Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemabuk 16


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



Kata Gwat Kong yang lalu mengeluarkan surat itu dari saku bajunya dan menyerahkan surat itu dengan hormat kepada Pek Tho Sianjin.

   Kakek itu menerima dan membaca surat itu. Berkali-kali terdengar ia menghela napas. Kemudian terdengar ia berkata,

   "Memang Bok Kwi Sianjin lebih benar, tidak mau mengikatkan diri dengan perguruan-perguruan dan tidak mau mempunyai banyak murid. Eh, Gwat Kong, menurut surat gurumu, kau dapat menceritakan tentang pertikaian yang timbul di antara golongan Go-bi-pai dan golongan kami. Sebetulnya, bagaimanakah soalnya?"

   Bingunglah Gwat Kong mendapat pertanyaan ini. Sebenarnya ia adalah seorang luar yang tidak mengetahui sejelas-jelasnya tentang pertikaian itu, yang ia ketahui hanya dari pengalaman-pengalamannya dan dari penuturan kedua saudara Pui. Maka ia menjawab dengan hati-hati,

   "Locianpwe, semua permusuhan tentu ada sebabnya dan dalam permusuhan Go-bi-pai dan Hoa-san-pai ini, menurut pendapat teecu yang muda dan bodoh, disebabkan oleh sifat tidak mau mengalah. Menurut pendengaran teecu, pertama-tama disebabkan oleh pibu yang dilakukan oleh Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan Sin Seng Cu dari Hoa-san-pai. Kekalahan Seng Le Hosiang membuat murid-murid Go-bi-pai merasa penasaran dan menaruh dendam. Oleh karena sudah ada bahan ini, apabila murid Hoa-san-pai bertemu dengan murid Go-bi-pai, keduanya tidak mau mengalah. Murid Gobi merasa penasaran dan hendak membalas kekalahan sedangkan murid Hoasan merasa lebih tinggi karena kemenangannya, maka pertempuran-pertempuran tak dapat dicegah lagi. Sekarang menurut penuturan suhu, kedua pihak hendak mengadakan pertempuran besar, maka kalau locianpwe tidak turun tangan mendamaikan, tentu akan jatuh korban di kedua pihak."

   Pek Tho Sianjin mengangguk-angguk.

   "Aah, anak-anak itu membikin repot orang tua saja. Sin Seng Cu beradat keras dan ia perlu ditegur."

   Kakek itu lalu memanggil.

   "Sin Seng Cu .....!"

   Terkejutlah Gwat Kong mendengar suara panggilan ini, karena bukan main nyaringnya sehingga ia merasa selaput telinganya menggetar dan sakit.

   Sin Seng Cu datang menghadap dan berlutut di depan susioknya.

   "Sin Seng Cu, perbuatan apalagi kau lakukan untuk mengacau dunia yang sudah kacau ini? Benarkah kau hendak mengadakan pertempuran besar-besaran dengan pihak Go-bi-pai di puncak Thaysan pada permulaan musim Chun?"

   Sin Seng Cu menundukkan kepalanya akan tetapi matanya mengerling ke arah Gwat Kong.

   "Maaf, susiok. Bukan pihak kami yang mulai lebih dahulu. Pihak merekalah yang mencari permusuhan."

   "Bodoh!"

   Pek Tho Sianjin membentak.

   "Lupakah kau bahwa api takkan bernyala kalau tidak bertemu dengan bahan kering? Lupakah kau telapak tangan kiri takkan mengeluarkan bunyi keras apabila tidak bertumbuk kepada telapak tangan kanan? Tak mungkin akan ada permusuhan dan pertempuran apabila pihak yang lain tidak melayani aksi pihak pertama."

   "Ampun, susiok ....,"

   Sin Seng Cu hanya dapat berkata demikian.

   "Awas, jangan kau membawa murid-murid lain untuk permusuhan dengan golongan lain. Pada permulaan musim Chun, kau dan pinto sendiri yang akan naik ke Thaysan untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Gobi dan di sana kami harus minta maaf kepada mereka. Mengerti?"

   "Baik, susiok."

   Sungguh menggelikan dan lucu bagi Gwat Kong ketika melihat seorang tua seperti Sin Seng Cu itu mendapat marah dan kini menundukkan kepala minta maaf seperti anak kecil.

   "Nah, keluarlah!"

   Sin Seng Cu meninggalkan ruang itu dengan kepala tertunduk.

   Pek Tho Sianjin berkata kepada Gwat Kong.

   "Orang yang mempunyai watak keras seperti Sin Seng Cu itu, hanya mulutnya saja berkata baik, akan tetapi hatinya panas terbakar. Betapapun juga, ia jujur dan baik. Kau pulanglah, Gwat Kong dan sampaikan kepada suhumu bahwa pinto berterima kasih atas jasa-jasa baiknya mendamaikan urusan ini."

   Gwat Kong memberi hormat dan keluar dari ruangan itu, terus turun gunung. Akan tetapi, ketika ia tiba di lereng gunung Hoasan, Sin Seng Cu telah berdiri menghadang di jalan. Muka tosu ini kemerah-merahan, tanda bahwa ia marah sekali.

   "Tak kusangka sama sekali bahwa Kang-lam Ciu-hiap tak lain hanya seorang pemuda dengan mulut tajam bagaikan ular yang hanya pandai mengadukan orang lain. Sebetulnya, kau perduli apakah dengan urusan kami orang Hoa-san-pai, maka berani lancang mengadukan urusan kami kepada susiok?"

   Gwat Kong maklum bahwa ia menghadapi seorang berwatak keras dan sukar diajak berunding, maka jawabnya sabar,

   "Totiang, harap kau suka berlaku tenang dan sabar. Aku datang bukan untuk mengadu sebagaimana yang kau kira, akan tetapi aku membawa surat suhu kepada susiokmu. Suhu melihat bahwa apabila pertempuran yang hendak kau adakan di puncak Thaysan melawan orang-orang Go-bi-pai itu dilanjutkan, maka akan jatuh banyak korban dan hal ini tentu saja tidak baik bagi orang-orang dunia persilatan seperti kita.

   SEBAB-sebabnya terlampau kecil untuk direntang panjang dan untuk dijadikan alasan pertempuran mengadu jiwa. Seharusnya kau berterima kasih kepada usaha suhu yang baik ini. Mengapa kau bahkan marah-marah?"

   "Aku tak butuh pendamai seperti suhumu atau kau! Kau mengandalkan apakah maka berani berlancang mulut? Apakah kepandaianmu sudah cukup tinggi maka kau berani sesombong ini? Coba kau hadapi tongkatku kalau kau memang gagah! Sambil berkata demikian, Sin Seng Cu mengeluarkan senjatanya Liong-thow-koay-tung, yakni tongkat kepala naga yang hebat itu.

   "Sabar, totiang. Janganlah menambah kesalahan dengan kekeliruan yang lain lagi!"

   Gwat Kong mencoba menyabarkan, akan tetapi ucapan ini bukan menambah kemarahan Sin Seng Cu reda.

   "Anak sombong! Kau mencoba untuk memberi wejangan kepadaku?"

   Sambil berkata demikian, tongkatnya menyambar dan memukul ke arah kepala Gwat Kong yang segera mengelak dan mencabut pedang dan sulingnya sambil berkata,

   "Totiang, menyesal sekali aku harus mengadakan perlawanan untuk membela diri!"

   "Jangan banyak cakap!"

   Teriak Sin Seng Cu dan menyerang lagi dengan lebih ganas.

   Gwat Kong menangkis dan melawan sambil mengeluarkan dua macam ilmu silatnya yang lihai, yakni tangan kanan memegang pedang mainkan Sin-eng Kiam-hoat, sedangkan suling di tangan kiri digerakkan menurut ilmu silat Sin-hong Tung-hoat.

   Sin Seng Cu dalam kemarahannya merasa terkejut sekali melihat hebatnya suling dan pedang itu yang menyambar-nyambar bagaikan seekor garuda dan seekor burung Hong, mendatangkan angin dingin dan sinarnya menyilaukan mata. Karena gerakan suling dan pedang itu amat berlainan, maka sungguh sukarlah menjaga serangan kedua senjata itu.

   Terpaksa ia memutar tongkatnya sedemikian rupa untuk melindungi tubuhnya dan membalas dengan serangan dahsyat. Namun tetap saja ia terdesak hebat. Dari jurus pertama ia sudah tertindih dan terdesak oleh gerakan pedang dan suling itu sehingga diam-diam ia merasa kagum sekali. Tak disangkanya bahwa setelah mendapat latihan dari Bok Kwi Sianjin, pemuda ini menjadi demikian lihai.

   BARU saja bertempur tiga puluh jurus lebih, Sin Seng Cu sudah tak dapat bertahan dan bersilat sambil mundur. Ketika suling Gwat Kong menusuk ke arah leher, ia menangkis dengan gagang tongkat yang berbentuk kepala naga, akan tetapi pedang Gwat Kong menyambar ke arah pinggang. Terpaksa ia membalikkan tongkatnya menangkis dan terdengar suara keras "Trang!"

   Sehingga bunga api memancar keluar. Alangkah kagetnya Sin Seng Cu ketika melihat betapa ujung tongkatnya telah putus.

   Namun tosu yang keras hati ini belum mau mengaku kalah dan hendak menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

   "Sin Seng Cu, mundur kau!"

   Sin Seng Cu terkejut karena bentakan ini adalah suara susioknya. Gwat Kong cepat menyimpan suling dan pedangnya, lalu menjura kepada Pek Tho Sianjin yang tahu-tahu telah berdiri di situ.

   "Mohon maaf sebanyak-banyaknya, locianpwe. Teecu terpaksa berani bertempur dengan Sin Seng Cu totiang."

   Akan tetapi Pek Tho Sianjin berpaling kepada Sin Seng Cu dengan marah.

   "Tak malukah kau? Kau menyerang seorang muda dan akhirnya kau kalah. Orang seperti kau ini benar-benar membikin malu nama Hoa-san-pai. Hayo naik ke atas dan tutup dirimu di dalam kamar dan jangan keluar sebelum pinto datang!"

   Bagaikan seekor anjing kena pukulan, Sin Seng Cu berlutut di depan susioknya dan berkata,

   "Teecu bersedia dihukum, susiok. Akan tetapi, Gwat Kong ini terlalu berat sebelah. Dia hanya menegur dan memperingatkan teecu sedangkan terhadap Gobi dia menutup mulut."

   "Suhu pergi ke Gobisan untuk mendamaikan hal ini dengan Thay Yang Losu,"

   Kata Gwat Kong.

   "Hm, kau mau berkata apa lagi?"

   Pek Tho Sianjin menegur Sin Seng Cu.

   "Ampun, susiok hendaknya diketahui bahwa penggerak Seng Le Hosiang untuk memusuhi teecu adalah seorang pembesar di Kiang-sui bernama Liok Ong Gun. Seng Le Hosiang bersekutu dengan Bong Bi Sianjin dari Kim-san-pai dan mendekati orang-orang besar di kerajaan untuk memusuhi Hoa-san-pai. Gwat Kong ini dahulunya adalah pelayan dari Liok Ong Gun dan ia tidak pernah menegur pembesar itu. Bahkan teecu meragukan apakah dia tidak membantu pembesar itu dengan diam-diam?"

   Hal ini benar-benar tak diduga oleh Pek Tho Sianjin, maka ia lalu memandang kepada Gwat Kong dan bertanya,

   "Benarkah ini?"

   "Locianpwe, tidak teecu sangkal bahwa dahulu teecu memang menjadi pelayan di gedung Liok-taijin. Akan tetapi bohonglah kalau dikatakan bahwa teecu membantu usaha Liok-taijin untuk mengadakan permusuhan dengan pihak Hoa-san-pai."

   "Susiok, Liok-taijin atau Liok Ong Gun itu adalah anak murid Go-bi-pai!"

   Kembali Sin Seng Cu berkata untuk memanaskan hati susioknya.

   "Hm, kalau benar demikian, keadaanmu sulit sekali, Gwat Kong,"

   Kata tokoh besar Hoa-san-pai itu.

   "Anak muda, untuk menghilangkan tuduhan Sin Seng Cu sudah sepatutnya kalau kau menemui Liok Ong Gun itu untuk memberi peringatan dan nasehat agar ia jangan melanjutkan usahanya yang buruk itu. Beranikah kau?"

   Kalau saja Pek Tho Sianjin bertanya.

   "Maukah kau?"

   Mungkin Gwat Kong akan menyatakan keberatannya. Akan tetapi karena tokoh besar Hoasan itu bertanya.

   "Beranikah kau?"

   Terpaksa ia menjawab,

   "Tentu saja teecu berani, locianpwe."

   "Nah, Sin Seng Cu, kembali kau terpukul kalah. Dengarlah bahwa anak muda itu akan pergi menemui Liok Ong Gun dan memberi peringatan kepadanya. Maka jangan kau banyak rewel lagi. Hayo, lekas naik ke atas dan lakukan perintahku tadi!"

   Maka pergilah Sin Seng Cu sambil berlari cepat ke atas puncak.

   "Gwat Kong, Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat yang kau perlihatkan tadi benar-benar indah dan hebat. Kau benar-benar tidak mengecewakan menjadi murid Bok Kwi Sianjin dan kau patut pula menjadi pendamai pertikaian antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai. Selamat jalan, anak yang baik!"

   Gwat Kong memberi hormat lalu berlari, turun gunung. Hatinya rusuh dan gelisah. Ia telah berjanji akan mengunjungi Liok Ong Gun untuk memberi nasehat dan peringatan! Ah, bagaimana ia dapat melakukan hal itu? Apakah akan kata Tin Eng apabila ia melihat ayahnya dinasehati dan diperingatkan, yang merupakan hinaan bagi seorang pembesar tinggi seperti Liok-taijin? Akan tetapi, ia telah berjanji dan sebagai seorang gagah, ia harus memegang teguh janjinya itu dan menemuinya, apapun yang akan menjadi halangannya.

   Perjalanan ke Hong-san melalui Kiang-sui, maka ia hendak mampir di kota itu sebentar, menemui Liok Ong Gun dan menyampaikan nasehat dan peringatannya. Mudah-mudahan saja Tin Eng takkan melihatnya. Setelah menyampaikan nasehat itu, tidak perduli diturut atau tidak, ia akan cepat meninggalkan kota itu menyusul Cui Giok di Hong-san. Ia tidak takut menghadapi siapapun juga. Yang menggelisahkan hatinya hanya Tin Eng seorang.

   Makin dekat dengan Kiang-sui, makin gelisahlah hatinya. Karena ia tiba di kota itu sudah malam, ia merasa ragu-ragu untuk mendatangi gedung Liok-taijin dan semalam suntuk Gwat Kong berada di sekeliling gedung itu, tak berani melakukan niatnya, takut kalau-kalau hal ini akan menyakiti hati Tin Eng, gadis yang dicintainya.

   Akan tetapi, pada keesokan harinya, karena ia melihat di gedung itu sunyi saja dari luar, ia membesarkan hatinya dan dengan gagah ia memasuki pekarangan depan gedung itu.

   Seorang pelayan yang kebetulan membersihkan meja kursi di ruangan depan, ketika melihat pemuda itu memasuki pekarangan, memandang dengan mata terbelalak. Nama Gwat Kong menggemparkan seluruh penduduk Kiang-sui, semenjak pemuda itu bertempur dan dikeroyok pada waktu pemuda itu mengunjungi Tin Eng. Terutama sekali para pelayan di gedung keluarga Liok.

   Mereka terheran-heran karena bagaimana pelayan muda itu kini telah menjadi seorang yang berkepandaian demikian tinggi? Pelayan yang sedang bekerja itu, ketika Gwat Kong melangkah masuk dengan gagahnya, menjadi terkejut dan takut. Tak terasa lagi ia bangkit berdiri dan berlari masuk bagaikan dikejar setan. Ia segera memberi laporan kepada Liok-taijin yang pada saat itu sedang mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Seng Le Hosiang, Gan Bu Gi, dan seorang muda murid Kim-san-pai, yakni sute dari Gan Bu Gi. Mereka sedang membicarakan tentang maksud mengadakan pertempuran melawan orang-orang Hoa-san-pai.

   Alangkah marah dan herannya Liok-taijin ketika mendengar laporan pelayannya bahwa Bun Gwat Kong mendatangi dari luar. Ia hendak keluar, akan tetapi dicegah oleh Seng Le Hosiang yang berkata,

   "Biarlah aku menemui anak muda yang lancang itu!"

   Dengan tindakan lebar, Seng Le Hosiang keluar dari ruang dalam dan benar saja, ketika ia tiba di ruangan depan, ia melihat Gwat Kong masuk dengan tenang dan gagah. Biarpun hatinya tercengang melihat Seng Le Hosiang berada di tempat itu, namun ia dapat menenangkan hatinya dan berkata sambil menjura dan tersenyum,

   "Ah, tidak tahunya Losuhu juga berada di sini. Apakah selama ini losuhu baik-baik saja?"

   Seng Le Hosiang telah mendengar tentang keadaan Gwat Kong, maka kini melihat munculnya pemuda ini, diam-diam ia memuji keberanian anak muda ini.

   "Kau ... pelayan muda dahulu itu? Apakah perlumu datang ke sini setelah dahulu membikin kacau? Apakah kau hendak membuat pengakuan bahwa kau telah membawa lari siocia?"

   Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini.

   "Apa katamu, losuhu? Siapa membawa lari Liok-siocia?"

   Pada saat itu, Liok Ong Gun, Gan Bu Gi, dan pemuda sute Gan Bu Gi yang bernama Lui Kun itu muncul dari pintu.

   "Bangsat, kurang ajar!"

   Liok Ong Gun berseru keras.

   "Di mana kau sembunyikan Tin Eng? Kau sungguh seorang yang tak kenal budi. Sudah bertahun-tahun kami memberi tempat tinggal, makan dan pakaian padamu. Kau diperlakukan dengan baik, akan tetapi apa balasanmu? Kau menghina kami, mengacau dan menodai nama kami! Bahkan sekarang kau berani melarikan Tin Eng! Kau benar-benar manusia bo-ceng-bo-gi (tidak punya aturan dan pribudi), manusia rendah dan jahat."

   Gwat Kong mengangkat muka memandang kepada pembesar itu dengan mata sedih. Ia kasihan melihat Liok Ong Gun yang nampak sedih, dan menyesal. Pembesar ini memakai pakaian biasa saja, berbeda dengan Gan Bu Gi yang berpakaian mentereng dengan tanda pangkatnya, yang membuat ia nampak tampan seperti seorang pangeran dari istana kaisar.

   "Taijin, sebelum hamba mohon maaf sebanyaknya apabila taijin menganggap hamba mendatangkan bencana kepada keluarga taijin yang benar-benar telah melimpahkan budi, kepada hamba."

   Gwat Kong bicara dengan suara terharu oleh karena ia memang tidak melupakan budi pembesar itu dan dengan merendah ia masih menyebut diri sendiri "hamba"

   Oleh karena selain bekas majikan, Liok-taijin adalah ayah Tin Eng yang harus dihormati.

   "Akan tetapi, seorang rendah dan bodoh seperti hamba ini, dapat membalas jasa apakah? Hamba hanya mohon kepada Thian semoga taijin akan hidup bahagia dan berusia panjang. Sesungguhnya taijin tidak sekali-kali hamba berani membujuk atau mengajak lari Liok-siocia dan sungguh-sungguh hamba tidak tahu kemana perginya siocia. Baru sekarang hamba ketahui bahwa siocia tidak berada di rumah."

   "Dia bohong!"

   Tiba-tiba Gan Bu Gi membentak marah.

   "Taijin,"

   Gwat Kong melanjutkan kata-katanya tanpa memperdulikan Gan Bu Gi.

   "Terserah kepada taijin untuk mempercayai kata-kata hamba atau mempercayai ucapan Gan-ciangkun yang palsu itu. Ketahuilah terus terang saja hamba baru datang dari Hoasan dan menemui Pek Tho Sianjin, juga suhu hamba, yakni Bok Kwi Sianjin, sedang pergi ke Gobisan untuk menemui Thay Yang Losu, perlu untuk membujuk agar supaya pertempuran antara murid-murid Go-bi-pai dan Hoa-san-pai dapat dicegah. Hamba datang ini sengaja dengan maksud membujuk kepada taijin agar jangan menuruti maksud jahat dari Seng Le Hosiang untuk mengadakan pertempuran itu. Ini hamba maksudkan sebagai sekedar pembalasan budi, karena hamba akan ikut bersedih mendengar taijin terbawa-bawa dalam pertikaian yang tidak sehat itu. Taijin waspadalah terhadap orang-orang seperti Gan Bu Gi, terutama terhadap orang-orang yang memancing permusuhan dengan segolongan orang gagah. Karena hal ini akan mendatangkan malapetaka dan pertumpahan darah. Adapun tentang nona Tin Eng, kalau saja benar dia melarikan diri dari rumah, hamba akan mencoba untuk mencarinya dan membujuknya pulang."

   Seng Le Hosiang marah sekali mendengar ucapan ini.

   "Bangsat kecil kau lancang sekali."

   Sambil berkata demikian hwesio itu lalu melompat dan menerjang Gwat Kong dengan serangan maut, yakni dengan menggunakan pukulan Lui-kong-toat-beng (Dewa geledek mencabut nyawa). Akan tetapi Gwat Kong mengelak dengan mudah dan berkata kepada Liok-taijin,

   "Maaf, taijin. Lihatlah betapa hwesio ini berdarah panas dan selalu menyerang orang mengandalkan kepandaiannya!"

   Gan Bu Gi dan Lui Kun bergerak hendak membantu Seng Le Hosiang, akan tetapi hwesio itu membentak,

   "Jangan ikut campur! Biar aku hancurkan kepala anak sombong ini!"

   Gan Bu Gi dan sutenya tidak berani melanjutkan niatnya dan hanya berdiri di belakang hwesio itu, sedangkan Liok Ong Gun masih berdiri di depan melihat betapa bekas pelayan muda itu berani menghadapi susiok-couwnya yang lihai.

   "Seng Le Hosiang, kalau Thay Yang Losu melihat kelakuanmu ini, tentu kau akan mendapat jiwiran pada telingamu!"

   "Bangsat rendah, mampuslah kau!"

   Bentak Seng Le Hosiang yang sudah marah sekali dan ia lalu menyerang lagi dengan hebat. Tangan kirinya dipentangkan hendak mencengkeram ke arah leher Gwat Kong, sedangkan kaki kirinya berbareng mengirim tendangan kilat. Inilah gerak tipu Pek-ho-liang-ci (Bangau putih pentang sayap) yang dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya.

   Cengkeraman itu kalau mengenai leher, tentu akan hancur daging dan kulit dan remuk tulang leher sedangkan tendangan yang diarahkan kepada kaki Gwat Kong itu cukup hebat untuk membuat tulang kaki Gwat Kong patah-patah. Akan tetapi Gwat Kong telah memiliki kepandaian tinggi dan melihat betapa hwesio itu menyerangnya dengan tenaga keras, iapun hendak melawan dengan kekerasan pula.

   Untuk menghindari tendangan lawan, ia melompat ke atas dengan gerak kaki Lo-wan-teng-ki (Monyet tua loncati cabang). Kemudian tangan kanannya menyambar dengan jari terbuka, memukul tangan kiri lawan itu sambil mengerahkan tenaga Pek-lek-jiu (si tangan kilat). Dua tangan itu bertumbuk dan dua tenaga raksasa beradu.

   Tubuh Gwat Kong yang sedang melompat itu terpental hampir setombak ke belakang. Sedangkan Seng Le Hosiang juga terhuyung mundur sampai tiga tindak. Dan karena ia tadi berdiri dekat meja, maka ketika ia terhuyung mundur, tubuhnya menubruk meja. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tangan kanannya memukul ke belakang dan "brak!!"

   Sebagian meja kayu yang tebal dan besar itu hancur berkeping-keping.

   Akan tetapi, biarpun dalam adu tenaga itu ternyata Gwat Kong masih kalah kuat, namun pemuda itu tidak terluka, bahkan memandang dengan senyum menghias mulut.

   "Masih belum cukupkah kau melampiaskan kemurkaanmu, losuhu?"

   Tanyanya.

   Dengan muka merah bagaikan kepiting direbus, Seng Le Hosiang membentak,

   "Bangsat kurang ajar! Hari ini kau harus mampus dalam tanganku!"

   Sambil berkata demikian, Seng Le Hosiang lalu mencabut pedangnya dari punggung.

   Ketika masuk ke halaman rumah Liok-taijin tadi, Gwat Kong sengaja menyembunyikan pedangnya di bawah baju. Karena ia merasa tidak pantas untuk mengunjungi bekas majikannya dengan pedang tergantung di pinggang. Gwat Kong melihat betapa Seng Le Hosiang mencabut pedang, ia tidak berani berlaku sembrono. Ia cukup maklum bahwa hwesio ini amat lihai dan ilmu pedang Go-bi-pai sudah cukup terkenal kehebatannya. Maka iapun mencabut Sin-eng-kiam dan sekalian ia mengeluarkan suling bambunya yang dipegang di tangan kiri.

   "Bangsat, lihat pedang!"

   Seng Le Hosiang berseru sambil menyerang dengan pedangnya. Gwat Kong menangkis dan cepat mengirim serangan balasan. Sebentar saja lenyaplah tubuh mereka terbungkus oleh sinar pedang yang bergulung-gulung bagaikan awan putih menutupi matahari.

   Bukan main kagum dan herannya hati Liok Ong Gun melihat ini. Dahulu ketika Gwat Kong dikeroyok oleh perwira-perwira dan dapat melepaskan diri, ia telah merasa heran sekali. Akan tetapi pada waktu itu ia tidak dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu secara jelas. Akan tetapi sekarang, ia melihat betapa pemuda itu menghadapi susiok-couwnya dengan demikian hebatnya, maka diam-diam ia menghela napas. Ia melihat bahwa ada persamaan antara ilmu pedang Tin Eng dengan ilmu pedang pemuda ini hanya permainan pemuda ini lebih hebat dan cepat.

   
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seng Le Hosiang juga terkejut sekali karena benar-benar ilmu pedang pemuda ini tidak kalah tingginya dari ilmu pedangnya sendiri. Bahkan ilmu pedang Gwat Kong ini mempunyai gerakan-gerakan yang amat aneh dan tidak terduga. Apalagi ditambah dengan gerakan suling yang demikian cepatnya, yang setiap kali bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah dengan jitu dan berbahaya sekali, membuat ia harus mengerahkan seluruh perhatiannya.

   Namun segera ternyata bahwa ilmu pedang Gwat Kong masih lebih tinggi karena setelah bertempur puluhan jurus, Seng Le Hosiang mulai merasa pening sekali. Pedang dan suling itu merupakan senjata yang berlainan sifat menyerangnya dan berbeda pula gerakannya, maka amat sukarlah baginya untuk memecahkan perhatiannya kepada dua senjata itu. Ia merasa seakan-akan menghadapi dua orang lawan yang luar biasa lihainya dan yang memiliki kelihaian sendiri. Ia mulai berkelahi dengan hati-hati dan mundur, dan mengerahkan kepandaian dan tenaga untuk mempertahankan diri saja.

   Gwat Kong pun hanya bermaksud untuk memperlihatkan bahwa ia tidak takut menghadapi pendeta gundul itu dan sama sekali tidak bermaksud untuk mencari kemenangan. Setelah dapat mendesak, ia mulai berusaha untuk mengakhiri perkelahian ini.

   "Losuhu, awas!"

   Teriaknya dan tiba-tiba ia merobah gerakan pedang dan sulingnya. Kini sulingnya berkelebat bagaikan seekor naga menyambar-nyambar ke depan mata lawan seakan-akan hendak menyerang mata. Tentu saja Seng Le Hosiang berlaku hati-hati dan cepat menggunakan pedangnya untuk melindungi matanya. Akan tetapi ini hanya merupakan tipu dan pancingan belaka dari Gwat Kong karena setelah ia berhasil memancing lawan sehingga hwesio itu mengerahkan pedangnya di bagian atas, tiba-tiba pedangnya menyambar ke bawah dan "bret!"

   Putuslah ujung jubah pendeta itu.

   "Maaf, aku tak dapat melayani terlebih jauh!"

   Kata Gwat Kong dan sekali ia berkelebat keluar, tubuhnya bagaikan seekor burung walet terbang menembus pintu depan dan lenyap.

   Seng Le Hosiang berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah.

   "Hebat, hebat!!"

   Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil memandang ke arah potongan ujung jubahnya di atas lantai.

   "Setan itu telah mewarisi dua ilmu silat yang tinggi, yang dapat dimainkan berbareng."

   Juga Liok Ong Gun terpesona oleh kelihaian Gwat Kong ini, maka diam-diam iapun merasa ragu-ragu. Apakah usaha susiok-couwnya untuk mengadakan pertempuran di Thaysan itu akan berhasil baik.

   Sementara itu, Gwat Kong pergi dari tempat itu dengan hati gelisah. Ia memikirkan Tin Eng. Kemanakah perginya gadis itu? Mudah-mudahan ia pergi menyusulku ke Hong-san, pikirnya. Dengan harapan ini di dalam dada, Gwat Kong mempercepat larinya menuju ke Hong-san menyusul Cui Giok dan kalau benar dugaannya, mencari Tin Eng pula.

   Marilah kita mengikuti pengalaman Tin Eng. Sebenarnya bagaimanakah gadis itu bisa pergi dari rumahnya dan kemana ia pergi?

   Semenjak menolong Gwat Kong melarikan diri dan memberi seekor kuda kepada pemuda itu, Tin Eng selalu termenung memikirkan nasib pemuda itu. Kini ia tidak ragu-ragu lagi, bahwa ia sebenarnya menyinta pemuda itu. Ia merasa bangga sekali melihat kelihaian Gwat Kong dan merasa bahagia mendapat kenyataan betapa besar kasih sayang pemuda itu kepadanya.

   Akan tetapi, ayahnya makin marah kepadanya dan telah memakinya dengan hebat ketika mendengar bahwa Tin Eng lah yang menolong Gwat Kong sehingga bisa melarikan diri dari kepungan.

   "Kau benar-benar menodai nama keluarga orang tuamu. Kau telah merendahkan diri dan menolong seorang bangsat rendah semacam Gwat Kong!"

   Kata ayahnya.

   "Ayah!"

   Tin Eng membantah dengan berani.

   "Apakah kesalahan Gwat Kong maka ayah menamainya bangsat rendah dan hendak menangkapnya? Ketika aku lari dulu, bukan kesalahan Gwat Kong dan ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pergiku dari rumah. Kedatangannya kali ini pun tidak bermaksud buruk, dan hanya hendak menolongku karena ia mendengar bahwa aku ditawan Ang Sun Tek dan kawan-kawannya. Dosa apakah yang ia lakukan maka ayah membencinya?"

   Liok Ong Gun tak dapat menjawab, karena memang sesungguhnya pemuda itu tidak mempunyai kesalahan sesuatu, kecuali bahwa pemuda itu telah mendatangkan kekacauan dan terlalu berani.

   "Kau memang anak liar. Orang tua mengatur perjodohan baik-baik, kau tidak mau, membantah, bahkan melarikan diri. Hmm, dosa apakah yang aku dan ibumu lakukan sehingga mempunyai anak tunggal macam kau!"

   "Ayah, kalau memang ayah dan ibu menghendaki aku hidup beruntung, mengapa memaksaku kawin dengan Gan-ciangkun? Aku tidak suka kepadanya, aku .... aku benci kepadanya. Kalau ayah memaksa aku kawin dengan dia, berarti bahwa ayah memaksa aku memasuki jurang kesengsaraan!"

   "Bodoh! Dasar anak puthauw!"

   Sambil membanting daun pintu keras-keras, pembesar itu keluar dari kamarnya.

   Semenjak itu, telah beberapa hari lamanya sikap pembesar itu berubah terhadap Tin Eng, sehingga gadis ini merasa heran. Ayah tidak lagi membujuk-bujuk atau memarahinya, tidak lagi memaksanya kawin dengan Gan-ciangkun, bahkan tidak lagi membicarakan urusan kawin. Akan tetapi, kini ayahnya minta penjelasan tentang pertemuannya dengan kedua saudara she Pang, bahkan akhirnya minta jawaban tentang letak tempat rahasia penyimpanan harta pusaka itu.

   "Ayah, memang betul bahwa kedua orang she Pang dari kota raja itu menaruh kepercayaan kepadaku tentang hal itu. Akan tetapi aku sudah bersumpah takkan membuka rahasia ini kepada lain orang. Bagaimana aku dapat menceritakannya kepadamu?"

   "Tin Eng, dengarlah baik-baik, nak. Harta pusaka itu sebetulnya menjadi hak milik Pangeran Ong Kiat Bo. Dan rombongan perwira yang dipimpin oleh Ang Sun Tek juga atas perintah Pangeran Ong untuk mencari tempat harta pusaka itu. Petanya telah tercuri oleh kedua saudara Pang yang menjadi anak kemenakan Pangeran Ong dan yang akhirnya dipercayakan kepadamu. Pangeran Ong telah tahu akan hal ini, tahu bahwa kaulah yang menyimpan rahasia itu dan tahu pulah bahwa kau adalah anakku. Coba saja kau pikir. Kalau kau berkeras tidak mau memberi tahukan rahasia itu, tentu orang tuamu yang mendapat marah dari Pangeran Ong dan hal ini bukan urusan kecil. Kau bisa menyebabkan ayahmu dipecat atau dihukum. Sebaliknya, kalau kau mengaku, tentu Pangeran Ong akan berterima kasih dan soal kenaikan pangkat bagi ayahmu menjadi soal mudah. Apakah kau tidak mau menolong ayahmu dan bahkan akan mencelakakan kita sekeluarga hanya karena memegang teguh rahasia terhadap dua orang maling kecil itu?"

   "Kedua saudara Pang bukan maling, ayah!"

   "Hmm, kau memang bodoh. Sudah berapa lama kau mengenal mereka? Mereka adalah kemenakan Pangeran Ong dan mereka telah mencuri peta itu dari tangan pamannya."

   Tin Eng minta waktu sehari untuk memikirkan hal ini. Ia menjadi serba salah. Membuka rahasia salah, berkeras juga tidak baik. Ia pikir bahwa Kui Hwa dan Gwat Kong telah mengetahui rahasia tempat itu, bahkan sekarang mungkin telah mendapatkan harta terpendam itu. Apa salahnya memberitahukan begitu saja tanpa syarat. Ia merasa ragu.

   "Ayah,"

   Katanya pada keesokan harinya, ketika ayahnya datang menagih janji.

   "Aku mau membuka rahasia tempat penyimpanan harta pusaka di Hong-san itu, akan tetapi dengan syarat bahwa ayah harus berjanji tidak akan menjodohkan aku dengan Gan-ciangkun!"

   Tentu saja ayahnya tertegun mendengar hal ini.

   "Tin Eng, mengapa kau begitu benci kepada Gan-ciangkun?"

   Tin Eng tidak dapat menceritakan bahwa kebenciannya terhadap Gan Bu Gi memuncak oleh karena orang she Gan itu telah melakukan sesuatu yang amat keji terhadap Kui Hwa. Ia tahu bahwa Kui Hwa adalah anak murid Hoa-san-pai dan kalau ia beritahukan hal ini, ayahnya yang membenci anak murid Hoasan tentu akan menjadi makin marah. Bahkan takkan mempercayainya. Maka ia berkata,

   "Aku tidak tahu mengapa, ayah. Akan tetapi menurut pendapatku, dia bukanlah seorang pemuda yang baik!"

   "Syaratmu itu aneh,"

   Kata ayahnya.

   "Aku sudah menerima pinangan Bong Bi Sianjin dengan perantaraan susiok-couw."

   "Ayah dapat membatalkan itu!"

   Ayahnya menghela napas dan menggelengkan kepala. Baiklah aku akan merundingkan hal perjodohan itu dengan susiok-couw. Sekarang katakanlah kepadaku di mana sebetulnya peta itu."

   "Peta itu telah kubakar, ayah,"

   Kata Tin Eng sejujurnya.

   "Akan tetapi, aku masih ingat di luar kepala.

   Demikianlah, Tin Eng lalu menggambarkan sebuah peta di atas kertas yang segera diberikan kepada ayahnya.

   Pada malam harinya, tanpa disengaja Tin Eng mendengarkan percakapan antara ayahnya dengan Seng Le Hosiang yang datang di gedung itu dan apa yang ia dengar membuat ia merasa kaget sekali, karena hwesio itu berkata cukup keras sehingga ia dapat mendengar dari balik pintu,

   "Jangan kau khawatir, memang demikianlah adat seorang gadis muda yang sedang jatuh cinta. Menurut dugaanku, anakmu itu tergila-gila kepada Gwat Kong. Kalau kita binasakan pemuda itu dan berhasil mendapatkan harta pusaka, soal perjodohan anakmu dengan Gan Bu Gi mudah saja. Tanpa adanya Gwat Kong, tentu hati anakmu akan berubah."

   Lebih kaget lagi ketika ia mendengar ayahnya berkata.

   "Memang anak itu keras kepala, susiok-couw. Teecu sudah mers cocok untuk menjodohkannya dengan Gan-ciangkun karena pemuda itu menurut pandangan teecu cukup baik dan besar pengharapannya di kemudian hari."

   Ucapan-ucapan kedua orang ini cukup membuat Tin Eng berlaku nekad dan malam hari itu juga, ia melarikan diri dari rumahnya. Ia pergi menunggang seekor kuda terbaik dan karena usahanya ini mendapat bantuan dari seorang pelayannya, maka dengan mudah saja ia dapat melarikan diri dari rumah tanpa diketahui oleh ayahnya. Baru pada keesokan harinya gedung Liok-taijin geger ketika mereka mendapatkan kamar gadis itu kosong.

   Tin Eng membalapkan kuda dan tujuannya hanya satu, yakni menyusul Gwat Kong ke Hong-san. Ketika tiba di sungai Huang-ho, ia lalu menyewa sebuah perahu dan berlayar ke timur, menuju Hong-san.

   Ketika perahunya tiba di sebuah hutan tak jauh dari bukit Hong-san, tiba-tiba ia mendengar sorakan ramai di pantai sebelah kiri. Ia melihat pertempuran hebat sedang berlangsung di tempat itu. Anak perahu ketakutan melihat ini dan hendak melanjutkan pelayaran. Akan tetapi, Tin Eng membentaknya dan menyuruh ia mendayung perahu ke pinggir. Sebagai seorang ahli silat, ia tertarik melihat sesuatu pertempuran.

   Ketika perahu itu sudah tiba di pinggir pantai, alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa yang bertempur itu adalah Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok yang lihai itupun sampai terdesak hebat.

   Tanpa membuang waktu lagi, Tin Eng melemparkan beberapa tail perak kepada anak perahu dan berkata.

   "Pergilah kau dengan perahumu dari sini!"

   Sedangkan ia sendiri lalu mencabut pedangnya dan melompat ke darat.

   Dengan keras Tin Eng berseru.

   "Enci Kui Hwa jangan khawatir. Aku datang membantu!"

   Beberapa orang anggauta bajak sungai yang melihat kedatangan Tin Eng, segera menyerbu akan tetapi dengan beberapa kali putaran pedangnya saja. Tin Eng telah merobohkan tiga orang pengeroyok sehingga yang lain segera mundur ketakutan. Tin Eng lalu menyerbu dan membantu Kui Hwa dan kedua suhengnya. Pertempuran makin ramai dan hebat setelah pihak murid-murid Hoa-san-pai mendapat bantuan Tin Eng.

   Sebelum kita melanjutkan melihat pertempuran yang amat seru ini, baik kita mundur dahulu dan mencari tahu bagaimana Kui Hwa dan kedua orang suhengnya she Pui itu dapat berada di tempat itu dan dikeroyok oleh sekawanan bajak sungai yang dipimpin tiga orang lihai itu.

   Sebagaimana dituturkan di bagian depan, setelah menyuruh kedua suhengnya untuk mengikuti rombongan Ang Sun Tek yang menawan Tin Eng, Kui Hwa lalu melanjutkan perjalanannya ke Hong-san untuk mewakili Tin Eng mencari tempat harta pusaka itu tersimpan. Ia dapat sampai di bukit Hong-san tanpa banyak rintangan di jalan. Pemandangan alam di sekitar Hong-san memang indah. Dari lereng bukit itu nampak lembah Huang-ho yang kehijau-hijauan. Kemudian sungai itu sendiri nampak bagaikan seekor naga besar sedang minum di laut.

   Ketika ia tiba di puncak bukit, ia segera mencari gua Kilin di antara batu-batuan karang. Banyak gua terdapat di situ. Akan tetapi menurut peta petunjuk tempat harta pusaka itu tersimpan adalah sebuah gua yang bentuknya persegi empat seperti muka kilin.

   Akhirnya ia dapat juga menemukan gua itu. Akan tetapi Kui Hwa adalah seorang gadis yang hati-hati dan cermat. Ia tidak segera masuk ke dalam gua, bahkan bersembunyi di balik gerombolan pohon dan mengintai.

   USAHANYA ini ternyata berguna sekali, oleh karena tiba-tiba ia melihat bayangan tinggi besar keluar dari gua itu. Ketika bayangan itu berhenti di depan gua, Kui Hwa terkejut sekali karena bayangan itu adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti seorang raksasa dalam dongeng. Tidak saja tubuhnya yang besar, akan tetapi pakaiannya juga aneh sekali. Berbeda dengan pakaian orang Han. Kulit mukanya kehitam-hitaman. Celananya panjang hitam dan bajunya hijau dengan leher baju hitam pula.

   Ia memakai kain kepala yang aneh bentuknya dan biarpun di bawah hidungnya tidak ada kumis, akan tetapi dari bawah kedua telinga ke bawah penuh dengan jenggot hitam yang lebat. Orang itu memakai ikat pinggang yang luar biasa, yakni rantai baja yang besar dan berat dilibatkan ke pinggangnya dan ujungnya tergantung ke bawah.

   Pada saat itu, orang berkulit hitam ini sedang memanggul sebuah paha kijang yang telah dipanggang. Dan setelah ia ia tiba di depan gua, ia memandang ke kanan kiri, kemudian ia duduk di atas batu dan menggerogoti paha kijang itu.

   Kui Hwa berlaku hati-hati sekali, tidak bergerak dari tempat sembunyinya dan hanya memandang penuh keheranan, juga ia merasa khawatir. Apakah harta pusaka itu telah ditemukan dan diambil oleh raksasa ini, pikirnya. Ia tidak takut kepada raksasa yang tingginya hampir dua kali tubuhnya sendiri itu. Akan tetapi lebih baik jangan mencari perkara dan perkelahian dalam tempat yang aneh ini.

   Tiba-tiba dari jauh terdengar suara memanggil dan tak lama kemudian muncullah seorang gundul kate yang segalanya merupakan kebalikan dari raksasa itu. Kalau raksasa itu kulitnya hitam, orang ini kulitnya keputih-putihan dan matanya biru. Kepalanya gundul sama sekali dan tubuhnya pendek kecil. Akan tetapi larinya cepat sehingga Kui Hwa menjadi kaget karena maklum bahwa ginkang dari orang kate ini masih lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.

   (Lanjut ke Jilid 18)

   Pendekar Pemabuk/Kanglam Tjiu Hiap (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   "Badasingh!"

   Si kate itu berkata kepada raksasa yang masih enak-enak makan paha kijang sambil duduk di atas batu.

   "Kita sudah terlalu lama di sini. Mengapa kita tidak berusaha mengambil peti-peti itu?"

   "Koay lojin,"

   Kata orang aneh yang bernama Badasingh itu dengan bahasa Han yang kaku.

   "Tak mungkin diambil sekarang. Tempatnya terlalu dalam dan jauh. Kita harus menanti sampai ada orang lain yang mengambilnya untuk kita, kemudian kita merampasnya dari mereka. Bukankah itu lebih mudah lagi? Ha ha ha!"

   "Siapa yang mengetahui tempat ini selain kita?"

   "Bodoh! Banyak yang tahu, bahkan aku mendengar bahwa dari kota raja akan datang serombongan orang untuk mengambil harta itu. Kita sendiri takkan mungkin mengambilnya. Jalan turun tidak ada."

   Si kate itu memandang dengan mata marah dan agaknya tidak percaya kepada si raksasa itu.

   "Badasingh! Jangan kau mencoba menipuku! Ini usaha kita berdua maka kau tidak boleh membohong kepadaku!"

   Tiba-tiba Badasingh mengeram bagaikan suara seekor gajah, dan dengan marah sekali ia membanting paha itu ke atas batu yang di dudukinya sehingga paha itu berikut tulang-tulangnya hancur lebur.

   "Koay lojin! Tidak ada manusia yang bisa hidup setelah memaki aku sebagai pembohong!"

   Ia bangun berdiri dan menyerang si kate itu dengan hebat! Si kate ternyata juga lihai sekali karena sekali lompat ke samping ia dapat menghindarkan diri dari serangan itu.

   "Badasingh! Aku tidak mau berkelahi dengan kau tanpa alasan. Pendeknya, kalau kita bisa mengambilnya, kita ambil sekarang. Kalau tidak bisa, mari kita pergi dari sini. Aku sudah bosan tinggal di tempat asing ini."

   "Kau mau pergi? Pergilah! Siapa melarangmu?"

   Kata si raksasa.

   Koay lojin (kakek aneh) itu tertawa bergelak dan dengan jari telunjuknya yang pendek ia menuding kepada Badasingh,

   "Ha ha ha! Jangan coba berlaku licik. Badasingh! Kalau kau tidak mau pergi, itu berarti kau hendak mengambil sendiri harta itu! Kau benar-benar curang."

   "Sudah kukatakan bahwa aku menanti orang yang dapat mengambilnya. Kemudian aku akan merampasnya. Kau boleh pergi kalau kau kehendaki. Akan tetapi aku akan menanti di sini!"

   "Kau bohong!"

   Koay lojin dalam marah lupa akan pantangan ini.

   Bagaikan harimau terluka Badasingh melompat dan menerkam Koay lojin.

   "Kalau aku bohong kau harus mampus!"

   Teriaknya marah.

   Kini keduanya tidak main-main lagi, mereka bertempur hebat. Tenaga Badasingh benar-benar hebat dan batu karang yang terkena sambaran tangannya diwaktu ia menyerang, menjadi hancur berkeping-keping. Akan tetapi, si kate itu benar-benar lincah dan gesit sekali sehingga pertempuran itu benar-benar hebat.

   Kui Hwa memandang dengan hati berdebar. Ia merasa kagum sekali menyaksikan kelihaian dua orang aneh ini dan ia mengaku bahwa dia sendiri takkan dapat menang melawan seorang di antara mereka. Tiba-tiba si kate mengeluarkan senjata, yakni sebatang cambuk lemas yang berduri. Cambuk itu tadinya digulung dan disimpan di dalam saku bajunya. Akan tetapi setelah dilepaskan, cambuknya yang berduri itu panjangnya lebih dari empat kaki.

   "Bagus, kau memang betul-betul ingin mampus!"

   Seru Badasingh yang segera membuka ikat pinggangnya, yang terbuat dari pada rantai baja yang besar itu. Rantai ini lebih panjang lagi, kira-kira ada tujuh kaki panjangnya. Pertempuran hebat dimulai dan Kui Hwa makin bengong dan kagum melihatnya. Kalau cambuk berduri itu bergerak-gerak dengan gesit dan lihai seakan-akan ular hidup, adalah rantai baja itu luar biasa dahsyatnya. Angin sambarannya saja membuat daun-daun pohon bergerak-gerak bagaikan tertiup angin dan tanah di sekitar tempat pertempuran itu mengebulkan debu ke atas.

   Ternyata bahwa si kate itu kalah tenaga dan kalah hebat senjatanya, tubuhnya bergulingan. Badasingh memburuh dengan cepat dan sekali kakinya menendang terdengar jerit ngeri dan tubuh Koay-lojin terlempar jauh dan .... masuk ke dalam jurang yang tak terlihat dari atas dasarnya, saking dalam dan gelapnya.

   Kui Hwa bergidik dan merasa bulu tengkuknya berdiri. Dengan adanya raksasa hebat ini menjaga Gua Kilin, tak mungkin baginya untuk mencari harta pusaka itu. Untuk maju menyerang, sama dengan bunuh diri, oleh karena maklum bahwa ia takkan dapat menangkan raksasa hitam ini. Oleh karena itu, Kui Hwa lalu turun lagi dengan diam-diam dari bukit Hong-san.

   Ia hendak menanti sampai datangnya kawan-kawannya, terutama sekali datangnya kedua suhengnya, Pui Kiat dan Pui Hok. Sungguhpun raksasa itu merupakan lawan yang amat tangguh, namun bertiga dengan suheng-suhengnya, ia tidak merasa takut.

   Oleh karena itu, Kui Hwa lalu tinggal di dusun kecil di lembah sungai Huang-ho yang berada di kaki bukit Hong-san untuk menanti datangnya kedua suhengnya. Ia menanti beberapa hari lamanya, akan tetapi kedua suhengnya belum juga datang. Sehingga saking kesalnya ia menghibur diri, menyewa perahu kecil, dan mendayung di sungai Huang-ho sambil menonton para nelayan mencari ikan.

   Ketika ia sedang duduk termenung di dalam perahunya, tiba-tiba ia melihat seorang nelayan tua yang menyebar jala ikan sambil mencucurkan air mata. Berkali-kali nelayan itu menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut air matanya yang turun mengalir di sepanjang kedua pipinya, bahkan kadang-kadang kalau jalanya tidak menghsilkan ikan, ia menjatuhkan diri di dalam perahu dan menangis tersedu-sedu.

   Melihat hal ini tergeraklah hati Kui Hwa. Ia mendayung perahunya mendekat. Setelah perahunya menempel perahu nelayan itu, ia bertanya,

   "Lopek, kau kenapakah? Apakah yang membuatmu demikian berduka sehingga kau bekerja sambil menangis?"

   Nelayan itu menengok dan ketika melihat Kui Hwa yang gagah dan cantik, ia menangis makin sedih.

   Kui Hwa mengikatkan tali perahunya pada ujung perahu nelayan itu, lalu berpindah perahu.

   "Lopek, kesukaran apakah yang kau derita? Ceritakan kepadaku, barangkali aku dapat menolongmu. Aku tidak kaya akan tetapi percayalah, pedangku ini sudah banyak menolong orang yang tertindas!"

   Mendengar ucapan ini, kakek itu lalu mengeringkan air matanya dan berkata dengan suara ragu-ragu.

   "Siocia, benar-benarkah kau pandai bertempur menggunakan pedang?"

   Kui Hwa tersenyum.

   "Pandai sih tidak. Akan tetapi sudah banyak penjahat mengakui kelihaianku sehingga mereka memberi julukan Dewi Tangan Maut kepadaku!"

   Mendengar ini, kakek itu segera memberi hormat dan berkata dengan girang.

   "Ah, tidak tahunya nona adalah seorang pendekar pedang. Agaknya Thian yang menurunkan lihiap ke sini untuk menolongku!"

   "Sudahlah, lopek, jangan banyak sungkan. Ceritakanlah semua penderitaanmu kepadaku!"

   Kakek itu menghela napas berkali-kali, kemudian ia menuturkan keadaannya.

   "Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sudah remaja puteri, dan sungguhpun aku sendiri yang menyatakan, akan tetapi anakku itu termasuk golongan gadis cantik. Di dalam hutan Ban-siong-lim terdapat serombongan bajak laut yang kejam. Sungguh pun mereka itu jarang sekali mau mengganggu kampung kami yang miskin. Akan tetapi, pada suatu hari kepala bajak laut yakni kepalanya yang termuda karena mereka itu mempunyai tiga orang pemimpin, mengadakan perjalanan untuk melihat-lihat di kampung kami. Sungguh tak beruntung sekali, anak perempuanku berada di luar rumah dan terlihat olehnya. Kepala bajak itu merasa suka dan tanpa banyak cakap lagi ia membawa pergi anakku!"

   "Bangsat kurang ajar!"

   Kui Hwa memaki gemas.

   "Ibu anak itu telah lama meninggal dunia dan aku hanya hidup berdua dengan anakku itu, maka dapat lihiap bayangkan betapa hancurnya hatiku. Dengan melupakan bahaya, aku lalu mengejar sampai ke hutan Ban-siong-lim itu untuk minta kembali anak perempuanku. Akan tetapi, kepala bajak itu minta uang tebusan sebanyak tiga ratus tail. Darimana aku dapat mengumpulkan uang sebanyak itu? Maka, aku berusaha untuk menjala terus menerus siang malam untuk menebus anakku. Akan tetapi agaknya Thian sedang memberi hukuman kepadaku, lihiap. Buktinya, jalaku jarang sekali menghasilkan sesuatu!"

   Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kakek itu lalu menangis lagi.

   "Lopek!"

   Kata Kui Hwa sambil memegang pundak nelayan itu.

   "Sudahlah, jangan kau menangis. Antarkan aku ke tempat bajak sungai itu dan akulah yang akan mengambil kembali anak perempuanmu!"

   Kakek itu memandang dan nampaknya terkejut dan cemas.

   "Akan tetapi .... mereka itu lihai sekali, lihiap."

   "Apakah kau tidak percaya kepadaku?"

   Kakek itu tidak berkata sesuatu, lalu mendayung perahunya ke pinggir.

   "Mari kita berangkat sekarang juga, lihiap,"

   Katanya.

   Demikianlah Kui Hwa bersama nelayan tua itu pergi ke hutan Ban-siong-lim yang berada di tepi sungai. Kedatangan mereka disambut oleh tiga orang kepala bajak yang bertubuh tegap-tegap. Tentu saja tiga orang bajak itu memandang kepada Kui Hwa dengan mata terbelalak saking kagum. Belum pernah mereka melihat seorang gadis secantik itu.

   Sebelum tiba di tempat itu, Kui Hwa telah bertanya kepada nelayan itu tentang keadaan ketiga orang kepala bajak ini. Ketiganya adalah bajak-bajak sungai Huang-ho yang amat terkenal dan disebut Huang-ho Sam-kui (Tiga setan dari Huang-ho). Yang tertua bertubuh pendek tegap berkepala botak bernama Louw Tek, yang kedua Louw Siang dan yang ketiga masih muda dan tampan juga bernama Louw Liu. Ketiga orang bajak sungai itu bukanlah bajak-bajak biasa, karena mereka benar-benar memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka itu adalah murid-murid Butongsan yang menyeleweng.

   Ketika berhadapan dengan tiga orang kepala bajak itu, tanpa memperdulikan anggauta-anggauta bajak yang jumlahnya belasan itu dan yang mengurung tempat itu sambil tertawa-tawa, Kui Hwa bertanya,

   "Kalian bertigakah yang disebut Huang-ho Sam-kui?"

   Louw Tek melangkah maju dan berkata.

   "Benar nona manis. Apakah kehendakmu mencari kami bertiga?"

   "Tak lain aku datang untuk mengambil kembali anak perempuan dari nelayan tua ini. Sambil berkata demikian, Kui Hwa mencabut pedangnya.

   "Tinggal kalian pilih saja. Kembalikan anak perempuan itu atau kalian akan berkenalan dengan Dewi tangan maut!"

   Huang-ho Sam-kui itu saling pandang, kemudian meledaklah suara ketawa mereka, diikuti oleh suara ketawa dari sekalian anak buahnya. Untuk daerah ini, nama Dewi Tangan Maut memang tidak dikenal.

   "Sungguh lucu kakek nelayan ini. Agaknya ia merasa kasihan kepada kita, sehingga mengantarkan seorang anak perempuan yang lebih cantik lagi. Lui-te (adik Lui), jangan kau iri hati. Kau sudah mendapat bunga harum dari dusun itu dan yang kini adalah bagianku,"

   Kata Louw Tek kepada adiknya yang hanya tersenyum-senyum memandang kepada Kui Hwa dengan amat kurang ajar.

   Bukan main marahnya Kui Hwa mendengar ucapan yang amat menghinanya itu.

   "Kalian memang sudah bosan hidup!"

   Serunya dan ia menerjang dengan pedangnya. Pada saat itu ketiga kepala bajak itu melompat ke belakang dan melihat lompatan mereka itu bukan main terkejut hati Kui Hwa. Dari cara mereka melompat ke belakang amat cepat dan lincahnya itu, tahulah Kui Hwa bahwa ketiga orang lawannya ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Sungguh mengherankan, di daerah ini benar-benar banyak terdapat orang pandai. Baru saja ia bertemu dengan raksasa hitam dan si kate yang berilmu tinggi dan sekarang ia menghadapi tiga orang kepala bajak yang berkepandaian tinggi pula.

   Akan tetapi ia tidak takut dan menyerang dengan pedangnya. Melihat gerakan pedang gadis itu lihai dan cepat, kepala bajak yang tertua, yakni Louw Tek, segera mengangkat dayungnya menangkis sambil berkata kepada kedua adiknya.

   "Jangan kalian membantu, biar aku sendiri mencoba kepandaian calon nyonyaku!"

   Maka bertempurlah Kui Hwa melawan Louw Tek yang benar-benar tangguh. Sebetulnya dalam hal kepandaian silat, Kui Hwa tak usah kalah oleh Louw Tek, hanya saja dalam hal tenaga ia masih kalah. Apalagi orang she Louw itu mempunyai senjata istimewa, yakni sebatang dayung yang panjang dan berat sehingga ia merupakan lawan yang benar-benar berbahaya.

   Pada saat pertempuran berjalan seru, dari tengah sungai tampak sebuah perahu di dayung ke pinggir dan dua orang pemuda melompat ke darat sambil mencabut pedangnya.

   "Sumoi, jangan takut, kami datang membantumu!"

   Orang-orang ini bukan lain adalah Pui Kiat dan Pui Hok. Besarlah hati Kui Hwa melihat kedatangan kedua suhengnya ini dan pertempuran makin hebat, karena kini Louw Siang dan Louw Lui maju menyambut kedua saudara Pui itu dan pertempuran terjadilah dengan sengitnya. Para anggauta bajak sungai melihat ketangguhan ketiga orang murid Hoa-san-pai itu, menjadi tidak sabar dan mereka mulai maju mengeroyok.

   Kepandaian Kui Hwa dan kedua suhengnya sesungguhnya berimbang dengan kepandaian Huang-ho Sam-kui, maka setelah anak buah bajak sungai yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan itu maju membantu, tentu saja ketiga murid Hoasan itu mulai terdesak hebat dan terkurung rapat. Namun mereka melakukan perlawanan sengit dan mati-matian sehingga pertempuran berjalan lama dan di antara anggauta-anggauta bajak ada beberapa orang yang sudah menjadi korban pedang Kui Hwa dan kedua suhengnya.

   Betapapun juga, para bajak itu masih mengurung terus, sehingga keadaan tiga orang muda itu makin berbahaya. Sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri, karena selain kurungan amat rapat, juga ketiga Huang-ho Sam-kui itu mainkan dayung mereka dengan amat cepatnya sehingga Kui Hwa dan kedua saudara Pui harus menggerakkan seluruh kepandaian dan perhatian.

   Pada saat yang amat genting itulah muncul Tin Eng. Dengan amat ganas Tin Eng menyerbu dari luar kepungan dan dengan ilmu pedangnya Sin-eng Kiam-hoat yang lihai. Dalam beberapa gebrakan saja ia telah berhasil merobohkan beberapa orang bajak. Hal ini menimbulkan panik dan kekacauan pada pihak pengeroyok dan memperbesar semangat perlawanan Kui Hwa dan kedua saudara Pui. Dibantu oleh Tin Eng, mereka lalu menerjang ketiga orang Huang-ho Sam-kui sehingga mereka ini terpaksa mundur.

   Kui Hwa maklum bahwa biarpun Tin Eng datang membantu, namun apabila pertempuran dilanjutkan, pihaknya tentu akan kehabisan tenaga, maka ia lalu mendekati Tin Eng dan berbisik,

   "Kita tangkap kepala bajak termuda."

   Tin Eng tidak mengerti apakah kehendak kawannya itu dengan usul ini. Akan tetapi oleh karena ia tidak tahu asal usulnya pertempuran, ia hanya menganggukkan kepala dan menurut.

   Demikianlah selagi Pui Kiat dan adiknya menghadapi Louw Tek dan Louw Siang, Kui Hwa berdua Tin Eng mendesak Louw Lui dengan hebat sekali. Sepasang pedang dari kedua orang dara itu membabat dan mengurungnya dengan gerakan luar biasa sehingga betapapun kosennya Louw Lui, ia menjadi bingung dan pening juga melihat sinar kedua pedang itu berkelebatan bagaikan dua ekor naga sakti mengurung tubuhnya.

   Sebelum ia sempat minta bantuan pada kawan-kawannya, tiba-tiba ujung pedang Tin Eng telah melukai lengannya sehingga terpaksa ia melepaskan dayungnya dan Kui Hwa mengirim totokan ke arah lambungnya dan robohlah Louw Lui sambil mengaduh-aduh. Kui Hwa memburu dan menambah dengan totokan pada jalan darah thia-hu-hiat sehingga tubuh Louw Lui menjadi lemas tak berdaya sama sekali.

   Louw Tek dan Louw Siang marah sekali dan sambil memutar dayungnya, kedua kepala bajak ini menyerbu Kui Hwa dan Tin Eng. Akan tetapi, sambil tekankan ujung pedang pada dada Louw Lui, Kui Hwa membentak,

   "Mundur kalian dan tahan pertempuran ini. Kalau tidak pedangku akan menembus dadanya."

   Louw Tek dan Louw Siang terkejut dan melangkah mundur, lalu memberi perintah kepada anak buahnya untuk berhenti menyerang.

   "Huang-ho Sam-kui!"

   Kata Kui Hwa dengan gagah.

   "Kami sebetulnya tidak hendak mencari permusuhan dengan kalian. Kalau kau memang sayang kepada nyawa saudaramu ini, lekas keluarkan anak perempuan nelayan tua itu untuk ditukar dengan saudaramu ini!"

   Karena maklum bahwa nyawa Louw Lui berada di ujung pedang Kui Hwa, terpaksa Louw Tek dan Louw Siang memberi tanda kepada anggauta-anggautanya untuk mundur. Kemudian Louw Tek menjura kepada Kui Hwa dan berkata,

   "Lihiap, maafkanlah kami yang tadi tidak melihat orang-orang gagah. Kehidupan di tempat asing ini membuat kami berwatak kasar. Tentang anak perempuan nelayan itu, sesungguhnya ia menjadi isteri tercinta dari adik kami Louw Lui dan menurut pendapat kami yang bodoh, agaknya tidak kecewa ia menjadi isteri adik kami. Iapun mencintai suaminya ini."

   "Bohong!"

   Tiba-tiba nelayan tua itu berteriak dengan marah.

   "Anakku dibawa dengan paksa, siapa bilang tentang cinta? Hayo kembalikan anakku!"

   Louw Tek terenyum dan memberi tanda kepada seorang anggauta bajak untuk menjemput "nyonya muda."

   Tak lama kemudian datanglah seorang wanita muda yang cukup manis diiringkan oleh bajak tadi.

   "Bwee Kim ...!"

   Nelayan tua itu memanggil dan wanita muda itu cepat berpaling dan berseru,

   "Ayah ....!"

   Ia berlari menghampiri ayahnya dengan kedua tangan terpentang. Akan tetapi ketika ia lewat di dekat Kui Hwa dan melihat Louw Lui ditodong dadanya dengan pedang dan lengan Louw Lui terluka mengeluarkan darah, tiba-tiba ia berhenti dan menubruk Louw Lui sambil menangis.

   Hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh nelayan tua itu, bahkan Kui Hwa sendiri menjadi pucat karena terkejut. Sementara itu, Louw Tek dan Louw Siang tersenyum saja melihat adiknya memeluk isterinya.

   

Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini