Ceritasilat Novel Online

Sepasang Rajah Naga 2


Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



"Ah, begitukah maksudmu, twa-ko? Baik lah, aku akan tidur lebih dulu. Akan tetapi jangan lupa untuk membangunkan aku agar aku dapat menggantikanmu melakukan penjagaan, twa-ko."

   "Jangan khawatir. Akupun tidak kuat untuk berjaga terus semalam suntuk karena akupun lelah sekali. Nah, tidurlah di dalam guha, siauw-te."

   Wong Cin tidak membantah lagi. Karena diapun amat lelah, maka setelah merebahkan diri di lantai guha, diapun segera tertidur pulas. Tan Hok menjaga di dekat api unggun dengan penuh kewaspadaan karena dia khawatir kalau-kalau dua orang penjahat akan datang lagi. Untung guha itu letak baik sekali. Dari depan guha itu dia dapat melihat kalau ada orang menghampiri gua dan diapun dapat bersembunyi di balik batu batu yang terdapat di depan guha

   "Wong-siauwte... bangun... malam telah larut, Tan Hok menguncang pundak Wong Cin. Bekas jaksa itu

   terbangun, bangkit duduk dan menggosok dua matanya.

   "Apa...? Ada apa...?"

   Tanyanya gagap akan tetapi dia segera mengenal siapa yang menggugahnya.

   "Ah, engkau kah, Twako?"

   "Ya, bangunlah, siauw-te. Malam telah larut. Engkau harus menggantikan aku berjaga, aku lelah sekali, ingin mengaso sebentar."

   Wong Cin kini sudah sadar betul.

   "Baiklah, twa-ko. Engkau tidurlah, biar aku yang menggantikanmu berjaga,"

   Setelah berkata demikian Wong Cin lalu bangkit berdiri dan pindah duduk di dekat api unggun. Tan Hok lalu merebahkan diri di lantai guha dan segera tertidur pulas. Wong Cin berjaga di dekat api unggun menjaga agar api unggun jangan sampai padam atau mengecil. Langit bersih sekali sehingga tampak jutaan bintang berkelap-kelip di angkasa dan mendatangkan cahaya remang-remang di luar sana.

   Dari tempat itu dapat terdengar bunyi air laut mendesis-desis, kadang menggelegar kalau menghantam batu karang. Suara itu tiada henti-hentinya dan Wong Cin senang mendengarnya, merasa seolah-olah ada yang menemaninya berjaga. Seperti Tan Hok tadi, diapun waspada melayangkan pandang matanya ke luar guha, melihat kalau-kalau ada orang yang datang menghampiri guha. Malam semakin larut. Karena guha itu menghadap ke timur, yaitu ke laut, maka ketika fajar mulai menyingsing, tampaklah langit di timur kemerahan. Cuaca masih remang-remang dan tiba-tiba Wong Cin terbelalak. Dia melihat bayangan orang! Dia turun mendekati batu dan mengintai. Tak salah lagi. Ada orang berindap-indap menghampiri guha, rnenyelinap di antara batu-batu Wong Cin cepat, memasuki guha mengguncang pundak Tan Hok.

   "Tan-ko, bangunlah, twa-ko. Bangunlah!"

   Tan Hok yang diguncang pundaknya bangun, menggosok-gosok kedua mata.

   "Ada apakah, siauw-te?"

   "Twa-ko, ada orang menuju ke sini,"

   Bisik Wong Cin.

   "Apa? Ah, tentu penjahat itu!"

   Tan Hok seketika bangkit berdiri dan dia sudah sadar betul, lalu bersama Wong Cin berindap indap keluar dari guha, mengintai dari batu besar. Diapun melihat bayangan orang itu, bayang-bayang hitam yang menyelinap di antara batu-batu.

   "Cepat, padamkan api unggun, siauwte,"

   Bisik Tan Hok. Wong Cin cepat menghampiri api unggun dan memadamkananya. Tempat itu menjadi gelap karena kehilangan cahaya api unggun dan mereka dapat melihat keluar lebih jelas lagi. Sinar matahari yang belum nampak, hanya langit di timur seperti ada kebakaran memerah namun bintang-bintang masih belum kehilangan sinarnya sama sekali sehngga diluar guha sana cuacanya. remang-remang. Mereka berdua dapat mengintai keluar dan mengikuti gerak-gerik bayangan hitam itu yang kini telah mendekati guha.

   "Siapkan batu, kita serang dia dengan batu"

   Bisik Tan Hok, lalu dia nengumpulkan batu-batu sebesar kepalan tangan. Wong cin juga mengumpulkan batu-batu yang ditumpuk di dekat kakinya. Mereka mengintai lagi dan kini tampak bahwa bukan hanya satu orang saja yang berindap-indap mendekati guha, melainkan ada tiga orang! Tentu tiga orang penjahat yang kemarin dapat mereka usir itu datang lagi bersama seorang kawannya, pikir mereka. Setelah tiga bayangan orang itu tiba dekat, hanya dalam jarak belasan meter dan mereka muncul dari balik sebuah batu berserulah Tan Hok dengan suara nyaring,

   "Serang!"

   Dan merekapun melontarkan batu-batu sebesar kepalan tangan itu dengan kedua tangannya. Wong Cin juga cepat menyerang tiga orang itu dengan lemparan batu-batu yang telah dikumpulkan. Terdengar suara orang mengaduh, tanda bahwa lontaran batu mereka mengenai sasaran dan tiga orang itu cepat berloncatan ke belakang lalu berlindung ke belakang batu besar. Tan Hok dan Wong Cin menghentikan serangan batu mereka. Suasana menjadi sunyi sekali, sunyi yang menegangkan karena mereka maklum bahwa tidak jauh dari situ terdapat musuh-musuh yang siap untuk menyerbu mereka. Akan tetapi setelah ditunggu-tunggu, tiga orang itu tidak muncul lagi, Agaknya mereka itu telah mengundurkan dan melarikan diri, menjauh dari situ.

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   Dua orang nyonya muda dan putera mereka terbangun oleh suara rIbut-rIbut tadi. Tan Song Bu dan Wong Sin Cu merengek kepada Ibu mereka.

   "Ibu, aku lapar..."

   Kata Sin Cu.

   "Ibu, aku ingin makan,"

   Kata Song Bu. Dua orang Ibu muda itu kebingungan. Mereka sendiripun merasa amat lapar, akan tetapi dari manakah mereka akan dapat menemukan makanan untuk mereka sendiri dan anak-anak mereka? Tan Hok dan Wong Cin juga merasa lapar dan mereka mendengar keluhan anak-anak mereka tadi. Kita tidak dapat tinggal terus di sini menanti kelaparan menggerogoti perut kita,"

   Akhirnya Tan Hok berkata.

   "Kita harus pergi ke pantai dan di sana kita dapat mencari ikan atau binatang laut lain untuk kita makan. Kita harus mendapatkan makanan agar tidak kelaparan, juga kita harus mencari air tawar untuk minum."

   "Akan tetapi penjahat-penjahat itu, Twa-ko...? Terpaksa kita lawan mati-matian kalau mereka berani muncul dan mencoba mengganggu kita. Mari kita persiapkan diri dan membawa tongkat untuk senjata, siauw-te."

   Mereka ialu memilih ranting kayu yang cukup besar untuk dipergunakan sebagai senjata. Setelah matahari mulai muncul di permukaan laut merupakan sebuah bola besar merah yang makin lama menjadi semakin kecil dan naik dari permukaan laut, sinarnya yang merah pun mulai berubah menjadi kuning keemasan dan sinarnya mulai menerangi tanah, Tan Hok dan Wong Cin mengawal anak isteri mereka keluar dari dalam guha. Mula-mula mereka mencari air di antara batu-batu di kaki bukit. Akhirnya mereka menemukan sebuah pancuran air di antara batu-batu.

   Agaknya air itu mengalir turun dari bukit. Karena mereka telah merasa haus sekali, mereka lalu minum air yang jenih itu, mencuci muka dan kaki tangan mereka sehingga terasa segar kembali. Setela itu, mereka mulai menuju ke tepi laut. Akan tetapi baru saja mereka tiba di pantai yang berpasir, tiba-tiba terlihat sebuah perahu dengan layar hitam bergerak ke tepi. Mereka memandang dengan hati penuh harapan. Kalau perahu itu milik orang baik-baik, mereka akan tertolong dan dapat meninggalkan Pulau itu! dengan wajah berseri penuh harapan dua keluarga itu berdiri di pantai memandang perahu yang semakin dekat. Setelah agak dekat, mereka dapat melihat ada tujuh orang berada di atas perahu dan hati mereka mulai terasa tidak enak karena ketujuh orang itu semua adalah laki-laki! Setelah perahu kandas di pasir dan layar diturunkan, tali dilempar keluar,

   Tujuh orang laki-laki itu lalu berlompatan dari atas perahu. Mereka lari ke dalam air yang setinggi lutut menuju ke pantai sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa. Tan Hok dan Wong Cin terkejut sekali karena mereka mengenal bahwa dua orang diantara mereka adalah dua orang penjahat yang kemarin hampir memperkosa isteri mereka! Kiranya tujuh orang itu adalah orang-orang jahat! Liu Hong dan Su Leng Ci juga mengenal dua orang penjahat itu. Mereka segera berlindung di belakang suami sambil memondong anak mereka. Wajah mereka pucat dan kedua kaki mereka menggigil. Tan Hok dan Wong Cin melintangkan tongkat mereka, siap untuk melawan mati-matian karena tidak ada jalan lain kecuali melawan untuk melindungi anak isteri mereka. Tujuh orang laki-laki kasar itu kini mengepung mereka sambil tertawa-tawa gembira.

   "Ha-ha-ha!"

   Si kumis panjang yang menjadi pimpinan mereka tertawa bergelak dengan gembira.

   "Bunuh dua ekor anjing ini, akan tetapi dua betinanya itu jangan dilukai. Mereka berdua adalah milik kami berdua, jangan diganggu!"

   Mereka semua tertawa dan kepungan menjadi semakin ketat terhadap Tan Hok dan Wong Cin.

   "Kalian orang-orang jahat!"

   Bentak Tan Hok.

   "Di antara kita tidak ada permusuhan mengapa kalian berniat jahat tehadap kami?"

   "Hahaha"

   Kini pemimpin k?dua, yang bermuka hitam, tertawa lalu memberi aba-aba,

   "Serang"

   Tujuh orang itu bergerak dengan golok di tangan, menyerbu Tan Hok dan Wong Cin. Dua orang ini menggerakkan tongkat dan melawan mati-matian. Mereka menangkisi golok-golok yang menyambar dengan tongkat mereka dan berusaha membalas pula dengan nekat.

   Liu Hong dan Su Leng Ci berlutut saling rangkul sambil memondong anak mereka. Kedua orang Ibu muda ini ketakutan dan merasa khawatir sekali melihat suami mereka dikeroyok tujuh orang penjahat tu. Dua orang anak itupun menangis ketakutan. Betapapun nekatnya Tan Hok dan Wong mengamuk, kepandaian silat mereka haya terbatas dan tujuh orang pengeroyoknya adalah orang-orang yang biasa berkelahi dan ganas sekali. Tan Hok dan Wong Cin haya berhasil merobohkan masing-masing seorang pengeroyok, menghantam kepala meeka dengan tongkat sehingga dua orang pengeroyok itu roboh dengan kepala retak dan golok mereka terlepas dari tangan, menggeletak dekat dua orang wanita itu. Melihat dua batang golok itu, tanpa diperintah, Liu Hong dan Su Leng Ci segera mengambilnya dengan maksud untuk diberikan kepada suami mereka agar suami mereka dapat melawan lebih baik.

   Akan tetapi kedua orang wanita itu terbelalak dan menjerit-jerit ketika melihat betapa dua orang suami mereka pada saat itu roboh mandi darah terkena bacokan golok golok yang menghujani tubuh mereka! sambil berlari menghampiri suaminya yang sudah roboh mandi darah. menghampiri suaminya dan menjatuhkan diri berlutut dekat tubuh suaminya yang sudah tidak bergerak lagi dan mandi darah itu. Song Bu dan Sin Cu yang ditinggalkan Ibu masing-masing menangis bingung dan ketakutan. Kedua orang anak berusia tiga tahun itu duduk di atas pasir sambil menangis. Setelah merobohkan Tan Hok dan Wo Cin, dua orang pimpinan gerombolan itu tertawa bergelak. Mereka berdua menghampiri Liu Hong dan Su Leng Ci.

   "Manis, sudahlah jangan menangis. Suami kalian sudah tewas, akan tetapi ada pengantinya, yaitu kami dan kalian perdua akan hidup senang bersama kami!"

   Kata si kumis panjang. Tiba-tiba Liu Hong bangkit berdiri dan memutar-mutar golok di tangannya, menyerang para penjahat itu dengan membabi buta. Melihat ini, Su Leng Ci juga bangkit dan mengamuk.

   Dua orang wanita yang melihat suami mereka tewas itu menjadi nekat dan dengan golok di tangan mereka, mereka mencoba untuk menyerang dua orang pimpinan penjahat' itu. Akan tetapi tentu saja amukan mereka itu tidak ada artinya. Mereka tidak pernah belajar ilmu silat, bahkan tidak pernah memegang golok. Para penjahat itu mengelak sambil tertawa-tawa mempermainkan sambil mencari kesempatan untuk merampas golok itu dari tangan kedua orang wanita yang mengamuk. Melihat bahwa mereka tidak berdaya dan akhirnya tentu akan tertangkap oleh para penjahat itu, Liu Hong menjadi putus asa. Kalau sampai tertangkap para penjahat itu, ia tentu akan mengalami bencana yang lebih mengerikan dari pada maut. la menjadi nekat dan menggorokkan golok di tangan kanannya ke lehernya sendiri. Robohlah Liu Hong di atas mayat suaminya, mandi darah.

   Melihat ini, Su Leng Ci terbelalak, akan tetapi iapun mengerti mengapa Liu Hong melakukan perbuatan nekat itu. la menjadi semakin ke takutan dan tahu nasib apa yang akan dideritanya kalau ia terjatuh ke tangan para penjahat itu. Maka, tanpa pikir panjang lagi, melupakan anaknya dalam keadaan tersudut, Su Leng Ci lalu menggerakkan goloknya, menggorok leher sendiri dan ketika terhuyung, ia menghampiri mayat suaminya dan roboh di atas mayat suaminya. Para penjahat itu terkejut bukan main Mereka itu sama sekali tidak menyangka bahwa dua orang wanita itu akan berbuat sedemikian nekatnya membunuh diri. Si kumis panjang dan si muka hitam menjadi terkejut dan menyesal sekali. Mereka telah kehilang an dua orang wanita cantik yang membuatnya tergila-gila dan yang tadinya sudah mereka tentukan akan menjadi isteri-isteri mereka. Pada saat itu terdengar suara berat dan parau,

   "Kalian manusia-manusia iblis yang jahat!"

   Semua penjahat yang jumlahnya tinggal lima orang itu karena yang dua orang belum mampu bangun setelah kepala mereka dihantam tongkat oleh Tan Hok dan Wong Cin tadi, membalikkan tubuh dan melihat seorang laki-laki setengah tua berdiri di depan mereka. Laki-laki itu bukan lain adalah A-ming, tukang perahu yang kemarin terpisah dari dua keluarga itu ketika perahunya pecah.

   Dia terapung-apung di atas laut, dipermainkan ombak sampai semalam suntuk. Baru pagi ini papan yang dijadikan pegangan itu dapat dia bawa ke tepi dan dia dapat mendarat dalam keadaan selamat. Dia menemukan bekas perapian yang dIbuat para penjahat, juga menemukan sisa makanan mereka berupa roti kering. Karena perutnya terasa lapar sekali A-ming lalu makan roti kering yang cukup banyak baginya itu sehingga tenaganya pulih kembali. Mulailah ia menyusuri pantai untuk mencari kalau-kalau dua keluarga itu ada yang terdampar dan selamat. Tiba-tiba dia mendengar suara tangis dua orang anak itu dan dia lalu berlari cepat menuju ke arah suara itu. Di tepi pantai itu dia melihat pemandangan yang xmembuat dia marah bukan main. Tan Hok dan Wong Cin beserta isteri-isteri mereka telah roboh mandi darah dan dua orang anak kecil itu menangis ketakutan di atas pasir!

   Dan di situ terdapat tujuh orang penjahat, dua di antaranya duduk memegangi kepala mereka yang berdarah. Sekali pandang saja tahulah dia bahwa dua pasang suami isteri itu telah dIbunuh para penjahat ini dan dua orang anak kecil itupun terancam keselamatannya. Hal ini membuat dia marah sekali. Bangkitlah watak kependekarannya yang dimiliki ketika dia masih muda dahulu. Bekas Guru silat ini melirik ke arah dua batang golok yang menggeletak di dekat mayat dua pasang suami isteri itu. Tanpa mengeluarkan suara, tiba-tiba saja dia merebahkan dirinya ke atas pasir lalu bergulingan mendekati mayat-mayat itu. Sebelum para penjahat itu hilang kagetnya dan menyadari apa yang akan dilakukannya, A-ming telah melompat bangun lagi dan kini kedua tangannya memegang sepasang golok yang masih berlumuran darah Liu Hong dan Su Leng Ci.

   "Majulah kalian! Aku akan membasmi kalian jahanam-jahanam busuk!"

   Teriak A-ming dengan mata mencorong penuh kemarahan. Lima orang penjahat itu adalah orang orang kasar yang sudah terbiasa mempergunakan kekuatannya dan sudah terbiasa dalam perkelahian maka mereka tentu saja tidak menjadi takut.

   "Bunuh!"

   Si Kumis panjang membentak.

   "Nanti dulu! Sebelum aku membunuh kalian, katakan dulu siapa kalian yang begini kejam telah membunuhi orang-orang yang tidak berdosa!"

   Bentak A-ming sambil melintangkan sepasang goloknya.

   Si kumis panjang dan si muka hitam tertawa bergelak. Mereka berdua adalah kepala-kepala bajak dan perampok yang amat terkenal dan mereka merasa bangga memperkenalkan julukan mereka.

   "Buka telingamu lebar-lebar"

   Bentak Si kumis melintang.

   "Aku dan adikku ini dikenal di dunia kang-ouw sebagai Hai-Coa-Ong Raja Ular Laut). Aku disebut Toa-Ong (Raja Besar) dan adikku ini disebut Siauw-Ong (Raja Kecil). Nah, engkau boleh mampus dengan mata terpejam setelah mendengar siapa yang akan membunuhmu!"

   Si kumis melintang memperkenalkan diri dan si muka hitam. A-ming memandang kepada dua orang itu dengan alis berkerut.

   "Hari ini Raja Ular Laut akan menjadi ular mampus!"

   Teriak A-ming dan dia lalu menerjang maju sambil mengayun kedua batang, goloknya. Lima orang itu menyambut serangannya dan terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian. Akan tetapi ternyata permainan sepasang golok dari A-ming cukup hebat. Biarpun sudah lama dia tidak pernah bersilat, akan tetapi karena dasarnya memang kuat, maka kini dia dapat memainkan sepasang goloknya demikian hebat sehingga lima orang pengeroyoknya itu tidak mampu mendekatinya! Bahkan dua orang pengeroyok telah terserernpet golok dipundaknya sehingga terluka dan berdarah Melihat ini, si kumis panjang tiba-tiba berseru dengan nyaring.

   "Tangkap dan bunuh dua orang anak itu!"

   Mendengar perintah ini, A-ming terkejut sekali dan cepat dia melompat ke dekat dua orang anak itu untuk melindungi mereka. Akan tetapi ternyata teriakan yang merupakan perintah dari Siauw-Ong (Raja Besar) yang berkumis panjang itu hanya merupakan pancingan belaka. Setelah A-ming melompat ke dekat kedua anak itu untuk melindungi, si tinggi besar memimpin anak buahnya untuk melarikan diri dari situ sambil memapah dua orang kawan mereka yang terluka, kepalanya oleh tongkat Tan Hok dan

   Wong Cin tadi. Melihat ini, biarpun hatinya merasa kecewa, A-ming tidak berani melakukan pengejaran. Kalau dia mengejar, siapa yang akan melindungi dua orang anak kecil yang menangis ini? A-ming menyelipkan dua batang golok itu di pinggangnya, lalu dia berjongkok dan mengelus kepala dua orang anak kecil itu.

   "Anak-anak yang baik, diamlah jangan menangis. Jangan takut, aku akan melindungi kalian dengan taruhan nyawaku."

   Karena dielus dan dirangkul, kedua orang anak kecil itu menghentikan tangis mereka. Mereka masih terlalu kecil sehingga tidak tahu betapa Ayah Bunda mereka dib?nuh orang di depan mata mereka! A-ming lalu pergi menghampiri perahu berlayar hitam yang berada di tepi laut dan dari dalam perahu itu dia mendapatkan sebungkus roti kering. Dia mengambil beberapa potong dan diberikannya kepada dua orang anak kecil itu. Tan Song Bu yang lebih tua beberapa bulan dari Wong Sin Cu, menerima roti kering dan segera memakannya karena dia memang lapar sekali. Akan tetapi Wong Sin Cu menerima roti kering itu dan tidak segera memakannya. Dia menoleh dan memandang ke arah tubuh Ayah dan Ibunya.

   "Ibuuu...! Ayaaahh...!!"

   Dia memanggil dan suaranya mengandung tangis. A-ming merangkulnya. Dari sikap kedua orang anak ini saja tahulah dia bahwa Tan Song Bu adalah seorang anak yang tabah dan mungkin berwatak keras, sedangkan Wong Cin Su lebih peka dan perasa dan mungkin berwatak lembut.

   "Sudah, diamlah, Sin Cu anak baik. Makanlah roti itu agar perutmu tidak lapar."

   "Akan tetapi, Ayah dan Ibu..."

   Tanya Sin Cu dengan suara masih agak cadel.

   "Mereka... mereka telah pergi jauh..."

   "Tapi, itu mereka"

   Bantah Sin?u sambil menuding ke arah Ayah dan Ibunya.

   "Kenapa mereka?"

   A-ming menjadi serba salah. Anak sekecil ini mana mengerti tentang kematian?

   "Mereka sedang tidur. Sudahlah, makan rotimu dan jangan banyak bertanya,"

   Katanya. Setelah kedua 'orang anak itu makan, dia memberi minum dari tempat minum air tawar yang terdapat dalam perahu yang ditinggalkan para penjahat tadi. Kemudian dia menyuruh kedua anak itu duduk di dalam bilik perahu dan berpesan.

   "Aku mau bekerja di pantai. Kalian harus duduk menunggu di sini dan jangan keluar dari perahu. Kalian bisa terjatuh ke dalam air laut kalau kalian keluar. Ingat pesanku, jangan keluar dari sini dan tunggu aku. Setelah selesai bekerja di pantai, aku tentu akan datang ke sini."

   Dia tidak dapat bercerita panjang dan hanya menekankan agar anak itu mengerti bahwa mereka harus menunggu dalam bilik perahu dan tidak boleh keluar dari situ.

   Setelah kedua orang anak itu mengangguk-angguk secara meyakinkan, A-ming lalu keluar dari perahu. Menuju ke darat dan mulailah dia menggali lubang, agak jauh dari pantai agar kuburan yang dIbuatnya itu tidak akan terendam air laut kalau sedang pasang. Dengan menggunakan golok tadi, dia menggali dua buah lubang yang cukup besar, kemudian dengan hati-hati, penuh khidmat dan keharuan, dia lalu menguburkan dua pasang jenazah suami isteri itu. Masing masing pasangan suami isteri dia jadikan satu kuburan; dimasukkan dalam satu lubang dan ditimbuni tanah yang mengandung pasir. Setelah selesai, dia menggunakan dua buah batu karang untuk diletakkan di depan dua makam itu, masing-masing sebuah batu besar dan dengan sebatang golok, diukirnya beberapa buah huruf di atas batu besar yang menjadi batu nisan itu, dengan ukiran yang kasar namun huruf-huruf itu dapat dibaca dengan jelas.

   Batu nisan di depan kuburan Tan Hok diberi ukiran MAKAM TAN HOK DAN ISTERI, dan di batu nisan di depan kuburan Wong Cin diberi ukiran MAKAM WONG CIN DAN ISTERI. Setelah selesai, dia memberi hormat kepada kedua kuburan itu lalu dia pergi ke perahu. Dua orang anak itu masih berada di dalam bilik perahu dan keduanya tertidur nyenyak. Jiwa kanak-kanak itu masih bersih, belum ternoda tebal oleh hati akal pikiran yang bergelimang nafsu. Oleh karena itu, jiwa mereka belum dapat terusik oleh duka nestapa. Setelah semakin besar nanti, mulailah hati akal pikiran bekerja sepenuhnya dan masuklah nafsu menguasai hati akal pikiran sehingga sinar jiwanya tertutup oleh kotoran nafsu. Setelah demikian, maka manusia menjadi permainan nafsu, diayun gelombang suka duka sepanjang hidupnya, tidak lagi mengenal apa itu yang disebut kebahagiaan.

   Nafsu, akal pikiran manusia mendorongnya untuk selalu mengejar kesenangan atau yang dianggap akan mendatangkan kesenangan. Dan dalam pengejaran inilah dia lebih banyak bertemu dengan duka dari pada suka, lebih banyak bertemu dengan kekecewaan dari pada kepuasan, lebih banyak mendapatkan kekurangan dari pada kecukupan. Kebahagiaan bukanlah kesenangan. Kebahagiaan tidak dapat diperoleh melalui pengejaran. Kebahagiaan adalah... (maaf ketikan kurang jelas-Yons) dan senantiasa ada pada diri setiap orang manusia. Masalahnya adalah si orang dapat merasakannya ataukah tidak! Pengejaran kesenangan membuat kebahagiaan yang demkian dekat menjadi jauh, karena dengan pengejaran kesenangan manusia terlibat dalam ayunan susah senang karena kesusahan itu pada hakekatnya adalah permukaan yang lain dari mata uang yang sama atau kebalikan dari kesenangan.

   Mengejar kesenangan, tidak dapat tiada orang akan bertemu juga dengan kesusahan karena yang satu tidak akan ada tanpa yang lain. A-ming memandangi dua orang anak itu dan menghela napas panjang. Alangkah menyedihkan nasib kedua orang anak kecil ini. Anak yang kebetulan sekali bertemu dengan dia, dan kebetulan sekali pula dia yang membuat rajah gambar naga di dada kedua orang anak itu. Dan sekarang, kedua orang anak itu telah kehilangan orang tua masing-masing. Ayah Ibu mereka terbunuh di depan mata mereka! Walaupun dalam usia sekecil itu mereka belurn mengerti benar apa yang telah terjadi rnenimpa orang tua mereka, namun, setidaknya penglihatan itu tentu akan menggores dalam-dalam dibatin mereka.

   Dua orang anak sekecil itu telah kehilangan Ayah Bundanya dan sekarang sepenuhnya berada di tangannya. Nasib mereka seolah telah ditaruh ke dalam telapak tangannya dan mau tidak mau dia harus menGurus mereka! A-ming membiarkan dua orang anak itu tidur. Dia mulai memeriksa keadaan dalam perahu yang ditinggalkan para penjahat itu. Sebuah perahu yang lumayan besarnya dan di situ terdapat persediaan roti kering yang kiranya cukup untuk mencegah kelaparan selama beberapa hari. Juga ada persediaan air tawar yang cukup banyak. Layar hitam tergulung dan terdapat pula beberapa buah dayung. Bahkan di ujung perahu itu terdapat sebuah perahu kecil, sebuah perahu yang biasanya dipakai dua orang. Ketika tadi dia terdampar dan berusaha mencari kedua keluarga itu, dia melihat bahwa bukit itu gersang.

   Sebuah Pulau yang kosong dan tidak subur seperti itu pasti tidak ada penghuninya. Siapa mau tinggal di sebuah Pulau yang tanahnya gersang? Dan di satu bagian yang terdapat pohon-pohon pantai, dia melihat banyak sekali ular besar kecil. Mengerikan sekali. Sebuah Pulau penuh ular dan tidak ada penghuninya. A-ming mulai melepaskan tali perahu itu, menggulungnya dan menaruh ke dalam perahu. Kemudian dia mendorong perahu ketengah. Dia harus meninggalkan Pulau ular ini. Harus berusaha untuk kembali ke daratan besar, walaupun daratan itu tidak tampak dari situ. Akan tetapi sebagai seorang pelaut yang berpengalaman, dia tahu ke mana dia harus membawa perahunya kalau ingin mencapai daratan besar. Tentu saja ke arah barat. Ini adalah Lautan Timur, dan tentu saja daratan sebelah barat.

   Setelah perahu itu terapung di bagian yang lebih dalam, dia lalu naik ke dalam perahu, mendayungnya ke tengah kemudian mengembangkan layarnya yang hitam. Angin lembut bertiup dan Jayar mengembang, mendorong perahu melaju menuju arah barat. Air laut tenang dan lembut. tidak ada bekas-bekasnya lagi badai yang mengamuk dahsyat pada hari kemarin itu. Setelah perahu meluncur cepat beberapa lamanya, A-ming yang memegang kemudi dan selalu memandang ke depan, ke arah barat, tiba-tiba berseri wajahnya. Dia melihat baang-bayang daratan di sana! Bayangan hitam memanjang. Bagus, pikirnya. Dia akan segera mendarat dan kalau sudah berada didaratan besar sana, baru akan dia carikan jalan keluar akan masalah yang dia hadapi ini, yaitu merawat dan memelihara dua orang anak kecil!

   Dia akan mencari keluarga-keluarga baik-baik yang kiranya akan suka dan mampu menerima anak-anak itu sebagai anak angkat mereka. Dia tidak berani membawa anak-anak itu ke Kotaraja dari mana mereka berasal. Dia tidak berani mencari keluarga orang tua anak-anak ini. Bukankah orang tua mereka telah menjadi buronan? Kalau pihak musuh keluarga itu mengetahui bahwa dua orang anak itu adalah putera keluarga Tan Hok dan Wong Cin, tentu kedua anak itu akan menghadapi ancaman pula. Bayangan hitam itu semakin lama menjadi semakin jelas. Sebentar lagi dia akan mencapai daratan itu. Terdengar suara dan ketika dia memandang ke arah bilik, Song Bu dan Sin Cu berjalan keluar dari bilik sambil menggosok-gosok kedua mata mereka, Ketika mereka berdua melihat A-ming yang duduk di buritan, tertatih-tatih mereka menghampiri.

   "Kakek, aku haus!"

   Kata Song Bu.

   "Aku juga,"

   Kata pula Sin Cu. A-ming meraih sebuah guci kecil yang sudah diisi air tawar.

   "Ke sinilah. ini air untuk kalian minum,"

   Katanya sambil tersenyum. Kedua orang anak itu menghampiri dan A-ming memberi mereka minum langsung dari mulut guci ke mulut mereka yang kecil. Setelah minum, kedua orang anak itu duduk di depan A-ming.

   "Kakek, aku ingin ikut Ayah dan Ibu!"

   Berkata pula Song Bu.

   "Aku ingin ikut mereka,"

   Kata Sin Cu.

   "Di mana Ayah dan Ibuku?"

   "Ayah Ibu kalian sudah pergi kesana lebih dulu,"

   Kata A-ming sambil menunjuk kedepan, ke arah daratan.

   "Kalian jangan rewel dan aku akan membawa kalian menyusul Ayah Ibu kalian."

   Akan tetapi tiba-tiba A-ming mengerutkan alisnya dan memandang ke depan dengan sinar mata penuh keraguan dan kekhawatiran. Ada sebuah perahu layar besar datang dari depan. Tentu saja dia akan merasa girang sekali kalau saja perahu itu merupakan perahu yang ditumpangi penduduk pantai biasa, atau perahu pedagang. Akan tetapi yang mencemaskan hatinya adalah melihat perahu itu bercat hitam dan juga berlayar hitam seperti perahu yang dikemudikannya! Dan biasanya, perahu yang serba hitam seperti itu adalah perahu bajak laut! Setelah perahu besar itu agak dekat dan d?a dapat melihat wajah orang-orang yang berada di perahu, jantungnya berdebar keras penuh ketegangan.

   Dia mengenal Siauw-Ong dan Siauw-Ong berada diantara belasan orang yang sedang berdiri di perahu hitam itu! Dan agaknya kedua orang itu kini sudah yakin bahwa dia berada di perahu itu bersama dua orang anak kecil yang duduk di depannya karena terdengar dua orang itu mengeluarkan bentakan-bentakan dan belasan orang di atas perahu itu mulai bergerak. Tiba-tiba dari perahu besar itu meluncur banyak anak panah menuju ke perahunya, A-ming terkejut. Mereka menyerarng dengan, anak panah! Sungguh membahayakan keselamatan dua orang anak itu. Dia menyambar dua orang anak itu dengan kedua tangannya dan membawanya lari ke dalam bilik untuk berlindung dari hujan anak panah. Dia sama sekali tidak berdaya untuk membalas serangan mereka. Tiba-tiba terdengar orang-orang bersorak dari perahu besar itu dan dengan kaget A-ming melihat kobaran api pada layar perahunya.

   "Celaka, mereka menggunakan anak panah berapi!"

   Serunya sambil mengutuk Dia harus bertindak cepat. Kalau perahunya terbakar, dia dan dua orang anak itu akan celaka. Dia teringat akan perahu kecil yang berada di luar bilik. Pikirannya berjalan cepat dan dia sudah mengambil keputusan kilat. Cepat dia menyelinap keluar dari bilik, melepaskan ikatan perahu kecil itu. Kemudian dia memondong dua orang anak kecil, menyelinap ke belakang perahu, menurunkan perahu kecil dan memasukkan dua orang anak itu ke dalam perahu kecil. Kemudian didorongnya perahu kecil itu menjauhi perahunya. Perahu terbawa ombak, menjauh dari perahu yang mulai terbakar tihang layarnya itu. Sejenak ia memandang ke arah perahu kecil yang semakin menjauh dan hatinya merasa iba sekali kepada dua orang anak itu.

   "Semoga Thian melindungi kalian!"

   Katanya dan hatinya seperti ditusuk rasanya ketika mendengar dua orang anak itu mulai menangis dan memanggil-manggil Ayah Ibu mereka. Dia lalu melompat keluar dari balik bilik sambil membawa sebatang dayung. Begitu dia muncul, belasan batang anak panah menyambar ke arah dirinya. Akan tetapi dia memutar dayungnya dan belasan batang anak panah itu runtuh.

   "Jahanam busuk kalian! Hayo kalau memang kalian berani, naiklah ke perahu ini dan kita bertanding sampai serIbu jurus!"

   Tantangnya dengan marah sekali. Akan tetapi, jawaban yang didapat hanya anak-panah yang menyambar-nyambar dan di antaranya terdapat anak panah yang membawa api. Kebakaran terjadi di mana-mana dalam perahu itu dan akhirnya A-ming dikepung api. Tidak mungkin dapat dia pertahankan lagi atas perahu itu dan terpaksa dia lalu melompat keluar.

   "Byuurrr..."

   Air laut terpercik keatas ketika tubuhnya menimpa permukaan air. Para penjahat itu segera menghujankan anak panah ke arah dia. A-ming maklum akan bahaya, apa lagi ketika sebatang anak

   
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
panah mengenai pundak kirinya. Dia menahan rasa nyeri. dan menyelam, lalu meluncur di dalam air menjauhi perahu para penjahat. Siauw-Ong dan Siauw-Ong yang melihat betapa A-ming telah terkena anak panah lalu tenggelam, tertawa puas. Mereka telah dapat membalas kekalahan mereka terhadap bekas Guru silat itu. Melihat perahu mereka yang tadi dipakai A-ming telah terbakar habis, Siauw-Ong dan Siauw-Ong memerintahkan kawan-kawannya untuk memutar perahu dan kembali menuju ke daratan. Kemujijatan adalah suatu peristiwa yang terjadi di luar perhitungan dan akal manusia.

   Suatu kejadian aneh yang rasanya tidak masuk akal. Suatu senTuhan Kekuasaan Tuhan yang membuka mata kita bahwa ada Kekuasaan yang luar biasa, yang bekerja di luar jangKau an pengertian kita. Kemujijatan bukan hanya terjadi di jaman dahulu. Di jaman sekarang sekalipun, sampai hari ini, kemujijatan terjadi di mana-mana, setiap waktu. Setiap kali terjadi malapetaka, selalu saja terjadi kemujijatan yang berada di luar jangKau an penalaran kita. Misalnya terjadi bencana kecelakaan hebat di mana puluhan orang tewas, akan tetapi entah mengapa dan bagaimana, seorang bayi lolos dari maut yang telah menewaskan demikian banyak orang dewasa. Bayi yang tidak berdaya itu bahkan lolos dari maut. Banyak lagi terjadi hal-hal yang aneh di mana Kekuasaan Tuhan bekerja dengan luar biasa dan di luar perhitungan akal manusia.

   Nasib Tan Song Bu dan Wong Sin Cu agaknya sudah dapat ditentukan. Kedua orang anak kecil itu hampir dapat dipastikan akan menemui ajalnya karena mereka tidak berdaya terapung-apung di atas lautan, disebuah perahu kecil. Apa dayanya anak-anak berusia tiga tahun dalam keadaan seperti itu? Mereka berdua hanya dapat menangis dan menangis lagi, memanggil-manggil Ayah Ibunya sampai suara mereka serak Air mata mereka telah terkuras habis dan tidak ada air mata lagi yang keluar dari pelupuk mata mereka. Hanya tangis mereka yang masih terdengar, itupun semakin melemah. Perahu kecil itu terombang-ambing dan tidak terkemudikan, menurut saja kemana Tangan Ajaib yang tidak tampak membawanya. Matahari telah naik tinggi. Masih untung bagi kedua orang anak kecil itu bahwa keadaan laut tetap tenang.

   Kalau sekiranya terdapat ombak yang lebih besar sedikit saja, perahu itu tentu akan terhempas dan terguling dan dua orang anak itu tentu tidak akan dapat lolos'dari kematian yang mengerikan. Tenggelam ke dalam lautan atau menjadi mangsa ikan-ikan besar! Tiba-tiba tampak sebuah titik hitam melayang-layang di angkasa. Titik hitam itu melayang semakin rendah sehingga tampak bahwa benda itu adalah seekor burung Rajawali hitam yang besar sekali! Sepasang sayap yang terkembang itu dari ujung ke ujung tidak kurang dari dua meter panjangnya. Sepasang matanya yang tajam itu agaknya dapat melihat calon mangsanya yang berada dalam perahu kecil itu. Anak-anak kecil yang bergerak-gerak sambil menangis di dalam perahu kecil merupakan mangsa empuk bagi Rajawali itu. Tidak ada bahaya mengancam di sekeliling tempat itu.

   Yang ada hanya air dan air, tidak tampak ada perahu lain, tidak ada manusia dewasa yang menjadi musuh utamanya yang paling berbahaya. Setelah merasa bahwa di sekitarnya aman, burung Rajawali hitam itu lalu menukik ke bawah, Tubuhnya meluncur bagaikan anak panah cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Song Sin Cu yang lebih dulu melihat burung itu. Anak ini bangkit berdiri, tertarik, akan tetapi pada saat itu, burung Rajawali hitam menyambar dan menggunakan kedua kaKinya yang berkuku runcing melengkung itu untuk mencengkeram tubuh Sin Cu dan memawanya terbang ke atas dengan cepat sekali. Sin Cu merasa kesakitan dan ketakutan, dia menjerit-jerit, akan tetapi jeritnya itu tidak dapat terdengar lagi karena burung Rajawali itu membawanya terbang tinggi lalu meluncur ke arah daratan!

   Tan Song Bu yang tidak mengerti apa yang telah terjadi dengan Sin Cu, terbelalak bingung dan melihat Sin Cu lenyap dan dia berada seorang diri saja dalam perahu itu diapun menjerit dan menangis. Akan tetap lautan tidak mengacuhkan jerit tangisnya terus saja membawa perahu itu terombang ambing, bergerak maju tanpa arah tertentu. Wong Sin Cu yang dicengkeram burung Rajawali hitam dan dibawa terbang tinggi itu, tidak dapat bertahan lama. Pundak dan pinggulnya yang dicengkeram kuku-kuk yang runcing melengkung itu, terasa nyeri sekali dan juga rasa takut tak dapat ditahannya lagi sehingga dia segera pingsan dalam cengkeraman burung Rajawali hitam itu. burung itu terus membawanya terbang menuju ke sebuah bukit yang menjadi tebing tepi laut yang amat curam. Di puncak tebing itu, di antara batu-batu karang, terdapat sarang Rajawali itu.

   Di mana dua ekor anaknya yang lapar telah menanti induk mereka datang membawa makanan lezat. Ketika burung Rajawali itu membawa terbang Sin Cu dan tiba di atas tebing, mendadak Sin Cu siuman dari pingsannya. Melihat dirinya melayang-layang di atas tebing, anak itu menjerit-jerit ketakutan. Jeritnya nelengking nyaring. Kebetulan sekali pada saat itu terdapat seorang manusia berada di atas tebing itu. Dia seorang pria yang usianya sekitar lima puluh tahun, pakaiannya sederhana sekali, hanya kain kuning yang dilibat-libatkan di tubuhnya seperti pakaian Pendeta atau pertapa, kakinya memakai sepatu kulit yang sederhana pula. Rambutnya yang panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan kain putih. Tubuhnya seang saja. Wajahnya menunjukkan bahwa di waktu mudanya dia adalah seorang pria yang tampan dan wajah itu diliputi keteangan dan kedamaian,

   Mulutnya selalu tersungging senyuman dan sepasang matanya yang mencorong itupun mengeluarkan sinar lembut dan sabar. Melihat penampilannya, orang akan menduga bahwa dia tentu seong Tosu (Pendeta To) perantau yang berpindah-pindah tempat pertapaannya. da Kekuasaan yang tidak tampak membuat Sin Cu siuman di saat itu dan menjerit dengan lengkingan nyaring sehingga terdengar oleh Tosu yang sedang berada di atas tebing. Kita akan menganggap semua itu sebagai suatu hal yang kebetulan saja. Justeru "Kebetulan"

   Itulah mujijat yang telah "diatur"

   Oleh Kekuasaan Tuhan. Mendengar jerit tangis itu, Tosu tadi menengadah dan sepasang matanya terbelalak ketika dia melihat seekor burung Rajawali hitam terbang di atas tebing dan kedua kaki burung raksasa itu mencengkeram seorang anak kecil.

   "Siancai (damai)...!"

   Dia berseru dan tubuhnya bergerak cepat sekali, mendaki tebing yang amat curam itu dengan gerakan yang amat cekatan, tiada ubahnya seperti seekor monyet.

   Sin Cu sudah pingsan lagi ketika Rajawati Hitam itu melayang turun dan hinggap di sarangnya yang besar, yang berada di puncak tebing. Kedua anaknya mengeluarkan bunyi cecowetan menyambut kedatangan sang induk dengan girang karena induk mereka membawa makanan yang lezat. Pada saat Rajawali hitam itu siap untuk mencabik-cabik tubuh Sin Cu dengan paruhnya yang kuat dan kedua cakar kakinya yang runcing, tiba-tiba terdengar suara bentakan melengking nyaring yang menggetarkan seluruh puncak tebing itu! Rajawali itu terkejut sekali sehingga ia menGurungkan niatnya untuk mencabik-cabik tubuh Sin Cu, lalu memutar lehernya menoleh dan memandang ke arah Tosu yang telah muncul di dekat puncak dengan marah.

   "Maaf, sobat Rajawali, kalau aku mengganggumu. Akan tetapi engkau tidak boleh makan manusia kecil itu. Carilah mangsa yang lain!"

   Kata Tosu itu dan dia mendorongkan tangan kanannya ke arah sang Rajawali. Angin yang amat kuat bertiup menyambar ke arah burung Rajawali itu sehingga tubuh burung itu terdorong dengan kuatnya. Burung itu mengembangkan sayapnya lalu terbang untuk mernatahkan tenaga dorongan yang amat kuat. la menjadi marah karena mengira bahwa orang yang datang itu hendak merampas makanannya yang ia bawa untuk kedua anaknya. la menukik dan membalik lalu menyerang Tosu itu dengan paruh dan kedua kakinya.

   "Maaf, sekali ini engkau harus mengalah!"

   Tosu itu berkata lagi dan menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kanannya, kini dorongannya begitu kuatnya sehingga angin menyambar dahsyat memapaki terjangan burung Rajawali hitam.

   "Wuuut... bress...!!"

   Tubuh burung Rajawali itu terpental sampai jauh dan ia mengeluarkan pekik lalu terbang mengitari sarangnya seolah hendak melindungi kedua anaknya, akan tetapi jerih menghadapi Tosu ya memiliki pukulan jarak jauh yang ampuh itu,

   "Jangan khawatir, sobat Rajawali, aku tidak akan mengganggu anak-anakmu!"

   Kata Tosu itu. Dia lalu memanjat batu mendekati sarang dan mengambil tubuh Sin Cu yang masih tergeletak pingsan di sarang itu. Dibawanya turun tubuh itu dan dibawanya masuk ke dalam sebuah guha kecil di sebelah bawah sarang Rajawali. Dari situ dia dapat melihat sarang itu dengan jelas. Akan tetapi dia tidak lagi memperhatikan burung Rajawali dan kedua anaknya karena dia sIbuk memeriksa keadaan Wong Sin Cu, anak berusia tiga tahun yang masih pingsan itu. Setelah memeriksa pernapasan dan denyut jantung anak itu, si Tosu lalu menotok beberapa jalan darah di punggung dan menGurut urat di leher anak itu. Sin Cu siuman dan membuka matanya. Dia segera terbelalak dan mulutnya berteriak,

   "Burung jahat"

   Tosu itu mengelus kepalanya.

   "Jangan takut, anak baik. Burung itu tidak akan mengganggumu lagi. Diamlah, Pinto akan mengobati luka-luka di pundak dan pinggulmu."

   Pundak dan pinggul Sin Cu memang luka karena tertusuk kuku Rajawali. Tosu itu membuka baju anak itu dan dia terbelalak kagum melihat rajah gambar naga di dada anak itu. Rajah gambar naga putih yang indah sekali dan seperti hidup ketika dada nak itu kembang kempis bernapas.

   "Naga.?"

   Dia bergumam. Akan tetapi dia segera dapat mengatasi kekaguman dan keheranannya melihat dada seorang anak kecil dirajah gambar naga. Dia menngeluarkan buntalan yang digendong di punggungnya dan membuka buntalan kain kuning dan mengeluarkan roti kering, sayur kering dan obat bubuk berwarna putih. Dia menaburkan obat bubuk itu ke atas luka di pundak dan pinggul Sin Cu.

   "Bagaimana rasanya, anak yang baik?"

   "Rasanya dingin, Kek. Engkau siapakah kek? Dan di mana Ayah Ibuku?"

   Tanya wong Sin Cu. Tentu saja Tosu itu menjadi bingung mendengar pertanyaan ini.

   "Namaku Bu Beng Siauwjin, akan tetapi Kau sebut saja Suhu (Guru). Dan siapakah namamu, Anak sekecil Wong Sin Cu tentu saja tidak mempanyai kesan apapun akan nama itu. Akan tetapi kalau orang dewasa mendengarnya, tentu akan merasa terheran-heran. Tosu itu memperkenalkan namanya sebagai Bu-beng Siauwjin (Orang rendah Tanpa Nama): Mana ada orang yang menyebut diri sendiri Siauwjin (orang rendah) Biasanya, sebutan ini ditujukan kepada seorang yang rendah atau hina, bahkan digunakan sebagai makian kepada orang jahat dan tersesat. Akan tetapi Tosu itu mempergunakan sebutan yang buruk itu sebagai nama julukannya! Melihat anak itu sudah hilang rasa takutnya, Bu Beng Siauwjin lalu memberikan sepotong roti kering dan sepotong sayur kering kepada Sin Cu. Anak itu menerima makanan ini dan sambil makan roti dan sayur kering, dia menjawab,

   "Namaku Sin Cu."

   "Engkau she (marga) apa?"

   Tanya Bu Beng Siauwjin. Sin Cu memandang dengan tidak mengerti.

   "Apa itu marga? Aku tidak tahu, Kong-kong (Kakek)."

   "Jangan sebut Kong-kong kepadaku, akan tetapi sebut saja Suhu. Engkau pantas menjadi muridku, Sin Cu, anak baik."

   Karena sikap Bu Beng Siauwjin yang ramah dan lembut, Sin Cu sudah hilang rasa takut dan canggungnya.

   "Di mana Ayah dan Ibuku, Suhu?"

   Tentu saja Tosu itu tidak tahu ke mana perginya Ayah dan Ibu anak ini. Dia bingung bagaimana harus menjawab. Akan tetapi untuk tidak membuat anak itu susah atau bingung, dia berkata,

   "Ayah dan Ibumu sedang pergi. Nanti kita cari mereka, ya?"

   Sin Cu mengangguk. Agaknya anak itu terkenang akan saat-saat yang mengerikan, maka katanya,

   "Suhu, aku takut pada laut! Bu Beng Siauwjin semakin terheran. Takut kepada laut? Akan tetapi dia yang tidak mengerti apa yang tersembunyi di balik pernyataan anak ini, tidak ingin membantah karena kalau dibantah tentu hanya akan membuat anak itu menjadi bingung.

   "Jangan takut, Sin Cu. Di sini tidak ada laut yang perlu ditakuti."

   "Aku juga takut kepada orang-orang jahat itu, Suhu."

   Laut? Orang jahat? Anak ini tentu telah mengalami hal-hal yang hebat, pikir Bu Beng Siauw-jn. Tidak ada orang jahat di sini, Sin Cu. Kalau ada orang jahat, Pinto yang akan melindungimu dan mengusir orang-orang jahat itu.

   "Aku takut kepada burung jahat itu, Suhu."

   "Burung itu tidak jahat, Sin Cu. ia tidak tahu bahwa engkau bukanlah makanan untuk anak-anaknya. Lihat, ia kini telah mendapat mangsa lain."

   Tosu itu menuding ke arah sarang burung Rajawali. Sin Cu mengangkat mukanya memandang dan matanya yang kecil itu menunjukkan sikap ngeri melihat betapa Rajawali hitam tadi kini mencengkeram seekor kelEnci. KelEnci itu diturunkan di atas sarang dan kini paruh dan cakar Rajawali hitam mulai mencabik-cabik kelinci itu.

   "Burung jahat...!"

   Sin Cu berseru dan menutupi mukanya dengan tangan. Hati anak kecil yang peka itu tidak tahan melihat kelEnci itu berkelojotan ketika kulit dagingnya dicabik-cabik dan berdarah-darah. Bu Beng Siauwjin menghela napas panjang dan berkata lirih, lebih kepada diri sendiri untuk menenteramkan hatinya yang juga terasa ngeri menyaksikan pemandangan itu, dari pada bicara kepada Sin Cu.

   "Sama sekali tidak jahat. Kelinci itu memang mangsanya, makanannya. Kalau ia pulang ke sarangnya tanpa membawa mangsa, anak-anaknya akan mati kelaparan.la menangkap mangsa dan memakannya karena memang itu makanannya, penyambung hidupnya. la tidak dapat makan buah-buahan atau daun-daunan seperti kera atau kerbau. la memang diciptakan dalam keadaan seperti itu. Tidak, Rajawali, Harimau, Srigala, Burung pemakan bangkai dan segala binatang pemakan daging mentah, sama sekali tidak kejam atau jahat. Keadaannya sejak lahir memang mengharuskan ia makan mangsa seperti itu, kalau tidak mereka akan mati kelaparan. Mereka tidak sejahat manusia yang makan segala macam bukan karena tuntutan perut melainkan tuntutan mulut yang penuh nafsu ingin makan enak."

   Tentu saja Sin Cu tidak mengerti akan semua kata-kata itu, bahkan tidak memperhatikan, akan tetapi anak itu lalu bangkit dan mengambil beberapa buah batu. Dia melemparkan batu-batu itu ke arah sarang burung dan tiada hentinya mengatakan burung jahat! Tentu saja sambitan batu kecil itu tidak ada artinya bagi Rajawali dan anak-anaknya yang sedang makan daging kelEnci dengan lahapnya. Melihat ini, Bu Beng Siauwjin mengangguk-angguk dan wajahnya berseri gembira.

   Dia melihat bahwa Sin Cu adalah seorang anak yang peka sekali perasaannya, mudah terharu dan mudah bangkit rasa ibanya, tidak tega melihat kekejaman, akan tetapi juga berwatak gagah sehingga untuk membela kelEnci yang menjadi korban itu dia lupa akan rasa takutnya dan berani menyerang Rajawali hitam dengan sambitan batu. Bagus, anak ini memiliki dasar watak yang baik dan memang pantas menjadi muridnya pantas mewarisi ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari selama bertahun-tahun. Selain memiliki dasar watak yang baik, Sin Cu ternyata merupakan seorang anak yang tahan menderita. Dia seolah telah melupakan luka-luka di pundak dan pinggulnya, pada hal, biarpun sudah diberi obat yang manjur, tentu luka-luka itu masih terasa pedih dan kaku. Melihat anak itu tampaknya sudah kuat, Bu Beng Siauwjin lalu memegang tangan Sin Cu dan berkata,

   "Sin Cu, marilah kita pergi dari sini."

   "Ke mana, Suhu? Pergi mencari Ayah dan Ibu?"

   "Ya, benar. Kita pergi mencari Ayah dan Ibumu. Tahukah engkau, siapa nama Ayahmu?"

   Sin Cu mengangguk. Biarpun suaranya masih agak cadel, namun dia dapat menyebut nama Ayahnya dengan jelas,

   "Ayah bernama Wong Cin."

   "Di mana tinggalnya?"

   "Tinggalnya... di perahu. Ah perahu dan laut jahat, aku takut, Suhu."

   "Apa yang terjadi? Dapatkah engkau menceritakan padaku?"

   Sih Cu menggeleng kepala dan wajahnya membayangkan ketakutan sehingga Bu Beng Siauwjin tidak mendesak lagi. Dia memondong anak itu dan membawanya menuruni tebing itu.

   "Sudahlah, kalau tidak tahu juga tidak mengapa. Kita cari Ayah Ibumu."

   Bu Beng Siauwjin adalah seorang pertapa yang memiliki kesaktian tinggi. Ketika menuruni tebing, dia menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dan dia bergerak cepat bukan main, berloncatan dari batu ke batu yang runcing dan tajam, berlari cepat bagaikan terbang saja. Sin Cu seperti hilang rasa nyerinya. Anak itu tertawa-tawa senang

   "Suhu, kita terbang... Kita terbang...!"

   Katanya dengan gembira. Kita tidak terbang melainkan berlari cepat dan berlompatan, Sin Cu. Kalau tadi memang benar engkau dibawa terbang oleh burung Rajawali hitam."

   "Ihh, dibawa terbang burung jahat itu menakutkan, Suhu. Kalau terbang dengan Suhu menyenangkan,"

   Kata Sin Cu. Bu Beng Siauwjin mengajak Sin Cu berkeliling mengunjungi dusun-dusun yang berada di sekitar daerah itu. Di setiap dusun dia berhenti dan bertanya-tanya apakah ada orang yang mengenal Ayah anak itu bernama Wong Cin. Kini dia tahu bahwa nama lengkap anak itu adalah Wong Sin Cu.

   Akan tetapi sampai berhari-hari dia berkeliling dari dusun ke dusun, tidak ada orang yang mengenal Wong Sin Cu maupun mendengar tentang Ayah anak itu yang bernama Wong Cin, Tosu itu lalu teringat akan kata-kata Sin Cu yang bicara tentang perahu dan laut Tentu anak itu pernah naik perahu di laut, pikirnya. Maka dia lalu mengajak Sin Cu menuju ke timur. Laut Timur tidak jauh dari pedusunan yang dikunjunginya itu. Bahkan tempat di mana dia menemukan Sin Cu, di puncak tebing itupun merupakan tepi laut. Kini dia pergi ke tepi laut di sebelah bawah tebing. Dia menyusuri tepi laut untuk melakun penyelidikan. Akan tetapi tepi laut bagian itu sepi dari pedusuran sehingga dia tidak dapat menemukan apa-apa. Setelah jauh dari daerah itu, barulah dia menemukan, akan tetapi di sinipun tidak ada orang yang mengenal Sin Cu tidak ada orang yang pernah mendengar akan nama wong cin.

   Telah kurang lebih tiga bulan lamanya Bu Beng Siauwjin membawa Sin Cu berkeliing ke banyak kota dan dusun mencari orang tua anak itu, akan tetapi sermua usahanya sia-sia. Tidak ada orang mengenal Wong Cin. Pada suatu pagi, Kakek itu duduk di tepi pantai berpasir, memandang ke arah laut dan termenung. Sungguh suatu pertemuan yang ajaib sekali. Dia menemukan Sin Cu digondol burung Rajawali hitam, hampir saja menjadi mangsa burung itu dan anak-anaknya. Dan Sin Cu, bocah berusia tiga tahun itu mempunyai rajah gambar naga putih didadanya. Bicara tentang perahu dan lautan dan orang-orang jahat, akan tetapi tidak dapat menceritakan dengan jelas apa yang telah dia alami. Tidak diketahui asal usulnya dan mencari orang tua anak itupun sampai tiga bulan Sama sekali tidak ada hasilnya, Seolah-olah anak itu dikirim oleh para dewa ke tangannya!

   "Suhu, di mana Ayah Ibu? Kenapa kita tidak bertemu dengan Ayah dan Ibu?"

   Tiba-tiba Sin Cu yang duduk di atas pasir, di sebelah kirinya, bertanya sambil menyentuh tangan Bu Beng Siauwjin. Bu Beng Siauwjin mengelus rambut kepala Sin Cu.

   "Sin Cu, anak yang baik. Agaknya Ayah Ibumu pergi jauh sekali dan sampai sekarang belum kembali. Karena itu engkau sekarang ikut saja dengan aku sambil menanti kembalinya Ayah Ibumu. Engkau mau ikut dengan aku, bukan?"

   Sin Cu berdiri dan merangkul Bu Ben Siauwjin,

   "Aku mau, Suhu, Suhu baik."

   Bu Beng Siauwjin tertawa bergelak lalu memondong tubuh anak itu. Dia merasakan suatu perasaan gembira yang selama ini belum pernah dia rasakan.

   Sudah lebih dari dua puluh tahun dia hidup sebatang kara tanpa keluarga, merantau di seluruh negeri, tenggelam ke dalam kesunyian, dan lupa bagaimana rasanya gembira dan berduka. Akan tetapi, setelah bertemu Sin Cu ada sesuatu yang terasa olehnya, suatu yang mengusik hatinya dan mendengar Sin Cu suka ikut dengannya dan menganggapnya baik, entah mengapa dia merasa gembira bukan main. Perasaan yang sudah puluhan tahun tidak pernah dirasakannya. Sambil tertawa-tawa, Bu Beng Siauwjin yang memondong tubuh Sin Cu lalu lari dengan kecepatan luar biasa meninggalkan pantai itu, menuju ke barat. Karena dia mengerahkan ilmunya ketika berlari, maka dia seperti terbang saja. Sin Cu berteriak-teriak kegirangan ketika dibawa lari secepat terbang itu. Sebentar saja, tubuh mereka hanya tampak sebagai setitik warna kuning jubah Kakek itu dan tak lama kemudian titik itupun lenyap.

   Pantai berpasir itu ditinggalkan dalam kesunyian dan yang terdengar hanya air laut mendesis-desis seperti mendidih ketika menjilat pantai pasir. Perahu itu terapung-apung di tengah lautan, semakin menjauh dari pantai daratan, terbawa ombak. Tan Song Bu yang takut menangis menjerit-jerit melihat Sin Cu disambar dan digondol burung besar, kini rebah pingsan di atas perahu saking lelahnya. Tiba-tiba tampak dua buah sirip meluncur mendekati perahu kecil di mana Song Bu rebah pingsan itu. Sirip dua ekor ikan hiu yang besar! Moncong kedua ekor ikan hiu itu menyentuh-nyentuh perahu yang terdorong kesana sini dan menjadi bergoyang goyang.

   Kalau perahu kecil itu sampai terbalik, atau tubuh anak yang pingsan itu sampai terlontar keluar perahu, tentu tubuh anak kecil itu akan diperebutkan dua ekor ikan hiu yang buas dan agaknya kelaparan itu, akan dicabik-cabik sampai menjadi bebrapa potong! Karena berada dalam keadaan pingsan Song Bu tidak sadar walaupun tubuhnya bergulingan ke kanan-kiri dalam perahu karena perahunya terdorong kesana kemari. Bahkan ada kalanya tubuhnya menggeding ke tepi perahu dan hampir saja keluar dari perahu. Song Bu berada dalam ancaman maut yang gawat dan mengerikan sekali. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Song Bu itu, tiba-tiba datng sebuah perahu yang meluncur cepat sekali ke tempat itu. Seorang pria tinggi besar yang mendayung perahu itu melihat tubuh anak kecil yang berada di dalam perahu yang didorong-dorong oleh moncong dua ekor ikan hiu itu.

   "Ikan keparat"

   Dia mendesis marah, tagan kirinya mencabut sebatang pisau belati yang mengkilat dan sekali dia mengayunkan tangan kirinya, sinar kilat meluncur dan pisau itu dengan tepat sekali menancap tepat di tengah-tengah kepala seekor ikan hiu. Pisau itu menancap sampai ke gagangnya, padahal panjangnya tidak kurang dari dua puluhan sentimeter. Tentu saja pisau itu menembus memasuki otak ikan hiu itu yang meluncur sampai jauh lalu meronta-ronta sebenr. Tak lama kemudian tubuh ikan hiu itu terapung dengan perut di atas, mati. Ikan hiu kedua agaknya tidak menyadari akan hal ini dan masih menyundul-nyundul perahu kecil di mana Song Bu tergeletak Pria itu mendayung perahunya mendekat kemudian dia menggunakan kedua tangan mengangkat dayungnya dan sekali mengayun dayung itu, dayung menyambar kearah kepala ikan hiu ke dua.

   "Brakkk...!"

   Kepala ikan hiu itu pecah terpukul dayung yang ternyata terbuat dari pada baja itu. Ikan ini tidak sempat meronta lagi. Kepalanya pecah berantakan dan ikan itu tewas seketika! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga yang menggerakkan dayung baja itu sehingga sekali pukul saja dapat membuat kepala seekor ikan hiu besar pecah berantakan! Pria itu mendekatkan perahunya ke perahu kecil itu dengan dayungnya sehingga tidak bergerak menjauh. Alisnya yang tebal menghitam itu berkerut ketika dia melihat tubuh anak kecil yang tidak bergerak dengan wajah pucat itu. Sejenak timbul dugaan dalam hatinya apakah anak itu sudah mati. Akan tetapi pandang matanya yang tajam dapat menangkap denyut di leher anak itu, juga pernapasannya yang lemah. Pria itu tiba-tiba mengangkat dayung bajanya dan dipukulkan pada perahu kecil!

   

Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini