Pendekar Pemabuk 17
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
"Ah, kalau begitu, aku telah salah duga!"
Kata Kui Hwa yang lalu menyimpan kembali pedangnya dan menghampiri kakek nelayan itu.
"Lopek, biarpun mantumu seorang kepala bajak, akan tetapi anakmu telah menjadi isterinya dan kau lihat sendiri anakmu tidak menyesal menjadi isterinya. Oleh karena itu, kau tak perlu lagi ribut-ribut!"
Kakek nelayan itu berdiri sambil menundukkan mukanya yang pucat, matanya sayu dan nampak sedih sekali.
"Aku ditinggal seorang diri .... aku sudah tua ..... siapa yang akan merawatku kalau aku sakit ...?"
Setelah berkata demikian, ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis.
Kui Hwa berpaling memandang Louw Tek.
"Orang dahulu berkata bahwa mau kepada anak perempuannya harus mau menerima orang tuanya pula. Oleh karena itu, kuharap sam-wi tay-ong suka pula menerima kakek ini agar supaya dia selalu dekat dengan anak perempuannya.
Ketiga kepala bajak menerima baik usul ini dan demikianlah, pertempuran yang hebat itu berakhir dengan perdamaian yang menyenangkan kedua pihak.
Kui Hwa lalu mengajak kedua suhengnya dan Tin Eng pergi dari situ dan menuju ke bukit Hong-san. Di tengah jalan mereka saling menuturkan pengalamannya masing-masing.
Setelah menuturkan pengalamannya, Tin Eng bertanya kepada Kui Hwa,
Apakah kau tidak bertemu dengan Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat Kong?"
Kui Hwa menggelengkan kepala, akan tetapi kedua saudara Pui segera menuturkan pertemuan mereka dengan pemuda itu.
"Dia tentu sudah berada di tempat ini!"
Kata Tin Eng penuh harapan, akan tetapi sungguh heran mengapa ia tidak bertemu dengan kalian?"
Ketika Kui Hwa menceritakan tentang raksasa hitam itu, semua kawannya mendengarkan dengan terheran-heran.
"Orang itu benar-benar hebat dan mengerikan. Aku sendiri tidak berani untuk mendekati gua itu karena kepandaiannya amat tinggi dan aku takkan dapat menang. Maka aku sengaja menanti di sini dan kebetulan sekali ini hari tidak saja ji-wi suheng yang datang, akan tetapi juga adik Tin Eng. Dengan tenaga kita berempat ku rasa kita tak perlu takut menghadapi raksasa yang menjaga gua itu!"
Oleh karena pertempuran tadi amat melelahkan Kui Hwa, juga kedua saudara Pui dan Tin Eng yang baru datang masih merasa lelah, maka mereka mengambil keputusan untuk menyerbu ke atas puncak Hong-san pada keesokan harinya.
Semenjak berpisah dengan Gwat Kong, Cui Giok melakukan perjalanan seorang diri untuk memenuhi permintaan Gwat Kong yakni menuju ke Hong-san menyusul murid-murid Hoa-san-pai yang sedang mencari gua Kilin tempat penyimpanan harta pusaka. Ia tidak mengambil jalan air seperti yang lain. Akan tetapi ia melakukan perjalanan darat melalui sepanjang pantai sungai Huang-ho sebelah kiri.
Pada suatau hari, ketika ia sedang berlari cepat di sepanjang lembah sungai Huang-ho, melalui bukit-bukit kecil yang ditutup oleh rumput hijau yang indah, tiba-tiba ia melihat seorang anak laki-laki tanggung berusia kurang lebih sebelas tahun sedang bersilat seorang diri di dekat pantai. Cui Giok amat tertarik melihat gerakan kaki tangan anak itu amat lincah dan tangkasnya. Sedangkan wajah anak kecil itu amat tampan dan sepasang matanya bersinar.
Sebelum Cui Giok menghampiri, tiba-tiba ia melihat bayangan seorang hwesio berkelebat keluar dari belakang pohon. Hwesio ini masih mudah dan wajahnya menyeramkan sekali, sepasang matanya mengandung nafsu jahat.
"Ha ha ha! Bagus!"
Kata hwesio itu sambil melompat ke depan anak itu.
"Kau tentulah murid si tua bangka dari Kunlun. Anak baik, bukankah kau murid Kun-lun-pai? Gerakanmu jelas menyatakan bahwa kau anak murid Kun-lun-pai."
Anak itu berhenti berlatih silat dan memandang dengan matanya yang tajam.
"Losuhu, siapakah? Teecu memang benar anak murid Kun-lun-pai. Nama teecu Kwie Cu Ek dan suhu adalah Lo Han Cinjin dari Kun-lun-pai.
Hwesio itu tertawa bergelak dan memandang ke kanan kiri.
"Dimana adanya Lo Han Cinjin?"
Dari suaranya ternyata bahwa ia merasa takut.
"Suhu sedang memetik daun obat di bukit itu dan teecu diharuskan menanti di sini berlatih silat."
"Bagus! Kalau begitu, kau harus ikut padaku!"
"Tidak bisa losuhu. Tanpa perintah suhu, teecu tidak berani meninggalkan tempat ini,"
Jawab anak yang bernama Kwi Cu Ek itu dengan tegas.
"Apa? Kau berani membantah kehendakku? Hayo ikut!"
Sambil berkata demikian si gundul itu mengulurkan tangannya hendak menangkap pundak anak itu. Akan tetapi dengan gesit anak itu mengelak dan melompat ke belakang. Cui Giok diam-diam merasa kagum dan senang melihat anak yang lincah itu. Akan tetapi hwesio tadi menjadi marah dan terus menyerang untuk menangkap anak itu.
Tiba-tiba anak itu berseru keras dan tahu-tahu sebatang pedang kecil telah ia cabut dari punggungnya dan dengan pedang di tangan, ia menghadapi hwesio itu. Sepasang matanya menyinarkan keberanian luar biasa sehingga hwesio itu menjadi tercengang juga.
"Eh, eh tua bangka itu sudah melatih pedang padamu?"
Kata hwesio itu yang terus menubruk. Anak itu menggerakkan pedangnya dan terkejutlah hwesio tadi ketika melihat betapa gerakan pedang anak itu tak boleh dipandang ringan."
"Kau sudah dapat mainkan Sin-tiauw-kiam-sut? Hebat!"
Katanya dan ia lalu meloloskan sabuknya yang terbuat dari pada sutera hijau. Sekali ia menggerakkan tangannya, sabuk itu meluncur ke arah leher anak itu, yang segera menangkisnya dengan pedang. Akan tetapi ujung sabuk melibat pedangnya dan sekali betot terlepaslah pedang itu dari pegangan.
Anak itu terkejut dan hendak melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan saja, hwesio itu telah mengejarnya dan dapat memegang pundaknya dengan cengkeraman tangan erat sehingga anak itu meringis kesakitan.
Pada saat itu Cui Giok muncul dan membentak,
"Bangsat gundul, sungguh tak tahu malu!"
Hwesio itu terkejut dan melepaskan cengkeramannya. Ketika melihat seorang gadis cantik jelita berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan dan kiri, ia terkejut sekali.
"Ha ha ha!"
Katanya sambil memandang kagum.
"Kalau anak setan itu tidak mau ikut, lebih baik kau saja ikut kepadaku!"
Sambil berkata demikian, ia menggerakkan sabuknya yang lihai itu untuk merampas kedua pedang di tangan Cui Giok. Dara perkasa ini sengaja tidak mengelak sehingga ujung sabuk itu membelit pedang di tangan kirinya. Tiba-tiba Cui Giok membetot pedangnya untuk membikin putus sabuk itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa sabuk itu amat kuat dan tenaga pemegangnya juga luar biasa besarnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa hwesio itu demikian lihai dan besar tenaga lweekangnya. Maka dengan cepat ia lalu menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk membabat putus sabuk yang melibat pedang kirinya.
Hwesio itu ternyata lihai dan cepat gerakannya karena sebelum pedang Cui Giok membabat sabuknya ia telah melepaskan kembali libatan sabuk dan kini sabuknya bergerak-gerak bagaikan ular menyerang ke arah jalan darah Cui Giok, merupakan totokan-totokan yang berbahaya.
Akan tetapi ia mengeluh di dalam hati ketika mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan merupakan lawan yang empuk baginya. Sepasang pedang ditangan nona itu, yang memainkan ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat benar-benar luar biasa sekali sehingga beberapa kali hwesio itu harus melompat jauh dengan kaget karena hampir saja ia menjadi korban ujung pedang.
Juga Cui Giok merasa amat penasaran. Hwesio itu hanya memegang sehelai senjata sabuk, akan tetapi amat sukar baginya untuk mengalahkannya. Maka ia makin marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mendesak sehingga hwesio itu terpaksa harus mengakui keunggulan Cui Giok. Ia hanya dapat mengandalkan ginkangnya untuk melompat ke kanan kiri menghindarkan diri dari bahaya maut yang tersebar dari sepasang pedang di tangan nona itu.
Setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, hwesio itu tak tahan lagi. Tiba-tiba terdengar suara halus memuji,
"Im-yang Siang-kiam-hoat benar-benar hebat!"
Mendengar suara ini, hwesio tadi menjadi pucat dan ketika pedang Cui Giok agaknya tertahan karena gadis ini pun mendengar seruan itu. Hwesio itu lalu melompat jauh dengan gerakan Naga hitam menembus langit. Ia berlompatan beberapa kali dan tubuhnya lenyap di balik pohon-pohon yang banyak tumbuh di atas bukit.
Cui Giok berpaling dan memandang kepada orang yang berseru memuji tadi. Ia melihat seorang kakek berjenggot panjang keputih-putihan yang membawa sebuah keranjang obat dan guci arak tergantung di pinggangnya. Melihat sikap kakek ini, ia dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti, maka ia cepat menyimpan pedangnya dan menjura dengan penuh hormat. Sementara itu, anak kecil tadi menghampiri kakek itu dan berkata.
"SUHU, ilmu pedang cici ini benar-benar hebat sekali!"
"Nona,"
Terdengar kakek tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan sabar.
"Apakah kau anak murid dari Sie Cui Lui?"
"Sie Cui Lui adalah kakekku, locianpwe. Teecu bernama Sie Cui Giok. Tidak tahu, siapakah locianpwe yang terhormat dan siapa pula adanya hwesio jahat tadi? Mengapa ia hendak menangkap adik kecil ini?"
Kakek ini menghela napas.
"Biarpun amat memalukan untuk mengaku. Akan tetapi terus terang saja, hwesio itu adalah muridku sendiri. Lima tahun yang lalu, ia masih menjadi muridku yang baik, akan tetapi ia menyeleweng dan melakukan perbuatan zinah yang jahat, sehingga aku terpaksa mengusirnya dan tidak mengakui sebagai murid. Semenjak itu, ia merasa sakit hati dan karena tidak berani membalas dendam kepadaku, agaknya ia hendak menyakiti hatiku dengan menculik muridku yang kecil ini. Nona, ketahuilah aku adalah Lo Han Cinjin dari Kun-lun-san. Kakekmu Sie Cui Lui itu telah dikenal baik padaku."
Kemudian ia berpaling kepada muridnya dan berkata,
"Cu Ek, hayo kau menghaturkan terima kasih kepada nona ini yang telah membantu dan menolongmu."
Kui Cu Ek lalu menghampiri Cui Giok dan menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi Cui Giok segera mengangkatnya bangun dan berkata sambil tertawa,
"Adik yang baik, ilmu pedangmu benar-benar mengagumkan sekali!"
"Belum ada sepersepuluh bagian dari kepandaian cici yang gagah,"
Kata anak kecil itu dengan suaranya yang nyaring.
Lo Han Cinjin berkata lagi.
"Dengan sepasang pedang dapat mendesak dan mengalahkan muridku yang tersesat tadi telah menunjukkan bahwa kepandaianmu sudah cukup tinggi. Sebenarnya kau hendak kemanakah?"
Dengan singkat Cui Giok menuturkan bahwa ia sedang menuju Hong-san untuk mencari guha Kilin di mana tersimpan harta pusaka itu.
Kakek itu menarik napas panjang.
"Sayang .... sayang .... agaknya manusia takkan terlepas dari pengaruh harta ..."
Ia lalu merogoh keranjang obatnya dan mengeluarkan sebatang ranting yang penuh daun berwarna merah.
"Nona, kau telah bertemu dengan aku. Itu berarti ada jodoh. Aku tadi secara kebetulan sekali mendapatkan daun Ang-giok (daun bermata merah) ini. Karena tidak perlu bagiku, terimalah daun ini. Jangan kau anggap remeh daun ini karena segala luka di dalam tubuh dapat sembuh dengan mudah apabila orang yang terluka itu makan sehelai daun ini. Dan karena kau melakukan perantauan, terimalah lima butir pel ini. Kalau kau berada jauh dari rumah orang dan kehabisan ransum, sebutir pel ini kalau kau telan akan melindungi pencernaanmu dan kau dapat bertahan tidak makan sampai sepekan lamanya tanpa merasa lapar."
Dengan girang Cui Giok menerima obat mujijat itu yang disimpannya di dalam buntalan pakaian yang diikatkan pada punggungnya, lalu menghaturkan terima kasih. Akan tetapi, tanpa berkata sesuatu lagi kakek yang aneh lalu menggandeng tangan muridnya dan pergi dari situ.
Di kemudian hari, anak kecil yang bernama Kui Cu Ek itu, akan menjadi seorang pendekar gagah perkasa yang menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu pedang Sin-tiauw-kiamsut. Dia inilah yang akan mengharumkan nama Kun-lun-pai di kemudian hari.
Sementara itu, Cui Giok melanjutkan perjalanannya menuju ke Hong-san. Setelah dekat bukit itu, ia menyelidiki dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak bertemu dengan orang-orang yang dicarinya, yakni anak murid Hoa-san-pai yang bernama Tan Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok itu. Maka, ia langsung mendaki bukit Hong-san untuk mencari di puncak bukit itu. Sama sekali ia tidak tahu bahwa pada hari itu juga, pagi tadi, tiga orang murid Hoa-san-pai yang dicarinya itu telah naik pula ke Hong-san. Bahkan tidak disangkanya sama sekali bahwa di tempat itu ia akan bertemu dengan Tin Eng, gadis puteri Liok-taijin yang telah seribu kali membuat ia cemburu itu, karena agaknya Gwat Kong amat memperhatikan gadis itu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tin Eng, Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok naik ke Hong-san pada pagi hari itu dengan maksud mencari harta pusaka dan kalau perlu membinasakan penjaga guha Kilin, yakni raksasa hitam yang menurut Kui Hwa bernama Badasingh.
Benar saja sebagaimana telah dituturkan oleh Kui Hwa, ketika mereka tiba di puncak itu, di depan guha Kilin, kelihatan Badasingh, orang tinggi besar yang seperti raksasa itu duduk di atas batu sambil memukul-mukulkan rantai bajanya ke atas batu karang, menerbitkan suara keras dan batu karang itu pecah berkeping-keping bagaikan batu merah dipukul oleh besi. Wajah raksasa hitam itu nampak muram.
"Mari kita hampiri dia!"
Ajak Kui Hwa dan dengan hati berdebar keempat orang muda itu berjalan menghampiri raksasa yang mengerikan ini.
Badasingh menengok cepat dan ketika melihat dua orang gadis cantik dan dua orang pemuda mendatangi, ia segera bangun berdiri. Bukan main tingginya orang ini. Kalau berdiri di dekat Pui Kiat dan Pui Hok yang sudah cukup tinggi itu barangkali hanya akan setinggi pundaknya.
"Kalian siapakah? Dan mau apa datang ke tempat ini?"
Badasingh bertanya dengan suaranya yang besar dan kaku, sedangkan sepasang matanya yang hitam bersinar tajam itu ditujukan kepada Kui Hwa dan Tin Eng. Kedua orang gadis ini merasa bulu tengkuk mereka meremang karena pandang mata itu sungguh-sungguh kurang ajar, bagaikan pandang mata seorang rakus memandang semangkok masakan yang enak dan masih mengebul hangat.
"Kami datang hendak menyelidiki guha ini dan mencari tempat penyimpanan harta terpendam,"
Kata Kui Hwa terus terang karena tahu bahwa raksasa ini telah mengetahui tentang harta itu. Ia hendak melihat bagaimana sikap raksasa itu setelah mendengar bahwa mereka datang untuk keperluan yang sama.
Untuk sesaat, wajahnya yang hitam itu bergerak-gerak marah mendengar ucapan ini. Akan tetapi kemudian ia tertawa bergelak-gelak sehingga suara ketawanya menggema di empat penjuru.
"Kalian, orang-orang kecil lemah ini? Ha ha ha! Kalian mau melihat guha Kilin? Boleh, boleh! Nah, mari lihatlah, kuantarkan!"
Pui Kiat dan Pui Hok melangkah maju ke arah guha diikuti oleh Kui Hwa dan Tin Eng. Ketika mereka masuk ke dalam guha itu, mereka berseru penuh kengerian karena di dalam guha itu ternyata merupakan sebuah sumur besar atau jurang yang tak berdasar saking dalamnya. Yang nampak hanya kehitaman di bawah jurang itu tak dapat diukur berapa dalamnya.
Melihat adanya beberapa kelelawar beterbangan di permukaan jurang, keluar masuk ke dalam sumur itu, maka dapat diduga bahwa tempat itu tentu amat dalam. Untuk menuruni jurang itu amat sukar, karena pinggirnya terdiri dari batu cadas yang amat licin dan tajam. Jalan masuk ke dalam guha itu semuanya penuh oleh jurang itu, hanya sebagian kecil saja di sebelah kanan terdapat batu karang yang dapat dijadikan tempat untuk berdiri atau duduk. Akan tetapi lebarnya hanya kira-kira satu kaki saja. Oleh karena itu, memasuki guha Kilin ini pada waktu gelap sungguh merupakan jalan maut yang mengerikan karena begitu masuk, orang akan terguling ke dalam jurang.
"Ha ha ha! Kalian mau masuk ke dalam? Masuklah!"
Sambil berkata demikian, membuat gerakan tangan dan menyerang ke arah Pui Kiat dan Pui Hok.
Bukan main kagetnya Tin Eng dan Kui Hwa melihat ini dan untung sekali kedua gadis itu berdiri di belakang si raksasa sehingga mereka dapat bergerak cepat. Bagaikan sudah diatur lebih dahulu, Tin Eng menggerakkan tangan memukul ke lambung raksasa itu, sedangkan Kui Hwa menangkap kedua tangan kedua suhengnya dan menariknya ke belakang.
Raksasa itu dengan amat mudahnya dapat mengelak dari pukulan Tin Eng dan ketika keempat orang muda itu melompat ke belakang dengan muka pucat dan marah, ia tertawa bergelak dan melangkah maju mengejar mereka dengan sikap mengancam dan menakutkan.
"Ha ha ha! Kalian orang-orang lemah ini tak mungkin dapat mengambil harta itu untukku. Karena itu, kalian hrs mati di sini akan tetapi hanya kamu berdua yang harus mati!"
Ia menunjuk kepada Pui Kiat dan Pui Hok.
"Dua orang bidadari manis ini harus mengawani aku di sini. Aku kesepian sekali dan amat haus. Kalian berdua, gadis-gadis manis, kalian akan dapat menghibur hatiku. Kalian menjadi pengganti anggur yang segar! Ha ha ha!"
"Siluman jahanam!"
Bentak Tin Eng dengan marah sekali. Hampir berbareng keempat orang muda itu mencabut pedang masing-masing dan menyerang dengan berbareng.
Akan tetapi keempatnya terpaksa harus meloncat mundur lagi karena sambil berseru keras, Badasingh memutar rantainya yang berat dan panjang itu sehingga merupakan segulungan sinar hitam menyambar di sekeliling tubuhnya. Empat orang muda itu tidak berani beradu senjata karena takut kalau pedang mereka akan rusak, maka mereka ini hanya mengandalkan kelincahan mereka untuk memasuki lowongan antara sambaran rantai baja. Namun kepandaian Badasingh benar-benar luar biasa, terutama sekali tenaganya yang hebat.
Ia melayani empat orang lawannya sambil mengeluarkan seruan-seruan liar bagaikan suara seekor beruang mengamuk. Kedua matanya terbelalak lebar, mulutnya menyeringai dan tangan kirinya yang tidak memegang senjata itu tidak tinggal diam, akan tetapi melakukan serangan-serangan mencengkeram dengan jari-jari tangannya yang panjang berbulu dan kukunya yang panjang dan tebal.
Badasingh benar-benar hebat. Biarpun yang mengeroyoknya adalah empat orang muda yang kepandaiannya telah cukup tinggi, namun ia tidak menjadi sibuk bahkan dapat mendesak dengan senjata rantai bajanya. Berkali-kali empat orang muda itu terpaksa harus melompat tinggi dan menjauhkan diri dari sambaran rantai yang besar dan berat itu, dan sukarlah bagi mereka untuk mendekati atau menyerang si raksasa.
Sebaliknya, Badasingh juga merasa penasaran. Jarang ada orang yang kuat menghadapinya sampai puluhan jurus, maka tiba-tiba ia berseru keras dan dengan langkah lebar ia mendesak terus kepada Kui Hwa dan Tin Eng sehingga kedua nona itu menangkis pedang mereka terpental dan terlepas dari pegangan.
Sebelum hilang rasa kaget mereka, lengan kiri Badasingh telah terulur maju dan Kui Hwa kena ditangkap pundaknya. Saking kaget dan takutnya, Kui Hwa sampai menjadi lemas dan dengan gerakan luar biasa sekali, jari tangan Badasingh menotok dan menekan jalan darah gadis itu pada pundaknya sehingga tubuh Kui Hwa seakan-akan menjadi lumpuh.
Badasingh melepaskan Kui Hwa dan kini ia mengulurkan tangan hendak menangkap Tin Eng. Gadis ini tak mau menyerah begitu saja dan mengirim pukulan ke arah lengan yang terulur hendak menangkapnya. Akan tetapi jari tangan Badasingh yang panjang-panjang itu bergerak ke bawah dan tertangkaplah lengan Tin Eng.
"Ha ha ha! Kalian berdua nona manis harus menjadi penghiburku dan mengawani aku di tempat ini. Ha ha ha!"
Juga Tin Eng dibikin tak berdaya oleh totokannya yang lihai.
Pui Kiat dan Pui Hok terkejut sekali dan mereka berlaku nekad. Dengan marah mereka maju menyerang lagi, akan tetapi agaknya mereka itu hanya hendak mencari kematiannya sendiri karena sebentar saja rantai baja yang hebat itu telah bergerak-gerak mengancam mereka.
Pada saat terjadinya pertempuran dan tertangkapnya Tin Eng dan Kui Hwa, datanglah Cui Giok. Dara perkasa ini dari jauh sudah mendengar gerakan-gerakan aneh dari mulut Badasingh dan mendengar pula suara senjata beradu, maka ia mempercepat larinya bagaikan terbang menuju ke arah suara itu.
Ketika ia tiba di situ, ia terkejut sekali melihat betapa dua nona muda telah tertangkap dan kini duduk di atas tanah dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya sama sekali. Sedangkan dua orang pemuda sedang mengeroyok seorang raksasa hitam yang dahsyat dan mengerikan.
Sekali pandang saja, tahulah Cui Giok bahwa dua orang itu tentulah Pui Kiat dan Pui Hok. Akan tetapi ia merasa heran juga melihat adanya dua orang gadis di situ. Yang manakah gerangan yang bernama Kui Hwa? Akan tetapi ia tidak mau pusingkan semua itu karena ia melihat betapa kedua orang muda itu telah terdesak hebat dan keselamatan mereka terancam bahaya maut. Ia segera mencabut sepasang pedangnya dan melompat dengan gerakan Walet Hitam Keluar Dari Sarangnya, dan membentak,
"Siluman hitam, lihat pedang!"
Begitu tubuhnya tiba di depan Badasingh, ia lalu menyerang dengan kedua pedangnya ke arah kedua pundak raksasa itu. Badasingh melihat dua sinar cemerlang menyambar ke arah pundaknya menjadi terkejut sekali dan cepat berjumpalitan ke belakang sambil memandang. Alangkah girangnya melihat seorang gadis yang cantik jelita berdiri di depannya.
"Ha ha ha! Datang seorang lagi! Ha ha ha, bagus! Yang ini lebih hebat lagi, ha ha! Sekarang ada tiga! Cukuplah untukku!"
Sementara itu, Cui Giok bertanya kepada Pui Kiat dan Pui Hok,
"Apakah jiwi yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok?"
"Benar, nona,"
Jawab Pui Kiat sambil memandang heran.
"Nona siapakah?"
"Aku datang mewakili Gwat Kong!"
Kata Cui Giok dan tubuhnya melayang ke arah Kui Hwa dan Tin Eng. Dua kali tepukan saja ia sudah membikin dua orang gadis itu pulih kembali jalan darahnya. Kui Hwa memandang kagum sedangkan Tin Eng memandang dengan heran. Siapakah gadis ini yang menyebut nama Gwat Kong begitu saja?
Akan tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk banyak bicara. Karena pada saat itu, Badasingh yang merasa marah melihat Cui Giok membebaskan dua orang korbannya, telah datang untuk menangkap Cui Giok.
"Kalian berempat minggirlah, biarlah aku menghadapi siluman ini!"
Sambil berkata demikian, Cui Giok menyambut kedatangan Badasingh dengan sepasang pedangnya digerakan membuat penyerangan yang hebat dan berbahaya. Badasingh hanya menyeret rantainya karena tadinya ia hendak menawan hidup-hidup gadis cantik jelita ini. Akan tetapi ketika sepasang pedang itu menyerang dengan gerakan berlawanan yang aneh sekali, ia mengelak dan tetap saja ujung pedang di tangan Cui Giok berhasil menyerempet pundaknya.
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Badasingh memekik keras dan mengeluarkan suara aneh, agaknya ia memaki-maki dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Cui Giok dan kawan-kawannya dan melihat darah mengalir membasahi baju di bagian pundaknya. Badasingh menjadi marah sekali. Sambil mengeluarkan seruan-seruan keras, ia memutar-mutar rantai bajanya dan menyerang Cui Giok dengan hebatnya bagaikan serangan air hujan dari atas.
Kalau Badasingh mengira akan dapat mengalahkan gadis yang baru datang ini dengan serangan-serangannya yang mengandalkan tenaga besar dan kecepatan, ia kecele. Dara perkasa ini kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada keempat orang muda tadi dan gerakan sepasang pedangnya masih melebihi kecepatan rantai bajanya.
Cui Giok yang memiliki ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat dan berotak cerdik itu maklum bahwa kalau ia merasa gentar dan bertempur sambil menjauhkan diri maka tak mungkin akan dapat menang. Karena senjata lawannya yang panjang dan berat itu lebih menguntungkan pihak lawan. Oleh karena itu, ia mengandalkan ginkangnya dan sikap kedua pedangnya yang berdasarkan Im dan Yang yakni tenaga lemas dan kasar. Ia mendesak maju dan mengajak bertempur dari jarak dekat.
Tentu saja cara bertempur menghadapi seorang raksasa mengerikan seperti Badasingh dari jarak dekat membutuhkan ketabahan besar. Karena demikian berat dan cepatnya gerakan rantai itu sehingga angin pukulannya terdengar bersiutan memenuhi telinga dan angin itu membuat pakaian Cui Giok berkibar-kibar bagaikan tertiup angin badai.
Namun Cui Giok berlaku tabah dan ketika kedua pedangnya digerakkan dengan cepat dan sinar pedangnya bergulung-gulung dan menyelinap di antara sambaran rantai sehingga tubuhnya lenyap sama sekali terbungkus oleh gulungan sinar itu.
Kalau Badasingh menjadi terkejut setengah mati melihat cara bertempur gadis yang lihai ini, adalah Kui Hwa, Tin Eng, Pui Kiat dan Pui Hok berdiri dengan bengong dan penuh kekaguman. Bagi Tin Eng dan dan kedua saudara Pui, mereka sudah menyaksikan kelihaian Kang-lam Ciu-hiap Gwat Kong dan merasa amat kagum. Akan tetapi agaknya gadis yang baru datang yang mengaku mewakili Gwat Kong ini, agaknya tidak kalah lihainya daripada Gwat Kong sendiri. Adapun Kui Hwa juga merasa kagum karena selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan permainan pedang sehebat itu.
Tadinya keempat orang muda ini hendak membantu bahkan Kui Hwa dan Tin Eng sudah mengambil pedang mereka yang tadi terpental dan terlepas dari tangan. Akan tetapi mereka masih ragu-ragu karena larangan Cui Giok. Kini mereka tidak merasa ragu-ragu lagi akan kelihaian nona penolong itu dan mereka menonton dengan penuh harapan dan kekaguman.
Lambat akan tetapi pasti, Cui Giok mendesak lawannya dan kini seruan-seruan yang keluar dari mulut Badasingh adalah seruan-seruan kaget bercampur marah. Ia hanya dapat memutar rantai melindungi dirinya sambil mundur, akan tetapi masih saja ujung pedang Cui Giok berhasil melukai lengan kiri dan kulit lehernya.
Cui Giok makin bersemangat. Ia benci kepada raksasa hitam ini karena tadi melihat dengan jelas betapa raksasa hitam ini bermaksud keji terhadap dua orang gadis itu, dan hal ini memang amat dibenci oleh Cui Giok. Dengan dada penuh nafsu membunuh, ia terus mendesak dan menindih senjata lawan tanpa memberi kesempatan sama sekali kepada raksasa itu untuk balas menyerang atau melarikan diri.
Badasingh bingung sekali. Ia mundur terus dan kini ia telah mendekati guha Kilin di dalam mana terdapat jurang yang mengerikan dan gelap itu. Tiba-tiba Badasingh yang sudah tak tahan lagi menghadapi desakan sepasang pedang di tangan Cui Giok, melompat mundur ke dalam guha. Cui Giok masih sempat mengirim tusukan yang mengenai pahanya sehingga Badasingh menjerit kesakitan lalu melompat ke dalam mulut guha Kilin.
Cui Giok masih merasa penasaran dan cepat melompat pula ke dalam guha yang gelap.
"Awas, jangan masuk ........!!!"
Kui Hwa dan Tin Eng menjerit hampir berbareng. Akan tetapi Cui Giok yang tidak tahu akan adanya bahaya di dalam guha, sudah melompat ke dalam dan terdengarlah jerit gadis itu mengerikan sekali ketika tubuhnya melayang ke bawah jurang yang amat gelap.
Ternyata bahwa Badasingh telah menggunakan akal memancing lawannya. Ia tahu bahwa di dalam guha itu hanya terdapat sebuah tempat di sebelah kanan, maka ketika ia melompat ke dalam guha yang gelap, ia melompat ke sebelah kanan, di atas batu karang yang lebarnya hanya satu kaki itu. Akan tetapi Cui Giok yang tidak tahu akan hal ini, langsung melompat dan ..... terjerumus ke dalam sumur atau jurang itu.
Setelah gema jeritan Cui Giok itu lenyap, terdengar gema suara ketawa Badasingh yang bergelak-gelak dari dalam guha. Kui Hwa dan Tin Eng tadinya menutupi kedua matanya dengan tangan karena merasa ngeri, kini mereka menjadi marah sekali. Tin Eng dengan pedang ditangan melangkah maju dan memaki,
"Siluman jahanam! Aku harus mengadu nyawa denganmu!"
Ia hendak nekad dan menyerang raksasa itu, akan tetapi Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok memegang tangannya dan menariknya pergi dari situ.
"Adik Tin Eng, tak perlu membuang nyawa dengan sia-sia. Kita berempat bukanlah lawan siluman itu."
"Tidak, tidak! Aku harus membalas kematian penolong kita itu!"
Kata Tin Eng sambil menangis. Akan tetapi Kui Hwa yang juga mengucurkan airmata itu memeluk dan menariknya dengan paksa.
Demikianlah keempat orang itu dengan hati sedih sekali turun dari gunung. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya Badasingh telah terluka berat juga di pahanya sehingga kalau mereka nekad menyerbu, belum tentu raksasa itu akan dapat mempertahankan dirinya.
Sampai merah kedua mata Tin Eng dan Kui Hwa menangisi nasib Cui Giok, gadis penolong yang belum mereka ketahui siapa namanya itu. Mereka tidak berdaya dan tak dapat berbuat lain kecuali menanti datangnya Gwat Kong. Mereka tidak tahu dimana adanya Gwat Kong, karena nona yang katanya mewakili Gwat Kong itu tak sempat memberi penjelasan sesuatu kepada mereka.
"Lebih baik kita menanti saja di sini sampai datangnya Kang-lam Ciu-hiap,"
Kata Pui Kiat.
"Ku rasa betapapun juga dia tentu akan datang di sini!"
Karena tidak mendapat jalan lain, kawan-kawannya menyatakan setuju dan untuk menghibur hati mereka yang ruwet, mereka menuju ke kota Thay-liok-kwan tak jauh dari situ. Kota ini letaknya di tepi pantai sungai dan menjadi pusat keramaian yang cukup menarik. Di tepi-tepi sungai terdapat perahu-perahu besar yang dipergunakan untuk orang berpelesir di sepanjang tepi sungai, bahkan ada beberapa perahu besar yang dipergunakan sebagai restoran dimana orang dapat naik perahu sambil memesan makanan.
Ketika empat orang muda itu sedang berjalan-jalan di dekat sungai sambil melihat-lihat perahu yang dicat indah, tiba-tiba terdengar seruan orang,
"Omitohud, alangkah cantik-cantiknya!"
Mereka segera menengok ke belakang dan melihat seorang hwesio muda yang kepalanya gundul sedang memandang kepada Tin Eng dan Kui Hwa dengan mata yang kurang ajar dan mulut menyeringai. Tin Eng dan Kui Hwa hendak marah, akan tetapi Pui Kiat mengedipkan mata mencegah mereka mencari keributan di tempat itu. Dengan hati sebal mereka lalu naik ke perahu restoran mengambil tempat (Lanjut ke Jilid 19)
Pendekar Pemabuk/Kanglam Tjiu Hiap (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 19
duduk dan memesan makanan.
Akan tetapi, baru saja makanan yang mereka pesan itu dikeluarkan, tiba-tiba perahu itu menjadi miring dan para pelayan berteriak-teriak bingung. Ketika keempat orang muda itu memandang keluar, ternyata hwesio kurang ajar itu dan sungguh mengherankan karena biarpun tubuhnya tidak berapa besar dan ia berjalan dengan perlahan namun perahu itu miring dan bergoyang-goyang seakan-akan ada seekor gajah yang berjalan di situ.
Diam-diam keempat orang muda itu terkejut sekali. Terang sekali bahwa hwesio itu mendemonstrasikan ilmu Jian-kin-cui (tenaga seribu kati) untuk membuat tubuhnya menjadi berat. Akan tetapi, empat orang muda itu maklum bahwa kalau tidak mempunyai ilmu tinggi, tak mungkin dapat membuat perahu besar menjadi miring dan bergoyang-goyang.
Sambil tertawa-tawa hwesio itu sengaja memilih meja di dekat empat orang muda itu dan duduk dengan mulut menyeringai dan lagak sombong lalu pesan makanan dan arak kepada pelayan. Tentu saja keempat orang muda itu merasa sebal dan mendongkol sekali.
Akan tetapi oleh karena hwesio itu tidak melakukan sesuatu, mereka tidak mempunyai alasan untuk menyatakan kedongkolan hati. Apalagi mereka maklum bahwa hwesio itu berkepandaian tinggi, maka lebih baik tidak mencari permusuhan dengan hwesio yang aneh ini.
Hwesio ini bukan lain ialah Tong Kak Hwesio, murid dari Lo Han Cinjin tokoh Kun-lun-pai itu, dan hwesio inilah yang pernah bertempur dan dikalahkan oleh Cui Giok. Ia pernah menjadi murid tersayang dari Lo Han Cinjin dan mempelajari ilmu silat Kun-lun-pai yang tinggi. Akan tetapi karena pada suatu hari ia mengganggu gadis kampung, ia mendapat marah besar dari suhunya dan kemudian diusir dan tidak diakui lagi menjadi murid kakek sakti itu.
Di dalam perantauannya, Tong Kak Hwesio bertemu dengan Liok-taijinpm dan menjadi sahabat baik dari Ang-sun-tek. Karena tahu bahwa hwesio ini selain mata keranjang juga mata duitan serta memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Ang-sun-tek lalu mempergunakan tenaganya dan ketika ia sedang berusaha mencari tahu tentang rahasia peta harta terpendam di Hong-san itu, dari Tin Eng dengan perantara Liok-taijin.
Ia lalu minta pertolongan Tong Kak Hwesio untuk berangkat terlebih dahulu ke Hong-san dan menyelidiki keadaan murid-murid Hoa-san-paiyang telah berangkat ke tempat itu. Ang-sun-tek khawatir kalau-kalau murid-murid Hoasan itu mendahului mendapatkan harta itu.
Demikianlah, pada hari itu Tong Kak Hwesio bertemu dengan bekas suhunya bersama murid kecil suhunya itu yang hendak diganggunya sehingga ia bertempur dengan Cui Giok. Setelah ia dikalahkan, ia berlari cepat menuju ke Hong-san. Ia mencari-cari di sekeliling tempat itu. Akan tetapi ia tidak melihat murid-murid Hoa-san-pai, oleh karena pada waktu itu, Kui Hwa dan kawan-kawannya sedang bertempur melawan Badasingh di puncak Hong-san. Setelah Cui Giok terjerumus ke dalam jurang dan keempat orang muda itu turun gunung, barulah Tong Kak Hwesio melihat mereka sehingga ia menjadi girang sekali.
Tong Kak Hwesio memang mata keranjang dan mempunyai watak yang amat sombong dan mengagulkan kepandaiannya sendiri. Maka begitu melihat empat orang muda itu ia lalu mendekati mereka dengan terang-terangan. Kui Hwa dan kawan-kawannya tidak mau meladeninya, hanya makan dengan diam-diam saja dan cepat-cepat.
Setelah selesai mereka tanpa banyak cakap lalu meninggalkan perahu itu dan turun ke darat. Agaknya Tong Kak Hwesio maklum bahwa mereka merasa mendongkol kepadanya maka ia hanya makan minum sambil tertawa-tawa. Ia tidak mau turun tangan, oleh karena Ang-sun-tek hanya pesan agar supaya mengikuti dan menyelidiki keadaan mereka dan jangan mengganggu mereka sebelum melihat bahwa mereka telah mendapatkan harta pusaka itu.
Kui Hwa, Tin Eng dan kedua saudara Pui itu berjalan-jalan dengan hati rusuh dan bingung. Gwat Kong yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Dalam kesempatan ini, Kui Hwa bertanya tentang Gwat Kong kepada Tin Eng yang segera menceritakan riwayat Gwat Kong.
"Enci Kui Hwa, harap kau jangan kaget mendengar siapa adanya Gwat Kong itu. Karena ia telah bercakap-cakap dengan aku tentang dirimu dan berbeda dengan kebiasaan umum, pemuda itu sama sekali tidak mengandung hati dendam kepadamu."
Kui Hwa terkejut sekali dan memandang kepada kawannya dengan alis berkerut.
"Apa maksudmu, adik Tin Eng?"
"Enci Hwa, bukankah kau puteri tunggal dari mendiang Tan-wangwe yang tinggal di Lam-hwat?"
Kui Hwa mengangguk dengan heran.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang mendiang ayahku?"
"Gwat Kong yang menceritakannya kepadaku. Kau kenal atau pernah mendengar pembesar di Lam-hwat itu yang bernama Bun-tihu? Tentu kau tahu pula akan permusuhan yang terjadi antara ayahmu dengan Bun-tihu?"
Kui Hwa menghela napas panjang.
"Aku tidak tahu jelas. Memang aku tahu bahwa mendiang ayahku pernah melakukan sesuatu dosa terhadap Bun-tihu, karena sebelum meninggal dunia, ayah seringkali menyebut-nyebut nama Bun-tihu. Akan tetapi entah dosa apa yang diperbuatnya. Hanya setelah ayah menutup mata, beberapa kali ada orang datang menyerang rumah ayah dan mereka itu semua terpaksa ku lawan dan aku usir. Memang aku selalu masih memikirkan mengapa ayah dimusuhi orang-orang kang-ouw, sedangkan ibu juga tidak memberi keterangan sesuatu. Ada hubungan apakah hal ini dengan diri Gwat Kong?"
Tin Eng mengangguk-angguk.
"Kalau begitu, kau sama sekali belum tahu tentang peristiwa itu, cici. Karena kita sudah menjadi kawan baik, maka tiada salahnya kalau aku menuturkannya kepadamu. Akan tetapi harap kau jangan salah duga, karena aku sependapat dengan Gwat Kong, yaitu bahwa perbuatan-perbuatan orang tua tiada sangkut pautnya dengan keturunannya."
Kui Hwa mendengarkan dengan wajah berubah agak pucat.
"Ceritakanlah, adikku."
"Menurut penuturan yang kudengar, ayahmu dahulu adalah seorang hartawan besar dan pada suatu hari, ayahmu berurusan dengan para petani karena berebut tanah. Yang menjadi tihu ketika itu adalah Bun-tihu dan di dalam pemeriksaan pengadilan akhirnya Bun-tihu menangkan para petani itu. Ayahmu di denda dan tanah yang diperebutkan itu harus diberikan kepada para petani.
Hal ini agaknya membuat ayahmu marah sekali. Tak lama kemudian serombongan pencuri mengganggu Lam-hwat dan mereka ini bahkan berani mencuri cap kebesaran dari pembesar tinggi. Seorang di antaranya tertangkap. Dalam pengakuannya ia menyatakan bahwa pemimpin rombongan pencuri itu adalah .... Bun-tihu itulah. Sebagai buktinya, di dalam kamar Bun-tihu itu, ketika dilakukan penggeledahan, ditemukan cap kebesaran yang tercuri itu.
Kui Hwa mendengarkan dengan mata terbelalak.
"Dan kau bilang bahwa semua itu adalah tipu muslihat mendiang ayahku?"
Tanyanya dengan bibir gemetar.
"Sabar, cici! Aku sih tidak bisa berkata apa-apa, karena ketika hal itu terjadi, aku mungkin masih orok dan berada di pangkuan ibuku. Sekarang baik kulanjutkan cerita ini. Bun-tihu ditangkap dan harta bendanya dirampas. Karena merasa malu atas peristiwa ini, Bun-tihu lalu membunuh diri dalam tahanan!"
"Kasihan!"
Kata Kui Hwa.
"Ia mati dalam penasaran kalau memang betul ia tidak melakukan kejahatan itu."
"Semua penduduk Lam-hwat menyintai Bun-tihu dan tahu bahwa selama menjadi pembesar, Bun-tihu terkenal adil. Maka biarpun ada pengakuan maling itu, hampir semua orang tidak dapat percaya akan hal itu,"
Kata Tin Eng.
"Setelah Bun-tihu membunuh diri, maka isterinya yang sudah jatuh miskin, lalu pergi bersama seorang puteranya, mengembara dan hidup sengsara sampai tiba masanya ia meninggalkan dalam keadaan amat menderita."
"Aduh, benar-benar kasihan nasibnya. Kalau memang ayah yang melakukan fitnah, amat besar dosa yang diperbuat oleh mendiang ayah!"
Kata Kui Hwa dengan terharu.
"Nah, demikianlah ceritanya. Dan tentu kau dapat menduga, bahwa putera Bun-tihu itu bukan lain ialah Bun Gwat Kong sendiri yang semenjak kecil hidup terlunta-lunta sebagai anak yatim piatu. Kemudian ia menjadi pelayan dari ayah. Kami menganggap ia seorang pelayan biasa dan aku ... aku bahkan memperlakukan secara sewenang-wenang. Siapa tahu bahwa dia adalah pendekar perkasa yang berilmu tinggi!"
Menutur sampai di sini, tiba-tiba Tin Eng menjadi terharu karena teringat akan kasih sayang pelayan itu kepadanya. Ia menggunakan sapu tangannya untuk mencegah runtuhnya dua butir air mata.
Kui Hwa menarik napas panjang berulang-ulang.
"Dan dia tidak menaruh hati dendam kepadaku?"
Tanyanya.
TIN Eng menggelengkan kepala.
"Dia sudah bicara dengan aku tentang hal ini. Memang tadinya mendendam kepada ayahmu, bahkan sudah mencari ke Lam-hwat untuk membalas dendam. Akan tetapi ia mendengar bahwa ayahmu telah meninggal dunia maka ia menghabiskan urusan itu sampai di situ saja dan biarpun ia ingin bertemu dengan kau untuk menguji kepandaian, akan tetapi ia sama sekali tidak merasa sakit hati kepadamu."
"Biarlah, biar dia mendendam kepadaku. Biar kalau dia datang nanti, kami bertempur untuk menentukan kemenangan. Aku tidak menyesal mati di ujung pedangnya kalau memang ayah bersalah!"
Tin Eng memegang tangan Kui Hwa.
"Cici, jangan kau berkata demikian. Apakah kau hendak memperbesar dosa yang telah dilakukan oleh mendiang ayahmu? Gwat Kong tidak mendendam kepadamu. Apakah kau bahkan hendak memusuhinya, setelah ayahmu mencelakakan ayahnya?"
Kui Hwa berdiri dengan muka pucat.
"Tin Eng ...!! Benar-benarkah ayah melakukan fitnahan keji itu?"
Tin Eng menghela napas.
"Apa yang harus kukatakan? Itu memang kenyataan, cici Hwa. Hampir semua penduduk Lam-hwat mengetahui hal itu. Ayahmu telah menyewa penjahat-penjahat untuk memfitnah Bun-tihu. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik membicarakan kesalahan orang yang telah meninggal. Apalagi kalau orang itu, ayahmu sendiri."
Kui Hwa berdiri bagaikan patung, dadanya turun naik dan kedua matanya basah,
"Ayah ..... kau yang berdosa .... aku, anakmu yang terhukum ...,"
Bisiknya perlahan.
Tin Eng memeluknya dan kedua orang gadis itu sama-sama mengeluarkan air mata. Tin Eng maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Kui Hwa adalah peristiwa yang menimpa dirinya karena perbuatan Gan Bu Gi. Sungguhpun ia belum tahu dengan jelas apakah yang terjadi antara kedua orang itu.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan orang dan keadaan menjadi amat ribut.
"Penculik .....!!! Tangkap ... tangkap ..!!"
Orang-orang berlari-lari membawa senjata dan ketika Kui Hwa dan Tin Eng menengok dan berlari ke tempat itu, diikuti oleh Pui Kiat dan Pui Hok yang juga telah mendengar suara ribut-ribut itu. Mereka berempat melihat bayangan hitam yang amat tinggi besar berlari memanggul seorang wanita muda yang menjerit-jerit
"Badasingh ...!!"
Seru Kui Hwa dan kawan-kawannya.
Ternyata bahwa yang menculik wanita muda itu benar-benar adalah raksasa hitam di puncak Hong-san itu. Sedangkan keempat pendekar muda itu sendiri tak berdaya menghadapi Badasingh, apalagi penduduk kota itu. Mereka hanya dapat berteriak-teriak, akan tetapi gerakan Badasingh yang amat cepat itu hampir tak terlihat oleh mata mereka. Mereka hanya melihat bayangan hitam berkelebat cepat dan mendengar jerit tangis wanita yang terculik itu.
"Celaka! Si bedebah itu telah berani turun gunung untuk menculik wanita!"
Kata Pui Kiat.
"Apa yang kita harus lakukan?"
Tanya Pui Hok dengan muka pucat.
"Kejar dia dan tolong wanita itu!"
Tin Eng dan Kui Hwa berkata berbareng sambil mencabut senjata masing-masing.
Akan tetapi, Pui Kiat menggelengkan kepala.
"Dia bukan lawan kita, akan sia-sia saja. Wanita itu tidak akan tertolong, bahkan kita sama dengan mengantar nyawa!"
"Habis apakah kita harus diam berpeluk tangan saja melihat kejahatan ini?"
Kata Tin Eng dengan penasaran.
Tiba-tiba Kui Hwa teringat akan sesuatu dan berkata.
"Ah, mengapa aku begitu bodoh? Menanti kedatangan Kang-lam Ciu-hiap belum tentu kapan? Dan kalau didiamkan saja, kasihan nasib wanita itu. Mengapa kita tidak minta pertolongan Huang-ho Sam-kui? Mereka cukup gagah dan dengan tenaga kita ditambah lagi dengan mereka bertiga, mustahil kita takkan dapat binasakan siluman itu, menolong wanita tadi!"
Kawan-kawannya teringat pula akan hal ini. Mengapa tidak Huang-ho Sam-kui? Sungguhpun kepala-kepala bajak, akan tetapi telah mereka kenal baik setelah mereka bertempur. Dan agaknya kalau mereka datang minta pertolongan mereka takkan menolak.
Diam-diam dengan cepat mereka berempat lalu berlari menuju ke hutan yang dijadikan sarang para bajak itu.
Kedatangan mereka disambut oleh para bajak dengan penuh kecurigaan. Mereka itu masih teringat kepada empat orang muda yang dahulu pernah mengamuk. Akan tetapi dengan cepat Kui Hwa berkata,
"Kami ingin bertemu dengan pemimpin-pemimpinmu. Di manakah adanya Huang-ho Sam-kui? Beritahukan bahwa kami datang untuk sesuatu yang amat penting.
Para bajak itu memberi laporan dan tak lama kemudian muncullah tiga orang kepala bajak itu. Huang-ho Sam-kui yang gagah, dan tidak ketinggalan mereka membawa senjata dayung mereka yang lihai.
Melihat kedatangan empat orang muda ini, mereka bertiga menjura dan Louw Tek yang tertua berkata,
"Saudara-saudara yang gagah mengunjungi tempat kami, ada maksud apakah?"
"Sam-wi Tay-ong,"
Kata Kui Hwa dengan cepat.
"Kami datang untuk minta pertolongan dari sam-wi yang gagah perkasa. Baru saja terjadi hal yang membutuhkan pertolongan kita, dan karena kami berempat merasa tidak kuat menghadapi lawan yang amat tangguh, maka sengaja datang mohon bantuan."
Dengan singkat ia lalu menceritakan tentang penculikan wanita yang dilakukan oleh Badasingh itu. Mendengar ini, ketiga bajak sungai itu saling pandang dengan muka berobah.
"Jadi siluman barat itu kini berada di puncak Hong-san?"
"Sam-wi sudah mengenal siluman itu?"
"Siapa yang tidak mengenal Badasingh, siluman hitam dari barat yang amat jahat dan lihai itu? Beberapa tahun yang lalu, pernah ia membuat geger di daerah ini dan tak seorangpun dapat melawannya karena ia memang amat lihai.
"Kalau begitu tentu Sam-wi suka membantu kami untuk menggempur dan membinasakannya,"
Kata Kui Hwa.
Louw Tek mengangguk-angguk.
"Memang semenjak mendengar namanya, kami bertiga ingin sekali bertemu dengan siluman itu dan membunuhnya. Akan tetapi telah bertahun-tahun ia tidak muncul, agaknya kembali ke barat. Sekarang setelah ia muncul kembali, sudah tentu kami akan berusaha membunuh atau mengusirnya. Apalagi mendapat bantuan saudara-saudara berempat yang gagah."
"Kalau begitu mari kita berangkat!"
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seru Tin Eng.
"Kasihan wanita itu!"
Untuk mempercepat perjalanan, Huang-ho Sam-kui mengajak empat orang muda itu untuk menggunakan sebuah perahu besar. Dengan lajunya perahu itu meluncur menuju ke Hong-san. Setelah tiba di kaki bukit itu, mereka mendarat dan segera berlari-lari ke atas bukit.
Mereka tidak melihat raksasa hitam itu di depan guha Kilin dan selagi mereka menduga-duga, tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita dari sebuah guha di dekat guha Kilin. Cepat-cepat mereka lalu berlari memburu ke tempat itu.
Dengan penerangan cahaya matahari yang menyinari guha itu, mereka dapat melihat betapa wanita yang terculik tadi meringkuk di sudut guha dalam keadaan ketakutan bagaikan seekor kelinci yang tersasar memasuki lobang harimau. Sedangkan si raksasa hitam sambil tertawa-tawa girang duduk memandang wanita itu dan tangan kanannya memegang seguci arak yang tadi dirampoknya dari kota bersama dengan wanita muda itu.
"Badasingh, siluman jahat! Keluarlah untuk menerima binasa!"
Kui Hwa berseru keras sambil mengacung-ngacungkan pedangnya.
Melihat kedatangan orang-orang yang mengganggu kesenangannya itu, Badasingh mengeluarkan gerengan marah dan keluarlah ia sambil menyeret rantai bajanya.
"Tin Eng, kaulah yang bertugas menolong wanita itu apabila siluman itu telah bertempur dengan kami dan bawa wanita itu keluar guha dan suruh dia turun gunung lebih dulu,"
Kui Hwa berbisik.
Badasingh benar-benar marah ketika melihat bahwa di antara tujuh orang yang datang itu, yang empat adalah orang-orang yang dulu pernah dikalahkannya. Ia tertawa bergelak dan berkata kepada Kui Hwa,
"Apakah kau datang hendak menemani aku? Bagus, bagus!"
"Bangsat rendah!"
Kui Hwa memaki marah dan segera memberi tanda kepada kawannya yang menyerang maju berbareng.
"Kalian mencari mampus!"
Badasingh membentak keras dan menggerakkan rantai bajanya bagaikan kitiran.
Kui Hwa, Pui Kiat, Pui Hok dan ketiga Huang-ho Sam-kui lalu menyambutnya, sedangkan Tin Eng segera melompat masuk ke dalam guha untuk menolong wanita itu. Melihat hal ini, Badasingh berseru keras dan hendak mengejar. Akan tetapi keenam orang lawannya menggerakkan senjata dan menghalanginya mengejar Tin Eng.
Bukan main marahnya Badasingh dan segera mainkan rantainya makin cepat dan keras pula sehingga enam orang pengeroyoknya terpaksa berlaku amat hati-hati. Huang-ho Sam-kui dengan berbareng memukulkan dayungnya yang besar. Akan tetapi dengan mudah saja tiga dayung itu ditangkis oleh rantai baja sehingga terdengar suara keras dan bunga-bunga api beterbangan ke atas.
Dayung dari Huang-ho Sam-kui itu bukanlah dayung biasa terbuat daripada kayu, akan tetapi adalah dayung istimewa yang terbuat dari baja tulen. Karena memang bukan dayung yang dibuat untuk keperluan mendayung perahu, akan tetapi khusus untuk senjata mereka.
Pertempuran berjalan amat serunya dan biarpun dikeroyok enam orang yang kepandaiannya tidak rendah, namun Badasingh dapat mempertahankan diri dengan baik. Bahkan ia dapat membalas dengan serangan-serangan yang sekali saja mengenai tubuh lawan tentu akan mendatangkan bahaya maut.
Sementara itu, Tin Eng sudah berhasil menolong wanita itu keluar guha. Akan tetapi oleh karena ia amat lemah sehingga tidak dapat turun gunung seorang diri, pula amat ketakutan setelah mengalami peristiwa hebat yang menimpa dirinya, terpaksalah Tin Eng mengantarnya turun dari puncak dan melepaskan di lereng, menyuruh perempuan itu pulang seorang diri. Kemudian Tin Eng berlari naik lagi ke puncak untuk membantu kawan-kawannya.
Dengan datangnya Tin Eng maka kini Badasingh dikeroyok tujuh. Akan tetapi raksasa hitam ini makin marah melihat betapa korbannya ditolong Tin Eng. Maka sambil putar-putarkan rantai bajanya, ia berseru kepada Tin Eng,
"Kau melepaskannya? Baik, sekarang kaulah penggantinya!"
Setelah berkata demikian, dengan amat cepat dan nekad ia menyerbu ke depan tiba-tiba menyambar ke bawah dan tangan kirinya telah mencengkram beberapa potong batu karang campur debu yang segera dilontarkan ke arah pengeroyoknya. Kui Hwa dan kawan-kawannya terkejut sekali dan cepat mengelak sambil memutar senjata untuk menangkis sambitan itu.
Akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya dan tidak tersangka-sangka, Badasingh menggulingkan dirinya di atas tanah ke arah Tin Eng dan sebelum gadis itu dapat mengelak, ia telah dapat memegang kaki kiri Tin Eng dan menariknya ke bawah sehingga gadis itu terguling di atas tanah.
"Ha ha ha! Kau menjadi penggantinya!"
Seru Badasingh dengan liar sambil mengulurkan tangan hendak memeluk tubuh dara itu.
Bukan main terkejutnya Tin Eng mengalami bahaya ini dan Louw Tek yang berdiri terdekat dengan raksasa itu lalu mengayunkan dayungnya menghantam punggung Badasingh.
"Bukkk!!"
Alangkah terkejutnya hati Louw Tek ketika pukulannya itu seakan-akan mengenai karet saja dan dayungnya terpental kembali. Ternyata raksasa hitam itu amat lihai dan dapat mengerahkan tenaga dalam untuk menerima pukulan ini.
Sungguhpun pukulan itu tidak mencelakakannya, akan tetapi tenaga Louw Tek cukup keras untuk membikin punggungnya terasa sakit, maka pegangannya pada kaki Tin Eng mengendur dan ia menggereng marah. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tin Eng untuk membetot kakinya sehingga terlepas dan ia lalu melompat cepat ke belakang. Keringat dingin menitik turun dari jidat Tin Eng karena ia merasa terkejut, takut dan ngeri menghadapi lawan yang luar biasa tangguh dan kejamnya ini.
Kembali tujuh orang itu mengepung Badasingh. Raksasa hitam ini merasa kewalahan juga menghadapi tujuh orang pengeroyoknya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, maka ia lalu melompat ke belakang dan berlari. Pengeroyoknya mengejar dengan marah, akan tetapi raksasa itu lalu melompat masuk ke dalam guha Kilin yang gelap.
"Sam-wi Tay-ong, jangan memasuki guha itu!"
Kui Hwa memperingatkan Huang-ho Sam-kui, karena ia takut kalau-kalau ketiga orang ini akan mengalami nasib seperti Cui Giok.
Tin Eng yang masih merasa gemas dan marah karena tadi hampir saja menderita malu dan celaka, segera mengeluarkan piauwnya dan ketika tangannya bergerak tiga batang piauw menyambar ke dalam guha yang gelap. Akan tetapi, hanya terdengar suara ketawa mengejek dari dalam guha dan tiba-tiba dari dalam guha itu melayang keluar batu-batu karang kecil, yang disambitkan dengan menggunakan tenaga luar biasa besarnya. Batu-batu itu menyambar ketujuh orang itu dengan kecepatan luar biasa sehingga mereka menjadi terkejut dan buru-buru melompat jauh.
"Tidak ada gunanya!"
Kata Kui Hwa.
"Kedudukannya di dalam guha yang gelap itu amat menguntungkannya. Kita hanya dapat menyerang dengan ngawur karena tidak melihat di mana ia berada. Akan tetapi ia dapat melihat kita dengan mudah dan dapat menyerang lebih baik!"
Baru saja ia habis bicara, kembali melayang keluar banyak batu-batu karang bagaikan hujan lebat sehingga terpaksa ketujuh orang itu melarikan diri dari situ dan bersembunyi di balik batu-batu karang yang besar dan banyak terdapat di tempat itu.
"Bagaimana sekarang?"
Tanya Tin Eng dengan hati bingung dan cemas. Ia teringat akan nasib dara pendekar yang kini terjerumus ke dalam jurang. Bagaimanakah nasib pendekar wanita yang dulu menolong mereka itu? Sudah empat hari gadis itu terjerumus ke dalam jurang dan tidak diketahui bagaimana nasibnya, entah hidup entah mati. Tak terasa pula kembali airmata Tin Eng keluar ketika ia teringat akan nasib gadis yang menolongnya itu.
"Perempuan yang terculik sudah tertolong,"
Kata Louw Tek.
"Untuk apa lagi kita berada lebih lama di tempat berbahaya ini? Badasingh benar-benar tangguh dan setelah kini ia bersembunyi di dalam guha, lebih baik kita pulang saja. Tanpa ada sebab yang penting kurasa tiada gunanya kita bermusuhan dengan seorang liar dan lihai seperti dia!"
Setelah berkata demikian, Louw Tek mengajak kedua adiknya pergi dari tempat itu. Kui Hwa dan kawan-kawannya hanya dapat menghaturkan terima kasih atas bantuan mereka. Tentu saja Kui Hwa tak dapat menceritakan tentang alasan mereka memusuhi Badasingh, karena dengan demikian berarti bahwa ia harus membuka rahasia tentang harta pusaka itu. Berbahayalah menceritakan berita tentang adanya harta pusaka kepada orang-orang seperti Huang-ho Sam-kui yang menjadi kepala bajak dan hal ini hanya akan menambah jumlahnya musuh atau saingan saja.
Dengan hati amat berat, keempat orang muda itupun turun dari Hong-san. Harapan mereka satu-satunya tinggal Gwat Kong dan mereka hanya bisa menanti kedatangan pendekar muda itu.
Ketika mereka turun dari Hong-san, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang berkelebat, dan bukan main cemas hati mereka melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah hwesio muda yang selalu mengikuti mereka.
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo