Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pemabuk 4


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



Akan tetapi ketika Gwat Kong melepaskan tangan kanan yang tadi dipegangnya, A Sam dengan nekad lalu menggunakan tangan yang masih dapat bergerak ini untuk menyerang lagi! Terpaksa Gwat Kong mempergunakan kecepatannya dan menotok pundak kanan lawannya sehingga kini Gui A Sam berdiri dengan dua lengan tergantung tak berdaya sama sekali.

   Akan tetapi ternyata keberanian orang ini hebat sekali. Dengan kedua mata melotot ia memandang pemuda itu dan berkata.

   "Telah dua kali aku dikalahkan oleh orang-orang pembela anjing setan itu, maka kalau kau mau bunuh boleh bunuh! Aku takkan malu menghadapi Bun-tihu, karena aku telah menunaikan tugasku dengan baik dan sebagai seorang gagah!"

   Hampir saja Gwat Kong menjerit ketika ia mendengar ini. Wajahnya menjadi pucat dan ia memandang orang itu dengan mata terbelalak.

   "Apa katamu? Kau kenal kepada Bun-tihu? Siapakah kau sebenarnya?"

   Sambil mengangkat dadanya, A Sam menjawab.

   "Aku tidak takut mengaku terus terang, karena aku tidak takut mati! Ketahuilah, hai anak muda keponakan anjing rendah Tan-wangwe, aku adalah perwira kepala penjaga dari Bun-tihu yang adil dan jujur. Pamanmu yang jahat itu telah berhasil menghancurkan keluarga Bun bahkan akupun telah menderita cacat, akan tetapi, nama keluargamu akan busuk selama-lamanya dan akan dikutuk oleh setiap orang!"

   Bukan main girang hatinya ketika mendengar ini. Gwat Kong lalu menghampiri dan berkata.

   "Sahabat baik, kau lupa tadi dan belum bertanya namaku."

   "Aku tak perlu mengetahui nama segala anjing keluarga Tan-wangwe!"

   "Juga tidak perduli kalau aku memberi tahu padamu bahwa namaku sama sekali bukan Tan, akan tetapi aku sebenarnya bernama Bun Gwat Kong?"

   Sambil berkata demikian secepat kilat kedua tangan Gwat Kong bergerak ke arah pundak A Sam dan totoknya telah dibebaskan dari tubuh orang kasar itu.

   Sementara itu, Gui A Sam memandang kepada Gwat Kong dengan wajah pucat dan bengong, seakan-akan ia melihat setan pada siang hari.

   "Bun Gwat Kong ...?? Akan tetapi ... bukankah kau tadi mencari Tan-wangwe dan hendak bertemu dengannya ....?"

   Gwat Kong tersenyum dan mengangguk.

   "Aku memang mencarinya dan hendak bertemu dengannya untuk membuat perhitungan dan membalas dendam orang tuaku."

   Tiba-tiba Gui A Sam mengeluarkan keluhan seperti orang menangis dan ia menjatuhkan dirinya dan berlutut di depan Gwat Kong.

   "Bun-kongcu ... ah. Kau masih kecil sekali ketika peristiwa itu terjadi ... bagaimana dengan ... Bun-hujin, ibumu?"

   Gwat Kong dengan hati terharu mengangkat bangun laki-laki tinggi besar itu dan berkata.

   "Ibu telah meninggal dunia kurang lebih lima tahun yang lalu. Gui-pepeh, di manakah sebenarnya tempat tinggal si keparat she Tan itu?"

   "Duduklah kongcu, marilah kita duduk. Kepalaku masih pening karena kenyataan yang tiba-tiba ini, dan ilmu silatmu yang hebat itu benar-benar membuat aku tak mengerti. Bagaimana kau dalam sejurus saja dapat mengalahkan aku! Hebat sekali! Ah, alangkah girangnya hati Bun-taijin kalau dapat melihatmu, putera tunggalnya yang kini menjadi seorang gagah ini. Dan ingin sekali melihat muka si keparat she Tan itu kalau ia masih dapat merasakan kehebatan pembalasanmu!"

   "Apa? Dia sudah tidak ada lagi?"

   Tanya Gwat Kong dengan kaget dan kecewa.

   Gui A Sam menarik napas panjang lalu menuturkan bahwa semenjak dapat memfitnah keluarga Bun sehingga keluarga itu menjadi hancur berantakan, hartawan Tan menjadi buruk sekali namanya. Biarpun ia hartawan besar dan berpengaruh, akan tetapi oleh karena seluruh penduduk Lam-hwat yang amat mencintai Bun-tihu, sekarang membencinya dan bahkan beberapa orang berusaha membunuhnya, akhirnya Tan-wangwe tidak betah tinggal di kota itu lalu pindah ke Kang-lam. Gui A Sam sendiri yang tadinya bekerja sebagai kepala pengawal dari Bun-tihu, mencoba untuk membalas dendam, akan tetapi bukan berhasil baik, bahkan ia mendapat luka hebat pada kakinya sehingga ia menjadi pincang.

   Ternyata beberapa tahun kemudian setelah pindah ke Kang-lam, Tan-wangwe yang bernama Tan Kia Swi itu meninggal dunia karena sakit dan isterinya pun meninggal dunia tak lama kemudian.

   Pada waktu itu di Kang-lam menjalar penyakit menular yang hebat dan agaknya hartawan yang jahat itu telah terlampau banyak menumpuk dosa hingga biarpun ia dilindungi oleh para pengawal yang berkepandaian tinggi dan memiliki banyak sekali harta benda yang dapat melindunginya pula dari musuh-musuhnya, karena dengan jalan menyuap para pembesar ia mendapat pengaruh dan kekuasaan besar, namun akhirnya Thian yang membalas dan menghukumnya.

   Gwat Kong menarik napas panjang.

   "Kalau begitu, sia-sialah saja cita-citaku untuk membalas dendam."

   "Tidak, kongcu, masih ada yang harus dibalas!"

   Kata Gui A Sam dengan suara keras menyatakan kegemasan hatinya.

   "Hartawan Tan itu mempunyai seorang turunan, seorang anak perempuan, dan dia ini harus dibinasakan sebagai pengganti ayahnya!"

   Bun Gwat Kong memandang A Sam dengan mata heran dan tidak setuju.

   "Ayahnya yang berbuat salah, mengapa harus mengganggu anaknya yang tidak berdosa?"

   "Kau keliru, Bun-kongcu! Ketika hartawan Tan itu mencelakakan ayahmu, maka yang menderita bukan hanya ayahmu, bahkan banyak sekali para pelayan dan pekerja ayahmu ikut pula menderita. Oleh karena setelah ayahmu diganti oleh seorang tihu lain yang curang dan suka makan uang sogokan, maka keadilan boleh dibilang tidak ada arti di Lam-hwat. Siapa beruang dia menang dalam segala perkara. Maka sudah sepatutnya kalau keparat she Tan itu pun dibinasakan seluruh keturunan dan keluarganya agar habislah riwayatnya yang busuk. Orang sejahat dia tentu mempunyai anak yang jahat pula!"

   Gwat Kong tersenyum dan berkata.

   "Aku belum yakin benar tentang kebenaran pendapatmu ini, Gui-pehpeh."

   "Apa? Belum yakin? Akan tetapi sudah ada buktinya, kongcu! Ketahuilah, anak tunggal hartawan Tan itu biarpun seorang wanita akan tetapi telah menjadi iblis wanita yang amat lihai dan jahat! Entah beberapa banyak orang-orang gagah yang menjadi korbannya. Gadis itu kabarnya ganas dan kejam sekali, juga amat sombongnya sehingga tiap kali mendengar adanya seorang gagah di daerah Kang-lam, ia tentu akan mendatangi dan merobohkannya dalam pibu. Karenanya maka ia diberi nama poyokan Dewi Tangan Maut, karena banyak sudah orang-orang kangouw terbunuh olehnya."

   Tertarik hati Gwat Kong mendengar ini, bukan untuk melimpahkan dendamnya kepada gadis itu, akan tetapi ingin bertemu dan mencoba kegagahan gadis yang amat disohorkan oleh Gui A Sam ini.

   "Kalau saja kakiku tidak bercacat seperti ini ... ah, tentu akan kucari siluman wanita itu untuk mengadu jiwa, biarpun aku pasti akan kalah menghadapinya,"

   Kata A Sam sambil menarik napas panjang dan memandang kakinya.

   "Apakah dia selihai itu, sehingga kau takkan dapat menang terhadapnya?"

   Tanya Gwat Kong.

   "Dia memang lihai sekali. Tiga orang kawanku yang telah membuat nama besar, masih tak kuat menghadapinya dan biarpun mereka mengeroyoknya, akan tetapi akhirnya ketiga orang kawanku itu tewas di ujung pedangnya. Padahal tiga orang itu apabila dibandingkan dengan kepandaianku mereka jauh lebih lihai."

   Diam-diam Gwat Kong tercengang mendengar ini dan ia pun merasa agak penasaran mendengar betapa gadis itu demikian ganas dan kejam sehingga membunuh orang sedemikian mudahnya.

   "Biar aku akan mencarinya,"

   Katanya kepada diri sendiri akan tetapi oleh karena ucapan ini dikeluarkan dengan keras, maka Gui A Sam menjadi gembira sekali dan berkata,

   "Kalau kau yang menghadapinya, pasti ia akan mampus, kongcu! Dan dengan membinasakan iblis wanita itu, bukan saja kau berarti telah berbakti kepada mendiang ayahmu, tetapi juga berarti melenyapkan seorang iblis, pengganggu rakyat jelata."

   Kemudian, Gwat Kong dipaksa-paksa oleh A Sam untuk bersama-sama makan minum dan karena A Sam kini telah menjadi seorang pedagang, sehingga ia mempunyai uang cukup, maka ia menjamu Gwat Kong dengan meriah. Dalam kesempatan ini, kembali Gwat Kong minum arak sepuas-puasnya sehingga A Sam menjadi terheran-heran melihat betapa kuatnya pemuda itu minum arak tanpa menjadi mabok sedikitpun.

   "Kau betul-betul patut disebut Ciu hiap (Pendekar Arak), Bun-kongcu!"

   Katanya dengan memandang kagum.

   Gwat Kong yang merasa gembira mengangguk-anggukan kepala dan berkata.

   "Sebuah sebutan yang tidak buruk!"

   Setelah menghaturkan terima kasih atas sebutan yang amat menggembirakan dari bekas petugas ayahnya itu, Gwat Kong lalu berpamit untuk melanjutkan perjalanannya, kini ia langsung menuju ke Kang-lam yang memerlukan perjalanan sedikitnya setengah bulan. Gui A Sam berpesan agar supaya pemuda itu suka memberi kabar apabila ia telah berhasil menewaskan Dewi Tangan Maut!

   Kita ikuti perjalanan Liok Tin Eng, dara jelita yang keras hati dan yang telah menggegerkan keadaan gedung Liok-taijin karena diam-diam ia telah minggat dari kamarnya pada malam harinya itu.

   Sebelum mengambil tindakan nekad itu, Tin Eng, sepeninggal ayahnya yang mengeluarkan ancaman dan memaksanya untuk menerima pinangan Gan Bu Gi, menangis sedih di dalam kamarnya seorang diri. Ia teringat segala kelakuannya terhadap Gwat Kong dan timbullah perasaan menyesalnya yang amat besar. Memang, kalau ia teringat pula akan segala kata-kata pemuda pelayan itu, ia masih terasa mendongkol dan marah, akan tetapi ia harus tahu bahwa segala ucapan itu dikeluarkan oleh Gwat Kong dalam keadaan mabok! Buktinya, kemudian pemuda itu minta maaf dan merasa demikian menyesal sehingga tidak penasaran kalau dibunuh. Gwat Kong bahkan minta agar supaya ia membunuhnya untuk menebus dosa. Ah, kasihan sekali pemuda itu. Tak pernah diduganya bahwa pemuda pelayan yang jujur, rajin dan setia itu diam-diam menaruh hati cinta kasih kepadanya!

   Tin Eng menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya. Alangkah malang nasibnya! Dipaksa menerima pinangan seorang pemuda yang sungguhpun tampan dan gagah, akan tetapi entah mengapa, dalam perasaan hatinya tak tertarik kepada Gan Bu Gi itu, terdapat sesuatu yang membuat ia ragu-ragu. Ada sesuatu pada diri pemuda itu yang menimbulkan ketidak percayaannya dan yang membuatnya yakin bahwa ia takkan dapat hidup bahagia sebagai isteri Gan Bu Gi.

   Adapun tentang Gwat Kong, memang pemuda pelayan itu seorang yang jujur dan baik. Akan tetapi mencintai padanya? Gila benar! Seorang pelayan mencintai puteri Kepala daerah yang kaya raya dan berpengaruh, lagi pula Gwat Kong hanyalah seorang pelayan yang bodoh, tak mengerti ilmu silat dan buta huruf pula. Mengingat akan hal ini merahlah muka Tin Eng karena marah dan malu!

   Ia menjadi serba salah. Ia tidak mau dipaksa kawin dengan Gan Bu Gi atau dengan siapapun juga. Ia belum bersedia mengikat diri dengan perkawinan. Akan tetapi, untuk membantah ayahnya pun sukar, karena ia maklum akan kekerasan hati orang tua. Kedua hal inilah yang membuatnya mengambil keputusan untuk merantau dan meluaskan pengalaman, untuk mengumpulkan pakaiannya yang terbaik dan semua perhiasannya untuk bekal di dalam perjalanan. Kemudian setelah membungkus semua itu menjadi sebuah buntalan besar yang ditalikan pada punggungnya. Ia lalu menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari jendela kamarnya, melompat naik ke atas genteng, lalu berlari pergi dengan cepat! Beberapa kali ia menengok ke arah gedung di mana ayah dan ibunya tinggal, akan tetapi ia dapat mengeraskan hatinya dan terus lari pergi keluar kota dan menuju ke selatan. Ia tidak lupa untuk membawa kitab pelajaran ilmu pedang Garuda Sakti yang dimasukkan pula kedalam buntalannya. Pedang ia gantung pada pinggang dan sekantong piauw (senjata rahasia yang disambitkan) tergantung pula di dekat pedang.

   Biarpun sudah tak bundar lagi, namun bulan masih muncul malam itu sehingga Tin Eng dapat melanjutkan perjalanannya. Ketika berlari di dalam cahaya bulan seorang diri, di atas jalan yang sunyi itu, ia merasa gembira seperti seekor burung yang terlepas terbang bebas di udara. Akan tetapi menjelang tengah malam, ketika ia tiba di pinggir sebuah hutan yang sunyi dan hawa malam yang dingin menyerang tubuhnya, ia mulai merasa tak enak dan takut.

   Sebagai puteri seorang bangsawan, belum pernah ia melakukan perjalanan malam seorang diri dan perasaan takut dan menyesal mulai menyerang hatinya. Ia tidak takut segala maling atau perampok, akan tetapi melihat bayang-bayangan pohon dan tetumbuhan yang menghitam dan nampak menyeramkan bagaikan setan-setan di bawah sinar bulan itu, ia benar-benar menjadi takut dan meremanglah bulu tengkuknya. Hawa dingin mengingatkan ia kepada kamarnya yang hangat dan enak. Biasanya pada saat seperti itu ia sudah meringkuk di bawah lindungan selimutnya yang tebal dan halus.

   TERINGAT akan hal ini, ia segera berhenti di bawah sebatang pohon besar dan membuka buntalannya untuk mengeluarkan baju tebalnya yang segera dipakai untuk menahan dingin. Ia menunda perjalanannya dan duduk di bawah pohon menanti datangnya fajar. Akhirnya karena berduka dan lelah, ia tertidur juga di bawah pohon itu sampai pagi.

   Beberapa hari kemudian, ia menjadi biasa dengan segala penderitaan ini dan dapat melanjutkan perjalanan dengan hati ringan. Ia tidak mau lagi bermalam di udara terbuka dan selalu menunda perjalanannya dalam sebuah kota atau kampung di waktu malam dan bermalam dalam sebuah kamar di rumah penginapan.

   Ia mendengar tentang keindahan kota Ki-ciu yang telah dikagumi semenjak lama dari buku-buku atau penuturan orang-orang ketika ia masih tinggal di gedung ayahnya, maka ia ingin mengunjungi tempat itu. Ia mendengar keterangan pelayan hotel bahwa untuk menuju ke Ki-ciu lebih baik mengambil jalan air, yakni berlayar sepanjang sungai Liang-ho yang selain cepat, juga mempunyai pemandangan yang indah.

   "Memang masih ada bajak air yang suka mengganggu,"

   Kata pelayan tua itu sambil memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang Tin Eng.

   "Akan tetapi, kurasa nona adalah seorang gagah yang tidak takut akan segala bajak pula. Kalau dibandingkan lebih banyak perampok yang mengganggu jalan darat dari pada bajak yang mengganggu jalan air."

   "Terima kasih, lopeh,"

   Jawab Tin Eng.

   "Keteranganmu ini penting sekali dan aku akan menurut nasehatmu. Akan tetapi, di manakah adanya sungai Liang-ho itu dan apakah aku bisa mendapat perahu untuk dipakai menyeberang?"

   "Dari kota ini, nona pergilah ke barat kurang lebih dua puluh mil jauhnya, nona akan tiba di sebuah dusun kecil di pinggir sungai Liang-ho dan di situ nona akan mendapatkan banyak sekali perahu para nelayan yang dapat disewa. Akan tetapi, lebih baik nona memilih perahu yang berlayar putih dan jangan menyewa perahu berlayar hitam."

   "Mengapakah, lopeh?"

   "Aku mendengar bahwa kini ada perkumpulan Layar Hitam yang melakukan banyak pemerasan dan perbuatan jahat."

   Setelah mengucapkan banyak terima kasih dan memberi persen kepada pelayan rumah penginapan itu, Tin Eng lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke barat sebagaimana yang ditunjukkan oleh kakek pelayan itu. Benar saja, setelah berlari cepat sejauh kurang lebih dua puluh li, ia tiba di sebuah dusun yang cukup ramai di dekat sungai yang lebar. Rumah-rumah para nelayan memenuhi dusun-dusun itu dan hampir di setiap rumah tentu terlihat jala yang dijemur atau sedang dijahit dan dibetulkan oleh pemiliknya.

   Di pinggir sungai terdapat banyak sekali perahu besar kecil. Benar saja sebagaimana perkiraan pelayan hotel tadi, nampak dua macam layar pada perahu-perahu itu, baik layar yang masih digulung maupun yang sudah dibuka itu. Ada yang berwarna hitam seluruhnya dan ada pula yang berwarna putih. Layar-layar itu sudah penuh tambalan, lebih-lebih yang putih. Beberapa orang nelayan bekerja di perahu masing-masing, ada yang menambal layar, ada yang membetulkan papan perahu, ada pula yang menambal dasar perahu yang bocor.

   Tin Eng menghampiri dua orang yang sedang menambal layar putih di pinggir sungai. Kedua orang itu melihat seorang nona muda menghampiri, segera menunda pekerjaan mereka dan bertanya,

   "Apakah nona hendak menyewa perahu?"

   "Ya, aku ingin pergi ke Ki-ciu, apakah kalian dapat mengantarkan aku ke sana dengan perahumu dan berapakah sewanya?"

   Kedua orang itu saling pandang dan yang memakai topi nelayan lebar lalu berkata.

   "Biasanya kalau hanya menyeberang saja sih tidak mahal, nona, akan tetapi ke Ki-ciu ..."

   Ia berhenti sebentar mengingat-ingat.

   "Dulu pernah ada orang pergi ke sana dan membayar lima tail perak."

   Tiba-tiba datang seorang tinggi besar ke tempat mereka dan orang ini sambil cengar cengir lalu bertanya kepada Tin Eng.

   "Apakah nona hendak menyewa perahu? Kemanakah?"

   Tin Eng memandang tak senang kepada orang itu dan berkata.

   "Aku tidak ada urusan dengan kamu!"

   Kemudian tanpa memperdulikan orang itu, Tin Eng berkata kepada kedua nelayan yang diajaknya bicara tadi.

   "Begini saja lopeh, aku minta kau mengantar aku ke Ki-ciu dan untuk itu akan kubayar sewanya secukupnya, akupun berani membayar sedemikian."

   "Lima tail perak?"

   Kata orang tinggi besar itu menyela.

   "Murah amat! Sedikitnya harus lima belas tail perak!"

   Sambil berkata demikian orang itu menolak pinggang dan memandang kepada kedua orang nelayan itu dengan mata mengancam.

   Tin Eng tanpa memperdulikan orang itu lalu berkata kepada dua orang nelayan tadi.

   "Bagaimana? Berapakah kalian minta?"

   Dengan suara berat dan menundukkan kepalanya, nelayan yang lebih tua itu menjawab.

   "Sedikitnya lima belas tail perak, nona."

   Tin Eng tercengang dan ia mulai mengerling ke arah orang tinggi besar itu dengan penuh perhatian. Ternyata orang itu berwajah kejam dan usianya kurang lebih tiga puluh tahun, matanya lebar dan bertopi nelayan pula, Melihat gerak geriknya, ia tentu seorang yang bertenaga kuat dan mengerti ilmu silat pula. Tin Eng menduga-duga siapakah adanya orang ini, akan tetapi ia tidak mau mencari pertengkaran maka ia lalu menjawab nelayan tua itu.

   "Baiklah, lopeh aku mau membayar lima belas tail perak."

   Kedua nelayan itu memandang kepada Tin Eng dengan mata mengandung rasa kasihan, akan tetapi tiba-tiba nelayan tinggi besar yang berdiri di belakang Tin Eng itu berkata lagi,

   "Harus dibayar di muka sepuluh tail dulu, baru bisa berangkat!"

   Kini Tin Eng tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia cepat memutar tubuh menghadapi orang tinggi besar itu sambil membentak,

   "Bangsat kasar, tutup mulutmu yang busuk!"

   Nelayan tinggi besar itu memandang dengan senyum menyeringai, seakan-akan memandang rendah kepada Tin Eng, lalu berkata.

   "Aduh, jangan galak-galak, nona. Paling baik kau lekas keluarkan uang muka sepuluh tail perak, kalau tidak jangan harap kau bisa menyewa perahu di sini!"

   "Orang liar! Aku tidak berurusan dengan kau dan tidak sudi menyewa perahumu! Mengapa kau harus mencampuri urusanku. Pergilah!"

   Sambil berkata demikian, Tin Eng gunakan tangan kirinya untuk mendorong orang itu, akan tetapi sambil tertawa cengar cengir orang itu berkata,

   "Ah, agaknya kau mau mengenal kelihaianku!"

   Lalu cepat ia mengulur tangan hendak menangkap lengan Tin Eng yang mendorongnya itu. Akan tetapi, Tin Eng tentu saja tidak mau ditangkap lengannya begitu saja. Ia lalu menarik kembali tangannya dan mengirim tendangan ke arah lambung nelayan kasar itu. Tendangannya tepat mengenai lambung nelayan itu, akan tetapi biarpun nelayan itu terguling-guling sampai beberapa kali, ia tidak menjadi kapok, bahkan dengan amat marahnya ia lalu melompat bangun dan mencabut goloknya.

   "Bangsat perempuan, kau mau mampus?"

   Bentaknya sambil menyerang, akan tetapi dengan cepat sekali Tin Eng telah mencabut pedangnya dan sekali saja pedangnya berkelebat dalam gerakan yang aneh, nelayan kasar itu menjerit ngeri, goloknya terlempar dan lengan tangannya berlumuran darah.

   "Bajingan kasar, kalau aku mau, lehermu telah putus!"

   Kata Tin Eng dan nelayan itu tanpa berani berkata apa-apa lagi lalu berlari pergi.

   "Siapakah dia?"

   Tanya Tin Eng.

   Nelayan tua itu menarik napas panjang.

   "Kau mencari penyakit, nona. Dia adalah seorang anggauta Layar Hitam yang telah lama merajalela di sini, dan kami perkumpulan Layar Putih selalu diperasnya. Kami harus menyerahkan setengah bagian dari pada hasil yang kami peroleh kepada mereka, karena itulah maka mereka yang menetapkan tarif sewa perahu."

   "Bangsat benar! Jangan kuatir, aku akan membasmi mereka!"

   Kata Tin Eng dengan marah sekali.

   Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan keras yang nyaring dari atas sebuah perahu besar, dan ketika Tin Eng dan kedua orang nelayan itu menengok, ternyata di atas perahu besar yang berlayar putih dan masih tergulung, berdiri seorang perempuan muda dengan sikap gagah. Perempuan itu usianya sebaya dengan Tin Eng, tubuhnya tegap langsing dan rambutnya dikuncir panjang, akan tetapi yang pada saat itu diselipkan di dalam punggungnya. Kepalanya memakai sebuah kopiah bulu yang halus, pakaiannya dari sutera mahal. Ia berdiri dengan gagah dan berteriak nyaring,

   "Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) ! Keluarlah untuk terima binasa!"

   Teriakan ini ia keluarkan berulang-ulang. Beberapa nelayan yang bertopi seperti nelayan tinggi besar yang dikalahkan oleh Tin Eng tadi melompat naik sambil memaki. Akan tetapi beberapa kali saja dua kaki gadis gagah itu bergerak, empat orang nelayan yang mencoba untuk menyerbunya itu kena ditendang dan tercebur ke dalam air.

   "Ha ha!"

   Gadis itu tertawa keras.

   "Kalian ini anjing-anjing rendah, mengapa tak tahu diri dan berani mendekati Dewi Tangan Maut? Suruh Hek-liong-ong si anjing tua itu keluar. Aku tidak sudi berurusan dengan anjing-anjing kentut sekalian!"

   Tin Eng memandang kagum dan ia bertanya kepada nelayan tua yang berdiri dengan wajah pucat.

   "Lopeh, siapakah Hek-liong-ong yang ia tantang itu?"

   "Hek-liong-ong adalah ketua dari perkumpulan Layar Hitam! Kalau nona itu betul-betul Dewi Tangan Maut, akan hebatlah pertempuran nanti!"

   
Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapakah Dewi Tangan Maut?"

   Tanya pula Tin Eng dengan hati amat tertarik.

   Nelayan tua itu memandang kepada Tin Eng dengan mata heran karena ada orang yang belum mendengar nama ini.

   "Dia adalah seorang pendekar wanita yang ditakuti orang karena gagah berani dan ganas!"

   Tin Eng merasa suka kepada nona pendekar itu, maka ia lalu berjalan lebih dekat untuk melihat apa yang akan terjadi. Tak lama kemudian, dari dusun itu keluarlah seorang laki-laki berbaju putih bercelana hitam dan yang memakai topi seperti para anggauta Layar Hitam itu. Tindakan kakinya tetap dan kuat, menandakan bahwa ilmu silatnya tinggi. Mukanya hitam dan rambutnya sudah banyak yang putih, akan tetapi mukanya amat kejam dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya liar.

   Ia diikuti oleh belasan orang anggauta Layar Hitam. Dengan langkah lebar ia lalu menghampiri perahu di mana Dewi Tangan Maut itu masih berdiri, dan ketika nona itu melihat kedatangan Hek-liong-ong, ia tertawa dan sambil tersenyum manis ia berkata,

   "Hek-liong-ong! Aku telah datang untuk menghancurkan kau yang penuh kejahatan itu!"

   Marahlah Hek-liong-ong mendengar hinaan ini. Dengan gerakan ringan sekali ia melompat ke atas perahu besar, sedangkan dua orang kawannya pun melompat ke atas perahu kecil yang berada di dekat perahu besar itu, siap untuk membantu Hek-liong-ong. Kedua orang ini adalah dua orang wakil kepala Layar Hitam yang berkepandaian tinggi pula, seorang setengah tua yang menjadi sute (adik seperguruan) Hek-liong-ong dan seorang pula masih muda dan berkopiah putih yang juga memiliki ilmu silat tinggi.

   Sementara itu, belasan orang anak buah perkumpulan Layar Hitam berdiri di tepi sungai sambil bertolak pinggang. Agaknya hendak menghadang kalau Dewi Tangan Maut akan melarikan diri ke atas darat! Sikap mereka mengancam dan bengis sekali.

   Setelah berada di atas perahu besar dan berdiri menghadapi Dewi Tangan Maut yang memandangnya dengan mengejek dan bertolak pinggang, Hek-liong-ong menunjuk dengan tangan kirinya dan berkata keras,

   "Dewi Tangan Maut! Kau mau merajalela di darat mengapa berlancang tangan dan mengotorkan keadaan di sungai? Apa kau kira aku Hek-liong-ong takut kepadamu?"

   "Hek-liong-ong,"

   Jawab dara pendekar itu sambil tersenyum tenang.

   "Tak perlu dipersoalkan darat atau sungai, tak perlu dipersoalkan pula tentang kau takut kepadaku atau pun tidak! Akan tetapi yang penting ialah bahwa kau telah berlaku terlampau kejam dan berbuat sewenang-wenang! Kau telah menyiksa seorang nelayan, menyeretnya di atas tanah dengan berkuda sehingga orang itu hampir mati tersiksa sedangkan kemarin kau telah menyiksa pula seorang nelayan yang kau ikat kaki tangannya dan kau tenggelamkan berkali-kali ke dalam air sehingga ia mati! Perbuatan ini lebih kejam dari pada perbuatan binatang liar, dan setelah aku Dewi Tangan Maut mendengar tentang hal ini, apa kau kira aku bisa mendiamkan saja kekejaman ini merajalela, biar di atas sungai sekalipun?"

   "Dewi Tangan Maut! Kau tak perlu mencampuri urusanku! Hal yang terjadi itu adalah urusan dalam perkumpulanku sendiri dan tak seorangpun boleh mencampurinya! Aku menghukum nelayan-nelayan yang berdosa, apakah sangkut pautnya dengan kau?"

   Kembali nona pendekar itu tertawa menghina.

   "Kalau kau menghukum orang-orangmu sendiri yang kesemuanya terdiri dari bajak-bajak dan penjahat-penjahat, aku takkan perduli sama sekali! Akan tetapi justru yang kau siksa itu adalah nelayan-nelayan biasa, orang baik-baik yang tidak mau menurut perintahmu!"

   Makin marahlah Hek-liong-ong. Ia mencabut keluar senjatanya, yakni sepasang dayung dan membentak.

   "Perempuan sombong! Habis kau mau apa?"

   "Bagus, bagus sudah kuduga bahwa anjing tua yang mau mampus tentu akan menyalak-nyalak dulu!"

   Jawab nona itu sambil mencabut pedangnya.

   Hek-liong-ong menyerbu dengan sepasang dayungnya yang hebat itu, akan tetapi lawannya mengelak dengan mudah dan mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Pertempuran hebat itu ditambah pula dengan majunya dua orang wakil ketua Layar Hitam sehingga menjadi makin seru. Gadis yang diberi julukan Dewi Tangan Maut itu benar-benar gagah perkasa, karena biarpun dikeroyok oleh Hek-liong-ong yang mainkan sepasang dayung secara hebat dan oleh dua orang yang mainkan golok secara buas pula.

   Namun ia dapat melayani mereka dengan baik bahkan melancarkan serangan-serangan pembalasan yang benar-benar merupakan tangan maut karena sekali saja serangan pedangnya mengenai sasaran, pasti lawannya yang terkena akan tewas di saat itu juga. Tin Eng merasa kagum dan juga bergidik, karena ternyata bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar ganas sekali.

   Sementara itu, belasan orang yang menjadi anak buah Layar Hitam itu kini telah bertambah jumlahnya dan menjadi kurang lebih tiga puluh orang. Sikap mereka mengancam sekali dan ketika mereka melihat betapa ketiga orang ketua mereka tak dapat menangkan Dewi Tangan Maut, mereka mulai berteriak-teriak hendak maju mengeroyok.

   Tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru.

   "Tenggelamkan perahunya! Biarkan ia tenggelam dalam air, tentu tidak berdaya!"

   Tin Eng merasa terkejut mendengar maksud keji ini dan ia telah melihat betapa belasan orang mulai menyeburkan diri ke dalam air untuk menggulingkan perahu di mana ketiga pemimpin Layar Hitam itu sedang mengeroyok Dewi Tangan Maut.

   "Cici, kau lompatlah segera ke darat! Mereka hendak menggulingkan perahu!"

   Tin Eng berteriak keras sambil melompat mendekati pantai dan ketika tiga orang anggauta Layar Hitam dengan marah menyerangnya, ia merobohkan mereka dengan sekali dorong.

   Dewi Tangan Maut merasa marah sekali mendengar tentang maksud curang ini. Pedangnya bergerak cepat dan terdengar jerit kesakitan dan darah tersembur keluar dari dada seorang di antara ke tiga pengeroyoknya, yakni sute dari Hek-liong-ong. Korban ini roboh dengan dada tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga. Hal ini membuat Hek-liong-ong dan seorang kawannya menjadi jerih.

   Pada saat itu perahu sudah mulai bergoyang-goyang dan Dewi Tangan Maut segera melompat ke darat, diikuti oleh Hek-liong-ong dan anak buahnya yang mengejar. Maka terjadilah pertempuran di darat yang lebih hebat dari pada pertempuran di atas perahu tadi. Dewi Tangan Maut dikeroyok oleh puluhan orang.

   Akan tetapi sambil putar-putar pedangnya, nona pendekar itu masih sempat memandang kepada Tin Eng dan tersenyum manis sambil berkata.

   "Adik yang baik, terima kasih."

   Melihat betapa nona pendekar itu dikeroyok oleh demikian banyak orang yang semuanya memegang senjata, Tin Eng menjadi tak tega dan sambil mencabut pedangnya, ia menyerbu dan membentak,

   "Kawanan tikus tak tahu malu! Jangan mengandalkan keroyokan menghina orang!"

   Hebat sekali permainan pedang Tin Eng ini. Setiap kali pedangnya berkelebat, tentu senjata seorang lawan kena dibikin terlepas dan tangan yang memegang terluka. Terdengar jerit dan pekik karena sakit dan terkejut, bahkan Dewi Tangan Maut itu sendiri merasa kagum dan terkejut melihat kehebatan sepak terjang Tin Eng. Akan tetapi, Tin Eng tidak seganas dia sehingga lawan-lawan yang kena dirobohkan oleh Tin Eng tidak ada yang menderita luka berat, sungguhpun mereka itu tak dapat maju mengeroyok pula.

   Sedangkan Dewi Tangan Maut ketika melihat kehebatan Tin Eng, tidak mau kalah. Ia berseru nyaring dan ketika pedangnya berkelebat cepat beberapa kali, robohlah tiga orang anak buah Layar Hitam dengan dada tertembus pedang atau leher terbacok sehingga mereka tewas pada saat itu juga.

   Melihat ini Tin Eng mendapat pikiran untuk merobohkan kepala penjahat dulu, karena kalau dilanjutkan semua anak buah Layar Hitam ini bisa mati semua dalam tangan Dewi Tangan Maut yang ganas. Ia melompat dan cepat mengirim serangan kepada Hek-liong-ong yang menjadi terkejut karena menghadapi serangan Dewi Tangan Maut sendiri saja ia sudah merasa sibuk, apalagi kini ditambah oleh seorang lawan lain yang tidak kalah lihainya.

   Di dalam kegugupannya, tangan kanannya tersabet oleh pedang Tin Eng sehingga sambil menjerit, ia melepaskan dayungnya dan segera teriakannya itu disambung dengan pekik hebat karena Dewi Tangan Maut telah menggerakkan pedangnya menabas batang lehernya. Pemuda yang menjadi pembantunya itu melihat kejadian ini menjadi terkejut dan kesima, sehingga sebelum ia tahu apa yang terjadi, kembali pedang Dewi Tangan Maut menyambar dan menusuk dadanya sehingga iapun rebah mandi darah dan tewas.

   Tin Eng merasa ngeri sekali dan segera ia menahan pedangnya. Akan tetapi dengan wajah gembira, Dewi Tangan Maut mengamuk terus sehingga beberapa orang anak buah Layar Hitam kembali menjadi korban pedangnya.

   "Cici, tahan dan ampuni mereka!"

   Kata Tin Eng sambil melompat dan menahan amukan pendekar wanita yang ganas itu. Kemudian Tin Eng berseru kepada semua anggauta Layar Hitam.

   "Lemparkan senjata dan berlututlah untuk menyerah!"

   Memang semua anggauta gerombolan itu telah menjadi ketakutan dan ngeri melihat kehebatan kedua pendekar wanita itu, maka mendengar bentakan ini mereka lalu melempar pedang masing-masing dan berlutut minta ampun.

   Dewi Tangan Maut tertawa bergelak dan sambil menggerak-gerakkan pedangnya mengancam, ia berkata.

   "Untung bahwa hari ini ada bidadari penolong yang mintakan ampun untuk jiwa anjing kalian, kalau tidak, jangan harap ada seorang pun penjahat yang dapat lolos dari ujung pedangku! Mulai sekarang, jangan kalian berani-berani lagi mengganas. Uruslah semua mayat ini baik-baik dan harap kalian dapat bekerja sama dengan para nelayan lain. Kalau lain kali aku mendengar lagi akan kejahatan kalian, aku takkan mau memberi ampun lagi, biarpun kalian berlutut seribu kali!"

   Para anggauta Layar Hitam itu lalu mengangkat semua mayat dan mengurusnya baik-baik, dibantu oleh nelayan-nelayan biasa dan anggauta-anggauta Layar Putih yang diam-diam merasa girang sekali karena kejahatan yang selalu menekan dan mengganggu mereka itu akhirnya dapat terbasmi sekali gus. Dewi Tangan Maut menghampiri Tin Eng dan sambil tersenyum bertanya,

   "Adik yang gagah perkasa, siapakah kau? Ilmu pedangmu sungguh-sungguh mengagumkan hatiku!"

   "Kepandaianku biasa saja, mana dapat dibandingkan dengan cici yang benar-benar merupakan Dewi Penyebar Maut? Aku bernama Liok Tin Eng, tidak tahu cici ini bernama siapakah?"

   "Namaku Kui Hwa, she Tan. Aku anak murid Hoa-san-pai dan aku paling benci kepada kejahatan. Adik Eng, kau ternyata berhati lemah dan sebenarnya keliru sekali perbuatanmu tadi yang memberi ampun kepada para penjahat. Orang-orang kejam macam mereka itu harus dibasmi, barulah keadaan menjadi benar-benar aman!"

   "Akan tetapi, Tan-cici, mereka juga manusia dan kalau kiranya masih dapat diusahakan, lebih baik mengampuni mereka agar mereka berubah menjadi orang baik-baik."

   Kui Hwa tersenyum, lenyaplah sifat galaknya, bahkan dalam pandangan Tin Eng, dara pendekar ini nampak cantik jelita dan manis sekali, pantas disebut Dewi.

   "Mungkin kau benar, adikku, akan tetapi, lebih besar kemungkinan kau akan kecele, karena biasanya orang yang mempunyai dasar jahat sukar sekali untuk diperbaiki lagi."

   Tin Eng hanya tersenyum saja mendengar pendapat Dewi Tangan Maut itu, tidak mau membantah sungguhpun di dalam hatinya ia tidak setuju dengan pendapat ini.

   "Adik Tin Eng, sebetulnya kau hendak ke manakah maka sampai bisa datang ke tempat ini?"

   Tanya Kui Hwa yang ramah tamah.

   "Aku hendak menyewa perahu ke Ki-ciu. Telah lama aku mendengar keindahan Ki-ciu dan ingin merantau ke sana meluaskan pengalaman. Kebetulan sekali aku bertemu dengan gerombolan Layar Hitam sehingga kalau seandainya cici tidak datang turun tangan, tentu aku pun akan bertempur dengan mereka."

   Tin Eng lalu menceritakan tentang pertempurannya dengan seorang anggauta Layar Hitam yang kasar tadi.

   Si Dewi Tangan Maut mengangguk-angguk dan berkata.

   "Memang tadi telah kulihat betapa lihainya ilmu silatmu. Aku ingin memperkenalkan kau kepada kawan-kawanku dan biarlah lain kali kita bertemu pula."

   Kemudian Tin Eng menyewa perahu Layar Hitam yang paling baik dan dua orang anggauta Layar Hitam yang telah berubah amat baik dan menghormati sikapnya, lalu mendayung perahu itu ke tengah sungai. Setelah tiba di sungai, layar dikembangkan dan perahu kecil itu melaju menuju Ki-ciu.

   Benar saja, pemandangan alam di kanan kiri sungai itu amat indahnya sehingga Tin Eng merasa gembira sekali. Terutama apabila ia teringat kepada Dewi Tangan Maut yang kini telah menjadi seorang kenalan baik. Ia merasa kagum kepada nona pendekar itu dan hatinya makin gembira apabila ia ingat bahwa di dalam perantauan ini ia tentu akan bertemu dengan orang-orang gagah seperti nona she Tan itu. Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada waktu itu Bun Gwat Kong, pelayannya yang menjadi biang keladi perantauannya ini sedang menuju ke Kang-lam untuk mencari Tan Kui Hwa atau Dewi Tangan Maut yang menjadi puteri dari musuh besarnya.

   Juga gadis ini tidak pernah menduga bahwa ia sedang berada di dalam bahaya dan bahwa ucapan Dewi Tangan Maut tadi yang menyatakan bahwa penjahat-penjahat itu patut dibasmi karena dasarnya jahat akan tetap jahat! Karena di luar persangkaannya, kedua orang anggauta Layar Hitam yang kini mengemudi perahu yang ditumpanginya ternyata mengandung maksud jahat terhadap dirinya.

   Hari telah mulai senja ketika perahu itu tiba di dalam sebuah hutan yang amat luas dan gelap. Juga sungai menjadi lebar ketika tiba di tempat ini, akan tetapi karena tidak ada angin, maka layar digulung dan perahu itu bergerak maju mengandalkan tenaga pendayung dari kedua orang itu. Perahu maju perlahan-lahan dan ketika tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba perahu itu berhenti.

   Tin Eng hendak menegur kedua orang yang berhenti mendayung, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara suitan keras dari pinggir sebelah kiri dan kedua orang itu lalu membalas suara itu dengan bersuit keras pula. Sebelum Tin Eng dapat bertanya, kedua orang itu tiba-tiba lalu menyeburkan diri ke dalam air dan berenang ke pantai, meninggalkan perahu yang berhenti di tengah-tengah sungai.

   Karena memang mereka tadi sengaja menghentikan perahu di tempat yang terhalang oleh batu-batu karang yang menonjol di tengah-tengah sungai. Tin Eng merasa terkejut dan heran sekali dan hatinya mulai merasa tidak enak.

   "Hai! Kalian hendak pergi kemana?"

   Tegurnya kepada dua orang pendayung tadi, akan tetapi kedua orang itu telah mendarat lalu lari ke dalam hutan dan lenyap.

   Tin Eng merasa bingung sekali. Untuk mendayung perahu itu ia tidak sanggup karena ia memang tidak pernah mengemudikan perahu. Untuk melompat ke tepi pun tak mungkin karena letaknya kedua tepi di kanan kiri itu sedikitnya ada lima belas tombak dari perahunya. Berenangpun ia tak pandai.

   Tak lama kemudian, dari pantai sebelah kiri muncullah banyak sekali orang yang membawa perahu-perahu kecil yang segera diturunkan ke dalam air. Mereka ini ternyata adalah bajak air yang telah mendapat berita dari dua orang anggauta Layar Hitam yang sengaja hendak membalas dendam.

   Sebelumnya para anggauta Layar Hitam itu adalah bekas-bekas bajak air yang mengandalkan kekejaman mereka atas pengaruh bajak air ini dan mereka selalu membagi hasil-hasil pemerasan mereka kepada bajak-bajak ini sehingga tentu saja ketika mendengar betapa tiga orang pemimpin Layar Hitam terbunuh dan perkumpulan itu diobrak-abrik oleh Tin Eng dan Dewi Tangan Maut, mereka menjadi marah dan hendak membalas dendam.

   Akan tetapi yang menarik perhatian kepala bajak itu adalah cerita kedua orang anggauta Layar Hitam tadi bahwa gadis yang menumpang di dalam perahu mereka dan yang telah ikut menghancurkan perkumpulannya adalah seorang gadis cantik jelita. Kepala bajak ini adalah seorang bajak muda yang rakus akan paras cantik, maka begitu mendengar berita ini ia lalu mengerahkan anak buahnya untuk pergi mengeroyok dan menangkap gadis itu.

   Melihat orang banyak itu, Tin Eng maklum bahwa mereka tentulah penjahat-penjahat yang bermaksud jahat, maka ia segera mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi serbuan mereka. Diam-diam ia merasa gemas sekali kepada dua orang tukang perahu tadi dan mengakui kebenaran ucapan Dewi Tangan Maut, maka ia mengambil keputusan untuk membasmi orang jahat ini sampai ke akar-akarnya.

   Perahu-perahu kecil itu segera di dayung dan sebentar saja perahu yang ditumpangi oleh Tin Eng dikurung dari segala jurusan. Kepala bajak yang mengenakan pakaian biru dan dengan sepasang kampak di tangan berdiri di kepala perahu terdepan dengan sikap gagah. Di sebelahnya berdiri dua orang tukang perahu anggauta Layar Hitam yang melapor tadi.

   Tin Eng memandang ke arah mereka dengan mata merah.

   "He, kalian hendak berbuat apakah?"

   Tanyanya dengan gemas.

   KEDUA orang anggauta Layar Hitam itu tertawa saja dan seorang di antaranya lalu berkata dengan suara mengejek.

   "Nona, kau hendak kami jodohkan dengan Liang-ho Siauw-liong (Naga Muda dari Liang-ho), tentu kau akan mengalami kesenangan besar! Ha ha ha!"

   "Bangsat rendah! Kau telah mendapat ampun, apakah benar-benar kalian hendak mencari mampus?"

   Tiba-tiba kepala bajak itu tertawa dengan girang. Ia telah melihat bahwa dara muda itu benar-benar cantik jelita, maka kini mendengar suaranya yang nyaring dan sikapnya yang gagah, ia lalu berkata,

   "Nona manis, kau telah terkurung dan berada dalam kekuasaanku, lebih baik kau menyerah saja karena percuma kalau kau mau melawan juga!"

   "Bangsat keji! Kau kira nonamu takut menghadapi tikus-tikus air semacam kau dan anak buahmu? Naiklah kalian semua ke sini kalau hendak mencari mampus di ujung senjataku!"

   Tantang Tin Eng dengan tabah dan marah.

   Liang-ho Siauw-liong tertawa bergelak-gelak lalu memberi perintah kepada anak buahnya.

   "Tangkap padanya, akan tetapi jangan melukainya! Gunakan tali untuk menyeretnya ke air dan kemudian mengikatnya kuat-kuat!"

   Mendapat perintah ini, para bajak lalu mendayung perahu mereka mendekati perahu di mana Tin Eng berdiri menanti dengan pedang ditangan. Mereka membawa senjata berupa tambang dan kaitan-kaitan kayu, ada pula yang membawa dayung untuk mendorong gadis itu ke dalam air. Dengan mata tajam Tin Eng melihat lagak itu dan hanya menjaga untuk segera bergerak begitu ada bajak naik ke atas perahu.

   Benar saja, dari sebelah kiri perahu melompat dua orang bajak yang membawa tambang, disusul oleh tiga orang pula yang melompat ke kanan perahu. Akan tetapi mereka itu segera menjerit kesakitan ketika Tin Eng menyambar dengan pedangnya dan begitu ia menggerakkan tangannya, pedang itu telah melukai mereka yang segera terguling ke dalam air.

   Bajak lain menjadi jerih. Tak pernah mereka sangka bahwa gadis itu selihai ini, maka kini tidak ada yang berani mencoba untuk naik ke perahu Tin Eng lagi. Bahkan perahu-perahu kecil itu segera di dayung menjauhi dan para bajak yang terluka tadi lalu ditolong.

   "Ilmu pedangnya lihai sekali, harap tai-ong berhati-hati,"

   Kata dua orang anggauta Layar Hitam tadi.

   Liang-ho Siauw-liong merasa marah sekali melihat betapa lima orang anak buahnya dengan amat mudah dijatuhkan oleh Tin Eng, maka ia lalu memberi aba-aba.

   "Terjun ke air dan gulingkan perahunya!"

   Tin Eng merasa terkejut sekali mendengar perintah ini. Kalau mereka benar-benar menggulingkan perahunya, maka celakalah dia! Biarpun di darat ia tak perlu takut menghadapi keroyokan mereka, akan tetapi kalau sampai ia terjatuh ke dalam air, jangankan menghadapi keroyokan, baru menghadapi seorang bajak biasa yang pandai berenang saja ia takkan berdaya sama sekali. Ia melihat betapa bajak-bajak itu meninggalkan perahunya dan mulai terjun ke dalam air untuk berenang menghampiri perahu di mana ia berdiri.

   Tin Eng teringat akan kantong piauwnya, maka dengan gemas ia lalu mengeluarkan segenggam piauw dan memindahkan pedang ke dalam tangan kiri. Ia pernah mempelajari ilmu melepas piauw dari ayahnya dan dalam hal kepandaian melempar piauw ia telah memiliki kepandaian yang boleh juga. Ia membidik dengan hati-hati dan begitu tangannya berayun ke arah bajak yang berenang di air, piauw itu tepat sekali menancap di tubuh bajak sehingga bajak itu menjerit kesakitan dan terus tenggelam ke dalam air. Tin Eng membagi-bagi hadiah dengan piauwnya itu ke seluruh penjuru. Di mana terlihat tubuh bajak bergerak di dalam air, ia segera mengayun tangannya hingga tak lama kemudian banyak sekali bajak yang ia tewaskan.

   Dalam kegembiraannya ia telah menghabiskan banyak sekali senjata piauwnya dan ketika ia merogoh kembali ke kantong piauw, ia merasa terkejut sekali, karena piauwnya hanya tinggal tiga buah lagi! Ia membawa dua puluh batang piauw dan ternyata ia telah menyambitkan tujuh belas batang yang kesemuanya mengenai sasaran dengan tepat. Kini para bajak itu tidak berani berenang di permukaan air dan segera menyelam untuk menghindarkan diri dari piauw gadis yang tangguh itu, sehingga Tin Eng mulai kuatir sekali.

   Melihat betapa kepala bajak itu berdiri di kepala perahu dan memberi perintah, ia menjadi gemas dan segera tangannya terayun dan sekali gus tiga batang piauwnya menyambar ke arah kepala bajak itu dan ke arah dua orang anggauta Layar Hitam yang berdiri di dekat Liang-ho Siauw-liong. Terdengar jerit kesakitan dan tubuh kedua orang anggauta Layar Hitam itu terjungkal dari perahu, masuk ke dalam air sungai. Akan tetapi sambil tertawa bergelak dan sama sekali tidak memperdulikan dua orang yang menjadi korban senjata rahasia itu, ia menggerakkan kampak di tangan kanannya untuk menangkis piauw yang menyambar ke arah tubuhnya sehingga senjata kecil itu terpukul jatuh ke dalam air.

   Kini Tin Eng merasa betul-betul gelisah. Piauwnya telah habis dan apa dayanya? Ia melihat ke kanan kiri dan ke dalam air, akan tetapi tidak melihat ada anggauta bajak yang berenang di bawah permukaan air dan kini perahunya tiba-tiba mulai bergoyang-goyang.

   Hampir saja Tin Eng terjatuh, ia terhuyung-huyung dan mempertahankan dirinya di atas perahu agar (Lanjut ke Jilid 05)

   Pendekar Pemabuk/Kanglam Tjiu Hiap (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   supaya tidak terlempar keluar ke dalam air. Akan tetapi perahu itu makin miring dan sebentar pula tentu terbalik. Tin Eng melihat sebuah perahu bajak kosong, yang jauhnya tiga tombak lebih dari tempatnya, maka sambil berseru keras ia melompat ke arah perahu itu. Akan tetapi, begitu ia turun menginjak perahu itu, ia segera terjatuh karena perahu kecil itu tidak kuat menerima tubuhnya yang melompat dengan keras. Perahu itu terguling, membawanya ikut terguling ke dalam air.

   Tin Eng bergulat dengan air yang membuatnya tak berdaya. Beberapa kali ia terpaksa minum air sungai dan ketika ia merasa ada tangan meraba dan hendak menangkapnya, ia memukul dengan tangan kanannya sehingga bajak yang mencoba untuk menangkapnya itu memekik dan melepaskan pegangannya. Biarpun berada dalam keadaan tak berdaya, namun Tin Eng masih berbahaya dan tak mudah ditangkap.

   "Biarkan dia lemas dulu!"

   Terdengar suara Liang-ho Siauw-liong berkata keras sambil mendayung perahunya mendekat.

   Tin Eng sudah menjadi lemas sekali dan hampir pingsan. Ia masih mendengar betapa tiba-tiba terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan para bajak itu dan ia merasa betapa tubuhnya terikat oleh sehelai tali yang kuat, lalu tubuhnya di tarik ke sebuah perahu. Ia tak dapat melihat lagi siapa yang melakukan ini, akan tetapi ia merasa tubuhnya diangkat ke dalam perahu. Ia membuka mata dan melihat bahwa yang menolongnya adalah Tan Kui Hwa si Dewi Tangan Maut.

   Nona pendekar itu tersenyum dan berkata.

   "Untung kau belum terlalu banyak minum air, adikku yang baik. Akan tetapi sedikit air yang memenuhi perutmu itu perlu dikeluarkan. Kau menurutlah saja!"

   Setelah berkata demikian, Kui Hwa lalu peluk tubuh Tin Eng dan menjungkirkan tubuh itu dengan kaki ke atas dan kepala di bawah. Maka mengalirlah air dari mulut Tin Eng.

   Setelah air yang memenuhi perut itu dikeluarkan, Tin Eng lalu berkata,

   "Cici, Kui Hwa, mana keparat-keparat itu?"

   "Mereka melarikan diri ke darat."

   "Mari kita kejar!"

   Kata Tin Eng dengan marah sekali.

   Kedua orang gadis itu lalu mendayung perahu mereka ke darat. Ternyata bahwa Kui Hwa merasa curiga terhadap dua orang anak buah Layar Hitam yang mendayung perahu Tin Eng dan dengan diam-diam ia lalu mengikuti perahu itu dari darat. Ia melihat betapa Tin Eng dikeroyok, maka dapat menolong pada saat yang tepat.

   Dengan mudah ia melompat ke dalam perahu itu dan merampas tambang yang tadinya hendak digunakan untuk mengikat kaki dan tangan Tin Eng. Dengan kepandaiannya yang mengagumkan, Dewi Tangan Maut itu berhasil melemparkan ujung tali yang mengikat tubuh Tin Eng dan menolong gadis itu sebelum terjatuh ke dalam tangan bajak.

   Liang-ho Siauw-liong pernah mendengar nama Dewi Tangan Maut, maka melihat pendekar wanita itu muncul ia lalu memerintahkan semua anak buahnya untuk melarikan diri.

   Setelah mendarat, Kui Hwa dan Tin Eng lalu mengejar ke dalam hutan. Tak lama kemudian mereka dapat mencari tempat tinggal para bajak itu di tengah hutan dan kedua nona itu segera menyerbu dengan pedang di tangan.

   "Serahkanlah kepala bajak itu kepadaku, cici!"

   Kata Tin Eng yang merasa marah sekali.

   Kawanan bajak menjadi kacau balau karena tidak pernah menyangka bahwa kedua orang dara itu berani menyerbu ke dalam hutan yang liar dan gelap, maka mereka lari cerai berai. Sedangkan kepala bajak Liang-ho Siauw-liong beserta beberapa belas orang yang memiliki kepandaian dan menjadi pembantu-pembantunya segera mengeroyok Kui Hwa dan Tin Eng.

   Akan tetapi mereka bukanlah lawan dari kedua pendekar wanita ini dan sebentar saja beberapa orang bajak yang mengeroyok telah kena dirobohkan. Liang-ho Siauw-liong sendiri didesak hebat oleh Tin Eng dan biarpun permainan sepasang kampak di tangannya amat lihai dan cepat, akan tetapi menghadapi Sin-eng Kiam-hoat yang dimainkan oleh Tin Eng, ia menjadi terdesak hebat dan pada satu saat pedang Tin Eng berhasil membacok putus sebelah lengannya.

   Kepala bajak itu roboh pingsan dan Tin Eng merasa lega serta tidak tega untuk mengirim tusukan yang terakhir. Ia meninggalkan tubuh lawan, dan membantu Kui Hwa mengamuk, sehingga para bajak itu menjadi jerih dan sisanya yang masih hidup lalu melarikan diri, tak kuat menghadapi dua ekor harimau betina yang mengamuk itu.

   Kemudian Tin Eng mencari buntalan pakaiannya yang terampas dan untung sekali bahwa buntalannya masih terdapat di situ. Hatinya menjadi lega ketika ia memeriksa buntalannya, ternyata barang-barangnya berikut kitab pelajaran pedang Sing-eng Kiam-hoat masih ada di dalam bungkusan.

   Ia memeluk Kui Hwa dan berkata.

   Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Cici Kui Hwa, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Kalau tidak ada yang menolong entah bagaimana jadinya dengan aku."

   "Ah, tak perlu kau berterima kasih, kawan! Orang-orang seperti kita harus tolong menolong. Akupun amat membutuhkan pertolonganmu untuk menghadapi musuh-musuhku."

   "Musuh-musuhmu? Siapakah mereka, cici?"

   Kui Hwa lalu menceritakan tentang permusuhan dengan orang-orang cabang Go-bi-pai.

   "Kami pihak Hoa-san-pai selalu mengalah, akan tetapi orang-orang Go-bi-pai itu benar-benar tak tahu diri dan selalu mencari permusuhan dengan kami. Terutama sekali Seng Le Hosiang yang tiada hentinya berusaha menebus kekalahannya dan mulai menghasut orang-orang gagah dari luar untuk memusuhi kami."

   Bukan main terkejutnya hati Tin Eng mendengar penuturan ini. Betapapun juga, ia boleh dibilang seorang anak murid Go-bi-pai pula.

   "Cici yang baik, terus terang saja kau telah menuturkan keburukan Go-bi-pai kepada seorang anak muridnya!"

   Kui Hwa melompat mundur dan memandang dengan mata terbelalak.

   "Apa?? Kau juga anak murid Go-bi? Ah, jangan kau main-main kawan. Ku lihat ilmu pedangmu sama sekali bukan dari Partai Go-bi-san. Aku kenal baik ilmu silat Go-bi-pai, maka jangan kau mencoba untuk mempermainkan dan membohongi aku!"

   Tin Eng tersenyum, lalu berkata.

   "Kau lihatlah baik-baik, cici!"

   Setelah berkata demikian, dara muda ini lalu bersilat dengan ilmu silat Go-bi-pai sebagaimana yang dipelajari dari ayahnya.

   "Kenalkah kau ilmu silat ini?"

   Tanyanya lalu menghentikan gerakannya.

   Kui Hwa lalu mencabut pedangnya dan berseru.

   "Kau benar-benar anak murid Go-bi-pai! bagus mari kita akhiri di ujung pedang!"

   Tin Eng mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata.

   "Cici yang baik, kau tadi menyatakan heran bahwa orang-orang Go-bi-pai selalu memusuhi kalian orang-orang Hoa-san-pai. Akan tetapi melihat sikapmu ini, bukankah kau yang menunjukkan sikap bermusuhan? Lihatlah saja, Kau mencabut pedang terhadap aku yang tidak menganggapmu sebagai musuh, bukankah ini tidak sesuai dengan kata-katamu tadi?"

   Kui Hwa tersadar dan ia cepat memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang lalu tersenyum dan berkata dengan muka merah.

   "Maaf, adik Tin Eng. Baru sekarang aku melihat seorang anak murid Go-bi-pai tidak mengambil sikap bermusuhan terhadapku, maafkan sikapku tadi."

   Tin Eng memegang lengan Kui Hwa dan berkata,"

   Cici Kui Hwa, agaknya kau telah dibikin sakit hati sekali oleh orang-orang Go-bi-pai, maka kau membenci mereka. Akan tetapi kau lihat sekarang bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai jahat-jahat dan memusuhimu. Marilah kita melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bukankah kau hendak ke Ki-ciu?"

   "Tidak, adik Tin Eng. Aku hendak kembali ke Kang-lam, dan kau lanjutkanlah perjalananmu ke Ki-ciu. Akan tetapi, lebih baik kau ambil jalan darat saja. Dari sini kau terus ke selatan, setelah tiba di dusun kedua kau membelok ke timur. Ki-ciu terletak kurang lebih lima puluh li dari situ."

   "Cici, melihat mukaku apakah kau mau menghabisi saja permusuhan dengan pihak Go-bi? Aku merasa sedih sekali melihat kau bermusuhan dengan pihak Go-bi, karena secara tak langsung akupun anak murid Go-bi-san, sebab ayahku adalah murid Go-bi-san pula. Seperti kau ketahui, permusuhan itu merupakan permusuhan pribadi dan jangan membawa-bawa cabang persilatan menjadi musuh, buktinya akupun tidak memusuhi kau, cici!"

   Kui Hwa menarik napas panjang dan menggelengkan kepala.

   "Adikku yang baik, agaknya kau belum banyak merantau dan belum banyak mengalami hal-hal yang mengecewakan, sehingga kau tidak mengetahui keadaan. Permusuhan ini sudah amat mendalam dan sesungguhnya bukan datang dari pihak kami. Sudah banyak kami menerima hinaan dari pihak Go-bi, maaf, adik Tin Eng. Memang sesungguhnya jarang sekali terdapat anak murid Go-bi-pai seperti kau!"

   "Apakah kau pernah mengalami hinaan? Dari siapakah?"

   Kembali Kui Hwa menarik napas panjang.

   "Kalau diceritakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Semenjak memiliki sedikit kepandaian silat, sudah menjadi kebiasaan ku untuk membasmi orang-orang jahat yang mengganggu rakyat. Beberapa bulan yang lalu pernah aku mengejar seorang jai-hwa-cat (penjahat pengganggu anak bini orang) dan kebetulan sekali penjahat itu juga memiliki ilmu-ilmu silat dari cabang Go-bi. Ia telah tersusul olehku dan tentu ia akan binasa di ujung pedangku, kalau saja ia tidak ditolong oleh seorang tosu dan muridnya, yang terang-terangan membela orang-orang Go-bi-pai. Aku dikalahkan oleh murid tosu itu dan mendapat hinaan dari mereka. Tosu itu bernama Bong Bi Sianjin dan muridnya bernama Gan Bu Gi."

   

Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini