Ceritasilat Novel Online

Pusaka Gua Siluman 10


Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Akan tetapi, taihiap..."

   Siok Beng Hui tiba-tiba berpaling seperti mendengar sesuatu.

   "Bun-ji (anak Bun), kau baru datang?"

   Katanya girang dan muncullah seorang pemuda tampan dari balik batang pohon. Semua orang tidak mendengar kedatangannya kecuali Siok Beng Hui. Pemuda ini adalah Siok Bun! Siok Bun segera memberi hormat kepada ayahnya, kemudian kepada Kwee Cun Gan dan yang lain-lain.

   "Ayah, selama ini anak pergi mencari jejak nona Souw Lee Ing yang menghilang di daerah bukit Gua Siluman di pantai Laut Kuning. Anak melihat dia diancam dan diserang oleh Hui-ouw-tiap Yap Lee Nio yang hendak membalas dendam atas kematian suaminya. Anak membantu nona Souw dan berhasil mengundurkan Hui-ouw-tiap yang agaknya tidak bernafsu untuk bermusuhan dengan anak. Akan tetapi, ketika anak sedang bertempur itu, nona Souw menghilang. Sampai berbulan-bulan anak mencari di sekitar daerah batu-batu karang yang amat sukar dijelajahi itu, namun sia-sia. Kemudian anak merantau dan mencari-cari, juga sia-sia..."

   Suara Siok Bun terdengar amat terharu dan berduka. Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui dan isterinya memandang putera yang tunggal itu dengan penuh perhatian. Pemuda ini menjadi amat kurus dan sinar matanya mengandung kesedihan besar.

   "Bun-ji, agaknya.... hemmm, agaknya kau sudah jatuh hati kepada puteri Souw-enghiong...?"

   Memang Siok Beng Hui orangnya jujur suka terus terang, maka tidak malu-malu membongkar rahasia hati puteranya di depan orang banyak.

   Siok Bun menundukkan mukanya yang menjadi merah seperti udang direbus. Pemuda ini wataknya lebih menurun dari ibunya, halus dan pemalu.

   Maka ia segera menjawab untuk membantah ayahnya.

   "Ayah, bukankah nona Souw Lee Ing itu puteri tunggal Souw-lo-enghiong? Bukankah sudah menjadi kewajiban anak dan kewajiban semua orang gagah untuk menolongnya? Harap ayah memberi petunjuk kalau sikap anak menolong dan mencarinya itu salah."

   "Tidak, tidak salah,"

   Kata ayahnya cepat-cepat.

   "Bahkan tepat sekali. Sayang, kau tidak dapat membawanya ke sini. Betapapun juga, sudah baik dia tidak terjatuh ke dalam tangan Hui-ouw-tiap yang hendak mencelakakannya. Cuma anehnya, ke manakah dia pergi sehingga kau tidak dapat mencarinya?"

   Semua orang juga merasa heran dan kecewa, mereka khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu atas diri nona itu.

   "Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu dan dia dapat melarikan diri dengan selamat,"

   Kata Siok Beng Hui.

   "Bun-ji, sekarang kita menghadapi hal yang lebih penting."

   "Anak tadi sudah mendengar semua, ayah. Bukankah fihak Auwyang-taijin yang selalu bertindak sewenang-wenang dan menantang kita? Kebetulan sekali aku ingin mencoba kelihaian si keji Auwyang Tek, biar anak yang melayaninya."

   "Bagus, memang sudah sepatutnya kau menyumbangkan tenaga, kalau perlu jiwa, demi menjaga nama dan kehormatan junjungan kita. Akan tetapi kau harus berlaku hati-hati, Bun-ji. Sepasang sarung tangan dan Hek-tok-ciang dari putera menteri durna itu benar-benar tak boleh dipandang ringan."

   Siok Bun mengangguk-angguk.

   "Anak sudah mendengar akan keganasan Hek-tok-ciang itu, ayah. Karenanya kita harus melawannya sedapat mungkin. Benar pendapat The-lopek tadi, kejahatan harus dilawan."

   Siok Beng Hui berkata kepada Kwee Cun Gan.

   "Saudara Kwee, harap kau suka mengutus seorang saudara ke fihak musuh dan menetapkan hari pibu."

   Wajah para anggauta Tiong-gi-pai nampak gembira. Biarpun mereka maklum akan kekuatan fihak lawan, namun mereka menaruh harapan bahwa kali ini mereka telah mempunyai jagoan yang akan dapat mengalahkan Anwyang Tek. Mereka tahu akan kelihaian Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui dan dapat menduga bahwa ilmu kepandaian putera pendekar ini tentu tinggi pula.

   Kwee Cun Gan segera mengatur segalanya. Menyampaikan surat yang menyatakan menerima tantangan Auwyang Tek yang berkali-kali dikirim kepada fihak Tiong-gi-pai itu dan menjanjikan akan bertemu di sebuah hutan di luar kota, di mana memang sering kali diadakan pertandingan-pertandingan antara jago-jago kedua fihak.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rombongan Tiong-gi-pai sudah berada di dalam hutan itu, di sebuah tempat yang terbuka karena memang pohon-pohon di bagian ini ditebangi sehingga terdapat sebuah lapangan yang cukup luas, pendeknya tempat yang enak untuk bertanding mengadu kepandaian silat. Siok Bun berjalan diapit oleh ayah bundanya yang semenjak malam tadi sudah memberi banyak petunjuk kepadanya, terutama ayahnya.

   "Jangan kau pandang ringan pada pukulan-pukulan Hek-tok-ciang,"

   Antara lain ayahnya memberi nasehat.

   "biarpun kedua tangannya tidak memegang senjata, namun dua buah sarung tangan yang membungkus tangannya itu merupakan senjata yang ampuh. Sarung tangan itu tidak dapat rusak oleh senjata tajam dan selain pukulan Hek-tok-ciang sendiri mengandung tenaga Iweekang yang ampuh, juga sarung tangan itu mengandung racun hitam yang amat berbahaya. Jangan kau biarkan tangannya menyentuh badanmu dan seberapa dapat desak dia dengan senjatamu. Mudah-mudahan kau dapat mengatasinya."

   "Jangan khawatir, ayah. Anak akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga nama dan kehormatan kita,"

   Jawab pemuda itu dengan sikap gagah.

   Ketika rombongan Tiong-gi-pai ini tiba di lapangan pihu, di sana sudah menanti fihak musuh, yaitu Auwyang Tek sendiri yang berdiri sambil tertawa-tawa sombong, dikawani oleh belasan orang, di antaranya terdapat Toat-beng-pian Mo Hun, Ma-thouw Koai tung Kui Ek, dua orang jago Jepang Manimoko yang berambut kaku dan bertubuh gemuk bundar dan Jokuto yang melihat kepala gundul dan pakaiannya adalah seorang hwesio. Selain ini masih kelihatan pula Tok ong Kai Song Cinjin yang duduk bersila sambil memejamkan matanya.

   Melihat tokoh tokoh besar ini. diam-diam fihak Tiong-gi-pai terkejut sekali. Akan tetapi Siok Bun tidak kelihatan takut karena ia tahu bahwa yang akan ia hadapi adalah Auwyang Tek, bukan tokoh-tokoh besar itu. Setelah rombongan Tiong-gi-pai mengambil tempat duduk di pinggir lapangan itu,

   berhadapan dengan fihak kai Song Cinjin, Siok Bun lalu melangkah -main menghadapi Auwyang Tck. Sikapnya tenang namun sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan melihat pemuda putera menteri durna yang sudah terkenal amat keji dan jahat ini.

   Auwyang Tek tertawa mengejek sambil memandang ke arah Kwee Cun Gan dan kawan-kawannya.

   "Ha-ha ha, orang-orang Tiong-gi-pai. Akhirnya ada juga jago muda yang berani menghadapi aku? Inikah orangnya?"

   "Auwyang Tek manusia sombong. Sudah terlalu banyak kau mengganggu orang yang tak berdosa dan tidak berkepandaian. Sekarang akulah musuhmu,"

   Kata Siok Bun dengan wajah tenang. Kembali Auwyang Tek tertawa mengejek dan menggosok-gosok kedua tangannya yang bersarung tangan. Terdengar suara seperti dua batang barang baja digosok.

   "Ha-ha-ha, kau sudah bosan hidup? Apa kau tidak mendengar tentang lihainya kedua tanganku?"

   "Orang lain boleh gentar menghadapi Hek-tok-ciang. akan tetapi aku Siok Him takkan mundur setapakpun."

   Mendengar nama ini, semua orang di pihak Kai Song Cinjin memandang ke arah Siok Beng Hui. Ma-thouw Koai tung Kui Ek mengeluarkan suara di hidung dan berkata.

   "Aha. kiranya Pek-kong Sin-kauw sudah mengajukan puteranya Sebentar lagi tentu ia sendiri akan maju. Ah, aku ingin sekali melihat kehebatan sepasang senjata kaitan yang terkenal itu!"

   Memang semua orang tahu bahwa pemuda she Siok itu tentu putera Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui, dan para tokoh besar yang bergabung menjadi kaki tangan menteri durna, ingin sekali mendapat kesempatan menghadapi Siok Beng Hui. Akan tetapi karena Siok Beng Hui tak pernah maju, merekapun tidak berani gegabah, tahu bahwa pendekar kaitan ini adalah utusan dari Raja Muda Yung Lo Hanya di dalam pertandingan pibu mereka berani turun tangan, ini semua tentu saja menurut perintah Menteri Auwyang Peng yang tidak- mau dianggap mengganggu atau membunuh utusan Raja Muda Yung Lo.

   Sementara itu. mendengar bahwa pemuda tampan bertopi batok "tu putera Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui. Anwyang Tek bersikap hati-hati, tidak berani memandang rendah. la maklum bahwa Pek-kong Sin-kauw adalah seorang jago siang-kauw yang sudah ternama sekali, memiliki kepandaian tinggi dan sudah boleh dijajarkan setingkat dengan kaum cianpwe. Tentu saja putera pendekar pedang kaitan ini memiliki kepandaian tinggi pula. Akan tetapi Auwyang Tek tidak merasa takut, hanya berhati-hati Apa yang harus ia takuti sedangkan gurunya sendiri, Kai Song Cinjin yang kosen berada di situ, bahkan masih banyak lagi jago-jago tua di sampingnya yang tentu akan melindunginya?

   "Bagus,"

   Katanya sombong.

   "memang aku sudah merasa bosan kalau bertanding dengan jago-jago Tiong gi-pai yang tidak becus apa-apa. Sekarang Tiong-gi-pai kehabisan jago sampai Pek-kong Sin-kauw sendiri mengajukan puteranya, ingin sekali aku melihat sampai di mana kelihaiannya!"

   Kembali pemuda putera menteri yang sombong ini menggosok-gosok kedua telapak tangan yang tertutup sarung tangan itu dan warna sarung tangan itu menjadi makin menghitam.

   Siok Bun mencabut senjatanya, sebatang kaitan perak dan memasang kuda-kuda, senjata di tangan kanan menyusup di bawah lengan kiri yang dilonjorkan dan jari telunjuk kiri menuding ke depan. Inilah kuda-kuda Tit-ci-thian-lam (Telunjuk Menuding ke Selatan) yang mengandung tantangan dan kelihatannya gagah sekali.

   "Auwyang Tek. majulah kau!"

   Kata Siok Bun.

   Auwyang Tek mengeluarkan suara ketawa lagi dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke depan. Dalam gebrak pertama saja Auwyang Tek sudah memperlihatkan kecepatannya dan kedua tangannya bertubi-tubi melakukan pukulan dari kanan kiri. Harus diketahui bahwa Hek tok-ciang pemuda ini memang sudah tinggi Jangankan sampai tangannya menyentuh tubuh orang, baru terkena hawa pukulan Hek-tok-ciang saja, lawan yang kurang tangguh Iweekangnya takkan kuat menahan. Hawa pukulan ini panas mengandung tenaga berbisa, dapat menghanguskan kulit. Kalau menyentuh tubuh, hawa berbisa itu dapat melukai sebelah dalam tubuh dan darah akan keracunan.

   Siok Bun berlaku cepat dan bersikap waspada. Serangan-serangan lawannya itu dielakkan sambil tak lupa kaitannya bekerja. Dari samping ia membalas pukulan lawan dengan serangan pertama, menyabet iga kiri dilanjutkan dengan gerakan mengait. Senjata di tangan Siok Bun inipun bukan senjata biasa yang dapat dipandang ringan. Sekali saja ujung kaitan memasuki kulit lawan, senjata ini akan mengait keluar otot dan urat terpenting, dapat memecah tulang dan memutuskan urat. Gerakannya tidak kalah gesitnya karena pemuda ini sudah mewarisi ginkang dari ibunya.

   Auwyang Tek menghadapi serangan Kong- ciak-tiauw-wi (Burung Merak Menyabetkan Buntut) ini cepat melompat mundur, lalu dengan gerakan memutar dan kanan ia menerjang musuhnya lagi dan mengirim pukulan Hek-tok-ciang yang dahsyat dai kanan. Siok Bun sampai dapat mencium bau

   amis dari pukulan tangan beracun ini. Cepat pemuda ini menutup pernapasannya dan mengelak sambil memapaki tangan yang memukul itu dengan sin-kauwnya.

   "Plak!"

   Siok Bun terhuyung mundur, senjatanya terpental oleh pukulan lawan. Auwyang Tek hanya tertangkis dan gagal saja serangannya. Dari pertemuan senjata ini saja sudah dapat dilihat bahwa dalam hal Iweekang, Auwyang Tek masih menang setingkat. Siok Bun kaget sekali dan melihat ujung kaitannya yang tadinya putih mengkilap ini sudah berubah agak kehijauan, ia makin terkejut Baru ia membuktikan sendiri kedahsyatan Hek-tok-ciang Kalau yang menangkis tadi bukan senjata melainkan tangannya, sudah pasti ia terkena racun Hek-tok-ciang dan sudah kalah.

   Namun ia tidak menjadi gentar dan mengerjakan senjatanya secara cepat, diputar-putar dan mainkan ilmu kaitan warisan ayahnya Pek-kong-kauw-hoat (Ilmu Kaitan Sinar Putih). Memang hebat sekali ilmu silat kaitan ini, dan indah pula kelihatannya. Setelah kaitan dimainkan cepat, tiada bedanya dengan permainan pedang. Senjata itu lenyap berubah menjadi segulung sinar putih yang berkelebatan menyambar ke sana ke mari! Semua orang yang menyaksikan permainan ini menjadi kagum sekali.

   "Permainan yang bagus!"

   Terdengar Toat-beng-pian Mo Hun sendiri sampai memuji. Kakek siluman pemakan otak manusia ini memang suka akan ilmu silat dan tanpa ia sadari ra sampai memuji permainan fihak musuh.

   "Hanya bagus dilihat, tidak ada isinya!"

   Bantah Ma-thouw Koai-tung Kui Ek, panas hatinya karena sudah berkali-kali ia ingin mencoba kepandaian Pek-kong Sin-kauw, sekarang permainan kaitan itu dipuji, tentu saja ia tidak senang.

   Celaan terhadap permainan anaknya sama dengan mencela dirinya sendiri. Akan tetapi Siok Beng Hui tidak sempat memperdulikan ini semua. Seluruh perhatiannya ia curahkan kepada puteranya yang sedang menghadapi pertandingan mati-matian dengan lawan yang amat tangguh itu. Wajahnya nampak berseri ketika ia melihat puteranya mainkan sin-kauw dengan gerakan mempertahankan dan melindungi diri. Memang, selama Siok Bun melindungi dirinya dengan sinar senjatanya, pukulan-pukulan Hek-tok-ciang dari Auwyang Tek takkan menembus sinar gulungan senjata itu. Berkali-kali ayah ini mengangguk-angguk puas melihat ketangkasan anaknya yang kali ini benar-benar mempertahankan nama ayahnya, juga nama Tiong-gi pai dan nama Raja Mltida Yung Lo.

   Memang perhitungan Siok Bun yang dibenarkan oleh ayahnya ini tepat. Dengan mainkan sin-kauw yang luar biasa cepatnya itu, Siok Bun telah membentuk lingkaran sinar senjata yang mengandung hawa Iweekang, yang tak dapat ditembus oleh Auwyang Tek. Karena dia sendiri bertangan kosong dan maklum akan bahayanya kalau sampai tubuhnya terkait, terpaksa Auwyang Tek hanya mengirim pukulan-pukulan Hek-lok-ciang dari jarak jauh dan semua hawa pukulan ini buyar, tak dapat menembus gulungan sinar senjata lawan.

   Pertempuran berjalan seru dan mati-matian sampai hampir seratus jurus. Keduanya sudah mulai nampak lelah namun belum juga ada ketentuan siapa yang kalah. Fihak Tiong-gi-pai tersenyum-senyum, karena kali ini mereka sudah memukul kesombongan fihak lawan. Biasanya, seorang jago muda dari Tiong-gi-pai sudah roboh dalam dua-tiga puluh jurus saja menghadapi Auwyang Tek, kalau tidak tewas tentu terluka berat. Akan tetapi kali ini, Siok Bun berhasil membuat Auwyang Tek berloncatan ke sana ke mari tanpa dapat melakukan pukulan mautnya yang amat ampuh dan keji itu.

   Sebaliknya, fihak Kai Song Cinjin berwajah muram dan penasaran. Bahkan Kai Song Cinjin sendiri yang meramkan mata dan duduk bersila nampak mengerutkan kening. Dengan meramkan mata dapat mengikuti jalannya pertempuran, sungguh hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah setinggi Kai Song Cinjin ilmu kepandaiannya. Tiba-tiba Kai Song Cinjin menggerakkan bibirnya, berkemak-kemik seperti orang membaca doa, akan tetapi tidak terdengar ada suara keluar dari mulutnya. Sikapnya benar benar amat menggelikan hati. Beberapa orang anggauta Tiong-gi pai yang memperhatikan kakek mi sampai tak dapat menahan ketawanya, mengira bahwa kakek itu berdoa untuk kemenangan muridnya.

   Akan tetapi Pek kong Sin kauw Siok Beng Hui menjadi pucat. Di antara orang-orang Tiong-gi-pai, memang hanya dia yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk dapat menangkap arti gerak bibir Kai Song Cinjin itu. la maklum bahwa kakek itu tengah mempergunakan ilmu semacam Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), akan tetapi dengan pengerahan Iweekang dan khikang sedemikian hebatnya sehingga suara ini dapat dikirim sesuka hatinya dan pada saat itu tentu kakek yang licik ini mengirim suaranya ke telinga muridnya untuk memberi nasihat dalam pertempuran itu. Sayang Siok Beng IImu kepandaiannya tidak cukup tinggi untuk dapat menangkap kata-kata rahasia yang disampaikan secara aneh oleh Kai Song Cinjin kepada muridnya la tak dapat berbuat lain kecuali memandang ke arah pertempuran dengan hati hati sekali penuh perhatian dan mukanya menjadi pucat.

   Ang lian ci Tan Sam Nio yang melihat kegelisahan terbayang pada muka suaminya menjadi heran sekali. Padahal menurut penglihatannya, pada saat itu mendadak Auwyang Tek amat kendur gerakannya, kelihatannya lelah sekali dan Siok Bun sudah mulai mengirim serangan-serangan hebat dan keadaannya amat mendesak ke arah kemenangan. Menurut perkiraan ibu ini, puteranya tentu sebentar lagi akan menang, mengapa suaminya nampak gelisah?

   Tiba-tiba Siok Beng Hui berseru, menambah keheranan dan kebingungan hati isterinya.

   "Bun-ji, jangan terlalu desak dia! Kau tertipu....!"

   Pendekar yang sudah banyak pengalamannya dalam pertempuran ini tahu bahwa Auwyang Tek bukan lambat gerakannya dan terdesak karena kekalahan, melainkan karena rnemang sengaja. Dan otaknya yang cerdas dapat menangkap apa artinya ini. Tentu Kai Song Cinjin tadi memberi nasihat kepada muridnya untuk menggunakan akal ini memancing supaya Siok Bun mendesak dengan serangan-serangan dahsyat sehingga pertahanan Siok Bun sendiri menjadi kurang kuat karena perhatian lebih banyak dicurahkan kepada serangan.

   Dugaan ini memang tepat sekali. Kai Song Cinjin sendiri sekarang sampai membuka matanya karena rahasianya dipecahkan oleh Siok Beng Hui. Semua orang heran sekali mendengar seruan Siok Beng Hui tadi. Akan tetapi Siok Bun adalah seorang pemuda yang masih berdarah panas, la sedang mendesak lawannya dan akan memperoleh kemenangan yang berarti menjunjung nama mereka dan juga merobohkan seorang pemuda jahat, mengapa ayahnya melarang? Bagaimana dia bisa tertipu?

   "Ayah, akan kubasmi si jahat ini....!"

   Teriaknya gembira dan kaitannya menyambar makin ganas.

   Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba- tiba Auwyang Tek tertawa dan dengan tubuh mendoyong ke depan sengaja menerima pukulan kaitan ke arah pundaknya itu, menggerakkan tangan kiri menyambar kaitan dan tangan kanannya dipukulkan ke depan. Resiko ini diambil deh Auwyang Tek karena ia menang kedudukan. Memang senjata lawan datang lebih dulu, akan tetapi dengan mendoyongkan tubuh, senjata itu akan menyambar ke pundak dan masih ada tangan kirinya yang menahan, sebaliknya pukulan Hek-tok-ciang dilancarkan oleh tangan kanannya secara hebat.

   Siok Bun melihat datangnya bahaya ini, cepat mengelak. Namun terlambat. Terdengar baju Auwyang Tek di bagian pundak robek dan berdarah terkena ujung kaitan yang berhasil ia tangkap dengan tangan kiri, akan tetapi Siok Bun mengeluarkan jerit tertahan dan tubuhnya roboh bergulingan. Tulang pundaknya remuk dan kulit pundaknya memperlihatkan tanda lima jari tangan menghitam, tanda pukulan Hek-tok-ciang. Auwyang Tek tertawa terbahak-bahak melihat tubuh Siok Bun dipondong oleh Siok Beng Hui dan diperiksa pundaknya. Siok Bun menggigit bibir, mukanya pucat.

   "Kerahkan tenaga, dorong hawa murni ke atas melawan racun di pundak,"

   Bisik Siok Beng Hui sambil memberi tiga bulir obat untuk ditelan oleh puteranya. Namun ia maklum bahwa obat ini hanya penahan sementara saja, dan bahwa putera-nya telah menderita luka hebat.

   "Ha ha. orang-orang Tiong-gi-pai, kiranya hanya sebegitu saja kepandaian jago kalian. Jangankan baru sebegitu, biar ayah ibunya sekalipun aku takkan takut"

   Tantang Auwyang Tek sambil tertawa-tawa sombong dan luka kecil pada pundaknya dibalut oleh seorang "juru rawat".

   "Omitohud.... akhirnya datang juga kesempatan membalas dendam!"

   Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang hwesio tua berjenggot putih halus, sinar matanya menyinarkan pengaruh besar dan tangannya menyeret sebatang tongkat. Anehnya, begitu ia muncul, ia tidak menoleh kepada orang lain, melainkan memandang ke arah Toat-beng pian Mo Hun dengan mata mengandung kemarahan.

   Auwyang lek mengira bahwa hwesio ini adalah seorang jago Tiong-gi-pai yang muncul ke gelanggang hendak menantang berkelahi, maka tanpa banyak cakap lagi ia, memukul dengan Hek-tok-ciang sambil membentak.

   "Anjing gundul,pergilah dari sini!"

   Hwesio itu nampak terkejut sekali menghadapi pukulan yang anginnya menyambar hebat, mendatangkan hawa panas sekali. Cepat ia mengibas dengan ujung lengan bajunya yang lebar ke arah jari-jari tangan Auwyang Tek.

   "Brett!"

   Ujung lengan baju itu putus dan ujungnya hangus seperti disambar api yang panas sekali. Akan tetapi Auwyang Tek terhuyung mundur dan tergetar.

   "Omitohud, pukulan yang ganas bukan main."

   Hwesio itu berkata dan menarik napas panjang sambil memandang ke arah Kai Song Cinjin yang masih bersila meramkan mata.

   "Pukulan Hek tok-ciang sungguh lihai, hanya bisa diturunkan oleh tokoh besar seperti Tok-ong (Raja Racun). Kai Song Cinjin, harap kau menyuruh muridmu mundur karena pinceng tidak ada urusan dengan dia."

   Kai Song Cinjin membuka matanya dan memberi isyarat dengan tangan supaya Auwyang Tek mengundurkan diri. Pemuda ini yang sudah tahu bahwa ia berhadapan dengan orang yang lebih kosen, tidak membantah lagi, mengundurkan diri di belakang suhunya.

   "Kiranya seorang sahabat dari Siauw-lim-pai yang datang. Sahabat yang datang ada kepentingan apakah?"

   Tanya Kai Song Cinjin, suaranya halus dan senyumnya ramah, sungguh berbeda isi hatinya yang penuh tipu muslihat.

   "Omitohud. benar-benar bukan nama kosong julukan Tok-ong Kai Song Cinjin. sekali melihat tangkisan pinceng sudah tahu bahwa pinceng dari Siauw-lim-pai."

   Hwesio itu menjura kepada Kai Song Cinjin.

   "Siauw-lim-pai termasuk partai persilatan besar, siapa tidak mengenal tangkisan Hong-tan-tiam-ci (Burung Hong Pentang Sebelah Sayap) tadi?"

   Jawab Kai Song Cinjin tersenyum. Sebagai seorang cabang atas dalam kalangan persilatan, tentu saja ia mengenal banyak dasar ilmu silat lain partai.

   "Kai Song Cinjin, dahulu pinceng mempunyai seorang murid yang amat baik bernama Thian Le Hosiang. Sayang sekali murid pinceng yang selalu patuh akan ajaran Nabi itu pada suatu hari tewas secara mengenaskan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kalau pinceng mencari pembunuhnya dan menuntut balas agar roh muridku itu tidak menjadi roh penasaran."

   "Siapa yang membunuhnya?"

   Tanya Kai Song Cinjin.

   Hwesio itu menuding ke arah Toat-beng-pian Mo Hun, itulah, siluman pemakan otak manusia. Toat-beng pian Mo Hun yang membunuhnya!"

   Suaranya berubah nyaring berpengaruh, mengejutkan siapa yang mendengarnya. Toat-beng-pian Mo Hun berdiri dari tempat duduknya, cambuknya digerakkan dan berbunyi "tar! tar!"

   Keras sekali, disusul suara ketawanya mengakak, hanya terdengar suara "kak-kak-kak"

   Saja.

   "Hwesio Siauw-lim-pai, kau siapakah datang-datang mencari penyakit dengan aku?"

   Tanya Mo Hun, matanya disipitkan. mulutnya menyeringai.

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Pusaka Gua Siluman (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   "Pinceng adalah Wat Siok Hosiang, sengaja jauh-jauh datang ke sini untuk membalaskan kematian murid pinceng Thian Le Hosiang yang kau bunuh secara keji "

   Kembali Mo Hurt tertawa "Aku tidak pernah mencatat nama musuh-musuh yang lelah tewas oleh pianku. Mungkin sekali muridmu itu berani menentangku dan mampus di tanganku, habis kau mau apakah?"

   Wat Siok Hosiang marah sekali. Dia adalah tokoh Siauw-lim-pai dari tingkat empat, kepandaiannya tinggi, tugasnya di Siauw-lim-pai sebagai seorang di antara para penjaga tata lertib, maka wataknya juga keras. Tongkatnya dipukulkan ke atas tanah sampai batu-batu yang terpukul pada ambles, dan ia membentak.

   "Yauwkoai (siluman) jahat, kalau pinceng tidak mampu membasmi percuma saja pinceng belajar silat sejak kecil!"

   "Ho-ho-ho, lagaknya! Mari ku antar kau ke akhirat menjumpai roh muridmu!"

   Jawab Toat-beng-pian Mo Hun dan secepat kilat menyambar, pian kelabang di tangannya sudah menyambar tanpa mengeluarkan suara Pian kelabang ini bukan main berat dan tajamnya, sekali saja mengenai leher akan putuslah leher orang. Entah sudah berapa puluh atau ratus manusia tewas oleh pian ini sehingga begitu menyambar, hawa yang berbau amis dan busuk keluar dari senjata mengerikan Ini. Namun Wat Siok Hosiang tidak menjadi gentar. Tongkatnya bergerak mantep menangkis senjata lawan.

   "Traang....!"

   Pian kelabang terpukul mundur dan Toat-beng pian Mo Hun meringis, telapak tangannya terasa gemetar. Tahulah ia bahwa dalam hal tenaga Iweekang, ia masih kalah oleh jago tua Siauw-lim-pai ini Memang Siauw-lim-pai terkenal dengan Iweekangnya, akan tetapi ilmu silat Siauw-lim-pai terlalu jujur, tidak seperti Mo Hun yang memiliki tipu-tipu licik dalam ilmu silatnya yang tinggi.

   Ketika untuk selanjutnya kedua senjata bertemu, Wat Siok Hosiang yang menjadi kaget karena tiap kali senjata tongkatnya berhasil menangkis pian

   itu, tentu ujung pian masih bergerak ke arah muka atau tubuhnya dengan kecepatan luar biasa. Beberapa kali ia hampir menjadi korban karena tidak menyangka pian itu masih dapat menyerang biarpun sudah ditangkis.

   Sementara itu. Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui setelah memeriksa keadaan luka di pundak Siok Bun secara teliti, lalu berkata kepada putera-nya.

   "Bun-ji, lukamu tidak ringan, racun Hek-tok-ciang amat jahat. Obat penawarnya hanya ada pada Auwyang Tek dan gurunya yang tentu saja tidak mungkin mau menolong. Satu-satunya orang yang dapat menolongmu hanya Yok-sian (Dewa Obat) di Thien-mu-san..."

   Suara pendekar ini terdengar gelisah.

   "Ayah maksudkan Koai yok-sian (Dewa Obat Aneh) orang gila yang berada di puncak Thien-mu-san itu? Aah, kalau begitu sama artinya bahwa anak takkan dapat tertolong lagi..."

   Siok Bun tidak menjadi berduka atau takut, hanya tersenyum pahit.

   
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Biarlah, ayah. Anak sudah berusaha sekuat tenaga..."

   Dua titik air mata jatuh menetes dari sepasang mata Ang-lian-ci Tan Sam Nio. Nyonya yang gagah ini tidak menangis. Air mata dua titik itupun cepat ia hapus dengan saputangan.

   Siok Beng Hui menarik napas panjang.

   "Mati hidup berada di tangan Thian, mengapa takut-takut? Koai-yok-sian memang dianggap seperti orang gila, akan tetapi kiranya tidak percuma dia diberi nama Yok-sian (Dewa Obat). Biarpun aku sendiri belum pernah menyaksikan, namun sudah terlalu sering dibicarakan orang aneh yang seperti gila itu menyembuhkan pelbagai penyakit secara ajaib. Mengapa kau tidak coba-coba mendatanginya? Thien-mu-san tidak begitu jauh."

   "Mari kuantar kau ke sana. Bun-ji."

   Kata Tan Sam Nio.

   "Jangan,"

   Mencegah suaminya.

   "Aku mendengar bahwa orang aneh itu tak pernah mau menolong orang sakit yang datangnya diantar dan selalu yang ia tolong adalah orang sakit yang berada seorang diri. Agaknya ia tidak mau cara pengobatannya disaksikan orang lain."

   "Pergilah, anakku, pergilah mencari obat! Semoga Thian melindungimu..."

   Suara Tan Sam Nio terdengar sayu, tanda kegelisahan dan keharuan hatinya.

   Siok Bun mentaati permintaan ayah bundanya dan pemuda ini berjalan pergi sambil meraba-raba pundaknya yang terasa sakit sekali. Hanya beberapa orang anggauta Tiong-gi-pai saja yang memperhatikan kepergian pemuda ini, disertai pandang mata yang mengandung keharuan dan rasa kasihan. Yang lain-lain tidak memperhatikannya karena sedang menonton pertandingan yang lebih hebat lagi antara hwesio tokoh Siauw-lim pui melawan Toat-beng-pian Mo Hun.

   Memang pertempuran itu hebat sekali, dilakukan oleh dua orang ahli silat kelas tinggi. Kadang-kadang saking cepatnya mereka mainkan senjata, sampai tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar senjata masing-masing. Ada kalanya dalam pengerahan adu tenaga Iweekang, senjata mereka saling tempel dan tubuh mereka tegang tidak bergerak, hanya terdengar suara "krek-krek"

   Dari tulang-tulang mereka yang berkerotokan dan senjata mereka yang hampir tidak kuat menahan dorongan tenaga dalam.

   Para anggauta Tiong-gi-pai diam-diam mengharapkan kemenangan Wat Siok Hosiang, karena biarpun hwesio Siauw-lim-pai ini tidak bertempur di fihak mereka, namun setidaknya hwesio itu melawan musuh mereka. Akan tetapi harapan inereka ini sia sia belaka. Setelah pertandingan berlangsung lima puluh jurus lebih dengan mati-matian. segera ternyata bahwa Mo Hun masih terlampau kuat bagi jago tua Siauw-lim-pai itu. Perlahan namun pasti, pian kelabang itu mendesak Wat Siok Hosiang, melakukan tekanan-tekanan berat dengan serangan-serangan mendadak dan cepat. Kasihan sekali hwesio yang sudah tua itu, hanya mengelak atau menangkis dengan tongkatnya, sama sekali tidak mampu membalas lagi. Mo Hun terus melakukan serangan bertubi-tubi sambil tertawa-tawa mengejek.

   Setelah keadaannya terdesak sekali. Wat Siok Hosiang berlaku nekat dan mainkan Ilmu Tongkat Lo-han-tung di selingi Ilmu Tongkat Tee-tong-tung dari Siauw-lim-pai. Ilmu Tongkat Lo-han-tung ini adalah ilmu tongkat yang digerakkan secara lambat namun mengandung daya tahan yang besar, karena dilakukan dengan pengerahan tenaga Iweekang dan gwakang diselang-seling. Adapun Ilmu Tongkat Tee-tong-tung dimainkan dengan cara bergulingan dan tongkat menyambar-nyambar dari bawah dalam penyerangannya.

   Hanya karena terdesak saja maka hwesio itu mainkan ilmu tongkat ini, karena ilmu tongkat ini adaiah ilmu vang amat berbahaya. Kalau berhasil, lawan dapat dirobohkan, namun kalau tidak, berarti kakek yang sudah tua itu akan kehabisan tenaga sendiri dan kalah. Memang beberapa kali Mo Hun menjadi kelabakan menghadapi dua ilmu silat tangguh dari Siauw-lim-pai ini. Pian kelabangnya sering kali terpukul mental dan pahanya sudah kena hantaman tongkat ketika lawannya bergulingan itu.

   Namun kepandaian Mo Hun memang tinggi. Pukulan pada pahanya belum cukup kuat untuk merobohkannya dan biarpun ia tadinya terdesak. namun ia dapat membela diri secara baik dan cukup lama sampai lawannya akhirnya kehabisan tenaga. Akhirnya Wat Siok Hosiang tidak kuat lagi mainkan Lee-tong-tung dan berdiri dengan napas kempas-kempis menyenen kemis.

   "Heh-heh-heh, hwesio berpenyakitan. Apa sudah siap memasuki alam baka bertemu dengan arwah muridmu?"

   Mo Hun mengejek, pian kelabang nya menyambar dahsyat! Wat Siok Hosiang sekuat tenaga mengangkat tongkatnya menangkis. Akan tetapi pian yang panjang itu hanya bagian tengahnya tertangkis, sedangkan bagian ujungnya masih terus menyerang ke arah leher hwesio Siauw-lim-pai itu!

   Wat Siok Hosiang mencoba untuk mengelak, namun terlambat. Pundaknya terkena sambaran pian yang runcing, bajunya robek berikut kulit dan daging pundak, bahkan tulang pundak ikut remuk. Hwesio tua itu menjadi pucat, terhuyung ke belakang. Pian kelabang menyambar lagi!

   "Cukup!"

   Terdengar Kai Song Cinjin berseru dan tiba-tiba pian itu terhenti gerakannya di tengah udara, terpukul oleh semacam tenaga tidak kelihatan yang dilakukan oleh Kai Song Cinjin dari tempat duduknya. Diam-diam Mo Hun kaget bukan main, la memang tahu bahwa Raja Racun itu lihai bukan main akan tetapi menahan piannya hanya dengan hawa pukulan, itulah benar-benar di luar dugaannya! la tidak berani membantah, hanya ha-hah-he-heh melangkah mundur.

   Kai Song Cinjin kini sudah berdiri, ternyata tubuhnya tinggi besar dan sikapnya keren.

   "Wat Siok Hosiang. pinceng sengaja datang melerai, oleh karena Mo Hun sicu pada waktu ini bekerja sama dengan pinceng melindungi keangkeran kerajaan. Oleh karena di antara pinceng dan Siauw-lim-pai memang tidak pernah ada permusuhan, pinceng anggap habis sampai di sini saja. Kecuali kalau Mo Hun sicu mengadakan pertempuran dengan orang-orang Siauw-lim-pai tidak di depan pinceng, hal itu adalah urusan pribadi dan masa bodoh. Harap kau suka menerima kata-kata pinceng ini dan mengundurkan diri."

   Wat Siok Hosiang sudah merasa dikalahkan, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi hanya memandang kepada Mo Hun dengan mata berkilat.

   "Lain kali kita bertemu kembali,"

   Katanya kepada Mo Hun lalu menyeret tongkatnya pergi dari situ.

   Mo Hun tertawa bergelak dan suara ketawanya segera diikuti oleh kawan-kawannya ketika mereka melihat fihak Tiong-gi-pai juga mengundurkan diri tanpa bersuara lagi. Kekalahan dnri fihak Tiong-gi-pai kali ini benar-benar menyakitkan hati, terutama sekali bagi Siok Beng Hui. Juga Kwee Cun Gan merasa penasaran tidak mendapat perkenan dari Raja Muda Yung Lo yang masih segan memusuhi pembesar pembesar yang disayang oleh ayahnya, untuk menghadapi pertandingan pibu, mereka selalu menderita kekalahan.

   Siok Bun dalam keadaan lerluka berat mendaki Bukit Thien-mu-san. Bukit ini letaknya tidak jauh dari kota raja Nan-king, merupakan bukit yang subur dan mengandung hutan-hutan lebat. Sudah belasan tahun di dalam sebuah di antara hutan-hutan di gunung ini terdapat seorang aneh yang keadaannya lebih tepat disebut gila.

   Para pemburu dan penebang kayu kadang-kadang melihat orang ini tertawa-tawa dan bicara seorang diri di dalam hutan, ada kalanya sampai berbulan-bulan orang tidak melihatnya-Kadang-kadang ia kedapatan berada dalam sebuah rumah gubuk di dalam hutan itu, duduk samadhi seorang diri. Sukar sekali mengajak orang ini bicara, karena selain ia jarang bicara dengan orang, kalau sudah bicara ngacau tidak karuan. Akan tetapi karena sudah banyak sekali orang mengaku ditolong nyawanya dari semacam penyakit berat, ia mendapat julukan Koai-yok-sian atau Dewa Obat Gila, karena kepandaiannya mengobati seperti dewa akan telapi wataknya seperti orang gila!

   Pada siang hari itu, ketika Siok Bun mendaki Bukit Thien-mu-san, keadaan di perjalanan sunyi sekali. Tiba-tiba kesunyian terpecah oleh suara orang yang berlari-lari dari bawah dan terkejutlah hati Siok Bun menyaksikan belasan orang berlari-lari cepat mendaki bukit. Melihat cara orang-orang itu berlari cepat, mudah dikenal bahwa mereka adalah orang-orang kang ouw yang berkepandaian tinggi. Cepat Siok Bun menyelinap ke dalam semak-semak dan membiarkan mereka itu lewat, la melihat dua belas orang yang sikapnya gagah, tujuh orang masih muda, yang empat sudah tua dan seorang lagi adalah nenek bongkok, berlari sambil bercakap-cakap.

   "Dia aneh dan gila, bagaimana kalau tidak mau menolong?"

   Kata seorang.

   "Kita paksa dan siksa dia sampai menuruti"

   Kata nenek itu yang menyeret tongkatnya.

   Setelah mereka lewat dekat, baru ketahuan oleh Siok Bun bahwa mereka itu masing-masing menderita luka, baik luka luar badan maupun luka dalam. Agaknya mereka baru saja mengalami pertempuran dan menderita kekalahan, seperti dia! Anehnya, luka pada tubuh mereka itu bertanda jari tangan merah. Siok Bun benar-benar heran sekali, keadaan mereka tak jauh dengan keadaannya sendiri, hanya bedanya, kalau ia dilukai oleh tangan hitam, mereka itu agaknya dilukai oleh tangan merah.

   Melihat cara mereka bergerak itu menunjukkan bahwa mereka berkepandaian, dan dapat dibayangkan betapa lihainya orang genangan merah yang mengalahkan mereka. Siapakah dia yang bertangan merah? Siok Bun sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, akan tetapi belum pernah mendengar tentang orang yang memiliki tangan merah.

   Hemmm, sikap mereka ini bukan seperti orang baik-baik, pikir Siok Bun. Tentu mereka akan minta pertolongan Koai-yok-sian, akan tetapi mereka hendak memaksanya Diam-diam ia lalu mengikuti mereka itu naik ke puncak, karena hutan di mana ahli pengobatan gila itu tinggal adalah hutan dekat puncak. Benar saja dugaannya. Rombongan dua belas orang itu memasuki hutan dan tak lama kemudian mereka berhenti di depan sebuah gubuk butut. Mereka berkumpul di depan pintu gubuk yang tertutup dan menggedor-gedor pintu itu.

   "Hee, Koai-yok-sian, bukalah pintu, kami mau bicara!"

   Kata seorang di antara mereka yang masih muda.

   "Koai yok sian, keluarlah untuk mengobati kami!"

   Kata nenek bongkok yang menyeret tongkat. Nenek ini terluka pada pipi kirinya yang ada tanda lima jari tangan merah. Wajahnya jadi menggelikan sekali.

   Tak lama kemudian, dari dalam terdengar suara parau terkekeh-kekeh mentertawakan mereka, disusul kata-kata yang tidak karuan.

   "Heh-heh-heh, banyak lalat busuk. He-he-heh!"

   Nenek itu nampaknya menjadi marah. Tangan kirinya didorongkan ke depan dan"brakk!"

   Pintu itu pecah berantakan.

   "Orang gila, jangan kau berani mempermainkan kami. Dengarlah, kami Hek-lim Ngo-tai-ong (Lima Raja Hutan Hitam) yang datang, minta kau mengobati kami. Kami akan memberi hadiah banyak emas kalau kau mau. kalau tidak, hemmm, jangan harap bisa hidup dengan badan utuh lagi. Hayo keluar!"

   Tiba-tiba terdengar suara yang tenang namun berpengaruh dari dalam, di sebelah belakang gubuk itu.

   "Koai-yok-sian, biarkan saja mereka itu. Kalau ada yang berani masuk, pinto yang akan usir."

   Suara ini menandakan bahwa selain si gila, masih ada orang lain di dalam gubuk itu. Hal ini membuat dua belas orang itu tercengang. Seorang di antara mereka, laki-laki tua bercambang bauk, menjadi marah. Dengan golok terhunus ia melompat ke dalam gubuk melalui pintu yang sudah ambruk daun pintunya itu.

   Akan tetapi, begitu ia melompat masuk, ia terlempar keluar kembali dalam keadaan tubuh lemas lumpuh terkena totokan yang luar biasa hebatnya! Beberapa orang kawannya maju menolong, akan tetapi akhirnya hanya nenek bertongkat itu saja yang mampu membebaskan totokan itu. Mereka menjadi panik, hendak menyerbu tidak berani.

   "Bakar saja gubuknya! Bakar, tentu si gila mau keluar,"

   Kata seorang. Semua setuju dan hendak membakar gubuk itu. Pada saat itu Siok Bun melompat keluar dari sembunyinya, mencabut keluar senjata kaitannya dan membentak,

   "Kalian ini perampok-perampok sungguh tak tahu malu! Beginikah cara orang datang minta tolong? Benar bocengli (tidak tahu aturan)! Kalau kalian nekat hendak membakar rumah orang yang kalian hendak mintai tolong, terpaksa aku Siok Bun tidak mau tinggal diam begitu saja!"

   Melihat yang muncul adalah seorang pemuda yang pundak kirinya sudah terluka hebat, tentu saja kawanan perampok itu tidak takut. Malah tiga orang muda di antara mereka sambil tertawa mengejek lalu menyerbu dengan golok di tangan. Seorang di antara yang tiga ini membentak.

   "Kau ini tikus dapur yang sudah mau mampus, masih banyak tingkah!"

   Akan tetapi begitu Siok Bun menggerakkan kaitannya, tiga orang itu menjerit dan golok mereka terlempar, lengan tangan mereka sudah tergores ujung kaitan!

   Empat orang kakek dan seorang nenek yang menjadi kepala-kepala rampok itu, menjadi kagum dan juga marah. Segera mereka semua maju untuk mengeroyok Siok Bun, namun Siok Bun tidak menjadi gentar. Sudah kepalang, pikirnya. Biarpun dia terluka parah dan tenaganya tinggal setengah bagian saja, namun lebih baik mati mempertahankan kebenaran daripada berpeluk tangan saja menyaksikan kejahatan dilakukan orang. Ia memutar kaitannya dan di lain saat ia telah dikeroyok. Ternyata kepandaian lima orang itupun lihai. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang, biarpun Siok Bun sudah terluka. tentu SioK Bun dapat melawan mereka Akan tetapi celakanya, orang-orang itu maju bersama dan mendesaknya. Keadaan Siok Bun benar-benar berbahaya sekali.

   "Orang muda sombong, kepandaianmu boleh juga "

   Nenek itu berkata sambil mendesak dengan tongkatnya.

   "Kau juga terluka, lebih baik kita sama-sama menyeret keluar Koai-yok-sian untuk mengobati kita."

   Memang nenek itu kurang nafsunya berkelahi dalam keadaan terluka hebat oleh tangan merah.

   "Cih! Siapa sudi bersekutu dengan sekawanan perampok jahat yang tidak mengenal perikemanusiaan? Jangan kata kalian hendak minta pertolongan tuan rumah, baru datang sebagai tamu saja sudah berlaku kurang patut. Kalian pantas dihajar!"

   "Pemuda goblok, dalam keadaan begini kau masih tinggi hati? Kau yang patut dihajar. Hayo pukul mampus anjing ini!"

   Nenek itu menjerit dan mempercepat gerakan tongkatnya. Juga kawan-kawannya bergerak makin cepat dan dalam jurus-jurus berikutnya Siok Bun sudah tak dapat membalas serangan mereka, hanya memutar kaitannya membela diri.

   Akan tetapi karena luka di pundak kirinya sakit sekali, ia telah mendapat bacokan yang menyerempet pahanya. Darah mengalir membasahi celananya. Namun pemuda yang gagah perkasa ini pantang mundur atau menyerah, terus melakukan perlawanan. Tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan dua orang terlempar dari tempat pertempuran. Ketika kawanan perampok itu menengok, si nenek berseru kaget.

   "Celaka... Ang-sin-jiu datang...!"

   Dan berlari-larianlah mereka sambil menyeret kawan yang terluka. Sebentar saja tempat itu ditinggalkan oleh kawanan perampok tadi. Siok Bun melihat seorang pemuda yang tampan sekali mengejar mereka. Iapun ikut mengejar.. menyeret kakinya yang terluka karena ingin tahu siapa Ang-sin-jiu dan apa yang akan terjadi selanjutnya.

   Dengan gerakan yang cepat dan ringan, pemuda tampan itu sudah dapat menyusul kawanan perampok. Sekali melompat ia telah melewati nenek yang galak tadi dan begitu ia mengulur tangan memegang pundak nenek itu, si nenek tak dapat bergerak dan berdiri gemetar!

   "Ang-sin-jiu ampunkan aku yang sudah tua..."

   Katanya.

   Pemuda itu tersenyum dan sekarang Siok Bun dari tempat intaiannya melihat wajah yang ganteng sekali, dengan mata jeli dan tajam, hidung mancung dan bibir yang merah tersenyum-senyum. Bukan main tampannya pemuda ini, pikir Siok Bun. tampan dan gagah. Akan tetapi mengapa kedua telapak tangannya itu putih bersih saja, tidak merah?

   "Hek-lim Ngo-tai ong, kalian sudah menerima hajaran dari aku. Hajaran itu bukan membikin kalian kapok, malah di sini kalian berani mengganggu dan mengeroyok orang Apakah kalian baru kapok kalau nyawa kalian sudah meninggalkan raga?"

   Suara pemuda itu halus.namun mengandung pengaruh dan ancaman, membuat dua belas orang itu menjadi pucat.

   "Siauw-hiap, mohon sudi memberi ampun kepada kami,"

   Kata seorang di antara empat kakek dan ia lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuiti oleh sebelas orang kawannya.

   "Sesungguhnya kami tidak bermaksud mengganggu Koai-yok-sian atau pemuda ini, akan tetapi kami merasa khawatir dan gelisah karena, karena kami sudah terluka oleh siauw-hiap"

   Pemuda itu tersenyum dan biji matanya dimainkan, seakan-akan merasa geli.

   "Apakah kalian menganggap aku ini raja akhirat yang suka mencabut nyawa? Memang kalian sudah kuberi tanda, akan tetapi aku masih belum tega untuk mencabut nyawa. Entah kalau kelak melihat kekejian kalian lagi, sudah pasti aku takkan memberi ampun."

   Ia mengeluarkan bungkusan kertas dari saku bajunya dan melemparkannya ke tanah.

   "Di dalam bungkusan ini terdapat duapuluh empat butir obat. Makanlah seorang dua butir dan tanda-tanda merah itu dalam Waktu sebulan akan lenyap. Tanpa obat ini, biarpun kalian takkan mati, tanda itu selamanya takkan bisa hilang lagi. Nah, pergilah!"

   Duabelas orang itu menjadi girang sekali, ber-kali-kali mengucap terima kasih lalu beramai-ramai pergi turun gunung. Siok Bun keluar dari tempat sembunyinya. Ia amat tertarik oleh kegagahan pemuda itu dan ingin berkenalan.

   Melihat Siok Bun muncul, pemuda itu tersenyum, dan menjura.

   "Saudara benar gagah perkasa dan berbudi mulia. Siauwte (adik) merasa kagum sekali. Bolehkan siauwte mengetahui nama saudara yang terhormat?"

   Siok Bun makin tertarik dan suka kepada pemuda yang amat sopan dan ramah ini. Melihat keadaannya, memang pemuda ini tidak lebih tua dari padanya, bahkan lebih patut kalau masih disebut remaja, sungguhpun sikap yang sopan merendah itu membuktikan adanya pendidikan baik dan pengalaman luas. Iapun balas menjura dengan kaku karena pundak dan pahanya sakit-sakit.

   "Aku yang bodoh bernama Bun she Siok. Tentangkepandaianku amat memalukan untuk dibicarakan, sebaliknya saudaralah yang patut dipuji dan amat mengagumkan hatiku. Siapakah saudara dan apa betul saudara yang mereka sebut-sebut... Ang-sin-jiu (Si Tangan Merah Sakti)?"

   Sejak mendengar nama Siok Bun, pemuda itu sudah mengangkat muka memandang penuh perhatian.

   "Saudara she Siok....? Masih ada hubungan kiranya dengan Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui, melihat senjata yang saudara bawa itu?"

   "Dia adalah ayahku."

   "Aah, pantas... pantas. Nama besar Siok lo-cianpwe sudah lama kudengar di mana-mana. Kiranya puteranyapun demikian gagah perkasa."

   Tiba-tiba wajah pemuda tampan itu nampak kaget alisnya yang hitam sekali berkerut.

   "Aah.. luka di pundakmu itu... bukankah itu bekas Hek-tok-ciang...?"

   Pada saat itu Siok Bun sudah hamipir tidak kuat menahan rasa sakit di pundaknya. Apa lagi ia habis bertempur hebat, peredaran darahnya cepat sehingga hawa racun itu menggelapkan pikirannya.

   Akan tetapi ia menggigit bibir menahan diri.

   "Betul... Hek-tok-ciang. aduh... maaf.... kepalaku pening... tak kuat lagi..."

   Dan Siok Bun selanjutnya sudah tidak ingat lagi. la terguling dan tentu roboh terbanting di atas tanah kalau saja pemuda itu dengan tangkasnya tidak segera menyambar tubuhnya dan merebahkannya di atas rumput.

   "Kasihan... pemuda gagah perkasa..."

   Terdengar pemuda itu berbisik. Dengan cepat tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu merobek baju di bagian pundak yang terluka oleh pukulan Hek-tok-ciang. Alisnya yang tebal itu bergerak-gerak ketika dengan teliti ia memeriksa, la nampak ragu-ragu dan gelisah dan terdengar ia berkali-kali berkata seorang diri.

   "Haruskah aku...?"

   Lalu dijawabnya sendiri.

   "Mengapa tidak? Dia gagah perkasa lagi bijaksana dan mulia hatinya, putera Pek-kong Sin-kauw Siok Beng Hui yang dipuji puji namanya oleh sucouw..."

   Dengan cekatan ia memijit jalan darah di sana-sini sampai akhirnya Siok Bun siuman kembali dari pingsannya. Melihat ia rebah dan pemuda tampan tadi duduk di dekatnya, Siok Bun segera melompat bangun. Akan tetapi pemuda itu cepat menekan pundaknya dan berkata lirih namun keren,

   "Siok-twako, jangan bergerak. Lukamu hebat dan darahmu mulai keracunan, karena tadi kau mengerahkan tenaga ketika bertempur. Tenanglah, biar siauwte mencoba mengobatimu. Jangan membantah dan jangan bicara, biar siauwte menerangkan. Siauwte bernama Oei Siok Ho murid Kun-lun-pai. Oleh sucouw, siauwte sudah dilatih memiliki Ilmu Ang-sin-ciang, di dalam darah siauwte mengandung racun merah yang dapat melawan keganasan racun hitam. Kita dari satu golongan, kau percayalah, siauwte sanggup mengobati lukamu dan mengusir racun Hek-tok-ciang dari pundakmu."

   Siok Bun memandang dengan mata kagum, juga terharu melihat orang yang baru saja dijumpainya sudah suka menolongnya. Akan tetapi ketika pemuda yang bernama Oei Siok Ho itu mulai melakukan cara pengobatannya, hatinya menjadi terharu sekali dan ia merasa kaget. Siok Ho ternyata mulai menyedot darah dari luka di pundak itu dengan mulutnya! Kalau tidak mendengar kata-kata tadi, tentu ia tidak akan membiarkan orang berlaku sedemikian berbahaya. Ia tahu bahwa racun Hek-tok-ciang amat berbahaya dan lihai.

   Bagaimana pemuda ini berani menyedotnya dengan mulut? la meramkan matanya. Tak sanggup menyaksikan pertolongan yang mengandung pengorbanan besar ini. Tidak saja pemuda ini terancam keselamatannya, juga siapa orangnya tidak merasa jijik menyedot darah keracunan dari luka orang lain? Apa lagi baru saja bertemu! Ketika ia meramkan matanya, dengan kagum ia merasa betapa tenaga sedotan, mulut pemuda itu kuat sekali. Bibir pemuda itu hangat-hangat menempel kulit pundaknya dan dari mulut terdapat tenaga menyedot yang memaksa darahnya mengalir ke pundak.

   Tak lama kemudian Siok Ho meludahkan darah yang sudah menghitam dan berbau busuk. Tak terasa lagi mengalir dua titik air mata dari mata Siok Bun yang dimeramkan. Jangankan sampai tertolong nyawanya, andaikata tidak tertolong sekalipun dan ia mati, rohnya akan selalu berhutang budi kepada pemuda luar biasa ini.

   Tiga kali Siok Ho menyedot dan banyak darah yang keluar, akan tetapi Siok Bun menjadi makin lemas tubuhnya. Dengan jari-jari tangan cekatan Siok Ho lalu membungkus luka itu setelah menempeli obat bubuk. Kemudian ia duduk bersila di depan Siok Bun yang juga bersila di atas tanah.

   "Siok-twako, sekarang kau harus mengumpulkan seluruh perhatian dan tenaga dalam, buka serhua jalan darahmu, terutama di lengan kiri karena aku akan memberikan darahku, yang mengandung racun merah ke dalam tubuhmu."

   "Akan tetapi. ."

   Bantah Siok Bun kaget.

   "Ssttt, diamlah! Itulah cara pengobatan satu-satunya Andaikata Koai-yok-sian suka menolongmu, hal ini kuragukan, karena orangnya sinting, belum tentu ia sanggup mengusir racun hitam di pundakmu, kecuali kalau ia memiliki katak merah. Sudah, kau bersiaplah, aku hanya menolong karena kita sama-sama manusia segolongan pula, menolongmu bukan berarti aku menyumbang nyawaku."

   Setelah berkata demikian, pemuda itu mengambil sebatang jarum perak yang cepat ia tusukkan ke lengannya, tepat pada jalan darah besar, kemudian iapun melubangi kulit lengan kiri Siok Bun. Setelah itu menempelkan lengannya pada lengan Siok Bun, tepat pada kulit yang sudah dilubangi dari mana darahnya mengalir keluar memasuki lengan Siok Bun.

   Pemindahan atau pengoperan darah macam ini tak dapat dilakukan secara begitu saja kalau kedua orang itu tidak memiliki k pandaian tinggi. Andaikata yang memiliki kepandaian tinggi hanya Oei Siok Ho seorang, takkan mungkin ia dapat memindahkan darahnya kalau si penerima tidak memiliki tenaga dalam untuk menyedot darah itu ke dalam lengannya sendiri. Dengan cara bersila keduanya mengerahkan tenaga, Oei Siok Ho mendorong darahnya keluar, sebaliknya Siok Bun mengerahkan tenaga menerima darah itu.

   Siok Bun merasa darah yang panas sekali memasuki lengannya, membuat kepalanya pening sekali. Akan tetapi ia bertahan dan berkat latihan Iweekangnya yang sudah dalam ia dapat menahan juga. Tiba tiba Siok Bun muntah-muntah dan karena mereka berhadapan, tentu saja ia mengotori pakaian Oei Siok Ho. Akan tetapi pemuda aneh yang menolongnya itu malah tertawa puas.

   "Tertolong sudah... syukur..!"

   Dan ia melepaskan lengannya.

   Ketika Siok Bun sudah sehat kembali dari rasa pusing dan muak, ia memandang dan.... pemuda itu nampaknya lelah bukan main, duduk sambil meramkan mata, napas memburu dan mukanya yang tampan menjadi agak pucat, peluhnya memenuhi muka dan leher. Tergerak hati Siok Bun. la mengulurkan tangan dan menggunakan ujung lengan baju menyusuti peluh di muka dan leher itu, akan tetapi Oei Siok Ho cepat menolak tangannya, lalu memandang dan tersenyum.

   "Selamat, Siok-twako. Kau sudah tidak terancam maut lagi."

   Dan pemuda luar biasa ini bangkit berdiri. Siok Bun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan penolongnya.

   "In-kong (tuan penolong), aku Siok Bun sampai mati takkan melupakan budi yang mulia ini. Andaikata di dunia ini aku tidak dapat membalas budimu, biarlah di penjelmaan kelak aku menjadi kuda atau anjingmu...."

   Oei Siok Ho dengan gagap-gugup mengangkat bangun Siok Bun.

   "Aih...aih... kenapa kau memakai sungkan-sungkan seperti ini, Siok-twako? Tak baik dilihat orang. Aku sudah merasa puas kalau kau mengaku aku sebagai seorang sahabatmu."

   "Sahabat? Kau lebih dari adikku sendiri! Biarlah mulai saat ini, kalau aku tidak terlalu kurang ajar dan lancang, kau kuanggap saudaraku. Saudara Oei. berapakah usiamu, tua mana kau dengan aku?"

   Oei Siok Ho tersenyum.

   "Usiaku delapan belas tahun."

   Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Siok Bun menggeleng-geleng kepala.

   "Usia delapan belas tahun sudah memiliki kepandaian sehebat ini, bukan main! Oei-siauwte, kau adalah adikku. Aku sudah berusia dua puluh tahun. Biarlah kita bersumpah mengangkat saudara...."

   Akan tetapi, aneh sekali. Oei Siok Ho menggeleng kepala.

   "Tak usah, cukup kalau kita bersahabat atau bersaudara, tak perlu mengangkat saudara dan bersumpah. Hati manusia selalu berubah, tidak akan tetap. Alangkah mengecewakan kalau kelak seorang di antara kita melanggar sumpah. Eh, Siok-twako, apakah kau cukup kuat untuk bertanding?"

   "Apa...? Bertanding dengan siapa?"

   Siok Bun cepat menengok ke kanan kiri khawatir kalau-kalau muncul musuh.

   "Dengan aku!"

   Siok Bun sampai melongo mendengar ini.

   "Aku...? Bertanding dengan.. dengan... kau...? Apa artinya?"

   Oei Siok Ho bicara dengan sikap bersungguh-sungguh.

   "Dengarlah, Siok-twako. Sesungguhnya akupun mempunyai permusuhan dengan musuh-

   musuhmu, dengan pemilik Hek-tok-ciang. Baik kuceritakan secara ringkas saja."

   Maka berceriteralah Oei Siok Ho tentang keadaan di Kun-lun-san beberapa tahun yang lalu.

   Seperti pembaca tentu masih ingat, beberapa tahun yang lalu. Tok-ong Kai Song Cinjin pergi menantang ke Kun-lun-pai untuk melampiaskan kemarahan hatinya terhadap Souw Teng Wi yang menjadi anak murid Kun-lun-pai. Seperti telah diceritakan di bagian depan, mulut Tok-ong Kai Song Cinjin sampai rusak dalam pertempurannya melawan Souw Teng Wi. Dengan hati geram Kai Song Cinjin menuju ke Kun-lun dikawani oleh Ma thouw Koai-tung Kui Ek membawa pasukan.

   Di tengah perjalanan Kai Song Cinjin bertemu dengan Toat-beng-pian Mo Hun yang akhirnya ikut pula ke Kun-lun-pai untuk mengobrak-abrik partai persilatan itu. Pertempuran hebat terjadi di Kun-lun-pai di mana orang-orang Kun-lun-pai banyak sekali yang tewas. Yang lain melarikan diri dan hanya Swan Thai Couwsu guru besar Kun-lun-pai berhasil mengusir Kai Song Cinjin (bagian ini akan diceritakan di bagian belakang), akan tetapi guru besar yang sangat tua ini juga menderita luka berat.

   Di antara anak murid Kun-lun-pai, terdapat Oei Siok Ho yang masih muda sekali akan tetapi bersemangat besar, tak pernah meninggalkan couw-sunya dalam pertempuran itu. Melihat bakat baik dalam diri Oei Siok Ho dan melihat bahwa dirinya takkan lama lagi hidup di dunia, Swan Thai Couwsu lalu mewariskan kepandaiannya kepada Oei Siok Ho, bahkan memberi ilmu pukulan Ang -sin-ciang untuk melawan Hek-tok-ciang dari Kai Song Cinjin.

   

Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini