Pendekar Gila Dari Shantung 2
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Kemudian nyonya itu tak dapat menahan lagi turunnya air matanya. Tiong San dapat menyelami hati ibunya. Sebagai seorang wanita biasa, sudah tentu ibunya rindu sekali melihat ia memakai pakaian kebesaran, dihormati orang dan menduduki pangkat tinggi. Hati ibunya akan menjadi besar dan bangga
(Lanjut ke Jilid 02)
Pendekar Gila Dari Shantung (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
melihat puteranya menjadi orang mulia. Kalau ia menjadi petani, maka setidak-tidaknya ibunya akan merasa malu dan kecewa.
"Ibu!"
Katanya kemudian dengan suara menghibur.
"Percayalah bahwa anakmu akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan perbuatan yang akan menjunjung tinggi nama keluarga kita! Akan tetapi tidak sebagai pembesar, karena kepandaian kesusasteraan pada dewasa ini hanya digunakan untuk mencelakai sesamanya, untuk merusak, bukan untuk melakukan kebaikan. Kalau aku melakukan sesuatu demi kebaikan orang banyak, maka pekerjaan yang kulakukan itu bukan berdasarkan kepandaianku menulis!"
"Habis, selain menulis dan membaca, kau mempunyai kepandaian apalagi?"
Tanya ibunya yang mulai merasa jengkel. Tiong San menundukkan kepalanya dan terbayanglah orang gila yang dijumpainya di telaga Tai-Hu kemaren dulu itu. Ah, pikirnya. Kalau saja aku mempunyai kepandaian selihai orang gila itu, tentu aku dapat melakukan perbuatan mulia yang akan lebih menggemparkan dari pada kepandaian kesasteraan yang kumiliki! Ia menarik napas panjang berulang-ulang tanpa dapat menjawab pertanyaan ibunya, sehingga orang tua itu merasa kasihan melihatnya.
"Sudahlah, Tiong San. Kau beristirahatlah di kamarmu dan jangan terlalu banyak memikirkan hal ini. Kita percaya saja kepada Thian pada suatu waktu akan datang saat baik bagi kita. Aku hendak meneruskan pekerjaanku ini, karena aku sudah berjanji kepada orang yang memesannya untuk menyelesaikan dalam hari ini juga."
Tiong San lalu bangkit berdiri dan dengan kedua kaki lemas ia masuk ke dalam kamarnya. Ia membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil mengeluh. Akan tetapi ia segera melompat bangun lagi karena terkejut ketika melihat sebuah kipas di atas meja kecil dalam kamarnya. Karena kipas itu adalah kipasnya yang lenyap dari atas perahu di telaga Tai-Hu kemaren dulu itu! Dengan tangan gemetar pemuda itu mengambil kipas itu dan mengamat-amatinya. Dan ternyata bahwa syairnya yang belum habis di tulis itu kini telah ditambah dengan tulisan orang lain yang gayanya aneh dan bengkak-bengkok seperti ular! Ketika ia menulis syairnya dulu, pada baris kelima baru ia tulis "Aku..."
Dan terhenti karena tabrakan perahu. Akan tetapi sekarang huruf "Aku"
Itu telah ada sambungannya yang berbunyi,
Aku juga gila!
Dan alangkah baiknya gila bertemu gila
Pada malam bulan purnama di pinggir telaga!
Tiong San membaca syairnya berulang-ulang dengan perasaan tidak keruan karena heran dan juga kagum. Ia heran akan maksud orang gila itu, dan kagum melihat betapa tulisan itu, biarpun tak dapat disebut indah, akan tetapi gayanya benar-benar aneh dan dari bentuk coretan yang lenggak-lenggok seperti ular itu dapat diketahui betapa huruf-huruf itu mengandung tenaga yang kuat sekali sehingga tiap coretan merupakan seekor ular yang seperti hidup bergerak-gerak dan mengerikan! Ia membaca sekali lagi sajaknya yang kini selengkapnya berbunyi,
Memancing ikat dengan pecut, tanpa kaitan
Bersikap seperti Kiang Cu Ce, sang budiman
Orang menyebut gila, memang dunia penuh orang gila!
Yang waras dianggap gila, yang gila merajalela!
Aku juga gila!
Dan alangkah baiknya gila bertemu gila
Pada malam bulan purnama di pinggir telaga!
Alangkah aneh dan ganjilnya bunyi syair itu, dan hanya seorang yang tidak waras otaknya saja dapat menulis syair seperti itu. Apakah maksud orang gila itu menulis bahwa akan baik sekali kalau gila bertemu gila pada malam bulan purnama di pinggir telaga? Dan bagaimana ia bisa menaruh kipas itu di dalam kamarnya tanpa diketahui orang lain? Benar-benar seorang gila yang amat aneh. Sampai malam Tiong San duduk termenung di dalam kamarnya dan ketika ibunya mengajaknya makan malam, ia tidak banyak bicara hingga membuat ibunya merasa gelisah sekali... Sehabis makan, pemuda itu tanpa menukar pakaiannya lalu kembali ke dalam kamar lagi dan duduk termenung sambil membuka jendela kamarnya.
Tiba-tiba tanpa disengaja ia melihat ke angkasa dan mukanya bercahaya terang ketika ia melihat bulan yang hampir tersenyum di balik awan. Dan cepat Tiong San mengeluarkan kipas yang sejak tadi berada di sakunya dan membaca syair itu sekali lagi. Ah, tentu ada maksudnya si gila menulis syair itu, pikirnya. Bulan purnama akan muncul dua tiga hari lagi. Mengapa aku tidak pergi ke sana dan melihat-lihat kalau-kalau ia berada di pinggir telaga? Ia telah menyebutku gila dan mengaku bahwa iapun gila, dengan kata-katanya si gila bertemu si gila pada malam terang bulan purnama di pinggir telaga, Bukankah itu suatu ajakan untuk mengadakan pertemuan di pinggir telaga Tai-Hu? Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tiong San menjumpai ibunya dan berkata,
"Ibu, ijinkanlah aku pergi sekali lagi ke Tai-Hu."
Ibunya merasa heran.
"Bukankah baru saja kau kembali dari sana?"
"Benar, ibu! Akan tetapi aku ingin sekali menghibur diri sekali lagi di sana. Siapa tahu perjalananku kali ini akan mendatangkan perubahan baik seperti yang ibu harapkan kemaren."
Ibunya menggelengkan kepala.
"Anakku, kau terlalu banyak memikirkan masa datang yang suram. Baiklah, kauhiburlah hatimu di telaga Tai-Hu dan mudah-mudahanan Thian Yang Maha Agung membuka jalan baik bagimu."
Dengan tergesa-gesa Tiong San lalu berangkat ke Tai-Hu.
Malam hari itu, ketika semua pelancong telah meninggalkan telaga dan bahkan para pemilik perahu kembali ke rumah masing-masing sehingga telaga itu sunyi senyap, Tiong San tidak meninggalkan tempatnya dan masih duduk melamun di bawah pohon di mana si gila itu dahulu menangkap ikan. Ia duduk terus menanti dengan penuh harapan sambil menikmati keindahan pemandangan di malam itu. Ternyata bahwa pada malam hari, ditimpa cahaya bulan yang hampir bundar, pemandangan di situ benar-benar merupakan soranga. Cahaya bulan membuat air telaga berwarna kuning keemasan dan bulan sendiri tenggelam di dasar telaga, bergoyang-goyang kalau ada angin meniup permukaan air. Pohon-pohon nampak kebiru-biruan dan bunga nampak kekuning-kuningan, dan semua itu diliputi cahaya kemerahan dari sinar bulan yang amat menyejukkan hati.
Akan tetapi, hawa udara malam amat dinginnya sehingga Tiong San menggigil kedinginan. Betapapun juga, pemuda itu cukup memiliki kekerasan hati untuk diam dan tidak meninggalkan tempatnya semalam suntuk. Hatinya amat kecewa oleh karena pada malam hari itu ia tidak melihat bayangan seorangpun di pinggir telaga. Ia mulai ragu-ragu. Dan ketika fajar mulai menyingsing, matahari menggantikan tugas bulan menerangi permukaan telaga Tai-Hu dan para pemilik perahu berangsur-angsur muncul di pinggir telaga. Kekecewaan hati Tiong San membuat ia merasa lemas sekali. Ia tidak bisa tidur semalam penuh dan kini merasa mengantuk sekali. Ketika ia masuk ke dalam kelompok pohon dan memilih tempat yang sunyi agak jauh dari telaga, ia lalu membaringkan diri di bawah sebatang pohon dan segera tertidur nyenyak saking lelahnya!
Ketika ia terjaga, hari sudah siang dan ia merasa lapar sekali maka ditinggalkannya tempat itu dan ia membeli makanan sederhana untuk mengisi perutnya. Ia lalu berjalan-jalan mengelilingi telaga sambil mencari-cari kalau ia akan melihat orang gila yang ditunggu-tunggu. Akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang yang dicarinya sehingga ia makin menjadi gelisah. Apakah ia datang jauh-jauh dengan sia-sia belaka? Malam hari kedua kembali ia berjaga sampai pagi dan tidak melihat siapa-siapa. Hatinya makin sedih dan diam-diam ia memaki diri sendiri. Mengapa ia begitu bodoh menuruti tulisan kacau balau seorang yang tidak waras otaknya? Seorang gila telah mempermainkannya dan ia menuruti saja, berlaku seolah-olah ia sendiri juga gila! Apakah aku benar-benar telah mulai miring otakku?
Demikianlah Tiong San berpikir dan menurutkan hatinya yang panas, ingin segera pulang meninggalkan tempat yang mengesalkan hatinya itu, untuk menumpahkan seluruh isi hatinya yang sedih itu dihadapan ibunya yang tentu akan pandai menghiburnya. Akan tetapi, kekerasan hatinya membuat ia mengambil keputusan untuk menanti semalam lagi! Malam nanti barulah bulan akan muncul sepenuhnya, demikian pikirnya. Siapa tahu kalau-kalau orang gila itu akan muncul malam nanti, karena dalam syairnya juga disebutkan malam bulan purnama! Uang bekalnya telah habis dan semenjak sore hari, ia belum makan sesuatu. Ia mengambil keputusan untuk bertahan semalam lagi dan apabila si gila itu tidak muncul pada malam hari ini, ia akan pulang pada keesokan harinya. Malang baginya, baru saja hari berganti malam, udara menjadi gelap tertutup mendung tebal dan tak lama kemudian turunlah hujan bagai dituangkan dari atas!
Semua orang yang tadinya hendak berpelesir di atas perahu di waktu malam bulan purnama terpaksa meninggalkan telaga dan perahu-perahu mereka. Kalau tidak ada hujan, banyak orang yang berada di perahu sampai semalam suntuk, menikmati pemandangan indah yang ditimbulkan oleh bulan purnama. Akan tetapi, langit gelap dan hujan turun, siapa yang mau menderita kehujanan dan kedinginan? Namun Tiong San tetap duduk berlindung di bawah pohon. Air hujan yang membocor dari sela-sela daun pohon telah membuat seluruh pakaian dan tubuhnya menjadi basah kuyup dan ia menggigil kedinginan, menderita luar dalam. Tubuhnya di bagian luar menderita dingin sedangkan di bagian dalam menderita lapar. Sungguh penderitaan hebat yang belum pernah ia alami! Biarlah, biar aku menanti sampai mati di sini sebelum fajar mendatang, pikirnya dengan tekad bulat.
Menjelang tengah malam, hujan berhenti. Langit menjadi bersih dan bulan muncul penuh, indah dan ayu berseri-seri, bagaikan wajah seorang puteri jelita mengintai dari jendela, segar dan gemilang seakan-akan wajah itu makin bersih dan segar setelah dicuci oleh air hujan tadi. Suara kodok yang bersembunyi di bawah alang-alang di pinggir telaga, menimbulkan lagu yang berirama, yang terdengar riang bagi mereka yang sedang bergembira, akan tetapi terdengar memilukan hati bagi mereka yang sedang berduka. Bagi telinga Tiong San, suara nyanyian kodok-kodok terdengar tidak keruan, oleh karena semangatnya telah menjadi lemah akibat kelelahan, kedinginan dan kelaparan. Pada saat ia sedang duduk menggigil di bawah pohon, tiba-tiba permukaan air yang tadinya tenang itu menjadi bergerak-gerak dan terdengar suara air terpukul dan suara orang membentak-bentak marah.
"Nah, kau mau lari ke mana sekarang? Huh, ini yang besar, telah tertangkap. Ah, akan kunikmati dagingmu. Ha ha ha!"
Tiong San tersentak bangun dari lamunannya dan segera berdiri. Ia sendiri merasa heran mengapa tiba-tiba ia menjadi begitu kuat dan segar. Ia melihat ke arah suara itu dan ternyata seorang sedang berenang ke sana ke mari menangkap-nangkap ikan dengan amat mudahnya! Tangan kiri orang itu membawa tiga ekor ikan besar, sedangkan tangan kanannya masih juga menguber-uber ikan. Bahkan pada mulutnya nampak seekor ikan yang tergigit dan ikan itu masih hidup, bergerak-gerak dan ekornya memukul-mukul hidungnya.
Agaknya ikan yang tertangkap paling akhir itulah yang kini digigitnya. Tiong San tidak dapat melihat tegas wajah itu dan ia berdebar. Bagaimana kalau penangkap ikan itu bukan orang gila yang ia tunggu-tunggu? Akan tetapi, kalau orang lain, bagaimana ia bisa dengan tiba-tiba saja berada di air tanpa diketahui masuknya dan bagaimana ia bisa menangkap-nangkapi ikan seakan-akan ikan itu menyerah begitu saja pada tangannya? Tiong San lalu melangkah maju sampai ke dekat telaga dan setelah berada dekat dengan orang yang bermain-main dengan ikan-ikan di air itu, ia menjadi girang sekali. Tak salah lagi, rambut yang panjang dan terapung-apung di atas air seperti rambut seorang wanita itu membuktikan bahwa orang ini memang benar orang gila yang ditunggu-tunggunya!
"Locianpwe (orang tua gagah)!"
Tiong San memanggil ke arah orang itu. Akan tetapi yang dipanggilnya tidak meladeninya, bahkan makin gembira, tertawa terbahak-bahak sambil mengejar seekor ikan sisik kuning.
"Emas... emas...! Ha, aku ingin emas pada sisikmu itu!"
Ikan bersisik kuning emas itu berenang cepat melarikan diri. Akan tetapi tangan kanan orang itu lebih cepat lagi dan sebentar saja ia telah dapat menangkap ikan itu, diangkatnya tinggi-tinggi, kemudian menjepit ikan itu pada bawah lengan kirinya karena tangan kiri sudah penuh ikan. Lalu ia menggunakan tangan kanan untuk mencabut beberapa sisik ikan itu lalu diletakkannya di atas kepalanya bagai penghias rambut.
"Bagus, bagus... aku memakai emas... ha ha ha!"
"Locianpwe...!"
Tiong San memanggil lagi lalu mengulang panggilannya sampai berkali-kali. Akan tetapi orang itu sama sekali tak menghiraukannya. Kemudian pemuda itu teringat bahwa orang ini biarpun berkepandaian tinggi, akan tetapi mungkin memang benar-benar miring otaknya hingga tidak mau disebut locianpwe, maka ia berseru lagi keras-keras,
"Eh, kakek gila...!"
Benar saja kali ini si gila itu menengok dan ketika melihat Tiong San berdiri di pinggir telaga, ia lalu berkata sambil tertawa,
"Ha ha ha, kau anak gendeng sudah berada di situ? Ayo, kau bantu aku menangkap daging ikan yang lezat!"
Sambil berkata demikian, ia mengambil ikan yang tadi digigitnya dan dengan hati ngeri Tiong San melihat betapa ikan itu telah kehilangan ekornya, agaknya sudah masuk ke dalam perut orang itu.
"Kau tidak lekas-lekas melompat turun?"
Orang gila itu berteriak dan suaranya terdengar marah. Aneh sekali, Tiong San ketika mendengar suara ini, merasa betapa suara itu amat berpengaruh yang mengharuskan ia menuruti perintah, maka tanpa memperdulikan sesuatu lagi, ia lalu melompat dan mencebur ke dalam telaga! Biarpun bukan seorang ahli berenang, akan tetapi oleh karena di dalam kampungnya terdapat anak sungai di mana ia mandi dengan kawan-kawannya ketika kecil, Tiong San cukup dapat menguasai kaki tangannya yang digerakkan untuk menjaga dirinya supaya tidak tenggelam.
"Ha ha, bagus! Tangkap ikan itu!"
"Mana?"
Tanya Tiong San sambil memandang ke sekelilingnya yang hanya air belaka.
"Itu! Dia berenang di dekat kakimu! Ah... ia berenang jauh, dasar kau tolol!"
Orang tua itu menangkap seekor ikan lagi dan berkali-kali memberi tahu kepada Tiong San akan adanya ikan di dekatnya yang sama sekali tidak terlihat oleh Tiong San. Sebetulnya andaikata pemuda itu dapat melihat ikan yang berada di dekatnya, tetap ia takkan dapat menangkapnya. Jangankan disuruh menangkap ikan yang dapat berenang amat cepatnya dan mempunyai tubuh yang sangat licin, sedang untuk menjaga diri jangan sampai tenggelam saja sudah merupakan pekerjaan yang amat berat baginya. Sampai lama si gila itu bermain-main di air dan Tiong San mulai tidak tahan lagi. Tubuhnya memang sudah lemas dan lapar, maka kini karena berada di dalam air, ia menggigil kedinginan dan hampir tak kuasa menggerakkan kaki tangannya lagi.
"Aku... aku dingin..."
Katanya dengan bibir gemetar dan muka berwarna biru. Orang gila itu memandangnya dan tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh seakan-akan merasa amat geli hatinya.
"Kau... kau seperti mayat hidup! Ha ha ha! Alangkah lucunya! Kalau tidak bisa menangkap ikan, mengapa masuk ke dalam air? Benar tolol!"
"Kau yang suruh aku turun!"
Jawab Tiong San yang merasa mendongkol juga.
"Aku? Ha ha ha! Aku suruh kau membantu tangkap ikan, bukan suruh kau mandi."
"Siapa yang mandi?"
"Kau lapar! Ya, kau lapar, kudengar perutmu berkeruyuk. Ha ha ha!"
Mendengar perkataan yang tidak keruan arahnya ini, Tiong San makin merasa yakin bahwa orang ini benar-benar gila. Akan tetapi bagaimana ia dapat mendengar suara perutnya yang berkeruyuk? Ia memang merasa betapa perutnya menggeliat-geliat, akan tetapi telinganya sendiripun tidak mendengar suara keruyukan perutnya.
"Aku dingin..."
"Lapar! Bantah kakek itu.
"Tidak, dingin!"
Tiong San berkeras karena merasa malu mengaku lapar.
"Lapar, lapar, lapar!"
Kakek itu berteriak berulang-ulang dengan marah seperti laku seorang anak kecil bertengkar dengan kawannya. Tiba-tiba Tiong San merasa geli sekali melihat hal yang dianggapnya amat lucu ini. Ia teringat betapa dulu ketika kecilnya, ia sering bertengkar dengan Thio Swie tentang sesuatu dan sikap kakek gila ini sama dengan Thio Swie di waktu kecil.
"Baiklah,"
Katanya kemudian.
"Aku memang lapar."
Si gila tertawa bergelak-gelak,
"Ha ha ha! Kau dingin!"
"Aku lapar!"
"Dingin, dingin, dingin!"
Lagi-lagi kakek itu berteriak-teriak sehingga Tiong San merasa bohwat (kehilangan akal) dan terpaksa pula ia mengangguk-anggukkan kepala.
"Memang aku dingin dan lapar."
"Kau memang bodoh, anak gila yang bodoh. Makanan sudah tersedia, mengapa masih menderita kelaparan?"
"Makanan? Mana?"
"Ikan-ikan itu, bukankah tinggal ambil saja?"
"Aku tak dapat menangkapnya."
"Hm, memang kau bodoh. Nah, ini makanlah!"
Sambil berkata demikian si gila menyodorkan seekor ikan besar yang masih bergerak-gerak karena belum mati kepada Tiong San. Pemuda itu menerimanya dan harus mempergunakan kedua tangannya untuk memegang erat-erat karena ikan itu meronta-ronta. Karena kedua tangannya memegang ikan, maka tubuhnya lalu tenggelam. Tiong San mendengar suara orang gila itu menertawakan, maka ia menggertakkan gigi dan menggerakkan kedua kakinya hingga tubuhnya mumbul lagi ke permukaan air. Selanjutnya ia menggerak-gerakkan kedua kakinya seperti orang berlari hingga tubuhnya tetap terapung dan tidak tenggelam.
"Lekas makan!"
Kata si gila.
"Apa! Makan apa? Ikan ini harus dimasak dulu!"
"Gila dan tolol! Makanan enak-enak akan dirusak pula! Kau makanlah, ikan ini enak sekali apabila belum mati. Masih segar darahnya!"
Setelah berkata demikian, orang gila itu menggeragoti seekor ikan yang dipegangnya. Ikan itu meronta-ronta, akan tetapi tidak kuasa melawan gigi orang gila yang telah membenamkan giginya pada perut ikan dan sekali ia menggeragot, daging perut telah terbawa pada mulutnya yang lalu dikunyahnya dengan enaknya! Tiong San menjadi pening kepalanya melihat hal ini. Kengerian terbayang pada matanya.
"Ayo, makan ikanmu!"
Si gila kembali mendesak. Tentu saja Tiong San tidak mau menurut perintahnya, dan tiba-tiba pemuda ini timbul sebuah pikiran. Ia maklum akan kesaktian orang gila ini dan ingin sekali menjadi muridnya untuk memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu, maka ia lalu berkata.
"Aku mau menurut perintahmu asal kau mengambil murid padaku!"
Orang gila itu kembali bergelak tertawa.
"Mengapa harus mengambil murid?"
"Karena hanya seorang muridlah yang harus tunduk kepada gurunya. Kalau kau tidak mau mengambil murid kepadaku, aku takkan sudi menjalankan peintahmu!"
"Ha ha ha! Semenjak melihatmu, aku memang suka kepadamu, karena kau tidak seperti orang-orang gila yang lain. Baiklah, kau kuterima menjadi muridku. Nah, makanlah ikanmu!"
Tiong San merasa girang sekali, akan tetapi juga gelisah. Bagaimana ia dapat makan daging ikan yang mentah, bahkan ikan yang masih hidup segar dan berkelonjotan di tangannya? Akan tetapi, ia tahu bahwa orang gila itu aneh sekali pikirannya dan kalau ia menolak atau tidak mentaati perintahnya, tentu akan menjadi marah dan akan sia-sialah maksudnya berguru.
Maka sambil meramkan mata ia lalu membuka mulut dan menggigit perut ikan yang dipegangnya! Ikan itu meronta keras sekali dan telinga Tiong San seakan-akan mendengar pekik kesakitan dari ikan itu, maka ia urungkan maksudnya dan membelalakkan mata dengan penuh kengerian. Hampir saja ia melepaskan ikan itu dari pegangannya. Akan tetapi ia bertemu pandang dengan si gila yang kini telah menjadi gurunya, dan sepasang mata orang itu berputar-putar liar hingga ia takut sekali. Dengan cepat ia lalu menggigit lagi dan kini ia betul-betul menggigit hingga terasa darah ikan yang asin dan agak manis itu pada lidahnya. Ia telah berhasil menggeragot sepotong daging yang terus dikunyahnya tanpa berani memandang kepada ikan yang masih meronta-ronta di tangannya! Orang gila itu tertawa terbahak-bahak.
"Gila! Gila dan bodoh! Mengapa ikan hidup dimakan?"
Panas sekali hati Tiong San mendengar ini, akan tetapi karena ia ingat bahwa orang itu memang gila, maka ia menjadi sabar kembali.
"Ayo, ikut aku naik!"
Kata pula si gila dan entah bagaimana caranya bergerak, biarpun tubuhnya masih lurus seperti orang berdiri di dalam air, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya dapat bergerak maju dengan amat cepatnya. Tiong San lalu berenang ke pinggir dengan tubuh lemas dan napas tersengal-sengal. Ia dapat mencapai pinggir telaga, akan tetapi tidak dapat naik karena pinggir telaga itu tingginya lebih dari satu tombak. Si gila tadi dengan mudahnya menggerakkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya telah melompat ke darat tanpa memperdulikan Tiong San.
"Suhu... tolong teecu (murid) naik...!"
Tiong San berseru karena ia benar-benar telah tidak kuat lagi. Kedua kakinya telah menjadi kaku kedinginan dan sukar digerakkan lagi hingga beberapa kali ia telah tenggelam dan minum air telaga secara terpaksa. Kepala orang gila itu muncul di atasnya dan tiba-tiba si gila itu menggerakkan cambuknya yang tadi digulung dan berada di pinggangnya. Cambuk ini panjang sekali dan tahu-tahu cambuk itu telah menyambar air di pinggir tubuh Tiong San dan telah melibat perutnya. Tiong San tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi, akan tetapi ia merasa seakan-akan pinggangnya ada yang memegang dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dan ia terlempar ke darat dengan selamat, dalam keadaan berdiri. Segera ia menjatuhkan diri berlutut di depan orang gila itu.
"Suhu, teecu menghaturkan terima kasih bahwa suhu telah sudi menerima teecu sebagai murid."
"Ha ha ha! Orang gila memang aneh kelakuannya. Aku belum mati mengapa kausembah-sembah? Ayo, lekas panggang ikan itu, aku ingin makan daging panggang. Kau muridku, bukan? Maka kau harus menurut segala perintahku. Panggang ikan itu baik-baik!"
Setelah berkata demikian, si gila itu lalu melompat-lompat dengan girang sambil tertawa-tawa.
Dan tak lama kemudian terdengar mendengkur karena ia telah tertidur di bawah sebatang pohon dengan tubuh masih basah kuyup. Tiong San lalu mengambil kayu kering dan membuat api dengan susah karena tangannya yang lemah itu sukar sekali menyalakan api dengan menggosok. Akhirnya ia mendapatkan batu karang yang keras dan ketika ia menggosok batu-batu itu, ternyata bahwa batu itu adalah batu api yang mudah mengeluarkan api. Ia menjadi girang sekali dan sebentar saja di tempat itu nampak api unggun menyala dan Tiong San merasa betapa hangat dan enaknya duduk memanggang ikan di dekat api yang panas itu pada saat tubuhnya sedang menderita kedinginan. Akan tetapi, kehangatan tubuh ini menimbulkan penderitaan baru, karena perutnya yang tadi tidak amat mengganggu ketika ia kedinginan,
Kini setelah tubuhnya hangat dan darahnya berjalan cepat, rasa lapar itu mengganggunya bukan main seakan-akan menggeragoti perutnya dari sebelah dalam. Belum pernah selama hidupnya Tiong San menderita kesengsaraan sehebat ini. Sampai menjelang fajar suhunya masih belum bangun. Daging ikan sudah semenjak tadi matang dan api unggun terus ia nyalakan untuk mengusir dingin. Ia merasa lapar sekali, akan tetapi ia tidak berani mengganggu lima ekor ikan besar yang kini telah matang itu. Ia anggap kurang sopan kalau ia mendahului suhunya makan daging tadi, maka dengan mengeraskan hati ia menahan lapar dan menunggu dengan penuh kesabaran. Setelah fajar berganti pagi dan telaga itu mulai dikunjungi orang, barulah si gila itu bangun dari tidurnya dan segera mulai makan. Tiong San diam saja tidak ikut makan sampai si gila itu menghabiskan sebuah kepala ikan dan berkata,
"Ayo, makan!"
Ketika Tiong San baru saja makan dua gigitan, ia membentak,
"Makan ya makan, tapi jangan banyak-banyak!"
Bukan main mendongkolnya hati Tiong San. Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu, hanya makan dengan gigitan sedikit-sedikit dan perlahan-lahan. Gurunya membentak lagi sambil melototkan matanya yang besar,
"Kok sedikit amat! Kau makan atau main-main? Ayo, makan yang banyak! Apa kaukira aku harus menghabiskan semua ikan ini?"
Di dalam hatinya Tiong San merasa mendongkol dan juga geli. Akan tetapi ia mulai biasa dengan adat suhunya yang gila-gilaan, maka ia segera makan dengan lahap sekali. Karena memang perutnya telah amat lapar hingga ikan itu terasa amat gurih dan enak. Dengan heran ia melihat betapa gurihnya hanya makan sedikit daging ikan itu. Akan tetapi semua kepala dan tulang ikan yang keras itu dikunyahnya sampai berbunyi keletak-keletuk seperti anjing menggeragoti tulang! Tulang ikan yang runcing dan keras itu beradu dengan giginya dan ternyata tulang-tulang itu kena dikunyah hancur dan harus ditelan dengan enaknya! Karena suhunya hanya sedikit makan daging ikan, maka bagian Tiong San amat banyak hingga telah menghabiskan tiga ekor ikan, ia merasa kenyang sekali. Akan tetapi ketika ia berhenti makan, suhunya berkata lagi,
"Makan terus! Ikan-ikan ini harus dihabiskan, kalau tidak ia akan menangis!"
Saking herannya, walaupun tahu akan keanehan adat suhunya, Tiong San sampai menunda makannya dan mengurungkan daging yang sudah dibawa ke mulutnya. Ia memandang kepada suhunya dan bertanya,
"Apakah ikan bisa menangis, suhu? Apalagi ikan yang sudah dipanggang dan mati, dan mengapa pula ia menangis?"
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gurunya tertawa-tawa geli.
"Anak gendeng! Tentu saja menangis! Kita sudah tangkap dia dan panggang tubuhnya di atas api. Setelah mereka ini menderita sedemikian hebatnya, apakah mereka tidak menjadi sedih kalau mereka disia-siakan dan tidak dimakan? Ayo, kita makan terus!"
Tiong San terpaksa menjejal perutnya lagi dengan daging ikan dan ketika kedua orang murid dan guru itu sedang makan daging ikan, di situ lewat beberapa orang pelancong yang berjalan-jalan. Mereka memandang kepada Tiong San dan suhunya sambil tertawa-tawa, karena menganggap mereka berdua itu orang-orang gila.
Memang si gila itu nampak lucu dan menunjukkan bahwa ia memang seorang gila, sedangkan Tiong San kinipun kelihatan tidak keruan dengan pakaiannya yang kotor dan masih sedikit basah dan rambutnya yang awut-awutan cukup memberi kesan bahwa iapun seorang pemuda gila. Melihat dua orang gila itu makan ikan dengan enaknya, para pelancong itu menganggapnya sebagai pemandangan yang aneh dan menggembirakan. Maka tak lama kemudian Tiong San dan gurunya telah dirubung orang banyak. Tiong San merasa tak senang sekali dijadikan tontonan. Akan tetapi oleh karena ia melihat suhunya hanya menyeringai dan kadang-kadang memandang kepada orang-orang itu sambil tertawa ha ha, hi hi, maka iapun ikut menyeringai dan tertawa ha ha, hi hi, seperti lakunya seorang gila pula! Suhunya memandang kepadanya dengan muka girang dan seperti seorang yang menahan kegelian hatinya, ia berkata perlahan,
"Memang dunia penuh orang gila... ha ha ha!"
Tiong San teringat bahwa itu adalah sebuah kalimat dari syair pada kipasnya, maka iapun lalu tertawa geli dan tidak memperdulikan mereka yang menonton dia dan suhunya makan. Setelah daging ikan dan semua tulang habis berpindah ke perut mereka, sehingga Tiong San merasa perutnya berat dan penuh padat. Orang gila itu lalu mengulurkan tangan merobek ujung jubah Tiong San dan menggunakan robekan baju itu untuk menyusuti mulutnya yang berlepotan minyak ikan. Tiong San tertawa dan iapun meniru perbuatan suhunya, merobek ujung bajunya yang lalu menyusuti mulutnya pula. Orang-orang pada tertawa melihat hal ini, dan pada saat itu terdengar bentakan-bentakan.
"Minggir!"
Semua orang minggir dan memberi jalan kepada orang-orang yang membentaknya. Ternyata bahwa yang datang itu adalah lima orang anggauta polisi yang membawa rantai dan golok. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mengalungi leher orang gila itu dan leher Tiong San dengan rantai besi. Lalu mengikat pula kedua lengan mereka. Tiong San merasa terkejut sekali, akan tetapi oleh karena maklum akan adat yang aneh dari suhunya dan melihat betapa suhunya itu hanya tertawa ha ha, hi hi, tanpa mengadakan perlawanan, ia pun ikut-ikutan tertawa. Sungguhpun tertawanya masam karena diliputi hati yang amat gelisah dan takut! Seorang pelancong yang melihat betapa dua orang gila itu ditangkap, lalu bertanya kepada para anggauta ponggawa itu,
"Mengapa mereka ditangkap?"
"Entah, kami hanya mendapat perintah untuk menangkap orang gila yang berada di sekitar telaga Tai-Hu dan karena di sini kami melihat dua orang gila, maka kedua-duanya kami tangkap!"
Kakek gila itu ketika lehernya dikalungi rantai dan tangannya dibelenggu, hanya tertawa menyeringai sambil memandang kepada para penangkapnya dengan mata bodoh. Akan tetapi ketika seorang di antara para polisi itu mengambil cambuk yang digantungkan pada pinggangnya, ia segera berseru keras,
"Jangan ambil cambukku!"
Dan aneh ketika ia mengulurkan tangan, belenggu besi yang mengikat tangannya putus bagaikan sehelai benang saja! Sekejap kemudian ia telah berhasil merampas kembali cambuknya.
"Apa ini? Aku tidak mau dikalungi kembang!"
Katanya dan sekali renggut saja, rantai yang dikalungkan lehernya tadi telah putus-putus.
"Juga muridku tak boleh dikalungi kembang!"
Ia membetot dan merenggut dan semua belenggu yang mengikat leher dan tangan Tiong San juga putus-putus. Semua orang terkejut sekali dan melarikan diri karena takut orang gila itu mengamuk. Sedangkan para penjaga itu berdiri bengong karena heran bagaimana rantai mereka yang kokoh kuat itu diperlakukan oleh si gila bagaikan sehelai benang yang mudah diputuskan saja. Si gila lalu melompat dan berkata,
"Kalian orang-orang gila, aku mau pergi saja!"
Sekali melompat ia telah berada di tempat jauh dan Tiong San melangkahkan kaki hendak lari mengejar. Akan tetapi seorang penjaga memeluk pinggangnya dan yang lain berteriak-teriak.
"Tangkap orang gila! Tangkap!!"
"Suhu!"
Teriaknya dengan ketakutan. Si gila berhenti lari, menoleh dan segera menggerakkan cambuknya yang telah dilepas dari gulungan. Terdengar "Tar-ter-tor"
Bunyi cambuk dan disusul oleh teriakan-teriakan kesakitan karena semua ponggawa yang berjumlah lima orang itu masing-masing telah mendapat hadiah satu cambukan pada mukanya hingga menjadi biru dan perih. Tiba-tiba ujung cambuk melayang ke arah Tiong San dan membelit pinggangnya. Tiong San merasa betapa tubuhnya ditarik oleh kekuatan yang luar biasa, hingga tubuhnya segera melayang ke atas dan tahu-tahu ia telah jatuh di punggung suhunya bagaikan seorang sedang naik seekor kuda yang tinggi.
"Ha ha ha! Orang-orang gila, ayo kita balapan lari!"
Kata suhunya yang segera berlari secepat kijang melompat dan sebentar saja ia menggendong muridnya itu dan telah lenyap dari pandangan semua orang. Peristiwa ini tentu saja menggemparkan orang dan sampai lama orang-orang membicarakan kesaktian orang gila itu dan tiada habisnya mereka terheran-heran mengapa seorang gila bisa mempunyai murid seorang pemuda pelajar, atau seorang pemuda yang berpakaian sebagai seorang pelajar. Sebetulnya, siapakah orang gila yang aneh dan luar biasa lihainya itu? Para jago silat muda tentu takkan ada yang kenal kepadanya. Akan tetapi para locianpwe atau ahli-ahli silat tua yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya, tentu masih ingat akan seorang hiapkek (pendekar) yang diberi julukan Thian-Te Lo-Mo atau Iblis Tua Langit Bumi!
Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, Thian-Te Lo-Mo masih merupakan seorang muda yang menjagoi di seluruh dunia kang-ouw dengan ilmu kepandaiannya yang amat mengagumkan. Ketika itu ia bernama Kui Hong Sian, seorang pendekar muda berusia belum tiga puluh tahun, akan tetapi yang telah menumbangkan jago-jago besar dalam pertandingan pibu atau pertempuran oleh karena Kui Hong Sian memang mempunyai watak yang keras dan tidak mau dikalahkan orang. Kemudian ia bertemu dengan seorang pendekar wanita yang cantik dan ia jatuh cinta. Tak disangkanya bahwa pendekar wanita ini adalah puteri seorang jago tua yang pernah dikalahkannya dan ketika hal ini diketahui oleh pendekar wanita itu,
Maka sepasang orang muda yang sudah saling mencinta ini lalu bertempur karena pendekar wanita itu hendak membalaskan sakit hati ayahnya. Dalam pertempuran ini, Kui Hong Sian salah tangan dan melukai muka wanita itu dengan pedangnya sehingga muka yang cantik menjadi bercacad. Semenjak peristiwa ini, Kui Hong Sian lalu lenyap dari dunia kang-ouw. Ia menderita patah hati karena terputusnya cinta yang telah berakar di dalam hatinya. Sampai hampir sepuluh tahun ia mengasingkan diri dan ketika muncul kembali, ia menjadi seorang yang amat ganas. Tiap orang penjahat yang bertemu dengan orang setengah tua yang pakaiannya tidak keruan ini pasti mengalami celaka, karena Kui Hong Sian tidak mau memberi ampun kepada penjahat-penjahat besar maupun kecil.
Didalam waktu itulah ia melakukan hal-hal yang menggemparkan dunia kang-ouw, karena seorang diri saja ia naik ke bukit Tung-hwa-san dan mengobrak-abrik sarang perampok yang dikepalai oleh tujuh orang perampok bersaudara yang terkenal gagah perkasa, yang menggemparkan ialah, bahwa ia mengganti pedangnya dengan sebatang cambuk panjang yang lihai sekali. Memang Kui Hong Sian telah bersumpah takkan memegang pedang lagi semenjak ia melukai muka wanita yang dicintai itu dengan pedangnya. Selain mengobrak-abrik perampok di bukit Tung-hwa-san, ia masih banyak melakukan kegemparan, diantaranya dengan memasuki istana raja dan dalam satu malam saja ia mencuri puluhan cap-cap kebesaran para pembesar di kota raja dan melukai para pengawal dengan cambuknya yang lihai. Namanya menjadi terkenal sekali dan pada waktu itulah ia mendapat julukan Thian-Te Lo-Mo.
Setelah membuat nama besar selama lima tahun, kemudian ia lenyap lagi dari dunia ramai. Dan orang tidak tahu bahwa si Iblis tua langit bumi ini telah kembali ke tanah kelahirannya, yakni di propinsi Shan-Tung, di sebuah guha yang banyak terdapat di pegunungan Tai-san di propinsi Shan-Tung sebelah barat. Ternyata bahwa di dalam hidupnya, Kui Hong Sian mengalami berbagai kekecewaan dan terutama sekali kesedihan hati yang timbul akibat patah hatinya itu membuat ia semakin tua makin menjadi tidak keruan tingkah lakunya. Dan lima tahun kemudian setelah orang-orang mulai lupa kepada namanya, dari bukit Tai-san muncullah seorang kakek yang berpakaian tidak keruan, membawa-bawa cambuk dan tingkah lakunya seperti orang gila.
Inilah Thian-Te Lo-Mo yang pada lima tahun yang lalu, baru melihat bayangannya saja sudah membuat penjahat-penjahat besar lari pontang-panting. Kakek gila ini mengembara terus hingga ia tiba di telaga Tai-Hu di dekat So-Couw dan bertemu dengan Lie Tiong San yang akhirnya ia angkat menjadi muridnya. Demikianlah riwayat singkat dari kakek gila yang amat aneh dan lihai itu yang melarikan diri dengan murid digendong di atas punggungnya setelah tadi memperlihatkan ilmu kepandaiannya yang mengherankan semua orang di pinggir telaga Tai-Hu. Ketika berada di atas punggung suhunya yang lari secepat angin, Tiong San merasa amat heran dan juga ngeri. Ia melihat betapa pohon-pohon di kanan kirinya seakan-akan berlari cepat dari depan dan telinganya mendengar suara dari daun-daun pohon di kanan kiri yang dilaluinya.
Ia tak dapat melihat dengan nyata karena pohon-pohon di kanan kiri jalan itu seakan-akan hanya terbang lewat sekilat saja. Apalagi ketika suhunya mengambil jalan melalui lereng gunung yang penuh jurang-jurang dalam dan melompati jurang-jurang itu demikian enaknya seperti dulu ketika ia masih kecil suka bermain-main melompati selokan-selokan. Terpaksa ia menutup matanya karena merasa ngeri dan takut. Pegangan pada leher suhunya dipererat agar supaya ia tidak sampai melepaskan leher itu dan jatuh ke dalam jurang yang amat dalam. Tiba-tiba suhunya berhenti berlari dan menggoyang-goyang tubuhnya hingga Tiong San hampir saja tak dapat menahan lagi dan rangkulan tangannya pada leher orang tua itu hampir terlepas.
"Turun, turun! Anak gendeng, apakah kau kira aku ini seekor kuda yang boleh ditunggangi seenak hatimu?"
Tiong San terkejut sekali dan membuka matanya lalu melorot turun dari punggung kakek itu. Ketika ia memandang ke sekelilingnya, ternyata mereka telah tiba di sebuah jalan besar yang lurus tidak di tempat berbukit-bukit lagi. Ia tidak tahu bahwa mereka telah tiba di tempat yang belasan li jauhnya dari telaga Tai-Hu.
"Seekor kuda tak dapat lari secepat suhu,"
Katanya tertawa. Karena pemuda ini mulai tahu tabiat suhunya yang sama sekali tidak menghendaki dipuja-puja dan dihormati sebagaimana layaknya seorang guru mendapat penghormatan dari muridnya. Benar saja, kakek aneh itu tertawa senang.
"Kau harus belajar berlari cepat!"
Katanya berulang-ulang sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dan belajar pula memberi hadiah-hadiah kepada orang-orang yang mengalungi kembang pada lehermu!"
"Teecu bisa juga berlari, suhu."
"Coba kau larilah yang cepat!"
Karena jalan itu rata dan lurus, Tiong San lalu berlari ke depan, dan pada perasaannya larinya sudah cukup cepat hingga napasnya tersengal-sengal. Akan tetapi ketika ia menoleh, ia melihat suhunya berjalan di belakangnya sambil tertawa bergelak-gelak sehingga ia berhenti lagi sambil napasnya terengah-engah seperti mau putus.
"Ha ha ha! Kau seperti gajah berlari! Tubuhmu terlalu berat hingga suara kakimu memekakkan telinga! Ha ha, sungguh lucu melihat gajah kaki dua berlari!"
Merahlah muka Tiong San mendengar ejekan suhunya ini dan ia tak dapat berkata apa-apa selain memandang muka suhunya dengan bingung.
"Kau harus berlari seperti rusa, jangan seperti gajah!"
Kata suhunya.
"Jangan pergunakan semua telapak kakimu untuk menginjak tanah, akan tetapi pergunakan jari-jari kaki saja. Tumit harus diangkat dan terutama sekali napasmu harus diatur baik-baik! Tubuhmu harus seringan mungkin. Ah, celaka... kau masih harus belajar banyak!"
Demikianlah si gila yang dalam hal menerangkan ilmu kepandaian ternyata sama sekali tidak menunjukkan kegilaannya itu, mulai memberi pelajaran kepada Tiong San yang memperhatikan baik-baik. Mereka melanjutkan perjalanan sambil berlari-lari dan mulai dengan pelajaran ilmu berlari cepat di sepanjang jalan yang sunyi. Menjelang senja mereka tiba di luar sebuah kampung. Dan tiba-tiba dari dalam kampung itu keluarlah tiga orang laki-laki yang setelah dekat ternyata bahwa mereka adalah orang-orang yang memakai pakaian perwira-perwira dengan topi pangkat di atas kepala masing-masing. Seorang di antara mereka telah tua dan ketika melihat orang gila itu berjalan bersama muridnya, perwira tua itu tiba-tiba berseru keras dan menghentikan langkah kakinya. Kedua orang kawannya juga berhenti tiba-tiba.
Bukankah, kau Thian-Te Lo-Mo Kui Hong Sian??"
Perwira tua itu berseru sambil menghadang di depan kakek gila itu. Tiong San merasa takut karena peristiwa penangkapan di pinggir telaga Tai-Hu tadi. Maka melihat sikap yang galak dari ketiga orang perwira ini, ia lalu mundur dan berdiri di belakang tubuh suhunya. Sementara itu, si gila tertawa ha ha, hi hi, dan sambil monyongkan mulutnya ke arah perwira tua itu, lalu berkata,
"Eh, eh, mukamu seperti monyet tua! Ha ha ha, muridku, coba kau lihat orang gila ini. Bukankah seperti seekor monyet tua yang meniru lagak manusia? Ha ha!"
Tiong San yang sudah maklum akan adat suhunya, lalu tertawa juga dan berkata,
"Benar, suhu. Akan tetapi jenggotnya seperti kambing!"
Tiong San sengaja berkelakar untuk menyenangkan hati suhunya karena ia memang sedang merasa gembira sekali. Tanpa disengaja ia kini dapat mengetahui nama dan julukan suhunya, yaitu Thian-Te Lo-Mo Kui Hong Sian atau Kui Hong Sian si Iblis tua langit bumi!
Biarpun selama hidupnya Tiong San belum pernah mendengar nama ini. Akan tetapi dari julukannya saja, ia maklum bahwa suhunya tentu seorang gagah yang luar biasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Thian-Te Lo-Mo tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan muridnya ini. Dan perwira tua itu menjadi merah mukanya. Dia memang mempunyai julukan Sin-kun Lo-wan (Monyet tua bertangan sakti). Perwira ini adalah seorang perwira kota raja yang mempunyai kedudukan tinggi dan ia menduduki tingkat kelima dari para panglima kaisar. Maka ilmu silatnya sudah tinggi sekali. Dulu ketika Kui Hong Sian suka datang ke kota raja dan membikin kacau, perwira yang bernama Kwee Houw inipun pernah ikut mengepung. Oleh karena itu ia masih dapat mengenal muka Thian-Te Lo-Mo. Tentu saja ia menjadi marah sekali ketika kedua orang itu begitu bertemu telah menggodanya dengan hina-hinaan.
"Thian-Te Lo-Mo! Kau telah membuat kedosaan besar ketika dulu mengacau ke kota raja. Akan tetapi setelah kau mengundurkan diri, dosamu dilupakan orang. Tidak tahunya kau makin menjadi gila dan berani main-main mengganggu pangeran Lu Goan Ong dan mencuri cap kebesarannya. Mengingat bahwa kau adalah seorang tua berotak miring, maka kalau kau mau mengembalikan cap pangkat itu kepadaku, aku akan menghabiskan perkara sampai di sini saja. Akan tetapi kalau kau hendak tetap menggila, kau pasti akan menemui bencana. Karena bukan aku saja yang akan menghadapimu, akan tetapi seluruh perwira kerajaan!"
Pidato perwira ini agaknya sama sekali tidak menarik perhatian Thian-Te Lo-Mo karena sambil menekan-nekan perutnya yang kempis tipis, ia menyeringai dan berkata,
"Aduh, perutku sudah lapar! Eh, bocah gendeng, ke mana perginya ikan-ikan panggang itu?"
Tiba-tiba ia berpaling kepada Tiong San yang menjadi celangap!
"Suhu, bukankah ikan-ikan itu kini telah berenang di dalam perut kita?"
Jawabnya sambil tersenyum-senyum juga.
"Kurang ajar! Kau sudah makan habis ikan-ikan itu?"
"Bukan teecu sendiri, akan tetapi bersama suhu!"
Tiong San memperingatkan. Bukan main marahnya Kwee Houw ketika melihat betapa kata-katanya tadi sama sekali tidak dihiraukan oleh orang gila itu.
"Thian-Te Lo-Mo, kembalikan cap pangkat pangeran Lu Goan Ong kepadaku!"
Katanya sambil mencabut keluar senjatanya, yakni sepasang siang-kek atau sepasang tombak bercabang yang pendek dan runcing. Tiba-tiba Thian-Te Lo-Mo berpaling kepadanya.
"Monyet tua, apakah kau membawa makanan? Perutku lapar sekali!"
Perwira tua itu hendak menyerang karena tidak dapat menahan marahnya lagi. Akan tetapi seorang kawannya, perwira yang lebih muda berkata perlahan,
"Kwee-Ciangkun, sukar berurusan dengan seorang yang miring otaknya."
Ia memang agak merasa gentar juga terhadap orang gila ini karena nama Thian-Te Lo-Mo memang nama yang amat ditakuti oleh orang-orang kang-ouw. Ia lalu mengeluarkan bungkusan roti kering dan memberikan roti itu kepada Thian-Te Lo-Mo sambil berkata,
"Kakek yang baik, ini rotiku boleh kau ambil. Akan tetapi harus ditukar dengan cap pangkat pangeran Lu Goan Ong!"
Baru saja ucapan ini habis dikeluarkan, tahu-tahu bungkusan roti itu telah berada di tangan Thian-Te Lo-Mo! Perwira itu tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi. Ia hanya melihat orang gila itu mengulurkan tangannya dan tahu-tahu bungkusan telah terampas dan berpindah tangan!
"Ha ha, roti kering, makanan anjing!"
Kata Thian-Te Lo-Mo sambil tertawa, lalu mengambil sepotong roti dan memasukkan ke dalam mulutnya. Ia memandang kepada Tiong San dan bertanya.
"Eh, anak gendeng, apakah kau juga suka makanan anjing istana?"
"Kalau suhu suka, teecu tentu suka pula,"
Jawabnya. Kembali Thian-Te Lo-Mo tertawa.
"Lihat, monyet tua, bukankah muridku ini lucu sekali!"
Ia memberi beberapa potong roti kepada Tiong San yang lalu menerima dan memakannya. Roti itu memang enak, patut dibawa dan dijadikan bekal oleh perwira-perwira kerajaan.
"Thian-Te Lo-Mo, mana cap pangkat itu?"
Tanya si perwira muda yang merasa penasaran dan cemas juga karena kakek itu makan rotinya tanpa mengembalikan cap yang dimintanya. Akan tetapi Thian-Te Lo-Mo seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan setelah roti itu dengan cepat habis dimakannya, lalu ia bertanya lagi,
"Masih adakah rotinya? Kalau tidak ada, keluarkan arakmu, aku ingin sekali minum arak!"
"Orang gila kurang ajar!"
Kwee Houw yang sudah tak dapat menahan sabarnya lalu menyerang dengan siang-kek. Gerakannya gesit dan cepat ketika siang-kek di tangan kanannya menusuk dada Thian-Te Lo-Mo dengan gerak tipu Macan hitam menyambar hati. Melihat betapa suhunya diserang, Tiong San menjadi takut dan segera berseru kepada suhunya yang masih enak-enak berdiri tanpa memandang kepada penyerangnya,
"Suhu, awas!"
Akan tetapi, ketika ujung tombak bercagak itu telah dekat dengan dada Thian-Te Lo-Mo, tiba-tiba kakek itu tertawa mengejek dan tubuhnya telah lenyap dari depan Kwee Houw. Ketika Kwee Houw cepat memutar tubuh, ternyata kakek itu telah berada di dekat perwira muda yang tadi memberi roti kepadanya dan begitu ia mengulur tangannya, buntalan besar di punggung perwira itu telah dapat direnggutnya dan kini berada di tangannya.
Sambil tertawa-tawa Thian-Te Lo-Mo membuka bungkusan dan keluarlah seguci arak yang menjadi bekal perwira itu. Ia melemparkan bungkusan tadi kepada perwira yang menyambutnya dengan melongo, lalu minum arak itu langsung dari guci! Bukan main marahnya Kwee Houw melihat hal ini. Ia merasa dipermainkan oleh orang gila itu. Maka ia segera melompat dan menerjang lagi dengan siang-keknya. Juga dua orang kawannya telah mencabut golok masing-masing dan kini maju mengeroyok. Tiong San merasa khawatir sekali melihat keadaan suhunya karena orang tua itu agaknya tidak melihat betapa tiga orang perwira sedang menerjang dan menyerangnya. Karena ia masih enak-enak menuangkan isi guci ke dalam mulutnya sambil mendongakkan kepalanya!
Akan tetapi, sungguh mengherankan, ketika ketiga senjata lawan itu telah hampir mengenai tubuhnya, tanpa menunda minumnya, orang gila itu menggeser kedua kakinya dengan amat indah dan cepatnya telah bergerak dengan gerakan Jiauw-pouw-poan-soan atau Tindakan Kaki Berputar-putar sesuai dengan Toa-su-siang-hong-wi (Kedudukan Empat Penjuru). Dan karena menghadapi tiga orang penyerang dari tiga jurusan atau tiga penjuru, maka ia selalu dapat bergerak ke arah penjuru ke empat atau ke tempat yang kosong hingga betapapun juga ketiga orang lawannya menyerang, ia dapat meloloskan diri dengan menduduki tempat atau penjuru ke empat yang kosong. Sementara itu, ia masih saja minum arak yang mengeluarkan suara menggelogok di tenggorokannya. Setelah puas minum arak, Thian-Te Lo-Mo lalu melompat ke dekat muridnya dan memberikan guci itu kepada Tiong San.
"Kau minumlah, air keruh ini lumayan juga!"
Tiong San tadi bengong dengan perasaan kagum sekali melihat betapa suhunya sambil minum arak dapat menghindarkan diri dari kepungan tiga orang perwira itu. Maka kini dengan girang dan tersenyum ia menerima guci itu dan minum dengan lagak seperti suhunya tadi, yakni tangan kanan memegang guci yang dituangkan ke mulut sedangkan tangan kiri bertolak pinggang dan mendongakkan kepala.
Akan tetapi diam-diam ia berpikir bagaimana caranya dapat mengelakkan serangan-serangan orang dalam kedudukan seperti itu! Memang kedua kaki mudah saja digerakkan, akan tetapi tanpa melihat musuh, bagaimana suhunya dapat mengelak secara sebegitu sempurnanya? Ia hanya minum beberapa teguk oleh karena arak itu ternyata keras sekali. Maka ia segera menurunkan guci itu dan kembali memandang ke arah gurunya yang telah dikurung pula! Kini ia melihat hal yang lebih mengagumkannya lagi. Tiga orang perwira itu yang merasa amat marah dan penasaran, telah menggerakkan senjata mereka dalam penyerangan yang cepat dan ganas. Dua orang perwira muda menggerakkan golok mereka sedemikian cepatnya sehingga nampak dua sinar golok yang berkilauan menyerang suhunya dari depan,
Karena sepasang tombak ini bergerak-gerak tak menentu, dari bawah dan atas, kanan kiri dengan serangan-serangan maut. Kini Thian-Te Lo-Mo tidak hanya mengelak sambil berputar-putar seperti tadi. Seperti seorang yang nampak gembira sekali ia tertawa terkekeh-kekeh sambil menggerakkan kedua lengannya. Jari telunjuk dan jari tengah dari kedua tangannya terbuka sedangkan jari-jari yang lain terkepal dan dengan dua jari tangan kanan kiri ini ia menghadapi senjata-senjata lawan. Dengan jari-jari tangannya yang panjang dan kurus tak berdaging itu, ia menangkis serangan senjata setiap lawannya dengan kepretan-kepretan keras, dan selalu ia dapat mementalkan senjata pengeroyok dengan memukulkan jarinya pada punggung golok yang tidak tajam dan gagang tombak bercagak.
Tiap kali ia menangkiskan jarinya pada senjata musuh, lawannya yang memegang senjata merasa betapa tangan mereka kesemutan karena dari jari tangan Thian-Te Lo-Mo keluar tenaga lweekang yang bukan main besarnya. Tiong San yang menonton pertempuran itu merasa pening kepalanya karena gerakan empat orang itu, terutama suhunya, amat cepat sehingga seakan-akan yang bertempur bukan empat orang, akan tetapi banyak sekali! Betapapun juga, ia merasa amat khawatir karena suhunya hanya menggunakan jari tangan untuk menangkis senjata-senjata musuh. Apakah tangan suhunya takkan luka? Agaknya Thian-Te Lo-Mo memang sengaja mempermainkan ketiga pengeroyoknya itu, karena tiba-tiba gerakan tubuhnya makin cepat ketika sambil tertawa ia berkata,
"Monyet tua dan monyet-monyet muda, sudahlah, aku sudah lelah!"
Begitu ia mengeluarkan ucapan ini, terdengar suara tang-ting-tong, dan dua golok beserta sepasang siang-kek itu terpental ke tengah udara dan tubuh Thian-Te Lo-Mo melayang ke arah muridnya.
"Ayoh kita kabur!"
Katanya sambil menangkap lengan kanan Tiong San.
"Suhu, cap itu kembalikan saja! Untuk apakah cap macam itu bagi kita?"
Thian-Te Lo-Mo tertawa gelak-gelak. Lalu merogoh saku baju di antara baju kutangnya yang tinggal sedikit itu, dan mengeluarkan sebuah cap yang dulu dicurinya ketika ia mengacau di atas perahu pangeran Lu Goan Ong. Ia melambaikan tangannya kepada Kwee Houw dan berkata,
"Monyet tua, ke sinilah kau dan terimalah kembali cap busuk ini!"
Biarpun tadi merasa kaget dan marah karena dikalahkan, akan tetapi melihat orang gila itu benar-benar hendak mengembalikan cap pangeran Lu Goan Ong, perwira itu merasa girang sekali. Kalau ia berhasil mendapatkan kembali cap yang hilang tentu ia akan menerima banyak hadiah dan mungkin kenaikan pangkat dari pangeran Lu yang berpengaruh! Maka ia segera melangkah lebar menghampiri Thian-Te Lo-Mo.
"Thian-Te Lo-Mo, kau sungguh baik, terima kasih,"
Katanya mengulurkan tangan. Thian-Te Lo-Mo memberikan cap itu dan melepaskan di tangannya Kwee Houw. Akan tetapi ketika perwira ini memandang, ternyata bahwa cap itu telah ditekan oleh tangan Iblis Tua Langit Bumi itu dan menjadi pecah berantakan!
Setelah memberikan cap yang dirusaknya itu, Thian-Te Lo-Mo lalu menarik tangan muridnya, dan lari bagaikan terbang! Tiong San merasa betapa ia ditarik cepat sekali sehingga kedua kakinya tidak menginjak bumi. Biarpun cap itu telah pecah-pecah, akan tetapi Kwee Houw merasa lega. Karena rusaknya cap tidak menjadi soal besar. Bagi seorang berpangkat, pada dewasa itu, cap merupakan benda yang bernilai besar bagaikan ajimat. Dengan cap ini, seorang pembesar memberi tanda-tanda kepada semua surat-surat dan cap merupakan lambang kebesaran. Apabila cap itu dirusak, dapat dibuat yang baru, akan tetapi kalau sampai hilang dan terjatuh ke dalam tangan orang lain, maka orang lain akan dapat mempergunakan cap itu untuk memalsu dan merusak nama baik.
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo