Pusaka Gua Siluman 5
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Kembali kepala ikan dihantam, sekarang lebih keras dari pada tadi. Pecahlah kepala ikan itu dan binatang yang sial ini berputaran sebentar, air menjadi merah terkena darah. Akan tetapi alangkah kecewa hati Lee melihat tubuh ikan itu tenggelam.
"Sialan!"
Gerutunya.
"Makanan tinggal memasukkan mulut menghilang."
Tiba-tiba ia melihat sirip-sirip ikan bergerak cepat sekali dari depan. Ternyata itulah serombongan ikan hiu, ikan liar yang haus darah. Mau tidak mau Lee Ing bergidik melihat ini. Hiu yang panjangnya rata-rata dua meter ini kalau mengeroyoknya. tentu akan dirobek-robek dan dibagi-bagi oleh mereka.
Baiknya hiu itu datang karena bau darah ikan yang telah dibunuhnya, maka mereka menyerbu ke bawah dan sebentar saja tubuh ikan besar tadi telah dibuat bancakan (dikeroyok dan dimakan). Kepingan-kepingan daging ikan bercampur darah timbul ke permukaan air. Lee Ing timbul juga kegembiraannya melihat daging putih kemerahan yang terapung di dekat papan. Akan tetapi sebentar saja ikan-ikan hiu itu timbul kembali dan menyambari potongan-potongan daging itu.
"Haya.... hayooo.... binatang-binatang gembul. Jangan habiskan sendiri, dong..!"
Lee Ing cepat menyambar segumpal daging yang cukup besar, mendahului moncong ikan yang sudah menyambar pula.
"Ayaa, tidak kena, bung! Kau sudah cukup kenyang, bagi sedikit untuk nonamu, mengapa sih?"
Sambil tertawa-tawa Lee Ing memandang ikan yang berenang ke sekeliling "perahunya"
Kemudian ia membawa daging itu ke mulutnya terus digigit sepotong dan dikunyah. Mula-mula ia mengunyah dengan penuh nafsu dan selera karena perutnya memang sudah amat lapar, akan tetapi begitu daging yang dikunyah itu dimasukkan tenggorokan, kontan ia muntah-muntah. Rasa manis tercampur bau amis membuainya muntah-muntah. Akan tetapi ia dapat berpikir panjang. Keadaannya sudah cukup menderita dan berbahaya sekali, kalau ditambah lagi dengan perut kosong dan kelaparan, harapan tertolong makin tipis.
Dengan nekat Lee Ing meramkan mata dan kembali ia menggigit daging besar yang masih dipegangnya, lalu tangan kirinya memencet hidung dan daging itu dikunyah cepat terus ditelannya begitu saja. Sebelum habis segumpal besar daging itu memasuki perutnya, belum dilepasnya hidung yang dipencet, baru setelah ia mengambil air laut dengan sendokan tangan kanan dan diminumnya ia melepaskan pencetan hidungnya. Dengan cara demikian barulah ia dapat makan daging ikan mentah itu. Penciuman memegang peranan penting bagi rasa. Dengan memencet hidung, rasa yang tidak enak akan lenyap sebagian besar.
Akan tetapi setelah perutnya diisi, ia menghadapi kesukaran lain. Minum air laut membuat tenggorokannya menjadi kering dan tidak enak sekali. Rasa haus mengganggunya dan membuat leher serasa tercekik. Lee Ing menjadi kelabakan dan bingung sekali. Akan tetapi dasar ia memang tabah dan selalu gembira. Ia menghibur rasa yang amat tidak enak ini dengan berjenaka. Memandang ikan-ikan hiu yang berenang ke sana ke mari nampak segar itu. ia berkata,
"Ya Tuhan, alangkah senangnya menjadi ikan. Pada saat sekarang ini aku akan berterimakasih sekali kalau dijadikan ikan...!"
Sifatnya yang gembira menolong banyak. Betapapun payah keadaannya, dengan sifat periang ini tidak begitu menekan hati. Berhari-hari Lee Ing hidup dalam keadaan amat sengsara di atas papan itu. Yang paling hebat mengganggunya adalah panas terik matahari dan rasa dahaga yang mengamuk, dapat ia puaskan dengan minum air laut. Bahkan sekarang ia sama sekali tidak berani minum air laut karena setiap kali ia minum tenggorokannya makin sakit tercekik rasanya.
Agaknya Thian belum menghendaki Lee Ing tewas di situ. Buktinya, pada hari ke tiga selagi gadis ini sudah empas-empis seperti ikan dilempar di darat saking hausnya, mendung yang sudah lama membubung di udara itu pecah menjadi air hujan. Lee Ing menari-nari di atas papannya sampai hampir ia terguling kalau ia tidak buru-buru mengatur keseimbangan tubuhnya. Terguling di air di antara sekelompok ikan hiu itu sama dengan memberi umpan! Berhari-hari itu ikan hiu tetap membuntuti papan, agaknya siap menanti! saatnya makanan empuk ini tergelincir ke air.
Sambil tertawa sampai keluar air matanya Lee Ing menerima air hujan dengan mulut dan tangannya dan minum sepuas hatinya, mandi sampai basah kuyup. Akan tetapi hujan tiada hentinya dan sebentar saja suasana menggembirakan itu berubah menjadi mjenyedihkan ketika datang badai mengamuk. Cuaca menjadi gelap sekali, air bergelombang. makin lama makin tinggi dan dahsyat. Papan kecil mulai terayun-ayun, dipermainkan secara hebat, dilempar ke sana ke mari seperti sebuah bola kecil dibuat main-main oleh banyak anak nakal. Lee Ing sudah memeluk papannya lagi erat-erat, kepalanya pening, seluruh tubuh sakit-sakit dan mata tak dapat dibuka karena gempuran air laut membuat matanya sakit dan perih.
Kalau Lee Ing tidak memiliki kekerasan hati yang luar biasa sekali, tentu ia telah direnggut terlepas dari papannya yang berarti maut baginya. Akan tetapi gadis ini benar-benar hebat. Pelukannya pada papan erat sekali. Ia maklum sepenuhnya bahwa nyawanya tergantung pada papan itu. pelukannya demikian erat sehingga andaikata dia mati, kiranya kedua tangannya akan tetap memeluk papan!
Sampai semalam penuh badai mengamuk, membawa papan sampai jauh ke selatan di luar kesadaran Lee Ing. Gadis itu sudah setengah pingsan. tubuhnya lemas tak bertenaga lagi, rambutnya awut-awutan dan tangan kanannya sudah terlepas dari papan. Akan tetapi tangan kirinya masih tetap memeluk papan kuat-kuat, bahkan sudah kaku tangan kiri itu. Keadaannya menyedihkan sekali. Melihat dari jauh, orang akan mengira dia itu peri atau dewi laut yang bermain-main dengan ombak, akan tetapi dilihat dari dekat, keadaannya amat menyedihkan.
Kedua matanya meram, napasnya terengah-engah dan rambutnya tidak karuan lagi letaknya. Masih untung baginya bahwa ikan-ikan juga ketakutan dan tidak berdaya dalam badai hingga tak seekor ikanpun sempat mengganggunya. Kalau pada saat itu, dalam keadaan tak berdaya dan setengah pingsan, ada seekor ikan hiu saja lewat dekat, tentu binatang itu akan menyambar kaki Lee Ing yang tenggelam dalam air. Akan tetapi semua ikan bersembunyi jauh jauh di dasar laut.
Timbulnya Matahari pagi menenangkan laut, agaknya mengusir kekuatan-kekuatan gaib yang mengguncang dan mengamuk semalam suntuk itu. Air laut menjadi tenang, hanya bekas amukan itu masih tampak dengan adanya keriput-keriput pada permukaan laut dan kadarig-kadang ada pula pertemuan keriput air yang menimbulkan percik air membusa keputihan ke atas.
Lee Ing masih setengah pingsan memeluk papan dengan tangan kirinya. Kemudian perlahan-lahan ia menggerakkan kepala dan membuka mata Terik matahari pagi menyengat kulit leher dan mukanya, la sadar kembali dan dengan gerakan sukar ia menarik kedua kakinya, duduk di atas papan. Tangan kirinya yang memeluk papan dan yang semalam suntuk direnggut-renggut oleh ombak diluruskan ke depan Ialu digerakkan perlahan-lahan untuk melemaskan urat-urat yang kaku.
"Heran, aku masih hidup....."
Komentarnya dengan suara berat "Yang berkuasa mengatur ombak laut, kuasa pula melindungi nyawaku. Hebat. ..!"
Tiba tiba pandang matanya tertumbuk pada benda hitam yang menjulang tinggi di tengah laut, tak jauh di sebelah kanannya Benda itu adalah dua buah batu karang yang berbentuk menara. Dilihat dari jauh tentu dikira menara buatan manusia, akan tetapi sebenarnya batu-batu karang buatan alam. Girang hati Lee Ing. Biarpun yang tampak itu bukan sebuah pulau yang subur, akan tetapi jauh lebih aman dari pada papan yang selama beberapa hari ini menjadi kawan dan penolong satu-satunya, la mendayung dengan tangannya, papan meluncur perlahan menuju batu karang.
Mendapatkan batu karang ini, timbul tenaga baru dalam diri Lee Ing. Ia memanjat dan girang melihat batu karang yang kokoh kuat itu, yang tidak bergeming menghadapi hantaman air mengombak. Lee Ing tidak melupakan papannya yang telah menolong nyawanya dan menjadi kawannya. Dibawanya papan itu naik ke atas batu karang. Memang dalam keadaan seperti itu orang akan memperhatikan hal-ha! kecil dan remeh, Juga Lee Ing demikian, timbul rasa sayang dan setia kawan dalam hatinya terhadap papan itu.
Sampai tiga hari tiga malam Lee Ing berada di sepasang menara batu karang itu. Keadaan yang amat tidak enak, akan tetapi bagi Lee Ing yang berwatak periang itu dianggap amat menguntungkan, jauh sekali lebih baik, lebih aman, dan lebih "enak"
Dari pada di atas papan. Di situ ia bisa tidur nyenyak, bisa berlindung dari terik matahari dengan bersembunyi di dalam celah yang terdapat di antara dua buah menara batu karang, dan dapat menangkap ikan-ikan kecil yang kebetulan lewat dekat. Di situ ia tidak khawatir akan diganggu dan dibuntuti oleh hiu-hiu yang mengancam.
Biarpun pikirannya tenang dan api kegembiraan hidupnya tak pernah padam, namun Lee Ing tidak pernah lupa untuk memikirkan jalan keluar dari "penjara"
Ini. Setiap kali ia naik ke puncak batu karang, memandang ke empat penjuru untuk melihat tanda-tanda apakah di dekat situ terdapat pulau atau daratan.
Pada hari ke lima, ketika ia sedang melihat-lihat ke empat penjuru seperti biasa, tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang, la melihat titik hitam yang makin lama membesar dan mulai kelihatanlah bentuk-bentuk layar. Sebuah perahu layar. Benar-benar mengharukan sekali melihat sikap Lee Ing pada saat itu. Gadis ini kebingungan, dengan gagap-gagap seperti ayam hendak bertelur ia naik turun menara batu karang itu sambil memutar-mutar kain ikat rambutnya dan berteriak-teriak sekuat tenaga.
"Heeeeeiii, tukang perahu... ke sinilah...! Sahhabat baik, putar perahumu ke sini...! Aku hendak ikut...!"
Demikian teriakannya berulang-ulang sambil memutar-mutar kain di tangannya. Beberapa ekor burung belibis laut sampai kaget dan terbang meninggi. Tentu rnereka ini kaget dan takut melihat mahluk aneh di atas batukarang itu!
Perahu layar makin mendekat. Lee Ing berjingkrak-jingkrak di atas batu karang, dibilang tertawa air matanya bercucuran, kalau menangis mengapa suaranya bergelak tertawa. Saking girangnya gadis ini menangis sambil tertawa. Baru ia tenang kembali setelah perahu datang dekat dan ia melihat dua orang laki-laki tinggi besar berdiri di dek, memandangnya dengan mata terbelalak. Dua orang itu yang seorang berusia tiga puluh tahun lebih, yang ke dua sudah lima puluh tahun. Muka mereka menghitam terbakar panas matahari. Mereka bukan nelayan, karena pakaian mereka seperti pakaian ahli silat.
"Benarkah apa yang kulihat ini?"
Akhirnya yang tua dapat mengeluarkan kata-kata, suaranya besar dan kasar.
"Seorang gadis muda cantik seorang diri di atas batu karang ini?"
"Entah cantik entah tidak, akan tetapi aku memang seorang gadis muda. Orang tua baik, lekas dekatkan perahumu, aku hendak ikut menumpang ke darat!"
Jawab Lee Ing.
Akan tetapi dua orang yang bertugas sebagai juru mudi itu tidak bergerak mendekatkan perahu, kini yang muda bertanya, suaranya kecil tinggi tidak sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar.
"Kau ini siluman, peri atau manusia? Kau wanita muda cantik jelita seorang diri di sini, mana bisa jadi? Jangan-jangan kau siluman ikan...."
Kini tiga orang lain datang ke dek itu, pakaian mereka serupa, seperti pakaian tentara seragam. Melihat Lee Ing, tiga orang inipun bengong terheran.
"Sam-ko, dia itu ikan duyung!"
Seru seorang,
"Mana bisa Ikan duyung tak berbaju, di atas gadis di bawah ikan. Dia itu lengkap gadis dari atas ke bawah, berpakaian pula,"
Bantah yang lain.
"Tentu siluman.... siluman ikan atau siluman ular....."
Lee Ing membanting-banting kaki dengan gemasnya. Pada saat itu terdengar suara keras sekali dan parau dari sebelah dalam "Mengapa haluan perahu diputar? Ada apa ribut-ribut di atas itu?"
Lima orang anak buah perahu besar itu menghentikan keributan dan yang tua menjawab hormat.
"Loya, di atas batu karang terdapat seorang gadis cantik."
"Dekatkan perahu, biarkan dia naik kalau dia orang baik-baik."
Suara parau tadi terdengar pula.
Beramai perahu didekatkan, akan tetapi sebelum mereka menurunkan tali, Lee Ing yang sudah naik ke puncak batu karang dan melihat jarak perahu tidak jauh lagi, mengumpulkan seluruh kekuatan yang masih ada, mengerahkan ginkangnya dan melompat ke atas dek. Karuan saja lima orang itu menjadi kaget setengah mati, mengira "siluman"
Ini hendak menyerang dan makan mereka. Dayung digerakkan, golok dicabut akan tetapi Lee Ing mengangkat tangan dan berkata.
"Aku hanya mau menumpang, ikut ke darat. Mengapa kalian begini tolol? Aku orang biasa apa mata kaIian suudah buta?"
Mendengar gadis jelita itu bisa memaki-maki seperti wanita biasa, lima orang itu saling pandang lalu
(Lanjut ke Jilid 05)
Pusaka Gua Siluman (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
tertawa bergelak dengan perasaan lega. Banyak lagi anak buah perahu mendatangi, ada belasan orang banyaknya. Mereka ini orang-orang kasar dan menghujankan pertanyaan kepada Lee Ing.
"Siapa nona? Bagaimana bisa berada di batu karang?"
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini diajukan bertubi-tubi sampai Lee Ing sukar menjawab.
"Satu-satu.. satu-satu kalau bertanya. Masa menggonggong menyalak seperti anjing-anjing kelaparan. Mulutku hanya sebuah mana bisa melayani begini banyak orang?"
Kembali semua orang tertawa riuh-rendah mendengar jawaban-jawaban dan sikap Lee Ing yang lincah dan lucu.
"Cantik sekali.."
"Manis, menggiurkan!"
"Anak yang lucu!"
Banyak pujian semacam ini dilontarkan orang yang rata-rata merasa tertarik, bukan hanya oleh kecantikan Lee Ing dan sikapnya yang lincah, akan tetapi juga ingin sekali tahu bagaimana gadis itu dapat berada di atas batu karang seorang diri.
Sebelum Lee Ing menuturkan riwayatnya, tiba-tiba semua orang berdiam dan membuka jalan. Terdengar orang berkata perlahan.
"Minggir, loya datang!"
Dari balik pintu manusia itu muncul seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, pakaian nya juga seperti seorang ahli silat, malah dipunggungnya nampak tersembul dua gagang ruyung dan di pinggangnya tergantung kantong piauw, akan tetapi sikapnya lembah lembut. Ia mengerutkan kening ketika melihat Lee Ing. tanyanya tenang,
"Nona siapa? Bagaimana bisa berada di atas batu karang?"
Akan tetapi, pertanyaan yang sudah sering didengarnya bertubi-tubi dari para anak buah perahu itu tidak mengherankan hati Lee Ing, bahkan tidak dihiraukan sama sekali. Sebaliknya, orang yang baru datang itu berikut anak buahnya memandang heran kepada Lee Ing yang tidak menjawab melainkan celingukan ke kanan kiri dan hidungnya yang kecil mancung itu berkembang-Kempis, mencium-cium sesuatu seperti anjing mencium bau tulang.
Hidung belasan orang itu ikut berkembang-kempis mencium-cium, mencari apakah ada apa-apa dan kembali mereka memandang Lee Ing. Gadis ini masih mengembang kempiskan hidungnya yang bagus, lalu berkata,
"Enak.... enak.... masakan ca-udang ini enak sekali, sayang terlalu banyak jahe.... hemmm, enak, perutku lapar..!"
Pecah suara gelak ketawa mendengar ucapan Lee Ing ini. Tidak tahunya hidung kecil mancung itu mencium-cium bau masakan yang keluar dari dapur perahu ini. Orang yang dipanggil loya itu mengamat wajah Lee Ing yang agak pucat dan tubuhnya nampak lemas, lalu katanya memberi perintah,
"Sediakan makan minum untuk nona ini. kemudian bawa dia menghadapku di ruang dalam."
Setelah berkata demikian, ia pergi mentastiki bilik perahu yang besar.
Dengan gembira dan tertawa-tawa para anak buah perahu mengajak Lee Ing memasuki ruangan makan dan di situ Lee Ing dijamu dengan makanan enak.
Penciumannya memang tajam dan betul saja yang tercium olehnya tadi adalah masakan ca-udang. Tanpa sungkan-sungkan lagi Lee Ing menyerbu hidangan, makan sekenyangnya. Selama delapan hari ia hanya makan daging ikan mentah dan minum air hujan, air embun dan kadang-kadang air laut.
Setelah perutnya kenyang oleh makanan dan hangat oleh arak, timbul rasa mengantuk yang luar biasa. Ia membersihkan mulut dan bibir dengan mata melenggut, kemudian tak tertahankan lagi la merebahkan kepala di atas meja berbantal tangan. Di lain saat gadis ini sudah pulas di situ!
Anak buah perahu tidak ada yang berani mengganggu, hanya tertawa tawa lalu pergi memberi laporan kepada majikan mereka. Yang-dilapori hanya mengangguk saja dan memesan agar supaya nona itu jangan diganggu dan cepat diajak nenghadap untuk diperiksa dan ditanyai Setelah bangun dari tidurnya. Akan tetapi, selama berhari-hari Lee Ing yang menderita kesengsaraan lahir batin, mengalami ketegangan hebat dan beberapa kali terlepas dari cengkeraman maut. Sekarang ia menemukan obatnya, karena obatnya bukan lain hanya tidur disertai hati aman dan perut kenyang, maka sampai sehari semalam ia tidur pula di atas kursi berbantal meja, tidak tahu bahwa perahu besar yang ditumpaningnya sudah berlayar pergi melanjutkan pelayarannya.
Perahu apakah itu dan siapa mereka yang menjadi penghuni perahu layar besar ini? Sudah bertahun-tahun perahu layar besar yang pada puncak tiang layar terdapat bendera tengkorak merah ini menjadi momok yang ditakuti oleh semua perahu-perahu besar yang berlayar di perairan Laut Po-hai. Inilah perahu bajak laut yang dikepalai oleh orang berusia empat puluh tahun lebih tadi, yang bernama Sim Kang berjuluk Siang-Pian-hai-liong (Naga Laut Bersenjata Sepasang Pian). Tidak saja Siang-pian-hai-liong Sim Kang amat terkenal akan kekejaman dan kelihaian senjata piannya, juga anak buahnya yang berjumlah tiga puluh orang rata-rata adalah bajak-bajak laut berpengalaman yang ganas dan kuat.
Di samping ini, Sim Kang masih mengandalkan putera tunggalnya, Sim Hong Lui yang juga amat lihai ilmu silatnya, kalau tak boleh dibilang lebih lihai dari ayahnya. Selain mendapatkan ilmu silat dari ayahnya, juga pemuda berusia dua puluh tahun ini mewarisi ilmu silat dari ibunya yang sudah hidup terpisah dari ayahnya, lsteri Sim Kang adalah seorang pendekar wanita anak murid Hoa-lian-pai, murid terkasih dari Lui Siu Niang-niang ketua Hoa-lian-pai di kaki Pegunungan Ta-pie-san.
Dahulu sebelum menjadi kepala bajak, Sim Kang bekerja sebagai seorang piauwsu (pengawal kiriman) yang terkenal gagah dan disegani para kaum liok-lim (golongan penjahat). Dalam usia dua puluh tahun ia telah menjunjung tinggi namanya sebagai seorang gagah. Kemudian ia berjumpa dengan pendekar wanita Yap Lee Nio yang berjuluk Hui-ouw-tiap (Kupu-kupu Terbang) dan yang menjadi seorang perampok budiman tunggal.
Sesuai dengan ajaran gurunya, Lui Siu Niang-niang ketua Hoa-lian-pai. Yap Lee Nio membantu rakyat miskin dengan jalan mencegat para saudagar, merampas sebagian barangnya dan membagi-bagikan kepada fakir miskin! Pada suatu hari ia bertemu dengan piauwsu muda Sim Kang, terjadi perebutan dan pertempuran. Keduanya saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri!
Akan tetapi semenjak Kerajaan Beng berdiri, perusahaan Sim Kang menjadi bangkrut. Isterinya hendak kembali menjadi perampok. Sim Kang tidak setuju dan terjadi percekcokan dalam krisis rumah tangga ini. Yap Lee Nio memang berwatak keras, apa lagi memang kepandaiannya lebih tinggi dari pada suaminya, la menjadi marah dan meninggalkan suami dan putera tunggalnya, yaitu Sim Hong Lui. Ditinggal oleh isterinya yang tercinta, Sim Kang menjadi rusak hatinya dan ia bahkan lalu nekat menjadi... bajak laut.
Mula-mula perbuatannya ini hanya untuk mengimbangi kesesalan isterinya, akan tetapi lambat-laun setelah ia mendapat nama terkenal, ia tidak bisa lagi melepaskan pekerjaan ini. Demikianlah, yang wanita menjadi perampok tunggal, si suami menjadi bajak laut, dan puteranya.. ke sana ke mari mengunjungi ayah bundanya untuk menerima pelajaran ilmu silat.
Watak seorang anak dibentuk oleh keadaan orang tuanya sendiri. Perpisahan suami isteri ini membuat Sim Hong Lui kurang pendidikan moral, dan pergaulan dengan para anak buah bajak membuat ia tersesat dan terkenal sebagai pemuda... ugal-ugalan perusak anak bini orang. Sayang sekali! Wajahnya tampan sikapnya halus dan kepandaiannya tinggi.
Karena Sim Hong Lui sering kali mendarat untuk menemui ibunya, dari pemuda ini Sim Kang mengetahui daratan dan mengetahui pula tentang keadaan negara, la juga mendengar tentang Souw Teng Wi yang dikejar-kejar oleh kaisar dan kaki tangannya. Sim Kang dahulu pernah menjadi
sahabat baik Souw Teng Wi ketika ia masih menjadi piauwsu.
la hanya ikut menyesal mendengar akan nasib buruk sahabatnya itu. Akan tetapi lebih dari itu, tidak. Sim Kang dahulu berbeda dengan Sim Kang sekarang. Dahulu sebelutn menikah ia adalah seorang pendekar gagah, akan tetapi hidup di atas lautan sebagai bajak, ditambah penderitaan dan sakit hatinya ditinggal isterinya, membuat Sim Kang berubah menjadi seorang manusia yang buas, kejam, dan gila harta.
Sebagai bajak laut yang malang-melintang di perairan Laut Po-hai. Sim Kang tentu saja mempunyai beberapa pulau kecil kosong tempatnya menyembunyikan hasil rampasannya. Pada Suatu hari ketika ia singgah di pulau kosong terpencil ini dan dari atas dek perahunya melihat anak buahnya menurun-nurunkan barang yang baru ia dapat rampas dari perahu pedagang, tiba-tiba ia melihat anak buahnya lari cerai-berai ketakutan, kembali ke perahu.
"Celaka, loya. Di depan gua penyimpan barang ada seorang gila yang lihai. Dua orang kawan telah ia bunuh,"
Seorang di antara para bajak itu melapor.
Sim Kang dan puteranya, Sim Hong Lui cepat melompat ke darat, membawa senjata dan cepat berlari ke tempat itu. Dari jauh mereka sudah mendengar suara orang berteriak-teriak,
"Serbuuu...! Kawan-kawan seperjuangan, serbu dan ganyang habis musuh-musuh kita! Jangan takut mati. Mari kita pertahankan tanah air dengan titik darah penghabisan. Mati dalam perjuangan membela nusa bangsa adalah mati mulia. Serbuuu..!!"
Mendengar suara ini, Sim Kang terkejut. Kemudian ia dan puteranya melihat seorang laki-laki pakaiannya kotor dan compang-camping tidak karuan, rambutnya awut-awutan, mukanya penuh cambang yang tidak terpelihara, matanya liar. Orang ini usianya sebaya dengan Sim Kang perawakannya sedang. Berdiri dengan kedua kaki terpentang gagah di depan gua, tangannya menuding ke sana ke mari seakan-akan seorang jenderal perang memberi aba-aba kepada deretan pohon-pohon yang dianggap laskarnya. Tidak jauh dari kakinya menggeletak mayat dua orang anak buah bajak.
"Dari mana datangnya orang gila itu?"
Sim Hong Lui membentak marah sambil mencabut pedangnya.
"Hong Lui, tunggu...!"
Sim Kang mencegah namun terlambat. Gerakan pemuda itu cepat sekali. Ia telah mewarisi ginkang ibunya yang lihai, sekali tubuhnya berkelebat ia telah berada di depan orang gila itu dan pedangnya yang lebih menyerupai golok itu dikerjakan cepat menyerang. Sekaligus ia telah menyerang dengan tiga tikaman dan dua bacokan. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya saja dapat memecah sejurus serangan dengan lima kali pukulan berbahaya. Pemuda itu sengaja melakukan serangan ini untuk cepat-cepat membunuh orang gila yang telah menewaskan dua orang kawannya.
Orang gila itu berdiri miring, tangan kirinya masih bertolak pinggang dan tadi tangan kanannya yang menuding ke sana ke mari memberi aba-aba. Sekarang menghadapi serangan ini, ia seperti tidak tahu, tubuhnya tetap seperti tadi, tangan kirinya tetap bertolak pinggang. Hanya tangan kanan yang tadi menuding-nuding itu kini dibuka jari-jari tangannya dan lima kali ia menyentil dengan jari-jari telinjuk dan ibu jarinya.
"Ting-ting-ting-ting-ting!"
Lima kali serangan pedang itu "bertemu"
Atau dipapaki oleh kuku jari telunjuk orang gila itu dan tiap kali pedang itu membalik bagaikan ditangkis oleh tongkat baja! Sim Hong Lui kaget setengah mati, cepat melompat ke belakang. Akan tetapi tiba-tiba tangan kanan orang gila itu seperti karet molor ke depan, lebih panjang satu kaki dari pada biasanya dan tahu-tahu pundak Sim Hong Lui sudah dipegang dan sekali banting Hong Lui jatuh terguling.
"Ha-ha-ha-ha! Musuh sudah kehabisan orang! Kutu rambut macam ini dijadikan panglima. Ha-ha-ha!"
Dengan bulu roma berdiri semua menghadapi kehebatan orang ini, Sim Hong Lui mencoba untuk meraih pedangnya yang tadi terlepas dari tangan saking kerasnya ia terbanting. Kalau ia tidak memiliki kekebalan, tentu tulang-tulangnya hancur akibat bantingan tadi. Akan tetapi, sebelum tangannya sempat menyambar pedangnya, kaki telanjang orang gila itu sudah mendahului menginjak pedang dan "krakkk!"
Pedang itu diinjak patah-patah menjadi lima potong! Kemudian orang gila itu mengangkat kaki, menginjak kepala Hong Lui! Pemuda ini masih dapat mengelak sambil menggelundung ke kanan, akan tetapi sambil tertawa-tawa orang itu terus melangkah mengejarnya, mengancam hendak menginjak kepalanya.
Tadinya Sim Kang bengong terlongong-longong melihat kesaktian orang gila itu. Ilmu kepandaian puteranya bukanlah kepandaian biasa saja. Bahkan jarang ada orang mampu menandingi ilmu pedang Sim Hong Lui. Akan tetapi bagaimana orang gila itu dengan mudah dapat menangkis pedang dengan kuku jari kemudian merobohkan anaknya itu bagaikan orang merobohkan batang padi saja? Dan injakan pada pedang itu! Bukan main! Pedang itupun terbuat dari pada baja yang kuat sekali bagaimana kaki telanjang mampu menginjaknya sampai patah-patah menjadi lima? Dan sekarang kaki yang ampuh dan kuat melebihi kaki gajah itu sedang berusaha menginjak kepala puteranya!
"Souw Teng Wi...!!"
Sim Kang berseru keras memanggil. Tadinya ia sudah ragu-ragu bahwa ia tentu menduga keliru. Memang betul begitu bertemu dengan orang gila itu, ia mengenal wajah dan potongan tubuh sahabat baiknya Souw Teng Wi, pendekar besar yang menjadi buronan. Akan tetapi menyaksikan kesaktian tadi ia sudah ragu-ragu. Ia tahu betul sampai di mana kepandaian Souw Teng Wi murid Kun-lun-pai itu, biarpun lihai, hanya setingkat dengan dia dan setingkat pula dengan Sim Hong Lui karena kepandaian pemuda itu sudah menyusulnya. Akan tetapi, benar Souw Teng Wi atau bukan, tiada salahnya mencoba memanggilnya. Apa lagi ia memang tidak ada daya lain untuk menolong nyawa puteranya.
Ternyata usahanya berhasil! Orang gila itu mendadak menghentikan pengejarannya kepada Hong Lui dan memutar tubuh menghadapi Sim Kang dengan mata terbelalak. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Hong Lui yang melompat bangun dan.... lari menjauhi orang gila itu, berhenti agak
jauh untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi. Selama hidupnya baru kali ini Hong Lui merasa ngeri!
"Siapa..... siapa memanggil namaku.....?"
Orang gila itu berkata dan aneh sekali, ia kelihatan ketakutan! Sim Kang menjadi girang sekali, la melangkah maju di depan orang gila itu. Tak salah lagi, ia berhadapan dengan Souw Teng Wi, bekas sahabat baiknya.
"Souw Teng Wi, jangan takut. Lupakah kau kepadaku? Aku sahabat baikmu, Sim Kang! Dahulu menjadi piauwsu di Leng-an."
Memang benar orang gila itu adalah Souw Teng Wi! Sungguh mengenaskan nasib pendekar besar, pejuang rakyat yang berjiwa patriot ini. Karena di fitnah ia menjadi buronan, menderita sengsara di perantauan, menyeberang laut dan tinggal di pulau-pulau kosong. Akhirnya ia menghilang dan kini ia muncul kembali dalam keadaan menyedihkan, pikirannya terganggu, seperti orang gila akan tetapi ilmu kepandaiannya meningkat beberapa kali dan menjadi orang sakti! Kini ia menatap wajah Sim Kang dengan mata liar dan tajam, kemudian agaknya ia teringat dan kenal wajah ini.
"Kau Sim Kang kenalanku? Mengapa kau menjadi anjing Mongol?"
"Tidak, tidak, kawan! Jangan salah sangka. Aku, dan puteraku tadi, juga kawan-kawanku semua sama sekali bukan kaki tangan Mongol. Juga bukan kaki tangan kaisar yang mengejar-ngejarmu! Tidak, kami adalah orang-orang sendiri, semua kawan baik. Seperti juga kau, kami memusuhi orang-orang Mongol dan memusuhi pembesar-pembesar jahat penjilat kaisar, sahabatku Souw Teng Wi."
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Souw Teng Wi menangis menggerung-gerung, menggosok-gosok kedua mata dengan tangannya seperti anak kecil.
"Kasihan kaisar buta, kaisar bodoh dipermainkan oleh dorna celaka. Kasihan rakyatku......."
Ia meratap-ratap.
Sim Kang adalah seorang cerdik. Dia yang menjadi bajak laut, bagaimana mau bicara tentang rakyat? Namun dia mempunyai pikiran yang amat baik, yaitu baik bagi dirinya sendiri. Ia melihat bahwa bekas pendekar besar Souw Teng Wi ini benar-benar sudah menjadi gila dan percaya kepadanya.
Melihat kepandaian Souw Teng Wi yang demikian hebat, bukankah akan menguntungkan sekali baginya apa bila ia dapat mempergunakan tenaganya? Di samping itu, puteranya akhir-akhir ini mendengar berita bahwa Kaisar Thai Cu di Nan-king menyediakan jumlah hadiah yang amat besar bagi siapa yang dapat menangkap pemberontak Souw Teng Wi.
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan sikap ramah-tamah dan suara halus lembut yang sudah menjadi sifatnya menyembunyikan kekejian hatinya, Sim Kang memeluk pundak Souw Teng Wi dan ikut mengeluarkan air mata. Apa lagi Souw Teng Wi yang sudah tidak beres otaknya, andaikata ia tidak gila sekalipun kiranya akan sukar melihat bahwa yang keluar dari mata Sim Kang adalah air mata buaya!
Demikianlah, terbujuk oleh sikap baik Sim Kang dalam usahanya untuk menyembunyikan diri dari kejaran kaisar, Souw Teng Wi yang sudah linglung itu menurut saja dibawa oleh "sahabat baiknya"
Ini ke perahu. Mulai saat itu ia ikut berlayar di atas perahu bajak. Tak seorangpun anak buah bajak berani main-main dengan Souw Teng Wi yang setiap hari hanya duduk melamun, kadang-kadang bicara seorang diri itu. Mereka menyebutnya Souw-suhu.
Beberapa hari kemudian semenjak Souw Teng Wi berada di atas perahu, Sim Kang sudah dapat memetik hasil dari pada siasatnya. Kebetulan sekali perahunya bertemu dengan perahu besar yang tiga buah banyaknya. Dari jauh saja sudah dapat dilihat bahwa itulah perahu-perahu Kerajaan Beng yang megah dan kuat. Memang Kaisar Beng sedang mengutus orangnya menuju ke seberang laut untuk mengadakan hubungan baik dengan penduduk pulau-pulau seberang lautan yang sering kali merupakan gangguan, terutama bangsa kate dari Jepang. Dalam perjalanan muhibah ini, utusan itu membawa banyak harta yang hendak dipergunakan sebagai hadiah-hadiah persahabatan.
Sudah tentu saja "ikan"
Segemuk ini tidak dilewatkan begitu saja oleh Sim Kang. Biarpun setiap perahu besar dijaga oleh sepasukan tentara kerajaan berjumlah lima puluh orang yang amat kuat, hati Sim Kang tidak menjadi gentar. Ia mempersiapkan anak buahnya dan memotong jalan yang ditempuh oleh tiga buah perahu layar besar itu.
"Hee, kalian ini mau apa? Apakah tidak tahu bahwa kami membawa utusan kaisar? Hayo minggir, atau kalau ada keperluan lekas panggil pemimpinmu datang menghadap taijin,"
Tegur seorang penjaga perahu terdepan dengan suara keras. Sim Kang tertawa bergelak, tangan kirinya bergerak dan penjaga di perahu depan itu menjerit terus roboh ke dalam air.
"Ada bangsat... ada bajak...!"
Riuh-rendah suara di atas kapal layar itu.
"Dengarkan baik-baik, para utusan kaisar!"
Suara Sim Kang terdengar mengatasi kegaduhan-kegaduhan itu.
"Aku Siang-pian Hai-Iiong memerintahkan agar sebuah di antara tiga kapal layar ini diserahkan kosong kepadaku. Orang-orangnya-boleh lekas pindah ke kedua perahu yang lain, baru boleh melanjutkan perjalanan tanpa gangguan. Kalau tidak segera mentaati perintah, terpaksa senjata-senjataku bicara dan contohnya sudah kalian lihat tadi!"
"Waduh, waduh sombongnya!"
Terdengar bentakan dari atas perahu.
"Mana sih cecongornya Siang-pian Hai-liong? Hendak kulihat sampai di mana lihainya sepasang piannya. Kalau dapat mengalahkan aku Hui-houw Twa-to (Harimau Terbang Golok Besar) baru boleh menyombongkan kepandaian!"
Sim Kang belum pernah mendengar julukan ini maka ia tertawa besar dan menantang.
"Harimau terbang atau babi terbang aku tidak takut! Kalau mau mengantarkan nyawa datanglah di sini, kita boleh mengadu kepandaian."
"Kau tentu akan mengeioyok."
Terdengar pula suara tadi.
"Dalam pertandingan pibu seorang gagah pantang mengeroyok. Satu lawan satu!"
Jawab Sim Kang,
"Ha-ha, memangnya aku takut dikeroyok? Su-siok, mari kita mencoba bajak laut itu!"
Tiba-tiba dari kapal layar besar itu melayang turun dua orang. Yang seorang adalah seorang laki-laki tinggi besar bermuka kuning, inilah agaknya yang berjuluk Hui-houw Twa-to karena di pinggangnya tergantung golok besar. Orang ke dua adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, rambutnya sudah putih semua, tidak bersenjata apa-apa kecuali sebatang tongkat bambu. Gerakan dua orang ini ketika melayang turun demikian ringannya, membuktikan adanya ginkang yang lihai. Akan tetapi Sim Kang yang percaya akan kepandaiannya sendiri tidak menjadi gentar.
Laki-laki tinggi besar bermuka kuning itu segera menantang.
"Bajak tak tahu diri, berani mencoba membajak perahu-perahu utusan kerajaan. Mana itu Siang-pian Hai-liong, boleh mencoba kepandaian aku orang she Ma!" Memang si tinggi besar ini adalah kepala pengawal yang bernama Ma Him berjuluk Hui-houw Twa-to dan ia segera meloloskan golok besarnya yang mengkilat, berat dan tajam.
Sim Hong Lui memapakinya sambil mencabut keluar goloknya yang kecil dan panjang. Sambil tersenyum mengejek ia membentak.
"Segala gentong kosong berani menantang ayahku? Tak usah ayah yang maju, aku puteranya cukup untuk menyadarkan kau dari mimpi muluk. Terimalah ini!"
Tanpa memberi kesempatan lagi Hong Lui menyerang, gerakannya cepat sekali dan golok setengah pedang itu bergerak-gerak aneh dan cepat.
"Ha-ha, anak masih bau bawang berani berlagak? Bagus!"
Si Harimau Terbang menggerakkan golok besarnya menangkis keras dengan maksud sekali tangkis membuat senjata lawan terlepas.
Akan tetapi terdengar suara keras dibarengi muncratnya bunga api dan keduanya merasa tangan mereka tergetar. Baru kagetlah hati Ma Him dan ia tidak berani banyak membuka mulut lagi, melainkan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan berat. Di saat lain kedua orang jagoan ini telah bertempur seru.
Lima puluh jurus telah lewat namun keduanya masih belum ada yang kalah. Biarpun begitu, mata para ahli di situ sudah melihat perbedaan permainan kedua orang ini. Sim Hong Lui menang cepat dan menang lihai ilmu silatnya, sebaliknya Ma Him menang tenaga. Kakek bertongkat bambu itu mengerutkan alisnya. Ia maklum bahwa murid keponakannya yang kasar dan bermulut besar itu akan kalah kalau dilanjutkan.
Benar saja dugaannya. Pedang di tangan Hong Lui bergerak cepat sekali sampai tak terlihat oleh Ma Him yang sudah pening. Terdengar ia mengeluh dan goloknya terlepas, lengannya keserempet senjata lawan dan berdarah, akan tetapi hanya luka kulit dagingnya saja.
Hong Lui tidak mau melepaskan lawan begitu saja. Biarpun sudah jelas bahwa lawannya kalah, akan tetapi ia belum puas kalau tidak membunuhnya. Cepat ia menerjang lawan yang sudah terluka dan tidak bersenjata itu dengan senjata yang seperti pedang setengah golok itu. dibabatkan cepat ke arah leher Ma Him.
"Traanngg!"
Senjata di tangan Hong Lui terlepas ketika tertangkis oleh sebatang tongkat bambu. Ternyata kakek berambut putih sudah menolong Ma Him.
"Curang!"
Seru Sim Kang marah sambil melompat maju.
"Mengapa perwira kerajaan tidak tahu aturan dan melakukan pengeroyokan?"
Kakek berambut putih itu tersenyum ramah.
"Bukan mengeroyok, melainkan mencegah anakmu yang melanggar peraturan pibu. Sudah terang bahwa Ma Him kalah, mengapa masih mendesak hendak membunuh? Kulihat orang muda ini mewarisi ilmu pedang Hoa-lian-pai. Benar-benar Lui Siu Niang-niang sudah tersesat terlampau jauh, mengajarkan ilmunya kepada segala perampok dan bajak laut."
Sim Kang terkejut. Seperti diketahui, Lui Siu Niang-niang adalah guru dari isterinya dan ketua dari Hoa-lian-pai. Sekali melihat ilmu silat Hong Lui yang campuran itu dapat mengenal ilmu pedang Hoa-lian-pai, tentu kakek ini bukan orang sembarangan. Apa lagi agaknya malah sudah mengenal Lui Siu Niang-niang.
"Kau orang tua siapakah?"
"Lohu dipanggil Thian Te Cu, nama asli sudah lupa. Sekarang membaktikan diri kepada raja baru yang arif bijaksana, kau ini anak masih hijau hendak merajalela. Lebih baik kau dan anak buahmu menaluk dan membantu negara, memperkuat negara dari serangan lawan. Bukankah lebih baik? Kalau kalian menaluk lohu suka mintakan ampun."
Sim Kang marah sekali.
"Orang tua pikun jangan mengacau! Bukankah dalam pibu tadi murid keponakanmu sudah kalah oleh puteraku?"
"Akan tetapi masih ada aku yang belum kalah..."
Sim Kang tidak menanti sampai kakek itu habis bicara. Dilihatnya bahwa kakek itu hanya memegang tongkat bambu. Tadi pedang anaknya terlepas mungkin karena anaknya sudah terlampau lelah menghadapi Ma Him yang bertenaga besar. Cepat ia menyerang kakek itu dengan sepasang piannya yang selama ini menjunjung tinggi namanya. Pertama-tama pian di tangan kirinya menyabet ke arah leher memancing kakek itu menangkis. Karena gerakannya memang cepat dan mantap, benar saja Thian Te Cu mengangkat tongkat bambu menangkis.
Inilah yang diharapkan oleh Sim Kang. Ia menggerakkan pergelangan tangan kirinya dan senjata pian seperti pecut itu segera melibat tongkat bambu dan pian di tangan kanannya bekerja menghantam pinggang orang selagi lawan
tidak dapat berjaga karena senjatanya terlibat pian kiri!
Sim Kang terlalu gegabah memandang ringan kakek berambut putih yang hanya memegang sebatang tongkat bambu butut itu. Thian Te Cu adalah seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang terkena bujukan menteri dorna Auwyang Peng. Bersama suhengnya (kakak seperguruannya) Ma-thouw Koai-tung Kui Ek guru Ma Him dia juga merupakan sekutu Auwyang Taijin dan tingkat kepandaiannya tinggi sekali. Mana Sim Kang mampu mengalahkannya?
Diserang hebat seperti itu oleh Sim Kang, Thian Te Cu tertawa bergelak.
"Ilmu siang-pian permainan bocah ini mana ada gunanya?"
Dengan tenang sekali ia mengangkat tangan kiri menangkis pian yang mengancam pinggangnya. Kembali Sim Kang menggerakkan pergelangan tangannya dan pian kedua inipun melibat lengan kakek itu.
Akan tetapi begitu kakek ini menggerakkan kedua tangan membetot, terdengar suara keras dan sepasang pian lemas itu putus di tengah-tengah seperti disambar gunting tajam! Sim Kang terhuyung-huyung ke belakang dan Thian Te Cu tertawa bergelak-gelak.
"Ha ha-ha, kepala bajak. Apakah kau masih belum mau menakluk?"
"Tunggu dulu,"
Kata Sim Kang dengan muka pucat.
"Kita masih seri. Kita masing-masing kalah satu kali menang satu kali. Tunggu, aku akan mendatangkan kawan dan pembantuku yang setia."
"Ha-ha, boleh kalau masih ada lagi,"
Tantang Thian Te Cu memandang rendah.
Sim Kang lari memasuki bilik perahunya dan menghampiri Souw Teng Wi yang sedang duduk melenggut, sama sekali tidak ambil perduli akan suara ribut-ribut di luar tadi, la baru membuka mata ketika pundaknya dipegang dan di-guncang-guncang oleh Sim Kang yang kelihatan cemas sekali.
"Celaka, Souw-twako celaka sekali..!"
"Memang celaka anjing-anjing Mongol, biar mereka mampus. Ha-ha-ha!"
Jawab Souw Teng Wi.
"Bukan, bukan begitu, saudaraku. Yang datang ini adalah utusan kaisar dari Nan-king, hendak menangkapmu....."
"Celaka dua belas! Aku harus bersembunyi!"
Souw Teng Wi melompat hendak lari. Memang semenjak ingatannya terganggu, selalu Souw Teng Wi hendak menyembunyikan diri, takut ditangkap.
"He, Souw-twako. Mengapa lari? Mereka bukan hanya hendak menangkapmu, juga hendak membunuh aku dan semua kawan. Kau berkepandaian tinggi, takut apakah? Kalau kau melawan, mereka itu bukan apa-apa bagimu!"
Souw Teng Wi menggeleng kepala dengan sedih.
"Tidak bisa aku melawan. Kaisar bukan seorang jahat, hanya bodoh mau dipengaruhi para durna. Bagaimana aku bisa melawan Kaisar Thai Cu yang membangun Kerajaan Beng? Tak mungkin, tak mungkin. Lebih baik aku lari."
"Husshh, nanti dulu, sahabat baik. Kau tidak tahu, biarpun mereka itu utusan kaisar, namun mereka ini adalah kaki tangan para durna. Kaisar sendiri tak pernah hendak menangkapmu, semua adalah gara-gara pembesar durna. Kalau sekarang kau membalas dendam kepada kaki tangan para durna bukankah berarti kau membebaskan kaisar dari pengaruh busuk?"
Memang Sim Kang cerdik sekali dan sebaliknya Souw Teng Wi sudah tak dapat berpikir apa-apa. Mendengar ini merahlah mukanya dan diangkat dadanya.
"Mana mereka? Mana anjing-anjing busuk penghianat bangsa itu?"
Katanya. Dengan langkah tegap dan gagah seperti seorang jenderal perang Souw Teng Wi berjalan keluar diantar oleh Sim Kang. Seluruh anak buah bajak menahan napas. Mereka memang tahu bahwa "tamu"
Aneh ini lihai bukan main, seorang berotak miring, tetapi mana mampu menandingi kakek yang
demikian lihainya, yang dengan sekali gebrak saja sudah mengalahkan kepala mereka?
Di lain fihak, Thian Te Cu dan Ma Him menjadi bengong ketika melihat bahwa "jago"
Yang dibawa datang oleh kepala bajak itu adalah seorang laki-laki setengah tua yang pakaiannya tidak karuan, rambutnya riap-riapan dan penuh bulu tak terpelihara, matanya merah liar dan menyeramkan.
Begitu tiba di tempat itu. Sim Kang lalu berkata kepada Souw Teng Wi,
"Souw-twako, itulah kapal mereka dan kakek inilah kaki tangan durna-durna itu!"
Souw Teng Wi memandang kepada Thian Te Cu dengan muka merah kemudian ia menggereng keras sekali. Beberapa orang anak bajak yang berdir. dekat terpelanting mendengar suara ini, bahkan Ma Him sendiri, juga Sim Kang dan Sim Hong Lui, menggigil seluruh tubuhnya! Hanya Thian Te Cu yang dapat menahan getaran sinkang dan khikang yang hebat ini, yang keluar dari suara Souw Teng Wi yang sedang marah. Akan tetapi kakek ini menjadi pucat karena selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan orang yang begini pandai mempergunakan gerengan singa.
"Siapa hendak menangkapku? Aku Souw Teng Wi tidak takut menghadapi segala penghianat!"
Ma Him pernah melihat Souw Teng Wi. Tadipun ia merasa kenal orang gila ini, dan baru sekarang ia yakin bahwa inilah Souw Teng Wi.
"Dia pemberontak Souw Teng Wi...!"
Dalam ketegangan dan kegembiraannya melihat orang buronan yang akan menghasilkan hadiah besar sekali kalau tertangkap itu, Ma Him menjadi lupa bahwa yang hendak ditangkapnya memiliki kepandaian tinggi.
Kembali terdengar gerengan dan sebelum Ma Him sempat mengelak, ia telah kena dipegang oleh Souw Teng Wi. Memang aneh sekali. Jarak antara Souw Teng Wi dan Ma Him masih ada dua meter lebih. Akan tetapi hanya dengan mengulur badan dan lengan tanpa mengubah kedudukan kaki, Souw Teng Wi telah berhasil mencengkeram pundak Ma Him dan ditariknya mendekat tanpa Ma Him dapat berdaya apa-apa.
"Kau kaki tangan durna! Ha-ha, pergilah menghadap Giam-ong!"
Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Ma Him telah disempal menjadi dua. Dengan memegang pundak kanan kiri, Souw Teng Wi telah menyempal tubuh itu hingga pecah di tengah-tengah, darah muncrat membasahi mukanya tanpa diperdulikannya. la tertawa terbahak-bahak seperti iblis yang amat menyeramkan.
Thian Te Cu marah dan kaget sekali. Ia segera menggerakkan tongkat bambunya dan menotok ke arah ulu hati Souw Teng Wi. Totokannya tepat
mengenai dada yang setengah telanjang itu, akan tetapi anehnya, ujung tongkat bambu itu meleset seperti mengenai kulit ular yang licin.
"Kau juga penghianat bangsa?"
Kata Souw Teng Wi sambil menggeser kakinya maju.
"Kau juga harus mampus!"
Akan tetapi Thian Te Cu adalah seorang ahli silat yang lihai sekali. Serangan balasan Souw Teng Wi yang memukul kepalanya dapat ia elakkan dan lapun membalas. Segera keduanya bertempur seru dan ramai. Sementara itu di kapal layar terdengar terikan-teriakan.
"Pemberontak Souw Teng Wi.....
pemberontak Souw Teng Wi......!"
Adapun Sim Kang melihat bahwa Souw Teng Wi sudah mulai "mengamuk, juga tidak tinggal diam. Ia memerintahkan anak buahnya untuk mendekatkan perahu pada kapal besar itu. Seorang anggauta bajak yang berlaku lancang hendak mencari jasa, menggunakan tombak menyerbu Thian Te Cu membantu Souw Teng Wi. Akan tetapi tombaknya yang mengenai punggung Thian Te Cu patah menjadi dua, dia sendiri tertangkap pinggangnya dan sekali banting tubuh bajak itu melesak ke dalam papan dan tewas, hebat sekali tenaga yang diperlihatkan oleh kakek itu dan semua bajak tidak berani sembarangan bergerak.
"Serbu kapal!"
Sim Kang memberi aba-aba dan ia bersama puteranya memimpin tiga puluh orang anak buahnya mulai menyerbu kapal keraja-an. Terjadi perang tanding yang ramai karena anak buah kapal itupun tidak mau menyerah begitu saja.
Pertempuran antara Souw Teng Wi dan Thian Te Cu tidak berlangsung lama.
Tongkat bambu di tangan Thian Te Cu amat lihai dan sudah puluhan tahun entah berapa banyak korban roboh oleh senjata ini. Akan tetapi menghadapi Souw Teng Wi yang memiliki ilmu aneh dan sakti, tongkat bambu itu tidak ada artinya sama sekali. Baru dua puluh jurus Thian Te Cu mendesak secara bertubi-tubi dengan gerakan yang aneh dibarengi gerengan seperti setan, tongkat itu sudah dapat dirampas oleh Souw Teng Wi dan diremas-remas hancur menjadi bubuk.
Kemudian Souw Teng Wi melancarkan serangannya, menubruk seperti harimau. Dilihat begitu saja, agaknya serangan ini dilakukan dengan membabi-buta, tidak memakai peraturan silat, akan tetapi Thian Te Cu kaget bukan main karena melihat gerakan yang aneh dan lihai dibarengi hawa pukulan yang mendatangkan hawa dingin menyusup tulang. Tahulah ia bahwa Souw Teng Wi mempergunakan pukulan sakti yang mengandung hawa "Im"
Atau yang disebut lm-kang, sari dari pada hawa dingin.
Cepat ia menangkis, dua tangan bertemu dan masing-masing mengerahkan Iweekangnya. Namun, muka Thian Te Cu makin lama makin pucat, tubuhnya mulai menggigil.! Tidak kuat ia menerima Im-kang yang amat kuat dan dahsyat dari lawannya. Dari pucat mukanya berubah menjadi biru, matanya mendelik dan tak lama kemudian ia menjerit lalu roboh, tubuhnya kaku dan dingin tak bernyawa pula seperti ikan direndam es!
Souw Teng Wi tertawa bergelak.
"Mampuskan semua penghianat! Hayo maju, Serbuuu..........!!"
Sikapnya seperti seorang pemimpin pasukan memberi aba-aba, kemudian sekali menggerakkan kaki, tubuhnya berkelebat dan melayang ke atas kapal layar kerajaan di mana telah terjadi pertempuran hebat antara anak buah bajak melawan anak buah kapal layar itu. Tadinya memang para pengawal sudah kewalahan menghadapi serbuan bajak laut yang dipimpin oleh Sim Kang dan Sim Hong Lui yang gagah perkasa. Sekarang, kedatangan Souw Teng Wi benar-benar membikin mereka jerih sekali.
Sepak-terjang Souw Teng Wi bukan sepak-lterjang manusia biasa, mayat bergelimpangan ke mana saja orang ini bergerak. Mulailah anak buah kapal melarikan diri, melompat ke dalam air laut dan berenang sedapatnya. Akan tetapi sebagian besar dari mereka tewas disambar ikan hiu yang banyak terdapat di perairan itu. Dua buah kapal layar lain sudah mendekat untuk membantu.
Akan tetapi begitu mendengar bahwa Thian Te Cu dan Ma Him, dua orang kepala pengawal yang diandalkan melindungi keselamatan para utusan itu sudah tewas, para pembesar yang berada di dalam kapal pertama cepat memberi perintah supaya dua kapal itu melarikan diri, kembali ke pantai. Hanya beberapa orang saja anak buah kapal yang diserbu itu dapat ditolong, yaitu mereka yang melompat ke laut dan yang beruntung tidak menjadi santapan ikan-ikan hiu. Dari mereka inilah semua orang mendengar tentang munculnya Souw Teng Wi si pemberontak sebagai seorang gila yang menyeramkan.
Ramai hal ini dibicarakan dan tak lama kemudian setelah dua kapal itu berlabuh dan orang-orangnya kembali ke kota raja, semua orang di kota raja mendengar bahwa pendekar besar Souw Teng Wi masih hidup, menjadi seorang pemimpin bajak laut yang ganas! tentu saja Auwyang-tajjin merasa kaget sekali, apalagi berita bahwa Souw Teng Wi telah membunuh Thian Te Cu. benar-benar mengejutkan semua orang, terutama jago-jago menteri dunia itu seperti Ma-thouw Koai-tung Kui Ek dan lain-lain Thian Te Cu memiliki kepandaian yang tinggi dan di dunia ini amat jarang ada orang dapat melawannya. Bagaimana Souw Teng Wi yang dulu diketahui berkepandaian biasa saja dapat menewaskannya?
Sementara itu, Sim Kang giiang bukan main, la mendapatkan sebuah kapal layar yang amat baik, juga beberapa orang anak buah kapal rampasan itu menyatakan takluk dan menjadi anak buah bajak. Mulai saat itu Sim Kang mempergunakan kapal rampasan itu dan anak buahnya bertambah banyak. Terhadap Souw Teng Wi ia menyatakan terima kasihnya, akan tetapi Souw Teng Wi mana mau tahu tentang terima kasih.
"Mereka itu penghianat-penghianat bangsa, harus dibasmi habis!"
Katanya.
Biarpun dengan adanya Souw Teng Wi, keadaan bajak laut Sim Kang makin kuat lagi, namun diam-diam ia tidak suka kepada bekas pemimpin pejuang ini. Watak Souw Teng Wi terlalu aneh dan kepandaiannya terlalu tinggi sehingga amat berbahaya. Dan dia sama sekali tidak dapat menguasainya.
Pernah terjadi Sim Kang menghukum seorang anak buah bajak yang diketahui mencuri barang rampasan, yaitu sebuah mainan batu giok. Sim Kang menyuruh seorang pembantunya melaksanakan hukumannya, yaitu memaku jari-jari tangan kanan orang itu pada sebuah papan, disaksikan oleh semua anggauta bajak agar yang lain takut untuk melakukan pencurian.
Jari tangan di bagian kuku dipaku atau dipantek pada papan, dapat dibayangkan nyerinya. Pantekan pertama adalah ibu jari. Baru sekali paku itu dipukul menembus kuku dan menancap papan, pencuri itu sudah melolong-lolong kesakitan dan sambatnya menyayat hati para pendengarnya. Pantekan ke dua pada kuku jari telunjuknya membuatnya meraung seperti kerbau disembelih.
Pada saat pekik ke dua ini terdengar, tiba-tiba muncul Souw Teng Wi yang tadinya ditinggal seorang diri melcnggut di ruang bawah kapal. Mata Souw Teng Wi merah berputaran liar, kemudian ia melompat, menubruk bajak yang melaksanakan hukuman, mengangkatnya dan menjungkir balikkannya, kemudian sekali banting tubuh bajak ini ambles ke dalam papan dek yang menjadi ambrol. Kepala dan tubuh bajak itu masuk terus ke bawah, hanya kelihatan dua kakinya sebatas lutut saja dan orang ini mati seketika itu juga.
Sebelum Sim Kang berani mencegah, bajak ke dua yang tadi bekerja sebagai pembantu algojo, memegangi orang yang terhukum, mendapat giliran. Souw Teng Wi nengulur tangan, orang itu menjerit ketakutan, akan tetapi orang-orang melihat tubuhnya melayang tinggi ke atas, sampai hampir sama tingginya dengan puncak tiang layar, kemudian dari atas ia jatuh melayang ke bawah dengan kecepatan luar biasa. Semua orang menahan napas menanti kepala orang itu remuk terbanting ke lantai.
"Souw Teng Wi, jangan bunuh dia...!"
Sim Kang berseru.
Nampaknya sudah terlambat karena begitu ucapan ini berakhir, orang yang dilontarkan itu sudah hampir terbanting ke papan dek. Akan tetapi dengan langkah lebar Souw Teng Wi sudah berada di situ dan dengan enak saja ia menerima tubuh yang terbanting itu lalu dilemparkan ke atas dek di mana orang sial ke dua itu rebah dengan muka pucat seperti mayat dan tak dapat berkata apa-apa kecuali memandang Scuw Teng Wi dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Sim Kang sudah menghampiri Souw Teng Wi. alisnya berkerut, hatinya tidak senang.
"Souw-twako, mengapa kau membunuh orang sendiri?"
Tanyanya, biarpun hatinya panas dan tidak senang namun suaranya tetap halus, tidak berani ia bermain kasar terhadap orang aneh itu.
"Dia manusia kejam, menyiksa orang. Aku tidak suka melihat orang disiksa, menyiksa hanya perbuatan binatang buas yang keji!"
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawab Souw Teng Wi bersungut-sungut, agaknya tidak puas mengapa ia tidak boleh membunuh orang yang tadi dilontarkan ke atas.
"Kau tidak suka melihat orang dihukum, akan tetapi kau membunuh seorang pembantuku, bahkan yang seorang pula hampir kau bunuh juga. Bukankah kau keliru dengan perbuatanmu itu?"
Souw Teng Wi tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, membunuh berbeda dengan menyiksa. Membunuh musuh berarti berjasa terhadap negara, membunuh orang keji berarti menyelamatkan rakyat dari pada kekejiannya. Akan tetapi menyiksa adalah perbuatan yang membuktikan akan kerendahan budi si penyiksa. Mana kau tahu akan sifat membunuh dan menyiksa?"
Bagi Sim Kang, jawaban ini adalah jawaban kacau-balau dari seorang gila. Maka ia menjadi penasaran dan membantah lagi.
"Kau tidak tahu, Souw-twako. Akulah yang menyuruh orang ini dihukum. Dia adalah seorang pencuri, mencuri sebuah barang berharga di atas kapal ini. Bukankah sudah sepatutnya seorang pencuri dihukum?"
Katanya sambil menudingkan jari telunjuk kepada pencuri yang kini duduk menggigil ketakutan itu. Saking takutnya melihat sikap Souw Teng Wi yang sedang kumat itu, pencuri ini sampai lupa akan rasa nyeri pada ibu jari dan telunjuknya yang terpantek pada papan.
"Mencuri apa?"
Tanya Souw Teng Wi, matanya yang merah ditujukan kepada Sim Kang yang menjadi bergidik melihatnya. Sim Kang mengeluarkan batu giok berbentuk burung hong yang amat indah itu, memperlihatkannya kepada Souw Teng Wi sambil berkata,
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo