Ceritasilat Novel Online

Sakit Hati Seorang Wanita 8


Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Di depan pintu berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bermuka hitam penuh brewok yang memegang sepasang pedang. Laki-laki itu bukan lain adalah Su Lok Bu, jagoan yang menjadi pelindung keluarga Pui, dan di belakangnya nampak setengah losin perajurit pengawal yang bersenjata lengkap.

   "Su-toako, ada urusan apakah engkau menyusulku?"

   Cai Sun bertanya.

   Sejenak Su Lok Bu memandang kepada Cui Hong penuh perhatian, lalu bertanya.

   "Koo-siauwte, siapakah wanita Ini?"

   Cai Sun tertawa.

   "Ia adalah..... sahabatku yang baru, Toako, namanya Ok Cui

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   Hwa, seorang.. eh, janda kembang....."

   Su Lok Bu mengerutkan alisnya memandang kepada rekannya itu.

   "Koo-siauwte, engkau terlalu sembrono, pergi seorang diri sampai di bagian yang sepi ini. Seorang pengawal melihatmu dan memberi laporan kepada Pui Kongcu yang mengutus aku untuk segera menyusulmu. Engkau membikin pekerjaan kami menjadi repot saja, Koo-siauwte."

   "Maaf, maaf! Dalam bersenang-senang aku sampai lupa diri, Toako. Akan tetapi, di rumah Hwa-moi ini aku aman, harap jangan khawatir dan laporkan saja kepada Pui-kongcu bahwa aku sedang bersenang-senang di dalam rumah sahabat baruku."

   "Tidak, Koo-te, engkau harus kembali, demikianlah perintah Pui-kongcu."

   Bantah Su Lok Bu dengan suara tegas. Cai Sun ragu-ragu untuk membantah lagi. Dia tahu bahwa di dalam keluarga Pui, dia masih kalah berkuasa dibandingkan orang tinggi besar ini, dan pula, dia tahu bahwa kepandaiannya pun masih belum mampu menandingi kepandaian Su Lok Bu.

   "Akan tetapi..... mengapa aku tidak boleh bersenang-senang?"

   "Tidak ada yang melarangmu bersenang-senang, akan tetapi tidak boleh meninggalkan gedung keluarga Pui terlalu jauh. Kenapa tidak kaubawa saja sahabatmu ini ke sana?"

   Wajah Cai Sun nampak berseri.

   "Ya, kenapa tidak demikian? Hwa-moi, mari ikut dengan aku ke gedung keluarga Pui, engkau akan senang di sana!"

   Tentu saja Cui Hong tidak sudi dibawa ke rumah keluarga Pui, karena se lain hal itu amat berbahaya baginya, ia pun tidak sudi dipermainkan untuk kedua kalinya! "Tidak, aku..... aku tinggal saja di sini....."

   "Eh, kenapa, Hwa-moi? Bukankah kita telah bersahabat baik? Aku ingin menyenangkan hatimu, percayalah, di sana engkau akan gembira sekali. Rumahnya indah dan mewah, tidak seperti di sini dan....."

   "Terima kasih, akan tetapi, aku malu..... apa akan kata orang"

   Melihat penolakan itu, Cai Sun menjadi kecewa dan marah. Kesenangan yang sudah dibayangkan sejak tadi, akan gagal. Seolah-olah makanan lezat yang sudah berada di depan bibir, kini akan terlepas. Tentu saja dia tidak rela melepaskannya.

   "Hwa-moi, engkau tidak boleh menolak lagi. Engkau harus ikut denganku. Harus kubilang tadi, mengerti?"

   Berkata demikian, Cai Sun hendak menangkap lengan tangan Cui Hong, akan tetapi wanita itu sudah melangkah mundur sehingga tangkapannya tadi luput.

   "Hemm, lagi-lagi ada laki-laki hendak memaksakan kehendaknya kepada seorang wanita baik-baik! Apakah di kota raja ini seperti di dalam hutan rimba?"

   Ucapan itu mengejutkan semua orang dan mere ka menoleh ke luar. Kiranya dari luar muncul seorang pemuda yang memandang kepada Cai Sun dengan alis berkerut dan pandang mata marah. Melihat pemuda itu, Cui Hong terkejut sekali.

   "Tan-toako, harap jangan mencampuri ....."

   Ia khawatir sekali karena ia tahu betapa lihainya Cai Sun, apalagi di situ terdapat pasukan pengawal yang dipimpin oleh Su Lok Bu yang ia sudah dengar memiliki kepandaian tinggi itu. Sekali ini Tan Siong tentu akan celaka.

   "Biar lah, Hwa-moi. Siapa pun akan kuhadapi kalau ia berani mengganggu dan menghinamu!"

   Kata Tan Siong dengan sikap tenang dan tabah sekali.

   Sementara itu, ketika melihat bahwa pemuda yang muncul ini adalah pemuda petani yang pernah ribut di dalam rumah makan menghadapi empat orang pria yang mengganggu wanita itu, bangkit lah kemarahannya dan sekali loncat, Cai Sun sudah berada di depan pemuda itu.

   "Petani dusun busuk! Mau apa kau? Apakah sudah bosan hidup? Hayo menggelinding pergi!"

   Berkata demikian, tangan kanannya menampar. Tamparan yang kuat sekali karena dia sengaja mengerahkan tenaga dan kalau pemuda tani itu terkena tamparan tadi yang mengarah kepalanya, tentu dia akan roboh dan mungkin akan terluka berat atau bahkan tewas. Cui Hong terkejut bukan main dan ia sudah siap untuk melindungi Tan Siong ketika tiba-tiba ia melihat hal yang luarbiasa, hal yang terjadi di luar dugaan sama sekali. Dengan gerakan yang amat lincah dan ringan, dan dengan amat mudahnya, Tan Siong telah menggeser kakinya dan mengelak!

   "Sudah mengganggu wanita baik-baik masih memukul orang tanpa dosa lagi. Wah, sungguh jahat sekali kau ini!"

   Kata Tan Siong, menudingkan telunjuknya ke arah hidung Cai Sun yang bentuknya merupaan ciri khas hidung laki-laki mata keranjang.

   Melihat betapa tamparannya dapat dielakkan oleh pemuda tani itu, Cai Sun menjadi marah bukan main.

   "Jahanam busuk, engkau sudah bosan hidup!"

   Dan dia pun menerjang maju, sekali ini bukan sekedar tamparan saja, melainkan serangan dengan jurus ilmu silatnya yang ampuh. Dengan gerakan yang cepat walaupun tubuhnya bundar dengan perut gendut, dia mengirim pukulan dengan tangan kanan ke arah ulu hati lawan, sedangkan pukulan ini disusul dengan tendangan kaki kirinya mengarah selangkangan. Hebat serangan ini karena merupakan serangan dari Ilmu Silat Thian-te Sin-kun yang menjadi kebanggaannya. Sesuai dengan namanya, Ilmu Silat Thian-te Sin-kun (Silat Sakti Bumi Langit) mendasarkan gerakan kombinasi atas dan bawah dan dia menyerang dengan jurus Kilat Mengguncang Bumi Langit.

   Senyum kagum membayang di bibir Cui Hong ketika dia melihat sikap Tan Siong menghadapi serangan itu. Kalau tadi ia masih khawatir dan juga terheran-heran, kini hatinya mulai merasa tenang dan bahkan kagum. Melihat sikap pemuda itu yang amat tenang, ia percaya bahwa pemuda yang disangkanya petani dusun sederhana itu ternyata adalah seorang pendekar yang memiliki kepandaian silat tinggi! Kalau tidak tinggi tingkat kepandaiannya, tidak mungkin sikapnya demikian santai dan tenang menghadapi serangan Cai Sun yang dahsyat.

   "Wuuuutttt....!"

   Tan Siong mengelak ke kiri membiarkan pukulan tangan lawan ke arah ulu hatinya lewat, dan ketika tendangan susulan menyambar, dia memutar lengan kanannya ke bawah untuk menangkis.

   "Dukk....!"

   Kaki yang menendang itu tertangkis dan terpental, bahkan Cai Sun menyeringai karena merasa betapa tulang keringnya nyeri, tanda bahwa pemuda petani itu memiliki tenaga yang amat kuat! Tahulah dia bahwa pemuda yang kelihatannya bodoh itu sebenarnya adalah seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka dengan marah sekali Cai Sun mencabut sepasang senjata tombak pendeknya. Nampak sinar berkilauan ketika sepasang senjata itu digerakkan, dan dua gulungan sinar segera menyerang ke arah Tan Siong.

   Pemuda itu cepat meloncat ke belakang dan ketika Cai Sun menerjang lagi, dia sudah mencabut sebatang pedang yang tadi dipergunakan sebagai ikat pinggang. Sebatang pedang yang lemas dan lentur sekali, tipis akan tetapi juga tajam berkilauan ketika tercabut dari sarungnya yang melingkari pinggang. Terdengar suara berdenting berkali-kali dan Cai Sun segera menjadi silau karena gulungan sinar pedang itu membuat sepasang tombaknya seperti mati langkah.

   "Hwa-moi, larilah cepat.....pergilah...!"

   Tan Siong yang tahu bahwa lawannya amat tangguh, berteriak kepada Cui Hong yang masih berdiri dengan bengong.

   Mendengar ini, Cui Hong lalu berlari masuk ke dalam rumahnya, untuk melarikan diri dari pintu belakang. Tentu saja ia tidak merasa takut, akan tetapi sebagai Ok Cin Hwa, tentu saja ia harus berpura-pura takut dan melarikan diri selagi Cai Sun terlibat dalam perkelahian melawan Tan Siong. Lega rasa hati Tan Siong melihat gadis itu sudah melarikan diri. Dia melawan dengan penuh semangat dan tak lama kemudian, Koo Cai Sun mulai terdesak. Jagoan ini juga melihat betapa wanita yang diinginkannya itu lari maka dia cepat berteriak.

   "Apakah kalian diam saja terus? Hayo bantu aku menghadapi bocah ini! "

   Enam orang perajurit pengawal itu segera bergerak mengepung Tan Siong membantu Cai Sun, akan tetapi Su Lok Bu masih berdiri saja menonton. Jagoan ini merasa sungkan untuk melawan pengeroyokan, dan juga dia kagum terhadappemuda itu. Nampaknya seorang pemuda sederhana, pemuda petani dusun yang bodoh, akan tetapi ternyata pemuda berpakaian kuning itu adalah seorang ahli silat yang amat pandai, dan lebih dari itu, dia mengenal gerakan ilmu pedang itu sebagai ilmu pedang dari Kun-lun-pai yang besar dan amat terkenal! Pemuda ini seorang murid Kun-lun-pai yang pandai dan hal inilah yang membuat hati Su Lok Bu merasa tidak enak. Dia sendiri adalah murid Siauw-lim-pai dan di antara kedua perkumpulan itu, biarpun Siauw-lim-pai dipimpin oleh para hwesio beragama Buddha sedangkan Kun-lun-pai dipimpin oleh para tosu beragama To, namun terdapat persahabatan yang baik.

   Biarpun kini dikeroyok oleh Cai Sun dan enam orang pengawal, ternyata Tan Siong mampu menandingi mereka, bahkan ketika dia mempercepat gerakan pedangnya, dua orang pengawal terpaksa melom pat mundur karena yang seorang terluka pundaknya, seorang lagi terluka pahanya yang robek berdarah. Empat orang penga wal lainnya menjadi gentar juga menghadapi kegagahan pemuda itu, dan kini Tan Siong mempercepat serangannya untuk merobohkan Cai Sun.

   Si mata keranjang yang gendut perutnya ini menjadi sibuk sekali. Dia pun mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya untuk melawan, namun tetap saja dia terdesak hebat. Kembali dua orang pengawal roboh oleh tendangan kaki Tan Siong sehingga kini t inggal dua orang, tiga bersama Cai Sun yang mengepungnya. Melihat ini, hati Su Lok Bu merasa tidak enak. Bagaimanapun juga, Cai Sun adalah rekannya yang sama-sama melindungi Pui Ki Cong, dan kini bahkan empat orang pengawal telah kalah dan tidak dapat maju lagi. Dia mencabut sepasang pedangnya dan meloncat ke dalam kalangan perkelahian sambil membentak,

   "Tahan dulu!"

   Melihat berkelebatnya dua sinar pedang yang panjang dan kuat, Tan Siong meloncat mundur dan perkelahian itu terhenti.

   "Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau berani melawan kami yang bertugas sebagai pengawal-pengawal bangsawan di kota raja?"

   Tan Siong memandang kepada orang tinggi besar bermuka hitam yang nampak gagah dan kuat ini.

   "Namaku Tan Siong dan semua orang tahu bahwa bukan aku yang mencari perkara. Aku hanya kebetulan lewat dan melihat perlakuan sewenang-wenang terhadap seorang wanita baik-baik, maka aku pun menegur."

   --------------------------------------------------------------------------------------------

   "Hemm, engkau telah lancang tangan melukai pengawal-pengawal,

   bagaimana fyp p ta' '' (fasBjjaiaw suara dosa """". ?????????????

   --------------------------------------------------------------------------------------------

   yang harus dihukum. Menyerahlah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada majikan kami."

   Su Lok Bu masih berusaha agar tidak usah berkelahi melawan pemuda itu dan kalau pemuda itu menyerah, dia akan menjaga agar Cai Sun tidak bertindak sewenang-wenang, dan agar pemuda itu diadili secara baik-baik.

   "Aku harus menyerah?"

   Tan Siong membentak penasaran.

   "Kawanmu inilah yang harus dihukum, bukan aku!"

   "Berani engkau melawan? Nah, sambutlah pedangku ini!"

   Su Lok Bu menyerang dengan sepasang pedangnya. Diam-diam terkejutlah hati Tan Siong menyaksikan gerakan pedang itu, yang demikian cepat dan juga kuat. Serangan yang amat dahsyat dilakukan Su Lok Bu, dengan sepasang pedang melakukan gerakan meng dari kanan kiri.

   "Trang-tranggg.....!"

   Nampak bunga api berpijar dan Tan Siong berhasil menghalau dua pedang yang mengguntingnya dengan tangkisan beruntun ke kanan kiri. Su Lok Bu mengeluarkan seruan memuji, lalu menyerang lagi dengan lebih dahsyat.

   Melihat gerakan pedang Su Lok Bu, Tan Siong merasa semakin kaget. Dia pun mengenal gerakan ilmu pedang Siauw-lim-pai, maka sambil meloncat jauh ke belakang dia berseru.

   "Tahan senjata!"

   Tan Siong mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat kepada Su Lok Bu sambil berkata.

   "Kiranya bertemu dengan seorang gagah dari Siauw-lim-pai. Terimalah hormat seorang murid Kun-lun-pai, sahabat, dan maafkan kalau aku kesalahan tangan."

   Su Lok Bu mengerutkan alisnya. Kalau pertikaian ini merupakan urusan pribadinya, tentu dia pun akan merendah dan mengalah terhadap murid Kun-lun-pai seperti sikap pemuda itu. Akan tetapi, pada saat ini dia adalah seorang petugas yang harus membela rekan-rekannya. Dia harus membantu Cai Sun, dan dia pun harus membantu para pengawal yang sudah menderita kerugian dengan kalahnya empat orang itu.

   Dalam urusan ini, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tidak ada sangkut-pautnya, dan ia pun melihat yang ada hanyalah seorang pemuda yang telah melukai para perajurit pengawal dan aku sebagai seorang kepala pengawal.

   "Menyerahlah untuk kutangkap dan aku pun tidak akan mempergunakan senjata terhadap dirimu."

   Tan Siong mengangguk.

   "Baiklah, ini urusan pribadi dan tidak ada sangkut-pautnya dengan Siauw-lim-pai maupun Kun-lun-pai. Akan tetapi aku tidak merasa bersalah, maka terpaksa aku menolak untuk menyerah dan ditangkap."

   "Su-toako, pemuda ini sombong sekali. Kalau tidak diberi hajaran tentu akan memandang rendah kepada kita!"

   Teriak Cai Sun marah karena dia merasa khawatir kalau-kalau rekannya itu akan berdamai dan tidak melanjutkan perkelahian melawan pemuda itu. Dia sendiri sudah menggerakkan pedang di tangannya melakukan serangan dahsyat yang disambut oleh Tan Siong dengan tenang. Melihat ini, terpaksa Su Lok Bu maju lagi melakukan serangan dengan sepasang pedangnya. Juga dua orang pengawal membantu dengan pedang mereka.

   Tiba-tiba muncul seorang laki-laki pendek berkulit putih dan berperut gendut, dengan rambut dan jenggot putih semua.

   "Penjahat muda yang nekat, lihat golok besarku!"

   Bentak orang itu dan begitu tiba di situ, dia membentak dan menggerakkan sebatang golok besar dan berat dengan gerakan yang amat dahsyat. Suara golok itu semakin berdesing-desing dan menyambar-nyambar ganas menyerang Tan Siong.

   Tentu saja Tan Siong terkejut bukan main karena golok itu tidak kalah bahayanya dengan sepasang pedang di tangan Su Lok Bu! Orang yang baru datang ini adalah Cia Kok Han yang menyusul rekannya dan begitu melihat rekan-rekannya mengeroyok seorang pemuda yang amat lihai dan melihat ada empat orang pengawal yang terluka, dia pun segera maju mengeroyok.

   Kini Tan Siong kewalahan sekali, apa lagi karena dia tahu bahwa yang baru datang ini tentulah seorang Bu-tong-pai hatinya merasa semakin ragu dan khawatir. Karena itu, gerakan pedangnya agak terlambat dan tiba-tiba saja sebuah bacokan pedang kiri Su Lok Bu mencium pangkal lengan kirinya sehingga bajunya yang kuning terobek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Untung luka itu tidak terlalu dalam benar, tidak sampai mengenai tulangnya. Namun rasa nyeri, perih dan panas membuat dia terhuyung dan cepat memutar pedang dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari hujan serangan yang dilancarkan para pengeroyoknya, terutama sekali Cai Sun, Cia Kok Han, dan Su Lok Bu.

   Diam-diam dia mengeluh karena rasanya akan sukar untuk dapat meloloskan diri dari kepungan tiga orang yang lihai ini. Akan tetapi tiba-tiba tiga orang lawannya memperlambat gerakan mereka, bahkan mereka seperti tertahan oleh sesuatu dan tidak mendesaknya lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tan Siong untuk melompat jauh ke luar pintu depan pekarangan rumah itu dan dia pun terus berlompatan dan melarikan diri.

   Tiga orang jagoan itu tidak melakukan pengejaran, bahkan mereka bertiga lalu memandang ke kanan kiri seperti orang yang merasa gentar. Ketika tadi mereka mendesak Tan Siong dan pedang kiri Su Lok Bu berhasil melukai pangkal lengan pemuda itu, dan mereka bertiga sudah siap untuk merobohkannya tiba-tiba saja ketiganya terkejut karena berturut-turut ada sepotong batu kerikil yang menyambar dan mengenai tubuh mereka. Hanya batu-batu kerikil kecil saja, akan tetapi datangnya demikian kuat dan hampir mengenai jalan darah sehingga terasa nyeri dan bagian yang kena menjadi kesemutan hampir lumpuh.

   Hal inilah yang mengejutkan mereka dan sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa pemuda itu telah diarn-diam dibantu oleh seorang yang berilmu tinggi! Maka, ketika Tan Siong melarikan diri, mereka tidak melakukan pengejaran, melainkan menanti munculnya orang yang telah menyambit mereka dengan kerikil-kerikil kecil tadi. Akan tetapi, tidak ada orang muncul sampai bayangan pemuda itu lenyap.

   "Ke mana perginya Cin Hwa? Ialah yang menjadi biang keladinya!"

   Tiba-tiba Cai Sun berseru ketika dia mencari-cari wanita itu dengan pandang matanya.

   "Biar kubawa wanita itu!"

   Diapun lalu masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, di dalam rumah itu tidak ada seorang pun juga. Ok Cin Hwa telah lenyap, dan tidak nampak bayangan seorang pun pelayan. Selain itu, Cai Sun melihat bahwa peralatan dalam rumah itu sederhana sekali.

   "Ah, tentu ia melarikan diri karena ketakutan."

   Kata Cai Sun dengan hati menyesal sekali.

   "Aku akan mencarinya, tentu ia tidak lari jauh."

   Akan tetapi Su Lok Bu yang merasa marah karena gara-gara Cai Sun yang keluyuran sampai mereka bertemu dan berkelahi melawan orang pandai, berkata dengan suara ketus.

   "Kita pulang sekarang, dan harap kau jangan mencari gara-gara lagi, Koo-te!"

   Melihat sikap rekannya itu, Cai Sun tidak berani membantah lagi dan berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu, kembali ke gedung keluarga Pui. Pui Ki Cong juga menegur Cai Sun yang dikatakan sembrono sekali dan melarang teman dan pembantu itu untuk pergi jauh tanpa kawan.

   Tan Siong yang mengalami luka bahunya, tidak berani langsung kembali ke tempat persembunyiannya di kuil tua, melainkan berputar-putar di tempat-tempat sunyi. Setelah matahari turun ke barat dan cuaca menjadi remang-remang, barulah dia menyelinap di antara gedung-gedung, melalui lorong-lorong menuju ke kuil tua. Akan tetapi tiba-tiba dia dikejutkan oleh teriakan banyak orang bahwa ada terjadi kebakaran. Dia segera menuju ke tempat itu menyelinap di antara orang banyak. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika melihat bekas lawannya tadi, yaitu Koo Cai Sun, bersama dua orang rekannya yang lihai, berada pula di tempat itu dan mendengar dari orang-orang yang menonton bahwa yang terbakar itu adalah toko milik laki-laki berperut gendut yang tadi merayu Ok Cin Hwa! Huh, manusia jahat tentu akhirnya akan mengalami musibah dan malapetaka, pikir Tan Siong dan diapun tidak perduli lagi, lalu menyelinap di antara banyak orang dan pergi dari situ.

   Dia memasuki kuil tua yang gelap itu, menuju ke ruangan belakang yang untuk sementara menjadi tempat dia bersembunyi. Gelap sekali ruangan itu. Dia meraba-raba untuk mencari lilin yang ditaruh di sudut ruangan. Akan tetapi tangannya tidak menemukan sesuatu.

   "Engkau mencari lilin, Toako?"

   Tiba-tiba terdengar suara halus. Tan Siong terkejut, akan tetapi girang mendengar bahwa itu adalah suara Ok Cin Hwa.

   Lilin itu dinyalakan oleh wanita yang ternyata adalah Cui Hong itu. Tentu para pembaca dapat menduga bahwa orang sakti yang diam-diam membantu Tan Siong tadi bukan lain adalah Cui Hong sendiri, la tidak lari jauh, melainkan bersembunyi dan menonton perkelahian itu. la merasa terkejut, heran dan kagum sekali karena ternyata pemuda itu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup t inggi, tidak terlalu banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri! Ia melihat dengan kagum betapa dengan mudah Tan Siong menghadapi pengeroyokan Cai Sun yang dibantu enam orang perajurit, kemudian datang pula membantu dua orang jagoan yang amat lihai itu. Juga dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang murid Kun-lun-pai, seorang pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi, kekagumannya berubah menjadi kekhawatiran ketika ia melihat betapa Tan Siong mulai terdesak payah dan bahkan menderita luka pada bahunya.

   Cepat ia membantu dari tempat persembunyiannya, menyambitkan batu-batu kerikil yang mengenai tubuh tiga orang lihai itu sehingga mereka terkejut dan menghentikan serangan mereka terhadap diri Tan Siong yang sudah terdesak. Kesempatan itu, seperti yang diharapkan, dipergunakan dengan baik oleh Tan Siong yang berhasil meloloskan diri. la lalu mendahului pemuda itu memasuki ruangan belakang kuil tua dan menanti di situ sampai gelap. Kini mereka dapat saling pandang di bawah sinar lilin yang remang-remang. Tan Siong menyembunyikan kegirangannya melihat Cui Hong berada di situ dengan duduk bersila di atas lantai.

   "Syukur engkau dapat meloloskan diri, Hwa-moi."

   "Berkat pertolonganmu, Tan-ko. Karena tidak tahu harus lari ke mana, aku teringat akan tempat ini dan bersembunyi di sini."

   "Engkau benar, di sini kita aman karena mereka tentu tidak menyangka bahwa kita berada di sini."

   "Tan-ko, sungguh aku kagum sekali karena engkau ternyata bukan seorang petani dusun biasa, melainkan seorang pendekar yang amat lihai sehingga engkau berhasil menyelamatkan aku dan menandingi orang-orang jahat yang mengeroyokmu."

   "Ah, jangan memuji, Hwa-moi. Bagaimana aku dapat disebut lihai kalau hampir saja aku tewas di tangan mereka?"

   Dia meraba luka di bahu kirinya dan menggigit bibir menahan rasa nyeri ketika dia mencoba untuk membuka baju di bagian bahu yang robek dan melekat pada lukanya karena darah yang mengering.

   "Aih, engkau terluka parah, Tan-ko? Mari, biar aku yang merawatnya. Luka itu perlu dibersihkan."

   Kata Cui Hong yang segera menghampiri lalu berlutut di dekat pemuda itu. Dengan cekatan jari-jari tangannya yang halus membuka bagian baju yang terobek itu lebih besar sehingga luka itu nampak. Biarpun t idak berbahaya dan tidak sampai mengenai tulang, namun luka itu cukup lebar dan nampak mengerikan, dan ia tahu bahwa luka itu tentu terasa nyeri, pedih dan panas sekali.

   "Aku butuh air panas untuk mencuci luka ini sebelum diobati, Tan-ko. Aku akan mencari air panas dan obat keluar sebentar."

   "Jangan, Hwa-moi, berbahaya kalau engkau keluar sekarang. Ini ada arak, cucilah saja dengan arak ini, kemudian berikan obat ini lalu balut. Aku memang selalu menyediakan obat untuk merawat luka."

   Kata Tan Siong.

   Tentu saja Cui Hong juga tahu akan cara pengobatan luka, maka ia lalu mencuci luka itu dengan arak. Pedih perih rasanya dan Tan Siong menggigit bibir menahan rasa nyeri. Tidak sedikit pun keluar keluhan dari mulutnya, padahal Cui Hong maklum betapa nyerinya luka yang dibakar oleh arak itu.

   Setelah membersihkan luka itu, ia lalu menggunakan obat bubuk putih yang diberikan Tan Siong, setelah itu ia membalut bahu itu dengan mempergunakan sobekan ikat pinggangnya yang berwarna putih bersih. Selama perawatan ini, Cui Hong berlutut dekat sekali dengan Tan Siong sehingga kadang-kadang, tanpa disengaja, ada bagian tubuh mereka yang saling bersentuhan. Hal ini membuat Tan Siong hampir tak berani berkutik. Bau khas wanita yang keluar dari tubuh dan rambut Cui Hong, sentuhan jari-jari tangan yang seperti membelai bahunya, geseran-geseran halus antara bagian tubuh mereka yang saling bersentuhan, mendatangkan getaran dalam diri Tan Siong dan membuat jantungnya berdebar keras.

   Dia tidak tahu bahwa keadaan wanita itu pun tidak jauh bedanya dengan dirinya. Belum pernah selama hidupnya Cui Hong berada dalam keadaan seperti itu, demikian dekat dengan seorang pria. Pengalamannya tujuh tahun yang lalu dengan empat orang pria yang memperkosanya merupakan hal yang lain sama sekali karena di situ t idak terdapat kemesraan, yang ada hanya rasa takut, duka, dan kebencian. Akan tetapi sekarang, ia merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang amat mesra, yang membuat jantungnya berdebar keras dan jari-jari tangannya kadang-kadang agak gemetar. Untuk menghibur ketegangan aneh ini, Cui Hong lalu bertanya.

   "Siong-toako, engkau adalah seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Kenapa engkau demikian baik kepadaku, membelaku sampai mati-matian sehingga engkau menderita luka parah begini?"

   Tan Siong menarik napas panjang.

   "Mula-mula hanya kebetulan saja kita saling jumpa di dalam rumah makan itu, Hwa-moi. Tentu saja aku tidak suka melihat orang-orang kasar itu mengganggumu sehingga aku menegur mereka."

   "Akan tetapi ketika meja itu dibalikkan oleh Si Muka Bopeng, kenapa engkau diam saja sehingga pakaianmu tersiram kuwah?"

   "Ketika itu aku tidak ingin menonjolkan diri, tidak ingin diketahui orang bahwa aku memiliki kepandaian silat. Untung pada waktu itu t idak terjadi apa-apa, akan tetapi kemunculan Si Muka Babi itu...."

   
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   
"Si Muka Babi...?"

   Cui Hong bertanya sambil mengangkatalis matanya karena heran.

   "Itu, laki-laki perut gendut bermuka bulat yang membawa senjata siang-kek..."

   "Ahh, dia....!"

   Cui Hong menahan ketawanya.

   "Dia bernama Koo Cai Sun."

   "Kemunculannya mendatangkan perasaan tidak enak di hatiku, karena itu aku mengajakmu lar i ke sini tempo hari. Melihat pandang matanya dan sikapnya, aku dapat menduga bahwa dia itu selain lebih lihai daripada empat orang kasar itu, juga lebih jahat. Dan setelah kita berpisah di dekat rumah penginapan, hatiku tetap merasa gelisah dan aku amat mengkhawatirkan keselamatanmu. Lebih gelisah lagi hatiku ketika aku tidak melihatmu di rumah penginapan itu dan aku mendengar dari para pengurus bahwa engkau tidak pernah bermalam di sana."

   "Maaf, Toako. Aku memang sengaja membohong tempo hari kepadamu, karena aku tidak ingin engkau mengetahui tempat tinggalku."

   "Kenapa, Hwa-moi? Kenapa? Bukankah kita sudah saling berkenalan?"

   "Aku ingin merahasiakan diriku dan tempat tinggalku, Toako."

   "Tapi kenapa?"

   Cui Hong menarik napas panjang, menceritakan hal itu sama saja dengan membuka rahasia dirinya. Ia menggeleng kepala.

   "Sekali lagi maaf, itu merupakan rahasia besar bagiku dan belum waktunya kuceritakan kepadamu, Toako. Akan tetapi, lanjutkanlah ceritamu."

   La memandang wajah pemuda itu.

   "Bagaimana engkau dapat muncul lagi dalam peristiwa tadi?"

   "Kembali suatu hal yang kebetulan saja, Hwa-moi. Aku sedang berjalan-jalan, seperti biasa mencari pamanku yang sampai sekarang belum juga kutemukan, juga untuk mencarimu karena hatiku masih merasa penasaran karena tidak dapat menemukan engkau di rumah penginapan itu. Dan kebetulan aku melihat engkau berjalan-jalan bersama Koo Cai Sun itu... ah, benar, lupa aku memberitahukan. Tadi, menjelang senja, aku melihat kebakaran dan ternyata yang terbakar habis adalah toko dan rumah milik Si Muka Babi itu!"

   Tentu saja Cui Hong tidak merasa heran mendengar ini karena kebakaran itu adalah hasil pekerjaannya. Dalam kekecewaannya karena Cai Sun terlepas dari cengkeramannya di rumah yang disewanya karena kemunculan pengawal-pengawal keluarga Pui, ia lalu pergi ke toko dan rumah musuhnya itu dan membakarnya habis karena sebelum membakar, ia menyiramkan minyak ke dalam toko dan rumah itu. Karena ia mempergunakan kepandaiannya yang tinggi untuk menyelinap masuk dan keluar lagi, tidak ada orang yang melihatnya ketika ia melakukan hal itu, dan karena rumah itu pun kosong, ditinggal pergi oleh keluarga Koo Cai Sun yang mengungsi ke rumah gedung Pui Ki Cong.

   "Bagus! Aku merasa senang mendengar itu. Memang dia jahat dan kurang ajar, sudah sepatutnya dia mengalami nasib buruk seperti itu!"

   "Hwa-moi, aku merasa heran ketika melihat engkau dan dia jalan bersama, kemudian masuk ke dalam rumah yang sunyi itu. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?"

   Kembali Cui Hong menarik napas panjang. Ia harus pandai membuat cerita yang lain karena tidak mungkin ia dapat membuka rahasianya sel-ma tugasnya membalas dendam belum selesai dengan lengkap.

   "Aku bertemu di jalan dengan dia, Toako. Dan mengingat bahwa dia pernah menolongku terlepas dari tangan orang kali tidak membayangkan kekurangajaran sehingga tidak membikin ia marah. Sebaliknya, ia malah merasa girang sekali!"

   "Toako, apa sih yang membuat aku menarik di hatimu?"

   La memancing pujian yang lebih terperinci. Pemuda itu menatap tajam wajah Cui Hong, lalu berkata dengan jujur.

   "Tentu saja pada permulaannya ketika engkau muncul di rumah makan, yang menarik hatiku adalah kepribadianmu, kecantikanmu...."

   Cui Hong tertawa, lirih.

   "Aihh, Toako, di kota raja ini gudangnya wanita cantik, di setiap tempat engkau dapat menemukan wanita yang cantik-cantik, kenapa justru tertarik kepadaku, seorang wanita biasa saja?"

   "Memang banyak wanita cantik, Hwa-moi, akan tetapi hanya ada engkau seorang saja! Engkau bukan hanya cantik manis, akan tetapi ada sesuatu dalam sinar matamu, dalam senyummu, gerak-gerikmu, yang menarik hatiku. Apalagi setelah aku melihat sikapmu yang tabah menghadapi bahaya, dan yang lebih dari itu lagi, ada sesuatu keanehan dalam dirimu yang membuat aku tertarik sekali."

   "Apanya yang aneh....?"

   Otomatis Cui Hong melirik ke arah tubuhnya yang dapat dilihat, takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres sehingga ia disebut aneh oleh pemuda itu.

   "Hwa-moi, engkau seorang gadis yang begini cantik hidup sebatangkara dan yatim piatu namun kaya-raya, dan tidak seperti gadis lain yang akan tinggal di rumah dan hidup serba kecukupan, engkau malah merantau sendirian, kadang-kadang hidup serba sulit, membiarkan dirimu terjun ke dalam kehidupan yang penuh dengan bahaya yang mengancam keselamatanmu. Tidakkah ini amat aneh?"

   "Toako, kita bukan kanak-kanak lagi, kita sudah cukup dewasa untuk bicara secara terbuka dan terang-terangan."

   Tiba-tiba Cui Hong berkata karena mendadak ia ingin memperoleh kepastian tentang isi hati pemuda itu, karena ia sendiri merasa betapa hatinya terpikat dan merasa suka sekali kepada Tan Siong.

   "Apakah hanya karena semua itu maka engkau lalu mencari-cari aku, begitu memperhatikan aku dan membelaku mati-matian sehingga engkau bentrok dengan orang-orang yang amat lihai dan engkau menderita luka, bahkan mempertaruhkan nyawa untukku?"

   Sambil berkata demikian, sepasang mata Cui Hong seperti mencorong dan memandang penuh selidik.

   Ditanya demikian, wajah Tan Siong nampak tegang dan bingung, sebentar pucat sebentar merah.

   "Aku.... aku..."

   Dia tergagap, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya, kemudian melanjutkan.

   "Aku minta maaf sebelumnya, Hwa-moi. Memang engkau benar, kita bukan kanak-kanak lagi, sudah cukup dewasa dan seyogyanya kalau kita bicara jujur dan terus terang. Aku memang tertarik sekali kepadamu, terutama melihat persamaan antara kita, sama-sama yatim piatu dan hidup sebatangkara. Terus terang saja, sejak kita bertemu pertama kali, hatiku tertarik dan aku kemudian merasa yakin bahwa aku.... telah jatuh cinta padamu, Hwa-moi. Maafkan aku.... yang lancang mulut...."

   Pernyataan ini demikian tegas dan jujur sehingga membuat Cui Hong, yang memang sudah bersiap-siap, tetap saja tertegun dan terbelalak, kemudian ia menunduk, alisnya berkerut. Kalau saja ia bukan Cui Hong yang sudah digembleng oleh pengalaman-pengalaman mengerikan sehingga air matanya sudah sejak dahulu habis terkuras, tentu akan ada air mata bercucuran dari matanya. Namun ia hanya termenung dan membisu.

   Melihat keadaan gadis itu yang nampaknya berduka, Tan Siong berkata lagi.

   "Maafkanlah aku, Hwa-moi, kalau aku menyinggung perasaanmu. Kita baru saja berkenalan dan dalam keadaan seperti ini aku berani berlancang mulut, akan tetapi aku ingin berterus terang, Hwa-moi, agar perasaan ini tidak menyiksaku. Padahal aku pun tahu bahwa sepatutnyalah kalau engkau menolak cintaku, karena aku hanya seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan bodoh. Bisaku hanya bermain silat dan mencangkul menggarap sawah, tidak ada harapan hidup senang di samping seorang suami seperti aku, jadi.... maafkanlah aku."

   "Tidak! Bukan begitu, toako, akan tetapi kalau engkau tahu.... ah, kalau engkau mengenal siapa aku...."

   "Aku sudah mengenalmu. Engkau seorang gadis yang cantik manis, tenang dan tabah, menentang kejahatan dan mengenal budi...."

   "Tidak, engkau tidak mengenal siapa aku sebenarnya!"

   Tiba-tiba Cui Hong bangkit berdiri dan menyambar buntalan pakaiannya karena pada saat itu terdengar langkah kaki orang. Seorang jembel tua berdiri di ambang pintu dan berkata lirih.

   "Ssttt, ada dua orang mencari-cari orang she Tan. Apakah engkau she Tan?"

   Mendengar ini, Tan Siong cepat meniup lilin itu padam dan dia mendengar suara kaki Cui Hong lari ke belakang.

   "Hwamoi, engkau bersembunyilah."

   Kata nya dan dia sendiri pun lalu menyambar pedang yang tadi ditaruh di sudut, juga menyambar buntalan pakaiannya dan dia meloncat ke depan, melewati jembel tua yang menjadi bingung dan ketakutan.

   Benar seperti yang dikhawatirkan Tan Siong, ketika dia tiba di depan kuil tua, di bawah penerangan lampu gantung tua yang dipasang oleh para jembel yang kini menyelinap pergi cerai-berai ketakutan, berdiri dua orang yang bukan lain adalah Cia Kok Han dan Su Lok Bu, dua orang jagoan dari Bu-tong-pai dan Siauw-lim pai itu! Karena bahunya masih terluka dan karena maklum betapa lihainya dua orang ini, pula karena dia tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka, ingin Tan Siong melarikan diri saja di dalam gelap. Akan tetapi dia teringat akan gadis yang bersembunyi di belakang kuil. Siapa akan melindunginya kalau ia melarikan diri. Maka,dengan sikap hormat, sambil menalikan buntalan pakaian di punggungnya, dia bertanya.

   "Kiranya Ji-wi Lo-enghiong (Dua Orang Tua Gagah) yang datang berkunjung ke tempat yang buruk ini. Apakah memang kini para murid perkumpulan-perkumpulan besar suka mendesak orang yang sudah terluka dan yang tidak mempunyai permusuhan pribadi sedikit pun dengan mereka?"

   "Orang muda she Tan, hendaknya engkau tidak menduga buruk secara sembarangan saja. Engkau adalah murid Kun-lun-pai dan kami dua orang murid-murid Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai tidak mempunyai permusuhan apa-apa denganmu. Kalau siang tadi kita bertemu sebagai lawan hanyalah karena kedudukan dan keadaan kita yang memaksa. Akan tetapi kedatangan kami yang mencarimu ini adalah karena kami membawa tugas yang diberikan majikan kami, yaitu Pui-kong-cu. Dia mendengar tentang kegagahanmu, maka mengutus kami untuk mencarimu dan mengajakmu menghadap Pui-kongcu karena dia ingin sekali mempergunakan tenagamu untuk membantunya."

   Kata Cia Kok Han yang pendek gendut, tokoh Bu-tong-pai itu.

   Tentu saja Tan Siong merasa heran karena sekali mendengar ucapan itu.

   "Aku tidak mengenal siapa itu Pui-kongcu, dan aku pun tidak berniat bekerja sebagai tukang pukul orang kaya atau bangsawan."

   Mendengar ucapan yang nadanya menyindir itu, Su Lok Bu berkata.

   "Tan Siong, tidak perlu engkau menyindir dan mengejek kami! Kami adalah bekas perwira terhormat dan kini kami bekerja dengan halal, menjadi kepala pengawal, bukan tukang pukul! Pui-kongcu sedang terancam bahaya oleh musuhnya yang amat kejam dan lihai, maka ingin mengumpulkan orang-orang yang pandai untuk membantunya menghadapi musuh itu. Engkau akan diangkat menjadi rekan kami dan menerima imbalan upah yang besar."

   Tan Siong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.

   "Maaf, akan tetapi aku tidak berniat untuk bekerja pada waktu ini, karena aku mempunyai tugas sendiri yang penting. Harap ji-wi maafkan dan sampaikan kepada Pui-kongcu bahwa aku tidak dapat menerima penawarannya."

   "Bocah she Tan!"

   Tiba-tiba Cia Kok Han berseru marah.

   "Engkau sungguh besar kepala dan sombong. Engkau bersikap seolah-olah tidak mempunyai kesalahan. Engkau telah melukai beberapa orang pengawal dan untuk itu saja engkau sudah sepatutnya ditangkap dan ditahan. Akan tetapi Pui-kongcu memaafkan kesalahanmu, bahkan menawarkan kedudukan baik dan ingin bersahabat denganmu. Namun, engkau menolaknya dengan angkuh. Kalau begitu, terpaksa kami harus menangkapmu dan menyeretmu ke depan Pui-kongcu, biar dia sendiri yang mengambil keputusan atas dirimu!"

   "Lebih baik engkau dengan suka rela ikut bersama kami agar kami tidak perlu mempergunakan kekerasan."

   Kata pula Su Lok Bu. Dua orang jagoan itu sudah mengeluarkan senjata masing-masing. Cia Kok Han mencabut golok besarnya, sedangkan Su Lok Bu mengeluarkan siang-kiamnya (sepasang pedang).

   Tan Siong tersenyum mengejek.

   "Hemm, bagaimanapun alasan ji-wi, tetap saja ji-wi adalah orang-orang yang suka memaksakan kehendak dan mengandalkan kekuatan dan kekerasan. Dan aku mempelajari ilmu justeru untuk menentang penindasan dan kelaliman. Aku tetap menolak!"

   Berkata demikian, Tan Siong menggerakkan tangan kanannya dan sudah melolos pedang tipis yang dipergunakan sebagai sabuk dengan sarung kulit yang kuat.

   "Bagus, engkau memang murid Kun-lun-pai yang besarkepala!"

   Kata Cia Kok Han yang sudah menyerang dengan goloknya. Su Lok Bu juga menggerakkan sepasang pedangnya dan dua orang itu sudah mengurung Tan Siong dengan serangan-serangan dahsyat. Pemuda ini terpaksa memutar pedangnya dan mengerahkan seluruh tenaganya, walapun dia harus menahan rasa nyeri bahu kirinya ketika tubuhnya dipakai untuk bersilat Berkali-kali terdengar suara berdencing nyaring ketika pedangnya menangkisi tiga buah senjata lawan yang amat kuat itu, dan sebentar saja Tan Siong yang sudah terluka itu terdesak hebat.

   Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan begitu tiba di situ, bayangan hitam ini menggerakkan sebatang ranting di tangannya untuk terjun ke dalam perkelahian itu dan segera menyerang Su Lok Bu dengan gerakan-gerakan aneh. Begitu ranting meluncur, senjata sederhana ini sudah menyelinap di antara dua gulungan sinar pedang Su Lok Bu dan meluncur, menotok ke arah jalan darah di pundak kanan.

   "Eh....!,"

   Su Lok Bu terkejut bukan main karena nyaris pundaknya tertotok kalau saja dia tidak meloncat jauh ke belakang. Ketika dia dan Cia Kok Han memandang, ternyata yang menyerang itu adalah seorang yang berpakaian serba hitam, dan mukanya juga ditutup kedok hitam dengan dua buah lubang untuk sepasang mata yang jeli dan tajam sinarnya, dan nampak pula dagunya di mana terdapat sebuah bintik, yaitu sebuah tahi lalat hitam!

   Melihat tahi lalat di dagu itu dan melihat bentuk tubuh yang mudah diduga dimiliki seorang wanita, Cia Kok Han dan Su Lok Bu terkejut bukan main. Mereka belum pernah bertemu dengan musuh besar Pui-kongcu, wanita iblis yang kabarnya sedang berusaha untuk membunuh Pui-kongcu dan Koo Cai Sun, akan tetapi dari kedua orang itu yang mengingat-ingat wajah wanita yang menjadi musuh mereka, yang teringat oleh mereka hanyalah bahwa wanita itu memiliki tanda tahi lalat hitam di dagunya. Dan wanita berkedok ini pun memiliki tahi lalat di dagunya.

   Maka tanpa banyak cakap lagi Su Lok Bu dan Cia Kok Han menerjang wanita berkedok itu yang hanya memegang sebatang ranting kayu sederhana. Melihat ini, tentu saja Tan Siong cepat menggerakkan pedangnya menyambut Cia Kok Han. Dia pun merasa heran melihat munculnya wanita berkedok dan berpakaian hitam ini, akan tetapi yang jelas wanita ini tadi telah menolongnya, membantunya menghadapi dua orang pengeroyoknya yang lihai, maka kini melihat betapa dua orang pengeroyok itu berbalik menyerang si wanita berkedok, yang hanya bersenjata sebatang ranting, tentu saja dia pun cepat membantunya dan memutar pedangnya.

   Kini perkelahian terjadi lebih ramai dan seru lagi, di bawah penerangan lampu gantung yang remang-remang, Tan Siong memutar pedangnya yang- tipis melawan Cia Kok Han yang memegang golok besar dan berat sedangkan wanita berkedok itu melawan Su Lok Bu yang memegang sepasang pedang dengan meng gunakan sebatang ranting kecil saja. Dan setelah kini melawan Cia Kok Han seorang, biarpun pundak di sekitar pangkal lengan kiri masih terasa nyeri, Tan Siong dapat mengimbangi permainan lawan. Untung bahwa senjatanya adalah sebatang pedang yang tipis dan ringan, maka dia dapat bergerak lebih cepat daripada lawannya. Dia tidak pernah mau menangkis karena senjata lawan amat berat, namun dengan kecepatan gerak pedangnya, dia membuat Cia Kok Han menjadi repot juga.

   Yang lebih hebat adalah wanita itu. Biarpun senjatanya hanya sebatang ranting kecil, namun ternyata gerakan rantingnya itu mampu membuat Su Lok Bu menjadi mati langkah! Sepasang pedangnya bahkan hanya sibuk menangkis saja karena ranting itu bergerak secara aneh dan cepat, juga berbahaya karena ujungnya selalu meluncur ke arah jalan darah yang berbahaya.

   Lewat lima puluh jurus, Su Lok Bu mengeluarkan seruan kaget dan dia pun meloncat jauh ke belakang. Bajunya robek dan hampir saja pedang kirinya terlepas dari genggaman karena tiba-tiba tangan kirinya menjadi setengah lumpuh terkena totokan pada pundak kirinya. Mendengar temannya berseru mengeluh dan meloncat ke belakang, Cia Kok Han yang juga terdesak hebat itu melompat pula ke belakang. Mereka maklum bahwa tanpa bantuan, mereka tidak akan mampu menang, maka tanpa dikomando lagi, keduanya lalu melarikan diri untuk mengambil balabantuan.

   Akan tetapi ketika bala bantuan tiba dan mereka datang kembali bersama Koo Cai Sun dan dua puluh lebih pasukan pengawal, kuil tua itu telah kosong. Tak seorang pun jembel yang biasanya memenuhi kuli itu mere ka temukan, apalagi dua orang bekas lawan tadi.

   Koo Cai Sun dan Pui Ki Cong bergidik mendengar penuturan dua orang jagoan itu bahwa telah muncul seorang wanita berpakaian serba hitam, berkedok dan dagunya bertahi lalat yang lihai sekali. Biarpun mulut mereka diam saja, namun di dalam hati, mereka menduga-duga bahwa besar sekali kemungkinan wanita berkedok itu adalah Kim Cui Hong yang mereka takuti!

   Dugaan mereka memang tepat. Wanita berkedok itu adalah Kim Cui Hong. Ketika Cui Hong mendengar bahwa ada dua orang mencari Tan Siong, ia pun cepat pura-pura lari ke belakang kuil. Di dalam gelap ia cepat mengenakan pakaian hitam dan kedoknya, lalu keluar lagi dan membantu Tan Siong yang sedang terdesak. Dan setelah dua orang lawan itu melarikan diri, ia pun cepat meloncat ke dalam kegelapan malam dan menghilang.

   Tan Siong yang berterima kasih itu berusaha mengejar, namun dia kehilangan jejak wanita berkedok itu yang telah lenyap dan terutama sekali pakaian hitamnya membuat ia sukar dicari atau dikejar. Tan Siong masih merasa penasaran dan sampai pagi dia berkejaran di sekitar tempat itu, mencari wanita berkedok dan juga mencari Ok Cin Hwa yang melarikan diri tadi, Setelah matahari mengusir kegelapan malam, dia tiba di dekat tembok kota raja dan di tempat yang sunyi, di bawah sebatang pohon, dia melihat Cin Hwa berdiri sambil membawa buntalan pakaiannya.

   "Hwa-moi....!"

   Katanya girang dan cepat dia berlari menghampiri gadis Itu.

   Gadis itu memandangnya dan mengeluh.

   "Ah, agaknya tidak ada tempat aman lagi di kota raja bagiku, Tan-toa-ko. Aku ingin pergi saja dari kota raja."

   Sejenak Tan Siong mengamati gadis itu, dari kepala sampai ke kakinya, kemudian berkata.

   "Pergi ke manakah, Hwa-moi? Kemana pun sama saja bagimu, di mana-mana tentu terdapat orang orang jahat, akan tetapi perlu apa engkau takut? Takkan ada yang dapat mengganggumu."

   Cui Hong mengerutkan alisnya dan memandang tajam.

   "Apa maksudmu....?"

   "Tidak apa-apa.... eh, Hwa-moi, lehermu itu terkena apakah?"

   Dan dia maju mendekat.

   "Ada apa?"

   Cui Hong meraba-raba lehernya dan tidak menemukan sesuatu.

   "Lehermu seperti kena noda, maaf, biar kubersihkan!"

   Dengan gerakan cepat sekali Tan Siong mengulur tangannya ke arah leher gadis itu. Kalau saja Cui Hong tidak hendak menyembunyikan kepandaiannya, tentu dengan mudah ia mengelak atau menangkis. Akan tetapi ia harus menyembunyikan rahasianya dan ia pun ingin sekali tahu di lehernya ada apa karena ia percaya bahwa pemuda itu bersungguh-sungguh.

   Akan tetapi sebelum jari-jari tangan Tan Siong menyentuh lehernya, jari-jari itu membalik ke arah dagunya dan sekali menowel, lecet dan hapuslah bedak tebal yang menutupi dan menyembunyikan sebuah tahi lalat di dagu dan nampaklah kini tahi lalat itu!

   "Nona, terima kasih atas bantuanmu semalam sehingga aku dapat melawan dua orang yang tangguh itu!"

   Kata Tan Siong sambil menjura ke arah Cui Hong.

   "Tan-toako, kenapa sikapmu seperti ini? Memanggil Nona padaku...."

   Tan Siong menjura dan tersenyum.

   "Tentu namamu bukan pula Ok Cin Hwa....."

   Cui Hong meraba dagunya dan tahu bahwa tidak ada gunanya menyembunyikan rahasianya lagi. Ia pun menarik napas panjang mengambil tempat bedak dari buntalan pakaiannya, juga sebuah cermin dan cepat ia menutupi lagi tahi lalat di dagunya.

   "Aku harus menutupi lagi ciri yang membuat aku dikenal ini..."

   "Akan tetapi, mengapa engkau bersikap begini? Apa artinya penyamaran ini, berpura-pura sebagai seorang gadis yang lemah?"

   Tan Siong bertanya penasaran.

   "Kau pun tadinya bersikap sebagai seorang pemuda petani yang lemah, Toako aku sengaja menyamar karena memang ada sebabnya yang teramat penting. Akan tetapi sekarang aku ingin tahu lebih dulu. Bagaimana engkau bisa menduga bahwa aku adalah wanita berkedok semalam?"

   Tan Siong tersenyum, senyum pahit.

   "Sudah terlanjur aku mengaku kepadamu, Nona. Aku tertarik dan.... cinta padamu, tentu saja segalanya yang ada padamu tidak akan pernah dapat kulupakan. Matamu di balik kedok itu, dan juga sepatumu yang agaknya tergesa-gesa belum sempat kau ganti pagi ini, menjelaskan segalanya. Karena masih ragu, aku sengaja menghapus penutup tahi lalat di dagumu itu."

   "Dan dengan adanya kenyataan ini, apakah engkau masih tetap memiliki perasaan itu terhadap aku, Tan-toako?"

   Cui Hong bertanya, memandang tajam penuh selidik. Yang dipandang balas memandang dengan tajam.

   Kemudian Tan Siong berkata,, suaranya tegas.

   "Nona, apakah cinta harus berubah-ubah? Semenjak pertama kali, aku telah jatuh cinta kepadamu, dan bagiku, cinta takkan pernah berubah selama aku hidup."

   Cui Hong menarik napas panjang.

   "Hemm, aku sungguh sangsi apakah pendirianmu itu masih akan sama kalau engkau sudah mendengar riwayat dan keadaanku, Toako."

   Ia merasa sedih membayangkan betapa pemuda yang dikaguminya ini akan memandang rendah kepadanya nanti kalau ia membuka rahasia dirinya.

   "Ceritakanlah, nona. Aku pun ingin sekali tahu tentang dirimu yang diliputi penuh rahasia itu. Siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau menyamar sebagai seorang gadis lain yang lemah? Apa artinya semua ini?"

   Cui Hong lalu duduk di atas sebuah batu di tepi jalan, dan Tan Siong juga mengambil tempat duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. Mereka duduk berhadapan dan pemuda itu memandang wajah Cui Hong penuh perhatian, hatinya tertarik sekali karena dia dapat menduga bahwa tentu gadis ini mempunyai riwayat yang amat hebat sehingga selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga menyimpan rahasia dan menyamar sebagai gadis lain yang lemah. Sebaliknya, Cui Hong tadinya ragu-ragu, akan tetapi karena Tan Siong adalah seorang pemuda yang selama ini selalu membelanya, dan karena Tan Siong telah dapat menyingkap rahasianya bahwa ia seorang gadis yang menyamar, tidak ada jalan lain baginya kecuali membuat pengakuan.

   "Tan-toako, aku bukanlah seorang gadis seperti yang kausangka, bukan seorang Ok Cin Hwa yang terhormat dan bersih. Namaku yang sesungguhnya adalah Kim Cui Hong...."

   "Hemm, nama yang indah dan gagah... ..."

   Tan Siong memotong, bukan pujian yang kosong melainkan pujian yang memang sengaja dilakukan untuk mendorong gadis itu agar lebih lancar bercerita.

   Cui Hong tersenyum.

   "Engkau selalu memujiku, Toako. Betapa pedih membayangkan bahwa pujianmu itu sebentar lagi akan menjadi celaan dan cacian."

   "Teruskanlah, Nona Kim yang gagah perkasa, aku ingin sekali mendengar ceritamu."

   "Tan-toako, aku hanyalah seorang wanita yang penuh dengan aib dan penghinaan, seorang sisa manusia yang hanya mempunyai satu tujuan hidup, yaitu membalas dendam kepada musuh-musuhku."

   Tan Siong mengerutkan alisnya. Tak enak rasa hatinya mendengar bahwa gadis ini menyimpan dendam kebencian yang amat besar di dalam hatinya.

   Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apakah yang terjadi dengan dirimu, Nona Kim?"

   "Aku.... aku bukan seorang gadis suci lagi, bukan seorang perawan seperti yang kau sangka, Toako. Aku menjadi korban kekejian empat orang laki-laki yang telah menawanku, memperkosaku dan mempermainkan, secara biadab. Aku sudah hampir mati, namun agaknya Tuhan sengaja membiarkan aku hidup sehingga aku dapat mempelajari ilmu dan kini aku dapat melakukan balas dendam terhadap empat orang musuh besarku itu. Dan Tuhan akan memberkahi aku yang telah menerima aib yang amat hebat."

   "Nona, dendam adalah racun yang hanya akan merusak batin sendiri...."

   

   "Biarpun demikian, aku tetap akan membalas dendam!"

   "Dendam kebencian merupakan suatu kejahatan, Nona, karena hal itu akan melahirkan perbuatan yang kejam dan jahat."

   "Tak perduli, aku tetap akan membalas dendam!"

   "Dendam kebencian adalah api yang akan membakar diri sendiri, karena itu, harap engkau dapat menyadarinya, Nona. Tuhan tidak akan memberkahi orang yang menaruh dendam."

   Sekali lagi Tan Siong membujuk.

   "Tidak! Tuhan pasti akan memberkahi ku dan membantuku untuk menghukum mereka yang lebih jahat daripada binatang yang paling buas itu. Mereka harus merasakan penghinaan seperti yang pernah kualami, merasakan kesakitan seperti yang pernah kuderita. Dan itulah satu-satunya tujuan hidupku. Dan untuk melaksanakan pembalasan dendamku itu, terpaksa aku menyamar sebagai Ok Cin Hwa yang lemah. Hanya kepadamu seoranglah aku membuka rahasiaku ini, toako dan aku percaya bahwa toako tentu akan menyimpan rahasia ini dari orang lain."

   Tan Siong mengangguk.

   "Aku tidak akan membuka rahasiamu kepada siapa pun juga, Nona Kim Cui Hong. Akan tetapi, sekali lagi aku memperingatkan, mengingat akan persahabatan antara kita, hendaknya engkau menyadari bahwa dendam kebencian amatlah tidak baik bagi dirimu sendiri. Karena itu, sebelum terlambat, hapuskan saja kebencian itu dari lubuk hatimu."

   Cui Hong mengerutkan alisnya.

   "Hem, enak saja engkau bicara demikian, Tan-toako, karena engkau tidak mengalami sendiri penderitaan lahir batin seperti yang kualami. Aku yang pada waktu itu seorang gadis yang lemah, hanya memiliki sedikit ilmu silat, telah ditawan orang orang jahat. Ayahku dan seorang suheng-ku yang hendak menolongku, mereka bunuh di depan mataku, kemudian aku mereka perkosa dan permainkan sampai nyaris tewas. Mereka membuang tubuhku begitu saja di dalam hutan. Akan tetapi. Tuhan agaknya memang sengaja membiarkan aku hidup untuk dapat menuntut balas dan sekarang engkau, yang kuanggap sebagai seorang sahabatku yang baik, memberi nasihat agar aku tidak membalas dendam dan membiarkan iblis-iblis berwajah manusia itu berkeliaran?"

   "Nona, sudah menjadi tugas dan kewajiban kita yang sejak kecil mempelajari ilmu silat dengan susah payah, untuk kemudian mempergunakan ilmu itu dalam perjuangan melawan kejahatan dan membela orang-orang yang lemah tertindas. Akan tetapi, ada garis pemisah yang amat besar antara membela kebenaran dan keadilan, dan pembalasan dendam! Kalau engkau menentang perbuatan-perbuatan jahat dari empat orang itu, andaikan mereka sekarang masih melakukannya, tentu saja aku tidak akan menyalahkanmu.

   Akan tetapi kalau engkau mencari dan menentang mereka hanya karena dendam pribadi, sungguh hal itu amat tidak baik, Nona. Dendam menjadi satu ikatan yang akan menciptakan karma, dendam-mendendam dan balas-membalas. Memang, tak dapat disangkal bahwa perbuatan empat orang itu terhadap dirimu amatlah jahatnya, amatlah kejamnya. Akan tetapi, kalau engkau kini mencari dan membunuh mere ka, bukankah perbuatanmu itu sama kejam dan jahatnya? Lalu mana letak perbedaan antara yang benar dan yang tidak benar, yang baik dan yang jahat?"

   Cui Hong tersenyum, akan tetapi senyumnya masam dan

   mengejek. Kemarahan menyelinap di dalam hatinya karena ia merasa bahwa pemuda yang dikaguminya ini agaknya hendak menghalangi nya membalas dendam. Padahal, pemuda ini mengaku cinta padanya.

   "Sudahlah, toako. Agaknya dalam hal ini tidak ada kecocokan pikiran di antara kita. Engkau sendiri, apakah yang kaucari di sini?"

   "Riwayatku tidak seburuk riwayatmu, Nona, walaupun tak dapat dibilang menyenangkan. Sejak berusia tiga belas tahun, aku dibawa oleh seorang tosu Kun-lun-pai ke Pegunungan Kun-lun-san untuk belajar ilmu silat. Setelah belajar belasan tahun lamanya dan tamat belajar, aku turun gunung dan pulang ke dusun tempat tinggal orang tuaku. Akan tetapi aku tidak melihat lagi ayah dan ibuku dan menurut penuturan penduduk yang menjadi tetangga kami, ayah dan ibuku sudah lama meninggalkan dusun itu. Seluruh harta kekayaan orang tuaku telah dikuasai oleh pamanku, adik ibuku, yang menipu mereka. Orang tuaku meninggalkan dusun sebagai orang miskin dan akhirnya meninggal dunia entah di mana. Karena itu, sekarang aku sedang berusaha mencari pamanku itu."

   "Ah! Tentu untuk membalas dendam atas kematian orang tuamu kepada pamanmu!"

   Seru Cui Hong penuh harap.

   Akan tetapi pemuda itu menggeleng kepala sebagai jawaban.

   "Tidak, Nona. Aku sama sekali tidak ingin membalas dendam kepada pamanku."

   "Aku mencarinya hanya untuk bertanya di mana kuburan ayah ibuku. Itu saja."

   "Ahhh!"

   Cui Hong merasa kecewa mendengar penjelasan ini.

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Sakit Hati Seorang Wanita (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   Keduanya diam sejenak, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Cui Hong merasa bahwa setelah mendengar keadaan dirinya, tentu pemuda itu memandang kepadanya dengan hati meremehkan. Ia hanya seorang gadis yang telah terhina! Diam-diam ia merasa sedih, akan tetapi kesedihannya ditutupinya dengan sikap acuh. Ia tidak perduli lagi. Biarlah Tan Siong mencemoohkannya, biarlah membencinya. Memang agaknya hidupnya hanya bergelimang dengan kebencian-kebencian, baik dibenci maupun membenci. Semua ini bahkan menyuburkan dendamnya dan ia pasti berhasil!

   

Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini