Pendekar Cengeng 1
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Dari dalam rumah tembok model kuno terdengar suara tangis mengguguk, diselingi rintihan memanggil-manggil nama orang yang sudah sudah menjadi mayat. Sampai seakan suara orang yang menangis itu tak terdengar lagi karena sudah sehari semalam ia terus, menerus menangis, tanpa memperdulikan orang yang melayat.
Semenjak jaman dulu, rakyat sudah mengenal kesadaran bergotong-royong sehingga ada pepatah.
"Tangis dan tawa lebih cepat terdengar oleh tetangga dekat daripada keluarga jauh."
Rumah itu tempat tinggal keluarga Yu dan yang meninggal dunia adalah kakek Yu. Bukan orang biasa melainkan pendekar tua Yu Tiang Sin yang selama puluhan tahun telah, terkenal di dunia silat, jagoan atau penjahat manakah tidak mengenal nama julukan Yu-kiam-sian Dewa Pedang Yu?
Bukan hanya terkenal sebagai seorang pendekar pedang yang selalu membela kebenaran dan keadilan, tetapi juga Yu Tiang Sin terkenal sebagai seorang yang anti kepada pemerintah penjajah.
Pada masa itu seluruh Tiongkok dikuasai bangsa Goan, yaitu kerajaan bangsa Mongol yang dipelopori Jenghis Khan yang terkenal sampai di Eropa. Akan tetapi setelah bangsa Mongol dipimpin Kaisar Kubilai Khan cucu Jenghis Khan. Barulah dinasti Goan berdiri dan seluruh Tiongkok dikuasai.
Rakyat yang menderita akibat penyerbuan tentara Mongol, sampai puluhan tahun tertindas, menaruh dendam dan membenci kaum penjajah ini. Akan tetapi disamping orang-orang berjiwa pahlawan seperti pendekar tua Yu, banyak pula bermunculan penjahat pengkhianat bangsa yang tak segan-segan menjual negara dan tanah air demi kedudukan, kemuliaan dan kekayaan.
Puluhan tahun lamanya pendekar Yu tiada hentinya berusaha untuk membela rakyat tertindas dengan caranya sendiri, yaitu memusuhi para pembesar penjajah atau boneka-boneka penjajah, juga raja muda yang bermunculan di dusun-dusun.
Entah berapa banyaknya pengkhianat-pengkhianat yang setelah menjadi pembesar lalu menghina dan menindas bangsa sendiri dibunuh oleh Yu-kiam-sian. Banyak pula hartawan-hartawan yang kikir dan jahat tewas di ujung pedang pendekar ini.
Hartawan-hartawan yang menjadi raja muda di dusun-dusun memang banyak sekali yang jahat. Mereka mengandalkan kekayaannya, menindas si miskin dan si lemah, merampas anak bini orang, dan di samping mereka memelihara tukang tukang pukul, juga dengan jalan menyogok pembesar-pembesar setempat, mereka dapat memperalat para pembesar itu.
Sepak terjang Yu Tiang Sin ini tentu saja membuat ia dicintai rakyat yang tertindas dan disegani serta dihormati orang-orang gagah, akan tetapi ditakuti dan dibenci orang-orang dari golongan hitam. Setelah berusia tujuhpuluh tahun kakek Yu mengundurkan diri dan hidup tenang serta damai di dusun Ki-bun di lembah Sungai Huai.
Di sini ia hidup bersama tiga orang anak dan tujuh orang cucunya, karena semua mantu dan cucunya mempelajari ilmu silat, maka keluarga Yu ini terkenal sebagai keluarga yang kuat dan disegani.
Ketika Dewa Pedang itu meninggal karena usia tua, semua keluarganya berkabung dan berduka. Akan tetapi yang paling berduka dan tak hentinya menangis dan memanggil-manggil adalah cucunya yang paling bungsu.
Cucu ini bernama Yu Lee dan sejak kecil memang menjadi cucu kesayangan kakeknya. Karena menumpahkan kasih sayang ini, anak itupun membalas cinta kasih yang melebihi ayah bundanya sendiri.
Di saat kakeknya meninggal, Yu Lee baru berusia delapan tahun tahun dan biarpun semua orang menghiburnya, ia tidak mau berhenti menangisi mayat kakeknya.
Rumah itu sudah diberi tanda berkabung dengan kertas dan kain putih. Jenazah kakek Yu telah dimasukkan peti mati dan ditaruh di ruangan depan.
Di meja sembahyang yang berdiri di depan peti mati, di samping lilin dan asap dupa serta hio mengebul memenuhi ruangan. Tiga orang putera dan dua orang cucunya yang sudah berusia belasan tahun, menjaga peti mati untuk mewakili kakek Yu dalam membalas penghormatan pengunjung yang berlayat.
Keluarga perempuan setelah menjalankan "upacara berkabung"
Dengan jerit tangis sedih depan peti mati, lalu masuk ke dalam untuk membantu di dapur mengeluarkan hidangan bagi mereka yang berlayat.
Yang amat mengharukan adalah Yu Lee. Ia tetap saja menjaga peti mati, biarpun ia dihardik ayahnya sehingga tak bisa menangis keras, tetapi masih bercucuran air mata dan terisak-isak. Matanya merah memandang peti mati, tangannya mengelus-elus peti dan bibirnya bergerak-gerak, seakan-akan berbicara dengan kakeknya yang berada di dalam peti!
Sebagai seorang bekas pendekar terkenal tentu saja banyak sahabat yang datang untuk mamberikan penghormatan terakhir pada jenazah kakek Yu. Hilir mudik orang yang datang dan yang pergi, sehingga putera-putera dan cucu menjadi sibuk sekali membalas penghormatan para tetamu.
Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali telah datang seorang tetamu. Sepagi itu hanya Yu Lee yang sudah mendekam di dekat peti mati itu. Ayah dan saudara-saudaranya segera keluar menyambut tamu itu.
Akan tetapi tamu yang datang kali ini sikapnya luar biasa dan tidak seperti tamu-tamu yang lain. Dia sudah tua, sedikitnya enampuluh tahun usianya. Pakaiannya kasar dan sederhana, di punggungnya terdapat sebuah guci arak berbentuk bulat dengan leher panjang dan mulut tersumbat kain kuning, di pinggang kiri tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya sudah tua dan buruk. Melihat pakaian pendeta dan rambutnya yang digelung dan diikat pita kuning, tentu dia seorang tosu (pendeta Agama To) pengembara. Tubuhnya kurus kering, mukanya pucat kehijauan dan berbentuk panjang, matanya sipit sekali seakan selalu terpejam. Keadaannya sesungguhnya sangat menyedihkan, tidak sedikitpun membayangkan semangat dan keriangan hidup.
Akan tetapi anehnya mulut kecil yang ompong itu selalu tersenyum dan karena bagian lain dari mukanya tidak memancarkan keriangan maka senyumnya ini tidak seperti senyum lagi, lebih patut kalau dikatakan menyeringai dan mengejek.
Begitu masuk pekarangan rumah keluarga Yu yang sedang berkabung terdengar ia bernyanyi-nyanyi diseling suara terkekeh-kekeh.
Lain tamu, setelah berhadapan dengan meja sembahyang dan peti mati lantas menyalakan hio dan bersembahyang sebagai penghormatan terakhir, namun tosu ini malah berdiri memandang peti mati dengan matanya yang sipit berkedip-kedip. Kemudian terdengar suara tertawanya bergelak.
"Ha-ha-ha, Yu-loheng (kakak tua Yu). Kau benar-benar enak sekali pergi menuju kebebasan derita hidup. Tinggalkan julukan yang kosong melompong, terbebas urusan dunia yang serba palsu. Yu-loheng di waktu hidup berjuluk Dewa Pedang, Ha, ha, ha, bukankah itu nama kosong belaka? Kalau dewa tentunya tidak mengenal mati hidup, dan pedangmu ".. ha-ha-ha, mana pedangmu? Biarpun masih ada, tak ada gunanya lagi. Kau senang Yu-loheng sayangnya sebelum pergi tidak pamit lebih dahulu kepadaku."
Anak cucu kakek Yu memandang tosu itu dengan muka membayangkan kemarahan. Kakek yang mereka hormati telah meninggal, jenazahnya masih berada di dalam. Bagaimana sekarang tosu ini berani terang-terangan menghina dengan kata-kata aneh? Hanya Yu Lee yang tidak merasa heran bahkan tangisnya makin menjadi. Ia seolah-olah membayangkan bahwa tosu itu bercakap-cakap dengan kakeknya, seolah-olah mendengar suara dan ketawa kakeknya. Akan tetapi, kalau ia memandang peti mati, teringatlah ia bahwa kakeknya yang tercinta telah meninggalkannya.
"Hai bocah! Kau tentunya cucu Yu-loheng. Kenapa menangis? Bocah cengeng kau! Masa dengan terbebas dari hukuman kau sambut dengan tangis? Bodoh! Cengeng!"
Tosu itu mendelik memarahi Yu Lee kemudian memukul-mukulkan tongkat di atas lantai dan bersenandung. Yang ia nyanyikan sama sekali bukan doa untuk yang mati, dan lagunya malah bernada gembira.
Manusia hidup lunak dan lemas,
kalau mati menjadi kaku dan keras.
Segala mahluk dan tanaman hidup
lunak dan lemas,
kalau mati menjadi kering dan getas (mudah patah)
Kaku dan keras adalah kematian,
lunak dan lemas adalah teman kehidupan.
Tosu itu berhenti menyanyi dan tertawa lagi terbahak-bahak, menurunkan guci araknya, berkata nyaring.
"Yu-loheng, silakan minum arak!"
Dia menggerakkan guci araknya dan dari dalam guci yang mulutnya sudah terbuka itu memercik arak yang berbau harum. Kemudian tosu itu mendekatkan mulut guci itu ke mulutnya dan terdengar suara menggelogok ketika arak yang berwarna merah masuk ke mulutnya.
Kemudian ia menyimpan kembali guci araknya dan tanpa dipersilakan ia telah duduk di atas sebuah bangku.
Tiga orang putera kakek Yu ini memiliki kepandaian silat yang tinggi namun mereka belum pernah bertemu dengan tosu ini.
Dalam hati mereka marah sekali, namun karena sikap tosu ini tidak memusuhi jenazah ayah mereka, bahkan kata-katanyapun membayangkan bahwa ia adalah sahabat kakek Yu.
Mereka tidak mengutarakan isi hatinya. Hanya mereka tidak tahu bagaimana harus menyebut tamu aneh ini.
Orang lain berlayat untuk berbelasungkawa, akan terapi tosu ini datang seolah-olah hendak memberi selamat atas kematian kakek Yu bahkan mengajak si peti untuk minum arak. Di dunia ini mana ada aturan macam ini. Namun tiba-tiba Yu Lee bangkit dari bawah peti mati di mana tadi ia berlutut, kemudian menghampiri tosu itu dan sambil terisak-isak.
"Orang tua, kakekku sudah tidak dapat menyambutmu"". ia sudah mati."
Sampai di sini tak tahan lagi ia menangis terisak-isak.
"He, bocah menyebalkan! Bocah cengeng! Siapa bilang Yu-loheng mati? Apa kau tahu benar?"
Yu Lee lupa akan kedukaannya, lupa akan tangisnya. Ia menengadah memandang wajah tosu yang duduk di kursi itu.
Si tosu terkejut. Anak ini wajahnya simpatik, berbentuk bulat seperti bulan purnama, putih bersih. Sepasang matanya yang kini merah karena terlalu banyak menangis itu lebar dan bening. Sinarnya tajam penuh kejujuran dan kemurnian.
"Orang tua, kakekku sudah mati. Benar-benar mati. Ia tak menjawab pertanyaanku dan, tidak bernapas lagi. Kalau tidak mati masa dimasukkan peti mati?"
Saking herannya terhadap sikap dan ucapan tosu itu Yu Lee sampai lupa akan kesedihannya.
"Ha-ha-ha bocah cengeng! Kau seperti yang tahu saja! Apa itu mati? Apa itu hidup? Sebelum hidup dari mana? Sesudah mati ke mana?"
Sudah tentu bocah berusia delapan tahun itu akan terlongo kebingungan mendengar pertanyaan yang tidak mungkin terjawab oleh orang pandai sekalipun.
"Locianpwe, harap maafkan puteraku yang bodoh ini berani bersikap kurang ajar. Mohon tanya, siapakah locianpwe yang terhormat?"
Yu Kai, ayah Yu Lee dan sambil menarik tangan puteranya ia menjura penuh hormat kepada tosu itu. Yu Kai adalah putera sulung kakek Yu, seorang berusia empatpuluh lima tahun yang pendiam.
Tosu itu sejenak memandang Yu Kai, tiba-tiba tangannya bergerak ke depan, jari telunjuknya menotok ke arah jalan darah di dada Yu Kai. Gerakan ini biarpun dilakukan sambil duduk, namun cepatnya bukan main dan sebelum jari itu menyentuh dada, angin pukulannya sudah menyambar dan Yu Kai merasakan dadanya dingin sekali. Sebagai putera pendekar, tentu saja Yu Kai berkepandaian cukup tinggi.
Karena ia maklum bahwa totokan ini mematikan dan tidak dapat ditangkis, ia cepat menekuk tubuh ke belakang tanpa merobah kedudukan kedua kakinya. Kalau meloncat ia takkan dapat menghindarkan totokan itu. Dengan menggerakkan tubuh melengkung ke belakang, barulah ia dapat menghindarkan bahaya.
Setelah tubuh atasnya terhindar dari serangan, baru kedua kakinya menekan lantai dan tubuhnya mencelat ke belakang berjungkir balik membuat salto dua kali dan kakinya menginjak lantai lagi dengan ringan.
"Ha, ha, ha, tua bangka Yu, alangkah kikirnya. Mempunyai kepandaian kalau tidak ditinggalkan kepada anak cucu atau murid, untuk apa kau bawa pergi ke lubang kubur? Kau terkenal sebagai Dewa Pedang, namun puteramu hanya begini saja kepandaiannya, sungguh memalukan....... memalukan!"
Sementara itu Yu Kai marah bukan main mendengar ejekan ini namun ia maklum bahwa tosu ini mengejek bukan untuk menyombong. Dalam segebrakan tadi, kalau tosu ini menghendaki, nyawanya pasti sudah menyusul ayahnya. Biarpun ia sudah mengelak dengan gerak Siluman Naga Berjungkir Balik, sebuah gerakan yang sukar dari hebat, namun masih kalah cepat oleh si tosu aneh.
Buktinya baju bagian dadanya, tepat di jalan darah yan-goat-hiat telah berlubang sebesar ujung jari. Jelas bahwa tosu itu hanya mengujinya. Namun sungguh keterlaluan tosu itu, menguji sambil menghina.
Sesabar-sabarnya Yu Kai, karena baru berduka dan berkabung, kini dihina orang, darahnya mendidih dan memberi tanda dengan matanya pada dua orang adiknya untuk mengusir tosu ini.
Para tetangga yang sudah berdatangan melihat pula kejadian tadi. Mereka menjadi gelisah dan makin banyaklah tetangga yang berdatangan sambil berbisik-bisik.
"Hei, kakek tua!"
Tiba tiba Yu Lee sebelum dapat dicegah ayahnya sudah meloncat maju dan membusungkan dada di depan tosu ini.
"Kau berani menghina ayahku? Orang gagah macam apa kau ini? Setelah kakekku tak ada, baru kau berani bikin ribut. Kalau kakekku masih hidup, sekali bergerak kau tentu roboh......"
Tiba tiba anak itu menangis, karena kalimatnya yang terakhir ini mengingatkan ia kembali bahwa kakeknya sudah mati!
Tosu itu sejenak memandang kagum, lalu tertawa.
"Ha-ha-ha, engkau mewarisi kegagahan kakekmu, sayang kau cengeng! Yu-kiam-sian mana mau bertanding denganku? Siauw-bin-mo (Setan Tertawa) Hap Tojin adalah sahabat baiknya, ha-ha-ha!"
Mendengar disebutnya nama Hap Tojin yang berjuluk Siauw-bin-mo, Yu Kai dan adik-adiknya terkejut sekali.
Nama ini adalah nama seorang tokoh di dunia kangouw. Ayah mereka pernah bercerita bahwa Siauw-bin-mo Hap Tojin adalah teman seperjuangannya. Seorang pendekar yang lihai. Dan karena sepak terjangnya membasmi orang-orang jahat selalu dilakukan dengan tertawa-tawa kaum penjahat memberinya julukan Siauw-bin-mo atau Setan Tertawa.
Pada saat itu terdengar suara ketukan keras. Ketukan berirama yang datang dari luar pekarangan. Keras sekali ketukan itu seperti ketukan sebuah martil besar pada besi landasan.
Semua orang menengok keluar dan tampaklah seorang hwesio (pendeta Buddha) bertubuh pendek gemuk, perutnya bulat seperti gentong, kepalanya yang bundar itu gundul kelimis. Tubuh atasnya telanjang hingga tampak sebagian perutnya yang besar dan buah dadanya yang bergantung. Tubuh bawahnya terbungkus kain yang berwarna kuning.
Hwesio ini memegang sebatang tongkat dan suara ketukan nyaring itu adalah suara tongkat yang memukul tanah berbatu. Begitu masuk pekarangan hwesio itu menggerutu tetapi suaranya nyaring dan parau.
"Mengapa ada suara gelak tawa, mengapa orang dapat bergembira sedangkan dunia ini selalu terbakar? Kenapa kau tidak cari pelita, wahai engkau yang berselubung kegelapan?"
Apa yang ia ucapkan dengan nada nyanyian itu adalah sebuah ayat dari kitab suci "Dhamma Padha"
Kitab Agama Buddha.
"Ha-ha-ha, Tho-tee-kong (Malaikat Bumi)! Kalau semua manusia ini pemurung seperti engkau, matahari dan bulan menjadi gelap sinarnya! Ha-ha-ha!"
Si tosu mengejek.
Kembali Yu Kai dan adik-adiknya terkejut memandang hwesio gundul itu.
Namun julukan Tho-tee-kong sudah lama mereka dengar dan baru kali ini melihat orangnya. Menurut penuturan mendiang ayahnya. Tho-tee-kong ini bernama Liong Losu, hwesio perantau yang berilmu tinggi.
Karena bentuk tubuh dan kelihaiannya maka dunia persilatan memberi julukan Malaikat Bumi. Seperti juga Siauw-bin-mo, Hap Tojin hwesio ini adalah bekas teman seperjuangannya ayah mereka.
Hwesio itu memandang kepada si tosu lalu menggeleng-gelengkan kepala dan keningnya berkerut. Kemudian ia berkata.
"Omitohud! Hap-toyu (sahabat Hap) sejak dahulu masih juga belum mendapatkan jalan teraug!"
Setelah berkata hwesio ini lalu menghampiri meja sembahyang dan menjura dengan hormat ke arah peti mati. Perbuatan ini segera, dibalas oleh Yu Kai dan adik-adiknya. Dengan suara nyaring tapi parau hwesto ini berkata,
"Yu-sicu (orang gagah Yu), sungguh menyedihkan sekali orang gagah dan baik seperti sicu meninggalkan dunia yang masih sangat membutuhkannya. Terlalu banyak orang jahat di dunia ini sampai penuh berdesak-desakan. Alangkah sukarnya mencari orang baik seperti sicu. Dunia amat kehilangan dengan meninggalnya sicu...... omitohud!"
Mendengar ucapan hwesio ini Yu Lee kembali menangis mengguguk sambil memeluk peti mati kong-kongnya.
"Kong-kong! Kenapa kong-kong mati sebelum aku kuat menggantikan kong-kong menjadi orang yang berguna?"
Demikian anak ini berkata sambil menangis.
Liong Losu mengangkat muka memandang. Matanya bersinar kagum memandang kepada Yu Lee. Ia mengangguk.
"Siauw-kongcu (tuan kecil) ini betulkah cucu Yu-sicu?"
Yu Kai maju memberi hormat.
"Betul dugaan losuhu, Lee-ji (anak Lee) ini adalah cucu yang bungsu. Dan putera tecu (saya murid) yang bungsu."
Liong Losu mengangguk-angguk.
"Siauw-kongcu anak baik, kecil-kecil sudah mengenal kebaktian dan kegagahan."
"Gagah berbakti apa?"
Tiba-tiba Siauw-bin-mo Hap Tojin tertawa mengejek.
"Dia bocah cengeng, dengan yang tua bangka Tho-tee-kong Liong Losu bocah ini benar-besar cocok. Keduanya tukang mengeluh dan menangis, menjemukan benar? Di dunia ini mana ada orang jahat? Semua orang baik, hanya karena bodoh maka menyeleweng dari kebenaran. Kalau sudah sadar tentu kembali ke jalan yang benar. Yang jahat bukan orangnya tetapi penggodanya. Lempar semua penggodanya maka manusia takkan tergoda, takkan ada kejahatan. Buang semua emas, takkan ada lagi maling emas. Setelah hidup, mengapa banyak mengeluh? Kalau dengan menangis atau tertawa keadaan tidak bisa berubah, mengapa tidak memilih tertawa. Dengan tertawa menyambut yang baik tentu akan terasa lebih nikmat. Dan dengan tertawa menyambut yang jelek, tentu akan berkurang penderitaannya. Bagi seorang laki-laki air mata lebih mahal daripada darah. Kau mau apa lagi Tho-tee-kong tua bangka gundul? Ha-ha-ha!"
"Omitohud! To-yu (sahabat) tersesat jauh sekali. Sayang, sungguh sayang. Siapa bilang hidup adalah kesenangan? Hidup adalah sengsara, karena siapa terlahir, tentu akan mengalami segala macam penderitaan, kepahitan hidup, kekecewaan, kedukaan, sakit dan mati. Yang dapat mengatasi kematian dan kelahiran barulah bahagia. To-yu tertawa, hal itu hanyalah palsu belaka sebagai kedok untuk menyembunyikan penderitaan yang sebenarnya. Mengapa berpura-pura tertawa kalau bathin menangis?"
Perdebatan antara dua orang aneh ini makin menjadi. Karena yang mereka bicarakan adalah urusan kematian dan amat mendalam maka Yu Kai dan adik adiknya tak berani mencampuri percakapan mereka.
Karena itu mereka membiarkan saja dua orang tua itu berbantahan. Dan mereka sibuk menyambut tamu-tamu lain yang berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah Yu Tiang Sin.
Ketika melihat datangnya seorang pengemis tua di antara para tamu, Yu Kai segera menyambutnya sebab mengira pengemis ini seorang tokoh besar persilatan yang mengenal ayahnya. Akan tetapi kakek pengemis ini tidak menghampiri meja sembahyang melainkan segera duduk di atas tanah dan menundukkan muka sambil menggaruk-garuk punggungnya.
Kepala pengemis itu tertutup sebuah topi lebar yang butut sehingga mukanya tersembunyi di baik topi lebar itu.
Rambutnya sudah putih semua, tubuhnya kurus kering dan pakaiannya penuh tambalan sobekan di sana-sini memperlihatkan kulit yang keriput dan tulang yang menonjol. Sepatu rumput yang menutupi kedua kakinya juga sudah butut.
Sewaktu berjalan masuk tadi ia dibantu oleh tongkatnya yang terbuat dari bambu dan kini tongkatnya melintang di pangkuannya. Keadaannya jelas membayangkan bahwa ia seorang pengemis yang hidupnya sangat sengsara dan agaknya sering menderita kelaparan. Tak ada hal yang aneh dan mencurigakan pada diri kakek ini hingga para tamu tidak ada yang memperhatikannya. Melihat sikap pengemis itu Yu Kai pun akhirnya menganggap dia bukan tamu melainkan seorang pengemis biasa, maka dia tak memperhatikannya lagi.
Tidak demikian dengan Siauw-bin-mo Hap Tojin dan Liong Losu. Karena pengemis itu berjongkok di dekat meja mereka, keduanya memandangnya dan menghentikan perbantahan mereka lalu Hap Tojin menegurnya.
"Eh, lokai (pengemis tua), orang mengemis sepatutnya mendatangi orang yang sedang merayakan perkawinan dan bukan orang yang berkabung! Di tempat kematian ini mana ada makanan lebih?"
Tosu itu tertawa-tawa sehingga banyak tamu yang mungerutkan kening. Tertawa-tawa di waktu melayat benar-benar merupakan perbuatan yang tak sopan.
Sebaliknya Liong Losu melihat pengemis ini seraya berkata,
"Nah kau lihatlah baik-baik, to-yu. Seperti pengemis ini, bukankah ia menderita dalam hidup? Sudah tua bangka dan berpenyakitan, masih menderita kelaparan dan hidup terhina sebagai pengemis. Tidak kasihankah kau melihat penderitaan manusia ini?"
"Menderita apa? Dia senang! Lebih senang dari orang lain. Dia tua, apa kau kira orang muda lebih senang dari pada orang tua. Dia miskin, apa kau kira orang kaya lebih senang dari pada orang miskin? Dia kurus, apa kau kira orang gemuk seperti kau ini lebih senang dari pada orang kurus?"
Kembali dua orang ini berbantahan, tanpa menghiraukan lagi kepada si pengemis tua itu.Tiba-tiba pengemis itu menarik napas panjang dan berkata.
"Apakah itu baik? Apakah itu jahat? Manusia tidak baik, juga tidak jahat. Kebaikan yang dipuji orang bukan kebaikan lagi. Kejahatan yang dicela orang belum tentu kejahatan. Siapa menciptakan baik dan jahat? Orang! Siapa menciptakan susah dan senang? Orang. Semua itu sebetulnya tidak ada. Adanya karena dipaksakan orang, oleh orang yang memang suka mengada-ada! Semua kosong kelihatannya berisi akan tetapi kosong. Yang kosong sebetulnya penuh isi. Aneh tapi tidak aneh. Benar tapi salah juga! Heh......"
Pengemis itu menghela napas lagi. Lalu bangkit dan jalan perlahan dibantu tongkatnya. Setelah berdiri baru tampak mukanya. Muka tua yang keriputan, muka yang terlalu tua untuk hidup. Usianya sudah seratus tahun lebih.
Tosu dan hwesio itu saling pandang. Sebagai dua orang ahli kebatinan, mereka mendengar ucapan pengemis tadi seperti halilintar menggelegar di angkasa. Mereka sekaligus tunduk, takluk merasa terkalahkan. Keduanya segera berdiri hendak menyusul, akan tetapi ketika memandang keluar kakek itu sudah lenyap, seakan-akan ditelan bumi. Keduanya menghela napas. Siauw-bin-mo yang sadar lebih dahulu berkata sambil tertawa.
"Dalam segebrakan kita runtuh, ha-ha-ha! Dapatkah kau menduga, siapa dia?"
Hwesio gendut itu menggelengkan kepala.
"Pinceng (aku) tidak tahu. Akan tetapi sinar matanya...... hebat!"
Makin siang makin banyak tamu yang datang berlayat kepada jenazah kakek Yu. Akan tetapi setelah lewat tengah hari tamu-tamu mulai meninggalkan tempat itu dan setelah senja rumah itu menjadi sepi.
Anehnya tosu dan hwesio itu masih saja bercakap-cakap. Diam-diam para pelayan merasa mendongkol. Sudah dua kali mereka menyuguhkan hidangan pada dua pendeta ini.
Yang paling menjemukan adalah si hwesio yang tidak pantang makan daging dan arak. Tetapi Yu Kai dan adik-adiknya maklum bahwa kedua pendeta ini adalah orang yang berilmu, mereka tetap bersikap hormat sambil menduga-duga mengapa kedua orang ini tetap berada di situ? Mereka mulai gelisah dan menduga pasti akan terjadi sesuatu, maka mereka bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Orang-orang mulai menyalakan lampu, malam itu malam terakhir menjaga peti mati, karena besok pagi peti mati itu akan diberangkatkan ke kubur. Setelah melakukan upacara sembahyang Yu Kai dan adik-adiknya menjaga peti mati. Karena khawatir kalau anak anak mereka sakit, Yu Kai memaksa anak-anak masuk dan mengaso di dalam rumah.
Yu Lee yang takut kepada ayahnya terpaksa juga meninggalkan peti mati sambil menengok peti mati itu beberapa kali. Kini yang menjaga peti mati hanya Yu Kai dan adik-adiknya serta tosu dan hwesio yang duduk menghadapi meja hidangan dan arak.
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tak lama kemudian berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu di depan peti mati telah berdiri dua orang. Yang seorang berumur limapuluhan, bermuka kuning bertubuh tinggi besar. Di punggungnya tampak sebatang golok besar, Orang kedua seorang wanita, usianya empatpuluh tahun, dimukanya yang putih dan cantik itu tampak goresan pedang, dari pipi kanan sampai ke dagu sehingga muka yang cantik itu tampak menyeramkan.
Wanita cantik ini membawa sebatang pedang di pinggang kirinya. Begitu tiba di depan peti, kedua orang ini memandang peti mati dengan mata beringas. Yang lelaki berkata, suaranya menyeramkan.
"Yu Tiang Sin, kami berjanji sepuluh tahun akan mengadakan perhitungan. Malam ini tepat sepuluh tahun. Siapa kira kau tidak menepati janji dan telah mati. Hendak kulihat apakah kau benar-benar mampus ataukah hanya berpura-pura mati karena takut akan pembalasan kami?"
Setelah berkata demikian laki-laki muka kuning ini melangkah maju. Tangan kanannya bergerak hendak memegang peti mati.
Yu Kai dan adik-adiknya yang menjaga peti mati dan tadinya sudah bersiap-siap hendak membalas penghormatan orang mendadak menjadi terkejut mendengar ucapan itu. Yu Kai segera melompat berdiri diikuti kedua orang adiknya dan berkata,
"Tahan dulu! Siapapun tidak boleh mengganggu peti ayahku!"
Laki laki muka kuning ini menahan tangannya lalu memandang kepada Yu Kai dan adik-adiknya. Dua orang adik Yo Kai bernama Yu Liang berusia empatpuluh tahun dan Yu Goan tigapuluh tahun. Seperti Yu Kai mereka juga telah menerima gemblengan ilmu silat tinggi dari ayahnya. Akan tetapi, karena kurang berbakat, maka ilmu silatnya tidak sebaik Yu Kai yang berwatak pendiam.
"Hemm, kalian ini tentunya putera si tua Yu bukan? Bagus, ayah harimau anaknya harimau pula. Tetapi kami bukan orang yang suka mengganggu harimau, kecuali harimau yang pernah mencakar kami. Aku mau melihat muka Yu Tiang Sin tidak perduli kau membolehkan atau tidak!"
Setelah berkata si muka kuning melanjutkan gerakan tangannya ke arah peti mati.
"Manusia jahat jangan kurang ajar!"
Tiba-tiba Yu Goan tidak dapat menahan sabarnya lagi. Ia menerjang ke arah lambung kiri si muka kuning itu. Hebat sekali pukulan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang dahsyat. Mengarah bagian lemah tubuh lawan.
"Bagus Yu Tiang Sin, bukan aku yang menghina orang muda, tapi anakmu yang menyerangku!"
Si muka kuning berkata sambil menangkis dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya tergerak terus ke arah peti mati.
Terdengar suara keras, dan berbareng dengan terbongkarnya tutup peti mati, tubuh Yu Goan terlempar sampai tiga meter dan roboh di atas lantai.
Yu Kai terkejut. Kemarahannya meluap. Orang telah menghina ayahnya. Jenazah yang sudah tiga hari tiga malam itu tercium bau tidak sedap. Dia maklum betapa lihai lawan ketika menangkis serangan Yu Goan, dengan gerakan sedikit membetot, Yu Goan sudah terlempar jauh, dan berbareng dengan itu tangan kanan si muka kuning itu sekali memukul dengan jari terbuka sudah dapat membongkar tutup peti mati yang rapat dan amat kokoh kuat itu. Dapat dibayangkan berapa hebat tenaga dalam si muka kuning ini.
Namun Yu Kai tidak sembrono seperti adiknya. Ia cepat melangkah maju dan bertanya.
"Siapakah tuan berdua yang tidak berpribudi ini? Dan apa dosa mendiang ayah kami sehingga setelah meninggal dunia masih mengalami penghinaan tuan?"
Si muka kuning mendengus. Sikap Yu Kai membuat ia tidak berani memandang rendah. Setetah memandang dengan penuh selidik, lalu berkata.
"Aku adalah Kim-to (Golok Emas) Cia Koan Hok, dan dia isteriku Bi-kiam (Pedang Cantik) Souw Kwat Si. Sepuluh tahun yang lalu ayahmu telah mencampari urusan kami yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia, sehingga melukai kami berdua. Sayang. kiranya ayahmu telah benarbenar mampus dan menyiarkan bau busuk!"
"Keparat! Tutup mulutmu bentak Yu Liang yang marah sekali. Tetapi tiba-tiba terdengar desir angin menyambar, Yu Liang cepat mengelak. Dan sebatang piauw (pisau rahasia) menyambar di atas kepalanya.
"Perempuan keparat!"
Ia memaki sambil menerjang penyerangnya tadi.
Bi-kiam Souw Kwat Si tersenyum mengejek dan menangkis. Begitu kedua tangan bertemu secara aneh jari tangan nyonya itu sudah menotok jalan darah di pergelangan tangan. Yu Liang terkejut, ia berusaha mengelak dan menarik kembali lengannya.
Untung ia bisa bergerak cepat sehingga lengannya tidak tertotok secara tepat, hanya kesemutan saja. Terlambat sedikit saja tentu tangannya akan lumpuh.
"Hi-hi-hi, kau terkejut?"
Tanya si nyonya sambil tersenyum lebar. Kalau saja tidak ada guratan bekas luka dari pipi ke dagu tentu senyum itu akan kelihatan manis. Pandangannya tajam penuh arti, mata seorang perempuan genit!
Memang diantara saudara-saudaranya, Yu Liang adalah yang paling tampan. Mukanya bundar, alisnya tebal, hidungnya mancung. Jauh lebih tampan dibanding dengan si muka kuning.
"Sayang ayah dulu tidak menggurat lehermu sampai putus!"
Bentak Yu Liang marah.
Ia mulai dapat menduga mengapa wanita ini bermusuhan dengan ayahnya. Jelas wanita ini bukan orang baik-baik. Sambil membentak ia menerjang dengan pukulan bertubi-tubi, namun sambil tertawa perempuan ini mengelak dengan gerakan lincah sekali.
Melihat adiknya sudah bertanding melawan musuh, Yu Kai juga tidak tinggal diam dan berseru.
"Ayah sudah meninggal tetapi masih ada puteranya yang tidak akan mundur melawan penjahat!"
"Bagus!"
Kim-to Cia Koan Hok miringkan tubuh menghindarkan pukulan Yu Kai yang meluncur ke arah dadanya dan pada detik berikutnya ia balas menusuk ke arah iga lawan.
Yu Kai terkejut, sodokan jari itu bukan main-main, karena itu adalah jurus (Dewa Menunjuk Jalan) yaitu menggunakan dua buah jari menutuk jalan darah yan-goat-hiat di bawah ketiaknya. Cepat-cepat dia menurunkan pangkal lengannya, menggunakan siku memapaki tangan lawan sambil memukulkan tangan kiri ke pelipis kanan lawan.
"Eh, kau boleh juga!"
Si muka kuning berseru merendahkan tubuh lalu mengirim tendangan secara tiba-tiba.
Diserang seperti ini, Yu Kai meloncat mundur, namun lawannya mendesak terus dengan gerakan Lian-hoan-twi yaitu ilmu tendangan bertubi-tubi dengan kedua kaki bergantian. Ia segera mundur dengan langkah Tui-po-lian-hoan (Mengundurkan Kaki Bcrantai ) sambil menungkis dan berusaha menangkap kaki lawan. Dengan demikian keadaan menjadi berbalik.
Biarpun kelihatannya menyerang namun bahaya berada di pihak si penyerang. Karena sekali saja kakinya tertangkap, celakalah ia. Si Golok Emas ternyata lihai sekali karena ia segera merobah gerakan kakinya dengan serangan pukulan sehingga Yu Kai repot untuk menangkisnya. Setiap kali lengannya menangkis, ia merasa tubuhnya tergetar dan lengannya nyeri, pertanda bahwa ia masih kalah tenaga.
Sementara Yu Liang yang melawan nyonya itu segera terdesak setelah wanita itu melakukan penyerangan cepat. Gerakannya benar-benar cepat seperti burung walet menyambar-nyambar. Baru belasan jurus saja Yu Liang sudah kena terpukul membuat ia terhuyung-huyung.
Namun Yu Liang tidak gentar. Ia lalu menyerang lagi penuh kemarahan. Yu Goan yang tadi terbanting roboh, kini bangun dan menerjang membantu adiknya. Namun biar dikeroyok dua, Souw Kwat Si masih tertawa-tawa mengejek dan tubuhnya berkelebatan menyerang kepada kakak beradik itu.
Keributan di ruang depan ini agaknya menimbulkan panik di dalam rumah. Semua pelayan dan anak isteri tiga saudara Yu bersembunyi di dalam kamar. Biarpun mereka ini keluarga pendekar, namun mereka ini hidup tenteram dan baru kali ini mereka melawan musuh yang datang menyerang.
Tetapi Yu Lee menyelinap keluar dan berlari ke ruangan depan. Melihat peti mati terbuka ia lari mendekati dan menjenguk ke dalam peti mati.
"Kong-kong, ah, kong-kong...... ada orang...... yang mengganggu tempat tidurmu, kenapa kau tidak pukul mereka? Kong-kong, kau...... sudah..... kau sudah mati......
"
Anak itu menangis keras. Kemudian ia menengok ke arah mereka yang berkelahi.
Ia baru mempelajari dasar-dasar ilmu silat maka tidak tahu bagaimana keadaan ayah dan kedua pamannya. Hatinya ingin membantu namun ia dimarahi ayahnya. Kemudian ia berlari masuk dan tak lama kemudian kembali sambil membawa tiga batang pedang.
"Ayah,Paman! Mari gunakan pedang memukul penjahat!"
Teriaknya.
Memang Yu Kai dan kedua adiknya sudah terdesak, maka teriakan ini mengingatkan mereka. Juga teriakan anak itu menarik perhatian kedua orang lawan sehingga ketiganya mendapat kesempatan mundur.
"Lee-ji masuklah!"
Seru Yu Kai setelah menerima pedangnya. Kemudian bersama adik-adiknya ia sudah meloncat maju lagi menghadapi lawan. Kim-to Cia Koan Hok tertawa lalu menghunus goloknya yang mengeluarkan sinar menyilaukan. Itulah Kim-to golok emas yang membuat namanya terkenal.
Sepuluh tahun yang lalu Kim-to Cia Koan Hok terkenal sebagai seorang perampok yang ganas, disamping isterinya Bi-kiam Souw Kwat Si yang memiliki ilmu kepandaian setingkat dengan suaminya. Akan tetapi semenjak suami isteri ini roboh di tangan Yu-kiam-sian, mereka menghilang dari dunia kangouw tidak mendengar lagi nama mereka.
Melihat suaminya menghunus golok emasnya, Bi-kiam Souw Kwat Si tertawa. Suara ketawanya merdu.
"Eh-eh, untuk menghajar anak-anak anjing ini perlukah menggunakan senjata?"
Akan tetapi tiba-tiba wanita ini meloncat ke samping, menghindarkan diri dari serangan pedang yang gerakannya cepat dan kuat. Ia terkejut melihat serangan Yu Kai ini dan ia tahu bahwa menghadapi pedang lawan ini, ia tidak boleh main main, cepat tangan kanannya tergerak dan "sring!"
Sebatang pedang sudah berada di tangannya.
Mendiang Yu Tiang Sin terkenal karena ilmu pedangnya sehingga ia mendapat julukan Dewa Pedang. Sayang bahwa ketiga puteranya kurang berbakat hingga belum dapat mewarisi seluruh kepandaiannya. Apa lagi ilmu pedangnya yang luar biasa amat sukar dipelajari, putera-puteranya belum dapat menguasai sepersepuluh bagian ilmu ini. Ilmu pedang yang mengangkat nama Yu Tiang Sin ini disebut Ngo-heng-lian-hoan-kiam.
Ilmu pedang ini berdasarkan Ngo-heng yaitu lima unsur yang saling menghidupkan dan saling mematikan (api-air-kayu-logam-tanah) maka di dalamnya mengandung perobahan-perobahan yang tidak terduga, dan penggunaan tenagapun berselang-saling tenaga Yang-kang (tenaga kasar) dan Im-kang (tenaga lemas).
Sifat inilah yang membuat Ngo-heng-lian-hoan-kiam sukar dipelajari, dan hanya dapat dipelajari oleh orang yang sudah tinggi tenaga lweekangnya, semua terdiri dari seratus tujuhpuluh dua jurus, dibagi dalam tiga tingkat.
Tiga orang putera Dewa Pedang itu hanya menguasai duapuluh jurus saja, tingkat pertama pun belum habis.
Namun setelah mereka memegang pedang ternyata keampuhan ilmu pedang Ngo-heng-lian-hoan-kiam mengagumkan. Tiga batang pedang itu mengeluarkan angin yang keras dan begitu menerjang maju, suami isteri itu terhuyung ke belakang! Sayang sekali ketiga saudara yang mempunyai ilmu pedang hebat itu belum mempunyai tingkat selanjutnya, hingga mereka hanya mampu mendesak tanpa mampu memperoleh kemenangan. Karena pada dasarnya mereka memang kalah tenaga dan kalah pangalaman. Setelah suami itu bertahan puluhan jurus, mereka bertiga mulai terdesak!
"Ha ha ha! Begitu sajakah ilmu pedang anak-anaknya si Dewa Pedang? Kalau sungguh tak tahu malu si tua bangka she Yu berani menggunakan juIukan Dewa Pedang!"
Seru Kim-to Cia Koan Hok yang telah menyelami tingkat kepandaian lawan. Iapun lalu menggerakkan kim-to sambil mengerahkan tenaga, membabat pedang Yu Liang.
"Trang!"
Pedang Yu Liang terlempar dan berbareng dengan itu pedang Yu Goan pun terlempar oleh pedang Bi-kiam Souw Kwat Si. Tidak hanya di situ gerakan suami isteri ini. Golok dan pedang berkelebat dan Yu Liang bersama adiknya roboh dengan pundak dan paha terluka.
Untung mereka masih bisa berkelit, kalau tidak tentu binasa. Lukanya tidak berat namun cukup membuat mereka tidak bisa melawan lagi.
Yu Kai menggigit bibir dan memutar pedang cepat sekali. Sedikitpun ia tidak mundur meskipun suami isteri itu bukan tandingannya. Ketika pedangnya meluncur dengan lingkaran besar, dari kanan kini golok emas dan pedang lawannya mengurung kemudian menjepit. Ia masih berusaha mengerahkan tenaga ke tangannya lalu menggetarkan pedang supaya ter]epas, namun sia-sia bahkan terdengar suara "krek!"
Dan tahu tahu pedangnya patah menjadi dua, ia hendak meloncat mundur namun terlambat, karena pedang wanita itu telah menyambarnya, sehingga pakaian dan kulit di pangkal lengan kirinya terbabat sedikit.
Darah keluar dan tubuh Yu Kai terhuyung-huyung ke belakang.
"Ayah!"
Sesosok bayangan kecil berkelebat dan tahu-tahu Yu Lee sudah berdiri di depan orang tuanya melindungi ayahnya dan menantang suami isteri itu dengan air mata bercucuran, tetapi muka dan dadanya diangkat, sedikitpun tidak takut.
"Jangan bunuh ayahku! Hayo, kalau kau betul-betul gagah, boleh bunuh aku!"
Teriaknya dengan nyaring.
"Huh!"
Kim-to Cia Koan Hok mendengus.
"Aku tak butuh kepala kecilmu, yang aku butuhkan kepala Yu Tiang Sin."
Ia tidak memperdulikan Yu Lee dan melangkah ke arah peti mati dengan golok di tangan. Ia agaknya hendak memenggal kepala jenazah Yu Tiang Sin dan hendak membawanya pergi.
"Tidak boleh ganggu kong-kong!"
Yu Lee berteriak sambil maju, lalu memukul perut Kim-to Cia Koan Hok.
"Lee-jie mundur!"
Teriak Yu Kai kaget. Namun terlambat, karena tahu-tahu kaki bekas perampok ini menendang.
Tubuh Yu Lee terlempar ke atas dan masih bagus baginya, karena Kim-to Cia Koan Hok yang merasa kagum melihat keberanian bocah ini tidak mau menendang untuk membunuhnya, melainkan hanya melontarkan tubuh anak itu dengan kaki.
"Omitohud!"
Tiba-tiba terdengar suara menyebut nama Buddha dan sebatang tongkat bergerak menerima tubuh Yu Lee, menahannya hingga tidak sampai terbanting keras di tanah. Ternyata Tho-tee-kong Liong Losu yang menolongnya itu.
Adapun si Golok Emas dengan beringas terus membacokkan goloknya ke arah leher jenazah Yu Tiang Sin.
"Trang!"
Si Golok Emas terkejut sekali karena goloknya tertahan dan hampir saja terlepas dari pegangannya. Ketika melihat bahwa yang menangkis goloknya adalah seorang tosu yang memegang pedang buruk, ia cepat mundur sambit menjura dengan hormat dan berkata.
"Mohon tanya, siapakah totiang dan mengapa mencegah aku membalas sakit hati yang sudah terpendam sepuluh tahun lamanya?"
Penangkis golok itu ternyata Siauw-bin-mo Hap Tojin. Mendengar pertanyaan itu ia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, bocah sombong sungguh tidak tahu diri. Dengan kepandaianmu yang cetek ini bagaimana kau berani menghina jenazah Yu Tiang Sin? Sedangkan pedang bututku inipun belum dapat menandingi Dewa Pedang. Apa lagi golokmu pemotong babi itu! Aku Siauw-bin-mo paling tidak suka melihat bocah sombong!"
Kim-to Cia Koan Hok tentu saja pernah mendengar nama ini, diam diam ia terkejut. Tapi ia tidak takut. Karena tahu bahwa tosu ini membela musuh besarnya. Ia lalu memutar goloknya, menyerang dengan dahsyat,
"Ha-ha-ha....... manusia tidak tahu diri!"
Hap Tojin tertawa, pedangnya berkelebat dan sekali lagi terdengar suara beradunya senjata, disusul seruan kaget Kim-to Cia Koan Hok karena goloknya terlepas dari tangannya. Dengan muka merah saking geram dan malunya ia mengambil goloknya. Dan tanpa perdulikan lawan yang mentertawakan ia kemudian menerjang lagi dengan hati-hati. Melihat lihainya tosu yang bertanding melawan suaminya. Souw Kwat Si segera meloncat maju hendak membantu.
Akan tetapi tiba-tiba sebatang tongkat telah meluncur ke depan kakinya. Bi-kiam Souw Kwat Si memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, namun karena tidak menyangka sama sekali, kakinya terjegal dan ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Baiknya ia cepat mematahkan dorongan ini dengan meloncat ke atas hingga dapat menguasai kembali keeimbangan tubuhnya. Cepat ia memutar tubuh sambil menyabetkan pedang.
Kiranya di belakangnya berdiri seorang hwesio gendut yang tengah memandangnya. Hwesio ini menggeleng-gelengkan kepala, menarik napas panjang dan berkata.
"Orang sudah mati masih dicari hendak diganggu. Sungguh merupakan dosa besar. Sebelum terlambat mengapa tidak insaf dan pergi agar tidak menumpuk dosa?"
Bi-kiam Souw Kwat Si tahu bahwa hwesio gundul inipun yang tadi menghalanginya dengan tongkat panjang itu. Ia marah sekali.
"Hwesio gundul! Tugasmu hanya menyembahyangkan si mati agar rohnya dapat pengampunan di akherat. Sekarang mengapa engkau ikut campur urusan kami?"
"Omitohud! Pinceng tidak mencampuri urusan kalian, hanya memberi nasehat kepada toanio (nyonya) agar jangan tersesat. Orang berdosa yang insyaf akan dosanya kemudian bertobat, itulah jalan yang baik. Akan tetapi apa bila orang berdosa itu seakan-akan tidak tahu dosanya dan melanjutkan kesalahannya yang dikiranya benar, aduh sangat kasihan sekali orang semacam itu."
"Ha-ha-ha Tho-tee-kong, apa kau mau berkhothah?"
Tiba tiba Hap Tojin yang masih melawan si Golok Emas tertawa seenaknya.
Mendengar disebutnya julukan hwesio ini nyonya itu kaget dan tahu bahwa hwesio itu bukan orang sembarangan dan menjadi musuh para penjahat. Maka tanpa banyak cakap lagi pedangnya berkelebat menusuk ke arah tenggorokan hwesio itu.
Tho-tee-kong tidak mengelak, dan begitu pedang sudah dekat dengan lehernya, tongkatnya menotok ke depan dengan gerakan cepat sekali.
Bi-kiam Souw Kwat Si terkejut. Kalau ia meneruskan serangannya, tongkat lawan tentu akan lebih dulu menghantam pangkal lengannya yang memegang pedang. Terpaksa ia mengelak sambil menarik lengannya dan dari samping ia membabatkan pedangnya ke arah pinggang lawan. Gerakan ini selain indah juga dahsyat dan berbahaya. Inilah yang disebut jurus Sin-liong-tiauw-wi (Naga Sakti Menyabetkan Ekor) cepat dan kuat gerakannya.
"Omitohud...... pedangmu ganas sekali!"
Seru si hwesio kagum. Dari gerakan ini terbukti bahwa nyonya ini benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi.
Tidak heran kalau putera-putera kakek Yu bukan lawan suami isteri ini. Karena sambaran pedang itu berbahaya. Tho-tee-kong lalu menekan tongkat ke lantai dan tubuhnya loncat ke atas, di belakang tongkat.
"Trang!"
Pedangnya itu menghantam tongkat dan membalik. Nyonya itu kaget, telapak tangannya serasa diiris pisau. Celakanya pada saat itu, tongkat lawan menyambar ke arah kepalanya.
Tongkat itu mempunyai hiasan kepala naga yang kini akan menyambar batok kepala. Nyonya muda itu mengeluarkan keringat dingin, terpaksa ia membuang diri ke atas lantai terus bergulingan.
Celaka baginya, tongkat itu terus membayangi kepalanya, hanya terpisah satu kaki jauhnya. Bi-kiam Souw Kwat Si menggigit bibir mengerahkan tenaga lain membabatkan pedang ke kepala tongkat. Terdengar suara keras dan tubuhnya mencelat ke belakang.
Kiranya pedangnya telah patah dua, dan bersamaan pula pada saat itu terdengar suara Siauw-bin-mo Hap Tojin tertawa bergelak dan berkata.
"Pergilah!"
Tahu-tahu tubuh Kim-to Cia Koan Hok melayang dan hampir saja menimpa tubuh isterinya yang baru saja dapat menguasai keseimbangan badannya.
Seperti isterinya, si golok emas tak berdaya menghadapi lawan. Goloknya dibikin terpental oleh Siauw-bin-mo dan lenyap entah ke mana. Kini suami isteri itu berdiri dengan pucat. Rasa marah, malu dan duka bercampur aduk menjadi satu.
Sepuluh tahun lebih mereka melatih diri dengan tekun sehingga memperoleh kemajuan pesat. Rasa dendam disimpan di dalam hati selama sepuluh tahun. Kini mereka hanya bertemu dengan peti mati musuh besarnya, kekecewaan ini saja sudah hebat. Sekarang ditambah lagi kenyataan bahwa jerih payah mereka ini sia-sia belaka. Menghadapi dua orang sahabat musuh besarnya, mereka tidak mampu berkutik! Hati siapa takkan menjadi malu, penasaran dan berduka?
"Sudahlah!"
Kim-to Cia Koan Hok membanting kakinya, lalu mengajak pergi isterinya. Mereka meloncat dan lenyap dalam kegelapan malam.
Setelah mengobati luka-lukanya. Yu Kai dan adik-adiknya lalu membetulkan penutup peti mati memasang paku baru. Isteri dan anak anak mereka baru berani keluar setelah musuh terusir pergi. Kemudian dipimpin oleh Yu Kai mereka berlutut di depan tosu dan hwesio itu untuk menghaturkan terima kasih.
"Maafkan bahwa teecu menyambut jiwi locianpwe (dua orang gagah) kurang hormat kiranya jiwi adalah dua orang penolong besar yang tidak saja sudah melindungi kehormatan keluarga teecu sekalian juga menolong keselamatan teecu bertiga."
"Omitohud...... tidak ada urusan tolong menolong. Yu-sicu yang sudah meninggal dunia adalah
(Lanjut ke Jilid 02)
Pendekar Cengeng (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jilid 02
sahabat baik pinceng, sehingga keluarganya sama dengan keluarga pinceng sendiri. Disamping itu perbuatan jahat memang harus dicegah. Pinceng hanya memenuhi kewajiban belaka,"
Jawab Tho-tee kong Liong Losu yang segera mengangkat bangun tubuh Yu Kai.
"Ha-ha-ha...... dua ekor anjing itu apa artinya? Dikhawatirkan datangnya srigala yang lebih berbahaya. Siapa tahu? Yu Loheng dahulu di waktu hidupnya terkenal seorang yang usil tangannya, suka sekali mencampuri urusan orang lain, sehingga musuh-musuhnya tidak terhitung berapa orang banyaknya. Betapapun juga karena pinto (saya) yakin dan percaya dia berada di pihak yang benar, maka pinto tidak akan tinggal diam kalau ada orang yang berani mengganggu jenazahnya."
Yu Kai kembali menghaturkan terima kasih. Setelah peti mati ditutup rapat, kembali mereka menjaga peti mati. Yu Lee menambah dupa di perapian lalu terdengar suaranya berkata perlahan,
"Kong-kong, sayang orang-orang jahat dapat datang setelah kau pergi! Kalau kau masih hidup dan menghajar mereka, alangkah akan senangnya aku menonton."
Bicara sampai di situ Yu Lee teringat lagi kepada kakeknya yang setiap hari mengajaknya jalan di waktu fajar menyingsing, kakek yang amat sayang kepadanya dan yang menjadi teman bermain-main baginya. Tidak tertahankan lagi iapun lalu menangis.
"Heh-heh, cengeeeeng!"
Hap Tojin mengejek.
"Bocah cengeng, kau sepatutnya menjadi murid Tho-tee kong. Sama-sama cengengnya, cocok benar!"
"Siauw-kongcu ini berbakti dan mengenal kasih sayang. Mengapa kau mencela to-yu?"
Kata si hwesio yang sudah duduk kembali menghadapi meja, menyandarkan tongkatnya yang berat di pundaknya.
"Lee-jie diamlah! Kau menangis saja tiada hentinya!"
Bentak Yu Kai kepada puteranya.
Yu Lee memandang ayahnya dengan sinar mata sedih.
"Ayah, kalau kong-kong hidup lagi aku tidak akan menangis......."
Pada saat itu, terdengar suara melengking di udara, suara yang bernada tinggi. Seakan-akan ada sesuatu terbang di angkasa lalu perlahan-lahan turun dan mengitari tempat itu. Suara melengking makin nyaring seperti rintihan, Yu Lee menangis makin mengguguk seakan-akan terdorong oleh suara lengking yang menyeramkan itu.
Yu Kai dan kedua adiknya saling pandang, kemudian bulu tengkuk mereka meremang karena lengkingan nyaring itu mengguncang jantungnya.
Ketika mereka melirik ke arah berdirinya dua orang pendeta, keduanya sudah berhenti bercakap-cakap, bahkan kini sudah duduk diam dan mengatur pernapasannya seperti orang sedang mengerahkan lweekang.
"Celaka! Bawa masuk anak-anak!"
Teriak Yu Kai. Dan saat itu anak anak mereka telah roboh terguling, setelah tadi menutup telinga yang terasa ditusuk mendengar bunyi yang melengking itu.
Yu Liang dan Yu Goan sudah tidak kuat lagi mengangkat anak-anaknya yang roboh terguling karena dirinya sendiri sudah menggigil.
Cepat-cepat mereka meniru perbuatan Yu Kai, duduk bersila sambil mengatur napas dan mengerahkan tenaga lweekangnva untuk menahan serangan hebat yang timbul dari getaran suara itu.
Namun, hampir saja mereka tidak kuat menahan dan kini mata mereka sudah bercucuran air mata, terbawa oleh lengking yang mengerikan itu.
Tubuh mereka sudah bergoyang-goyang dan hampir roboh.
"Omitohud!"
Tho tee-kong Liong Losu memuji nama Buddha dan kakek inipun sudah bersila sambil memeramkan mata dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa.
"Siancai!"
Sauw-bin-mo Hap Tojin juga sudah bersila dan mengatur pernapasan, kemudian ia mengetuk-ngetukkan guci araknya untuk menimbulkan suara nyaring melawan lengking tangis itu.
Tapi yang mengherankan adalah Yu Lee. Bocah ini masih saja menangis dan tangisnya amat hebat tersedu-sedu dan sesenggukan. Akan tetapi ia tidak segera roboh pingsan seperti saudara saudaranya yang lain. Apa sebabnya bisa demikian?
Seperti diketahui, Yu Lee tiada hentinya menangis setelah kakek yang disayangnya itu wafat. Dia merasakan hatinya sedih bukan main dan tangisnya itu memang sudah sewajarnya. Adapun lengkingan tangis yang terdengar itu mengandung pengaruh luar biasa dan menyedihkan sekali.
Bagi mereka yang mendengarkan suara lengkingan ini, langsung terserang perasaannya hingga jantungnya terasa ditusuk-tusuk. Akan tetapi kesedihan Yu Lee juga merupakan kesedihan luar biasa, tidak sama dengan kesedihan manusia yang hanya lumrah. Kesedihannya ini membuat anak itu lupa akan segala-galanya.
Seluruh perasaannya tercurah di dalam kedukaan sehingga hal-hal yang lain tidaklah begitu dirasakannya.
Inilah sebabnya mengapa lengkingan tangis itu tidak mempeagaruhi dirinya secara hebat, makin sedih hatinya serta keras tangisnya makin membuat dia terbebas dari pada pengaruh suara lengkingan yang sangat mengerikan itu.
Tiga orang saudara Yu sudah hampir tak kuat bertahan lagi. Wajah mereka sudah pucat dan berkeringat. Tiba-tiba suara lengkingan itu berhenti, suasana di tempat itu menjadi sunyi sekali. Hanya terdengar tangis Yu Lee yang mengguguk.
Sewaktu Yu Kai mau menegur puteranya tiba-tiba terdengar suara gedubrakan ketika dua tubuh manusia dilempar dari luar menimpa meja sembahyang.
Ketika semua orang melihat, ternyata itu adalah si golok emas Kim-to Cia Koan Hok dan isterinya, tubuhnya kini telah menjadi mayat! Kemudian terdengar sebuah suara dari kegelapan,
"Yu Tiang Sin, aku datang akan menagih hutang! Seluruh keluarga Yu harus aku tumpas habis, Semua anjing dan kucingnya, semua pelayan dan tamu-tamunya tak satupun boleh lolos!"
Itulah suara seorang wanita yang sangat merdu namun membuat bulu tengkuk berdiri. Yu Kai dan kedua adiknya sudah melompat bangun menyambar pedang dan mencelat, ke depan pintu untuk menyambut musuh yang mengerikan ini. Musuh yang datang kali ini benar-benar luar biasa dan agaknya hendak membuktikan ancamannya, yaitu menumpas habis seluruh isi rumah keluarga Yu. Sebagai bukti Kim-to Cia Koan Hok dan Bi-kiam Souw Kwat Si yang baru saja keluar telah terbunuh dan mayatnya dilemparkan kembali masuk ke rumah keluarga Yu!
Dapat membunuh suami isteri bekas perampok itu dalam sekejap dan tanpa menimbulkan suara benar-benar membuktikan kehebatan tamu aneh itu. Namun untuk melindungi keluarganya, Yu Kai dan adik-adiknya tidak merasa takut dan bersiap-siap untuk melawan dengan taruhan nyawa.
"Sicu, hati-hatilah!"
Tampak dua bayangan berkelebat, ternyata kedua orang hwesio itu telah berdiri di samping tiga orang she Yu itu untuk membantu mereka. Dua orang tokoh tua itu adalah orang-orang sakti akan tetapi kali ini wajah mereka diliputi ketegangan karena mereka maklum bahwa yang datang kali ini benar-benar merupakan lawan yang berat!
Tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan ngeri dari dalam rumah. Tiga saudara Yu menjadi pucat.
Cepat mereka menengok dan saat itu dari pintu dalam muncul pelayan wanita yang tubuhnya berlumuran darah. Pelayan itu terhuyung-huyung ke depan, lalu serunya.
"Toaya (tuan)...... celaka, semua..... semua dibunuh......"
Sampai di situ ia terguling dan putus nyawanya.
"Celaka! Musuh menggunakan memancing harimau keluar dari sarang!"
Teriak Tho-tee-kong Liong Losu.
Yang disebut siasat memancing harimau keluar dari sarang adalah siasat perang yang maksudnya memancing keluar penghuni atau pun penjaga kota, sehingga kotanya sendiri menjadi tidak terjaga dan mudah diserang dari lain jurusan.
Agaknya tamu aneh yang datangnya ditandai dengan lengking tangis ini sengaja memancing perhatian mereka dari depan, lalu diam-diam mengambil jalan memutar terus masuk ke belakang rumah dan begitu masuk terus melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap wanita, anak-anak dan semua pelayan yang berada di bagian belakang dalam rumah itu. Tidak hanya keluarga dan pelayan, tetapi bahkan segala macam binatang peliharaan seperti ayam, burung, anjing dan kucing yang berada di belakang rumah ini, semuanya dibunuh tanpa ampun lagi.
Mendengar teriakan Tho-tee-kong Liong Losu, tiga orang saudara Yu seperti berlomba lari ke dalam. Akan tetapi, mereka berhenti dan terbeliak memandang orang yang keluar dari pintu dalam.
Dia seorang wanita. Usianya kurang lebih empatpuluh tahun. Wajahnya masih cantik dan kulit mukanya putih sekali sampai seperti tidak ada darahnya. Pakaiannya serba hitam dari sutera tipis sehingga tersorot lampu tampak membayang pakaian dalamnya yang serba putih.
Tangan kirinya memegang sebatang suling hitam. Wanita ini berjalan keluar dari dalam rumah dengan langkahnya perlahan, namun langkah dan lenggang-lenggoknya seperti seorang wanita, yang genit sekali. Melihat tiga orang saudara yang datang dengan membawa pedang di tangan, wanita itu segera tertawa, akan tetapi betapa aneh suara ketawanya seperti anak menangis!
"Huh-huh-huh, tua bangka, Yu Tiang Sin! Biarpun sudah menjadi mayat tetapi tentu arwahmu dapat melihat betapa malam ini aku berhasil membasmi seluruh isi rumahmu termasuk juga para tamu-tamumu, hik-hik, hu-hu-hu!"
Tadinya ketika melihat munculnya wanita ini, Yu Kai dan adik-adiknya masih ragu apakah benar wanita ini yang muncul dengan lengking tangis yang mengerikan dan kemudian membunuhi seluruh isi rumah dari belakang. Akan tetapi setelah mendengar kata-kata wanita ini, mereka membentak marah dan seperti orang-orang gila, saking marahnya mereka menerjang dan menyerang dengan senjatanya masing-masing.
Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo