Pendekar Gila Dari Shantung 7
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Ssst, diam, Thio Swie!"
Tiba-tiba suara Tiong San terdengar berpengaruh sekali.
"Kau tersesat dan buta! Tahukah kau, baru saja Siu Engmu itu hampir membunuh Khu Sin kalau tidak aku kebetulan datang!"
"Apa...?!! Thio Swie memandang dengan mata terbelalak.
"Ya, kau boleh merasa heran. Aku mendengar dengan telingaku sendiri betapa Khu Sin telah minta dengan beraninya kepada Siu Eng agar tidak mengganggumu, agar suka kembali kepadamu dan jangan bermain curang dan melanggar kesetiaan terhadapmu! Dan untuk pembelaannya itu, Khu Sin telah kau benci, bahkan hampir terbunuh oleh Siu Eng gadis kejam itu!"
Kata pula Tiong San. Khu Sin lalu melangkah maju dan memeluk pundak Thio Swie.
"Thio Swie, memang kau sedang dimabok cinta. Kau tidak tahu betapa besar kasih ku kepadamu. Kita sahabat-sahabat karib semenjak kecil, bukan? Kita kawan-kawan sekampung, bukan? Tak pernah aku berlaku khianat dan curang kepadamu, kawan! Kau tidak tahu, kawan kita Tiong San telah menjadi seorang pendekar luar biasa! Ah, kalau saja kau tadi tahu betapa ia bertempur melawan Siu Eng yang lihai! Ia adalah Shan-Tung Koay-Hiap, dan kepandaiannya... ah, kau takkan percaya kepada matamu sendiri..."
Kemudian ia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,
"Kawan-kawanku, dengarlah baik-baik penuturanku dan aku bersumpah takkan mau menjadi manusia lagi kalau dalam penuturanku ini ada sepatah katapun yang tidak benar!"
Ia lalu menceritakan keadaan sebenarnya, betapa Siu Eng memasuki kamarnya, betapa ia telah mencintai seorang gadis pelayan yang kemudian difitnah oleh Siu Eng, dan betapa ia tadi hampir saja dibunuh oleh gadis kejam itu. Makin lama makin pucatlah wajah Thio Swie mendengar ini dan akhirnya ia mengeluh dengan sedih lalu roboh pingsan. Khu Sin menjadi sibuk, akan tetapi Tiong San berkata,
"Tenanglah, ia tidak apa-apa. Lebih baik dia pingsan sehingga tidak mengalami pukulan batin yang lebih hebat."
Mereka duduk diam menjaga sampai Thio Swie siuman kembali. Pemuda ini bangun duduk dan menangis sedih.
"Bagaimana ia menjadi sejahat itu? Bagaimana seorang gadis secantik dia sampai memiliki watak sedemikian keji. Ah... sukar untuk dapat dipercaya."
"Memang manusia ini segila-gilanya mahluk. Ingatkah kau, Thio Swie?"
Kata Tiong San.
"Sekarang serahkanlah semua ini kepadaku. Aku yang tanggung bahwa mulai besok pagi, kalian tentu akan mendapat pangkat, dan dapat meninggalkan tempat ini untuk menduduki pangkat masing-masing. Adapun tentang Siu Eng... ah, serahkan saja kepadaku. Khu Sin, besok setelah menerima pangkat, kau boleh membawa pulang calon isterimu itu, dan kau Thio Swie, kuharap kau dapat melupakan Siu Eng, memegang jabatanmu dengan jujur dan adil kemudian kau boleh mencari isteri yang lebih bijaksana dari pada Siu Eng!"
"Kau sendiri!"
Tanya Khu Sin.
"Aku...? Ha ha ha! Aku... sementara waktu akan tinggal di gedung ini, kalau sudah bosan, aku akan menyusul suhuku..."
"Di mana suhumu!"
Tanya Khu Sin selanjutnya.
"Di dapur kaisar, menikmati hidangan-hidangan istana!"
"Tiong San, gilakah kau?"
Tanya Thio Swie dengan heran. Tiong San tertawa ha ha, hi hi.
"Nah, kau sudah sembuh, Thio Swie! Kau bilang aku gila? Memang, siapakah yang tidak gila? Ha ha, ingatkah kau syair dulu?"
Dunia penuh orang gila
Yang waras disebut gila
Yang gila....
"Meraja lela...!"
Dengan suara berbareng Thio Swie dan Khu Sin melanjutkan syair itu. Kembali Tiong San tertawa ria. Khu Sin lalu menceritakan pengalaman mereka semenjak berpisah dengan Tiong San dan pemuda itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi ketika ditanya pengalamannya, Tiong San menjawab singkat.
"Apa yang kualami? Ah, tidak ada apa-apa. Aku hanya pergi belajar mengembala kerbau dengan cambukku ini dan selanjutnya merantau tiada arah tujuan."
"Mengembala kerbau? Apakah artinya bahwa untuk mengembala kerbau kau perlu mempelajari ilmu silat yang demikian tingginya?"
Tanya Khu Sin dan kedua orang muda itu mulai memandang kepada Tiong San dengan pandangan mata heran dan ragu-ragu apakah kawannya ini benar-benar tidak miring otaknya. Sambil tertawa Tiong San berkata,
"Betapa tidak? Mengembala kerbau lebih mudah dari pada mengembala manusia, dan karena kerbau-kerbau yang harus kuhadapi itu termasuk kerbau-kerbau gila seperti Siu Eng dan orang jahat-jahat lainnya, tentu aku akan diseruduk kerbau dan mampus!"
Omongan Tiong San yang tidak keruan juntrungnya ini benar-benar membikin kedua sahabatnya terheran-heran. Menurut keinginan hati kedua orang muda itu, mereka ingin mengadakan percakapan sampai semalam suntuk, akan tetapi Tiong San berkata,
"Jangan, lebih baik kita tidur saja. Thio Swie perlu beristitahat dan aku perlu tidur karena kamar telah disediakan oleh tuan rumah!"
Pelayan mengetuk pintu dan memberitahukan bahwa kamar untuk "Koay-Hiap"
Telah disiapkan, yakni di dekat kamar tengah. Pelayan itu lalu mengundurkan diri.
"Malam ini kalian jangan keluar-keluar,"
Kata Tiong San.
"Biar mendengar suara apapun juga dari kamarku, jangan kalian keluar."
Kemudian mereka lalu masuk ke kamar masing-masing. Thio Swie yang merasa amat kecewa dan berduka, dapat menghibur hatinya karena ia merasa beruntung juga bahwa ia tidak sampai terjerumus makin dalam dan kini kedua orang sahabat karibnya telah berbaik kembali, bahkan Tiong San telah menjadi seorang pendekar! Maka perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya ini membuatnya lelah sekali dan sebentar saja ia tidur pulas. Sebaliknya, Khu Sin yang merasa girang sekali, pertama karena kedatangan Tiong San, kedua karena ia sudah berbaik kembali dengan Thio Swie, dan ketiganya karena ia hendak membawa pulang kekasihnya, malahan tak dapat tidur!
Tiong San begitu merebahkan diri di atas pembaringan tanpa membuka bajunya terus saja mendengkur! Keadaan di sekitar tempat itu sunyi senyap, akan tetapi sebetulnya pemuda ini tidak tidur dan ia menaruh curiga kepada Pangeran Lu Goan Ong. Siapa tahu kalau-kalau Pangeran itu hendak berlaku curang! Maka ia telah mempersiapkan cambuknya di bawah bantal. Menjelang tengah malam, benar saja ia mendengar tindakan kaki perlahan-lahan yang menghampiri kamarnya dari luar. Menurut pendengarannya, ia taksir bahwa yang datang itu sedikitnya ada lima orang, maka ia diam-diam tersenyum dan bersiap-siap. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar tindakan kaki ringan dan ia mendengar suara Siu Eng berkata perlahan,
"Jangan! Jangan! Tidak boleh!"
Terdengar suara laki-laki yang agaknya membantahnya, akan tetapi gadis itu berkata kembali,
"Mari kita rundingkan dulu!"
Kaki banyak orang itu lalu menjauhi kamarnya, dan secepat kilat Tiong San lalu melompat naik ke tiang penglari, membuka genteng dan segera melompat mendekati sekelompok orang dalam gelap yang sedang berunding. Ia lihat Im-Yang Po-San Bu Kam, perwira kaisar kelas satu yang tadi dicabut jenggotnya oleh Thian-Te Lo-Mo, bersama empat orang perwira lain dan mereka berlima ini sedang bercakap-cakap dengan Siu Eng. Gadis ini sedang bicara dengan suara tetap,
"Tidak boleh, sekali lagi tidak boleh! Kalian tidak boleh mengganggu dia! Aku... aku suka kepadanya dan aku sudah mengambil keputusan untuk menjadi... jodohnya!"
"Apa?"
Terdengar orang ketujuh berkata dan orang ini bukan lain ialah Pangeran Lu Goan Ong sendiri.
"Siu Eng! Apakah kau gila? Dia adalah seorang yang berbahaya!"
Siu Eng tersenyum.
"Dia memang lihai sekali dan berkepandaian tinggi. Tentu saja dia berbahaya kalau menjadi musuh kita. Akan tetapi, kalau dia menjadi suami saya, berarti dia bukan musuh kita, bahkan keluarga kita yang akan membela kita. Mengapa paman tidak dapat berpikir sampai di situ?"
"Kalau dia tidak mau, bagaimana?"
Tanya seorang perwira.
"Tak mungkin!"
Siu Eng menjawab marah dan tersinggung.
"Kalau besok paman bertemu dengan dia harap paman kemukakan hal ini dan membujuknya. Kalau ternyata benar-benar bahwa dia tidak mau, terserah kepada kalian hendak menawan atau membunuhnya, aku bahkan akan membantu kalian!"
Setelah mendengar ini Tiong San tersenyum geli dan diam-diam kembali ke kamarnya dan tidur lagi.
Ketujuh orang itu berunding sebentar lagi, kemudian perwira-perwira itu mengalah karena mereka merasa setuju dengan pendapat Siu Eng bahkan merasa gembira karena kalau sampai pemuda itu tidak mau, mereka akan dapat bantuan Siu Eng yang lihai. Juga Pangeran Lu Goan Ong memuji kecerdikan keponakannya. Setelah mereka pergi, Siu Eng lalu menghampiri kamar Tiong San. Ia mengintai dari jendela dan ketika mendengar betapa pemuda itu telah tidur pula dan mendengkur, dengan hati-hati ia lalu menolak daun pintu yang ternyata tidak dikunci! Ia melangkah masuk dan mendekati pembaringan Tiong San. Ditatapnya wajah pemuda yang tampan dan yang tidur telentang itu. Bibir pemuda itu tersenyum dalam tidurnya dan bulu matanya nampak panjang dan hitam. Alis yang berbentuk golok itu membuat kulit mukanya yang putih kelihatan gagah dan tampan sekali.
"Aku suka kepadamu... kau tampan dan gagah... aku cinta padamu..."
Siu Eng berbisik dan jari tangannya yang halus itu diulur dan menyentuh dagu Tiong San dengan mesranya. Kemudian dengan hati beruntung dan gembira gadis itu meninggalkan kamar Tiong San dan menutup pintunya. Pada keesokan harinya, Tiong San telah berhadapan dengan Pangeran Lu Goan Ong di ruang tamu. Setelah memuji-muji kegagahan Tiong San, Pangeran Lu Goan Ong lalu berkata,
"Lie-Taihiap,"
Katanya dengan suara ramah tamah.
"Melihat sepak terjangmu di gedung Pangeran Ong, aku merasa amat kagum akan kegagahanmu, dan melihat pula sikapmu yang amat sopan santun dan baik, timbullah suatu maksud dalam hatiku. Kuharap saja kau takkan menampik usul yang akan kuajukan ini."
"Lu-Taijin adalah seorang pembesar tinggi dan telah menolong kedua orang sahabatku,"
Jawab Tiong San.
"Oleh karena itu setiap usul tentu akan merupakan kurnia besar untukku. Mana aku bisa menampiknya?"
Dengan wajah girang Pangeran Lu Goan Ong melanjutkan kata-katanya,
"Keponakanku Gui Siu Eng telah kau lihat sendiri kepandaian dan wajahnya. Dia telah berusia delapan belas tahun dan selalu apabila hendak kucarikan jodoh, ia menolak dengan alasan bahwa ia hanya mau mendapatkan jodoh yang ilmu kepandaiannya lebih tinggi darinya, baik dalam bun maupun bu. Taihiap adalah seorang pelajar yang pandai dan ilmu silatmu juga amat tinggi, maka agaknya hanya kaulah seorang yang patut menjadi jodohnya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu tentang hal ini? Kalau kiranya kau setuju, kami akan merasa girang sekali menarik kau sebagai keluarga kami!"
Biarpun dalam hatinya merasa geli sekali, akan tetapi Tiong San memperlihatkan muka sungguh-sungguh ketika ia menjawab,
"Memang telah kuduga bahwa Taijin tentu akan memberi kurnia kepadaku yang bodoh. Tentang hal perjodohan ini... sesungguhnya merupakan kurnia yang datangnya dari surga bagiku. Jangankan menjadi jodoh Gui-Siocia yang demikian pandai dan mulia, untuk menjadi pelayannya saja aku masih belum cukup berharga! Oleh karena itu, orang akan menyebutku gila kalau aku menampiknya. Akan tetapi, orang menikah harus berada dalam keadaan senang dan puas, sedangkan aku masih mempunyai ganjalan hati karena beberapa macam keinginanku masih belum terkabul."
"Apakah keinginan itu, Taihiap? Katakanlah, barangkali saja aku akan bisa menolongmu."
Tiong San menjura. Terima kasih, terima kasih Lu-Taijin. Kalau Taijin yang turun tangan membantu, hal ini pasti akan beres.
Dulu pernah aku berjanji kepada diri sendiri, bahwa aku takkan mau kawin sebelum dapat menyenangkan hidup ibuku yang miskin, maka sebelum aku dapat memberinya uang sedikitnya sepuluh ribu tail perak, aku takkan mengikat diri dengan perjodohan. Kedua, sahabat-sahabat karibku Khu Sin dan Thio Swie semenjak kecil bercita-cita untuk menjabat pangkat, sedikitnya menjadi wedana, maka kalau kedua orang sahabatku itu belum mendapatkan pangkat yang dicita-citakannya itu, hatiku tetap saja takkan merasa senang. Tentu saja kedua hal ini bagi Taijin hanyalah merupakan hal-hal kecil yang remeh, akan tetapi bagiku agaknya selama hidup takkan dapat tercapai. Oleh karena itu untuk membicarakan soal perjodohan masih jauh sekali bagiku dengan adanya keinginan-keinginan yang sukar dilaksanakan itu."
Pangeran Lu Goan Ong tertawa gembira.
"Sepuluh ribu tail perak dan pangkat wedana bagi kedua sahabat karibmu? Hm, biarpun hal itu mudah dilakukan, akan tetapi dengan perginya kedua anak muda itu, aku kehilangan dua tenaga pembantu yang cakap. Akan tetapi biarlah, hitung-hitung hal itu menjadi "mas kawin"
Bagimu. Aku akan penuhi semua permintaan itu, Lie-Taihiap!"
Tiong San merasa lega dan menjura dengan penuh hormat.
"Banyak-banyak terima kasih atas kurnia yang Taijin berikan kepadaku. Kalau demikian, mohon Taijin suka segera memberi surat pengangkatan untuk kedua orang kawanku itu dan uang untuk ibukupun hendak kutitipkan pada mereka."
"Dan tentang pernikahan itu? Kapan dapat dilangsungkan?"
Tanya Pangeran Lu Goan Ong. Tiong San tersenyum.
"Kapan saja, Taijin, ini hari ataupun besok hari apa bedanya?"
Pangeran Lu Goan Ong merasa girang sekali. Tak disangkanya pemuda itu akan menurut dengan demikian mudahnya. Kalau pemuda itu benar-benar menjadi suami Siu Eng, maka ia akan mendapat pelindung yang benar-benar kuat dan ia tidak usah khawatirkan saingan-saingan berat. Pula, karena pemuda ini murid Thian-Te Lo-Mo, mustahil kalau kakek gila itu mau datang mengganggunya!
"Kalau begitu, besok pagi harus dilangsungkan. Lebih cepat lebih baik!"
Serunya girang.
"Hamba bersiap sedia, Taijin!"
Jawab Tiong San. Khu Sin dan Thio Swie lalu dipanggil menghadap dan kedua pemuda ini hanya bisa mendengarkan dengan bengong ketika mereka diberitahu oleh Pangeran Lu Goan Ong bahwa mereka berdua diangkat menjadi Wedana, masing-masing di kota Bun-an-kwan dan Siong-li-tung yang tak jauh letaknya dari kampung kelahiran mereka! Kemudian mereka diberi hadiah-hadiah pula sebagai penghargaan atas jasa-jasa mereka dan juga uang sepuluh ribu tail perak untuk ibu Tiong San dibawakan sekalian.
Dalam kegembiraannya, kedua orang itu berlutut menghaturkan terima kasih kepada Pangeran Lu Goan Ong sambil mengeluarkan air mata karena terharu dan girang. Khu Sin lalu mengajukan permohonan untuk berangkat pada hari itu juga sambil membawa Man Kwei, bekas pelayan yang menjadi kekasihnya itu. Pangeran Lu menyetujuinya dan segera disediakan gerobak untuk mengangkut barang-barang mereka. Akan tetapi ketika mereka berdua diberitahu akan pernikahan Tiong San dengan Siu Eng yang akan dilangsungkan besok hari, keduanya menjadi pucat. Terutama Thio Swie, pemuda ini yang hatinya masih terluka dan rasa cintanya kepada Siu Eng masih belum lenyap, memandang kepada Tiong San dengan mata marah dan penuh pertanyaan, akan tetapi kawannya itu hanya memandangnya sambil tersenyum.
"Kalian pulanglah dan lakukanlah pekerjaan dan tugas masing-masing dengan baik. Kalian sudah terlalu lama di sini dan sekarang menjadi giliranku untuk menikmati hidup bahagia di samping isteriku yang berbudi!"
Khu Sin yang cerdik dapat menduga bahwa Tiong San tentu sedang menjalankan peranan yang hebat, maka tanpa banyak kata lagi ia lalu mengajak Thio Swie berangkat meninggalkan kota raja.
Mereka minta pertolongan sebuah perusahaan pengawal barang (piauw-kiok) untuk mengantar dan mengawal mereka menuju ke kampung Kui-ma-chung karena mereka hendak pulang ke rumah orang tua masing-masing sebelum menuju ke kota di mana mereka akan menjabat pangkat baru itu. Akan tetapi, di sepanjang perjalanan, Thio Swie tiada hentinya menyatakan ketidaksenangan hatinya terhadap Tiong San, dan ia dihibur oleh Khu Sin dengan memperingatkan bahwa betapapun juga, Tiong San telah berjasa sehingga mereka berdua diberi kedudukan yang amat baik. Sementara itu, gedung Pangeran Lu Goan Ong dihias dengan amat mewahnya. Pangeran ini lalu membuat siaran dan undangan kilat untuk memberitahu tentang pernikahan yang hendak dilangsungkan sehingga gemparlah semua pembesar dan Pangeran di kota raja.
Nama Siu Eng telah terkenal sekali dan semua orang merasa heran dan menduga-duga siapakah gerangan pemuda yang demikian bahagia dan berhsl mempersunting kembang yang indah dan harum itu. Para pembesar yang ketika Tiong San mengacau di gedung Pangeran Ong hadir pula di situ, menjadi terheran-heran ketika mendengar bahwa keponakan Pangeran Lu Goan Ong dijodohkan dengan Shan-Tung Koay-Hiap, akan tetapi diam-diam Pangeran Lu Goan Ong mengutus orang kepercayaannya untuk memberitahukan duduknya hal kepada mereka semua itu. Ia memberitahukan bahwa Siu Eng merasa suka kepada pemuda itu dan menurut pendapatnya, pemuda yang tadinya seorang siucai (terpelajar atau mahasiswa) itu yang kini telah menjadi seorang lihai, lebih baik dijadikan kawan yang akan membela kepentingan mereka dari pada dijadikan lawan.
Bahkan Pangeran Lu Goan Ong memberi surat khusus untuk Pangeran Ong Tai Kun agar supaya Pangeran ini suka menjalankan siasat yang halus dan menawarkan diri menjadi wali dari Tiong San! Pangeran Ong Tai Kun yang telinga kirinya dibikin buntung oleh Tiong San, tentu saja merasa amat sakit hati pada pemuda itu, maka ketika menerima surat dari Pangeran Lu Goan Ong , ia merasa amat penasaran. Akan tetapi menghadapi Lu-Taijin, ia tidak berani bertingkah, apalagi ia maklum bahwa tanpa bantuan orang pandai, ia tidak berdaya menghadapi Shan-Tung Koay-Hiap dan Thian-Te Lo-Mo. Maka ia lalu memutar otaknya dan akhirnya mendapat siasat yang amat keji dan curang. Ia segera mengutus orang-orang kepercayaannya untuk membawa kendaraan berkuda besar menjemput Tiong San yang menjadi mempelai laki-laki dan kini telah diberi pakaian yang amat indah.
Pakaian ini terbuat dari sutera halus dan atas permintaannya, maka telah dipilih sutera warna hijau yang amat mahal dan indah. Untuk memenuhi adat kebiasaan, mempelai laki-laki akan tiba dari rumah orang tua atau walinya untuk menjemput calon isterinya, maka karena ia tidak keberatan untuk mengangkat wali kepada Pangeran Ong Tai Kun. Ketika kereta yang menjemputnya datang, ia segera berangkat naik kereta menuju ke gedung Pangeran Ong Tai Kun yang kemaren dulu terjadi keributan karena
(Lanjut ke Jilid 07)
Pendekar Gila Dari Shantung (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
gangguannya! Ketika ia turun dari kendaraan, semua perwira yang kemaren mengeroyoknya, memandang dengan penuh perhatian dan mereka mau tidak mau harus menyatakan kagum dalam hati melihat kegagahan dan ketampanan pemuda yang dipilih menjadi calon suami Siu Eng itu.
Pangeran Ong Tai Kun sendiri menyambut pemuda itu dengan senyum simpul. Telinganya yang buntung kini tertutup oleh sebuah kopiah bulu yang sengaja dibuat dengan model kopiah yang besar menutup telinga. Muka Pangeran ini masih nampak pucat dan biarpun bibirnya tersenyum-senyum dan mukanya berseri-seri, akan tetapi mata Tiong San yang tajam tak dapat ditipu dan pemuda ini melihat sinar api di dalam mata Pangeran itu yang membuatnya berlaku waspada dan berhati-hati. Hari itu sampai malam harinya, Ong Tai Kun memperlihatkan sikap yang baik sekali. Ia mengajak Tiong San makan minum dan bercakap-cakap dengan gembira, berkali-kali menyatakan kegembiraannya dan mengucapkan selamat atas kebahagiaan pemuda ini.
"Kau benar-benar beruntung,"
Katanya sambil menambah arak dalam cawan Tiong San.
"Mungkin kau tidak tahu bahwa nona Gui Siu Eng itu adalah kembang kota raja yang banyak dikagumi orang. Tidak ada pemuda di kota raja yang tidak mengimpikannya. Selain cantik jelita, iapun terkenal pandai dalam ilmu kesusasteraan dan dalam hal ilmu Silat, tidak ada wanita keduanya! Kau benar-benar beruntung sekali!"
"Terima kasih, Ong-Taijin. Akan tetapi yang lebih menggirangkan hatiku ialah melihat bahwa agaknya kau benar-benar telah insyaf dan suka merobah kebiasaan yang kurang baik. Aku merasa bersyukur sekali dan harap kau sudi memberi maaf atas atas perlakuanku kemarin dulu yang kasar."
Melihat keramah tamahan Pangeran itu, kecurigaan di hati Tiong San mulai mengurang. Malam hari itu, Tiong San mendapat sebuah kamar yang indah dan dihias bagus, merupakan kamar penganten benar-benar!
Ketika Tiong San berada di dalam kamarnya seorang diri dan naik ke pembaringan, tiba-tiba ia memasang telinga dan segera tersenyum sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan sebentar saja ia telah mendengkur. Ia maklum bahwa di sekeliling kamarnya dijaga orang-orang pandai dan maklum pula bahwa ini tentu perbuatan Pangeran Lu Goan Ong dan Pangeran Ong Tai Kun yang diam-diam menyuruh para perwiranya menjaganya, khawatir kalau-kalau ia akan lari kabur! Pada keesokan harinya, para pelayan Pangeran Ong Tai Kun datang membawakan air hangat dan setelah Tiong San mencuci badan, mereka lalu membantu pemuda itu mengenakan pakaiannya yang indah. Bahkan Pangeran Ong Tai Kun sendiri membantu dan membereskan pakaian Tiong San. Setelah saatnya untuk berangkat tiba, Pangeran Ong Tai Kun datang membawa guci arak dan dua buah cawan.
"Shan-Tung Koay-Hiap,"
Katanya sambil tertawa.
"Sebagai seorang wali, juga sebagai kawan baik menghormati kawan yang gagah perkasa dan menerima keberuntungan, sukalah kiranya kau minum tiga cawan arak!"
Tiong San tersenyum dan menerima cawan arak itu. Ketika ia membawa cawan ke mulutnya dan arak sudah masuk ke mulut, ia merasa betapa lidahnya menjadi lemas dan gatal-gatal. Diam-diam ia terkejut sekali, dan tahu bahwa diam-diam pangeran Ong Tai Kun ini sengaja menjalankan maksud keji dan hendak meracuni pada saat terakhir. Melihat betapa pemuda itu menunda minumnya, wajah Pangeran Ong Tai Kun menjadi pucat, akan tetapi ia menarik napas lega ketika pemuda itu melanjutkan minumnya dan sekali tenggak arak secawan itu memasuki perutnya! Ong Tai Kun tertawa girang.
"Arak dalam cawan pertama itu untuk ucapan selamat, cawan kedua untuk menambah tng kepada penganten pria dan cawan ketiga untuk menambah kekal persahabatan kita!"
Tanpa menjawab sesuatu, Tiong San minum dua cawan arak yang mengandung racun itu. Kemudian ia menggandeng tangan Pangeran Ong Tai Kun yang sebagai walinya akan mengantarnya menjemput mempelai perempuan. Bagaimana Tiong San berani minum tiga cawan arak yang telah diketahuinya mengandung racun itu? Ternyata bahwa ketika ia belajar ilmu kepandaian di bawah bimbingan suhunya yang sakti dan aneh, ia mendapat gemblengan hebat dalam ilmu lweekang secara ajaib dan suhunya itu yang bicara dengan tegas dan jelas apabila sedang memberi pelajaran, telah memberi tahu kepadanya bahwa bahaya besar bagi seorang ahli silat yang paling sukar dijaga adalah serangan lawan yang mempergunakan tipu muslihat halus, yakni dengan jalan meracuninya.
"Ada dua macam racun,"
Kata Thian-Te Lo-Mo kepada muridnya itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Racun yang bersifat keras dan bekerjanya cepat sekali sehingga begitu racun ini memasuki perut, orang yang meminumnya akan mati pada saat itu juga, dan ada pula racun yang bersifat halus dan bekerjanya amat lambat sehingga yang meminumnya baru akan tewas dalam beberapa hari atau beberapa pekan menurut ukuran racun dan si peminum itu sendiri. Racun yang pertama, yakni yang keras, begitu memasuki mulut, apabila kita menggunakan hawa dari dalam perut yang dikerahkan ke dalam mulut dan ujung lidah, maka lidah kita akan menjadi kaku dan ada rasa getir pada lidah itu. Jika kau merasai ini, sekali-kali jangan kau minum racun itu dan segera semburkan minuman itu ke arah muka lawan dan seranglah ia dengan pukulan maut. Akan tetapi apabila kau minum minuman yang membuat lidahmu terasa lemas dan agak gatal-gatal ketika kau mengerahkan hawa dari dalam perut, itulah tanda racun kedua yang kerjanya dengan halus. Kau boleh segera semburkan arak atau minuman beracun halus itu ke arah mata lawanmu dan memberi pukulan yang cukup untuk membuat ia roboh pingsan. Akan tetapi, apabila keadaan menghendaki, ada jalan bagimu untuk menelan minuman beracun halus itu tanpa membahayakan keselamatan nyawamu. Kerahkan lweekang dan hentikan jalan darah dan pernapasanmu dan apabila kau mengerahkan khikang di dalam perut untuk mendesak minuman itu keluar lagi dari mulutmu, maka semua minuman itu akan keluar bersama racun di dalamnya dan perutmu akan menjadi bersih kembali. Akan tetapi ingat, jangan sekali-kali kau bicara ketika menahan napas dan menghentikan jalan darah. Kalau kau berbuat demikian, maka tidak semua racun akan ikut keluar dan perutmu akan menjadi terluka!"
Oleh karena itu, ketika tadi Tiong San merasa betapa lidahnya menjadi lemas dan agak gatal, ia maklum bahwa ia diberi minum racun halus yang bekerja lambat.
Ia adalah seorang pemuda yang pemberani dan tabah, serta sudah memiliki adat aneh dari suhunya, maka ia sengaja menelan masuk tiga cawan arak itu. Setelah minum tiga cawan arak itu, ia lalu menggandeng tangan "Walinya"
Masuk ke dalam kereta yang telah tersedia di depan istana Pangeran Ong Tai Kun. Kendaraan lalu dijalankan, didahului dengan barisan bertombak dan rombongan musik yang memukul tambur dan gembreng. Di belakang kendaraan itu orang-orang sibuk memasang petasan sehingga keadaan menjadi ramai dan gembira sekali. Penonton berdesak-desakan dan ketika Tiong San naik ke dalam kereta tadi, para penonton memuji-muji kegagahan pemuda yang terpilih oleh Gui-Siocia itu. Pakaian Tiong San dari sutera hijau tertutup oleh jubah pengantin yang berwarna merah dan dikembang-kembang dengan benang emas.
Kepalanya mengenakan topi penganten yang dihias dengan batu-batu permata. Ketika kendaraan berjalan dan tambur serta gembreng ditabuh, penonton mengantarkan penganten dengan tepuk tangan dan sorak riuh rendah! Di gedung Pangeran Lu Goan Ong tidak kalah meriahnya. Di depan gedung dihias indah, dan musik terdengar semenjak pagi. Tamu-tamu yang terdiri dari para pembesar dan Pangeran-Pangeran di kota raja, berangsur-angsur datang. Tak seorangpun pembesar yang berada di kota raja tidak datang menghadiri perayaan itu, karena siapakah yang tidak menghormat dan segan terhadap Pangeran Lu Goan Ong? Bahkan kaisar sendiri telah mengirim hadiah berupa hiasan rambut mempelai wanita. Yang paling merasa berbahagia adalah Siu Eng sendiri. Semenjak pagi gadis ini telah dirias sehingga wajahnya yang telah cantik jelita itu menjadi makin menarik.
Kedua pipinya kemerah-merahan membayangkan perasaan gembira dan bahagia. Ia duduk di dalam kamar, dikelilingi para pelayan wanita, ada yang mengipasinya, ada yang memberes-bereskan pakaian pengantin yang dipakainya, ada yang membereskan rambutnya dan sebagainya. Ia telah siap untuk menanti datangnya mempelai laki-laki atau calon suaminya yang akan datang menyambutnya. Tiba-tiba terdengar suara petasan di luar dan para pelayan sambil tertawa-tawa lalu memasang penutup kepala yang dihias penuh dengan batu permata dan emas di kepala Siu Eng yang tersenyum-senyum malu karena maklum bahwa calon suaminya telah tiba. Di Luar juga terjadi kesibukkan luar biasa. Lu Goan Ong sebagai paman dan wali dari mempelai wanita, segera membawa rombongannya menyambut keluar.
Kendaraan penganten berhenti tepat di depan gedung setelah memasuki pekarangan gedung yang amat luas. Para penonton tidak boleh masuk, hanya sampai di pintu gerbang dan mereka berdesak-desakan di situ sambil menjenguk ke dalam. Karena pintu dan tirai kendaraan belum juga dibuka, maka Lu Goan Ong sendiri melangkah maju. Pangeran ini mengulur kedua tangannya, membuka tirai dan menjenguk ke dalam. Akan tetapi ia berdiri terheran-heran seperti patung, matanya terbelalak memandang ke dalam kendaraan. Apakah yang ia lihat?? Ternyata bahwa di dalam kendaraan itu hanya duduk satu orang yang bukan lain ialah Pangeran Ong Tai Kun sendiri! Pangeran ini mengenakan jubah penganten laki-laki, akan tetapi ia duduk di atas bangku kereta itu bagaikan arca, sama sekali tidak bergerak!
Pangeran Lu Goan Ong berteriak dan semua orang memburu ke situ. Beramai-ramai mereka lalu menurunkan Pangeran Ong Tai Kun yang ternyata telah menjadi kaku tubuhnya karena tertotok secara hebat sekali. Keadaan menjadi gempar dan Pangeran Ong Tai Kun dipepayang masuk ke ruang yang penuh tamu. Di situ terdapat banyak perwira tinggi dan di antaranya bahkan jago-jago kelas satu dari kaisar hadir pula. Melihat keadaan Pangeran Ong Tai Kun, mereka lalu turun tangan dan dengan susah payah karena totokan itu benar-benar aneh, mereka akhirnya dapat juga membebaskan Pangeran itu dari pengaruh totokan. Pada saat yang sudah kacau dan gempar itu, ditambah dengan kegemparan lain yang lebih mengagetkan. Ternyata bahwa Siu Eng yang berada di dalam kamarnya, menanti "Si dia"
Dengan hati berdebar-debar, mendengar pula warta mengejutkan itu dari seorang pelayan.
"Penganten laki-laki tidak ada, yang ada hanya Ongya yang mengenakan baju penganten. Agaknya Ongya akan menggantikan penganten laki-laki,"
Kata pelayan itu dengan napas megap-megap. Mendengar ini, serentak Siu Eng melompat bangun, melemparkan penghias dan penutup kepalanya, mencabut pedang dan berlari keluar. Ia melihat betapa Ong Tai Kun sudah duduk di atas kursi, sedang dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh semua orang.
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang ajar!"
Tiba-tiba Siu Eng membentak dan ia menyerang pangeran Ong dengan pedangnya! Akan tetapi pamannya, Pangeran Lu Goan Ong, segera mencegahnya dan memegang lengannya.
"Sabar..., Siu Eng, tenanglah dan mari kita bicara di dalam secara baik-baik. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat dengan saudara Ong Tai Kun!"
Dengan penuh ketenangan, Pangeran Lu Goan Ong lalu menggandeng keponakannya yang berwajah pucat itu masuk ke dalam, sedangkan Pangeran Ong Tai Kun juga digandeng para perwira masuk ke dalam pula. Semua tamu saling pandang dan mengangkat pundak. Mereka merasa amat terkejut dan heran. Keadaan Pangeran Ong Tai Kun benar-benar aneh. Duduk dalam kereta dalam keadaan tertotok, mengenakan baju pengantin yang paling aneh seluruh jenggotnya habis bersih dibabat orang! Apakah gerangan yang telah terjadi? Demikian semua orang bertanya.
"Apakah sebetulnya yang telah terjadi?"
Pertanyaan yang terkandung dalam hati semua tamu di gedung Pangeran Lu ini diucapkan pula oleh Pangeran Lu Goan Ong kepada Pangeran Ong Tai Kun. Ong Tai Kun merintih beberapa kali menarik napas panjang pendek, kemudian menuturkan pengalamannya.
"Celaka, celaka..."
Ia mengeluh.
"Penjahat itu benar-benar kurang ajar dan telah menghinaku sesuka hatinya! Setelah aku berlaku baik terhadapnya, menjadi walinya, menjamunya secara besar-besaran dan membuat perayaan istimewa untuk pernikahannya, ternyata ia berlaku keji sekali terhadapku! Ketika kereta penganten telah berangkat dan aku duduk bersama dia di dalam kendaraan, tiba-tiba ia menyerangku dengan Tiam-Hoat (totokan istimewa). Karena tidak menduga sebelumnya, dengan mudah aku menjadi korban. Dengan secara kurang ajar sekali, ia lalu menanggalkan jubah penganten dan penghias kepala, mengenakan pakaian itu kepada tubuhku yang telah menjadi kaku tak berdaya, bahkan ia mencabut pedangku dan mencukur semua kumis dan jenggotku! Kemudian, penjahat biadab itu lalu melompat keluar dari kendaraan dengan cepat sekali tanpa diketahui siapapun! Sebelum ia pergi, ia mengucapkan "Selamat menikah"
Kepadaku. Sungguh kurang ajar! Kalau aku dapat bertemu dengan Shan-Tung Koay-Hiap, tentu akan kubalas hinaan ini!"
Setelah menuturkan pengalamannya, Pangeran itu kembali mengeluh panjang. Tentu saja ia tidak menceritakan betapa diam-diam ia hendak meracuni Tiong San, tidak menceritakan pula betapa setelah berada di dalam kendaraan, tiba-tiba pemuda itu muntah-muntah dan menyemburkan tiga cawan arak yang tadi diminumnya ke arah mukanya, lalu menotoknya dengan cepat. Mendengar penuturan ini, Siu Eng berlari masuk ke dalam kamarnya sambil menangis terisak-isak! Ia telah mendapat malu yang besar sekali dari Shan-Tung Koai-Hiap! Sementara itu, pangeran Lu Goan Ong menjadi bingung.
"Bagaimana baiknya sekarang? Tamu-tamu telah berkumpul penuh di ruang depan!"
Akhirnya ia lalu melangkah keluar dengan wajah kusut. Ia menjura kepada semua tamu dan berkata dengan suara gemetar.
"Cuwi sekalian yang mulia! Oleh karena terjadi sesuatu yang tidak memungkinkan pernikahan dilangsungkan, maka untuk sementara waktu pernikahan ini ditunda! Akan tetapi, kami persilakan kepada cuwi sekalian untuk menikmati hidangan sekedarnya dan harap maafkan!"
Tiba-tiba dari pojok ruangan berdiri seorang tamu yang segera berkata dengan suara nyaring dan keras,
"Cuwi sekalian yang terhormat dan tuan rumah yang mulia."
Semua orang memandang kepada pembicara itu. Ia ternyata adalah seorang yang bertubuh tegap, masih muda, akan tetapi mukanya penuh cambang bauk, sehingga nampaknya lucu sekali.
"Perkenankan siauwte berbicara sedikit!"
Sambung orang itu.
"Persoalan ini tak perlu dibicarakan lagi dan kita harus sesalkan bahwa seorang bangsawan yang berbudi demikian mulia seperti pangeran Lu Goan Ong mengalami malapetaka seperti ini. Cuwi sekalian tentu belum mendengar akan kemuliaan budi pangeran Lu, maka sebagai hiburan adanya peristiwa ini baiklah siauwte menceritakan kepada cuwi sekalian. Baru kemaren ini Lu-Taijin telah memberi anugerah besar kepada dua orang pemuda bernama Khu Sin dan Thio Swie yang menjadi pembantunya. Lu-Taijin telah mengangkat mereka itu sebagai wedana-wedana dari kota-kota Bun-an-kwan dan Siong-li-tung! Selain itu, Lu-Taijin juga memberi hadiah uang sebesar sepuluh ribu tail perak kepada orang-orang miskin di kampung Kui-ma-chung, tempat kelahiran kedua orang muda itu sebagai pembalasan jasa! Bukankah ini hebat sekali? Siauwte rasa bahwa kemurahan hati ini patut dijadikan contoh!"
Tepuk tangan para tamu menyambut ucapan ini dan semua orang memuji-muji kemuliaan budi pangeran Lu Goan Ong. Akan tetapi pangeran Lu Goan Ong sendiri memandang kepada pembicara itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ia mengenal suara itu dan mengenal pula mata itu, akan tetapi yang meragukan hatinya ialah cambang bauk yang memenuhi muka pemuda itu. Tak mungkin dalam waktu semalam saja muka Shan-Tung Koai-Hiap telah ditumbuhi jenggot dan kumis seperti itu. Dan yang membuat ia berdebar adalah ketika melihat betapa kumis dan jenggot itu mirip dengan kumis dan jenggot yang biasa lekat pada muka pangeran Ong Tai Kun! Pada saat ia berdiri dengan bingung dan ragu-ragu, tiba-tiba nampak Siu Eng berlari dengan pedang di tangan dan langsung menerjang pembicara tadi sambil berseru,
"Bangsat jahanam! Kalau tidak kau, tentu aku yang mati pada saat ini!"
Pemuda yang bercambang bauk itu tertawa sinis dan tubuhnya lalu melompat keluar dari ruang itu dan terus melarikan diri! Siu Eng dengan pedang di tangan dan mulut memaki-maki, terus mengejar dengan cepatnya! Semua tamu gempar. Mereka makin menjadi heran dan bingung.
"Mengapa mempelai perempuan mengamuk?"
Tanya seorang.
"Siapakah pemuda itu?"
Tanya yang lain. Pangeran Lu Goan Ong mengangkat kedua tangannya ke atas, memegang kepalanya karena merasa betapa kepalanya seakan-akan hendak meletus.
"Tidak tahu... tidak tahu...!"
Ia berseru setengah memekik.
"Harap cuwi sekalian pulang saja..., harap tinggalkan aku seorang diri...!"
Kemudian ia berlari masuk ke dalam kamarnya. Semua tamu bubar dan peristiwa itu masih merupakan teka-teki yang hanya mereka jawab dengan dugaan-dugaaan ngawur. Pemuda yang bercambang bauk itu memang bukan lain adalah Tiong San sendiri!
Pemuda ini setelah melompat keluar dari kereta penganten sambil membawa jenggot dan kumis pangeran Ong Tai Kun, lalu cepat-cepat berlari ke rumah obat kepunyaan bibi Thio Swie yang telah dikenalnya, minta obat perekat dan menempelkan cambang dan kumis itu pada mukanya sendiri. Kemudian ia berlari lagi menuju ke gedung pangeran Lu Goan Ong, menggunakan keadaan yang sedang kacau balau ini untuk masuk ke situ dan duduk di ruang tamu! Kini Siu Eng mengejarnya dengan pedang di tangan, maka ia lalu melompat ke atas genteng dan sengaja menanti gadis itu yang juga terus mengejarnya ke atas genteng. Setelah berhadapan, Tiong San lalu mencabut dan melemparkan kumis dan jenggot palsunya sehingga nampak wajahnya yang tampan dan matanya yang berseri-seri itu memandang gembira. Terhadap mata Siu Eng yang amat tajam itu ia tidak perlu menyamar lagi.
"Shan-Tung Koai-Hiap, kau sungguh kejam sekali! Mengapa kau mempermainkan aku sedemikian rupa? Aku suka kepadamu, akan tetapi, kau... kau laki-laki berhati kejam! Kalau saat ini aku tidak dapat membunuhmu, jangan sebut aku Gui Siu Eng lagi!"
Tiong San tersenyum mendengar ucapan ini dan tiba-tiba sikapnya berubah sungguh-sungguh.
"Siu Eng! Orang-orang pandai berkata bahwa siapa menanam pohonnya, ia akan memetik buahnya! Kau menganggap aku kejam dan mempermainkan kau? Tidak ingatkah kau kepada Thio Swie yang kau tahu amat mencintaimu, akan tetapi secara kejam telah kau permainkan sehingga hampir gila? Tidak ingatkah kau kepada Khu Sin yang dengan jujur dan hati bersih telah memberi peringatan, akan tetapi hendak kau bunuh? Kau adalah seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, keluarga bangsawan pula, maka robahlah sifat-sifatmu yang buruk dan rendah itu. Kalau tidak, kau tentu akan menemui bencana yang lebih hebat dari sekarang! Aku sengaja membuat kau malu agar kau merasa betapa sakitnya hati orang yang kau permainkan cintanya!"
Dengan air mata bercucuran, Siu Eng membentak,
"Bangsat rendah, kalau kau tidak mau kembali dan melangsungkan upacara pernikahan dengan aku sekarang juga, aku takkan berhenti berusaha untuk membunuhmu!"
Setelah berkata demikian, Siu Eng lalu menyerang dengan pedangnya. Serangannya hebat dan cepat, terdorong oleh rasa sakit hati yang tak dapat diutarakan. Tiong San mengelak dan berkata pula,
"Perempuan tak tahu diri! Apakah sukarnya mengalahkan kau? Akan tetapi aku tidak punya banyak waktu untuk melayanimu lebih lama lagi!"
Setelah berkata demikian, Tiong San lalu melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan gadis itu.
"Bangsat rendah yang berhati kejam! Ke mana kau hendak lari?"
Teriak Siu Eng dengan hati gemas sekali, sehingga ia mengejar sambil menangis.
Karena ternyata bahwa gadis itu memiliki ilmu lari yang cukup cepat, Tiong San menjadi jengkel juga. Kalau gadis itu selalu mengejarnya, ia merasa gerakan selanjutnya sangat terganggu. Maka tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan mencabut cambuknya yang panjang. Setelah Siu Eng datang mendekat, ia segera mengayun cambuknya ke arah muka gadis itu. Siu Eng cepat mengelak, akan tetapi tak disangkanya bahwa serangan itu hanya gertak saja karena tiba-tiba ujung cambuk meluncur ke arah pergelangan tangannya dan menotok tangan yang memegang pedang! Siu Eng yang sedang diamuk oleh nafsu marah dan kecewa, maka ia kurang waspada dan kurang hati-hati sehingga ia terlambat untuk menghindarkan diri dari serangan ini. Dengan teriakan keras, pedangnya terlempar ke bawah genteng! Tiong San tertawa mengejek dan terus melompat jauh.
"Shan-Tung Koai-Hiap!"
Ia mendengar gadis itu berseru dan menjerit.
"Aku bersumpah untuk membalas sakit hati ini!!"
Akan tetapi Tiong San telah berlari jauh dan tidak memperdulikan gadis itu lagi.
Begitu gadis itu telah lenyap dari pandangan matanya, ia sudah tidak ingat lagi kepadanya. Pengalamannya dengan Siu Eng yang hampir menghancurkan kehidupan kedua sahabat karibnya, mendatangkan kesan yang mendalam di hatinya, membuat ia memandang rendah kaum wanita, karena ia merasa kecewa sekali melihat betapa seorang gadis yang demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi seperti Siu Eng berwatak sedemikian jahat dan kejamnya. Ia teringat kepada suhunya dan kini ia menuju ke istana kaisar untuk mencari dapur istana dan ia lalu menyusul suhunya yang diduga tentu sedang berpesta pora di tempat itu. Istana kaisar amat luas dan besar, sehingga bukanlah pekerjaan mudah bagi Tiong San untuk bisa mendapatkan dapur dari istana itu. Terpaksa ia menyergap seorang pelayan dan memaksanya untuk mengantarkan ke tempat yang dicarinya itu.
Kemudian ia mengikat kaki tangan pelayan itu dengan ikat pinggang pelayan itu sendiri setelah tiba di dekat dapur yang dicarinya. Ia menjadi terkejut ketika melihat betapa bangunan dapur yang besar itu telah terkurung oleh perwira yang memegang senjata di tangan. Ia dapat menduga bahwa di dalam dapur itu tentu terdapat suhunya yang telah diketahui oleh perwira yang kini mengurung tempat itu. Di antara para perwira itu terdapat seorang wanita tua yang masih kelihatan bekas-bekas kecantikannya, tapi sayang sekali bahwa pada muka wanita tua yang cantik itu terdapat bekas luka memanjang dari atas mata kanan sampai ke bawah telinga kiri, membuat mukanya kelihatan amat mengerikan. Dari tempat persembunyiannya, Tiong San melihat betapa wanita itu mendekati pintu dapur yang tertutup dan berseru dengan suaranya yang nyaring,
"Kui Hong Sian! Kau sudah terluka hebat, apakah kau masih tidak mau menyerah?"
Untuk beberapa lama mereka itu menanti, akan tetapi tidak terdengar jawaban dari dalam dapur yang pintunya tertutup dari dalam itu.
"Thian-Te Lo-Mo!"
Teriak seorang perwira yang dikenal Tiong San. Perwira ini adalah Im-Yang Po-San Bu Kam.
"Apakah kau berkeras tak hendak mengeluarkan perempuan she Gan itu?"
Kembali mereka menanti, akan tetapi tetap saja tidak terdengar jawaban dari dalam. Tiong San mendengarkan dan mengintai dengan hati berdebar.
"Kui Hong Sian, aku ingin melihat mukamu yang jahat itu sekali lagi sebelum kau mampus!"
Teriak wanita bercacad tadi. Kini terdengarlah jawaban dari dalam dapur dan dengan terkejut sekali Tiong San mendengar betapa suara suhunya terdengar amat lemah, tetapi masih mengandung suara ejekan dan acuh tak acuh seperti biasa.
"Si Cui Sian! Apakah kau tidak rela melihat aku menikmati hidangan-hidangan ini pada saat terakhir? Apakah sakit hatimu demikian besar? Jangan ganggu aku, aku telah menebus dosaku dan kau telah berhasil membalas sakit hatimu!"
Mendengar ucapan suhunya ini, bukan main gelisahnya hati Tiong San. Dari suara suhunya ia dapat menduga bahwa suhunya tentu sedang berada dalam keadaan yang amat menyedihkan. Mengapa suhunya bicara begitu lemah dan apa artinya saat terakhir yang dikatakan tadi? Pemuda ini tak dapat menahan sabar lagi. Ia pergunakan kesempatan selagi para pengepung itu mencurahkan perhatian mereka kepada pintu dapur, untuk melopmpat secepatnya ke atas genteng dapur itu!
"Shan-Tung Koai-Hiap!"
Teriak para perwira yang melihatnya.
"Tangkap dia...!"
Akan tetapi pada saat itu, genteng di dekat tempat Tiong San berdiri, tiba-tiba pecah dan terbuka dari bawah dan pemuda itu segera melompat turun ke dalam dapur melalui lubang di genteng itu. Untung ia bergerak cepat, karena pada saat itu, belasan batang senjata rahasia yang dilepas dengan cepat sekali oleh para perwira perkasa itu, telah menyambarnya! Senjata-senjata rahasia itu mengenai genteng yang pecah berhamburan, akan tetapi pada saat itu Tiong San telah tiba di dalam dapur dengan selamat!
Dan apa yang dilihatnya membuat ia harus menahan tekanan perasaannya. Suhunya nampak berbaring di atas lantai dengan muka pucat sekali, tetapi masih saja kakek ini tertawa-tawa ketika melihat muridnya. Tadi kakek ini sambil rebah menggunakan beberapa buah mangkok untuk menggempur genteng dan memberi jalan masuk kepada muridnya. Yang mengherankan hati Tiong San adalah seorang gadis yang berlutut di dekat suhunya dan gadis ini sedang menggunakan air hangat untuk mencuci bersih luka di dada suhunya dan membungkusnya dengan kain bersih. Gadis ini hanya mengerling sebentar ke arah Tiong San, lalu melanjutkan pekerjaannya dan setelah selesai, ia lalu berdiri dan pergi ke tungku untuk menghangatkan hidangan-hidangan yang dipilih oleh Thian-Te Lo-Mo!
"Ha ha ha! Tiong San, anak gendeng, mengapa kau baru datang? Kau selalu terlambat dan kedatanganmu kebetulan sekali karena aku sedang bingung memikirkan bagaimana aku harus menyelamatkan gadis ini!"
Ia menuding ke arah gadis itu. Tiong San berlutut di dekat suhunya dengan muka khawatir sekali.
"Suhu, kau mengapa? Apakah kau terluka hebat?"
Tanyanya tanpa memperdulikan gadis itu yang disebut-sebut oleh suhunya.
"Bukan, bukan terluka. Ini hanya pembayaran hutangku kepada Cui Sian,"
Kata kakek itu sambil tertawa terkekeh-kekeh, nampaknya gembira sekali.
"Hatiku puas aku tak berhutang lagi, ha ha ha!"
"Suhu, apa artinya ini? Ayoh kita menyerbu keluar dan menghajar sekalian perwira jahanam itu. Kita akan membagi-bagi hadiah kepada mereka dengan cambuk kita!"
Tiong San membuat suaranya terdengar gembira, tetapi suhunya menggelengkan kepala.
"Kalau kita hanya berdua saja, hal itu dapat dilakukan. Akan tetapi sekarang yang terpenting harus menolong gadis itu keluar dari sini dengan selamat."
"Akan tetapi, suhu. Kau terluka hebat..."
Tiong San memeriksa dada suhunya yang ternyata menderita luka hebat sekali.
"Kau harus dapat keluar dari sini dengan selamat, mengapa menyusahkan diri mencampuri urusan orang lain!"
Ia mengerling ke arah gadis itu dengan hati tak senang.
"Anak bodoh, kau hanya ingat kepada dirimu sendiri saja... ha ha, kau belum bertemu dengan orang seperti Cui Sian...! Kau belum tahu tentang arti cinta kasih kesucian wanita... Ketahuilah, muridku. Jangan kau perdulikan gurumu. Aku pernah berdosa kepada Cui Sian, dan sekarang ia datang membalas dendam, bukankah itu sudah adil? Aku... aku... ahhh..."
Kakek itu menjadi lemas dan tubuhnya terguling lagi dalam keadaan pingsan! Tiong San cepat memeluk suhunya.
"Suhu... suhu...!"
Ternyata bahwa Thian-Te Lo-Mo telah menggunakan terlalu banyak tenaga ketika bercakap-cakap tadi, sehingga ia jatuh pingsan. Luka di dadanya adalah akibat tusukan pedang yang dalam sekali dan kalau orang lain yang terkena luka tusukan itu, pasti akan tewas saat itu juga! Gadis itu berlari menghampiri dan dengan air, ia menggunakan saputangannya untuk membasahi muka kakek itu dan memberinya minum. Semua ini dilakukannya dengan diam-diam tak mengeluarkan kata-kata, tetapi jari-jari tangannya cekatan sekali. Karena melakukan pekerjaan ini, maka ia berlutut di dekat Tiong San dan pemuda ini mencium keharuman yang keluar dari pakaian gadis itu. Thian-Te Lo-Mo siuman kembali dan ketika melihat dua orang muda itu berlutut di dekatnya, ia memandang kepada mereka berganti-ganti lalu tertawa berkakakan.
"Tiong San, aku mempunyai pesan terakhir bagimu..."
"Apakah itu, suhu? Teecu akan melakukannya segera..."
Jawab Tiong San dengan hati duka.
"Hanya ini..., kau selamatkan gadis ini keluar dari dalam tempat ini, jangan... jangan sampai ia diganggu oleh para orang gila di luar itu..."
"Tapi, suhu..."
Tiong San hendak membantah, tetapi suhunya mengangkat tangannya mencegah.
"Lo-Inkong,"
Kata gadis itu tiba-tiba dan Tiong San mendengar betapa merdu suara gadis itu.
"Mengapa kau menyusahkan keadaanmu? Muridmu memang benar, lebih baik kau dan muridmu lekas-lekas pergi dari tempat ini mempergunakan kepandaianmu. Adapun aku, ah, aku tidak takut, Lo-Inkong. Tadipun kalau tidak ada kau orang tua yang menolong, aku sudah terlepas dari kesengsaraan hidup dan sudah aman berada di tempat bersih."
Thian-Te Lo-Mo menggelengkan kepalanya.
"Tidak boleh! Kau tidak boleh mati! Eh, anak perempuan gendeng, benar-benarkah kau tidak takut mati?"
"Mati hanya berpindah tempat, dan kalau tempatku di dunia demikian sengsara, bukankah senang berpindah ke tempat yang lebih bersih? Orang tua, kau sendiri menghadapi kematian dengan tertawa-tawa, mengapa pula aku harus takut mati?"
"Ha, kau lain! Kau masih muda belia, sedangkan aku sudah tua bangka. Ah, kalau saja Cui Sian seperti kau... aku takkan menjadi begini... He, Tiong San, sekarang aku bukan memesan lagi, akan tetapi memerintah! Dengarkah kau? Kau tidak boleh membantah! Kau harus selamatkan gadis ini keluar dari sini, keluar dari istana, dan keluar dari kota! Dengarkah kau ??"
Tiong San menundukkan mukanya dengan sedih.
"Baik, suhu. Akan tetapi, aku tidak hanya menyelamatkan... nona ini saja, juga suhu harus kuselamatkan dan kubawa keluar dari sini."
"Anak gendeng! Apa dalam saat terakhir ini kau hendak mengganggu aku pula? Di sini mati di luarpun mati, aku lebih senang mati di sini, menikmati hidangan-hidangan ini sebelum tiba saatku, dan alangkah senangnya mati dikelilingi hidangan-hidangan kaisar. Ha ha ha!"
"Tetapi, suhu..."
"Diam! Aku tidak sudi mampus di pinggir jalan seperti pengemis kelaparan!"
Pada saat itu, dari luar pintu terdengar lagi teriakan wanita yang cacad mukanya,
"Kui Hong Sian! Kalau kau tidak mau keluar menyerahkan diri bersama muridmu dan gadis itu, kami akan menyerbu ke dalam!"
Tiong San mencabut cambuknya.
"Suhu, perkenankan teecu menerjang keluar dan menghajar mereka!"
"Bodoh! Lekas kau gendong gadis ini dan bawa lari menerjang pintu belakang! Kau akan tiba di taman istana dan di situ hanya ada penjaga-penjaga yang lemah. Kau terus berlari dan keluar dari istana, dan bawalah gadis ini keluar dari kota raja sampai selamat! Jangan banyak membantah. Aku hendak ajak Cui Sian makan minum di sini sebelum aku mati, ha ha ha!"
"Suhu...!"
Tiong San berlutut di depan suhunya yang telah berdiri itu dan ia tak dapat menahan air matanya mengucur keluar.
"Anak gendeng!"
Suhunya memaki, tetapi kakek itu memeluk muridnya dan untuk sesaat ia mendekap kepala muridnya itu pada dadanya dengan penuh kasih sayang. Lalu ia melepaskannya lagi dan suaranya terdengar amat berpengaruh,
"Tiong San, lekas kau pergi! Kau... jangan salah pilih seperti aku... selamat... pergilah, muridku!"
Pada saat itu, pintu digedor dari luar dan suara para perwira terdengar mengancam.
"Thian-Te Lo-Mo, kau tidak lekas menyerahkan diri!"
"Tiong San, cepat sebelum terlambat!"
Kata kakek itu kepada muridnya. Tiong San tidak berani membantah lagi, dengan air mata yang masih menitik, ia lalu menyambar tubuh gadis itu, tanpa melihatnya lagi, dengan agak kasar karena ia merasa gemas kepada gadis itu yang menjadi penghalang baginya untuk menolong suhunya. Kemudian setelah memandang sekali lagi kepada Thian-Te Lo-Mo yang berdiri dengan kaki terbentang lebar dan cambuk di tangan, berdiri dengan amat gagahnya dan mulut tersenyum, Tiong San lalu berlari melalui pintu belakang. Sementara itu, Thian-Te Lo-Mo menanti sampai bayangan muridnya tak nampak lagi, baru ia berseru keras ke arah pintu,
"Cui Sian! Masuklah dan mari kita berpesta pora di dalam dapur kaisar ini!"
Pintu ditendang dari luar dan para perwira menyerbu masuk, dipimpin oleh Si Cui Sian, wanita cacad itu. Mereka melihat betapa kakek itu menghadapi meja dan sedang makan hidangan yang tadi dihangatkan oleh gadis itu. Thian-Te Lo-Mo makan tanpa memperdulikan mereka dan ketika Cui Sian maju, ia mengangsurkan mangkok dan berkata,
"Kekasihku, kau juga mau makan?"
Si Cui Sian marah sekali, demikian pula para perwira itu dan ia lalu menyergap kakek itu dengan senjata mereka.
"Ha ha ha! Majulah, majulah! Siapa mau ikut berpesta, majulah!"
Dengan memutar-mutar cambuk dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri tetap menjumput hidangan untuk dimakan, Thian-Te Lo-Mo menyambut serbuan mereka itu. Tubuhnya memang sudah lemas karena lukanya dan ia tidak ada nafsu untuk bertempur, maka menghadapi keroyokan perwira-perwira yang berkepandaian tinggi dan juga wanita bercacad yang lihai sekali ilmu pedangnya itu, tentu saja ia tidak dapat bertahan. Sebentar saja tubuhnya telah menjadi sasaran senjata lawan dan terluka di sana-sini. Akan tetapi, Thian-Te Lo-Mo masih saja tertawa gelak-gelak seakan-akan luka-luka itu mendatangkan rasa nikmat kepadanya.
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo