Sepasang Rajah Naga 8
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"Kebahagiaan memang sudah ada pada diri setiap orang manusia sejak dia dalam kandungan. Mengapa jarang ada manusia yang merasa bahagia? Hal ini karena manusia dikuasai nafsu daya rendah, hati, akal, piklrannya bergelimang nafsu dan sifat nafsu adalah mencari dan mengejar kesenangan, mengejar yang lebih dari pada apa yang ada, karena hanya manusia tidak permah merasa puas dengan keadaannya. Nafsu seperti api. Makin diberi makan menjadi semakin lapar dan murka, menuntut yang lebih. Ulah nafsu daya rendah Inilah yang mendatangkan berbagai problem dalam kehidupan. mendatangkan kekecewaan kalau keinginannya tidak terpenuhi, mendatangkan kebosanan kalau terpenuhi. membuat mereka merasa sengsara Dan adanya kesengsaraan inilah yang.Menjadi debu penutup sinar kebahagiaan dan yang merasa tidak berbahagia hidupnya! Kalau kita tidak diperhamba nafsu daya rendah,
Sehingga kita tidak selalu mengejar kesenangan, mengejar sesuatu yang tidak kita miliki, kalau nafsu menjadi peserta kita dan bukan menjadi penguasa, maka barulah kita dapat merasakan apa yang dinamakan bahagia itu. ltu adalah berkah dari Tuhan yang tiada putusnya. Segelas air merupakan berkah, mcngandung kesejukan yang nikmat Nan bermanfaat bagi kesehatan tubuh, juga dapat menghilangkan haus, bahkan merupakan kebuTuhan mutlak agar tubuh tetap hidup. Akan tetapi kalau pada waktu memegang scgelas air hati akal pikiran kita menginginkan anggur atau minuman lain yang kita anggap jauh lebih lezat dari pada air, maka kita tidak akan dapat menikmati air itu lagi, bahkan terasa hambar dan mungkin tidak enak! Demikianpun dengan segala apa yang kita miliki, tidak akan dapat kita nikmati kalau kita menginginkan yang lain, yang lebih, yang kita anggap lebih menyenangkan.
"Mudah-mudahan Teecu dapat mengerti akan semua yang Suhu terangkan. Akan tetapi, Suhu, Teecu mendengar bahwa hampir semua orang di dunia ini mendambakan kebahagiaan dan selalu mencari kebahagiaan. Bahkan ada yang melalui pengasingan diri di tempat sunyi, ada pula yang melalui penyiksaan diri, apa saja dilakukan manusia untuk mencari kebahagiaan."
"Inilah, Sin Cu, kekeliruan yang tak pernah disadari manusia sejak berabad-abad yang lalu. Sejak dahulu manusia selalu mencari kebahagiaan diri tidak menyadari bahwa yang mencari itu adalah nafsu. Sifat nafsu adalah selalu mencari cari dan mengejar yang lebih menyenangkan, Kalau sudah dicari, maka itu bukan kebahagiaan lagi namanya, melainkan kesenangan. Kesenangan apa saja memang dapat dicari dan dikejar. Akan tetapi bagaimana mungkin mencari kebahagian? Seperti juga, bagaimana mungkin mencari Tuhan? Seolah-olah Tuhan itu berada di suatu tempat, di luar diri kita! Pada hal, Tuhan meliputi segalanya, mencakup segala ruang dan waktu. Tuhan berada dekat sekali dengan kita, lebih dekat dari pada penglihatan pada mata kita! Bagaimana mencari Nya? Bukankah pencarian itu sendiri bahkan menyesatkan kita dan menjauhkan kita dari Nya? Demikian pula dengan kebahagiaan! Kebahagiaan tidak mungkin ditemukan dengan jalan memari-carinya, seperti mencari sesuatu yang bersembunyi di suatu tempat tertentu. Justru kebahagiaan berada di dalam sanubari yang sudah tidak mencari cari lagi. Kebahagiaan seperti juga kesehatan. Kita merasa tidak sehat dan dalam keadaan tidak sehat, bagaimana mungkin kita mencari kesehatan? Yang, penting mengetahui apa yang menyebabkan kita tidak sehat Kalau penyebab tidak sehat itu sudah lenyap, apakah kita membutuhkan kesehatan lagi? Jelas tidak butuh, karena kita sudah sehat! Demikian pula dengan kebahagiaan. kita mencari cari kebahagiaan karena kita merasa tidak berbahagia. Nah, yang penting adalah menyelidiki apa yang menyebabkan kita merasa tidak bahagia. Kalau penyebab tidak bahagia ini lenyap, apakah kita butuh kebahagiaan lagi? Tentu tidak, karena kita sudah bahagia! Mengertikah engkau muridku?"
"Teecu mengerti, Suhu. Akan tetapi kalau demikian halnya, mengapa kebanyakan dari kita tidak merasakan kebahagiaan itu Pada hal tidak ada gangguan yang membuat kita tidak bahagia."
"ltulah ulah nafsu, muridku yang Seperti juga kalau kita sedang tidak sakit sama sekali, apakah kita dapat menikmati keadaan sehat itu? Pada umumnya tidak. Kehatan itu tidak dirasakan sama sekali. demikian pula kebahagiaan. Kalau tidak ada sesuatu yang membuat kita tidak berbagia. kita masih tidak merasakan bahagia Mengapa? Karena hati akal pikiran kita tigak mengetahui apa yang menyebabkan kita tidak sehat. Kalau penyebah tidak sehat itu sudah lenyap, apakah kita membutuhkan kesehatan lagi? Jelas tidalk butuh, karena kita sudah sehat! Demikian pula dengan kebahagiaan. Kita mencari kebahagiaan karena kita merasa tidak berbahagia. Nah, yang penting adalah menyelidiki apa yang menyebabkan kita rasa tidak bahagia. Kaiau penyebab tidak bahagia ini lenyap, apakah kita butuh kebagiaan lagi? Tentu tidak, karena kita sudah bahagia! Mengertikah engkau muridku?"
"Teecu mengerti, Suhu. Akan tetapi kalau demikian halnya, mengapa kebanyan dari kita tidak merasakan kebahagiaan itu Pada hal tidak ada gangguan yang membuat kita tidak bahagia."
"ltuiah ulah nafsu, muridku yang, Seperti juga kaiau kita sedang tidak sakit sama sekali, apakah kita dapat menikmati adaan sehat itu? Pada umumnya tidak. Kesehatan itu tidak dirasakan sama sekali. Demikian pula kebahagiaan. Kaiau tidak sesuatu yang membuat kita tidak berbahagia. kita masih tidak merasakan bahagi Mengapa? Karena hati akal pikiran kita terseret oleh nafsu-nafsu daya rendah yang selalu haus akan yang lebih dan tidak pernah dapat menikmati apa yang ada. Karena itu, sadarlah dan waspadalah, amati setiap gerak gerik pikiranmu. Kalau sudah tidak ada nafsu yang menyeretmu, maka engkau akan dapat merasakan kehadiran Tuhan di dalam dan di luar dirimu, merasakan Kekuasaan Tuhan yang penuh kasih dan berkah, dan engkau akan selalu menyukuri dan memuji namaNya. Dalam keadaan seperti itulah manusia baru dapat merasakan apa yang disebut bahagia itu."
"Terimakasih, Suhu. Mudah-mudahan Teecu akan mampu menghayati semua keterangan yang Suhu berikan. Mudah-mudahan pengertian Teecu ini bukan hanya sekedar pengertian pikiran belaka, melainkan menembus ke lubuk hati yang paling dalam sehingga menjadi penuntun bagi langkah Teecu dalam kehidupan. Mudah-mudahan Tuhan akan selalu memberi bimbingan kepada Teecu, sehingga Teecu akan dijauhkan dari perbuatan sesat."
"Cukuplah pembicaraan tentang nilai nilai kehidupan ini, Sin Cu. Apakah engkau sudah berlatih silat.?"
"Sudah, Suhu. Sebelum matahari terbit tadi. sebelum Suhu datang kepantai ini, Teecu sudah berlatih. Pertanyaan Suhu masih mengingatkan Teecu akan sebuah hal yang mengganggu perasaan Teecu, yaitu tentang ilmu silat yang Suhu ajarkan kepada Teecu.
"Ada apa dengan ilmu silat, Sin Cu?"
"Suhu. seringkali timbul dalam pemahaman Teecu. Suhu selalu mengajarkan Teecu agar dalam hidup ini selalu harus bersikap lembut, tidak menggunakan kekerasan akan tetapi di lain pihak Suhu mengajarkan ilmu silat kepada Teecu. Bukankah ilmu silat itu merupakan ilmu cara mempergunakan kekerasan? Bukankah ilmu silat itu di gunakan untuk berkelahi dengan orang lain, untuk menyerang dan mengalahkan orang sehigga dengan demikian, ilmu silat akan mengakibatkan terjadinya permusuhan?"
"Sama sekali tidak, Sin Cu. ilmu silat ya ilmu silat, tidak dapat dikatakan baik maupun buruk. llmu silat adalah suatu ilmu seperti juga ilmu-ilmu yang Iain di dunia ini. Setiap macam ilmu itu tidak mempunyai sifat baik maupun buruk karena baik buruk itu tergantung dari si orang yang menguasainya. Kalau suatu ilmu dipergunakan untuk berbuat kebaikan, maka ilmu itu adalah sebuah ilmu yang baik. Sebaliknya kalau itu dipergunakan orang yang menguasainya untuk berbuat kejahatan, maka jahat ilmu itu jadinya! Seperti sebatang Pisau itu hanya alat, wajar saja, tidak baik dan juga tidak buruk. Tergantung bagaimana si pemilik pisau mempergunakan, Kalau dipergunakan untuk memotong sayur dan keperluan lain yang baik, maka pisau itu adalah alat yang baik. Sebaliknya kalau dipergunakan untuk menusuk perut orang, untuk membunuh, maka pisau itu menjadi sebuah alat yang jahat. Demikian pula dengan lmu silat. llmu silat menjadi sebuah ilmu yang jahat kalau dipergunakan untuk memaksakan kehendak sendiri dengan jalan kekerasan, untuk menindas orang lain, mencari menang sendiri, untuk melakukan kejahatan seperti merampok dan sebagainya. Akan tetapi kalau orang mempergunakan ilmu silat untuk membela kebenaran dan keadilan, kalau dipergunakan untuk membantu yang lemah tertindas, untuk menentang yang bertindak sewenang-wenang, maka ilmu silat menjadi ilmu yang baik. Mengertikah engkau, Sin Cu? Karena itulah, maka mempelajari ilmu silat haruslah dibarengi dengan mempelajari kebajikan."
Wajah Sin Cu yang tampan itu tampa berseri gembira.
"Terimakasih, Suhu. Sekarang legalah hati Teecu mendengar keterangan Suhu ini. Teecu akan berlatih semakin tekun agar Teecu dapat menguasai semua yang Suhu ajarkan untuk kelak Teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan seperti yang Suhu maksudkan itu."
Pada saat itu, Bu Beng Siauwjin menudingkan telunjuknya ke arah lautan dan berkata,
"Lihat, ada perahu mendekat ke pantai ini!"
Sin Cu menengok dan benar saja. Tampak sebuah perahu dengan cepat memenuju ke pantai di mana mereka berada,Perahu itu didayung oleh dua orang dan meluncur dengan cepat sekali. Sikap dua orang yang mendayung perahu itu tampak terge-gesa seperti mengejar sesuatu, bahkan beberapa kali berseru. Dari tempat mereka duduk Guru dan murid itu kini dapat melihat bahwa dua orang dalam perahu itu mengejar sesuatu. Lalu mulai tampaklah oleh mereka bahwa yang dikejar itu adalah sesuatu yang berenang di depan perahu. Agaknya mereka mengejar sebuah ikan besar yang berenang melarikan diri.
Akan tetapi setelah perahu itu datang agak dekat dengan pantai, Sin Cu dan Bu Beng Siauwjin melihat bahwa yang dikejar oleh perahu itu bukan seekor ikan besar, melainkan seorang laki-laki yang berenang dengan kecepatan seekor ikan berenang! Tubuh orang itu meluncur dengan cepatnya, kedua lengannya bergerak seperti kitiran, kedua kakinya bergoyang-goyang dan tubuh itu meluncur sedemikian cepatnya sehingga perahu yang didayung oleh dua orang itu tidak mampu mengejarnya. Padahal perahu itupun meluncur dengan kecepat luar biasa, menunjukkan bahwa dua orang yang mendayung perahu itu memiliki tenaga besar. Setelah tiba di tepi, orang itu berdiri dan berlari ke pantai menerjang air yang hanya setinggi lututnya itu. Sin Cu dan Bu Beng Siauwjin melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus yang berusia kurang lebih lima puluh tahun.
Pakaiannya seperti pakaian seorang nelayan dengan baju sederhana dan celana setinggi di bawah lutut, kedua kakinya telanjang. Rambutnya diikat ke atas dengan kain hitam dan pakaiannya juga terbuat dari kain hitam. Orang itu berusaha sedapat mungkin untuk berlari cepat dalam air itu menuju ke pantai berpasir. Akan tetapi begitu kakinya menginjak pasir, tiba-tiba dua orang yang berada dalam perahu yang kini tidak dapat didayung maju lagi karena sudah terdampar, tiba-tiba meloncat dan tubuh mereka melayang bagaikan dua ekor burung garuda. Cepat sekali loncatan mereka itu sehingga mereka tiba lebih dulu di pantai dan ketika mereka turun, mereka tiba di depan orang yang melarikan diri itu. Sin Cu dan Bu Beng Siauwjin memandang kepada dua orang yang menghadang si pelarian itu dengan penuh perhatian.
"Hek Pek Moko...!!"
Bisik Bu Beng Siauwjin. Sin Cu menjadi semakin heran dan penuh perhatian mendengar disebutnya Hek Pek Moko (Manusia Iblis Hitam dan Putih) itu. Seorang di antara mereka mengenakan pakaian serba putih dan yang mengerikan adalah warna muka dan tangannya yang semuanya putih seperti dicat! Adapun orang kedua menjadi kebalikan dari orang per tama. Orang kedua itu berpakaian serba hitam dan kulit muka dan tangannya juga berwarna hitam seperti arang! Orang tinggi kurus yang melarikan diri tadi kini berdiri terbelalak dengan muka pucat memandang kepada dua orang yang sudah berdiri di depannya.
"Can Kui, engkau hendak lari ke mana?"
Bentak si muka putih yang berjuluk Pek Moko (Manusia Iblis Putih) sambil tersenyum mengejek.
"Can Kui, mau atau tidak mau engkau harus mernenuhi perintah kami untuk menyelam dan mengambil pedang pusaka itu!"
Kata pula Hek Moko (Manusia Iblis Hitam) dengan bengis. Biarpun mukanya pucat dan pandang matanya membayangkan rasa takut, namun orang tinggi kurus yang bernama Can Kui itu berdiri tegak dan sikapnya tegas.
"Tidak, aku tidak akan mau membantu kalian yang kejam. Kalian sudah membunuh semua penghuni perahu itu dan menenggelamkan perahu. Aku tidak mau membantu kalian menyelam dan mendapatkan yang kalian cari!"
"Jahanam busuk! Beranikah engkau menentang Hek Pek Moko? Apakah engkau sudah bosan hidup?"
Akan tetapi Can Kui menjawab dengan suara tegas.
"Aku tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi untuk menyelam mengambil benda orang-orang malang itu aku tidak mau."
"Engkau patut dihajar!"
Kata Hek mo ko dan si muka hitam ini sudah menggerakkan tangannya untuk memukul dada si tinggi kurus itu. Namun kiranya Can Kui memiliki gesitan juga karena dia mampu menghindkan pukulan itu dengan miringkan tubuh ke kiri. Hek Moko menjadi penasaran ketika
pukulannya luput. Dia menerjang lagi. Can Kui membela diri, mengelak, menangkis bahkan membalas dengan pukulan yang cukp kuat. Terjadilah perkeiahian seru di tepi laut itu. Akan tetapi sekilas pandang saja tahulah Sin Cu bahwa Hek Moko bukanlah lawan seimbang bagi Can Kui. Baru saja pertarungan itu berlangsung belasan jurus, tendangan kaki kiri Hek Moko mengenai dada Can Kui, membuat nelayan itu roboh terjengkang dan jatuh ke atas pasir sampai terguling-guling. Dengan beberapa lompatan, Hek Moko sudah mengejarnya dan menginjakkan kaki kanannya di atas dada Can Kui sambil membentak,
"Nah, katakanlah bahwa engkau mau menaati perintah kami, atau aku akan menginjak hancur dadamu!"
Akan tetapi sebelum Can Kui menjawab, tiba-tiba Sin Cu yang sudah tidak dapat menahan rasa penasaran di hatinya dan setelah memandang dengan penuh permohonan kepada Suhunya dan Suhunya mengangguk, telah melompat ke dekat Hek Moko dan menegur.
"Memaksakan kehendak dengan kekerasan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu merupakan perbuatan jahat!"
Hek Moko dan Pek Moko memandang kepada orang yang berani mencampuri urusan mereka dan melihat bahwa yang menegurnya hanyalah seorang pemuda remaja. Hek Moko melepaskan tindihan kakinya dari dada Can Kui dan dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kukira siapa yang menegurku, tidak tahunya hanya seorang bocah lancang. Heh, bocah kurang ajar, cepat engkau pulang ke pangkuan Ibumu sebelum kubunuh engkau!"
Bentaknya. Dengan sikap tenang dan suara lantang Sin Cu berkata,
"Paman, engkau lah yang patutnya pergi dari sini, kembali ke tempat asalmu dan jangan menggunakan kekerasan untuk memaksa dan mengganggu orang ini!"
Tentu saja Hek Moko menjadi marah sekali. Tidak disangkanya akan ada seorang pemuda remaja yang mengganggu usahanya memaksa Can Kui. Dia dan Pek Moko saling pandang merasa bingung karena tidak tahu bagaimana dia harus mengambil pedang pusaka dari dasar lautan. Mereka berdua menerima tugas dari Liu-Thaikam untuk melakukan pengejaran terhadap seorang Panglima tua, yaitu Panglima Kwee yang melarikan diri bersama keluarganya keluar Kotaraja.
Panglima tua Kwee ini merupakan seorang antara musuh-musuh Liu-Thaikam yang paling dibEncinya karena Panglima tua itu tiada hentinya berusaha untuk menentang semua "Kebijaksanaannya."
Akan tetapi sebelum Liu-Thaikam dapat mengirim para jagoannya untuk membunuh Panglima Kwee itu, sang Panglima sudah lebih dulu melarikan diri bersama keluarganya. Karena itu, Hek Pek Moko mendapat tugas untuk melakukan pengejaran dengan pesan agar membunuh Panglima Kwee dengan keluarganya dan tidak lupa agar merampas sebatang pedang pusaka milik Panglima Kwee. Panglima tua ini pernah menerima sebatang pedang pusaka dari mendiang Kaisar tua untuk menghargai jasa-jasanya. Pedang pusaka itu disebut Pek-Liong Po-Kiam (Pedang Pusaka Naga Putih) karena bentuknya yang berupa naga berwarna putih.
Karena percaya bahwa pedang pusaka ini bertuah dan merupakan pusaka yang amat langka dan berharga, maka Liu-Thaikam memesan kepada Hek Pek Moko untuk merampasnya. Hek Pek Moko melakukan pengejaran. Ketika mereka mendapat keterangan bahwa Panglima kwee yang melarikan diri itu menggunakan perahu di lautan timur, merekapun melakukan pengejaran dengan menggunakan sebuah perahu pula. Di tengah lautan, mereka dapat menyusul perahu Panglima itu. Karena Panglima Kwee dan keluarganya yang berada di perahu yang lebih besar itu siap membela diri dengan menggunakan tombak dan pedang, maka sukarlah bagi Hek Pek Moko untuk menerjang ke atas perahu yang lebih besar itu. Karena itu mereka lalu menggunakan pedang mereka untuk membacoki bagian bawah perahu besar itu sehingga perahu itu bocor di sana sini dan tenggelam!
Hek Pek Moko kini mendapat kesempatan untuk membantai mereka yang mencoba untuk menyelamatkan diri dengan berenang. Demikian pula, Panglima Kwee terbunuh. Dari atas perahu kecil mereka, Hek Pek Moko membabatkan pedang mereka, membunuhi semua penghuni perahu besar dan perahu itu tenggelam. Setelah perahu besar tenggelam dan semua penghuninya tewas, baru teringatlah Hek Pek Moko akan pesan Liu-Thaikam tentang pedang pusaka Pek-liong-Po-Kiam itu. Mereka terkejut dan menyesal karena semua benda telah ikut tengelam dengan perahu itu. Mereka lalu pergi ke dusun nelayan terdekat dan mencari seorang penyelam. Atas keterangan para nelayan,mereka menemukan Can Kui yang terkenal di antara para nelayan sebagai seorang penyelam yang ulung. Mereka lalu membujuk Can Kui untuk menyelam dan mencarikan pedang pusaka itu dengan janji upah besar.
Akan tetapi, sungguh tidak pernah mereka sangka bahwa Can Kui tadi berada dalarn perahunya dan menyaksikan pembantaian dan penenggelaman perahu yang dilakukan Hek Pek Moko. Maka dia menolak keras untuk membantu. Hek Pek Moko yang menemui Can Kui sedang berada dalam perahu mencari, ikan itu, menjadi marah dan hendak memaksanya, mengancam akan membunuhnya. Ketika Hek Pek Moko hendak membunuhnya dengan serangan pedang, Can Kui terjun ke laut dan ternyata dia dapat berenang dengan cepat sekali seperti ikan. Hek-Pek Moko mengejar dengan perahu mereka, akan tetapi tidak mampu menangkapnya dan setelah Can Kui tiba di pantai, barulah dua orang datuk itu dapat menyusulnya dan hampir membunuhnya. Akan tetapi pada saat Hek Pek Moko sudah menangkap Can kui, Sin Cu datang dan menegurnya sehingga tentu saja Hek Moko marah sekali kepada pemuda remaja yang berani menegurnya.
"Bocah kurang ajar, engkau layak mampus!"
Katanya dan dia segera menerjang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Cu.
Dia hampir yakin bahwa sekali pukul saja dengan pukulan yang mengandung tenaga,sakti itu tentu dia akan mampu menghancurkan kepala pemuda remaja itu Namun, dengan mudah dan tenang Sin Cu mengelak sambil miringkan tubuhnya. Hek Moko menjadi marah dan pena?aran ketika pukulan pertamanya luput. Cepat dia membalik sambil mengayun tangan dan kini tangan kirinya yang menyambar dengan tamparan yang amat kuat, ke arah dada pemuda itu. Kembali Sin Cu mengelak. Marahlah Hek Moko. Dia lalu menerjang dan menghujankan serangan dengan kedua tangan dan kedua kakinya. Cepat dan kuat bukan main gerakan kaki tangan Hek Moko ini sehingga terdengar angin bersiutan. Namun, terjadilah hal yang bagi Hek Moko amat aneh dan membuatnya penasaran bukan main.
Ternyata pemuda remaja itu berkelebatan dengan gerakan yang luar biasa sekali, melangkah kesana sini dan semua serangannya luput! Dia tidak tahu bahwa ketika diserang secara bertubi-tubi itu, Sin Cu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amat tangguh dan dia harus dapat menghindarkan diri dari serangan bertubi yang amat kuat itu. maka dia lalu menggunakan ilmu Chit-Seng Sin-Po (Langkah Sakti Tujuh Bintang). Langkah-langkah aneh ini demikian banyak perubahannya dan ke manapun lawan menyerang, tubuh Sin Cu dapat menghindar dengan lincah sekali. Pemuda yang baru sekali ini mempraktekkan ilmu silat yang telah lama dipelajarinya dan sekaligus bertemu dengan lawan yang amat tangguh, lama-lama merasa terancam juga kalau harus mengelak terus. Sudah lebih dari tiga puluh jurus dia mempergunakan Chit-Seng Sin-Po untuk mengelak.
Suhunya pernah berkata bahwa pembelaan diri dan pertahanan yang baik adalah balas menyerang. Maka diapun mulai balas menyerang dan begitu menyerang, dia segera menggunakan ilmu It-Yang-Ci(Menotok Satu Jari) dan kedua jari telunjuknya menyambar-nyambar, menotok ke arah jalan jalan darah di tubuh lawan. Serangannya mengeluarkan bunyi bercuitan sehingga He Moko menjadi terkejut bukan main. Datuk yang sudah berpengalaman ini maklum bahwa totokan pemuda remaja itu mengandung tenaga sakti yang tidak boleh dipandang ringan dan amat berbahaya. Maka diapun menjaga agar jangan sampai terkena totokan dengan elakan atau tangkisan. Lima puluh jurus telah lewat dan Hek Moko belum juga mampu mendesak Sin Cu. Tentu saja hal ini membuat dia merasa malu, penasaran dan marah sekali.
"Bocah setan, sambutlah ini!"
Dia berseru keras dengan suara seperti gerengan seekor singa marah. Kedua lengannya digetarkan dan kulit lengan yang sudah hitam itu berubah semakin gelap, kemudian menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke arah Sin Cu.
Itulah ilmu pukulan Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hitam) yang merupakan inti dari semua ilmunya, amat berbahaya karena pukulan itu selain kuat sekali, juga mengandung hawa beracun dingin yang mampu membunuh orang dari jarak jauh! Biarpun dia belum berpengalaman dalam pertandingan, namun berkat gemblengan Bu Beng Siauwjin yang teliti, Sin Cu da dapat menduga bahwa dia menghadapi pukulan Sinkang (tenaga sakti) yang amat berbahaya. Karena itu, diapun mengangkat kedua tangannya ke atas, seolah hendak menerima inti kekuatan sinar matahari, kemudian diapun mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah lawan untuk menyambut pukulan yang dahsyat tadi. Inilah pukulan Thai-Yang Sin-Ciang (Tangan Sakti Inti Matahari) yang telah dipelajari Sin Cu. Walaupun dia belum menguasainya dengan sempurna namun pukulannya itu sudah mengandung tenaga yang kuat sekali.
"Wuuwuttt desss...!"
Dua tenaga sakti raksasa bertabrakan di udara dan kedua orang itu terdorong mundur sampai tujuh langkah. Tentu saja Hek Moko terkejut bukan main. Ternyata pemuda remaja itu bukan saja mampu menahan pukulan Hek-Tok-Ciang, bahkan telah membuatnya terdorong mundur dan kedua telapak tangannya terasa panas seperti terbakar. Melihat betapa rekannya tidak mampu mengalahkan pemuda remaja itu, apalagi membunuhnya, Pek Moko juga menjadi terkejut dan marah.
"Mari kubantu engkau membunuh bocah setan itu, Hek-te (adik Hek)!"
Setelah berkata demikian, Pek Moko dengan langkah lebar menghampiri Sin Cu yang sudah menguasai lagi keseimbangan tubuhnya dan dia tidak menderita luka, terlindung oleh Sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat. Hek Moko juga sudah bangkit dan mengikuti Pek Moko menghampiri Sin-cu. Dua orang datuk itu menghampiri Sin Cu dengan sikap mengancam dan agaknya mereka sudah bersepakat untuk membunuh pemuda remaja itu. Melihat ini, Bu Beng Siauwjin maju mendekati Sin Cu dan berkata,
"Sin Cu, engkau mundurlah dan biarkan aku yang menghadapi Hek Pek Moko."
Sin Cu merasa lega. Melawan seorang Hek Moko saja dia sudah merasa berat walaupun dia belum kalah, apalagi harus menandingi Hek Moko dan Pek Moko berdua. Dia lalu melangkah mundur dan berdiri di belakang Gurunya. Hek Moko dan Pek Moko berhenti melangkah ketika mereka melihat seorang Kakek yang tubuhnya dilibat-libat kain kuning, dan yang tersenyum-senyum ramah dan lembut kepada mereka.
"Jembel tua! Mau apa engkau?"
Bentak Pek Moko.
"Sahabat-sahabat, kalau muridku itu ada membuat kesalahan terhadap kalian, aku hendak mintakan maaf. Maafkanlah yang masih muda dan mari kita berpisah dalam keadaan aman dan damai."
Mendengar bahwa Kakek ini adalah Guru pemuda yang lihai tadi, Hek Pek Mok menjadi semakin marah.
"Hemm, muridmu kurang ajar telah berani mencampuri urusan kami. Engkau sebagai Gurunya tidak mampu mengajarnya, maka biarlah sekarang aku yang akan mengajarmu!"
Setelah berkata demikan, Pek Moko lalu memutar-mutar kedua tangannya ke atas kepala. Kedua lengan yang berkulit putih seperti dicat putih itu kini menjadi semakin putih dan kedua tangannya mengeluarkan asap. Ada hawa yang panas sekali keluar dari kedua tangan itu. Hek Mo ko juga mengerahkan Sinkangnya dan kedua tangannya berubah semakin hitam dan mengeluarkan hawa yang amat dingin.
Kalau Hek Moko mengeluarkan ilmunya yang disebut Hek-Tok-Ciang (Tangan Racun Hitam), Pek Moko mengeluarkan ilmunya yang lebih ampuh lagi dan disebut Pek-Tok-Ciang (Tangan Racun Putih). Maklum bahwa kedua orang tokoh sesat itu hendak mempergunakan ilmumu mereka yang diandalkan dan amat berahaya, Bu Beng Siauwjin juga membuat persiapan. Lutut kirinya ditekuk sehingga tubuhnya merendah dan tangan kirinya menyentuh tanah, sedangkan tangan kanannya diangkat lurus-lurus ke atas. Dia membuat gerakan seolah-olah dia hendak menyedot kekuatan dari bumi dengan tangan kirinya dan menyedot kekuatan dari langit dengan tangan kanannya. Gerakan ini menunjukkan bahwa Bu Beng Siauwjin hendak mengumpukan Im Yang-Sinkang (Tenaga Sakti Im dan Yang) yang merupakan inti kekuatan dari ilmu Im Yang Sin-Ciang (Tangan Sakti ln dan Yang).
"Haaittt..."
Hek Moko sudah menerjang dengan pukulan tangannya yang mengandung hawa dingin.
"Hemm""
Bu Beng Siauwjin cepat menggerakkan tubuhnya, mengatur langkah Chit-Seng Sin-Po dan mengelak dengan cepat sekali. Dua orang lawannya menyerang semakin cepat, bertubi-tubi, namun tubuh Bu Beng Siauwjin juga bergerak semakin cepat, berkelebatan dan seolah tubuh itu berubah menjad? bayangan yang amat sukar di pukul.
Makin cepat kedua orang itu menyerang, semakin cepat pula tubuh Bu Ben Siauwjin menghindar sehingga tiga orang itu tidak lagi tampak bentuk tubuh mereka Yang tampak hanyalah bayangan kuning yang dikejar-kejar bayangan hitam dan bayangan putih! Sin Cu yang menonton menjadi terbelalak kagum. Chit-Seng Sin-Po yang dimainkan Gurunya sedemikian hebatnya diam-diam dia memperhatikannya dengan seksama. Setelah melihat Gurunya dikeroyok dua orang itu, baru dia tahu bahwa ilmu langkah ajaib itu benar-benar dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan yang tangguh dan berbahaya. Akan tetapi dia merasa khawatir juga. Dua orang yang mengeroyok Gurunya itu selain memiliki ilmu yang tinggi dan berbahaya, juga mereka berdua itu dapat bekerja sama dengan amat baiknya.
Gerakan mereka itu seolah saling menunjang dan saling melindungi. Tahulah dia bahwa dua orang itu memang merupakan pasangan yang telah melatih diri untuk maju bersama secara teratur dan rapi. Akan tetapi mengapa Gurunya hanya mengelak terus? Biarpun Chit-Seng Sin-Po yang dikuasai Gurunya itu sudah mencapai tingkat sempurna, namun kalau hanya mengelak terus, sampai kapan Gurunya akan dapat keluar dari pertandingan itu sebagai pemenang? Pula, membiarkan diri terus menerus didesak dan diserang akhirnya akan merugikan diri sendirl. Setelah kelelahan tentu gerakan Gurunya tidak secepat semula dan hal ini akan membahayakan Gurunya. Setelah lewat dari tiga puluh jurus mereka menyerang terus tanpa pernah berhasil mengenai tubuh Kakek yang mereka keroyok, dua orang Hek Pek Moko itu menjadi marah sekali.
Agaknya inilah yang dinantikan Bu Beng Siauwjin. Menanti sampai dua orang lawannya menjadi marah karena kemarahan merupakan kelemahan dan membuat orang menjadi lengah. Yang ada hanyalah nafsu ingin merobohkan lawan, seluruh daya dikerahkan untuk menyerang tanpa memperdulikan pertahanan. Setelah kedua orang itu marah-marah dan penyerangan mereka semakin gencar dan semakin kuat, Barulah Beng Siauwjin melihat lubang-lubang kelemahan pada pertahanan mereka. Tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan kini dia mulai balas menyerang! Karena maklum akan kelihaian dua orang lawannya, begitu balas menyerang, Beng Siauwjin telah memainkan It-Yang-Ci. Gerakannya cepat bukan main dan karena sejak tadi dia sudah melihat lubang-lubang dan kesempatan dalam pertahanan dua orang lawannya, maka secepat kilat dua buah jari telunjuknya menyerang.
"Tukk... tukk..."
Dua kali jari telunjuknya bertemu tubuh Hek Pek Moko dan dua orang itupun terkulai roboh tertotok! Akan tetapi hanya sebentar saja mereka terkulai dan tidak mampu bergerak lagi karena Bu Beng Siauwjin sudah cepat menghampiri mereka dan menepuk pundak mereka masing-masing satu kali. Dua orang itu dapat bergerak lagi dan mereka melompat bangkit dan tidak berani menyerang lagi. Akan tetapi dengan mata mendelik mereka memandang kepada Bu Beng Siauwjin dan Pek Moko bertanya dengan suara kaku.
"Siapakah engkau? Siapa namamu?"
Bu Beng Siauwjin tersenyum dan menggeleng kepala.
"Aku hanyalah seorang rendah tanpa nama."
Akan tetapi jawaban itu cukup mengejutkan Hek Pek Moko.
"Bu Beng Siauwjin"!! Hemm, jadi Bu Beng Siauwjin kiranya engkau? Biarlah lain kali kita bertemu lagi,"
Kata Pek Moko. Setelah berkata demikian, dua orang itu membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Jelas bahwa mereka merasa jerih terhadap Bu Beng Siauwjin, sebuah nama yang sudah mereka kenal lama akan tetapi baru sekarang mereka bertemu dengan orangnya.
"Suhu, siapakah mereka itu?"
Sin Cu bertanya kepada Gurunya.
"Mereka adalah Hek Moko dan Pek Moko, terkenal dengan julukan Hek Pek Mo, karena ke manapun mereka selalu pergi berdua. Aku sudah lama mengenal nama mereka dan mudah saja mengenal mereka ketika bertemu dengan melihat keadaan dan warna kulit mereka. Yang seorang putih, yang lainnya hitam. Ternyata mereka bukan bernama kosong belaka. Ilmu kepandaian mereka hebat dan berbahaya."
Pada saat itu, nelayan tadi menghampiri mereka dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Cu dan Gurunya.
"Saya Can Kui menghaturkan banyak terimakasih atas pertolongan jiwi (kalian berdua). Tanpa pertolongan jiwi, mungkin sekarang saya telah mati di tangan dua orang penjahat itu."
Sin Cu mewakili Gurunya mengangkat bangun Can Kui yang berlutut.
"Bangunlah, Paman, tidak perlu begini. Apa yang kami lakukan itu hanyalah merupakan pelaksanaan kewajiban kami belaka."
Karena dipegang kedua pundaknya dan ditarik, maka Can Kui terpaksa bangkit berdiri dan memberi hormat dengan kedua tangan di depan dada sambil berdiri.
"Akan tetapi, saya berhutang budi kepada jiwi."
"Kami juga tidak menghutangkan budi, Paman. Kalau Paman hendak berterimakasih dan merasa berhutang budi, maka tujukanlah itu kepada Thian (Tuhan), karena sesungguhnya, Kekuasaan Thian sajalah yang telah menyelamatkan Paman. Sedangkan kami hanya menjalankan kewajiban."
"Saudara Can Kui, apa yang dikatakan muridku itu memang benar. Jangan bicara lagi tentang budi, karena hal itu hanya akan menimbulkan ikatan karma kepada kita bertiga,"
Kata Bu Beng Siauwjin sambil tersenyum lembut.
"Baiklah kalau Lo-Cianpwe (orang tua gagah) berkata demikian. Akan tetapi tentu jiwi tidak keberatan untuk memberitahukan nama jiwi kepada saya,"
Kata Can Kui yang maklum bahwa dia berhadapan dengan seoang yang sakti dan berwatak aneh. Namaku Bu Beng Siauwjin dan muridku ini bernama Wong Sin Cu. Akan tetapi sesungguhnya apakah yang terjadi, sobat? Mengapa dua orang itu tadi mengejarmu dan hendak membunuhmu?"
"Sebetulnya saya sendiri tidak mengenal dua orang jahat itu, Lo-Cianpwe. Saya sedang menangkap ikan ketika saya melihat sebuah perahu besar diserang oleh dua orang itu yang berada di perahu kecil. Dua orang itu telah membocorkan perahu dan membantai seluruh penghuni perahu. Kejadian itu amat mengejutkan saya, juga menakutkan saya. Biarpun saya sendiri menguasai sedikit ilmu silat, akan tetapi saya tahu bahwa saya bukanlah lawan dua orang itu yang amat lihai. Oleh karena itu saya tidak dapat berbuat sesuatu dan terpaksa saya melihat saja dari jauh ketika dua orang itu dengan kejamnya membunuhi semua penghuni perahu. Kemudian, perahu besar itu tenggelam dan semua penghuninya mati dalam keadaan yang amat menyedihkan. Saya melanjutkan pekerjaan saya menangkap ikan dan menjauhi tempat pembantaian itu."
Can Kui berhenti bercerita dan menghela napas panjang, tampaknya masih merasa ngeri kalau teringat akan semua peristiwa yang mengenaskan itu. Sin Cu dan Gurunya mendengarkan penuh perhatian.
"Paman Can Kui, tahukah Paman siapa orang-orang yang mereka bantai itu dan berapa jurmlah mereka?"
"Saya sama sekali tidak mengenal mereka. Jumlah mereka ada belasan orang dan saya bahkan, melihat wanita dan anak-anak yang ikut dibantai pula. Sungguh perbuatan mereka itu biadab dan kejam sekali. Yang jelas, dua orang itu bukan membunuh untuk merampok dan entah mengapa mereka membunuh semua orang itu, juga entah siapa yang mereka bunuh. Akan tetapi saya melihat beberapa orang yang melihat pakaian mereka seperti bangsawan. Juga wanita dan anak-anak yang dIbunuh itu, berpakaian seperti keluarga bangsawan."
"Sian-cai (damai)...! Betapa banyaknya manusia yang membiarkan dirinya diperhamba oleh nafsu daya rendah sehingga tega dan tidak berprikemanusiaan,"
Kata Bu Beng Siauwjin.
"Akan tetapi bagaimana selanjutnya saudara Can Kui?"
"Saya melanjutkan pekerjaan saya menangkap, ikan agak jauh dari tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu muncul dalam perahu mereka, ternyata mereka itu sengaja mencari saya,mereka mendengar dari para nelayan bahwa saya mempunyai kemampuan untuk menyelam dan sudah terbiasa menyelam untuk mencari dan mengumpulkan karang-karang yang indah. Mereka membujuk saya untuk menyelam di tempat tadi, untuk mencari dan mengambil sepotong pedang pusaka yang ikut tenggelam bersama perahu besar itu. Karena amat membEnci mereka, saya tidak sudi membantu, Saya menolak dan mereka menyerang saya. Saya melarikan.diri dengan perahu, akan tetapi mereka dapat mendayung perahu mereka cepat sekali, maka saya lalu meloncat ke air dan melarikan diri sambil berenang. Hanya dengan renang yang saya kuasai baik-baik saya dapat menghindarkan diri dari pengejaran mereka. akan tetapi setelah sampai di darat, akhirnya mereka dapat juga.menyusul saya dan selanjutnya jiwi sudah mengetahui apa yang terjadi,"
"Mereka agaknya ingin sekali mendapatkan pedang pusaka yang tenggelam bersama perahu itu. Sebaiknya kalau engkau pergi mengungsi ke tempat lain, saudara Can kui. Kalau tidak, mereka tentu akan datang lagi dan memaksamu untuk menyelam dan mencarikan pedang itu."
""Memang sebaiknya begitu, Lo-Cianpwe. Akan tetapi sebelum saya pergi, saya ingin lebih dulu menyelam ke tempat itu dan mendapatkan pedang pusaka yang mereka cari itu,"
Kata Can Kui dengan suara tegas. Sin Cu mengerutkan alisnya dan cepat bertanya.
"Paman Can, engkau sungguh aneh sekali. Dua orang tadi menyuruhmu menyelam dan mengambilkan pedang pusaka dan Paman tidak mau, bahkan rela dIbunuh dari padai harus mengambi! pedang itu. akan tetapi kenapa sekarang Paman bahkan ingin mengambilnya sendiri? Untuk apa Paman mengambil pedang pusaka yang bukan milik Paman?"
Hati pemuda itu merasa tidak senang dengan sikap penyelam dan nelayan itu. Can Kui berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Memang pedang pusaka itu bukan milik saya, Sicu (orang muda gagah). Akan tetapi sekarang pedang itu bukan milik siapa-siapa lagi karena pemiliknya telah tewas semua. Sayang kalau sebatang pedang pusaka dibiarkan saja dalam laut. Tentu akan rusak. Sebatang pedang pusaka yang dicari seorang datuk jahat itu tentu merupakan sebatang pedang pusaka yang amat baik dan ampuh, dan sudah sepatutnya menjadi milik seorang pendekar besar yang budiman. Setelah melihat sepak terjang Wong-Sicu yang masih muda sudah meniliki kegagahan dan juga berbudi mulia, seorang pendekar yang bijaksana, maka timbul keinginan hati saya untuk mengambil pedang pusaka itu dan memberikannya kepada Wong-Sicu Sicu sebagai hadiah!"
"Ah, jangan, Paman Can! Tidak usah engkau berbuat begitu, bersusah pAyah mengambil pedang itu untuk diberikan kepadaku. Pertama, pedang itu bukan milikku dan aku tidak berhak memilikinya. Kedua, aku memang tidak membutuhkan pedang!"
"Pedang itu kini bukan milik siapa-siapa, melainkan milik lautan, Sicu. Sayang kalau air laut memakannya sampai berkarat dan habis. Saya sudah mengambil keputusan tetap untuk mencarinya sampai dapat agar dapat menyerahkakannya kepada Wong-Sicul"
Setelah berkata demikian, Can Kui berlari kelaut lalu berenang ke tengah, cepat sekali renangnya, tiada ubahnya seekor ikan. Sin Cu menandang kagum dan tak terasa lagi dia berkata,
"Suhu, alangkah hebatnya ilmu dalam air yang dikuasai Paman can Kui! Belum pernah Teecu (murid) melihat orang berenang secepat itu."
"Engkau benar, Sin Cu. Orang she Can itu memiliki ilmu kepandaian dalam air yang luar biasa dan jarang dimiliki orang. itu kepandaian yang sudah langka terdapat sekarang."
"Teecu ingin sekali dapat menguasai ilmu seperti itu, Suhu."
"Bagus! Kenapa tidak engkau angkat Guru kepada Can Kui?"
"Mengangkat Guru?"
"Tentu saja. Kalau tidak menjadi muridnya, bagaimana engkau akan mampu berenang seperti itu? Sin Cu, engkau boleh saja menolak pemberian pedang itu. Akan tetapi kita tidak bisa membiarkan dia terancam bahaya. Kita harus menanti di sini sampai dia mendarat dengan selamat."
"Baik, Suhu."
Guru dan murid itu menanti di pantai berpasir, duduk bersila bermandikan cahaya matahari pagi yang sehat dan hangat. Bahkan Bu Beng Siauwjin lalu mengajak muridnya untuk bersamadhi sambil membuka baju, untuk, memperkuat Thai-Yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Matahari) yang telah mereka latih dan kuasai. Sebentar saja Guru dan murid ini sudah duduk diam seperti dua buah arca batu yang menerima cahaya matahari pagi sepenuhnya sehingga perlahan-lahan tubuh bagian atas mereka yang telanjang itu berkilauan karena keringat.
Dari kepala mereka melayang uap tipis yang membubung ke atas. Kedua orang Guru dan murid itu duduk bersamadhi untuk menghimpun tenaga inti matahari, demikian tenggelam ke dalam samadhinya sehingga mereka sendiri tidak menyadari bahwa telah lama sekali mereka duduk diam seperti itu. Mereka baru membuka mata ketika mendengar langkah kaki orang. Biarpun dalam keadaan bersamadhi, namun panca-indera mereka peka sekali sehingga sedikit saja terdengar suara yang mencurigakan, cukup untuk menyadarkan mereka, Mereka membuka mata melihat Can Kui sudah tiba di depan mereka. Orang itu duduk bersila di atas pasir di depan mereka, kedua tangannya membawa sebatang pedang bersarung indah terukir. Pada saat itu, barulah Guru dan murid itu menyadari bahwa matahari telah naik tinggi. Hari telah siang dan entah berapa jam mereka duduk bersamadhi sejak pagi tadi.
(Lanjut ke Jilid 08)
Sepasang Rajah Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jilid 08
"Saudara Can Kui, engkau sudah kembali? Agaknya engkau telah berhasil mendapatkan pedang itu,"
Kata Bu Beng Siauwjin dengan kagum akan kehebatan orang itu bermain dalam air.
"Saya berhasil, Lo-Cianpwe. Pedang itu berada dalam bilik perahu yang tenggelam, bersama benda-benda berharga lainnya, Akan tetapi saya tidak mengambil barang berharga lain kecuali pedang ini yang hendak saya berikan kepada Wong-Sicu.
"Paman Can Kui, saya tidak membutuhkan pedang. Akan tetapi saya membutuhkan yang lain lagi yang ingin saya minta kepada Paman."
"Saya tidak mempunyai apa-apa, Sicu. Tentu akan saya berikan apa yang Sicu minta kalau memang saya mempunyai sesuatu yang Sicu butuhkan,"
Kata Can Kui dengan heran.
"Saya membutuhkan ilmu bermain dalam air yang Paman kuasai. Saya ingin mempelajarinya dari Paman."
"Ah ini... ini..."
Can Kui terbelalak.
"Sin Cu, kenapa tidak lekas memberi hormat kepada, Gurumu?"
Bu Beng Siauwjin berkata sambil tersenyum lebar. Mendengar ini, Sin Cu segera berlutut memberi hormat di depan Can Kui.
"Suhu, harap sudi membimbing Teecu mempelajari ilmu dalam air!"
Katanya.
"Wah, Sicu, Mana bisa saya menerima Sicu sebagai murid? Sicu telah mempunyai seorang Guru yang sakti dan bijaksana seperti Lo-Cianpwee ini Saudara Can, setiap orang boleh jadi pandai dalam suatu hal, akan tetapi dia juga bodoh sekall dalam lain hal. Boleh jadi aku lebih pandai dari padamu mengenai ilmu silat di darat, akan tetapi kalau harus bertandihg dan bermain di air, aku menjadi seorang bodoh dan dapat mati tenggelam karena tidak pandai berenang. Karena itu, setelah Sin Cu minta dengan sungguh-sungguh untuk menjadi muridmu, mengapa engkau masih meragu? Dia seorang murid yang baik, saudara Can Kui!"
"Baiklah kalau begitu, Lo-Cianpwe, kata Can Kui sambil mengangkat bangun Sin Cu.
"Wong-Sicu, harap engkau suka bangun..."
"Suhu, bagaimana Suhu masih menyebut saya Wong-Sicu? Nama saya Sin Cu."
"Baiklah, Sin Cu. Aku mau mengajarkan ilmu bermain dalam air kepadamu, akan tetapi engkau pun harus mau menerima pemberianku, sebatang pedang pusaka ini."
"Tentu saja dia tidak dapat menolak lagi. Pemberian seorang Guru kepada muridnya merupakan pemberian yang harus dijunjung tinggi,"
Kata Bu Beng Siauwjin.
"Coba perlihatkan kepadaku pedang itu, Saudara Can Kui. Tampaknya sebatang pedang yang sangat berharga, mempunyai sarung yang demikian indah terukir dan agaknya sarung itu terbuat dari kayu besi hitam pula!"
Can Kui menyerahkan pedang itu kepada Bu Beng Siauwjin. Kakek itu menerima pedang lalu mengamati sarung dan gagangnya. Dia mengangguk-angguk kagum.
"Gagang pedang dan sarungnya begini indah, buatan seorang seniman yang pandai sekali. Pedang seperti ini sepatutnya berada di Istana Kaisar. Hemm, ukiran pada sarung bergambar seekor naga yang indah sekali dan terukir pula nama pedang. Pek-Liong Po-Kiam (Pedang Pusaka Naga Putih)? Bukan main! Kalau tidak salah, aku pernah mendengar akan nama pedang Pek-Liong Po-Kiam ini yang menjadi sebuah di antara pusaka-pusaka Istana Kaisar. Coba kita lihat pedangnya, apakah benar Po-Kiam yang amat terkenal itu."
Bu Beng Siauwjin mencabut pedang itu perlahan-lahan. Gagang pedang itu agak lebar dan setelah pedang dicabut, ternyata pedang itu merupakan sebentuk naga putih! Tertimpa sinar matahari, pedang itu berkilauan menyerang mata. Sin Cu dan Can Kui juga memandang kagum. Bentuk naga itu sempurna sekali. Gagangnya menyambung keekornya dan yang menjadi ujung pedang adalah kepalanya yang menjulurkan lidah panjang meruncing. Lidah itulah ujung pedang yang runcing. Mata pedang yang tajam terdiri dari bagian punggung dan perut naga yang bersisik, tajam seperti gergaji. Sebatang pedang yang ukirannya teramat indah dan tentu pedang seperti itu mahal sekali karena langka, merupakan sebuah pedang pusaka yang luar biasa,
"Siancai...! Kalau pedang pusaka ini menjadi jodohmu, memang sudah tepat sekali, Sin Cu. Agaknya memang Thian menghendaki demikian. Kau tahu, Saudara Can Kui, ada sesuatu pada muridmu yang secara aneh sekali sesuai dengan pedang ini. Sin Cu, buka lagi bajumu dan perlihatkan dadamu ke pada Guru renangmu!"
Karena Can Kui sudah menjadi Gurunya, Sin Cu juga tidak merasa sungkan dan dia menaati perintah Gurunya. Dia membuka bajunya memperlihatkan dadanya kepada Can Kui. Can Kui memandang ke arah dada muridnya dan matanya terbelalak, mulutnya ternganga.
"Ya Tuhaan"!!!"
Dia berseru"
"Betapa anehnya! Mirip sekali!"
Dia mengamati rajah bergambar naga putih di dada Sin Cu dan membandingkannya dengan bentuk naga pada pedang yang masih dipegang oleh Bu Beng Siauwjin. Memang mirip sekali. Rajah bergambar naga di dada Sin Cu itu demikian hidup, kalau pemuda itu bernapas, maka gambar naga itupun bergerak bergelombang seolah-olah sedang terbang di angkasa.
"Sin Cu, karena pedang ini tidak ada pemiliknya dan Gurumu Can Kui telah menemukan di dasar laut, maka pedang ini mulai saat ini menjadi milikmu. Aku akan berusaha untuk merangkai Kiam-Sut (ilmu silat pedang) yang sesuai dengan Pedang Pusaka Naga Putih ini untukmu. Mudah-mudahan aku
akan berhasil."
Dia menyerahkan pedang itu kepada Sin Cu yang menerimanya dengan hormat. Dia sendiri harus mengakui dalam hatinya bahwa setelah melihat pedang itu, hatinya tergerak dan dia merasa suka sekali. Apa lagi mendengar bahwa Bu Beng Siauwjin hendak merangkai sebuah ilmu pedang yang khas untuk pedangnya itu. Can Kui mengeluarkan sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu besi hitam.
"Kotak kecil ini dari dalam perahu,"
Katanya.
"Lo-Cianpwe, saya juga membawa kotak kecil ini dari dalam perahu"
Katanya sambil menyerahkan kotak hitam kepada Bu Beng Siauwjin. Mendengar ini, dengan alis berkerut Sin Cu bertanya kepada Gurunya yang baru itu.
"Akan tetapi, bukankah Suhu tadi mengtakan bahwa Suhu tidak mengambil benda berharga lain dari perahu itu?"
Dalam suara Sin Cu terkandung nada teguran. Can Kui menjawab dan kini suaranya tegas dan lantang,
"Sin Cu, jangan berprasangka buruk lebih dulu sebelum engkau mengetahui jalan persoalannya! Kotak kecil itu tadinya diikatkan pada gagang pedang sehingga ketika pedang itu kubawa naik ke permukaan air, kotak kecil. itu ikut terbawa. Hal ini baru kuketahui setelah aku tiba di atas permukaan air. Karena kotak kecil ini terikat pada pedang, maka mungkin sekali ada hubungannya dengan pedang, maka sekarang akan kuserahkan kepada Lo-Cianpwe Bu Beng Siauwjin untuk diperiksa."
Mendengar keterangan ini Sin Cu tersipu dan dia cepat berkata,
"Harap maafkan Teecu, Suhu!"
Bu Beng Siauwjin tertawa dan dia menerima kotak kecil berukir indah itu
"Hem... ukuran pada kotak inipun menunjukkan bahwa ini merupakan sebuah benda yang amat berharga. Tutupnya rapat sekali, tentu isinya tidak sampai terkena air. Coba akan kubuka agar kita, semua dapat melihat apa isinya."
Ternyata tutup itu tidak mudah dIbuka sehingga Bu Beng Siauwjin harus mengerahkan tenaganya, barulah tutup peti kecil itu dapat terbuka. Ternyata di dalamnya terdapat sehelai kertas yang dilipat-lipat,
"Ah, agakya sehelai surat dengan tulisan indah sekal! Caba engkau saja yang membacanya"
Sin Cu. Bu Beng Siauwjin menyerahkan surat itu kepada muridnya.
"Baca dengan suara yang jelas agar kami dapat ikut mendengarkan dan tahu apa isinya."
Sin Cu menerima kertas yang penuh tulisan dengan huruf-huruf indah itu, membuka lipatannya lalu membacanya dengan suara jelas.
"Sri Baginda Kaisar yang mulia, Paduka telah menganugerahi hamba dengan kedudukan Panglima bahkan telah memberi anugerah berupa pedang pusaka Pek Liong Po-Kiam sebagai tanda kekuasaan. Akan tetapi ternyata hamba telah gagal menyadarkan Sri Baginda Kaisar Muda yang telah dipengaruhi Thaikam Liu Chin dan antek-anteknya Bahkan Liu-Thaikam bermaksud untuk membasi hamba sekeluarga, maka terpaksa hamba melarikan diri untuk menyelamatkan keluarga hamba. Hamba telah gagal dan hamba mohon ampun yang mulia, sekiranya hamba terhunuh oleh Liu-Thaikam, semoga pedang ini terjatuh ke tangan seorang yang akan lebih mampu dari padahamba untuk menentang kekuasaan Liu Thaikam yang telah menyesatkan Sri Baginda Kaisar Muda. Hamba yang berdosa, Kwee Liang. Bu Beng Siauwjin mengangguk angguk dan meraba dagunya yang hanya ditumbuhi jenggot yang jarang berwarna putih itu.
"Kiranya yang terbasmi itu adalah keluarga seorang Panglima she Kwee. Seorang Panglima yang setia. Ah, kembali seorang pejabat yang baik menjadi korban kekejaman Thaikam Liu Chin yang terkenal licik dan jahat itu."
Dia menghela napas panjang.
"Lo-Cianpwe, apakah yang telah terjadi di Kotaraja? Sudah belasan?ahun saya tidak pernah pergi ke Kotaraja dan tidak pernah mendengar apa-apa dari sana. Apa yang telah terjadi di sana?"
"Siapakah Thaikam Liu Chin itu, Suhu? Agaknya dia jahat sekali"
Tanya pula Sin Cu.
"Matahari telah menjadi panas sekali. Pasir di sini juga menjadi panas. Marilah kita kembali ke pondok, akan kuterangkan tentang Liu-Thaikam dan keadaan di Kotaraja."
Bu Beng Siauwjin bangkit, diturut oleh dua orang itu dan mereka lalu melangkah perlahan-lahan menuju ke hutan yang berada di bukit di tepi pantai.
"Kaisar yang sekarang naik tahta dalam usia yang terlalu muda."
Bu Beng Siauwjin mulai bercerita sambil melangkah perlahan lahan bersama Can Kui dan Sin Cu.
"Agaknya dia seorang yang lemah dan mudah terbujuk. Kesempatan itu dipergunakan oleh seorang Thaikam yang amat cerdik dan licik, yaitu Thaikam Liu Cin.
Thaikam ini dapat mempengaruhi Kaisar sehingga Kaisar yang muda itu amat mempercayainya, bahkan hampir emua urusan pemerintahan terjatuh ke tangan Liu-Thaikam ini. Kaisar muda itu hanya menandatangani semua keputusah yang sudah dilakukan oleh Liu-Thaikam. Bahkan banyak pejabat yang menduduki jabatan penting digeser oleh Liu-Thaikam, digantikan oleh orang-orang kepercayaannya sendiri. Banyak pejabat setia yang melihat keadaan ini mencoba untuk menyadarkan Kaisar dan menentang Liu-Thaikam, akan tetapi usaha mereka untuk menyadarkan kalsar bukan saja gagal, bahkan mereka menjadi korban keganasan Liu-Thaikam. Banyak yang tewas atau melarikan diri seperti halnya Kwee-Ciangkun itu karena tidak kuat menentang Liu-Thaikam yang memiliki kekuasaan besar. Demikianlah yang kudengar selama ini. Ah, betapa jahatnya Thaikam itu!"
Kata Can Kui.
"Kenapa Kaisar itu demikian lemah dan bodoh, mudah saja dipengaruhi seorang jahat seperti Liu Cin itu, Suhu?"
Sin Cu bertanya. Bu Beng Siauwjin menghela napas panjang.
"Maklumlah, beliau menduduki tahta ketika beliau masih amat muda sehingga kurang pengalaman. Pula, seorang yang sejak kecil hidup dalam kemewahan dan kemuliaan, tidak pernah digembleng oleh kepahitan hidup, biasanya memang lemah. Kebetulan sekali engkau yang kini menjadi pemilik Pek-Liong Po-Kiam, Sin Cu. Oleh karena itu, setelah engkau selesai belajar, kukira sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang Liu Cin dan menolong Kaisar. Karena dengan demikian, berarti engkau menolong para pejabat yang setia dan menolong rakyat dari penindasan pemerintahan yang korup dan lalim."
Mereka sudah tiba di depan pondok kayu dan bambu yang sederhana itu lalu duduk di atas bangku yang berada di luar pondok di bawah pohon-pohon yang lebat daunnya. Sejuk sekali duduk di situ.
"Akan tetapi, bukankah Suhu pernah mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini sudah diatur oleh Kekuasaan Tuhan? Kenapa sekarang Suhu menyuruh Teecu untuk mencampuri urusan Kerajaan yang tentu sudah diatur pula oleh Kekuasaan Tuhan?"
"Sebenarnyalah, Sin Cu. Kekuasaan Tuhan bekerja setiap saat, tidak pernah berhenti dan mengatur segala yang terjadi di alam semesta ini! Juga Kekuasaan itu bekerja dalam diri kita! Karena itu, kita harus berbuat sesuai dan dengan kekuasaan itu yang mengarah kepada kebaikan dan kebajikan. Berikhtiar merupakan KEWAJIBAN bagi kita. Biarpun segala sesuatu itu telah ditentukan oleh Kekuasaan Tuhan, namun kewajiban kita untuk beriktiar, berusaha. Berusaha dengan jalan yang benar. Kita ini berada di dunia hanya sebagai alat, maka jadikanlah dirimu sebagai alat Tuhan, membantu pekerjaan Tuhan, yaitu membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Kalau engkau membiarkan dirimu berpihak kepada kejahatan, berarti engkau menjadikan dirimu sebagai alat setan."
"Apa yang dikatakan Gurumu yang bijaksana itu adalah benar, Sin Cu. Tuhan selalu melimpahkan berkah Nya kepada alam semesta serta sekalian isinya, termasuk kepada kita. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kita selalu berucap sukur dan memujanya dengan penuh kasih,"
Kata Can Kui. Sin Cu memandang Gurunya yang pertama.
"Suhu"
Teecu sudah menyadari sepenuhnya akan kasih sayang Tuhan kepada kita yang setiap saat dilimpahkan kepada kita. Segala apa yang tampak di dunia ini bermanfaat bagi kita, seolah memang diciptakan untuk kita. Sinar matahari yang mendatangkan api, air, hawa udara, tanah, tanam-tanaman, segalanya itu memungkinkan kita untuk hidup. Segala macam kenikmatan di berikannya kepada kita melalui pancaindera kita. Akan tetapi, apakah yang kita dapat lakukan untuk menyatakan cinta kita kepada Nya? Apakah hanya cukup dengan pengakuan kasih kita di mulut dan hati saja? Bagaimana untuk memberi wujud dari kasih kita itu kepada Tuhan? Mohon petunjuk, Suhu."
Bu Beng Siauwjin tertawa.
"Memang sulit, bukan? Tuhan Maha Besar, Maha Luas, juga tidak dapat kita lihat dengan pandang mata. Bagaimana kita dapat menyatakan cinta kasih kita melalui perbuatan terhadap Nya? Hal ini tidak mungkin, muridku, Kita ini terlalu kecil untuk dapat membuktikan cinta kita terhadap Tuhan Yang Maha Besar melalui perbuatan kita. Jalan satu satunya bagi kita hanyalah membuktikan kasih kita dengan menyerahkan diri menjadi alat Nya. Tuhan mengasihi semua manusia,maka kitapun harus memohon kepada Tuhan agar Kasih Illahi itu menyala pula dalam hati kita terhadap sesama manusia. Dengan api kasih itu bernyala dalam sanubari kita terhadap sesama kita, maka berarti kita sudah membuktikan kasih kita terhadap Nya. Orang yang ber-Tuhan bukan hanya merupakan pengakuan saja dengan mulut ataupun hati akal pikiran, melainkan tercermin dalam tindakan, perbuatan dan sikap hidup sehari-hari, yaitu orang yang ber-Tuhan harus pula berprikemanusiaan. Kalau dia tidak berprikemanusiaan, tidak ada kasih sayang terhadap manusia lain, berarti bahwa dia tidak ber-Tuhan dengan sesungguhnya. Tuhan Maha Kasih, maka tanpa adanya kasih dalam hati, berarti Tuhan juga tidak berada dalam hatinya. Mengertikah engkau, Sin Cu?"
Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo