya jauh. Cukup berbahaya pada waktu itu, apalagi kalau sampai ketahuan orang-orang dunia hitam, tentu harta sebanyak itu akan menjadi rebutan dan perjalanannya akan menemui banyak halangan.

   "Dari mana dan ke manakah harta pusaka itu harus dibawa, nona?"

   "Tidak begitu jauh, hanya memakan waktu dua hari saja kalau menggunakan kuda yang baik. Dibawa dari kota raja ini menuju ke dusun dekat Thian-cin."

   Makin giranglah hati Louw Ti. Begitu dekat! "Dusun manakah, nona?"

   "Ayahku telah membeli sebidang tanah di dusun Ang-kebun dekat Thian-cin, dan sudah membangun rumah di sana. Kakekku berasal dari dusun itu, maka ayah ingin beristirahat di hari tuanya disana."

   "Ang-ke-bun? Aku tahu tempat itu. Baiklah, saya bersedia, nona."

   "Ah, tidak begitu mudah. Louw-enghiong. Harta itu berharga ribuan tail, kalau saya serahkan kepadamu, lalu apa tanggungannya? Bagaimana kalau sampai harta pusaka itu hilang dirampas orang? Bagaimana tanggung jawabmu? Hal ini harus kita bicarakan dulu, kita rundingkan pahitnya dulu. Setidaknya, setelah harta itu kau bawa, engkau harus menyerahkan sejumlah uang tanggungan, walau tidak sepenuh harga harta itu, sedikitnya setengahnya."

   "Hayaaa.....! Mana kami ada uang begitu banyak, nona? Kalau ada, tentu dengan senang hati saya akan memberikan uang tanggungan itu. Akan tetapi...."

   Dia menengok kepada isterinya dengan bingung.

   "Bukankah engkau masih mempunyai rumah gedung ini dan semua isinya? Kalau digadaikan dengan bunga tinggi, kukira banyak hartawan di kota raja yang menerimanya. Nah, kau gadaikan rumahmu ini, kau serahkan uang tanggungan itu kepadaku, dan aku akan menyerahkan harta itu padamu. Kau boleh memeriksa isinya agar hatimu tenang. Dan tentang bunga uang penggadaian rumahmu, biarlah aku yang membayarnya, sebagai tambahan upahmu. Bagaimana? Setujukah?"

   Tentu saja Louw Ti setuju. Upah lima puluh tail emas bukanlah sedikit! Dan apa salahnya menyerahkan uang penggadaian rumahnya kepada nona ini? Bukankah dia juga menerima harta pusaka itu yang jauh lebih besar harganya? Hanya dua hari dan dia akan menerima upah lima puluh tail emas, berikut uang tanggungannya dan bunga penggadaian rumahnya. Dari kota raja ke Ang-ke-bun, dusun kecil di luar kota Thian-cin itu. Amat dekat dan amat mudah! Dia yakin benar bahwa perjalanan antara dua tempat itu aman. Belum pernah terjadi gangguan perampokan besar di daerah itu. Kalaupun ada tentu hanya gangguan penjahat-penjahat kecil yang sudah akan berlari terbirit-birit kalau berjumpa dengan dia. Louw Ti tertawa girang.

   "Baiklah, nona. Besok pagi atau nanti saya kira saya sudah akan berhasil menggadaikan rumah kami ini berikut isinya."

   "Baiklah, Louw-enghiong. Besok pagi saya akan datang lagi membawa harta pusaka itu, menyerahkan kepadamu dan menerima uang tanggungan darimu, dan sekalian akan kujelaskan bagaimana engkau harus melaksanakan tugas itu."

   Wanita muda yang cantik jelita itu tersenyum manis lalu berpamit, diantar sampai ke depan pintu oleh Louw Ti dan isterinya. Kefeta berkuda empat itu lalu bergerak dan dengan cepat lalu meninggalkan rumah Louw Ti.

   Tentu saja Louw Ti gembira bukan main. Untuk sementara dia melupakan maling berkedok hitam yang menggangunya. Ada pekerjaan yang lebih penting, yang akan mampu menolongnya dan memulihkan keadaan keuangannya. Dan memang tidak sukar baginya untuk menemukan seorang hartawan yang mau menggadai rumahnya berikut isinya, hanya untuk jangka waktu beberapa hari saja dengan bunga tinggi tentunya.

   Demikianlah, ketika pada keesokan harinya nona bangsawan yang cantik itu datang bersama keretanya, dengan bangga Louw Ti dapat menumpuk uang hasil penggadaian rumah dan isinya itu di atas meja. Hanya kurang dari sepersepuluh harga harta pusaka itu, namun nona cantik itu menerimanya dengan girang dan puas.

   "Bukan uang dan jumlahnya yang penting."

   Katanya.

   "Melainkan tanggungan itulah. Karena ada tanggungan rumah dan semua isinya, tentu Louw-enghiong akan bekerja lebih hati-hati lagi. Dan inilah pusaka itu, harap enghiong periksa sebentar dan cocokkan dengan catatannya."

   Bungkusan kain kuning yang tebal itu dibuka dan Louw Ti bersama isterinya terbelalak kagum. Benar-benar isinya merupakan benda-benda yang amat berharga, tak ternilai harganya. Berkilauan permata yang besar-besar, seperti mata yang banyak dan yang hidup berkedip-kedip kepada mereka. Dengan jari-jari tangan agak gemetar karena selama hidupnya belum pernah melihat, apalagi memegang harta pusaka sebanyak itu, Louw Ti lalu mencocokkan jumlah benda-benda itu dengan catatannya. Kemudian, setelah merasa cocok, dia menandatangani catatan itu dan menyerahkannya kepada nona bangsawan itu bersama uang hasil penggadaian rumahnya.

   "Nah, hari ini juga engkau boleh membawa harta ini dengan berkuda menuju ke dusun Ang-ke-bun, Louw-enghiong. Sebaiknya dibungkus dengan buntalan kain yang tua agar tidak menyolok, seperti buntalan pakaian saja. Engkau terpaksa harus bermalam di tengah perjalanan dan besok siang akan dapat sampai ke Ang-ke-bun. Rumah yang dibangun ayahku berada di dekat jembatan di sebelah dalam pintu gerbang dusun yang di selatan. Dia sana ada rumah baru yang paling besar di dusun itu, bercat kuning dan jendela depannya berbentuk bulan purnama. Aku akan menantimu di sana. Sudah jelaskah, Louw-enghiong?"

   Louw Ti mengangguk-angguk dan tersenyum gembira.

   "Sudah cukup, lebih dari jelas. Saya akan berangkat sekarang juga mungkin malam ini terpaksa harus bermalam di tengah perjalanan....."

   "Berhati - hatilah, Louw - enghiong....."

   Nona bangsawan itu memperingatkan dengan wajah agak khawatir.

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir, nona. Di luar hutan pohon pek di sebelah selatan bukit, di lereng itu terdapat sebuah kuil tua. Di sanalah biasanya kami yang melakukan perjalanan beristirahat atau bermalam. Tempat itu aman sekali, belum pernah ada gangguan. Saya jamin bahwa pada besok hari, harta pusaka ini akan saya serahkan kepada nona di Ang-ke-bun dalam keadaan utuh dan selamat!"

   "Baiklah, kini tenteram hatiku."

   Nona bangsawan itu lalu berpamit dan membawa uang tanggungan itu keluar, lalu keretanya pun pergi dengan cepat meninggalkan pekarangan rumah gedung Louw Ti.

   Derap kaki kuda itu memecah kesunyian dalam hutan. Seekor kuda yang besar dan kuat berlari cepat di senja hari itu. Penunggangnya adalah Louw Ti yang berpakaian ringkas dan menggendong buntalan di punggungnya. Buntalan kain hitam kasar dan kuat, tidak menarik perhatian. Wajahnya yang angker itu, dan kemilau cambuknya yang melingkari pinggangnya, lebih menarik dan mendatangkan keseraman.

   Biarpun tubuhnya pendek, orang ini memang mempunyai pembawaan diri yang berwibawa dan menyeramkan. Wajahnya yang hitam buruk dan terutama sekali sepasang matanya yang lebar dan mencorong itulah yang mendatangkan perasaan segan dan takut orang lain, karena wajahnya itu membayangkan kebengisan dan keberanian.

   Louw Ti membalapkan kudanya karena dia ingin tiba di kuil tua itu sebelum hari gelap. Tadi dia berangkat agak siang karena harus menemui dulu para pembantunya dan memesan agar mereka bekerja dengan hati-hati, agar selama dia pergi jangan sampai terjadi pencurian-pencurian lagi di rumah-rumah hartawan yang mereka jaga.

   Perdagangan agak sunyi semenjak kota raja terancam bahaya oleh para pemberontak yang makin mendekat. Para saudagar enggan untuk melakukan perjalanan jauh meninggalkan keluarganya. Karena itu, perjalanan kali ini dari kota raja menuju ke selatan amat sunyi. Hanya beberapa kali saja Louw Ti bertemu dengan pejalan kaki atau penunggang kuda yang lewat jalan kecil itu. Akan tetapi dia tidak berkecil hati. Sudah biasa jagoan itu melakukan perjalanan seorang diri. Dia terlalu percaya akan kemampuan sendiri. Siapakah orangnya berani mengganggu di daerah yang sudah amat dikenalnya ini? Setiap orang penjahat, dari yang kecil sampai yang besar, semua telah mengenalnya dan takkan ada seorang pun di antara mereka yang berani mencoba-coba mengganggunya. Apalagi, tak seorang pun yang tahu bahwa buntalan kain hitam di punggungnya itu terisi harta pusaka yang harganya mencapai seribu tail emas!

   Cuaca sudah mulai remang-remang akan tetapi belum gelap benar ketika akhirnya dia tiba di depan kuil tua. Melihat kesunyian di sekitar situ, juga di depan kuil t idak nampak ada kereta atau kuda, Louw Ti merasa lega. Lebih enak kalau kuil itu kosong daripada kalau ada orang lain yang juga bermalam di situ, pikirnya. Dia meloncat turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda memasuki kuil tua itu dan menambatkan kudanya di ruang depan yang sudah agak rusak. Berbahaya juga meninggalkan kuda itu di luar, karena pada malam harinya mungkin saja ada orang yang akan mencuri kudanya itu.

   Baru saja dia selesai mengikat kendali kuda pada tiang ruangan depan dan hendak menuju ke ruangan belakang yang masih agak bersih dan tidak bocor, tiba-tiba dia mendengar suara dan cepat-cepat dia menengok. Matanya yang lebar itu semakin melebar ketika dia melihat bahwa di sebelah kanannya, hanya dalam jarak tiga empat meter, berdiri seorang yang berpakaian serba hitam dan yang mengenakan topeng hitam pula di depan mukanya. Dua lubang pada topeng itu memperlihatkan dua buah mata yang amat tajam, mencorong dari dalam topeng atau kedok itu! Jantung dalam dada Louw Ti berdebar walaupun dia tidak merasa takut. Dia terkejut dan merasa tegang karena dia mengenal orang berkedok itu. Bertubuh ramping sedang, berpakaian serba hitam dan berkedok hitam, tidak memegang senjata apa pun.

   Inilah yang digambarkan oleh orang-orangnya, pencuri yang selalu mengganggu rumah-rumah hartawan yang dilindunginya, pencuri yang telah banyak merugikannya bahkan yang berani mengeluarkan kata-kata menghinanya! Dan orang yang selama ini dicari-carinya tanpa hasil itu tahu-tahu sekarang muncul di kuil ini, selagi dia seorang diri dan membawa barang-barang berharga! Kecut-kecut juga hatinya teringat akan buntalan di punggungnya terisi barang-barang yang amat berharga dan menjadi tanggung jawabnya untuk melindungi dan mengantar sampai ke tempat tujuan.

   "Siapa kau dan mau apa!"

   Bentak Louw Ti untuk mendahului dengan gertakan, selain untuk membesarkan hati sendiri juga untuk menggertak orang itu.

   Terdengar dengus suara mengejek dari balik topeng.

   "Louw Ti, jangan pura-pura tidak mengenal aku, cepat serahkan buntalan di punggungmu itu kepadaku!"

   Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan membakar hati Louw Ti. Dugaannya tidak keliru. Inilah pencuri kurang ajar itu! Dan sekarang pencuri itu agaknya memang sengaja menghadangnya di tempat ini untuk merampas buntalan di punggungnya. Perasaan benci, marah, dendam, akan tetapi juga gelisah bercampur-aduk dalam hatinya. Otomatis tangan kirinya meraba buntalan di pinggangnya, dan tangan kanannya mencabut keluar cambuk dari pinggangnya.

   "Jahanam busuk, memang aku sedang mencarimu untuk menghancurkan kepalamu!"

   Bentaknya dan tanpa banyak cakap lagi, cambuknya menyambar dengan suara meledak-ledak ke arah kepala orang itu. Akan tetapi, dengan gerakan yang amat gesit, orang itu sudah mengelak dengan loncatan ke belakang. Cambuk di tangan Louw Ti menyambar terus karena dia memang bernafsu sekali untuk segera merobohkan orang itu, melucuti kedoknya dan menyiksanya sampai mati.

   Akan tetapi, biarpun didesak oleh menyan barnya cambuk yang dahsyat itu, orang berkedok itu dapat mengelak pula ke samping kanan dan kakinya tiba-tiba menyambar ke arah perut Louw Ti. Cepat sekali gerakan ini dan serangan balasan yang tidak terduga-duga ini hampir saja mengenai perut Louw Ti. Namun, dia seorang ahli silat yang sudah biasa melakukan perkelahian, maka dia pun dapat cepat melemparkan diri ke belakang dan cambuknya meledak-ledak dari atas menyambar ke depan sehingga lawannya terpaksa mengelak pula.

   Tentu saja orang berkedok itu bukan lain Kim Cui Hong! Dan seperti pembaca tentu sudah dapat menduga, gadis bangsawan cantik jelita yang menyerahkan harta pusaka kepada Louw Ti untuk diantarkan ke Ang-ke-bun itu adalah Cui Hong pula! Dengan hasil rampasannya, yaitu benda-benda berharga dari tangan Kepala jaksa Pui, gadis ini telah menjadi seorang yang kaya raya. Ia menjual beberapa potong benda itu kepada pedagang besar di kota raja, menerima banyak uang dan diaturnyalah rencananya untuk mulai dengan pembalasan dendamnya. Karena menurut hasil penyelidikannya, musuh yang pertama kali diperoleh keterangan adalah Louw Ti, maka dara ini pun segera mengatur siasat untuk turun tangan terhadap Louw Ti terlebih dahulu.

   Dengan sebagian uangnya, ia membeli tanah bekas keluarga ayahnya, tanpa memperkenalkan diri kepada penduduk dusun itu, dan membangun sebuah gedung yang megah. Kepada para tetangga yang sama sekali tidak mengenal gadis bangsawan berkereta itu, ia hanya mengatakan bahwa ayahnya seorang pembesar tinggi dari kota raja yang sudah pensiun dan ingin beristirahat di dusun itu. Mula-mula ia mengganggu anak buah Louw Ti, selain untuk merusak nama baik Louw Ti sebagai pelindung bayaran juga untuk membikin rugi Louw Ti yang harus mengganti kerugian-kerugian para hartawan yang kecurian itu.

   Kemudian, ia pun muncul sebagai gadis bangsawan yang menyerahkan harta pusakanya kepada Louw Ti untuk dilindungi dan dengan cerdiknya ia minta uang tanggungan sehingga terpaksa Louw Ti menggadaikan rumahnya dan semua isinya! Dan kini, ia telah menjadi si topeng hitam lagi yang melakukan penghadangan di kuil tua untuk merampas buntalan di punggung musuh besarnya itu.

   Louw Ti merasa terkejut juga menyaksikan orang bertopeng ini benar-benar memiliki gerakan yang amat lincah dan juga aneh. Sampai belasan kali cambuknya yang biasanya ampuh sekali itu menyambar-nyambar ganas, namun selalu lawan itu dapat menghindarkan diri dengan cepat. Padahal, dalam belasan jurus itu dia sengaja mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh untuk cepat merobohkan lawan yang amat dibencinya itu! Dia bukan seorang bodoh dan setelah melihat bukti kelihaian orang itu, Louw Ti maklum bahwa lawannya amat berbahaya.

   Mulailah dia merasa khawatir akan keselamatan harta pusaka yang berada di punggungnya. Diam-diam dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan diri. Akan tetapi, kudanya sudah diikat kendalinya kuat-kuat pada tiang di luar, dan untuk melepaskan kendali membutuhkan waktu. Orang ini tentu takkan membiarkan dia lari, maka dia pun kini mengubah gerakan cambuknya. Cambuk itu tidak lagi meledak-ledak menghujankan serangan, melainkan sebagian dipergunakan untuk melindungi tubuhnya dari serangan lawan.

   Setelah mengubah gerakan cambuknya, kini gulungan sinar cambuk itu merupakan benteng yang amat kuat, yang melindungi tubuh Louw Ti sehingga lawannya sukar melakukan serangan, apalagi hanya dengan tangan kosong. Ilmu cambuk dari Louw Ti memang dahsyat dan kuat sekali, walaupun kini kehilangan daya serangannya namun masih memiliki daya tahan yang luar biasa kuatnya.

   Cui Hong juga maklum bahwa hanya dengan tangan kosong saja sukarlah baginya untuk menundukkan lawan ini. Pantas mendiang ayah dan suhengnya dahulu tidak mampu menang, karena memang ilmu silat orang ini amat tinggi.

   Kalau ia menghendaki kematian orang ini, walau tanpa senjata pun ia akan sanggup melakukannya karena di antara berkelebatnya sinar cambuk bergulung-gulung, ia masih dapat melihat lowongan-lowongan yang dapat diterobosnya. Akan tetapi, tidak, dia tidak akan melanggar sumpah nya, tidak akan membunuh orang ini. Juga, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja, tidak sepadan dengan perbuatannya yang terkutuk tujuh tahun yang lalu terhadap dirinya. Orang ini, seperti tiga orang musuhnya yang lain, harus disiksa lahir batinnya, agar mati perlahan-lahan, bukan mati langsung oleh tangannya. Cui Hong meloncat jauh ke kiri dan ia sudah menyambar sebatang tongkat yang tadi ia sandarkan di dinding ruangan itu.

   "Wirrrr....!"

   Tongkat itu diputarnya secara aneh, menyerbu gulungan sinar cambuk dan terkejutlah Louw Ti ketika tiba-tiba saja cambuknya macet dan menempel pada tongkat lawan!

   "Haiiiitttt....!"

   Dia mengerahkan tenaganya membetot cambuknya agar terlepas dari tempelan tongkat, akan tetapi tiba-tiba kaki Cui Hong sudah bergerak menyambar ke depan mencium lututnya.

   "Dukk....!"

   Tak dapat ditahan lagi Louw Ti jatuh berlutut karena sebelah kakinya tiba-tiba menjadi lumpuh dan tiba-tiba saja cambuknya terlepas, akan tetapi ujung tongkat itu sudah berkelebat an menyambar ke arah kedua pundak dan kedua pinggangnya, menotok secara cepat bukan main sehingga tahu-tahu Louw Ti merasa betapa kedua kaki tangannya tak dapat digerakkan lagi.

   "Hemm, kiranya hanya begini saja kemampuan Louw Ti yang berjuluk Toat-beng Joan-pian, yang terkenal sebagai seorang di antara Thian-cin Bu-tek Sam-eng!"

   Orang berkedok itu mengejek dan sekali tangan kirinya merenggut, buntalan di punggung Louw Ti sudah berpindah ke tangannya! Wajah Louw Ti menjadi pucat sekali, akan tetapi karena kaki tangannya tidak dapat digerakkan lagi, dia hanya memandang dengan mata terbelalak.

   "Ja..... jangan rampas itu..... aku mohon padamu, itu..... bukan..... bukan milikku....."

   Akhirnya dia dapat mengeluarkan kata-kata yang penuh permohonan dan kegelisahan.

   Orang berkedok itu berdiri di depan Louw Ti yang sudah rebah terlentang tak berdaya itu. Biarpun tidak nampak karena tertutup kedok, namun mudah diduga bahwa mulut di balik kedok itu tentu ter senyum, entah tersenyum mengejek ataukah tersenyum puas.

   "Louw Ti, orang macam engkau ini masih dapat memohon, masih dapat minta dikasihani? Aih, betapa aneh dan lucunya! Louw Ti, pernahkah engkau memenuhi permohonan orang lain, pernahkah engkau mengasihani orang lain?"

   Setelah berkata demikian, Kim Cui Hong, orang berkedok itu, meloncat ke luar kuil dan terdengarlah derap kaki kuda.

   Louw Ti menjadi bingung. Buntalan terisi barang-barang berharga itu dirampas orang, dan kudanya juga dibawa pergi, dan dia sendiri tidak mampu menggerakkan kaki tangan karena totokan yang luar biasa sekali. Dia mencoba untuk menduga-duga siapa orang berkedok yang selama ini mengganggunya, akan tetapi tidak menemukan orang yang cocok. Saking bingung, gelisah dan marahnya, Louw Ti tak dapat menahan mengalirnya air matanya! Baru sekarang selama ia menjadi jagoan dia tahu dan me rasakan sendiri apa artinya duka. Dia sudah menggadaikan rumahnya, dan kalau barang-barang harta pusaka itu tidak dapat dirampasnya kembali, dia kehilangan segala-galanya. Rumah dan semua isinya, dan dia bahkan tentu akan dituntut oleh puteri bangsawan itu! Kehilangan semua hartanya masih masuk penjara lagi!

   Setelah lewat tengah malam, barulah dia mampu menggerakkan kaki tangannya karena pengaruh totokan jalan darah mulai menipis. Begitu dia dapat bergerak, Louw Ti cepat bangkit dan dia lalu melakukan perjalanan secepatnya menuju ke dusun Ang-ke-bun. Dia harus berjalan kaki atau lari karena kudanya juga dibawa pergi perampok berkedok itu. Sambil menyumpah-nyumpah Louw Ti berlari cepat. Setengah malam lamanya otaknya diputar mencari siasat. Dia tidak memikirkan lagi si kedok hitam karena dia kini terhimpit oleh pertanggungan-jawabnya. Dia harus menghadapi nona bangsawan itu dan urusan inilah yang terpenting dan harus dapat diselesaikan dan diatasinya terlebih dahulu. Dan dia sudah merencanakan siasatnya untuk dapat keluar dari ancaman bahaya itu dengan baik.

   Teringatlah dia akan kedatangan nona bangsawan cantik itu, ketika nona itu menerima uang tanggungan, dan menyerahkan harta pusaka, dan memesan agar dia merahasiakan kesemuanya itu. Yang tahu akan urusan harta pusaka itu hanyalah nona bangsawan itu sendiri dan dia disaksikan pula oleh isterinya. Tidak ada orang lain yang mengetahuinya! Tidak ada jalan lain kecuali yang sudah direncanakannya ketika dia masih rebah tak mampu bergerak dan kini dia bergegas lari menuju ke Ang-ke-bun untuk melaksanakan rencana siasatnya menyelamatkan diri, bahkan memperoleh keuntungan dari masalah yang menghimpitnya itu.

   

Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini