Ceritasilat Novel Online

Naga Merah Bangau Putih 10


Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Hm, agaknya takkan mudah merobohkan mereka. Hanya murid-murid orang pandai saja yang dapat mempergunakan ilmu lari cepat dan ginkang yang demikian tingginya."

   "Mengapa susah-susah?"

   Kata Bi Li Suthai genit, lupa bahwa ketika tertawa, kedua pipinya tidak mendatangkan lekuk manis seperti dulu lagi, melainkan menimbulkan keriput.

   "Tunggu saja sampai ada saat yang baik, baru kita menangkap mereka. Dengan sedikit Ang-San (bubuk merah, yang dimaksudkan bubuk racun yang memabokkan orang) dengan mudah kita akan dapat menangkap mereka."

   Mendengar ucapan Bi Li Suthai ini, Bo Heng Sianjin lalu berkata,

   "Pinto (aku) hanya mengandalkan kepandaianmu, karena untuk bertempur menghadapi orang-orang muda, sebenarnya aku merasa enggan. Kalau menang tidak membanggakan, kalau kalah sungguh memalukan sekali."

   Swan Hong dan Siang Hwa sama sekali tidak tahu bahwa perjalanan mereka diikuti oleh dua orang Pendeta yang lihai dan yang selalu mencari kesempatan untuk mencelakan dan menangkap mereka. Dengan hati tenteram dan gembira, kedua orang muda itu masuk ke dalam sebuah dusun dan karena mereka merasa lapar, mereka lalu berhenti dan masuk ke dalam sebuah restoran kecil yang berada di tengah dusun. Baru saja mereka duduk menghadapi meja dan memesan makanan kepada seorang pelayan yang bermuka bodoh, mereka melihat seorang Tokouw dan seorang Tosu masuk pula di restoran itu dan mengambil tempat duduk di meja yang tak berapa jauh letakknya dari meja mereka. Swan Hong dan Siang Hwa tidak terlalu memperhatikan mereka, karena mereka tidak mengenal dua orang-tua ini, sedangkan kedua orang itupun tidak memandang ke arah mereka.

   Ketika seorang pelayan lain menghampiri dua orang Pendeta ini untuk menerima pesanan, Bo Heng Siangjin hanya memesan air teh dan nasi putih saja. Kemudian mereka duduk diam tak berkata-kata, menanti kesempatan baik untuk turun tangan terhadap sepasang orang muda yang bercakap-cakap gembira itu. Pada saat pelayan muka bodoh yang melayani Siang Hwa dan Swan Hong datang dari belakang membawa dua mangkok makanan di atas baki, tiba-tiba Bo Heng Tosu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri meja Swan Hong dan Siang Hwa. Ia menjura dengan hormat kepada dua orang muda itu. Tentu saja Swan Hong dan Siang Hwa menjadi heran dan cepat bangun untuk membalas penghormatan Pendeta ini.

   "Maaf, jiwi, kalau Pinto mengganggu. Pinto mohon bertanya, kemanakah jalan yang menuju ke Kotaraja?"

   Biarpun merasa heran, Swan Hong menjawab juga.

   "Totiang, kalau Totiang hendak menuju ke Kotaraja, Totiang dapat mengambil jalan yang ke timur, kemudian membelok ke utara, karena dari sini, Kotaraja terletak di timur laut."

   Kembali Tosu itu menjura dan menyatakan terima kasihnya.

   "Terima kasih dan sekali lagi maaf kalau Pinto mengganggu. Pinto melihat jiwi membawa senjata pedang, maka tentulah jiwi suka merantau dan tahu akan keadaan jalan, maka kepada jiwi Pinto mencari keterangan. Terima kasih!"

   Setelah Tosu itu mengundurkan diri, Swan Hong dan Siang Hwa saling pandang dan tersenyum, sedikitpun tidak menaruh curiga dan tidak melihat ketika bahwa Tosu tadi sedang bercakap-cakap dengan mereka, Tokouw yang tadinya duduk bersama Tosu itu cepat bangun berdiri dan berjalan di dekat pelayan muka bodoh yang sedang datang membawa masakan untuk kedua orang muda itu. Dengan gerakan yang amat cepat dan sama sekali tidak terlihat oleh si pelayan, apalagi oleh tamu-tamu lain, Bi Li Suthai menyebarkan sedikit bubuk merah ke dalam dua mangkok masakan itu! Kemudian, Tokouw ini lalu berpura-pura menghampiri meja tempat duduk pengurus untuk memesan masakan yang tak berdaging.

   Tanpa menaruh hati curiga sedikitpun juga Swan Hong dan Siang Hwa lalu makan masakan itu. Mereka mencium bau harum yang keluar dari masakan itu dan bahkan memuji bahwa masakan itu memang lezat! Siapa yang akan menyangka buruk untuk makan masakan dalam sebuah rumah makan dusun yang dikunjungi begitu banyak tamu? Untung baginya bahwa Bi Li Suthai tidak menaruh racun yang jahat, karena Ang-San atau bubuk merah itu sesungguhnya adalah semacam obat yang bekerja halus dan akibatnya akan memabokkan orang dengan cara amat lambat. Setelah selesai makan, Swan Hong dan Siang Hwa membayar harga masakan, kemudian meninggalkan restoran itu. ketika berjalan keluar dan lewat di dekat meja Tosu yang tadi bertanya kepada mereka, Swan Hong dan Siang Hwa memberi hormat yang dibalas dengan senyum ramah oleh Bo Heng Sianjin sambil berkata,

   "Sekali lagi terima kasih, dan bolehkah kiranya Pinto mendapat tahu kemanakah sebetulnya jiwi hendak melanjutkan perjalanan?"

   Swan Hong adalah seorang pemuda jujur dan terhadap seorang Pendeta tua tentu saja ia berlaku hormat dan tidak menaruh curiga.

   "Siauwte hendak pergi ke selatan,"

   Jawabnya dan ia lalu melanjutkan perjalanannya bersama Siang Hwa. Setelah tiba di luar restoran, Siang Hwa berkata perlahan.

   "Saudara Lie, mengapa kau mengatakan kepadanya bahwa kita hendak pergi ke selatan? Lebih baik tidak membuka rahasia terhadap orang lain. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu bukan orang baik-baik."

   Swan Hong tersenyum.

   "Ah, Nona, kau terlalu banyak curiga. Tak mungkin Pendeta-Pendeta lemah seperti mereka itu orang-orang jahat."

   "Siapa tahu?"

   Kata gadis yang cerdik itu.

   "Cara mereka duduk di atas bangku mereka, tidaklah sewajarnya. Aku mendapat kesan seolah-olah mereka itu sengaja memberatkan agar tidak tampak bahwa mereka sesungguhnya orang-orang yang memiliki ginkang yang tinggi."

   "Kau terlalu memperhatikan, Nona!"

   Kata Swan Hong sambil memandang kagum akan tetapi mulutnya tersenyum.

   "Betapapun juga, mereka dapat berbuat apa terhadap kita?"

   Siang Hwa tersenyum juga.

   "Dalam jaman seperti ini siapa yang tidak berlaku hati-hati? Akan tetapi, betul juga kata-katamu, mereka takkan dapat berbuat sesuatu terhadap kita. Mudah-mudahan saja dugaanku keliru."

   Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar sebuah hutan dan keadaan sudah mulai gelap karena datangnya senja, mereka merasakan sesuatu yang aneh.

   "Saudara Lie, marilah kita mengaso dulu. Aku merasa penat dan mengantuk sekali."

   Swan Hong memandang gadis itu dengan muka tiba-tiba pucat.

   "Penat...? Mengantuk...? Aneh! Akupun merasa demikian Nona!"

   Terkejutlah Siang Hwa mendengar hal ini dan sepasang matanya yang lebar dan tajam sinarnya itu terbelalak, alisnya yang berbentuk pedang dikerutkan.

   "Apakah yang kita makan tadi?"

   Tanyanya penuh kecurigaan. Tiba-tiba mereka melihat dua bayangan yang datang dengan cepat sekali dari belakang. Ketika dua bayangan orang itu sudah dekat, Siang hwa menjadi pucat dan berbisik.

   "Celaka...! mereka adalah Tosu dan Tokouw tadi! Lihat, betapa cepatnya mereka berlari! Jangan-jangan mereka yang membuat kita mendapat perasaan aneh ini. Sebelum Swan Hong sempat menjawab, kedua orang Pendeta itu telah berada dihadapan mereka sambil tersenyum-senyum.

   "Jiwi, maafkan kami kalau kami sengaja mengejarmu,"

   Kata Tosu itu sambil mainkan matanya ke arah Siang Hwa.

   "Kami hendak menuju ke Kotaraja dan karena tidak mengenal jalan, kami harap jiwi suka mengawani kami sampai ke Kotaraja."

   Berdebarlah dada Swan Hong mendengar ucapan ini, sudah terang bahwa Tosu ini mencari gara-gara.

   "Totiang, hal ini tidak mungkin. Selain kami tidak mempunyai keperluan di Kotaraja, juga kami mempunyai urusan yang penting sekali di selatan. Kalau hanya ke Kotaraja saja mengapa harus dengan kami? di dalam perjalanan, mudah saja Totiang mencari keterangan tentang jalan ke Kotaraja kepada orang lain."

   Tiba-tiba Tokouw yang ikut bersama Tosu itu tertawa genit.

   "Tidak bisa, tidak bisa! Mau atau tidak, kalian harus ikut dengan kami, biarpun untuk itu kami harus menggendongmu!"

   Siang Hwa tak dapat menahan sabar lagi. Ia melangkah maju dan dengan mata berapi ia membentak.

   "Tosu dan Tokouw yang sesat! Sesungguhnya apakah yang tersembunyi di balik ini semua! Tak perlu kiranya banyak alasan, kalau ada urusan keluarkanlah, kami bukan orang-orang penakut!"

   Bo Beng Sianjin tertawa.

   "Ha, ha, galak dan manis anak ini! Tak perlu kami memberi penjelasan, cukup kalian ketahui bahwa aku adalah Bo Heng Sianjin dan Siankouw ini adalah Bi Li Suthai. Dan lebih jelas lagi, Pinto adalah Guru dari Sin-Kiam Siang-Hiap!"

   "Bagus!"

   Teriak Swan Hong dan Siang Hwa hampir berbareng dan dengan cepat mereka mencabut keluar senjata mereka. Akan tetapi, tiba-tiba setelah melakukan gerakan ini, kepeningan kepala mereka makin menghebat, dan seluruh tubuh terasa penat-penat. Rasa mengantuk yang tak dapat ditahan lagi membuat kepala mereka pening karena menahan-nahannya. Mereka hendak menyerang, akan tetapi tubuh mereka menjadi limbung dan terhuyung-huyung!

   "Ha, ha, ha! Robohlah... Robohlah...!"

   Bi Li Suthai berseru girang.

   Memang ia telah memperhitungkan dengan tepat sekali. Sebelum obat Ang-San itu bekerja, ia dan Bo Heng Sianjin hanya mengikuti dari belakang saja, akan tetapi setelah ia perhitungkan bahwa waktu bekerjanya obat itu tiba, mereka lalu menyusul kedua orang muda yang menjadi korban itu! Swan Hong dan Siang Hwa mengerahkan tenaga dalam untuk melawan pengaruh aneh yang menyerang diri mereka, akan tetapi ketika mereka menyerang maju, mata mereka mengantuk dan kepala mereka yang berputaran rasanya membuat mereka mudah sekali tertotok roboh oleh kedua orang Pertapa itu. Begitu tubuh mereka terhuyung roboh karena totokan lawan, obat itupun bekerja dengan hebat membuat mereka tak sadarkan diri dan pingsan bagaikan orang tidur saja. Kedua orang Pendeta itu saling pandang sambil tersenyum-senyum dan Bi Li Suthai lalu berkata dengan lirikan mata genit.

   "Toyu, kau gendonglah gadis manis itu, biar aku yang menggendong pemuda tampan ini!"

   Bo Beng Sianjin memandang kepada kawannya dan melihat betapa wajah Tokouw tua itu menjadi kemerah-merahan, ia tertawa bergelak.

   "Kau benar sekali! Kita sudah capik-capik harus mendapat hadiah hiburan, ha, ha, ha!"

   Demikianlah, setelah mengambil pedang dan golok mustika yang terlepas dari pegangan kedua orang muda itu, Bo Heng Tosu lalu memondong tubuh Siang Hwa, adapun Bi Li Suthai lalu menggendong tubuh Swan Hong. Keduanya lalu berlari kembali ke jalan tadi. Sementara itu malam telah tiba dan mereka masuk ke dalam sebuah hutan.

   "Bagaimana kalau kita bermalam di Kuil rusak yang berada disebelah hutan ini?"

   Kata Bo Heng Sianjin.

   "Baiklah, Toyu,"

   Jawab Bi Li Suthai sambil tertawa genit.

   "kita sudah mendapat kawan yang elok, sayang kalau kita lewatkan kesempatan baik ini.

   "Ah, apakah kau lupa bahwa kau dan aku sudah berkeriputan dan tua? Mana dua orang muda yang elok ini sudi mengawani kita?"

   Bi Li Suthai tertawa ketika mendengar ucapan ini.

   "Toyu, kau agaknya lupa akan kelihaian pinni! Dengan aku punya Kim-Sin-Tan (Pel Dewa Emas), tentu mereka akan suka sekali mengawani kita!"

   Tosu itu tertawa girang.

   "Nah, hayolah kita pergi kesana, takut kalau-kalau jalan menjadi terlalu gelap!"

   Mereka lalu berlari cepat menuju ke sebuah Kuil rusak yang tak jauh dari situ letaknya. Mereka memasuki Kuil itu, lalu menurunkan dua tubuh orang muda itu ke sebuah ruangan di belakang. Untuk menjaga agar jangan sampai mereka dapat melarikan diri, atas usul Bi Li Suthai, Bo Heng Sianjin lalu menotok pundak mereka sehingga kedua lengan tangan Swan Hong dan Siang Hwa menjadi lumpuh sama sekali!

   "Kita harus masak air, karena dalam keadaan tak sadar mereka takkan dapat menelan pel ini. kalau mereka sudah siuman, akan sukarlah memaksa mereka menelannya. Jalan satu-satunya hanya mencairkan pel ini dengan air panas, kemudian meminumkan pil ini sebelum mereka siuman kembali."

   Kata Bi Li Suthai dan mereka lalu keluar untuk membuat api dan memasak air yang dibutuhkan itu. mereka meninggalkan dua orang muda itu, karena setelah kedua lengan tangan mereka lumpuh dan kedua kaki mereka diikat dengan ikat pinggang Sutera yang kuat, tak perlu dikhawatirkan pula mereka akan dapat melepaskan diri.

   Sementara itu, berkat kekuatan tubuh mereka Siang Hwa dan Siang Hwa telah siuman sebelum waktunya. Mereka merasa heran sekali mendapatkan diri mereka dalam sebuah kamar yang gelap dan rebah di atas lantai tanpa daya. Ketika mereka hendak menggerakkan tangan dengan terkejut mereka mendapat kenyataan bahwa kedua tangan mereka telah lumpuh sekali! Juga kaki mereka tak dapat digerakkan karena terikat erat sekali. Untuk menggerakkan belenggu pada kaki itu tak mungkin setelah kedua tangan mereka sama sekali tak dapat digerakkan! Lebih terkejut dan gelisah hati mereka ketika mata mereka telah terbiasa dengan keadaan yang gelap dan melihat bahwa kawan mereka telah berada dalam keadaan yang sama.

   "Siang Hwa..."

   Saking gelisahnya pemuda itu menyebut nama gadis itu tanpa banyak peraturan lagi.

   "Saudara Lie... celaka benar! Ternyata benar dugaanku bahwa mereka adalah orang-orang jahat,"

   Jawab Siang Hwa.

   "Ssst, jangan terlalu keras,"

   Kata Swan Hong sambil menggulingkan tubuhnya sehingga ia berada dekat sekali dengan gadis itu.

   "Apa daya sekarang? Jalan darah Thai-Hui-Hiat telah ditotok dan totokan mereka ini lihai sekali, tak mungkin dapat dibuka dalam saat pendek, kecuali dengan totokan pada jalan darah Seng-Kui-Hiat di punggung! Akan tetapi"

   Dalam keadaan seperti ini, bagaimana kita bisa melakukan totokan untuk membebaskan diri? Siang Hwa mencoba untuk mengerahkan tenaga, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Swan Hong, totokan yang melumpuhkan mereka itu benar-benar lihai dan dilakukan oleh tangan seorang ahli. Gadis itu menjadi makin gelisah. Ia membayangkan hal-hal yang hebat dan mengerikan, maka ia lalu berbisik.

   "Saudara Lie... Bagaimana baiknya? Agaknya... Agaknya sudah tiba saatnya kita akan tewas di tangan mereka..."

   Mendengar suara yang disertai isak ini, terharulah hati Swan Hong. Ia maklum akan perasaan hati gadis itu dan ia tidak menyalahkannya, karena siapa orangnya takkan merasa berduka dan gelisah untuk menghadapi kematian secara demikian menyedihkan? Karena tidak tahu harus menjawab bagaimana, Swan Hong hanya berkata menghibur.

   "Setidaknya kita masih beruntung karena kita akan mati berdua!"

   "Akan lebih suka mati diujung senjata tajam daripada mati dalam keadaan terhina seperti ini!"

   Kata Siang Hwa dengan gemas.

   "Senjata kita juga telah mereka rampas."

   Kata Swan Hong, merasa makin tak berdaya lagi.

   "Andaikata kita dapat melepaskan diri, dengan tangan kosong belum tentu kita akan dapat menghadapi mereka!"

   "Tidak apa, aku tidak takut,"

   Kata Siang Hwa makin gemas.

   "Kalau aku bisa melepaskan diri, biar dengan tangan kosong, atau dengan senjata tusuk kondeku ini saja aku berani melawan mereka mati-matian."

   Tiba-tiba Swan Hong menggulingkan tubuhnya makin dekat sehingga pundaknya beradu dengan pundak gadis itu.

   "Eh, saudara Lie, kau mau apa?"

   Tanya gadis itu heran.

   "Sst...! Kau tadi bilang tentang tusuk konde, apakah tusuk kondemu itu terbuat daripada perak?"

   Siang Hwa membelalakkan matanya dan berusaha menembus kegelapan untuk menyelidiki wajah kawannya yang kini berada dekat sekali dengan wajahnya sendiri itu.

   "Apa maksudmu...? Memang tusuk kondeku dari perak, habis mengapa?"

   "Sst, cepat kau membalikkan tubuhmu, biar aku mengambil tusuk kondemu dengan mulutku. Kalau saja aku dapat mempergunakan gigi dan bibir dengan baik, kita akan tertolong..."

   Biarpun hanya menduga-duga dan belum mengerti betul, Siang Hwa tidak membantah dan lalu menggerakkan tubuhnya membelakangi Swan Hong. Hidung pemuda itu mencium bau yang sedap dan harum ketika dengan mulutnya ia mencari tusuk konde diantara rambut gadis yang halus dan harum itu. Akhirnya ia berhasil mendapatkan tusuk konde perak itu yang digigitnya dan cepat dicabutnya. Ia meletakkan tusuk konde itu di atas lantai, kemudian berkata,

   "Sukar untuk menotok punggungmu dalam gelap ini, Siang Hwa, harap kau jangan salah faham dan lemparlah semua rasa malu-malu dalam keadaan seperti ini. terpaksa aku harus merobek bajumu di bagian punggung untuk melakukan totokan dengan menggunakan tusuk kondemu."

   Mendengar ini, bukan main rasa malunya hati Siang Hwa dan dadanya berdebar keras. Ia maklum bahwa mukanya tentu berobah merah sampai ketelinganya, karena wajahnya terasa hangat dan air mata mengalir turun di atas kedua pipinya, akan tetapi dengan gagah ia berbisik.

   "Lakukanlah... Lakukanlah..."

   Tanpa membuang banyak waktu lagi, Swan Hong lalu mendekatkan mukanya pada punggung gadis itu, menggigit bajunya dan "Breett!"

   Sekali tarik saja robeklah baju luar gadis itu berikut pakaian dalamnya di bagian punggung. Biarpun keadaan di kamar itu gelap, akan tetapi masih nampak kulit punggung yang keputih-putihan membayang di dalam gelap.

   "Siang Hwa, kau tenanglah dan jangan bergerak sedikitpun juga. Tidak mudah menotok dengan tusuk konde digigit dalam keadaan segelap ini. Maafkan aku, aku harus mencari jalan darah di punggungmu dengan ujung lidahku lebih dulu!"

   Setelah berkata demikian.

   Setelah berkata demikian, Swan Hong menggigit kembali tusuk konde perak itu, digigitnya melintang sehingga ia dapat menjulurkan lidanya untuk meraba dan mencari jalan darah yang halus! Siang Hwa merasa betapa ujung lidah yang lunak dan hangat basah menyentuh-nyentuh kulit punggungnya sehingga ia merasa geli sekali, akan tetapi ia bertahan sehingga tak bergerak sedikitpun juga. Setelah mendapatkan jalan darah atau urat yang dikehendaki, dengan bibir, gigi dan lidah, Swan Hong membalikkan tusuk konde itu sehingga kini ujungnya yang runcing berada di depan. Ia mengerahkan tenaganya, menggerakkan kepala ke belakang dan tiba-tiba ia menusukkan tusuk konde itu dengan cepat dan tepat ke arah jalan darah yang tadi telah diraba-rabanya dengan ujung lidahnya.

   "Au...!"

   Siang Hwa menjerit lirih akan tetapi ia segera menjadi girang sekali karena tiba-tiba ia merasa betapa kelumpuhan kedua tangannya telah menghilang! Dengan cepat ia lalu bangun duduk dan tanpa berkata sesuatu, ia meraba-raba pundak Swan Hong dan menotok jalan darah di pundak pemuda itu sehingga kini pemuda itupun bebas dari totokan. Bagaikan burung yang baru terlepas dari kurungan, mereka dengan hati girang lalu merenggutkan belenggu dari kaki mereka. Sekali renggut saja, putuslah belenggu itu. Akan tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa-tawa dan tindakan kaki mendatangi dari luar.

   "Awas... kita pura-pura masih pingsan... begitu ada kesempatan, kita turun tangan!"

   Kata Swan Hong dan keduanya merebahkan diri lagi dengan tubuh miring, menghadapi pintu. Sambil tertawa girang, Bo Heng Sianji dan Bu Li Suthai masuk ke dalam kamar itu.

   "Nona manis, aku datang membawa minuman enak bagimu..."

   Terdengar Tosu itu berkata.

   "Nanti dulu, Toyu, kau bantulah dulu padaku untuk menuangkan obat ini ke dalam mulut pemuda itu..."

   Terdengar Bi Li Suthai berkata.

   "Baiklah... Baiklah..."

   Kedua orang Pendeta cabul itu lalu berlutut di dekat tubuh Swan Hong. Bi Li Suthai memegang semangkok obat yakni pel Kim-Sin-Tan yang sudah dicairkan, sedangkan Bo Heng Sianjin setelah meletakkan mangkoknya di atas lantai, lalu maju hendak membantu membukakan mulut Swan Hong! Akan tetapi, alangkah terkejut mereka sehingga mereka merasa seakan-akan ada halilintar menyambar kepala mereka di dalam gelap itu ketika tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek.

   "Pendeta-Pendeta jahanam!"

   Dan pada saat itu juga, Swan Hong dan Siang Hwa telah melompat bangun dan mengirim pukulan maut ke arah mereka. Sebetulnya, ilmu silat yang dimiliki oleh kedua orang Pendeta itu sudah tinggi sekali dan belum tentu mereka akan kalah terhadap Siang Hwa dan Swan Hong apabila mereka bertempur secara biasa. Akan tetapi, karena mereka sama sekali tak pernah menyangka buruk dan mereka sedang mencurahkan perhatian untuk meloloh Swan Hong dengan obat pemabok itu, maka pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh Swan Hong dan Siang Hwa tak dapat mereka elakkan atau tangkis lagi. Pukulan tangan kanan Swan Hong yang mengandung tenaga Pek-Lek-Jiu, dengan tepat mengenai ulu hati Bo Heng Sianjin, sehingga tubuh Tosu itu terpental jauh dalam keadaan tak bernyawa lagi!

   Adapun Siang Hwa melancarkan serangan kilat dengan pukulan Hok-Ihian-Te (Membalikkan Langit dan Bumi), semacam ilmu pukulan yang disertai tenaga lweekang sepenuhnya sehingga ketika kedua tangan gadis itu menimpa kepala Bi Li Suthai, maka retaklah batok kepala itu dan Tokouw cabul itupun tewas seketika itu juga! Swan Hong dan Siang Hwa lalu melompat bangun dan keluar dari kamar yang mengerikan itu dan di luar mereka mendapatkan kembali senjata mereka yang terampas! Mereka berdiri saling pandang, dan tiba-tiba Siang Hwa menangis tersedu-sedu sambil menubruk Swan Hong saking girangnya! Pemuda ini lalu mengelus-elus rambut kepala gadis itu dan teringatlah ia bahwa rambut inilah yang berjasa, karena tanpa adanya tusuk konde, mungkin mereka takkan dapat hidup lagi! Setelah keharuan hatinya mereda, Siang Hwa cepat-cepat menarik kembali kepalanya dan berkata.

   "Ah... maafkan aku... Saudara Lie... aku... aku amat terharu. Tadinya tidak ada harapan lagi... terima kasih, kaulah yang telah menolong nyawaku..."

   "Sudahlah, Nona, tak perlu bersungkan-sungkan lagi, karena sesungguhnya kita telah saling menolong. Tanpa ada tusuk kondemu, akupun takka berdaya. Kalau kita hendak mengusut siapa yang paling berjasa dalam hal ini, maka... benda inilah yang paling berjasa!"

   Sambil berkata demikian Swan Hong mengulurkan tusuk konde yang masih dipegangnya itu kepada Siang Hwa.

   "Biarlah, kuberikan tusuk konde ini kepadamu, untuk menjadi kenangan!"

   Kata Siang Hwa. Siang Hwa lalu teringat akan pakaiannya yang robek di bagian punggung, maka dengan muka merah ia lalu berkata,

   "Bagaimana aku dapat melanjutkan perjalanan dengan pakaian robek?"

   
Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sejak tadi, ketika berlari, ia menggunakan tangan kirinya untuk memegangi bagian yang terobek itu. Baru teringatlah Swan Hong akan hal ini. Ia cepat melepaskan jubah luarnya dan memberikan itu kepada Siang Hwa.

   "Kau pakailah ini untuk menutup bagian yang terobek itu."

   Siang Hwa menerimanya dan berkata penuh rasa terharu.

   "Lie-Taihiap, kau benar-benar seorang gagah yang berhati mulia."

   Swan Hong menggelengkan kepalanya.

   "Tak perlu segala pujian itu, Nona, dan lagi sudah bukan semestinya lagi kalau kita berlaku sungkan-sungkan. Sebutanmu terhadap aku dengan "Taihiap"

   Itu terdengar tidak enak sekali. Aku akan senang kalau kau menyebutku Twako saja, karena memang menurut usiamu, kau pantas menjadi adikku."

   Siang Hwa tersenyum penuh rasa terima kasih, lalu mengenakan jubah luar yang diberikan kepadanya itu. tentu saja baju itu terlalu besar baginya sehingga keduanya tertawa-tawa karena menganggapnya lucu. Kemudian mereka lalu melanjutkan perjalanan cepat. Dengan menunggang kuda, Giok Cui berhasil membawa Liok Houw Sin dan isterinya melarikan diri ke kota Icang, di mana mereka disambut dengan ramah tamah oleh Seng Thian Hwesio dan Seng Tee Hwesio, kedua Suheng dari Swan Hong. Liok Houw Sin dan isterinya merasa amat berterima kasih kepada Giok Cui, nona itu sambil tersenyum menjawab,

   "Sesungguhnya saya hanyalah menjalankan perintah dari Kakak misanku saja, dan semua jasa adalah haknya!"

   Akan tetapi, baik Giok Cui maupun Liok Houw Sin dengan isterinya, merasa gelisah juga karena sudah dua hari mereka menanti-nanti, belum juga nampak Swan Hong muncul!

   "Harap Sam-wi tenang-tenang saja dan jangan khawatir,"

   Seng Thian Hwesio menghibur.

   "Pinceng percaya dengan penuh keyakinan akan kepandaian Sute."

   Liok Houw Sin dan isterinya tadinya merasa girang ketika mendengar dari Giok Cui bahwa anak mereka Liok Siang Hwa juga datang untuk menolong mereka, akan tetapi timbullah kegelisahan mereka ketika belum juga melihat anaknya itu menyusul ke Icang. Dan pada hari ketiga, mereka semua merasa girang sekali melihat kedatangan Swan Hong bersama Siang Hwa yang ternyata selamat tidak kurang sesuatu! Siang Hwa menceritakan kepada Ayah Ibunya tentang semua pengalamannya dan mendengar akan bahaya yang mengancam puterinya bersama Swan Hong,

   Tak terasa lagi Liok Houw Sin dan isterinya mengeluarkan keringat dingin. Kedua suami-isteri ini ketika melihat Swan Hong, merasa kagum dan suka sekali, terutama ketika mendengar bahwa pemuda ini adalah cucu Thian-Thouw-Gu Lie Kai yang kini telah mereka kagumi dan sukai karena pendekar gagah ini telah berbaik kembali dengan mendiang Song Liang. Malam itu juga, Houw Sin dan isterinya mengambil keputusan untuk menjodohkan puteri mereka dengan Swan Hong! Mereka mendatangi Seng Thian Hwesio dan mengutarakan maksud hati mereka! Seng Thian Hwesio dan Seng Tee Hwesio merasa gembira sekali mendengar hal ini. menurut pendapat mereka, memang pantas sekali kalau Siang Hwa dijodohkan dengan Sute mereka, sama-sama gagah dan sama-sama elok.

   "Pinceng setuju sekali, dan karena Sute sudah tidak mempunyai orang-tua, sedangkan Kongkongnya tidak karuan di mana tempat tinggalnya, biarlah Pinceng berdua mewakili menjadi wali dari Sute!"

   Malam hari itu juga, Seng Thian Hwesio dan Seng Tee Hwesio membujuk Sute mereka untuk menerima usul perjodohan ini. Swan Hong yang sudah amat tertarik hatinya oleh Siang Hwa yang memang selain cantik jelita juga gagah perkasa, tentu saja menyatakan setuju pula. Pemuda ini buru-buru mencari adik misannya untuk memberi kabar tentang hal yang menggembirakan ini. Akan tetapi, bukan main herannya ketika ia melihat gadis itu tiba-tiba mengerutkan alisnya dan membalikkan tubuhnya. Ketika ia memutari gadis itu dan memandang, lebih heran lagilah ia ketika melihat Giok Cui mengalirkan air mata!

   "Eh, eh, moi-moi, mengapa kau berduka? Apakah kau tidak suka mendengar berita yang menggirangkan hati ini?"

   Giok Cui memandangnya dengan muka pucat.

   "Tentu saja kau yang girang, kau bergembira, karena kau yang hendak menikah! Akan tetapi aku... ah, aku hanya adik misanmu yang bodoh...!"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba Giok Cui melarikan diri meninggalkan Kelenteng Thian-Hok-Si!

   "Moi-moi...!"

   Dengan beberapa lompatan saja Swan Hong telah dapat mengejar dan menyusul gadis itu dan menghadang di depannya.

   "Kau mau pergi ke mana?"

   "Minggir kau! Aku hendak pulang ke rumah orang-tuaku sendiri, apakah kau mau menghalangiku? Ada hak apakah kau? Dan mengapa kau perduli apa yang akan kulakukan? Pergilah! Calon isterimu telah menantimu!"

   Gadis itu lari lagi meninggalkan Swan Hong yang berdiri bengong bagaikan patung.

   "Ah, Giok Cui... kau tidak tahu bahwa tak nanti aku akan menikah dengan lain orang gadis kalau... kalau saja kau bukan adik misaku sendiri..."

   Ia menghela napas berulang-ulang kemudian kembali ke dalam Kelenteng. Sementara itu, ketika mendengar dari Ayah-Bundanya bahwa ia akan dinikahkan dengan Swan Hong, Siang Hwa juga termenung. Ia tak dapat menolak kehendak orang-tuanya itu,

   Karena sesungguhnya, adakah calon suami yang lebih baik daripada Swan Hong? Apalagi kalau ia teringat betapa pemuda itu telah menolong nyawanya, telah menyentuh-nyentuh kulit punggungnya denga lidah, telah sama-sama mengalami hal yang luar biasa! Kalau ia tidak menjadi isteri Swan Hong, bukankah pengalaman itu selalu akan menjadi ganjalan hatinya? Seorang pemuda telah melakukan hal seperti itu kepadanya, sungguh memalukan! Tentu saja hal itu tidak menjadi persoalan kalau pemuda itu akhirnya menjadi suaminya! Maka ia menurut saja ketika orang-tuanya menyatakan bahwa pernikahan akan dilangsungkan dalam bulan ini juga, di dalam Kelenteng itu! Diam-diam ia hanya menghela napas dan ia tahu bahwa hatinya akan merasa lebih berbahagia apa-bila Tiong Han pemuda Kun-Lun-Pai itu yang menduduki tempat Swan Hong!

   Dengan hati tidak karuan rasa, Giok Cui melarikan diri menuju ke tempat tinggal orang-tuanya. Ia memang tadinya menganggap Swan Hong seperti Kakak sendiri, karena terhadap seorang Kakak misan tentu saja ia tidak boleh mempunyai hati mencinta seperti seorang gadis terhadap seorang pemuda. Akan tetapi, sungguhpun perasaan hatinya telah dikuburkan dengan kesadaran dan kesopanan, namun setelah menghadapi pernikahan pemuda itu dengan orang lain, ia merasa betapa hatinya hancur-lebur! Beberapa kali ia menangis sambil berlari makin cepat. Saking sedih dan hancur hatinya, ia tidak melihat lagi betapa dari depan mendatangi dua orang laki-laki yang merasa heran melihat seorang gadis berlari sambil menangis! Tiba-tiba ia mendengar teguran dari depan.

   "Eh, nona, mengapa kau menangis sambil berlari-lari? Siapakah yang telah mengganggumu?"

   Barulah Giok Cui merasa terkejut dan ketika ia mengangkat mukanya,

   Ia melihat seorang Kakek yang wajahnya menyeramkan, bercabang bauk dan pakaiannya kasar dengan tubuhnya yang tinggi besar, berdiri di depannya. Di dekat laki-laki tua ini berdiri seorang pemuda yang tampan dan yang tersenyum-senyum. Kalau orang sedang ruwet pikirannya, mudah sekali ia marah. Apalagi Giok Cui yang sedang diliputi perasaan kecewa, gemas, marah dan patah hati itu. melihat dua orang laki-laki yang tak dikenalnya berdiri menghadang di depannya, sedangkan tempat itu sunyi-senyap tiada manusia lain, apalagi laki-laki yang bertanya adalah seorang tinggi besar dan kasar, ia lalu mengira mungkin sekali perampok! Tanpa banyak cakap lagi, saking marah dan gemasnya, ia mencabut pedang pemberian Swan Hong dan menyerang laki-laki tua yang kasar itu! Tentu saja yang diserangnya menjadi terkejut dan cepat mengelak.

   "Eh, eh, mabokkah kau?"

   Demikian tegurnya. Teguran ini bagaikan minyak menyiramkan api kemarahan Giok Cui yang segera mainkan pedangnya dan menyerang lebih hebat lagi. melihat gerakan ini, laki-laki tua itu terkejut dan heran, lalu bertanya.

   "Eh, tahan dulu! Darimanakah kau dapat mempelajari ilmu silat ini?"

   Akan tetapi, karena makin marah dan penasaran melihat serangannya tidak berhasil Giok Cui tidak memperdulikan pertanyaan ini dan menyerang terus. Pemuda tampan yang tadinya sudah mencabut pedangnya, ketika menyaksikan permainan pedang gadis itu lalu memasukkan pedangnya di dalam sarung pedang kembali, dan sambil masih tersenyumm-senyum yang dalam pandangan Giok Cui mengejeknya itu, ia berkata,

   "Nona dengan pedangmu itu, mana bisa kau merobohkan Thiat-Thouw-Gu yang gagah perkasa?"

   Ucapan ini datang bagaikan halilintar memasuki telinga Giok Cui. Ia menunda serangannya dan dengan mata terbelalak ia memandang kepada Kakek itu,

   "Siapakah kau... siapa... siapa namamu... ?"

   Melihat sikap gadis itu, Kakek itu tertawa bergelak dan berkata.

   "Nona, kau lucu sekali! Aku adalah Thiat-Thouw-Gu Lie Kai mengapa kau tiba-tiba menyerang orang dan tiba-tiba menanyakan nama lagi?"

   Mendengar keterangan ini, Giok Cui menjadi girang, melemparkan pedangnya di atas tanah, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lie Kai yang menjadi makin heran! Ia memandang kepada pemuda yang bukan lain adalah Sim Tiong Han pendekar muda dari Kun-Lun-Pai itu, akan tetapi pemuda itupun memandang dengan muka bodoh. Mereka mengira bahwa gadis ini tentulah seorang yang sudah miring otaknya.

   "Eh, nanti dulu, nona. Apa-apaan ini?"

   Akan tetapi, Giok Cui lalu memeluk kedua kaki Lie Kai sambil menangis dan tertawa berganti-ganti, lalu terdengar ia berkata,

   "Kongkong...! Kongkong...! sudah berbulan-bulan aku mencarimu...!"

   Ia merasa girang, sedih, dan terharu. Girang karena akhirnya dapat bertemu dengan orang yang dikenang-kenangnya semenjak ia kecil. Sedih dan terharu karena sekarang ada orang yang dapat ia tumpahi kedukaannya berhubung dengan menikahnya Swan Hong!

   "Apa? Aku Kongkongmu...? Kau ... kau siapakah, nona?"

   "Kongkong, namaku Giok Cui, Ayahku adalah Bun Hak Lee sedangkan Ibu adalah anakmu Lie Eng!"

   "Apa...??"

   Bukan main terkejut dan girangnya hati Lie Kai. Ia memeluk gadis itu dan mengangkatnya bangun, memegang kedua pipi gadis itu dan diangkatnya muka yang cantik itu untuk ditatap dengan tajam.

   "Ah, benar! Benar...! Mengapa mataku seperti sudah buta? Kau serupa benar dengan Eng-ji... Ah, cucuku... di mana Ibumu sekarang?"

   Dengan sabar, Sim Tiong Han, pemuda Kun-Lun-Pai itu, berdiri memandang dengan hati terharu bagaimana Kakek dan cucunya itu saling menceritakan pengalaman mereka. Lie Kai merasa girang sekali mendengar bahwa anak perempuannya masih hidup dengan tenteram bersama suaminya.

   "Kau dari manakah, cucuku? Dan mengapa kau berlari-lari sambil menangis?"

   "Aku... aku menangis karena merasa betapa sial keadaanku sampai berbulan-bulan tidak berjumpa, dan aku mencari bersama cucumu yang lain. Akan tetapi, setibanya di kota Icang, cucumu itu lalu menikah sehingga aku merasa sunyi seorang diri dan sial karena semenjak meninggalkan rumah, aku selalu tak berhasil mendapatkan kau yang kucari-cari!"

   "Cucu yang lain?"

   Lie Kai bertanya heran.

   "Apakah kau mempunyai saudara kandung?"

   "Bukan, Kongkong, cucumu yang lain itu adalah Kakak misanku, atau anak dari puteramu."

   "Apa kau bilang? Siapa namanya? Dan ia anak siapa?"

   Lie Kai bertanya bingung. Mendengar ucapan ini, Giok Cui menunda isaknya dan memandang heran.

   "Namanya Swan Hong, Lie Swan Hong dan iapun bersama aku mencari-carimu."

   "Ah, dia...?"

   Lie Kai tersenyum dan wajahnya berseri.

   "Memang... hm, memang dia cucuku. Dimanakah dia sekarang? Kudengar tadi kau bilang bahwa dia akan menikah?"

   "Benar Kongkong. Dia akan menikah dengan seorang gadis pendekar yang gagah perkasa dan cantik jelita, yakni nona Liok Siang Hwa!"

   Mendengar nama ini, pemuda Kun-Lun-Pai itu melompat kaget, demikian juga Lie Kai. Tentu saja Giok Cui menjadi amat terheran dan tak terasa pula ia memandang kepada pemuda tampan itu.

   "Dia ini siapkah, Kongkong?"

   "Sudah, jangan banyak cakap. Dia inipun cucuku! Mari kita lekas kembali ke kota Icang! Pernikahan itu harus dibatalkan!"

   Tidak saja Giok Cui yang terkejut, akan tetapi Tiong Han juga terheran mendengar ini.

   "Ada apakah Kongkong? Mengapa dibatalkan?"

   "Sudahlah, sudahlah! Tak perlu banyak cakap sekarang. Hayo kita semua lekas pergi ke Icang, sambil berlari nanti kuceritakan semua!"

   Giok Cui menjadi semakin bingung. Tak disangkanya bahwa pemuda tampan inipun cucu daripada Kongkongnya. Alangkah banyaknya cucu dari Kongkongnya ini! Ia tidak tahu bahwa setelah melakukan perjalanan bersama, Lie Kai merasa makin suka kepada Tiong Han sehinggga mengaku cucu kepada pemuda itu.

   "Kongkong... aku tidak mau kembali ke sana! Aku tidak mau melihat pernikahan Lie-Twako!"

   "Bodoh! Siapa bilang ada yang akan menikah? Harus dibatalkan sekarang juga. Mereka itu masih saudara seAyah!"

   "Apa...?? Jadi nona Liok Siang Hwa itupun cucumu pula?"

   Giok Cui benar-benar bingung, akan tetapi ia terpaksa ikut berlari kembali menuju Icang. Telah hampir sepekan ia meninggalkan kota itu dan kini perjalanan kembali ke sana karena dilakukan dengan amat cepat, baru tiga hari saja mereka telah tiba di kota itu. Ketika melihat betapa Kelenteng Thian-Hok-Si telah dihias dan ada tanda-tanda bahwa di situ akan dilakukan ucapan pernikahan, bagaikan orang Lie Kai mengajak dua orang muda itu berlari memasuki Kelenteng itu. Kebetulan sekali Seng Thian Hwesio dan Seng Tee Hwesio berada di ruang depan sedang mengatur ruang itu yang dihias dengan kertas berwarna.

   "Lie Lo-Enghiong!"

   Seru Seng Thian Hwesio ketika melihat orang-tua ini.

   "Dari siapa kau mendengar bahwa cucumu hendak menikah? Maaf, Pinceng tak sempat minta ijin persetujuanmu lebih dulu!"

   "Batalkan! Batalkan pernikahan ini!"

   Lie Kai berseru sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya. Mendengar suara ribut-ribut ini, muncullah Lie Houw Sin, isterinya dan Swan Hong sendiri. Terkejutlah Houw Sin dan isterinya ketika melihat Kakek ini, sedangkan Swan Hong merasa heran tercampur girang ketika melihat datangnya Giok Cui.

   "Sute, inilah Kongkongmu yang kau cari-cari itu!"

   Kata Seng Thian Hwesio kepada Swan Hong sambil menunjuk kepada Lie Kai. Swan Hong merasa girang sekali dan untuk beberapa lama kedua orang itu saling berpandang. Kemudian, Swan Hong melompat dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan Lie Kai yang mengangkat bangun padanya, memeluknya dan air mata mengalir dari kedua mata Kakek ini.

   "Untung aku keburu datang... untung... pernikahan ini harus dibatalkan. Harus, kataku!"

   Lie Houw Sin terkejut sekali mendengar ini, dan isterinya, yakni Song Bwee Eng, lalu berkata keras.

   "Lie, Lo-Enghiong! Apakah sampai sekarang kau orang-tua masih saja hendak mengacaukan rumah tangga kami? Dulu kau menghalangi kebahagiaan kami suami-isteri, apakah sekarang kau hendak mengganggu puteri kami lagi?"

   "Bodoh! Tidak begitu... ah, marilah kita semua masuk ke dalam. Tak baik kalau terdengar oleh orang lain penuturanku ini."

   Mereka lalu masuk ke ruang dalam dan setelah duduk, Lie Kai berkata,

   "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Swan Hong ini adalah anakmu sendiri, Liok Houw Sin! Dia ini adalah putera tunggal dari mendiang Sui Lan yang sengsara itu."

   Kalau ada halilintar menyambar di atas kepalanya Liok Houw Sin belum tentu akan sekaget itu. Mukanya menjadi pucat sekali dan ia harus berpegang kepada kursi agar tidak jatuh. Sedangkan isterinya lalu mulai menangis tersedu-sedu!

   "Tidak lain kaulah yang menjadi gara-gara, laki-laki mata keranjang, laki-laki kejam!"

   Kata nyonya itu sambil menunding kepada suaminya.

   "Sudahlah, sudahlah,"

   Kata Lie Kai.

   "Nah, Swan Hong, kalau kau mau tahu, Liok Houw Sin yang hendak mengambil mantu padamu ini sesungguhnya adalah Ayahmu sendiri!"

   Swan Hong menjadi pucat.

   "Jadi... jadi... Kau bukan Kongkongku?"

   Lie Kai menggeleng kepala dan merasa kasihan sekali kepada pemuda ini.

   "Ibumu telah meninggal dunia, setelah... berpisah dari Ayahmu ini, karena akibat perang dan kau... kau kupelihara dan kutitipkan kepada Suhumu di Thai-Liang-San."

   Dengan singkat Lie Kai lalu menceritakan riwayat pemuda itu, kemudian ia berkata.

   "Oleh karena kau adalah putera dari Liok Houw Sin, maka tentu saja tidak mungkin kau menikah dengan puterinya yang sesungguhnya masih adik tirimu sendiri!"

   Pada saat itu, terdengar gerakan kaki orang dan tubuh Giok Cui berkelebat lari keluar dari Kelenteng itu! Melihat ini, Swan Hong lalu menjura kepada Lie Kai dan Liok Houw Sin.

   "Kongkong, dan... A... Ayah, maafkan aku!"

   Iapun lalu melompar keluar sambil berseru.

   "Moi-moi...! Tunggu dulu...!!"

   Liok Houw Sin menutupi mukanya dengan kedua tangan dari celah-celah jari tangannya mengalir keluar air mata. Ia merasa menyesal sekali dan ia anggap peristiwa ini sebagai pembalasan dari Sui Lan.

   "Lo-Enghiong... apakah yang harus kulakukan sekarang? Tamu-tamu akan datang dan aku telah mengundang dan memberitahukan mereka bahwa puteriku akan menikah dengan seorang cucu dari Thian-Thouw-Gu Lie Kai!"

   Hebat sekali penderitaan kedua suami-isteri itu. Nama mereka akan cemar, akan dikabarkan orang bahwa calon mantu mereka tidak muncul dalam upacara pernikahan! Memikirkan hal ini, dengan hati hancur Song Bwee Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Lie Kai.

   "Lo-Enghiong... kau yang sudah memeluk tubuh mendiang Ayah sebelum ia meninggal"

   Kau tolonglah kami... berilah petunjuk yang baik"!"

   "Tenanglah, tenanglah."

   Kakek itu berkata.

   "Memang ada jalan itu. Aku masih mempunyai seorang cucu lagi, yakni Tiong Han yang sekarang berdiri disini. Tiong Han, kita tahu sama tahu, dan aku sudah maklum akan isi hatimu terhadap Liok-Lihiap! Bersediakah kau menolong dan... menikah dengan Liok-Lihiap?"

   Tentu saja Tiong Han bersorak di dalam hatinya karena merasa girang dan berbahagia, akan tetapi di luarnya ia hanya menundukkan kepala dan berkata,

   "Ah, Kongkong, orang semacam aku ini siapakah yang sudi memungut mantu?"

   Akan tetapi ketika kedua suami-isteri she Liok itu memandang pemuda ini, mereka segera menyatakan persetujuan mereka. Dengan segera Song Bwee Eng lalu berlari masuk ke dalam kamar anaknya yang sudah dirias, dan setelah mengusir semua pelayan, ia lalu menceritakan peristiwa semua itu kepada Siang Hwa yang mendengar sambil menangis.

   "Anakku... alangkah sial nasibmu... akan tetapi akan lebih celakalah kalau kau sudah menikah dengan... dengan saudaramu sendiri! Sekarang untuk menjaga nama kita daripada kecemasan, kau akan kami nikahkan dengan seorang pemuda lain..."

   Siang Hwa terkejut dan bangun sambil memandang wajah Ibunya.

   "Ibu! Mengapa begitu? Tidak jadi menikah juga tidak apa bagiku! Siapakah pemuda itu?"

   "Dia masih cucu dari Thiat-Thouw-Gu Lie Kai sendiri, yakni cucu angkatnya yang bernama Tiong Han..."

   "Apa...? Dia...?"

   Data Siang Hwa berdebar keras.

   "Kau sudah kenal kepadanya?"

   Ibunya bertanya heran. Siang Hwa mengangguk dan menceritakan peristiwa di rumah Yap Ma Ek yang sesungguhnya pernah ia tuturkan kepada Ibunya, tanpa menyebut nama pemuda itu.

   "Ah, kalau begitu ia juga seorang pendekar muda yang pandai. Bagaimana nak? Setujukah kau?"

   Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Merahlah wajah Siang Hwa.

   "Aku hanya menurut kehendak Ayah dan Ibu saja."

   Sambil menangis karena girangnya, Song Bwee Eng menciumi kepala puterinya dan kedua orang wanita ini bertangis-tangisan.

   "Moi-moi... Tunggulah dulu...!"

   Giok Cui berlari terus, akan tetapi sebentar saja Swan Hong telah dapat menyusulnya dan pemuda ini menghadang di depannya.

   "Eh, kau duda! Mau apakah kau menghadang perjalananku?"

   "Ah, jangan begitu, moi-moi... kita... kita sekarang bukan saudara lagi!"

   "Habis mengapa? Mengapa kau mengejarku dan meninggalkan isterimu? Sungguh tidak tahu malu!"

   "Giok Ciu... jangan kau menggodaku. Siang Hwa adalah adikku sendiri!"

   "Mengapa akan kau jadikan isterimu?"

   "Kau tahu itu bukan kehendakku yang sesungguhnya, akan tetapi karena... karena kau tadinya kukira adik misanku yang sebenarnya, maka... aku menjadi putus asa dan menyetujui kehendak kedua Suhengku!"

   "Habis, kau mau apa sekarang? Apa maksudmu menyusulku?"

   "Giok Cui... kau sudah mengetahui perasaan hatiku terhadapmu. Kalau kau sudi... aku"

   Aku hendak meminangmu?"

   "Ih, tak tahu malu!"

   Giok Cui lalu berlari lagi secepatnya, akan tetapi kembali Swan Hong dapat mengejarnya.

   "Moi-moi, aku tahu bahwa kaupun mencintaku, buktinya..."

   "Apa buktinya? Kau omong kosong!"

   Giok Cui berdiri menantang.

   "Buktinya, ketika kau mendengar aku hendak menikah dengan gadis lain, kau lalu menjadi marah dan..."

   "Gila! Siapa perduli kau mau kawin dengan siapapun juga?"

   Kembali ia melarikan diri dan dikejar oleh Swan Hong.

   "Giok Cui, kita sudah melakukan perjalanan bersama mencari Kongkong. Ternyata sekarang bahwa Thiat-Thouw-Gu Lie Kai bukanlah Kokongku yang sejati. Tidak kasihankah kau kepadaku? Hanya satu jalan yang memberi hak kepadaku menyebut dia Kongkong, yakni kau menjadi isteriku! Karena dia adalah Kongkongmu, maka berarti... Kongkongku pula!"

   "Cih! Tidak tahu malu! Urung menikah dengan gadis lain, baru ingat kepadaku dan mengejar-ngejarku!"

   Kata Giok Cui menjual mahal.

   "Moi-moi, jangan kau mempermainkan hatiku. Peristiwa tadi merupakan pukulan berat bagi batinku, apakah kau tidak merasa kasihan dan hendak menambah dengan pukulan kedua yang lebih hebat lagi? Apakah kau ingin melihat aku menjadi gila? Giok Cui, aku bingung"

   Bingung sekali..."

   Mendengar ucapan ini, Giok Cui yang memang hanya menggoda pemuda pujaan kalbunya itu, memandang mesra, akan tetapi ia segera tertawa lagi menggoda.

   "Kau anggap aku ini gadis macam apakah? Mengajukan pinangan harus kepada orang-tuaku, bukan kepadaku!"

   Berserilah wajah Swan Hong.

   "Tentu saja aku hendak mengajukan pinangan kepada orang-tuamu. Sekarang juga aku hendak pergi kesana. Hayo, kita berlari secepatnya!"

   Swan Hong lalu mengerahkan ilmu berlari cepat sehingga seben-tar saja Giok Cui tertinggal jauh.

   "Hai...! Sudah gilakah kau? Mengapa kau meninggalkan aku? teriaknya terengah-engah. Swan Hong membalikkan tubuhnya dan menanti datangnya gadis itu sambil tersenyum.

   "Hayo, lari yang cepat, moi-moi. Aku ingin sekali cepat-cepat bertemu dengan orang-tuamu."

   "Sombong! Siapa tidak tahu bahwa kau memiliki ilmu berlari cepat yang lebih tinggi daripadaku? Sudah tahu bahwa aku seorang gadis bodoh, mengapa tergila-gila dan hendak meminangku?"

   Digoda demikian itu, dengan gemas Swan Hong lalu menubruk maju dan sebelum Giok Cui dapat mengelak, tubuhnya telah dipondong oleh pemuda itu. Ia tidak memberontak, hanya meramkan kedua matanya dengan bibir tersenyum puas.

   "Biar aku gendong kau supaya lebih cepat perjalanan kita!"

   Bisik pemuda itu. Kemudian Swan Hong mengerahkan seluruh kepandaiannya dan berlari bagaikan terbang cepatnya sambil memondong tubuh gadis itu, berlari menuju ke dusun tempat tinggal Bun Hak Lee dan Lie Eng, menuju ke pantai bahagia, di mana ia bersama Giok Cui akan menyeberangi lautan hidup di dalam biduk bersama isterinya!

   TAMAT

   Penerbit : CV. Gema

   Pelukis : Widodo

   Di Ketik oleh : Eddy Zulkarnaen

   Di Posting oleh : Djan M

   Text Editing (E-Book) : Cersil Kph

   


Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini