Ceritasilat Novel Online

Naga Merah Bangau Putih 2


Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



"Ha..ha..ha..! Segala macam rampok kecil bermata buta! Kau berani mencoba-coba bermain gila di depan Thiat-Thouw-Gu Lie Kai?"

   Bukan main terkejutnya kepala rampok itu mendengar nama ini.

   "Ampunkan mataku yang telah buta, tidak melihat gunung Thai San menjulang tinggi di depan mata! Tai-Ong (Raja besar, sebutan yang lazim untuk kepala rampok besar) ampunkanlah Siauwte (sebutan untuk diri sendiri untuk merendah)!"

   Akan tetapi, Lie Kai menjadi marah dan sekali kaki kirinya bergerak, ia telah menendang kepala rampok itu sehingga berguling-guling beberapa kali jauhnya!

   "Anjing busuk! Siapa sudi kau sebut Tai-Ong? Sudahkah kau mendengar bahwa telah sepuluh tahun lebih aku mencuci tangan? pernahkah kau mendengar selama ini bahwa Lie Kai melakukan perampokan? Buka matamu dan pasang telingamu baik-baik, bangsat!"

   Kepala rampok itu menjadi girang sekali oleh biarpun dia ditendang, namun tendangan itu ternyata membebaskannya dari totokan yang amat menyakitkan iganya itu. Ia berlutut lagi sambil mengangguk-anggukan kepalanya seperti ayam makan gabah.

   "Ampun, sekali lagi ampunkan hamba, Taihiap (pendekar besar). Hamba sekali-kali tidak sengaja menyinggung perasaan Taihiap!"

   "Hush, tutup mulutmu dan jangan banyak cakap pula. Siapa sudi kau sebut Taihiap? aku bukan seorang pendekar. Tanah air dijajah musuh aku tidak dapat mencegah, mana patut aku disebut pendekar? Sudahlah, aku ampunkan kalian dan ini obat untuk penyambung tulang dan untuk mengobati luka-luka!"

   Ia melemparkan bungkusan kepada kepala perampok itu, kemudian berkata pula,

   "Akan tetapi awas kau kalau sampai lain kali aku mendengar kalian mengganggu para pelancong atau penduduk yang tidak berdosa. Contohlah aku ketika masih menjadi tokoh Lioklim (lembah hijau) dulu! yang kuganggu hanyalah hartawan-hartawan pelit, tuan tanah-tuan tanah penghisap rakyat, dan pembesar-pembesar yang kejam! Sekarang korban-korbanmu lebih banyak pula. Tanah air telah dijajah oleh musuh dan semua pembesar negeri boleh kau ganggu, merekalah musuh-musuhmu!"

   Setelah berkata demikian, Lie Kai lalu melompat keatas kudanya lagi, akan tetapi sebelum menjalankan gerobaknya, ia menengok kearah Sui Lan yang memandangnya dengan penuh kekaguman, maka berkatanya ia kepada kepala rampok itu sambil menunjuk kepala perampok mata keranjang yang masih pingsan karena bantingannya tadi.

   "Dan Kau jagalah baik-baik orang itu! Kalau ia masih melanjutkan wataknya yang suka mengganggu wanita, lain kali akan kuhabisi nyawanya!"

   Lie Kai lalu melanjutkan perjalanannya dengan hati puas. Terdengar ia bernyanyi-nyanyi lagi dan lagunya masih seperti tadi, riang gembira dan bersemangat, akan tetapi kata-katanya juga masih syair yang merupakan keluh-kesah tadi!

   Kini lenyaplah keraguan dalam hati Sui Lan terhadap orang-tua ini. Ia menjadi amat kagum akan kegagahan Lie Kai dan sepak terjangnya terhadap para perampok itu benar-benar membuat ia memandang orang-tua itu dengan penuh penghormatan. Pernah Sui Lan mendengar tentang pendekar-pendekar gagah perkasa, dan kalau pendekar-pendekar itu tadinya hanya menjadi semacam dongeng saja baginya, kini, ia merasa yakin bahwa pendekar-pendekar itu memang ada dan Lie Kai adalah seorang diantaranya. Hidupku sebatang kara, aku seorang lemah, miskin, dan tak seorangpun mau melindungiku. Alangkah baiknya kalau ia mendapat pelindung seperti orang orang ini, demikian Sui Lan berpikir ia teringat betapa orang-tua itu tadi mengaku dia sebagai anaknya dan hatinya terasa hangat mengenang hal ini. Tidak terasa pula, ia segera memanggilnya.

   "Lie-Lopek (Uwak Lie)!"

   Lie Kai menghentikan kudanya dan menengok.

   "Apakah aku menjalankan gerobak terlalu cepat?"

   Tanyanya sambil tersenyum. Senyum itu membuat hati Sui Lan terharu, karena hanya Bibirnya yang tersenyum, sedangkan pandangan mata orang-tua itu membayangkan kedukaan besar yang ditekan-tekannya. Sui Lan menggelengkan kepalanya dan berkata,

   "Tidak, tidak terlalu cepat, aku hanya ingin menyatakan terima kasih kepadamu, Lie-Lopek. Kalau tidak ada kau yang menolongku, entah bagaimana jadinya dengan diriku. Kalau aku berjalan seorang diri lalu bertemu dengan orang-orang tadi... ah tentu aku telah mati mereka bunuh atau bunuh diri!"

   Lie Kai maklum akan maksud kata-kata Sui Lan, akan tetapi ia hanya tertawa dan berkata,

   "Hanya itu saja? Ha..ha.. kau lucu! bertemu dengan kau ataupun tidak, aku pasti akan membasmi perampok-perampok itu apabila berjumpa dengan mereka. Untuk apa terima kasih? Tak perlu kata-kata kosong itu!"

   Setelah berkata demikian, Lie Kai menjalankan kudanya lagi.

   "Lie-Lopek...!"

   Lie Kai menghentikan kudanya lagi dan menengok.

   "Ada apa lagi? Kau membutuhkan sesuatu?"

   Kembali Sui Lan menggeleng kepala

   "Tidak, Lie-Lopek, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku senang sekali mendengar kau tadi mengakui kepada perampok itu bahwa aku adalah anakmu! Ah... kalau saja hal itu benar-benar aku... akan suka sekali menjadi anakmu!"

   Merahlah wajah Lie Kai mendengar ini.

   "Ah, maafkan aku Toanio. Tadi aku hanya biacara untuk menjawab perampok yang kuran ajar itu. Mana patut aku menjadi Ayahmu? Dan pula, kau tentu mempunyai Ayah-Ibu yang berbahagia serta suami yang bijaksana..."

   Kata-kata ini serasa menusuk ulu hati Sui Lan dan sambil meramkan mata, Sui Lan mencoba untuk menahan air matanya, akan tetapi tetap saja air matanya mengalir turun membasahi pipinya.

   "Eh.. eh... kau kenapakah?"

   Tanya Lie Kai terheran-heran. Sambil menghapus air matanya dengan sapu-tangan, Sui Lan berkata,

   "Aku... aku telah yatim piatu..."

   Lie Kai terkejut dan memandang dengan melongo,

   "Aduh kasihan! dan... suamimu...? dimanakah dia? Mengapa membiarkan kau pergi seorang diri?"

   Ditanya demikian, makin deraslah keluarnya air mata Sui Lan. Sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan, ia menjawab terisak-isak.

   "Aku... aku tidak mempunyai suami..."

   Tiba-tiba Lie Kai menggerakan tubuhnya dan dari atas kuda ia melompat dan tahu-tahu telah berdiri di depan Sui Lan, didalam gerobak.

   "Apa kau bilang? Sudah... meninggal duniakah dia?"

   Sui Lan tidak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepalanya sambil menangis makin sedih.

   "Kalau begitu apakah dia telah menceraikanmu? telah meninggalkanmu?"

   Kembali Sui Lan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Lie Kai menjadi hilang sabar. Dipegangnya kedua pundak Sui Lan dan berkatalah dia keras-keras.

   "Anak, dengarlah! lihat mukaku dan percayalah kepadaku! Kalau dia meninggalkanmu, akulah yang akan mencarinya dan menyeretnya kembali serta memaksanya minta ampun kepadamu!"

   Makin sedih Sui Lan menangis dan Lie Kai lalu memegang dagunya dan mengangkap muka itu, memaksa Sui Lan memandangnya melalui air mata yang masih menderas keluar.

   "Katakanlah! Dimana suamimu dan mengapa kau seorang diri saja Bukankah kau hendak pergi ke An-Sin-Kwan untuk mencari keluargamu seperti yang kau katakan tadi?"

   "Tidak... aku... aku tiada keluarga, aku tidak mempunyai siapapun juga didunia ini... aku sebatang kara, tiada tempat tinggal, tanpa tujuan... merantau kemana saja, kakiku membawaku... aku... aku...

   "

   Tidak melanjutkan kata-katanya dan menangis lagi.

   "Dengar!"

   Lie Kai dan matanya menjadi merah karena menahan keharuan hatinya.

   "Aku Ayahmu, bukan?"

   Kau tadi ingin menjadi anakku, bukan? Nah sekarang kau menjadi anakku! Hayo kau ceritakan terus terang kepada Ayahmu mengapa keadaanmu menjadi begini!"

   Bukan main terharu rasa hati Sui Lan dan sambil menjerit dia lalu menjatuhkan kepalanya di dada orang-tua itu lalu menangis tersedu-sedu. Lie Kai menggeleng-gelengkan kepalanya dan diam-diam ia meramkan kedua matanya untuk menahan jatuhnya air matanya.

   "Mari kita turun"

   Katanya sambil menuntun Sui Lan turun.

   "Kita beristirahat sebentar melepas lelah. Kau ceritakanlah keadaanmu kepadaku, dan siapa pula namamu, karena sungguh amat lucu kalau seorang Ayah seperti aku tidak mengenal nama anaknya sendiri!"

   Keduanya lalu duduk di bawah pohon yang teduh dan setelah dapat meredakan keharuan hatinya, Sui Lan menceritakan riwayatnya mengaku bahwa namanya Ma Sui Lan dan bahwa semenjak berusia delapan tahun ia telah dijual oleh Ayahnya untuk membayar hutang, betapa kemudian ia menjadi pelayan di rumah gedung Pangeran Liok Han Swee sampai menjadi dewasa. Dengan terus terang dia menceritakan perhubungannya dengan Houw Sin, dengan panjang lebar ia menceritakan tentang segala peristiwa itu sehingga pengalamannya yang penuh derita semenjak berpisah dari Houw Sin. Mendengar penuturan Sui Lan, Lie Kai menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata menghela nafas berkali-kali.

   "Ah anak bernasib buruk, yang semenjak kecil sudah harus menelan segala kepahit-getiran hidup! Anak bodoh, yang menurutkan perasaan hati dan mudah tergoda oleh cinta dan nafsu! Kasihan sekali... kasihan sekali...!"

   Dengan Sedih Sui Lan berkata,

   "Lopek.. kau telah mendengar semua riwayatku yang penuh kecemaran... yang buruk... memang aku telah lemah, tak berpikir panjang, mabok oleh cinta, runtuh oleh godaan iblis... akan tetapi aku tidak menyesal Lopek. Aku cinta kepadanya... Lopek, kau tentu jijik melihatku, apakah kau masih mau mengaku anak kepada seorang wanita yang... yang mengandung diluar pernikahan yang sah?"

   "Mengapa tidak?"

   Lie Kai membelalakkan matanya.

   "Aku kasihan kepadamu, dan aku akan senang sekali menjadi Ayah angkatmu."

   Bukan main besar dan girangnya hati Sui Lan mendengar ini. Seketika itu juga lenyaplah segala perasaan berat yang selama ini menekan hatinya, timbul pula pengharapannya. Ia segera berlutut dan berkata sambil mengucurkan air mata.

   "Terima kasih... terima kasih Ayah... aku berjanji hendak menjadi seorang anak yang berbakti. Aku selalu rindu kepada seorang Ayah... dan tentang Ayah anak yang kukandung ini, kalau saja aku dapat bertemu dengan dia, tentu dia akan menerimaku sebagai isterinya. Aku yakin akan hal itu, karena dia... dia menyintaiku!"

   "Mudah-mudahan begitu Sui Lan, Hal ini kuharapkan benar, sungguhpun aku merasa ragu-ragu, karena aku telah mengenal hati laki-laki, yang mudah menyatakan cinta dan mudah pula melupakannya. Aku maklum benar bahwa diantara seratus orang wanita di dunia ini hanya seorang dua orang saja yang dapat berlaku curang dan tidak setia, akan tetapi sebaliknya diantara seratus orang pria, hanya seorang atau dua orang saja yang dapat berlaku jujur dan setia!"

   "Ayah, kau sungguh mulia! Kau sudah mendengar riwayatku yang penuh noda, namun kau tetap sudi menjadi Ayahku. Alangkah bahagianya rasa hatiku, kau seakan-akan memberi api kehidupan baru dalam dadaku."

   Lie Kai tersenyum, sungguhpun matanya makin muram ketika ia menjawab,

   "Jangan menganggap demikian anakku. Kau belum mendengar riwayatku, dan kalau kau sudah mengetahui keadaan riwayatku dimasa lalu, mungkin kau takkan memandangku demikian tinggi. Akupun hanya seorang yang telah penuh dengan dosa."

   Kemudian dengan singkat Lie Kai si Kerbau berkepala besi menceritakan riwayat hidupnya.

   Lie Kai adalah putra seorang petani yang tinggal disebuah dusun kecil di propinci Hok-kiau. Semenjak kecil ia hidup sengsara karena Ayahnya memiliki sebidang sawah yang tidak berapa besarnya. Kepala daerah mengadakan peraturan pajak sawah luar biasa beratnya, ditambah pula oleh kepala dusun yang dengan cerdiknya menambahkan biaya-biaya penjagaan keamanan kampung dan lain-lain sehingga hasil sawah itu hampir habis dibayarkan pajak-pajak ini! Ini kalau tidak terjadi bencana alam menimpa. Pada musim kering, atau dikala hujan turun terus menerus sehingga air sungai membuat sawah ladang menjadi telaga,

   Keluarga-keluarga tani miskin seperti keluarga Lie ini terpaksa mengikat diri dengan uang pinjaman dengan bunga yang mengikat dan mencekik leher. Tentu saja keadaan ini membuat mereka makin lama makin dalam tenggelam di lautan hutang, Jangankan untuk membayar induk hutang, sedangkan untuk membayar anakannya saja sudah setengah mati. Tak mengherankan apabila hutang yang mula-mula tak berapa besar itu lama-kelamaan menjadi berlipat ganda dan akhirnya mencapai jumlah yang tidak mungkin di bayar lagi. Kalau sudah demikian halnya, maka boleh dikatanya kehidupan sekeluarga berada dalam cengkraman kuku para pelepas uang panas itu. Demikian pula keadaan Ayah Lie Kai yang bertambah tahun tambah tenggelam dan terpendam dalam lumpur hutang sampai lehernya.

   Akan tetapi keadaan yang buruk ini belum diketahui oleh Lie Kai yang semenjak usia dua belas tahun telah pergi berGuru ilmu silat dari seorang Hwesio berilmu tinggi. Ayah Lie Kai yang bernama Lie Cit amat menyinta putera tunggalnya itu dan ketika Lie Kai pulang enam tahun kemudian, ia segera menikahkan puteranya itu dengan seorang gadis dusun yang amat sederhana. Perayaan pernikahan ini, sesungguhnya amat sederhana, tapi tetap saja membutuhkan biaya yang lumayan dan kembali Lie Cit yang tak berdaya diam-diam lari kepada tuan tanah yang memberi hutang kepadanya dan meminjam uang baru dengan bunga yang lebih besar. Tiga tahun kemudian, keadaan Lie Cit tak dapat dipertahankan lagi. Hutangnya telah terlampau banyak dan bunga-bunga uang itu makin memperbesar jumlah utang.

   Akhirnya tuan tanah merangkap lintah darat pelepas uang panas itu menagih dan lalu meminta pertolongan pembesar setempat. Karena surat hutang menjadi bukti, akhirnya sawah Lie Cit yang tak berapa besar itu dirampas untuk membayar hutang, itupun masih belum dapat melunasi hutangnya. Lie Kai menjadi marah sekali. Ia segera mendatangi tuan tanah itu dan memuncaklah amarahnya ketika ia melihat dari surat hutang bahwa hutang Ayahnya sesungguhnya tidak begitu besar jumlahnya. Akan tetapi waktu yang belasan tahun lamanya itu yang telah membuat jumlah hutang menjadi puluhan kali banyaknya! Lie Kai yang berkepandaian tinggi hendak mengamuk dan menghajar tuan tanah itu, akan tetapi isterinya menangis melarangnya, sambil menggendong seorang anak perempuan yang masih kecil.

   Melihat isteri dan anaknya, lemah kembali hati Lie Kai dan ia hanya menekan kebenciannya terhadap tuan tanah itu. Akan tetapi, tuan tanah itu ketika mendengar Lie Kai marah-marah dan hendak menyerbu rumahnya, menjadi khawatir dan segera ia meminta pertolongan pembesar setempat mengajukan tuntutan agar Lie Kai ditangkap dengan tuduhan mengancam jiwanya dan disamping itu ia menuntut pula dibayarnya sisa hutang yang belum lunas. Kejadian ini amat menyusahkan hati Lie Cit yang sudah tua sehingga ia jatuh sakit dan meninggal dunia beberapa lama kemudian. Dan diwaktu Lie Kai masih berkabung, datanglah pengawal pengawal pembesar setempat untuk menangkapnya! Tentu saja hal ini membuat Lie Kai naik darah dan ia tidak dapat mengendalikan hatinya lagi.

   "Jahanam busuk, manusia-manusia terkutuk!"

   Teriaknya marah.

   "Sudah merampas sawah menghancurkan hati Ayah sehingga Ayah meninggal, kini datang hendak menangkap dan menghina kami sekeluarga! Benar-benar kalian ini iblis-iblis bermuka manusia! Apakah kau kira tidak ada pengadilan lagi di dunia ini? Kalau pengadilan pemerintah diselewengkan untuk menjadi kepentingan si kaya menindas si miskin, kalau Thian tidak menoleh lagi pada manusia miskin yang tertindas, masih ada pengadilan lain yang akan menghukum kalian. Dan inilah hakimnya!"

   Sambil berkata demikian Lie Kai mencabut dan mengacungkan goloknya, lalu mengamuklah Lie Kai dengan hebat! Para pengawal dan penjaga yang berjumlah puluhan orang lalu datang menyerbu dan mengepungnya bahkan ada penjaga yang menyerang Ibu dan isterinya sehingga kedua wanita itu menjerit dan roboh mandi darah tak bernyawa lagi! Anak perempuannya yang baru berusia dua tahun terlempar dari gendongan Ibunya dan menangis keras. Bukan main marahnya hati Lie Kai melihat ini.

   Matanya menjadi beringas bagaikan mata seekor harimau dan ia mengamuk makin hebat setelah berhasil menolong dan mengendong anaknya. Goloknya yang putih sampai menjadi merah karena darah manusia dan lebih dari setengah jumlah pengeroyoknya roboh tak bernyawa lagi. Sebagian lagi merasa jerih dan ngeri melihat amukan Lie Kai yang amat tangguh itu dan mereka melarikan diri cerai berai. Dengan nafsu amarah masih meluap-luap dan kesedihan yang luar biasa melihat Ibunya dan isterinya menggeletak mandi darah dan tidak bernyawa lagi, Lie Kai sambil menggendong anaknya dengan tangan kiri lalu berlari cepat mendatangi rumah tuan tanah, membunuh tuan tanah itu yang menimbulkan malapetaka pada keluarganya. Kemudian iapun pergi kepada pembesar yang diperalat oleh tuan tanah itu dengan maksud untuk membunuhnya pula.

   Akan tetapi ia telah terlampau lelah dan juga pembesar itu mempunyai banyak pengawal sehingga usahanya ini tidak berhasil bahkan hampir saja ia tertawan. Lie Kai melarikan diri sambil membawa anaknya yang menangis disepanjang jalan. Demikianlah anak perempuannya yang bernama Lie Eng yang semenjak kecil dididiknya menjadi seorang ahli silat yang pandai. Lie Kai hidup sebagai seorang perampok yang sebentar saja amat terkenal karena kegagahannya. Juga Lie Eng semenjak kecil hidup di hutan-hutan digunung-gunung bersama Ayahnya, menjadi seorang gadis yang cantik akan tetapi liar. Karena diatas dunia ini, ia hanya mempunyai Lie Eng seorang, maka tidak mengherankan apabila Lie Kai amat kasih kepada puterinya itu, amat memanjakannya. Hanya satu saja cita-citanya yakni mencarikan suami yang baik bagi Lie Eng.

   "Eng ji (anak Eng),"

   Ia seringkali berkata kepada puterinya.

   "Ayahmu telah banyak menderita dan semua itu bukan semata-mata dikarenakan jahatnya manusia, akan tetapi sesungguhnya terutama sekali karena buruknya keadaan dan buruknya pemerintahan Kaisar. Bukan hanya Ayahmu seorang yang menjadi korban, melainkan masih ada rIbuan, laksaan, bahkan jutaan orang lain yang hidup sengsara, tertindas oleh pembesar-pembesar jahat dan terperas oleh lintah-lintah darat dan tuan-tuan tanah. Negara sedang kacau balau dan hanya dengan kepandaian tinggi saja kita bisa menjaga diri. Oleh karena itu, kau harus menjadi seorang isteri dari pemuda gagah perkasa! Menjadi isteri seorang berpangkat sama halnya dengan menikah dengan seorang penjahat kejam! Menjadi isteri seorang pemuda Sasterawan atau pemuda tani sama halnya menikah dengan seorang pemuda lemah yang takkan mampu melindungi keluarganya!"

   Kalau mendengar Ayahnya berbicara tentang pernikahan, Lie Eng hanya tersenyum dengan muka merah dan berkata,

   "Ayah, siapa sih yang sudah rindu akan pernikahan? Aku tidak sudi menikah dan tidak suka meninggalkan Ayah seorang diri!"

   Lie Kai tertawa tergelak dan didalam hatinya ia berkata,

   "Hemm, anak sombong... kau belum bertemu dengan pemuda yang akan mencuri hatimu. Kalau sudah bertemu dengan calon jodohmu, ha... hendak kulihat apakah engkau masih akan mengeluarkan ucapan ini."

   Akan tetapi, ternyata jodoh gadis itu yang datang bukan seorang yang menjadi idaman hati Lie Kai. Pada suatu hari, di hutan tempat mereka bertinggal itu lewatlah seorang pemuda Sasterawan yang baru kembali dari Kotaraja dimana ia menempuh ujian,

   Lie Kai dan Lie Eng keluar dari tempat persembunyiannya dan menghadang pemuda ini. Pemuda ini bernama Bun Hak Lee, seorang pemuda yang tampan sekali dan juga cerdas otaknya. Melihat pemuda ini, seketika juga Lie Eng yang tinggi hati runtuhlah keangkuhannya dan hatinya penuh oleh kasih sayang yang luar biasa! Lie Eng minta kepada Ayahya untuk menahan pemuda itu dengan alasan bahwa ia ingin mempelajari ilmu membaca dan menulis. Hal ini disetujui oleh Lie Kai yang juga selalu kecewa kalau mengingat bahwa puterinya itu setengah buta huruf karena selain ia sendiri hanya mengerti sedikit tentang huruf, juga tidak ada kesempatan banyak membaca dan menulis, sedikit pengertian yang diajarkannya kepada puterinya itu takkan berguna.

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Naga Merah Bangau Putih (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   Demikianlah, pemuda Bun Hak Lee ditahan dan tinggal bersama dalam sebuah pondok yang dijadikan tempat tinggal Ayah dan anak itu di tengah hutan. Dan selama Lie Eng mempelajari ilmu surat, sama sekali ia tidak mendapatkan kemajuan. Oleh karena kini ia telah jatuh hati betul-betul dan agaknya Bun Hak Lee menyambut perasaan ini dengan baik. Siapa orang yang tidak tertarik dan jatuh cinta menghadapi seorang dara yang demikian cantik dan gagah seperti Lie Eng? Akhirnya Lie Kai tahu juga akan hubungan asmara antara puterinya dan pemuda itu, ia menjadi marah-marah dan mengusir Bun Hak Lee. Akan tetapi, alangkah herannya ketika ia melihat puterinya melangkah maju dan berkata dengan berani.

   "Ayah, jangan kau mengusir Bun-Siangkong pergi dari sini! Aku... Aku masih sedang mempelajari ilmu menulis."

   "Apa"? Apa gunanya ilmu coret-coret dengan pit itu? Lagipula, kalau hanya belajar menulis saja, aku dapat mencarikan Guru yang lebih pandai lagi. Pemuda ini harus lekas pergi dari sini, sekarang juga!"

   Akan tetapi Lie Eng makin berani sikapnya.

   "Tidak Ayah, Aku tidak mau belajar dari lain orang. Kalau... Kalau Ayah mengusirnya, aku mau ikut pergi dengan dia!"

   Bagaikan bunyi halilintar menyambar rasanya ucapan anaknya ini bagi Lie Kai.

   "Apa katamu? Sudah gilakah kau??"

   "Ayah..."

   Dan kini suara Lie Eng penuh permohonan.

   "Tidakkah kau tahu? tidak dapatkah kau melihat bahwa aku tak dapat ia tinggalkan...?"

   Melihat keadaan gadis yang dicintanya itu dalam keadaan seperti itu, Bun Hak Lee merasa kasihan dan dengan tabah ia lalu menjura kepada Lie Kai.

   "Lo-Enghiong (orang tua gagah), terus terang saja aku katakan bahwa antara anakmu dan aku telah ada perjanjian untuk sehidup semati menjadi kawan hidup selamanya. Aku mencintainya dan ia... iapun suka kepadaku dan..."

   Tidak dapat dikendalikan lagi amarah yang mengamuk dalam dada Lie Kai. Ia berseru keras.

   "Bangsat, kau harus mampus!"

   Dan melompatlah ia dengan serangan hebat, memukul ke arah dada Bun Hak Lee. Akan tetapi tiba-tiba Lie Eng melompat dan menangkis lengan Ayahnya sehingga tubuh gadis itu terpental jauh. Biarpun ia telah mempelajari ilmu silat tinggi, namun ia bukan tandingan Ayahnya dan tenaganya jauh kalah besar. Lie Kai terkejut sekali melihat gerakan puterinya dan ini memperbesar amarahnya terhadap Bun Hak Lee. Ia menerkam lagi untuk membinasakan pemuda itu dengan sekali pukul, akan tetapi kembali Lie Eng yang sudah melompat bangun itu menghadang di depan Bun Hak Lee dan menangkis pukulan Ayahnya.

   "Eng-ji! Kau berani membela dia dan melawan Ayahmu sendiri?"

   Lie Kai bertanya dengan muka pucat.

   Sebagai jawaban, Lie Eng mencabut pedangnya.

   "Ayah, aku tidak sekali-sekali berani melawan Ayah, dan biarpun aku melawan juga, aku takkan dapat menang, dan akhirnya Bun-Siangkong akan tewas juga. Ayah, kau pasti akan dapat menewaskan Bun-Siangkong, akan tetapi jangan harap akan dapat memisahkan kami, karena begitu Bun-Siangkong tewas ditanganmu, akupun akan tewas di ujung pedangku sendiri!"

   Sikap gadis itu berani dan nekad dan dari pandang matanya, Lie Kai maklum bahwa kata-kata ini bukanlah ancaman belaka.

   "Eng-ji,..."

   Suaranya lemah, berbareng dengan lemahnya seluruh tenaga yang seakan-akan hendak meninggalkan tubuhnya.

   "Kau"

   Kau anak tunggalku... kau benar-benar hendak mengikuti dia... mengikuti kutu-buku yang lemah ini? Eng-ji, benar-benarkah kau tega melukai hati Ayahmu, mengecewakan hati Ayahmu...?"

   "Lo-Enghiong"

   Tiba-tiba pemuda itu maju dan berkata.

   "Biarpun aku seorang lemah, akan tetapi aku bersumpah akan membela Eng-moi sebagai isteriku yang tercinta, akan kubela dengan jiwa dan ragaku..."

   "Tutup mulut...! Tiba-tiba Lie Kai membentak dan memandang kepada pemuda itu.

   "Dan pergilah"

   Pergilah"

   Pergi sebelum aku menjadi gelap mata dan membunuhmu!"

   Bun Hak Lee menghampiri Lie Eng yang kini berdiri dengan air mata berlinang, menggandeng tangannya dan berkata halus.

   
Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Eng-moi, marilah kita pergi..."

   Lie Eng menurut saja tangannya ditarik dan ia berjalan beberapa langkah meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ia tiba-tiba ia lari kepada Ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.

   "Ayah... Ayah... ampunkan aku, Ayah... aku terpaksa meninggalkan Ayah..."

   Lie Kai meramkan kedua matanya agar jangan sampai air matanya menitik keluar, kemudian dia mengangkat kedua tangan untuk ditutupkan pada kedua telinganya.

   "Pergilah... pergilah... pergi...!!"

   Bentaknya setengah menjerit. Sampai lama Lie Kai berdiri, meramkan kedua matanya dan menutup kedua telinganya, tak bergerak bagaikan patung. Ketika ia membuka kedua matanya, puterinya dan pemuda itu telah lenyap dari situ. Dengan lemas, Lie Kai lalu menggerakkan kedua kakinya, berjalan memasuki pondoknya dimana ia rebah sampai berhari-hari tanpa makan dan tidak pernah turun dari pembaringan. Mulutnya tidak hentinya bergerak-gerak.

   "Jahanam betul pemuda she Bun itu...! Ia datang menjatuhkan anakku, membawanya pergi...! Terkutuklah orang-orang she Bun yang menurunkannya. Akan kubunuh orang-orang she Bun yang bertemu dengan aku!"

   Demikianlah semenjak ditinggal pergi oleh Lie Eng, Lie Kai menjadi seorang yang sudah hancur betul-betul hatinya.

   Peristiwa-peristiwa pahit yang dialaminya, semenjak Ayahnya meninggal, membuatnya ia menderita hebat sekali dan kepergian puterinya ini merupakan pukulan terakhir yang hampir tak tertahan olehnya. Kini ia menjadi seorang gelandangan yang kadang-kadang seperti orang gila. Ia tidak menjadi perampok lagi, merantau kemana saja kedua kakinya membawanya. Melihat banyaknya orang-orang yang sengsara hidupnya seperti keadaannya sendiri, timbul jiwa pendekarnya dan ia lalu turun tangan membantu mereka yang tertindas, membasmi mereka yang jahat, sehingga namanya menjadi terkenal dan ia mendapat julukan Tiat-Thouw-Gu si Kerbau Kepala Besi karena pernah ia dipukul dengan sebuah penggada oleh seorang penjahat pada kepalanya, akan tetapi bukan kepalanya yang pecah melainkan ruyung itulah yang patah!

   Kemudian ia mengamuk dan membasmi gerombolan penjahat itu. Karena amukannya, seperti seekor kerbau gila, maka semenjak itu ia diberi julukan Kerbau Berkepala Besi. Sampai sepuluh tahun ia merantau, hidup sebatang kara, dan agaknya hati dan perasaannya yang sudah terlampau banyak dipanggang oleh api penderitaan itu telah mengeras dan kebal! Mulutnya selalu tersenyum dan tertawa, sungguhpun pandangan matanya tidak pernah berseri. Akhirnya, sebagaimana telah dituturkan dibagian depan dari cerita ini, ia bertemu Sui Lan, seorang gadis yang hidup sebatang kara dan menderita sengsara hebat sekali. Sui Lan merasa terharu sekali mendengar riwayat Lie Kai yang ternyata biarpun sudah mengalami berumah tangga, agaknya masih lebih sengsara daripada pengalamannya sendiri.

   "Ayah, kalau begitu kau membohong ketika menyatakan bahwa anakmu Lie Eng itu sudah meninggal. Jadi ia masih hidup dan dimana ia sekarang? Bagaimana keadaannya? Apakah Ayah telah bertemu dengan ia semenjak ia pergi?"

   "Sudahlah, jangan kau tanyakan itu dan jangan kita membicarakan dia lagi. Dia sudah mati dalam ingatanku! dan sekarang aku mendapatkan seorang anak baru. Kau menjadi pengganti Lie Eng, dan aku akan berusaha mencari jejak Liok Houw Sin. Aku akan berusaha membuat kau berbahagia, anakku."

   Barang-barang didalam gerobak yang dibawa oleh Lie Kai itu adalah barang dagangan berupa kain-kain Sutera dan barang barang berharga lainnya milik seorang pedagang. Memang sekarang Lie Kai telah bekerja sebagai Piauwsu (pengawal yang mengantarkan, barang-barang berharga dari satu ke lain tempat, semacam perusahaan ekspedisi). Bahkan ia telah mempunyai sebuah rumah kecil di Kota An-Sin-Kwan, dan karena namanya mulai terkenal dan kini sepak terjangnya yang gagah perkasa dan sering membela keadilan itu membuat ia dihormati orang. Para saudagar yang mendengar namanya, lalu sering minta pertolongan kepadanya untuk mengantarkan barang-barang dagangan dari satu ke lain tempat.

   Tiap kali Lie Kai mengantarkan barang-barang, maka pekerjaan itu ia lakukan dengan baik dan barang dagangan dapat sampai ditempat tujuan dengan aman dan selamat. Maka makin terkenallah namanya dan kini upah yang ia dapat untuk mengantarkan barang-barang itu cukup besar sehingga untuk dirinya sendiri, penghasilan itu boleh dibilang berkelebihan. Terhiburlah hati Sui Lan setelah ia tinggal bersama Lie Kai yang amat menyayanginya sebagai anaknya sendiri. Tadinya ia melakukan pekerjaan rumah tangga, mengatur rumah tangga yang amat kacau balau ketika ia datang itu sehingga rumah itu kini nampak bersih, rapi, dan menyenangkan. Akan tetapi, kemudian ia dilarang oleh Ayah angkatnya untuk melakukan pekerjaan berat itu.

   "Kandunganmu telah cukup tua, tak baik kalau bekerja keras,"

   Kata Ayah angkatnya.

   "Aku akan mencari seorang pembantu rumah tangga untuk menGurus segala pekerjaan rumah, dan kau beristirahatlah saja, jangan banyak bergerak."

   Mendengar kata-kata yang penuh kasih sayang dan perhatian itu, Sui Lan merasa terharu, akan tetapi sambil tersenyum ia membantah.

   "Ayah, ingatlah aku dahulupun seorang pelayan rumah tangga. Pekerjaan ini sudah biasa bagiku dan sama sekali tidak berat. Kalau memanggil seorang pembantu, aku hanya akan merasa canggung dan kikuk saja. Biarlah aku yang mencuci pakaianmu, yang memasak untukmu, menyediakan semua keperluanmu."

   Diam-diam Lie Kai memuji anak angkatnya yang rajin ini. Alangkah jauh bedanya dengan Lie Eng!

   "Dan bagaimana kalau kelak kau melahirkan? Paling lama dua bulan lagi. Tidak kau jangan membantah, Sui Lan. Aku sudah memesan seorang pembantu, dan aku tidak suka kalau melihat calon cucuku kau bawa-bawa kerja keras!"

   Mendengar ucapan ini, tak terasa lagi teringatlah Sui Lan pada Houw Sin dan air matanya mengalir turun. Lie Kai mengerutkan keningnya dan maklum akan keadaan hati anak angkatnya ini.

   "Sui Lan, kebetulan sekali aku mendapat tugas mengantarkan sejumlah uang ke daerah selatan. Akan kubuka mata dan telingaku baik untuk mencari keterangan perihal Liok Houw Sin, pemuda yang tak berbudi itu."

   Sui Lan terkejut. Ia maklum bahwa Ayah angkatnya ini kalau teringat pada pemuda itu, timbul kebenciannya, dan ia maklum pula akan kekerasan watak Lie Kai. Houw Sin telah pergi dan bagaiman kalau Ayah angkatnya mendapatkan pemuda itu telah menikah lagi? Ia membayangkan dengan hati berdebar, Ayah angkatnya pernah melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap tuan tanah dan pembesar yang mendatangkan malapetaka bagi keluarganya. Ia merasa khawatir sekali kalau-kalau Lie Kai dalam kemarahannya akan membunuh Houw Sin!

   "Ayah, aku hanya setuju kau pergi mencari Houw Sin dengan satu perjanjian."

   "Hmm, apakah itu?"

   "Yakni bahwa apapun juga yang terjadi dengan Liok-Kongcu, kau tidak boleh mengganggunya, tidak boleh... membunuhnya!"

   "Bagaimana kalau dia mengkhianatimu? Kalau dia tidak bersetia dan meninggalkanmu untuk menikah dengan lain orang wanita?"

   "Biarlah Ayah. Kalau demikian halnya, akupun menerima nasib. Dia memang tidak pantas menjadi Suamiku, aku hanya seorang pelayannya. dan... dahulupun dia sudah bertunangan."

   "Ah, begitukah? Siapakah tunangannya itu dan puteri siapa?"

   "Tunangannya adalah puteri seorang Panglima perang bernama Song Liang, kalau tidak salah tunangannya itu bernama Song Bwee Eng. Ayah berjanjilah, kalau kau berhasil menemukan Houw Sin, dan... melihat dia sudah menikah dengan gadis lagi, berjanjilah bahwa kau takkan mengganggunya!"

   "Berat bagiku untuk berjanji demikian, anakku. Bagaimana aku dapat diamkan saja orang yang telah mencelakakan hidup anakku? kalau menurut suara hatiku, pemuda itu hanya tinggal memilih dua jalan, kembali kepadamu atau mampus dalam tanganku!"

   "Ayah...!"

   Sui Lan menutup mukanya dengan penuh kengerian.

   "Jangan... kalau Ayah sampai membunuh dia... aku takkan dapat mengaku kau sebagai Ayahku lagi... aku akan pergi, atau... membunuh diri!"

   Lie Kai menarik nafas panjang dan wajahnya menjadi muram sekali.

   "Ah, nasib! Dua kali aku mempunyai anak perempuan dan keduanya memberatkan seorang pemuda daripada Ayahnya! Ah, sudahlah, agaknya memang semua anak perempuan akan lupa pada Ayahnya apabila mereka sudah mendapatkan jodohnya!"

   Ketika Lie Kai sudah siap hendak berangkat dan telah mendatangkan seorang pembantu perempuan untuk menGurus rumah tangga dan mengawani Sui Lan, anak angkatnya yang mengantar sampai pintu berkata,

   "Ayah, kau belum berjanji. Hatiku takkan tenteram sebelum Ayah mengucapkan janji itu."

   "Baiklah, baiklah! Aku berjanji takkan membunuh Houw Sin. Akan tetapi aku akan menyeretnya ke sini!"

   "Itupun jangan, Ayah. Kalau memang dia sudah menikah atau tidak mau memperdulikan lagi kepadaku, untuk apa kita harus memaksanya? Aku tidak mau memaksanya, Ayah, dan kaupun tentu akan ikut merasa malu melihat aku mendapatkan seorang Suami yang dipaksa-paksa!"

   "Baiklah, aku akan berusaha untuk bersikap sesabar mungkin,"

   Kata Lie Kai yang segera berangkat seorang diri, naik kudanya yang menarik gerobak kecil itu. Setelah hidup bersama anak angkatnya ini, Lie Kai berubah banyak. Pakaiannya bersih dan rapi, tidak seperti dulu lagi.

   Kalau dulu matanya selalu muram, tanda bahwa jiwanya menderita, sekarang nampak cahaya menyinari kemuraman itu. Ia nampak gagah sekali duduk diatas kudanya, tubuhnya yang tinggi tegap itu duduk dengan tegak dan lurus, goloknya terselip di punggung. Sambil melarikan kudanya cepat-cepat, Lie Kai mengenangkan anak angkatnya dengan hati penuh kasihan. Aku harus dapat menemukan pemuda she Liok itu, pikirnya. Ia harus bertanggung jawab, harus dapat mendatangkan kebahagiaan pada Sui Lan. Lie Kai mengambil keputusan untuk mengantarkan barang yang dibawanya secepat mungkin ke tempat tujuan, kemudian akan mempergunakan sisa waktunya untuk mencari Liok Houw Sin. Ia masih mempunyai waktu sebulan lebih, karena paling cepat satu bulan setengah baru Sui Lan akan melahirkan dan ia harus sudah kembali ke rumah sebelum cucunya terlahir.

   Lie Kai merasa yakin bahwa ia pasti akan dapat menemukan pemuda she Liok itu, oleh karena boleh dikata pada setiap kota ia mempunyai kenalan.

   Hubungannya dalam kalangan kang-ouw luas sekali dan nama Thiat-Thouw-Gu Lie Kai bukanlah nama yang tak terkenal. Banyak orang gagah yang siap membantunya. Demikianlah Lie Kai melakukan perjalanan mengawal barang itu sambil mampir-mampir ke setiap kota yang dilaluinya, mencari keterangan perihal pemuda bernama Liok Houw Sin dan panglima bernama Song Liang Kalau yang dicarinya tidak berada disesuatu kota, ia lalu berpesan kepada kenalan-kenalannya di kota itu untuk membantunya menyelidiki. Memang Lie Kai mempunyai hubungan luas sekali, terutama dengan para Piauwsu (pengawal barang kiriman), Kauwsu (Guru silat), para jagoan dan juga para orang gagah di kalangan Lioklim (rimba hijau).

   Baik kita ikuti perjalanan Liok Houw Sin yang dibawa lari oleh Panglima Song Liang calon mertuanya itu. dalam keadaan pingsan Houw Sin dipanggul oleh Panglima Song dan dibawah lari menyusul rombongan keluarganya yang telah mengungsi meninggalkan Kotaraja menuju ke selatan.

   Karena Song-Ciangkun mempergunakan ilmu lari cepat maka setelah tiba di luar kota, ia dapat menyusul rombongan gerobak yang membawa keluarga berikut barang-barang berharga. Ia lalu menurunkan Houw Sin di dalam kereta dan segera menyuruh para pengemudi membalapkan kendaraan langsung menuju ke kota Lok-Yang di Propinsi Honan. Di kota besar ini Song Liang mempunyai sebuah rumah yang dibuatnya dulu ketika ia bertugas di Propinsi Honan. Ketika siuman dari pingsannya Houw Sin duduk termenung dengan hati sedih sekali. Peristiwa yang menimpa dirinya pada hari itu benar-benar hebat. Kekasihnya lenyap entah ke mana perginya, rumah dibakar musnah dan semua keluarganya tewas! Serasa dalam mimpi ia mengikuti perjalanan rombongan calon mertuanya itu. bahkan berhari-hari berikutnya, ia masih saja melamun bagaikan orang yang kehilangan ingatan.

   Oleh karena Panglima Song Liang memasuki kota Lok-Yang sebagai keluarga biasa, tak seorangpun tahu bahwa dia adalah bekas panglima dari Kerajaan yang telah hancur. Selanjutnya iapun tidak pernah menyatakaan keadaan yang sebenarnya, bahkan atas desakannya Houw Sin juga merobah shenya, bukan she Liok lagi, melainkan she Gan. Hal ini perlu dilakukan oleh karena tentara Mancu mulai mendesak terus ke selatan, dan apabila di ketahui ada seorang keturunan Pangeran Liok di situ, tentu akan celakalah nasib mereka sekeluarga, karena nama keluarga Liok telah masuk daftar hitam sebagai bangsawan dan keluarga Raja yang tidak mau takluk terhadap bangsa Mancu. Kemudian, dalam keadaan masih terluka harinya, Houw Sin melangsungkan pernikahan dengan puteri Song Liang, yaitu Song Bwee Eng yang semenjak kecil telah dipertunangkan dengan dia.

   Bwee Eng adalah seorang gadis yang cantik jelita dan juga pandai ilmu silat karena semenjak kecil ia telah dilatih oleh Ayahnya. Sesungguhnya, Houw Sin amat berat untuk melangsungkan pernikahannya itu, karena hatinya masih selalu terkenang kepada kekasihnya, Sui Lan. Di manakah adanya kekasihnya itu? alangkah terharu dan gelisah rasa hatinya kalau ia teringat betapa gadis itu tidak mempunyai seorangpun di dunia ini yang dapat menolongnya. Masih hidup atau sudah matikah dia? Pikiran ini membuat ia seringkali duduk melamun dan pada hari-hari pertama, ia seakan-akan tidak mengacuhkan isterinya sama sekali. Baiknya Bwee Eng adalah seorang gadis yang baik. Ia dapat menduga bahwa tentu suamiya itu masih bersedih, teringat akan orang-tuanya yang tewas di tangan para penjahat Mancu. Pandai sekali ia menghibur suaminya, sedikitpun tak pernah marah melihat sikap suaminya yang dingin.

   Bwee Eng adalah seorang gadis yang memiliki watak keturunan Panglima Song, yakni jujur, setia dan gagah. Begitu melihat suaminya ketika dipanggul oleh Ayahnya dulu itu, ia telah merasa sayang dan suka. Bagi seorang gadis di masa itu, betapapun rupa calon suami yang dipilihkan oleh orang-tuanya, calon suami yang hanya dapat dijumpainya pada perayaan pernikahan, ia harus memaksa hatinya untuk merasa sayang dan suka. Tergantung kepada nasibnya apakah ia akan mendapat seorang suami yang tampan dan goblok, ataukah seorang suami yang bopeng dan goblok! Maka Bwee Eng merasa gembira dan beruntung sekali melihat suaminya ternyata seorang pemuda yang jauh melampaui harapannya dalam hal ketampanan dan kepandaian, hanya sedikit disayangkannya bahwa pemuda itu tidak mengerti ilmu silat.

   "Tidak apa,"

   Pikir gadis ini dengan hati gembira, setelah ia menjadi suamiku, ia dapat mempelajarinya dariku dan aku dapat menambah pengetahuan satra daripadanya!"

   Oleh karena itu, dengan amat sabar dan penuh kasih sayang, Bwee Eng menghibur suaminya yang nampak termenung dan selalu bermuram durja.

   "Mengapa kau selalu bersedih?"

   Demikian katanya dengan suara halus.

   "Sungguhpun peristiwa yang menimpa keluarga mendiang Gakhu (Ayah mertua) amat menyedihkan akan tetapi harap kau ingat bahwa bukan hanya kita saja yang tertimpa bencana ini. Masih ada ribuan orang lain yang mengalami penderitaan seperti kita, ada yang kematian anak, orang-tua, ada suami-isteri yang terpisah karena suami atau isterinya tewas, bahkan ada yang kehilangan tunangan dan kekasih. Betapapun juga, kita masih dapat bertemu kembali, bahkan dapat melangsungkan pernikahan kita. Ini berarti bahwa kita memang berjodoh, maka harap kau suka melihat mukaku dan janganlah selalu bermuram. Kalau kau lanjutkan kesedihanmu lalu jatuh sakit, bukankah kita sekeluarga akan menderita semua?"

   Bwee Eng sama sekali tidak menduga bahwa kemuraman wajah suamiya itu sebagian besar karena teringat kepada seorang kekasihnya. Adapun Houw Sin mendengar ucapan isterinya ini, agak teranglah mukanya.

   "Benar,"

   Katanya di dalam hati.

   "tidak hanya aku sendiri yang kehilangan Sui Lan, masih banyak orang lain yang mengalami nasib seperti aku. dan bukanlah dosaku kalau Sui Lan tidak jadi hidup di sampingku untuk selamanya, ini adalah akibat perang!"

   Semenjak hari itu ia mulai menjadi biasa lagi dan dapat merasai kebaikan hati isterinya. Diam-diam ia bersukur karena dengan adanya Bwee Eng sebagai seorang isteri yang bijaksana, lambat laun akan terlupa juga keadaan Sui Lan. Bahkan ia mulai belajar ilmu silat dari isterinya itu untuk menyehatkan tubuh. Timbullah kembali kegembiraan hidupnya. Ayah mertuanya kini membuka sebuah toko yang cukup besar, dengan modal barang-barang perhiasan yang dibawa mengungsi dari Kotaraja. Ia membantu pekerjaan mertuanya itu dan perdagangan hasil bumi di toko itu sebentar saja mengalami kemajuan yang baik sekali. Beberapa bulan telah lewat tak terasa.

   Houw Sin yang kini telah berganti she menjadi Gan Houw Sin, hidup dengan tenang dan tenteram. Sungguhpun ia seorang keturunan Pangeran dan mertuanya juga seorang bangsawan, namun mereka semua dapat menindas perasaan keningratan yang seringkali timbul yang membuat mereka merasa seakan-akan lebih tinggi derajatnya dari orang lain, dan berlaku biasa saja. Betapapun juga, sikap dan keadaan mereka masih jelas nampak bahwa mereka memang berbeda dengan umum. Mereka memiliki kesopanan dan kehalusan yang lebih tinggi, serta memiliki keangkuhan yang membuat mereka nampak sombong dimata umum. Pada suatu hari, ketika Song Liong, dan mantunya melayani langganan yang datang berbelanja ke toko mereka, tiba-tiba muncul seorang laki-laki tinggi besar yang memandang kepada Houw Sin dengan tajam, lalu sebelum ia ditanya, ia berkata dengan keras.

   "Liok Houw Sin, aku datang untuk membawamu pulang. Kau harus kembali kepada anakku Sui Lan!"

   Bukan main terkejutnya hati Houw Sin mendengar disebutnya nama ini. Setahunya, Sui Lan tidak mempunyai Ayah, bagaimana orang kasar ini datang-datang mengaku sebagai Ayah Sui Lan?

   "Aku aku bukan seorang she Liok..."

   Katanya gagap.

   "Ha, ha ha! Orang lain boleh kau tipu, akan tetapi aku Thiat-Thouw-Gu Lie Kai tidak mudah dibodohi. Hayo ikut, atau aku harus melakukan kekerasan?"

   Sambil berkata demikian, tangannya diulur maju hendak menangkap Houw Sin. Biarpun baru beberapa bulan mempelajari ilmu silat, namun Houw Sin sudah mempunyai kegesitan untuk melompat mundur. Akan tetapi, Lie Kai segera bergerak maju dengan cepat sekali dan tahu-tahu Houw Sin merasa betapa lengan tangannya terpegang oleh sebuah tenaga yang amat kuat.

   "Mau tidak mau, kau harus ikut!"

   Bentak Lie Kai. Pada saat itu, tiba-tiba dari belakang si Kerbau Kepala Besi terdengar bentakan nyaring.

   "Orang kasar darimanakah berani datang membikin kacau?"

   Dan Lie Kai terkejut sekali ketika merasa ada sambaran angin keras dari belakang. Terpaksa ia melepaskan Houw Sin dan tangannya menyampok kebelakang.

   "Duk!"

   Dua buah lengan yang sama keras dan kuatnya beradu, dan Lie Kai makin heran dan terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa lengan itu cukup memiliki tenanga lweekang yang tinggi. Ia memandang dan meihat seorang yang sebaya dengan dia, juga bertubuh tinggi besar dan bermata tajam berdiri di depannya. Orang ini adalah Panglima Song yang menjadi marah melihat mantunya ditangkap orang. Ia juga terkejut ketika mendengar nama Thiat-Thouw-Gu karena nama ini sudah cukup terkenal, akan tetapi ia pura-pura tidak mengenalnya dan segera menyerang dari belakang. Akan tetapi tangkisan lengan Thiat-Thouw-Gu Lie Kai membuat ia maklum bahwa orang ini memiliki kepandaian yang tinggi. Lie Kai tertawa bergelak dan sikapnya yang menyeramkan membuat para pembeli yang datang berbelanja lari ketakutan.

   "Ha, ha, ha! Kau tentulah Song-Ciangkun yang menjadi mertua Houw Sin. Bagus, bagus! Betapapun juga, Liok Houw Sin harus kubawa pergi. Hayo, Houw sin, kau harus ikut denganku!"

   Kembali ia hendak maju menangkap Houw Sin yang berdri dengan muka pucat, akan tetapi dengan sekali gerakan saja tubuh Song Liang telah melompat dan menghadang di depan Lie Kai.

   "Jangan main gila di rumah orang lain!"

   Bentaknya.

   "Orang muda ini benar bernama Houw Sin, akan tetapi ia she Gan, bukan she Liok. Dan ia adalah anak mantuku, kau datang-datang hendak menculiknya, sungguh kau berani mati!"

   "Siapa menculik? Ia akan kuajak pulang ke empat di mana ia harus berada."

   "Kau gila!"

   Bentak Song Liang marah.

   "Hayo pergi dari sini!"

   Sambil berkata demikian, ia membuat gerakan mendorong dengan kedua lengannya ke arah dada Lie Kai. Dorongan ini merupakan serangan yang hebat sekali, karena inilah gerak tipu yang disebut Siang-Jiu Kwi-San (Sepasang Tangan Mendorong Bukit) dan mengandung tenaga ratusan kati. Lie Kai merasa betapa angin dorongan itu menyambar, maka maklumlah ia bahwa tenaga lawannya ini tak boleh dibuat gegabah. Melihat bahwa tempat di dalam toko itu sempit dan penuh barang-barang, ia lalu mengerakkan tubuh ke belakang dan melompat keluar.

   "Song Liang, jangan kau kira aku takut kepadamu! Kalau kau menghendaki pertempuran, aku Thiat-Thouw-Gu Lie Kai tidak akan mundur!"

   Song Liang juga marah sekali. Ia mengejar dan melompat pula keluar sehingga kedua orang-tua tinggi besar itu telah berhadapan di halaman toko. Sementara itu, pelayan toko yang melihat betapa majikan muda mereka hendak dibawah lari orang, segera berlari-lari ke dalam dan mengabarkan hal ini kepada Bwee Eng. nyonya muda ini dengan marah lalu mencabut sepasang pedangnya, senjata yang istimewa ia pelajari dengan baik, lalu berlari keluar. Ia melihat suaminya berdiri dengan muka pucat dan melihat Ayahnya sedang menghadapi seorang laki-laki tinggi besar yang tersenyum-senyum.

   "Lie Kai,"

   Kata Song Liang dengan muka marah.

   "Dahulu aku pernah mendengar namamu yang dipuji-puji sebagai seorang perampok gagah perkasa dan budiman. Tidak tahunya kau hanya seorang penculik rendah belaka. Kalau kau memang seorang gagah perkasa, ceritakanlah dahulu duduknya perkara mengapa kau hendak menculik mantuku!"

   Lie Kai tidak mau membuka rahasia anak angkatnya, karena hal itu hanya akan mendatangkan cemar dan hinaan dari fihak mertua Houw sin maka ia hanya menjawab.

   "Kau tak perlu tahu, aku tidak pernah mempunyai urusan dan permusuhan dengan kau. Aku datang hanya karena urusanku dengan Liok Houw Sin. Ia harus ikut denganku dan siapapun yang akan menghalangi kehendakku ini, akan berkenalan dengan kepalan dan golokku!"

   "Bagus, hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu maka kau menjadi sesombong ini!"

   Kata Song Liang sambil bersiap-siap untuk menyerang. Akan tetapi, pada saat itu tiba-tiba terdengar bentakan merdu.

   "Bangsat rendah, kau berani hendak menculik suamiku?"

   Berbareng dengan bentakan itu, berkelebat bayangan hijau dan cepat Lie Kai mengelak ketika ia melihat dua buah sinar pedang menyerangnya dengan cepat.

   "Bwee Eng... jangan!"

   Seru Song Liang yang maklum bahwa puterinya itu bukanlah lawan Lie Kai dan bahwa keadaan Bwee Eng pada waktu itu tidak mengijinkan nyonya muda itu membuat gerakan pertempuran. Sementara itu, ketika mendengar bentakan Bwee Eng, Lie Kai memandang tajam dan ia melihat seorang nyonya muda yang cantik jelita dalam keadaan sudah mengandung berdiri didepannya dengan siang-kiam (sepasang pedang) di tangan. Perih hatinya melihat hal ini.

   "Ah"

   Kau tentu isteri Houw Sin yang tidak setia itu!"

   Ia menghela napas.

   "Dan kau sudah mengandung pula...! Aku tidak mau melawanmu, Toanio. Kau masuk dan beristirahatlah. Aku hanya hendak meminjam suamimu sebentar saja."

   "Jahanam jangan banyak mulut!"

   Song Liang membentak dan segera menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah lambung lawannya. Pukulan ini keras sekali dan melihat lawannya menggunakan serangan dengan gerakan Pek-Wan Hian-Tho (Lutung Putih Persembahkan Buah), Lie Kai cepat membuat gerakan Loh-Be (gerakan membalik) kemudian membalas dengan serangan dari ilmu silatnya yang lihai,

   Yakni ilmu silat Sha-Kak Kun-Hwat (Ilmu Silat Segi Tiga). Song Liang adalah seorang panglima tua yang memiliki ilmu silat tinggi, karena ia adalah murid dari perGuruan silat Thai-Kek-Pai, dan disamping ilmu kepandaiannya yang tinggi, iapun telah mempunyai pengalaman luas dalam pertempuran besar. Akan tetapi, menghadapi sepak terjang Lie Kai yang mempergunakan Ilmu Silat Segi Tiga ini, ia terdesak juga. Pertempuran berjalan sengit dan sungguhpun kedua orang-tua itu tidak bergerak cepat, namun setiap gerakan kaki tangan mendatangkan angin yang kuat sekali. Bwee Eng tidak berani membantu Ayahnya karena ia maklum akan ketinggian hati Ayahya yang memegang aturan keras dan junjung tinggi keadilan pertempuran.

   Ayahnya takkan sudi mengeroyok, walaupun lawannya pandai dan berbahaya. Lagipula, Bwee Eng maklum dari gerakan orang tinggi besar yang hendak menculik suaminya itu, bahwa kepandaiannya masih kalah jauh dan biarpun ia mempergunakan sepasang pedang, agaknya ia takkan kuat menghadapi sambaran angin pukulan yang demikian dahsyat. Sementara itu Houw Sin masih berdiri dengan dada berdebar kalut. Ia tidak takut kepada Lie Kai, tidak mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri. Yang membuat ia gelisah dan membuat tubuhnya gemetar adalah disebutnya nama Sui Lan tadi! Ketika Bwee Eng mendekatinya dengan sikap seakan-akan hendak melindungi suaminya itu, Houw Sin memegang tangan Bwee Eng dan nyonya muda ini merasa heran karena telapak tangan suaminya terasa amat dingin.

   "Jangan takut..."

   Ia menghibur, akan tetapi ketika ia melihat jalannya pertempuran, ia merasa gelisah juga. Ternyata bahwa ilmu silat Sha-Kak Kun-Hwat dari Lie Kai itu benar-benar hebat sekali. Serangan tangan dan kaki datang bertubi-tubi, menyerang dari tiga sudut, dan perlahan akan tetapi tentu Song Liang mulai terdesak mundur.

   Song Liang juga maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan kalah. Tiba-tiba ia mempercepat gerakannya dan dengan nekat ia membalas dengan serangan-serangan mematikan. Ia mengerahkan tenaga lweekang pada kedua tangannya dan menyerang dengan pukulan Cio-To Thian-Keng (Batu Meledak Langit Gempar) yang datangnya bertubi-tubi. Setiap pukulan mengandung tenaga yang luar biasa besarnya karena ia telah mengerahkan ilmu pengerahan tenaga yang disebut Lui-Kong-Ciang (Tangan Geledek). Song Liang menyerang tanpa memperdulikan keselamatan diri sendiri dan terang bahwa ia hendak mengadu jiwa. Ketika Lie Kai cepat mengelak mundur, Song Liang mengeluarkan senjatanya yang lihai, yakini sabuknya yang terbuat daripada perak. Ikat pinggang ini merupakan rantai yang panjangnya kira-kira lima kaki dan dapat bergerak cepat.

   "Orang she Lie, kalau kau hendak melanjutkan maksudmu yang jahat, terpaksa aku melayani dengan senjata!"

   "Ha,ha,ha! Ternyata kau cukup gagah akan tetapi jangan kira bahwa rantai itu membikin aku jerih. Niatku sudah tetap, Houw Sin harus ikut dengan aku!"

   Sambil berkata demikian, Lie Kai mencabut golok yang terselip pada punggungnya!

   "Thiat-Thouw-Gu! Selama masih ada aku, jangan harap kau akan dapat berlaku kurang ajar terhadap mantuku!"

   Teriak Song Liang sambil memutar ikat pinggangnya.

   

Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini