Ceritasilat Novel Online

Pusaka Gua Siluman 16


Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



"Karena kami adalah sebagai tamu, harap tuan rumah segera mengajukan jagonya yang pertama!"

   Kwee Cun Gan menantang, mulai menjalankan siasatnya. yaitu hendak melihat lebih dulu jago mana yang diajukan oleh lawan agar dapat mengimbanginya.

   Dari fihak Auwyang Tek muncul seorang pendek gemuk dan kepalanya gundul bundar, jubahnya gedombyangan seperti jubah pendeta. Inilah Yokuto yang sudah diberi isyarat oleh Tok-ong Kai Song Cinjin untuk maju. Juga fihak Auwyang Tek ini biarpun yang menjadi juru bicara Auwyang Tek, namun dalam pibu yang mengatur adalah Tok-ong sendiri. Seperti halnya fihak Tiong-gi-pai, tokoh besar ini tentu saja memiliki pengalaman dan siasat yang licin, lapun tidak mau mengajukan Mo Hun atau Kui Ek, melainkan mengajukan seorang jago Jepang yang tentu saja kepandaiannya tak dapat ditaksir oleh fihak lawan dan dapat membikin lawan menjadi ragu-ragu.

   Memang tepat perhitungan Kai Song Cinjin. Majunya jago Jepang ini membingungkan Kwee Cun Gan dan kawan-kawannya dan merusak siasat mereka. Mereka dapat menduga dari siang-siang bahwa urutan kepandaian fihak lawan adalah pertama Tok-ong sendiri, ke dua Mo Hun, ke tiga Kui Ek dan selanjutnya Auwyang Tek dan lain jago. Akan tetapi sekarang yang maju seorang jago asing yang rupanya seperti katak gemuk, demikianpun ketika jago Jepang ini berdiri di panggung sambil merendahkan tubuh seperti kodok hendak meloncat! Sukar untuk menilai sampai di mana kepandaian jago lawan ini dan siapa kiranya yang tepat untuk diajukan. Kalau mengajukan Pek Mao Lojin atau Im-yang Thian-cu, bagaimana kalau fihak lawan ini makanan empuk? Berarti terkena siasat lawan!

   Kwee Tiong melangkah maju di depan pamannya.

   "Biarlah aku yang melayaninya,"

   Katanya tenang.

   Karena masih ragu-ragu, Kwee Cun Gan menganggukkan kepala, sukar baginya untuk memilih lain orang.

   "Majulah dan hati-hati, agaknya dia memiliki kepandaian istimewa."

   Kwee Tiong menggerakkan kedua kakinya dan dengan ringan sekali ia melompat ke atas panggung Gerakannya sederhana, namun ginkangnya membuktikan bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara sedikitpun ketika ia berada di depan dan memasang kuda-kuda, merangkap kedua tangan ke depan dada dan berkata,

   "Aku Kwee Tiong mendapat kehormatan untuk menemani lo-enghiong main-main. Tidak tahu siapakah nama besar lo-enghiong?"

   Yokuto tertawa, giginya yang hitam dan kecil-kecil itu kelihatan sekilat di tengah mukanya yang bulat seperti bola. Ia mengangguk-angguk sambil membongkok dalam, matanya sipit hampir tertutup.

   "Orang muda yang gagah... aku hwesio miskin Yokuto."

   Mendengar suara yang asing ini dan mendengar nama Yokuto, tahulah Kwee Tiong dan semua orang yang berada di situ bahwa jago kate ini adalah seorang Jepang. Diam-diam Kwee Tiong menjadi gemas sekali. Sudah terang orang-orang Jepang banyak yang menjadi bajak dan mengganggu rakyat di pantai timur, bagaimana Auwyang Peng sudi mempergunakan tenaga orang Jepang? Sudah jamaknya orang memandang rendah kepada bangsa yang memusuhi negara dan bangsanya, apa lagi seorang muda seperti Kwee Tiong. Melihat hwesio Jepang yang menyeringai sungkan-sungkan itu, Kwee Tiong memandang rendah segera ia membentak,

   "Bangsa bajak lihat seranganku!"

   Dengan cepat pemuda ini melangkah maju dan mengirim pukulan keras ke arah dada lawan.

   Biarpun tubuhnya besar bundar, ternyata hwe-Sio Jepang ini memiliki gerakan yang lincah sekali. Menghadapi serangan itu, dengan tenang namun cepat kakinya menggeser ke samping, tubuhnya meliuk ke bawah dan mengelak dengan mudah dan gerakannya itu amat aneh, asing bagi Kwee Tiong. Dan hebatnya, Yokuto dengan kontan membalas serangan lawan dengan cepat, kedua tangannya bertubi-tubi memukul ke depan dengan jari-jari tangan terbuka. Tangannya dipergunakan sebagai pedang atau golok, membabat dan menusuk, dan melihat jari tangan yang kaku keras itu, Kwee Tiong dengan hati kecut dapat menduga bahwa lawannya tentu memiliki tenaga terlatih semacam Tiat-see-jiu (Tangan Bubuk Besi). Setiap serangan selalu diikuti dengan teriakan-teriakan "haait! yaaah!"

   Dan Kwee Tiong maklum betapa berbahayanya pukulan tangan miring ini.

   Namun, betapa keras dan cegatnya serangan berantai dari Yokuto, dengan mudah murid Pek Mao Lojin dapat mengelaknya. Pada suatu saat yang tepat, Kwee Tiong sengaja menangkis dengan jari tangan dimiringkan pula, mengadu lengan untuk mengukur sampai di mana kekuatan lawan.

   "Plak! Plak!"

   Hampir berbareng dua serangan tangan kanan kiri sampai akan tetapi keduanya dapat disampok oleh Kwee Tiong sehingga kedua lengan mereka saling bertemu. Akibatnya, Yokuto terhuyung mundur karena terdorong dan kesakitan, sedangkan Kwee Tiong juga melangkah mundur karena terdorong dan merasa kedua lengannya sakit dan ngilu. Tahulah ia bahwa kalaupun ia menang tenaga, kemenangan itu tidak ada artinya atau boleh dibilang hampir sama seimbang.

   Pada saat keduanya mundur, Kwee Cun Gan melompat ke pinggir panggung dan menggunakan isyarat dengan tangannya diangkat ke atas dan mulutnya berseru.

   "Harap yang pibu berhenti dulu!"

   Auwyang Tek mengerutkan kening. Biarpun belum dapat dilihat siapa yang akan menang dalam pibu pertama ini, namun sikap Kwee Cun Gan mencurigakan..

   "Kwee Cun Gan, kau mau apa menghentikan pibu?"

   Tanyanya tak senang.

   "Sebelum pibu dilanjutkan, aku perlu mengetahui dulu sampai di mana batas pibu ini? Dalam keadaan bagaimanakah dianggap kalah?"

   Kwee Cun Gan bertindak tepat sekali. Ia tadi melihat bahwa biarpun ilmu kepandaian keponakannya amat tinggi, namun ternyata lawannya, orang jepang itu, juga lihai, la khawatir kalau-kalau fihak Auwyang Tek hendak mempergunakan siasat keji, yaitu membasmi semua orang Tiong-gi-pai. Dia sendiri tidak takut mati, akan tetapi orang muda seperti Kwee Tiong yang masih panjang cerita, masih belum kenyang hidup di dunia, sayang kalau sampai tewas.

   Auwyang Tek tertawa mengejek.

   "Ha-ha-ha, Kwee Cun Gan. Masa begitu saja kau masih bertanya lagi? Kalau orang sudah memasuki pibu, apa artinya darah mengalir dan nyawa melayang?"

   "Betul katamu, akan tetapi harus diingat bahwa pibu ini sekedar hendak menentukan siapa yang menang siapa kalah dan di samping itu ada pertaruhannya. Kalau sifatnya mau bunuh-membunuh, mengapa kau tadi bicara lunak dan menginginkan habisnya permusuhan?"

   Kwee Cun Gan balas mengejek.

   Auwyang Tek menengok ke arah Tok-ong Kai Song Cinjin, akan tetapi hwesio itu diam saja. Auwyang-taijin menggerakkan tangan ke arah puteranya. Auwyang Tek menghampiri dan pembesar itu berbisik sesuatu.

   "Kwee Cun Gan, kalau menurut kehendakmu bagaimana?"

   Tanya pemuda itu setelah mendengar bisikan ayahnya.

   "Siapa yang terlempar ke bawah panggung, dia yang kalah. Tentu saja kalau terlempar sampai mati atau tewas di atas panggung, itu bukan soal. Hanya siapa yang sudah terlempar ke bawah panggung, dianggap kalah dan yang menang tidak sekali-kali boleh menyerang terus untuk membunuh."

   Auwyang-taijin mengangguk-angguk dan Auwyang Tek menjawab.

   "Baik, kami terima usulmu itu. Memang biasanya dalam pibu demikian aturannya. Mengapa kau mengajukan usul yang sudah tidak asing lagi bagi kita semua?"

   "Dalam segala hal lebih baik dijanji dulu dan orang-orang yang merasa diri gagah biasanya tidak mau melanggar janji,"

   Jawab Kwee Cun Gan dengan suara dingin menyindir, membuat Auwyang Tek menjadi merah. Kwee Cun Gan lalu melompat turun, kembali ke tempat duduknya.

   Sementara itu, Kwee Tiong sudah mencabut senjatanya, yaitu sepasang pedang. Memang oleh Pek Mao Lojin pemuda ini diberi pelajaran ilmu siang-kiam yang lihai. Kwee Tiong sengaja mencabut pedangnya karena ia melihat gurunya berkedip kepadanya dan memandang ke arah punggungnya, tanda bahwa gurunya menghendaki ia mempergunakan senjata.

   "Yokuto, keluarkan senjatamu, mari kita main-main dengan pedang,"

   Tantang Kwee Tiong yang tentu saja tidak mau bersikap curang dan mempersilahkan lawannya mengambil senjata.

   "He-he-he, kiranya orang muda juga pandai main pedang? Aku sih selamanya mengandalkan sepuluh jari tangan dan dua kaki, akan tetapi kalau kau ingin main-main dengan senjata tajam, boleh kita coba-coba."

   Tubuhnya yang gemuk pendek itu menoleh, ke arah Manimoko yang melemparkan sebuah pedang kepada kawannya itu. Pedang ini berbeda dengan pedang yang dipegang oleh Kwee Tiong, jauh lebih panjang dan lebih besar, bahkan tidak lurus melainkan agak bengkok.

   "Pedangku lebih panjang dan besar, akan tetapi hanya sebatang, sedangkan pedangmu yang kecil ada dua batang, jadi sudah adil. Mulailah, orang muda!"

   Kata Yokuto sambil memegang pedang itu dengan cara yang lucu, yaitu dipegang dengan kedua tangannya!

   Kwee Tiong melihat ujung pedang lawan yang dilonjorkan ke depan itu bergerak-gerak menjadi beberapa buah, tanda bahwa pegangan lawannya kuat dan menggelar penuh tenaga dalam. Ia lalu mendahului dengan serangannya, menusuk sambil menggeser kaki ke kanan sehingga tusukannya "tu masuk dari samping.

   "Heeeiitt!"

   Yokuto berteriak dan pedangnya melayang ke kiri, menangkis pedang lawan dengan kuat sekali. Akan tetapi Kwee Tiong tidak mau mengadu senjatanya yang kecil. Cepat ia menarik kembali pedangnya dan pedang kirinya kini menyambar dengan babatan ke arah pinggang.

   Hebatnya, pedang Yokuto yang tadi diayun untuk menangkis, dengan gerakan melayang dan memutar sudah muncul dari kiri melalui belakang kepala dan dapat menangkis pedang kiri Kwee Tiong dengan baiknya. Pemuda itu kaget karena hampir saja pedangnya terlepas. Demikian berat dan kuat pedang lawan itu.

   Ia mulai berlaku hati-hati sekali, lalu mempergunakan ginkangnya untuk mengurung lawan dengan sinar pedangnya. Ilmu pedangnya memang hebat dan ia mempergunakan dua buah pedang yang jauh lebih kecil dan ringan dari pada pedang lawan, maka tentu saja gerakannya jauh lebih cepat. Bagi para penonton yang kurang pandai ilmu silat tinggi, tentu kagum sekali melihat tubuh pemuda itu lenyap digelung sinar pedangnya sendiri dan kelihatan dua gulung sinar pedangnya menyerang dan mengurung Yokuto yang menjadi mandi keringat!

   "Permainan pedang bagus!"

   Berkali-kali Yokuto berseru memuji. Ia terpaksa harus memutar-mutar pedangnya yang besar dan berat untuk melindungi dirinya dari ancaman sepasang pedang lawan. Akan tetapi, hal ini membuat ia lelah sekali, bermandi keringat dan tak dapat membalas serangan lawan. Seluruh tubuhnya sudah basah kuyup, akan tetapi ia benar boleh dipuji karena sudah lima puluh jurus lamanya dikurung, tetap saja sepasang pedang Kwee Tiong belum dapat menembus pertahanannya yang kuat. Terang sudah bahwa dalam ilmu pedang, jago Jepang itu tidak nempil melawan Kwee Tiong, murid Pek Mao Lojin yang lihai itu.

   Yokuto sendiri maklum bahwa kalau dilanjutkan pertempuran pedang ini, ia pasti akan kalah. Demikian pula kawan-kawannya sudah menjadi gelisah. Tok-ong Kai Song Cinjin mengerutkah kening sedangkan Auwyang Tek membanting-banting kakinya. Oleh karena tahu bahwa bertanding pedang ia takkan menang, Yokuto lalu mempergunakan siasat yang nekat. Ketika sepasang pedang lawannya yang muda datang menyambar, yaitu yang kiri menusuk dada dan yang kanan menabas leher, ia cepat menerjang pedang yang menusuk dada itu dengan tangkisan yang amat kuat. Ini ia lakukan dengan tangan kanan saja yang memegang pedang, sedangkan tangan kiri ia pergunakan untuk menyambar pedang yang membacok lehernya sambil merendahkan tubuh mengelak.

   "Traanggg...!"

   Sabetan pedang besar itu hebat bukan main dan seluruh tenaga Yokuto dikerahkan, berbeda dengan Kwee Tiong yang membagi tenaga di antara kedua lengannya. Tidak heran apa bila pedang kiri pemuda itu tak dapat dipertahankan lagi, terlepas dari pegangan dan meluncur ke bawah panggung. Akan tetapi, pedang kanannya terus menyabet dan biarpun Yokuto sudah mengelak tetap saja pedang itu mengenai pundak, menyerempet dan melukai kulit daging. Biarpun luka ini tidak berbahaya, namun cukup hebat sehingga Yokuto juga melepaskan pedang besarnya. Akan tetapi, orang Jepang ini hebat sekali. Cepat tangannya menyambar ke depan dan di lain saat ia sudah menangkap tangan Kwee Tiong untuk merampas pedang.

   Dalam pergulatan berebut sebatang pedang ini, keduanya mengerahkan tenaga dan... pedang itu terlepas jatuh. Kwee Tiong mengirim pukulan ke depan. Yokuto mengelak ke samping. Saat ini dipergunakan oleh Kwee Tiong untuk mengambil pedangnya yang tinggal sebatang itu, akan tetapi ia didahului oleh Yokuto yang menggunakan kaki menyepak pedang itu ke bawah panggung. Dengan demikian sekarang semua pedang telah hilang dan dua orang jago ini saling berhadapan dengan tangan kosong lagi! Darah mengalir dari pundak Yokuto, membasahi jubahnya bercampur dengan keringat. Juga Kwee Tiong nampak lelah, mukanya sudah basah oleh keringat.

   Dari fihak Tiong-gi-pai terdengar tepuk tangan gembira ketika tadi Kwee Tiong berhasil melukai pundak Yokuto. Akan tetapi oleh karena Yokuto tidak roboh dan masih berada di atas panggung, pula masih mengadakan perlawanan maka belum boleh dianggap dia kalah. Jago Jepang ini marah sekali, mukanya yang bundar menjadi pucat kehijauan dan matanya yang sipit mengeluarkan sinar berapi, penuh dendam.

   Akan tetapi pada saat itu Kwee Tiong sudah datang lagi mendesak dengan serangan hebat. Pukulan-pukulan keras dan cepat dilakukan pemuda ini bertubi-tubi dengan kedua tangan untuk mendesak lawannya yang sudah terluka pundaknya. Yokuto mencoba untuk mengelak dan menangkis, namun sebuah pukulan mengenai pangkal lengannya, membuat ia terlempar ke sudut panggung. Kembali fihak Tiong-gi-pai bersorak. Akan tetapi Yokuto ternyata kuat sekali.

   Ia berdiri lagi dan dengan terhuyung-huyung maju menerjang lawannya. Mukanya menjadi mengerikan karena dari mulutnya mengalir darah, tanda bahwa pukulan tadi telah mendatangkan luka hebat di sebelah dalam. Karena ia belum roboh atau menyerah atau terlempar ke bawah panggung, ia masih belum dapat dianggap kalah. Rupanya Yokuto sudah nekat betul. Biarpun ia sudah terhuyung-huyung, akan tetapi sambil mengeluarkan pekik yang mengerikan, bukan seperti suara manusia lagi, tubuhnya menubruk maju dengan serangan hebat ke arah Kwee Tiong. Pemuda ini menggeser kaki ke samping dan membalas dengan puku)an tangan kanan.

   Yokuto menggerakkan tangan dan menangkap tangan Kwee Tiong secara istimewa. Pemuda itu kaget, mencoba menarik tangannya, akan tetapi tidak dapat. Pegangan Yokuto itu luar biasa sekali dan dalam ilmu yang menyerupai Sin-na-jiu ini orang Jepang itu ternyata lihai sekali. Pegangannya kuat dan sukar dilepaskan lagi. Kwee Tiong memukul lagi, kembali tangan kirinya kena dipegang!

   Dengan kaget Kwee Tiong mengirim tendangan sampai dua kali yang mengenai lambung lawan biarpun tidak amat telak, namun cukup membuat Yokuto mengaduh kesakitan. Pegangannya masih tetap kuat dan tiba-tiba sekali dengan gerakan aneh Yokuto berhasil mengangkat tubuh Kwee Tiong ke atas dan sekali lempar tubuh Kwee Tiong melayang ke luar panggung dan jatuh di bawah. Kwee Tiong mempergunakan ginkangnya berpoksai sehingga jatuhnya berdiri. Dengan gemas dan marah ia melompat lagi ke atas panggung untuk menghadapi lawannya, akan tetapi Auwyang Tek sudah berada di situ dan bertolak pinggang sambil menyindir.

   "Kau sudah kalah dan menjadi pecundang, mau apa masuk panggung lagi?"

   "Siapa kalah? Aku tidak merasa kalah!"

   Kwee Tiong membentak marah sambil memandang kepada Yokuto yang berdiri di sudut dengan muka pucat dan lemas tubuhnya, sedangkan mulut dan hidungnya mengucurkan darah.

   "Jahanam, melawan macammupun aku masih berani, bagaimana dibilang kalah?"

   Kwee Tiong menerjang maju dan menyerang Auwyang Tek yang cepat menangkisnya.

   "Tiong-ji, tahan!"

   Tiba-tiba Kwee Cun Gan berteriak dari bawah panggung. Terpaksa Kwee Tiong menahan serangannya dan menoleh kepada pamannya itu.

   "Turunlah, kau memang kalah oleh lawan,"

   Kata Kwee Cun Gan.

   Kwee Tiong tadi memang sudah mendengar akan syarat-syarat pertandingan dan dia bukan seorang yang hendak berlaku curang. Akan tetapi oleh karena menurut kenyataan, lawannya menderita luka-luka berat sedangkan dia sendiri belum terluka, tentu saja ia merasa amat penasaran kalau dinyatakan kalah hanya karena lawannya kebetulan memiliki ilmu tangkap dan ilmu gulat aneh sehingga ia dapat dilempar ke bawah panggung. Ia menengok ke arah Pek Mao Lojin, akan tetapi orang tua inipun mengangguk-angguk kepadanya.

   Kwee Tiong merasa kecewa sekali. Wajahnya menjadi merah sekali ketika ia melompat turun dengan tubuh lemas. Tepuk tangan dan sorak gemuruh kini terdengar di fihak Auwyang Tek menyambut kemenangan pertama. Yokuto yang sudah payah itu dibimbing turun dari gelanggang.

   "pihakmu sudah kalah satu kali, Kwee Cun Gan!"

   Kata Auwyang Tek gembira.

   "Masih ada empat kali lagi. Majukan jagomu, Auwyang Tek,"

   Jawab Kwee Cun Gan tenang.

   Jago ke dua dari fihak Auwyang Tek adalah Ma-thouw Koai-tung Kui Ek! Tokoh ini melompat ke atas panggung dengan mulut menyeringai dan mukanya yang seperti muka burung itu memandang ke kanan kiri dengan lagak sombong. Tongkatnya yang terkenal berada di tangan, karena tongkat ini memang tidak pernah terpisah dari tangannya.

   "Aku, orang she Kui ingin main-main sebentar dengan orang Tiong-gi-pai. Siapa suka temani aku?"

   Katanya memandang ke arah Kwee Cun Gan dan kawan-kawannya.

   Im-Yang Thian Cu berdiri dari bangkunya, la memang sudah mengambil keputusan untuk membela muridnya yang telah terluka hebat. Tentu saja ia merasa malu kalau harus menghadapi seorang muda seperti Auwyang Tek, dan ia merasa berat kalau harus menghadapi Tok-ong, guru Auwyang Tek. Sekarang melihat Kui Ek maju, ia cepat berdiri karena sudah lama ia mendengar akan kejahatan orang ini dan ingin ia mencoba lihainya tongkat burung itu.

   "Muka burung, pinto-lah lawanmu!"

   Katanya dan tubuhnya melayang ke atas panggung. Melihat tosu kurus tinggi yang mukanya muram memegang kipas dan alat tulis ini, Kui Ek memperlebar senyumnya untuk menutupi hatinya yang menjadi agak jerih.

   "Eh-eh-eh, kiranya Im-Yang Thian-Cu si tosu cengeng! Bagus sekali kalau kau yang mengawaniku, cocok.... cocok...!"

   Memang di dunia kang-ouw, Im-Yan Thian-Cu dijuluki tosu cengeng, karena mukanya selalu muram seperti orang mau menangis. Mendengar ucapan ini, Im-Yang Thiian-Cu yang tidak suka banyak cakap lalu menggerakkan pit-nya di tangan kanan untuk menotok dada lawan. Kui Ek tentu saja tidak berani memandang ringan kepada senjata pendek ini, cepat ia mengelak dan tongkatnya bergerak menyapu.

   Di lain saat, terjadilah pertandingan yang amat seru dan menarik antara dua orang tokoh besar ini, membuat kagum kepada mereka yang menyaksikannya. Dipandang sepintas lalu, agaknya Kui Ek lebih kuat dan untung dengan senjatanya yang panjang dan berat, serangannya ganas dan cepat sekali. Akan tetapi bagi mata ahli tidak demikian keadaannya. Biarpun lm-Yang Thian-Cu hanya memegang sepasang senjata yang pendek dan ringan yaitu sebuah kipas dan sebuah pit, namun dua senjatanya ini hebat sekali.

   Tongkat lawannya dapat ditahan oleh kipas, bahkan senjata pit selalu mencari sasaran di antara jalan darah dli tubuh lawan. Kui Ek berusaha melebarkan jarak antara mereka dan mengajak bertempur dalam jarak jauh agar ia dapat menyerang dengan ujung tongkatnya yang panjang tanpa dapat didekati lawan. Akan tetapi Im-Yang Thian-Cu mana mau membiarkan dirinya diakali? Tokoh ini mendesak dan merangsek terus mengajak lawan bertempur jarak dekat.

   Oleh karena usaha kedua fihak ini, sekarang kelihatan seakan-akan Kui Ek berusaha menjauh kan diri, sebaliknya lm-Yang Thian-Cu mendekat, sehingga Kui Ek seperti terdesak terus oleh lawannya. Pertempuran yang dilakukan oleh dua orang ahli ilmu silat tinggi memang sukar diramalkan siapa akan kalah siapa pula yang akan menang. Setiap serangan tentu merupakan tangan maut yang amat berbahaya. Biarpun sudah terdesak, seorang ahli silat tinggi dapat menewaskan pendesaknya dengan sekali pukul saja. Oleh karena itu, sukar pula meramalkan siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam pertandingan seru antara Ma-thouw Koai-tung Kui Ek dan Im-Yang Thian-Cu ini. Tingkat mereka hampir seimbang, hanya dalam tenaga Iweekang agaknya Im-Yang Thian-Cu lebih matang.

   Pertempuran ini sungguh hebat. Seratus jurus telah lewat tanpa ada tanda-tanda siapa yang akan kalah dan keduanya masih kelihatan segar dan sungguh-sungguh dalam usaha mereka mencari kemenangan. Hanya untung bagi Im-Yang Thian-Cu. bahwa selama berpuluh tahun ia hidup sebagai seorang yang menjauhkan segala nafsu keduniawian, tubuhnya bersih hatinya jernih, maka daya tahannya juga lebih kuat dari pada Kui Ek yang menjadi hamba nafsu dan pengejar kesenangan sesat. Gerakan tongkat burung makin menjadi lemah sedangkan gerakan kipas dan pit makin kuat saja.

   Pada suatu saat Kui Ek mendapat kesempatan, tongkatnya menyambar ganas dan keras sekali. Im-Yang Thian-Cu sudah memperhitungkan bahwa tanpa spekulasi ia sukar memperoleh kemenangan dari lawan yang ulet dan tangguh ini. Melihat tongkat menyambar dengan pengerahan tenaga sekuatnya itu. Im-yang Thian-Cu mengangkat kipasnya menerima pukulan itu.

   "Brakkk!"

   Kipasnya pecah, akan tetapi berhasil "menangkap"

   Tongkat itu di antara tulang-tulang kipas sehingga tidak mudah ditarik kembali. Saat inilah yang dinanti oleh Im-Yang Thian-Cu karena secepat kilat pit-nya menyambar ke depan, digunakan sebagai senjata rahasia yang disambitkan ke arah jalan darah di pundak lawan.

   "Takkl"

   Tepat sekait pit itu menghantam jalan darah dan memang oleh Im-Yang Thian-Cu disambitkan dengan tenaga menotok maka pit itu tidak terlalu keras hingga tidak menembus daging, akan tetapi cukup kuat untuk menotok jalan darah!

   Kui Ek mengeluh, tongkatnya terlepas dari tangan dan tubuhnya sempoyongan. Im-Yang Thian-Cu maklum bahwa seorang lawan setangguh Kui Ek, tentu tidak akan lama terpengaruh oleh totokan tadi yang membuat semua urat seperti kejang, dan tentu akan dapat mengatasi dirinya lagi. Maka ia tidak mau membuang waktu, sekali tendang tubuh Ma-thouw Koai-tung Kui Ek terlempar ke arah rombongan lawan dan tentu akan menimpa Auwyang-Taijin kalau saja Auwyang Tek tidak lekas-lekas maju ke depan dan menyambar tubuh itu.

   "Satu-satu..!"

   Terdengar teriakan dan sorak-sorai rombongan Tiong-gi-pai untuk menyatakan kegembiraan mereka bahwa keadaan kini menjadi satu-satu.

   "Tai! Tar! Tar!"

   Pecut kelabang Toat-beng-pian Mo Hun berbunyi nyaring ketika kakek iblis ini naik ke atas panggung atas perintah Tok-ong Kai Song Cinjin. Sementara itu Im Yang Thian-Cu sudah turun dari panggung, disambut oleh Kwee Cun Can dan yang lain dengan wajah berseri. Melihat munculnya manusia iblis pemakan otak manusia itu, kening Im Yang Thian-Cu berkerut, dan ia kelihatan menyesal sekali.

   "Sayang aku sudah maju menghadapi Kui Ek. Kalau boleh aku ingin sekali melawan manusia siluman ini,"

   Katanya seperti kepada diri sendiri.

   "Ha-ha ha, Im Yang Thian-Cu, jangan begitu tamak kau! Mana boleh diborong sendiri?"

   Kata Pek Mau Lojiu yang sudah berdiri dari bangkunya dan berkata kepada Kwee Cun Gan.

   "Kwee-enghiong, kali ini biarkan lohu Si Botak mempergunakan kesempatan ini menawarkan isi kepala botakku kepada pemakan otak itu."

   Tentu saja Kwee Cun Gan setuju, karena memang selain Pek Mao Lojin, siapa lagi yang sanggup melawan Mo Hun? la mengangguk dan mengharapkan kemenangan bagi jago tua itu. Dengan lenggang dan lagak seorang pelawak, Pek Mao Lojin menaiki panggung, la tidak berkata apa-apa, begitu tiba di depan Mo Hun, ia menurunkan guci araknya dari atas punggung dan minum arak itu, dituangkan ke dalam mulut begitu saja dan kelihatan amat enaknya. Setelah ia menggelogok arak dan membiarkan Mo Hun memandangnya dengan tidak sabaran, ia baru menurunkan gucinya lagi, mengusap bibir dengan lengan baju. memandang kepada Mo Hun lalu berkata, menyodorkan guci araknya.

   "Kau tukang makan otak perlu banyak minum arak untuk mencegah keracunan. Kau mau minum arak?"

   Mo Hun mendongkol, merasa dipermainkan tiba-tiba tangan kirinya menyampok guci arak yang diangsurkan Akan tetapi kakek botak itu sudah menariknya kembali sehingga tamparan atau sampokan Mo Hun itu hanya mengenai angin.

   "Waah, kau benar-benar tamak sekali. Mau minta ya minta, masa ingin ambil semua dengan guci-gucinya? Nih, kalau kau sudah terlalu haus, minumlah!"

   Sambil berkata demikian, kakek botak yang lucu dan lihai sekali itu melakukan gerakan memencet gucinya dan.... arak memancur keluar dari mullut guci ke arah muka Mo Hun! Tentu saja Mo Hun cepat mengelak, akan tetapi ke manapun juga ia pergi, pancuran arak itu mengejarnya terus sampai kepalanya akhirnya kecipratan arak. Pemandangan yang lucu ini disambut gelak oleh banyak orang, terutama oleh fihak Tiong-gi-pai.

   "Tar! Tar! Tar!"

   Pian kelabang di tangan Mo Hun menyambar-nyambar dengan ganasnya ke arah kepala Pek Mao Lojin, menyatakan betapa marahnya Mo Hun yang sudah dipermainkan orang. Bau amis menyambar-nyambar dan diam-diam Pek Mao Lojin terkejut, cepat ia melangkah mundur sambil mengayun guci araknya ke kanan kiri untuk menangkis.

   "Lihai sekali senjata mautmu.....!"

   Katanya sambil mengeluarkan sebuah guci lain lagi, dipegang di tangan kiri Dua buah guci arak yang beraada di tangan Pek Mao Lojin itu bukanlah guci biasa. Guci itu terbuat daripada logam istimewa, berukirkan gambar naga dan guci ini dahulu berada di dalam gudang pusaka Kaisar Jengis Khan di jaman Dinasti Goan berkuasa. Ketika Jengis Khan memimpin pasukannya br barat, di dunia barat ia mendapatkan banyak sekali barang rampasan yang ameh-aneh dan sepasang guci ini adalah di antara pusaka-pusaka rampasan itu.

   Setelah melihat indah dan kuatnya guci, Jengis Khan lalu menyuruh tukang ukir menghias guci ini dengan gambar naga, kemudian sepasang guci ini menjadi tempat arak di waktu kaisar besar ini makan. Setelah melalui jalan berliku-liku, akhirnya sepasang guci Ini terjatuh ke dalam tangan Pek Mao Lojin dan. tidak hanya menjadi tempat arak, malah oleh kakek botak ini disulap menjadi sepasang senjata yang ampuh! Logam guci itu amat kuat, tidak rusak oleh senjata tajam yang manapun juga.

   Mo Hun yang sudah bangkit kemarahannya, terus menggerakkan piannya yang mengerikan, tidak memberi kesempatan kepada lawan, menyerang terus dengan cepat dan kuat. Piannya yang berbentuk kelabang itu menyambar-nyambar menimbulkan angin dan bunyi keras dan celakalah kalau sampai kepala yang botak itu terkena pukulan, pian! Akan tetapi Pek Mao Lojin lihai sekali. Sambil berloncatan ke sana ke mari dan menangkis dengan sepasang guci araknya, semua pukulan pian dapat ia hindarkan. Dihujani pukulan itu, kakek botak ini masih sempat mengejek dan menggoda lawannya.

   "He, siluman kelabang! Apa kau sudah mengilar untuk makan otakku? Otakku lebih enak dari pada otak lain, lebih matang, gurih dan manis. Akan tetapi tidak gampang mengambilnya, harus ditukar dengan kepalamu yang buruk itu!"

   Digoda begini, makin naik darah Mo Hun, membuat mukanya merah sekali. Ia membabat kaki Pek Mao Lojin, akan tetapi kakek ini melompat ke atas sambil tertawa-tawa, kemudian ia menggerakkan guci araknya balas menyerang. Ketika gucinya bergerak menyambar, terdengar bunyi "ngguuunggg...!"

   Yang ditimbulkan oleh angin yang memasuki mulut guci. Mo Hun yang melihat serangan ini dengan senyum mengejek lalu menggerakkan piannya. sengaja menangkis dan menghantamkan senjata itu sekuatnya ke arah guci lawan.

   "Traanggg....!"

   Guci dan pian bertemu keras sekali, akibatnya Mo Hun tergetar telapak tangannya dan melangkah mundur satu tindak, sedangkan dari guci arak itu muncrat sedikit araknya ke atas yang cepat diterima oleh kakek botak itu dengan mulutnya.

   "Heh-heh, sayang kalau arak baik dihambur-hamburkan...."

   Katanya tertawa-tawa, lalu maju lagi menyerang makin hebat!

   Pertandingan dilanjutkan lebih seru, dan pertandingan ini biarpun tidak sehebat dan seramai pertandingan antara Im-Yang Thiain-Cu dan Kui Ek tadi, namun amat menarik karena aneh dan lucunya. Kalau tadi, pertandingan antara Im-Yang Thian-Cu dan Kui Ek dilakukan dengan sengit, dengan penuh semangat dan kesungguhan hati, adalah sekarang Mo Hun menghadapi lawan yang bertempur sambil tertawa-tawa dan mengejek, nampaknya Pek Mao Lojin tidak bertanding dengan sungguh-sungguh. Ini hanya kelihatannya saja, karena sesungguhnya kakek botak ini sudah mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk dapat mengimbangi Toat-being-pian Mo Hun yang lihai dan amat ganas gerakan senjatanya itu.

   Seperti juga dengan pertandingan tadi, tingkat kepandaian dua orang tokoh inipun seimbang dan amat sukarlah bagi masing-masing fihak untuk dapat merobohkan lawan cepat-cepat. Mo Hun amat penasaran. Masa ia tidak dapat mengalahkan kakek botak yang tertawa-tawa, dan senjatanya hanya sepasang guci arak ini? Ia mendesak terus, penuh semangat dan marah sampai lubang hidungnya kembang kempis dan seakan-akan keluar uap putih dari lubang hidungnya itu.

   
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sebaliknya, Pek Mao Lojin mengganda ketawa saja sambil kadang-kadang menggoda mempermainkan. Semua ini kelihatannya seakan-akan Pek Mao Lojin memandang rendah dan tidak berkelahi sungguh, padahal kakek botak ini sudah "ngepiah" (berusaha keras) betul! Dia cuma menang batin dalam pertandingan ilmu silat dicampur pertandingan urat syaraf ini.

   Mo Hun makin lama makin panas dan penasaran sampai menjadi setengah nekat gerakannya. Dan inilah kemenangan Pek Mao Lojin. Melihat lawannya sudah marah sekali, ia mulai menjalankan siasat dan mengejek,

   "Eh, setan pemakan otak! Apa kau suddh bosan otak manusia maka tidak segera merobohkan aku? Kalau begitu ganti saja doyananmu itu dengan otak anjing, lebih mudah carinya. Tinggal tangkap anjing tetangga dan kau sembelih!"

   Kakek botak itu tertawa bergelak sambil melompat ke samping untuk mengelak sambaran pian yang makip ganas itu. Ejekan itu membuat hati Mo Hun makin panas dan ia sama sekali tidak sadar bahwa memang kakek botak itu hendak membuat ia menjadi marah sekali. Sebab kemarahan mengurangi kewaspadaan.

   Pek Mao Lojin setelah menghadapi Mo Hun selama lima puluh jurus lebih, maklum bahwa kalau dia hendak mengalahkan siluman itu, sedikitnya ia membutuhkan dua tiga ratus jurus, inipun belum dapat dipastikan karena memang permainan pian dari Mo Hun luar biasa kuatnya. Oleh karena itu ia hendak mencari kemenangan mempergunakan akal dan sengaja ia "mengobori"

   Terus biar hati lawan makin panas. Benar saja, Mo Hun makin panas dan makin hebat serangan piannya. Akan tetapi, kehebatan ini hanya kelihatannya saja, padahal kalau dilihat oleh seorang ahli, makin hebat makin ngawurlah serangan-serangannya, lebih banyak menurutkan nafsu marah dari pada menurutkan jalannya ilmu silat.

   Pada saat yang telah diperhitungkan masak-masak, ketika pian menyambar, Pek Mao Lojin menerima pian itu dengan guci kiri yang diputar sehingga ujung pian melihat leher guci. Mo Hun girang sekali dan mengerahkan tenaga menarik untuk merampas guci itu, akan tetapi guci kanan Pek Mao Lojin sudah menyusul dan menjepit pian itu. Kemudian, selagi Mo Hun berkutetan hendak menarik kembali piannya yang melibat dan terjepit,

   Lek Mao Lojin tertawa dan........ menyemburkan arak dari mulutnya secara bertubi-tubi ke arah muka lawannya!

   Di "hujani"

   Arak dari mulut Pek Mao Lojin, Mo Hun menjadi repot sekali. Untuk melompat menghindari semburan arak, piannya masih terjepit. Untuk menerima begitu saja, berarti ia menerima hinaan ditambah rasa celekat-celekit pada mukanya seperti ditusuki jarum. Terpaksa ia melangkah mundur sambil membetot piannya. Pek Mao Lojin menurutkan lawannya dan melangkah maju dua tindak menahan lagi, menyerang dengan semburan arak, lalu maju lagi. Akhirnya tanpa disadari Mo Hun sudah sampai di pojok dan di pinggir panggung, tidak ada jalan mundur lagi.!

   Mo Hun melihat hal ini akan tetapi sudah terlambat, karena tiba-tiba Pek Mao Lojin menghentikan godaannya dan mengirim serangan serentak sambil melepaskan jepitan pian, menyerang dengan

   (Lanjut ke Jilid 16)

   Pusaka Gua Siluman (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16

   guci araknya yang dipukulkan dari kanan kiri lalu digerakkan dari atas dan bawah! Empat penjuru tempat mengelak sudah ditutup, jalan satu-satunya hanya melompat mundur! Apa boleh buat, dari pada kepalanya remuk dihantam guci, terpaksa Mo Hun melompat mundur! Turun dari panggung!

   "Ha-ha-ha, tak kusangka pemakan otak manusia masih mempunyai hati murah, mau mengalah terhadapku. Terima kasih, terima kasih!"

   Sambil berkata demikian, Pek Mao Lojin turun dari panggung disambut oleh para anggauta Tiong-gi-pai dengan sorak sorai.

   "Dua satu untuk kemenangan kita!"

   Orang-orang Tiong-gi-pai bersorak gembira. Mo Hun yang melompat turun dari panggung memandang ke arah fihak Tiong-gi-pai dengan mata melotot. Ingin sekali ia mengamuk dan menyerang orang-orang itu. akan tetapi Tok-ong memberi isyarat kepadanya supaya mundur. Kemudian Tok-ong kai Song Cinjin sendiri melompat ke atas panggung dan berkata, suaranya besar berpengaruh,

   "Sungguh tidak pinceng nyana orang Tiong-gi-pai, terutama tua bangka seperti Pek Mao Lojin, tidak malu menggunakan akal yang curang untuk

   memperoleh kemenangan."

   "Lho, curang bagaimana? Pemakan otak anjing itu melompat turun dari panggung dan menurut perjanjian itu berarti kalah, apa yang curang?"

   Kata Pek Mao Lojin tertawa tawa.

   "Aku belum kalah, botak jahat! Lihat aku masih segar belum terluka, aku melompat turun karena kena kau tipu. Siapa bilang aku kalah?"

   Mo Hun dari tempat duduknya membentak dengan mata merah.

   "Ha-ha-ha, dasar di situ yang licik. Apa kalian tidak ingat bagaimana tadi Kwee Tiong tidak terluka, malah bajak pendek itu yang empas-empis mau mampus. Akan tetapi karena Kwee Tiong kena diakali dengan terpaksa turun dari panggung, tetap saja dianggap kalah. Kemenanganku sekali ini hanya membalas kekalahan pertama tadi, siapa yang curang dan siapa yang tidak?"

   Tok-ong Kai Song Cinjin tak dapat berkata apa-apa lagi. Sukarlah untuk berbantahan dengan Pek Mao Lojin yang pandai bicara, dan memang sudah ditentukan sebelumnya bahwa siapa meninggalkan panggung dinyatakan kalah, maka Mo Hun tidak bisa lain harus dianggap kalah juga. Dengan demikian fihaknya telah menderita kekalahan dua kali. Sekali lagi kalah berarti keseluruhannya akan dianggap kalah. Oleh karena itu Tok-ong maju sendiri untuk menentukan kemenangan dan menebus kekalahan tadi.

   "Pinceng sekarang yang maju, hayo siapa yang mau mencoba pinceng?'' tantangnya dengan lagak sombong. Tak seorangpun di fihak Tiong-gi-pai yang merasa kuat menghadapi Raja Racun yang berilmu tinggi ini. Liem Han Sin melompat ke atas panggung, sikapnya tenang biarpun wajahnya agak pucat, la telah mengambil keputusan untuk mengorbankan diri. Biarlah kalau sampai ia binasa di tangan Tok-ong, asal kawan-kawannya yang lain dapat memperoleh kemenangan.

   "Kai Song Cinjin, biarkan aku yang muda melawanmu!"

   Kata pemuda yang tabah ini dengan sikap gagah.

   Kai Song Cinjin mengerutkan keningnya dan merasa tertipu oleh fihak lawan. Ia maklum bahwa lawan mempergunakan siasat "menghadapi yang terpandai dengan yang terlemah"

   Untuk memperoleh kemenangan. Akan tetapi ia tak dapat mundur Iagi, selain itu iapun sudah mempunyai siasat untuk akhirnya memperoleh kemenangan terakhir. Kalau sekarang, dan ini sudah pasti, ia menangkan pertandingan ini, berarti keadaan menjadi dua-dua dan pertandingan terakhir nanti yang memutuskan, la melihat fihak lawan sudah tidak ada jagonya lagi yang boleh diandalkan, maka kiranya kalau ia mengajukan muridnya saja, ia yakin pasti akan menang. Pertandingan ke empat ini memang harus menang, berbahaya kalau bukan dia sendiri yang maju. Soal yang terakhir nanti, mudah diatur belakangan.

   "Orang muda, kau yang melawan murid pinceng saja sudah mau mati, bagaimana sekarang berani menghadapi pinceng? Apa ini bukan berarti mengantar nyawa dengan sia-sia?"

   "Tidak ada perjuangan dan pengorbanan yang sia-sia, Tok-ong,"

   Jawab Han Sin gagah.

   "Dan orang gagah tidak sayang nyawa untuk membela kebenaran, nama dan kehormatan."

   "Kau memang sudah bosan hidup. Nah,terimalah!"

   Dengan secara sembarangan saja Kai Song Cinjin menampar, akan tetapi angin tamparannya sudah cukup membuat Han Sin yang mengelak itu terhuyung huyung!

   "Ha ha, kau bersikap seperti orang gagah. Hendak pinceng lihat sampat di mana kau mempertahankan kegagahanmu dan tidak melompat turun panggung menerima kalah!"

   Hwesio ini memang pandai sekali mempermainkan perasaan orang, la maklum bahwa pemuda di depannya ini memiliki kegagahan dan keberanian luar biasa, akan tetapi karena tak mungkin dapat melawan dia, kiranya nanti akan menyerah. Oleh karena itu, ia sengaja mendahului dengan ucapan itu yang tentu saja membuat Han Sin merasa malu kalau harus menyerah dan turun panggung! Ucapan ini sama saja dengan keputusan hukum mati bagi Han Sin.

   "Jangan percaya padanya, Han Sin. Kalau kau tidak kuat, kau boleh lompat turun dan mengalah,"

   Kata Im-Yang Thian-Cu yang amat mengkhawatirkan keselamatan muridnya, la maklum akan watak Han Sin yang gagah dan berani, dan maklum pula bahwa ucapan Tok-ong itu dapat membuat Han Sin menjadi nekat dan pantang mundur. Memang betul seperti yang dikehendaki oleh Tok-ong. Mendengar ucapan itu, Han Sin mencabut Yang-pit Im-san, yaitu sepasang senjata pit dan kipas.

   "Tok-ong, kau kira aku takut mati? MajuIah"

   Pemuda ini menerjang dengan kipas dan pitnya, melakukan serangan hebat sekali. Akan tetapi hanya dengan sampokan ujung lengan bajunya, kembali Tok-ong dapat membuat pemuda itu terhuyung ke samping. Semua orang fihak Tiong-gi-pai mengerutkan kening. Pemuda gagah itu benar-benar bukan lawan Tok-ong Kai Song Cinjin yang lihai. Sampai tiga kali Han Sin menyerang dan selalu ia disampok sampai hampir roboh oleh Kai Song Cinjin.

   Hwesio Tibet ini sengaja hendak menghina Han Sin. Kalau ia mau, sebentar saja ia bisa merobohkan pemuda itu, akan tetapi ia ingin memaksa Han Sin melarikan diri untuk kemudian dipukul sebelum turun. Ia ingin fihak Tiong-gi-pai mendapat malu. Kalau ia bisa membikin pemuda ini ketakutan dan melarikan diri! la tidak khawatir pemuda itu akan terlepas dan tangan mautnya, karena andaikata pemuda itu melompat turun, sebelum kakinya menginjak tanah ia dapat menyusulkan pukulan jarak jauh untuk menewaskannya.

   Akan tetapi, biarpun sampai terhuyung-huyung tiga kali, Han Sin masih tetap bersemangat. la maju dan melakukan serangan lebih hebat pula. Kai Song Cinjin kini tidak mengebutkan lengan bajunya, melainkan menangkis dengan tangannya.

   "Krakkkl"

   Kipas di tangan Han Sin hancur berantakan.

   "Ha-ha, pemuda gagah. Kau tidak menyerah?"

   Tok-ong mengejek.

   Namun ia belum mengenal watak Han sin kalau ia mengira pemuda itu akan menjadi gentar. Pemuda itu menyerang lagi dengan pitnya, melakukan totokan yang bukan tidak berbahaya. Karena totokan itu benar lihai, terpaksa Tok-ong mengelak ke samping dan ujung lengan bajunya yang kiri menyambar, tepat mengenai pundak Han Sin, membuat pemuda itu roboh bergulingan di atas panggung. Akan tetapi secepat kilat Han Sin melompat bangun lagi dan mengirim tusukan pitnya, lagi sama sekali tidak memperdulikan rasa nyeri pada pundaknya.

   "Kau bandel!"

   Tok-ong berseru dan sekali tangannya bergerak, pit yang dipegang pemuda itu sudah kena dirampasnya, lalu ditekuk patah dan dilempar ke bawah panggung.

   Kini Han Sin berdiri dengan tangan kosong, menghadapi kakek itu dengan mata beringas, sedikitpun tidak kelihatan takut atau jerih. Tok-ong meringis mentertawakan.

   "Bocah cilik, kau masih belum menyerah?"

   "Liem Han Sin hanya sudi menyerah kepadamu kalau sudah putus nyawa!"

   Jawab pemuda itu dengan sikap gagah. Keadaan menjadi tegang sekali dan hampir semua orang di fihak Tiong-gi-pai memandang dengan muka pucat.

   Im-Yang Thian-Cu kelihatan lebih merengut dari pada biasanya, hatinya penuh kemarahan dan kedukaan melihat muridnya berada di pinggir jurang kematian tanpa ia sanggup menolong. Sedangkan Liem Hoan duduk dengan muka pucat dan dua titik air mata menetes di atas pipinya. Dapat dibayangkan betapa pilunya hati bapak ini melihat puteranya, anak yang tinggal satu-satunya, menghadapi maut dengan sikap demikian jantan, rasa duka dan bangga bercampur aduk menimbulkan keharuan yang luar biasa. Jiwanya menjerit, menangis melihat puteranya sudah tidak ada harapan lagi.

   Tok-ong menjadi merah mukanya. Ia mulai marah dan ingin ia sekali pukul menewaskan pemuda di depannya itu. Sementara itu. Han Sin sudah menyerang lagi dengan pukulan tangan kanan ke arah dada Tok-ong Kai Song Cinjin.

   "Plak! Plak!"

   Tok-ong menangkis dan berbareng menampar, hanya merupakan dorongan ke arah pundak Han Sin, namun cukup membuat pemuda itu mengeluarkan suara "uuuhhh......!"

   Dan tubuhnya terguling di atas lantai panggung. Akan tetapi pemuda itu bangkit lagi biarpun dengan merangkak, dan mengerahkan kekuatan lagi untuk memasang kuda-kuda!

   "Han Sin, kau menyerahlah!"

   Liem Hoan berseru keras, tidak kuat lagi menyaksikan puteranya disiksa.

   "Im-Yang Thian-Cu, kalau Han Sin menyerah kalah, dia kan bukan pengecut dan kau takkan marah, bukan?"

   Pertanyaan ini diajukan oleh Liem Hoan dengan suara keras dengan maksud supaya terdengar oleh anaknya.

   "Tentu saja tidak, karena memang dia bukan lawan Tok-ong,"

   Jawab lm-Yang Thian-cu yang juga merasa kasihan kepada muridnya.

   Akan tetapi Han Sin adalah seorang pemuda yang berhati baja. Selama ia masih kuat bergerak, tidak nanti ia sudi menyerah kepada musuh jahatnya, musuh besarnya, guru Auwyang Tek yang telah membunuh dua orang saudaranya itu. la harus melawan urus, biarpun ia harus berkorban nyawa!

   Tiba-tiba ia teringat akan "dewi"

   Yang telah datang mengobatinya, la mendapatkan pikiran aneh. Dewi yang sakti itu betul-betul muncul dalam hidupnya, bukan dongeng bukan pula mimpi. Kalau dewi ini sudah berhasil menolongnya dan menyembuhkan lukanya, apa anehnya kalau sekarang juga datang menolongnya dengan kesaktiannya? Mengingat akan hal ini Han Sin berbisik.

   "Dewi yang mulia, bantulah hamba..!"

   Tok-ong yang mendengar suara ini, tertawa bergelak. la merasa sudah cukup menyiksa karena sekarang ternyata olehnya bahwa sampai matipun pemuda bandel ini kiranya takkan suka lari, maka ia lalu mengerahkan tenaga di tangan kanannya dan mengirim pukulan jarak jauh sambil berseru.

   "Mampuslah!"

   Pukulan yang dahsyat ini menghantam Han Sin dari depan dan Im-Yang Thian Cu sebagai ahli silat tinggi yang melihat ini sudah menahan napas dan meramkan mata, la maklum bahwa pukulan lweekang dari seorang Raja Racun seperti Tok-ong itu tentu sekaligus akan menewaskan muridnya itu. Juga Pek Mao Lojin berkata perlahan.

   "Habislah riwayat seorang pemuda perkasa!"

   Han Sin sendiri merasa dadanya disambar angin dahsyat, akan tetapi pada saat itu juga, dari punggungnya juga menyambar angin yang tidak kalah dahsyatnya, hanya bedanya, kalau sambaran angin dari depan itu berhawa panas, adalah sambaran angin dari belakangnya berhawa dingin. Ia merasa betapa dua tenaga raksasa itu bergulat dan bertemu di sekitar tubuhnya, akhirnya tenaga dari depan itu mundur kembali dan Tok-ong Kai Song Cinjin mengeluarkan seruan kaget sambil mundur satu tindak ke belakang.

   Bagaimana kakek ini tidak akan merasa kaget kalau melihat pemuda yang dipukulnya tidak bergeming sedikitpun juga, bahkan tenaga pukulannya mental kembali! Anehnya, pemuda yang sudah dapat menahan pukulannya itu biarpun tidak bergeming, namun kelihatan lemas menahan sakit pada pundak yang terluka. Bagaimana mungkin pemuda yang sudah terluka dan lemah ini dapat menahan pukulannya? Dengan marah sekali Tok-ong lalu melangkah maju dan kali ini ia mengeiahkan seluruh tenaga, mengirim pukulan Hek-iok-ciang!

   "Celaka...!"

   Teriak Pek Mao Lojin yang tadi pun duduk bengong terlongong.

   Tiba-tiba tubuh Han Sin kelihatan melayang di udara seperti terbawa angin keras dan pukulan Hek-tok-ciang itu tidak mengenai sasaran. Agaknya tubuh Hau Sin akan terlempar jauh ke bawah, maka cepat Tok-ong yang menyangka pemuda itu melarikan diri, mengirim susulan dengan pukulannya paling hebat, yaitu Ngo-tok-ciang. Pukulan ini ditujukan kepada tubuh Han Sin yang masih melayang di udara.

   Terjadi hal yang aneh lagi. Han Sin yang tidak merasa melompat tahu-tahu merasa dirinya terlempar, tadinya mengira bahwa itu adalah akibat hawa pukulan lawan. Kini ketika Ngo-tok-ciang dipukulkan, kembali tubuh Han Sin yang sudah di udara itu terpental lagi, sekarang melayang ke arah tempat duduk rombongan Tiong-gi-pai dan kembali pukulan Ngo-tok-ciang mengenai angin. Sementara itu, tubuh Han Sin sudah disambar oleh lm-Yang Thian-Cu dalam keadaan pingsan. Akan tetapi Im-Yang Thian-Cu terheran-heran juga girang sekali mendapat kenyataan bahwa pemuda ini sama sekali tidak menderita luka hebat dan nyawanya tidak terancam bahaya. Benar-benar amat mengherankan. Tentu saja Liem Hoan juga girang sekali mendengar keterangan ini dan segera Han Sin dirawat baik-baik.

   Sementara itu, Tok-ong sampai lama berdiri bengong di atas panggung, tidak ada habisnya ia memikirkan keganjilan tadi. Akhirnya, tak sanggup memecahkan teka-teki itu, ia berpikir.

   "Kalau tidak pemuda itu mahir ilmu sihir, tentu ada orang pandai menolongnya."

   Untuk dugaan terakhir ini ia merasa khawatir sekali, akan tetapi melihat kenyataan bahwa kalau ada orang pandai membantu orang itu sembunyi-sembunyi, tentu takkan muncul dan bukan orang fihak Tiong-gi-pai. la lalu turun dari panggung, disambut sorak-sorai kawan-kawannya yang kegirangan karena sekarang keadaan pertandingan menjadi dua-dua. Pertandingan terakhir akan menentukan fihak mana yang kalah atau menang.

   Auwyang Tek maju sebagai jago ke lima.

   "Hayo mana jago muda Tiong-gi-pai yang belum maju. Mari lawan aku!"

   Katanya tertawa-tawa sambil mengenakan sepasang sarung tangannya yang terkenal ampuh. Siok Ho berdiri dan setelah menjura kepada Kwee Cun Gan, ia lalu melompat ke atas panggung, sikapnya tenang dan mukanya yang tampan sekali itu tersenyum-senyum. Melihat pemuda ini, Kui Ek terkejut dan cepat ia berseru kepada Auwyang Tek.

   "Auwyang-Kongcu, hati-hatilah. Dia itu murid Kun-lun-pai, kepandaiannya boleh juga!"

   Auwyang Tek mengerutkan kening, tidak senang karena Kui Ek memuji musuh berdepan. Ia mengeluarkan senyum menghina, lalu berkata.

   "Kaya apa sih lihainya murid Kun-lun? Bocah masih ingusan, kau siapa dan sejak kapan kau menjadi anggauta Tiong-gi-pai?"

   Siok Ho tetap tersenyum dan menjawab tenang.

   "Auwyang Tek, sudah lama sekali aku mendengar nama busukmu dan kebetulan sekali sekarang kita berhadapan sebagai lawan terakhir dari pibu ini. Aku Oei Siok Ho, murid Kun-lun-pai dan sebagai seorang yang menjunjung kebenaran, tentu saja aku membantu Tiong-gi-pai."

   Sejak tadi Auwyang Tek sibuk menggosok-gosok kedua tangannya dengan bubuk hitam yang ia keluarkan dari selampai hitam di saku bajunya, dan Siok Ho mencium bau yang keras sekali.

   "Oei-sicu, hati hati dia menambah bubuk racun pada sarung tangannya!"

   Seru Pek Mao Lojin kepada Siok Ho.

   Auwyang Tek tertawa bergelak.

   "Kalau bocah ingusan ini takut, boleh pulang dan ganti lain orang saja!"

   Diam-diam Siok Ho merasa menyesal sekali mengapa ia tidak membawa pedang, karena menghadapi lawan ini dengan tangan kosong merupakan bahaya juga.

   "Saudara Oei, kau boleh memakai siang-kiam-ku ini!"

   Kwee Tiong berseru dari bawah panggung. Akan tetapi Siok Ho tidak bisa menggunakan siang-kiam, maka pemuda ini ragu-ragu.

   Tiba-tiba, entah dan mana datangnya, muncul seorang gadis cantik yang berlari-lari seperti lagak seorang bocah ke arah panggung dan berkata.

   "Saudara Siok Ho, kau pakailah pedangku ini, pasti menang!"

   Siok Ho menoleh dan pemuda ini tertawa gembira. Pedang di tangan gadis itu kelihatan cocok sekali kalau ia pakai, pendek dan tipis ringan.

   "Kau? Di sini? Sejak kapan, mengapa aku tadi tidak melihatmu?"

   Tanyanya.

   Gadis itu adalah Lee Ing yang tertawa kecil "Aku sembunyi dan mengintai saja, takut melihat pertandingan-pertandingan yang begitu hebat."

   "Baik, kupinjam pedangmu, terima kasih. Kau duduklah menonton dengan kawan-kawan di sana,"

   Kata pemuda itu menuding ke arah rombongan Tiong-gi-pai.

   Lee Ing mengangguk, lalu berjalan menuju ke arah Kwee Cun Gan dan kawan-kawannya yang memandang kepada gadis ini dengan curiga dan heran. Lee Ing hanya tersenyum-senyum, lalu berdiri di pinggiran, tidak begitu dekat dengan rombongan Tiong-gi-pai, akan tetapi jauh dari rombongan Auwyang -taijin. Kwee Tiong berdiri dan membawa sebuah bangku, menghampiri Lee Ing dan berkata sopan.

   "Nona, silahkan duduk di bangku ini. Sebagai kawan saudara Oei, kaupun sahabat kami."

   Pemuda ini menjura dan wajahnya yang jujur tidak memperlihatkan perasaan apa-apa yang tidak baik. Lee Ing menjura dan menghaturkan terima kasih, lalu menduduki bangku itu. Orang-orang di fihak Auwyang-taijin juga memandang, akan tetapi tak seorangpun mengenal Lee Ing, maka mereka hanya menganggap bahwa gadis itu tentu kawan baik pemuda yang menghadapi Auwyang Tek.

   Sementara itu, Auwyang Tek tertawa bergelak.

   "Aduh, sedang dimabok asmara berani naik panggung luitai? Orang she Oei, kalau kau nanti mampus dalam pibu ini, apa kau tidak kasihan kepada kekasihmu yang jelita itu? Siapa yang akan menghiburnya kelak....?"

   "Jangan menghina dia ...!"

   Siok Ho membentak, mukanya menjadi merah sekali.

   "Saudara Siok Ho, biarkan saja dia mengoceh. Sebangsa binatang kalau mau mampus selalu ocehannya paling merdu. He, lutung tangan hitam, kau mengocehlah lagi yang baik!"

   Kata Lee Ing sambil tersenyum-senyum dan wajahnya memperlihatkan watak yang jenaka sekali.

   Ditantang begitu, Auwyang Tek bungkam.

   "Orang she Oei, kalau mampus, jandamu itu kuoperi"

   Siok Ho mengayun pedangnya dan membentak.

   "Tutup mulut dan lihat pedang!"

   Dengan gerakan Hun-in-toan-san (Awan Melintang Putuskan Bukit)

   ia mulai menyerang, pedangnya menyambar ke arah kepala lawan sedangkan tangan kirinya lurus ke belakang.

   "Bagus!"

   Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Auwyang Tek berseru dan menggunakan tangan kirinya menangkis ujung pedang lawan.

   "Trangg!"

   Bunga api berpijar ketika ujung pedang bertemu dengan sarung tangan yang melindungi tangan kiri Auwyang Tek. Bukan main hebatnya sarung tangan itu, tahan menerima senjata tajam dan runcing sampai mengeluarkan bunga api! Akan tetapi alangkah kagetnya hati Auwyang Tek ketika pedang itu seakan-akan menempel di tangannya, la terheran heran dan kaget sampai mengeluarkan seruan dan melompat ke belakang.

   Juga diam-diam Siok Ho kaget sekali, mengira lawannya menggunakan tenaga istimewa untuk menempel pedangnya. Akan tetapi melihat lawannya terkejut dan melompat ke belakang, pemuda yang cerdik ini dapat menduga bahwa memang pedang ini yang aneh, dapat menempel sarung tangan. Ia menggunakan keuntungan ini untuk mendesak terus. Auwyang Tek terdesak mundur sampai tujuh jurus, ia betul-betul repot sekali mengelak ke sana ke mari, tidak berani menangkis lagi.

   Tentu saja Auwyang Tek, juga Siok Ho sendiri, tidak tahu bahwa pedang pusaka yang jarang ke duanya di dunia ini. pedang pusaka peninggalan Bu-Beng Sin-Kun. Bahkan Lee Ing sendiri belum tahu betul akan kehebatan pedang ini yang sebetulnya mengandung tenaga semberani. Inilah sebabnya sarung tangan yang dipakai Auwyang Tek selalu menempel apa bila dipakai menangkis, karena sarung tangan itu terbuat dari pada bahan yang mengandung besi pula. Hebatnya lagi, tanpa disadari oleh dua orang yang sedang bertanding itu, bubuk hitam atau bubuk racun yang tadi digosok-gosokkan kepada sepasang sarung tangan itu, sedikit demi sedikit mulai menempel pada pedang setiap kali pedang dan sarung tangan bertemu. Oleh karena itu, makin lama pedang itu berubah hitam!

   Setelah mengelak dan mundur terus sampai belasan jurus, akhirnya Auwyang Tek dapat menguasai kekagetannya dan mulai menyerang sekali-kali dengan pukulan Hek-tok-ciang. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika setiap pukulannya itu dilawan oleh dorongan pukulan tangan kiri Siok Ho. Makin lama tangan kiri Siok lio juga berubah menjadi merah!

   "Dia mempunvai Ang-sin-jiu........!"

   Terdengar Tok-ong Kai Song Cinjin berseru kaget, sengaja berseru keras-keras.

   "Dikiranya orang sana saja yang bisa mengecat tangan?"

   Lee Ing menyindir.

   "L.aginya, jauh lebih bagus bertangan merah dari pada bertangan hitam!"

   Tiba-tiba terdengar seorang berseru.

   "Kwan Im Pouwsat ...... betul dia...!"

   Yang berseru ini adalah Liem Han Sin yang baru siuman dari pingsannya. Ketika ia siuman, iia masih lemas dan pundaknya terasa sakit, la hanya melirik ke arah panggung dan melihat pertandingan antara Siok Ho dan Auwyang Tek, diam-diam kagum melihat Siok Ho mendesak lawannya. Akan tetapi betapa kaget dan girangnya ketika ia melihat gadis yang selalu terbayang di depan matanya itu duduk menongkrong dengan enaknya di situ, menonton pertempuran sambil memberi komentar-komentar bahkan berani menyindir untuk menjawab kata-kata Tok ong Kai Song Cinjin.! Kaget, girang, dan terheran-heran membuatnya, tanpa ia sadari, berseru tadi, bahkan ia lalu turun dari bangku panjang di mana ia direbahkan tadi, menghampiri L ee Ing dan berlutut di depannya!

   

Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini