Naga Merah Bangau Putih 3
Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Gakhu (Ayah mertua), tunggu dulu...!"
Tiba-tiba Houw Sin berseru sambil berlari menghampiri.
"Biarkan.. biarkan aku ikut dengan dia...!"
Tahu-tahu Bwee Eng sudah berdiri di sebelahnya dan nyonya muda ini memegang tangan suaminya.
"Kau kenapakah? Siapakah dia ini dan mengapa pula kau mau ikut dengan dia?"
Song Liang juga memandang kepada Houw Sin dan berkata dengan suara keren.
"Hiansai (mantu), sebetulnya apakah yang terjadi? Siapakah orang yang bernama Sui Lan? Apa hubungannya dengan kau?"
Lie Kai tertawa bergelak.
"Nah, biarlah kalian mendengar sendiri penuturannya!"
Dengan perih hati Houw Sin memandang isterinya dan kemudian ia bercerita dengan suara perlahan.
"Sesungguhnya, Sui Lan adalah pelayan dari Ayahku... dan... sebelum terjadi peperangan, aku dan Sui Lan telah saling menyinta... sesungguhnya sebelum bertemu dengan kau, Bwee Eng. Aku"
Aku telah bersumpah untuk hidup bersama Sui Lan. Ayah dan Ibu tidak setuju, Sui Lan kubawa keluar dari rumah, kutitipkan pada seorang bekas pelayan, maksudku hendak pergi bersama... kemudian datang perang dan dalam keadaan kacau-balau itu"
Sui Lan lenyap entah kemana, rumah yang ditinggalinya terbakar. Kemudian, aku melihat betapa rumah Ayahpun terbakar dan semua keluargaku musnah! Lalu aku bertemu dengan Gakhu dan dibawa ke sini... Kukira Sui Lan telah meninggal dunia, dan sekarang... sekarang"
Lo-Enghiong (orang tua gagah) ini datang mengajakku kepada Sui Lan..."
Pucatlah muka Bwee Eng mendengar ini dan dua titik air mata melompat keluar dari matanya. Melihat wajah isterinya, Houw Sin cepat menyambung.
"Percayalah, Bwee Eng, sungguh aku mencintaimu dan kaulah isteriku! Aku tidak memikirkan Sui Lan lagi selama ini, kukira ia telah tewas. Sekarang biarkan aku pergi kepadanya untuk menerangkan bahwa kini tak mungkin aku menjadi suaminya""
"Bangsat tak berbudi!"
Seru Lie Kai marah.
"Kau mau menyia-nyiakan anakku begitu saja? Tidak! kau harus ikut sekarang juga!"
Ia melompat ke depan hendak menyambar tangan Houw Sin, akan tetapi tiba-tiba Bwee Eng menyerangnya dengan pedang di tangan. Lie Kai menggerakkan goloknya dan trang"!! Kedua pedang di tangan nyonya muda itu terlempar jauh!
"Kau hanya isteri kedua!"
Bentak Lie Kai.
"Ketahuilah bahwa Sui Lan anakku itupun telah mengandung, bahkan sudah hampir melahirkan. Anak itu adalah anak Houw Sin!"
Mendengar ini, makin pucat wajah Bwee Eng dan kalau Houw Sin tidak cepat memeluknya, tentu ia telah roboh di atas tanah. Ia pingsan dalam pelukan Houw Sin.
"Orang she Lie, jangan kau memaksa dan membikin kacau rumah tangga kami!"
Song Liang berteriak sambil melangkah maju. Akan tetapi Lie Kai sudah marah sekali dan ia lalu menggerakkan goloknya menyerang yang ditangkis oleh Song Liang. Dua orang-tua ini bertempur lagi dengan hebatnya, lebih hebat daripada tadi. Rantai perak di tangan Song Liang benar-benar lihai, akan tetapi menghadapi golok di tangan Lie Kai, ia menemui tandingan berat. Baru saja pertempuran berjalan dua puluh jurus, Song Liang berteriak kesakitan dan terpaksa ia melepaskan rantainya dengan tangan kanan terluka oleh golok dan mengalirkan darah. Lie Kai tertawa bergelak lagi dan kini ia menubruk maju ke arah Houw Sin yang masih sibuk berusaha menyadarkan isterinya yang pingsan.
"Kau ikut dengan aku!"
Seru Lie kai sambil memegang pundak Houw Sin. Pegangan ini disertai tekanan pada jalan darah Houw Sin sehingga orang muda ini tiba-tiba merasa tubuhnya lemas tak berdaya lagi. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar seruan perlahan.
"Siancai... siancai... Manusia kasar dari manakah berani berlaku sewenang-wenang?"
Lie Kai merasa terkejut sekali ketika merasa betapa angin pukulan yang hebat telah membuat pundaknya tergetar. Ia maklum bahwa ada lawan lihai sekali sedang menyerang jalan darah di bagian pundaknya, maka cepat ia menggulingkan tubuh dan menghindarkan diri dari serangan itu. Ketika ia melompat bangun, ia melihat bahwa serangan tadi dilakukan oleh seorang Tokouw (Pendeta perempuan) yang memegang sebuah hud-tim (kebutan dewa) berbulu putih. Pendeta perempuan itu, sudah tua, sedikitnya berusia lima puluh tahun, rambutnya telah berwarna dua, akan tetapi mukanya masih nampak nyata bahwa dahulunya ia tentu seorang wanita cantik. Wajahnya amat ramah dan senyum manis selalu menghias mulutnya. Ketika Song Liang melihat Tokouw ini, iapun terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyebut,
"Siankouw"
Teecu Song Liang mohon maaf tak dapat menyambut kedatangan Siankouw sebagaimana mestinya."
"Kisu (orang gagah), jangan terlalu sungkan. Ada urusan apakah maka orang kasar ini hendak mengganggumu?"
Sebelum Song Liang menjawab, Lie Kai telah maju dan membentak.
"Kau adalah seorang Pertapa, mengapa bersikap tidak adil dan jail?"
Tokouw itu tersenyum sabar.
"Bagaimana kau menganggap Pinni (aku) tidak adil?"
"Sebelum mengetahui duduknya perkara, datang-datang kau telah menyerangku dan membela sepihak. Apakah ini adil namanya?"
"Hm, biarpun kau kasar dan jujur, akan tetapi kau bodoh. Pinni tidak menyerangmu, hanya berusaha agar supaya kau tidak mengganggu anak muda itu, kalau Pinni menyerang, apakah kau masih akan dapat berdiri dan bicara?"
"Tokouw sombong! Apa kau kira aku Thiat-Thouw-Gu Li Kai mudah dirobohkan begitu saja?"
Tokouw itu memperlebar senyumnya dan meng-angguk-angguk.
"Aah, tidak tahunya kaukah yang bernama Thiat-Thouw-Gu Lie Kai? Pantas, pantas! Pernah Pinni mendengar tentang kekasaranmu. Sesungguhnya, kaupun terhitung orang segolongan, mengapa kau melakukan perbuatan mengganggu Song-Kisu?"
"Kau siapakah dan perduli apakah kau akan urusanku?"
Tanya Lie Kai yang masih marah sekali.
"Pinni bernama Oei Lian Niang-Niang dari Cin-Ling-San."
Lie Kai terkejut, karena ia pernah mendengar tentang tiga tokoh persilatan yang telah dianggap menduduki tempat tertinggi diantara tokoh-tokoh lain, yakni yang disebut Sam-Lian Sianli atau Tiga Dewi Teratai dari bukit Cin-Ling-San di Propinsi Shensi! Dan menurut pendengarannya mereka itu bernama Pek Lian Niang-Niang, Ang Lian Niang-Niang dan Oei Lian Niang-Niang. Jadi yang berhadapan dengan dia ini adalah tokoh termuda daripada ketiga dewi itu! Akan tetapi Lie Kai adalah seorang gagah yang tak pernah mengenal artinya takut. Ia menggerak-gerakkan goloknya dan berkata dengan keras.
"Hm, Oei Lian Niang-Niang jauh-jauh turun dari Gunung Cin-Ling-San, apakah hanya hendak menghina aku yang lebih muda?"
"Bukan begitu, Lie-Sicu. Pinni tidak sekali-kali menghina orang lain. Akan tetapi Pinni yang kebetulan lewat di sini, dan melihat keributan di sini, maka tak dapat tiada Pinni harus memisah. Sebenarnya, apakah yang terjadi?"
"Aku tidak perlu memberitahukan urusanku kepada orang lain!"
Jawab Lie Kai. Oei Lian Niang-Niang tetap bersabar, lalu berpaling kepda Song Liang dan bertanya.
"Song-Kisu, sesungguhnya apakah yang telah terjadi?"
"Siankouw, Lie Kai ini dengan kekerasan dan secara memaksa hendak membawa pergi menantu. Teecu."
Tokouw itu mengerutkan kening dan memandang kepada Lie Kai lalu bertanya,
"Lie-Sicu, sungguh aneh sekali terdengarnya keterangan Song-Kisu ini. Mengapakah kau hendak membawa pergi anak mantu orang?"
"Oei Lian Niang-Niang, kuharap kau orang-tua jangan ikut-ikut mencampuri urusan pribadi ini. Betapapun juga sudah menjadi niatku untuk membawa Houw Sin ini pergi bersamaku. Kalau kau hendak menghalangi jangan kira bahwa aku Lie Kai takut kepadamu."
"Lie-Sicu,"
Kata Tokouw itu tak senang sungguhpun ia masih tersenyum.
"Orang yang tidak mau menuturkan alasan perbuatannya, tentulah berada di fihak salah, maka terpaksa Pinni melarang kau mempergunakan kekerasan mengandalkan kepandaianmu."
"Bagus, rasakan golokku!"
Seru Lie Kai yang segera menyerang hebat dengan golokya. Lie Kai sebetulnya adalah murid seorang Hwesio (Pendeta Budha) bernama Lam Kong Hwesio, seorang tokoh Thai-Liang-Pai, yakni perGuruan silat yang berpusat di Gunung Thai-Liang di Propinsi Secuan.
Ilmu goloknya adalah cabang dari ilmu golok Siauw-Lim-Pai yang telah banyak berobah, maka kehebatannya juga luar biasa. Ditambah pula dengan tenanga lweekangnya yang sudah tinggi, maka gerakan goloknya demikian cepat sehingga yang nampak hanya segulung sinar putih saja menyambar-nyambar. Akan tetapi, begitu Oei Lian Niang-Niang mengangkat hud-tim putih di tangannya, Lie Kai berseru karena terkejut dan heran, karena entah bagaimana, bulu hud-tim itu telah melibat goloknya dan betapapun ia membetot, goloknya tak dapat terlepas dari hud-tim itu. Ia merasa heran sekali dan menyangka bahwa Tokouw itu tentu mempergunakan ilmu sihir, maka sambil membentak marah ia memukul dengan tangan kirinya ke arah pundak kanan Tokouw itu.
"Tokouw siluman, rasakan pukulanku!"
Pukulan ini hebat sekali dan kalau mengenai sasarannya, tentu pundak Tokouw itu akan remuk tulangnya, atau setidaknya ia tentu terpaksa akan melepaskan libatan hudtimnya. Benar saja, Oei Lian Niang-Niang tidak berani menyambut pukulan ini dan secepat kilat ia menarik kembali kebutannya dan mengelak dari pukulan lawan. Akan tetapi ia tidak hanya mengelak biasa saja karena segera disusul dengan pukulan tangan kiri yang menyampok ke arah jalan darah di leher Lie Kai. Si Kerbau Kepala besi terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur menghindarkan diri dari serangan ini. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tanah, tiba-tiba tubuh Tokouw itu berkelebat cepat dan kebutannya berkelebat, digerak-gerakkan di depan muka Lie Kai yang menjadi pening dan tak dapat menjaga pula ketika ujung kebutan itu bergerak secepat anak panah meluncur dan menotok tulang pundaknya.
"Krek!"
Ketika ujung hud-tim yang berbulu lemas itu menotok, bulu pundak hud-tim itu berobah menjadi sedemikian kerasnya seperti tongkat baja dan sambungan tulang pundak Lie Kai terlepas! Lie Kai meringis kesakitan dan tentu saja ia tak dapat melawan terus.
"Terima kasih, Oei Lian Niang-Niang, aku telah mendapat pelajaranmu. Lain kali kita bertemu pula!"
Katanya dan ia segera melompat sambil menggunakan tangan kiri memegangi pundak. Melihat betapa Lie Kai yang tulang pundaknya telah terlepas sambungannya itu masih kuat memegangi goloknya dan pergi tanpa mengeluh sedikitpun juga, Oei Lian Niang-Niang tergerak hatinya karena kagum dan kasihan.
"Lie-Sicu, tunggu dulu Pinni menyambung kembali tulang pundakmu."
Akan tetapi, tanpa menengok Lie Kai berkata,
"Terima kasih, aku tidak membutuhkan pertolonganmu!"
Dan berlarilah ia makin cepat, meninggalkan tempat itu dengan muka merah. Oei Liang Niang-Niang menggeleng kepalanya dan berkali-kali menarik napas.
"Aah, sayang... Ia seorang yang gagah dan jujur. Sayang ia keras hati sekali."
Luka di tangan Song Liang tidak parah dan mereka lalu masuk ke dalam rumah. Bwee Eng sudah siuman kembali dan kini nyonya muda ini menangis sedih. Di dalam kamar mereka, Houw Sin berlutut minta ampun kepada isterinya.
"Bwee Eng, kau ampunkanlah aku... aku dulu tidak menceritakan hal ini kepadamu, karena aku khawatir kalau-kalau kau marah dan berduka. Sesungguhnya"
Hal ini telah lama lewat dan... dan aku hanya menyinta kau seorang. Percayalah kepadaku""
Dengan merengut Bwee Eng menjawab,
"Aku tidak perduli kau menceritakan hal itu kepadaku atau tidak, juga tidak perduli kau menyintanya atau tidak. akan tetapi, tidak dengarkah kau tadi bahwa Sui Lan telah mengandung? Kau tidak tahu perasaan seorang wanita! Bagaimana rasanya seorang wanita yang dipermainkan kemudian ditinggal pergi setelah mengandung? Kau laki-laki enak saja bermain cinta tanpa khawatir akan mendapat kesukaran! Hm, kalau aku menjadi Sui Lan dipermainkan seperti itu, akan kucari laki-laki yang mempermainkan aku dan akan kubunuh dia! aku kupenggal lehernya, akan kubelah dadanya, kukeluarkan hatinya!"
"Bwee Eng"!"
Houw Sin menjerit sambil menutupi mukanya.
"Kasihanilah aku, Bwee Eng! Jangan kau menginjak-injak hatiku yang telah hancur! Apa kau kira aku seorang laki-laki yang demikian rendah dan tak bertanggung jawab? Sudah kukatakan tadi, bahwa tadinya aku tidak bermaksud meninggalkan Sui Lan. Kalau tidak terjadi penyerbuan musuh ke dalam Kotaraja, tentu takkan terjadi hal ini, mungkin aku takkan bertemu dengan kau selama hidupku! Akan tetapi"
Keadaan sudah begini"
Isteriku, kasihanilah aku dan berilah nasihat, apakah yang harus kulakukan?"
Bwee Eng tak dapat menjawab dan ia dapat memahami keadaan suaminya.
"Aku akan menyuruh orang mencari Sui Lan!"
Katanya dengan suara tetap.
"Kasihan dia...!"
Sementara itu, di ruang depan, Song Liang menyambut Oei Lian Niang-Niang. Mereka bercakap-cakap tentang keadaan negara yang kini terjajah oleh bangsa Mancu.
"Song-Kisu,"
Kata Oei Lian Niang-Niang.
"Kedatangan Pinni ini sesungguhnya mempunyai maksud. Orang-orang gagah di daerah selatan mulai mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Mancu. Dimana-mana kawan-kawan kita mengadakan penyerbuan dan berusaha mengusir musuh yang menjajah. Tenaga kita cukup banyak, hanya sayang tenaga pimpinan amat kurang. Dalam pertempuran besar, tidak hanya dapat mengandalkan kepada kepandaian silat perseorangan, harus ada ahlinya yang dapat mengatur barisan dan menghadapi musuh dengan teratur sehingga pihak kita dapat melakukan perlawanan sebaik mungkin. Oleh karena itu, Pinni yang meninjau di daerah selatan, walaupun Pinni sudah terlalu tua dan sudah mencuci tangan untuk ikut mencampuri usaha para pejuang itu, namun melihat kekurangan akan tenaga pimpinan ini, membuat Pinni merasa tak tega. Pinni teringat bahwa Kisu adalah seorang bekas panglima besar yang banyak pengalaman dan dalam hal ilmu peperangan, kepandaian Kisu jauh lebih tinggi daripada para pemimpin yang ada. Maka, apabila Kisu tidak berkeberatan masih mempunyai semangat cinta tanah air, Pinni atas nama semua pejuang mengharap bantuanmu untuk memimpin para pejuang di daerah selatan sepanjang Sungai Huai!"
Tergeraklah hati Song Liang mendengar ucapan ini. Setelah berpikir beberapa lamanya, ia menjawab dengan suara tetap.
"Baik, Siankouw. Teecu menerima tugas ini, akan tetapi Teecu sebaliknya mohon pertolongan Siankouw."
Oei Lian Niang-Niang tersenyum girang dan menjawab.
"Pertolongan apakah, kisu?"
"Sebagaimana Siankouw menyaksikan sendiri tadi, tanpa alasan Lie Kai telah memusuhi kami dan terus terang saja, Teecu tidak dapat mengalahkannya. Apabila kalau Teecu sudah pergi, bagaimana kalau dia datang kembali dan mengacau rumah tangga anak Teecu? Di dalam rumah Teecu, yang mempunyai sedikit kepandaian hanya Bwee Eng seorang, akan tetapi sekarang ia berada dalam keadaan mengandung. Oleh karena itu, Teecu mau pergi membantu perjuangan melawan musuh, asal saja Siankouw sudi menjaga keselamatan Bwee Eng dan suaminya sampai anak yang dikandungnya terlahir dengan selamat, kemudian Siankouw menurunkan beberapa kepandaian silat kepada Bwee Eng yang kiranya dapat dipergunakan untuk menghadapi Lie Kai."
Oei Lian Niang-Niang mengangguk-angguk.
"Baiklah, Pinni juga tidak mempunyai urusan sesuatu. Akan Pinni lakukan permintaanmu itu."
Demikianlah, dua hari kemudian setelah mendapat petunjuk dari Oei Lian Niang-Niang ke mana ia harus menggabungkan diri dengan para pejuang, berangkatlah Song Liang menunggang kuda. Oei Lian Niang-Niang tinggal di rumah itu dan Houw Sin melanjutkan perdagangan mertuanya seperti biasa. Hatinya merasa aman dan tenteram karena dengan adanya Tokouw itu di situ, ia tak perlu takut kepada siapapun juga. Akan tetapi semenjak terjadi peristiwa itu, lenyaplah kegembiraannya.
Ia seringkali duduk melamun dan terbayanglah wajah Sui Lan di depan matanya. Bwee Eng kini bersikap dingin saja kepadanya dan lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bercakap-cakap bersama Tokouw itu, mempelajari teori-teori ilmu silat tinggi. Mulai menyesallah hati Houw Sin mengingat akan semua perbuatannya di masa lampau. Tak pernah disangkanya bahwa dulu ketika imannya lemah dan runtuh menghadapi nafsu hatinya, kini mendatangkan malapetaka besar dan mendatangkan kesedihan yang tak dapat dihibur lagi, kerusakan yang tak dapat diperbaiki lagi. Ia merasa menyesal mengapa ia dahulu tidak mempelajari ilmu silat, kalau ia memiliki kepandaian tinggi, tentu sekarang ia telah ikut pergi bersama Ayah mertuanya untuk mengabdikan jiwa raganya kepada tanah air, ikut berjuang mengusir penjajah.
Luka di pundak Lie Kai masih terasa ringan apabila dibandingkan dengan luka hatinya. Kekalahannya terhadap Oei Lian Niang-Niang tidak membuatnya sakit hati, karena ia maklum bahwa kepandaian Tokouw itu masih jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
Kepandaian Tokouw itu masih beberapa tingkat lebih tinggi daripada kepandaiannya. Yang membuat ia merasa perih di dalam hatinya adalah kenyataan bahwa Houw Sin telah menikah dan bahkan telah hampir mempunyai anak. Alangkah akan kecewanya dan hancurnya perasaan anak angkatnya. Karena memikirkan Sui Lan inilah yang membuatnya merasa begitu berkasihan sehingga menyakitkan hatinya! Luka pada pundaknya masih mudah disembuhkan. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja ia tahu cara bagaimana harus mengobati pundaknya. Akan tetapi memikirkan keadaan Sui Lan benar-benar membingungkan hatinya dan ia tidak tahu bagaimana harus menceritakan kepada anak angkatnya itu tentang Houw Sin.
Dengan susah payah ia telah mencari Houw Sin dalam perjalanan hampir dua bulan lamanya. Dan setelah bertemu, ternyata tidak saja perjalanannya itu sia-sia belaka, bahkan ia mendapat luka! Ia teringat bahwa waktu itu telah tiba masanya Sui Lan melahirkan. Maka setelah mengobati pundaknya,ia segera mempercepat perjalanannya menuju pulang ke An-Sin-Kwan. Ketika ia tiba di rumah, Sui Lan menyambutnya dengan girang. nyonya muda ini sudah merasa bahwa tak lama lagi ia tentu akan melahirkan dan tidak adanya Ayah angkatnya membuat hatinya amat gelisah. Selama ini ia telah menanggung derita yang bukan main hebatnya, dan sungguhpun pada lahirnya, ia nampak sehat dan gembira apabila bercakap-cakap dengan Ayah angkatnya, namun sesungguhnya hatinya selalu berdarah dan luka di hatinya kambuh pula apabila ia teringat akan Houw Sin.
"Ayah, bagaimana? Apakah Ayah bertemu dengan dia"?"
Tanyanya segera setelah Ayah angkatnya duduk dan minum air teh. Lie Kai menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
"Tidak, tidak bertemu..."
Katanya singkat. Ia segera menundukkan mukanya ketika melihat betapa kecewa wajah Sui Lan ketika mendengar keterangn ini. Dan semenjak saat itu, Lie Kai selalu duduk termenung. Ia adalah seorang jujur dan berat sekali hatinya menyimpan rahasia pertemuannya dengan Houw Sin. Kalau saja ia tidak ingat bahwa Sui Lan sudah mengandung tua dan amat berbahaya menyampaikan berita tentang keadaan Houw Sin itu, tentu ia telah menceritakan dengan sebenarnya. Sebaliknya, Sui Lan adalah seorang wanita yang cerdik dan ia dapat menduga bahwa tentu Ayah angkatnya menyembunyikan sesuatu. Tidak terlepas dari pandang matanya akan perobahan pada sikap Lie Kai. Maka berkali-kali ia bertanya dan Ayah angkatnya hanya menjawab dengan gelengan kepala dan berkata singkat.
"Tidak bertemu... tidak bertemu..."
Tibalah saatnya Sui Lan hendak melahirkan. Lie Kai nampak gugup dan bingung sekali. Seorang Bidan setengah di pondong dan diseretnya pulang untuk membantu anak angkatnya, dan kemudia ia berjalan mondar-mandir di depan rumah bagaikan seorang gila. Hatinya berdebar-debar, dan ia merasa bingung, gelisah dan takut. Sungguh nampak lucu dan aneh melihat Lie Kai, jago kawakan yang menghadapi lawan berpuluh orang masih dapat tersenyum-senyum itu, kini menghadapi anak angkatnya yang hendak melahirkan, nampak begitu pucat, gugup dan terkenanglah ia kembali kepada masa lalu, di waktu isterinya akan melahirkan anaknya. Karena dulupun seperti itulah keadaannnya. Tiba-tiba pintu terbuka dari dalam dan hampir saja Lie Kai melompat karena kaget. Ia segera memegang lengan tangan Bidan tua itu dan bertanya.
"Bagaimana...? Mengapa kau keluar? Mengapa aku tidak mendengar tangisnya...?"
Lie Kai merasa malu sendiri karena suaranya gemetar.
"Sukar sekali..."
Bidan tua itu menggeleng-geleng kepalanya.
"Perasaan dan hatinya amat terganggu, ia menyebut-nyebut nama Houw Sin dan agaknya amat bersedih hati sehingga ia tidak mempunyai tenaga lagi untuk membantu terlahirnya bayi! Aku khawatir sekali, kau lekaslah berusaha, berilah nasihat kepadanya agar supaya ia jangan berduka."
Mereka masuk ke dalam kamar dimana Sui Lan rebah telentang di atas pembaringan. Seluruh tubuhnya sampai ke lehernya tertutup dengan sehelai selimut. Melihat wajah yang amat pucat bagaikan mayat itu, dengan mulut terbuka menahan sakit, mata di meramkan dan peluh membasahi seluruh mukanya, Lei Kai terkejut sekali dan ia cepat berlutut di dekat pembaringan.
"Eng-ji... Anakku"
Kuatkanlah, nak... kuatkan tubuhmu dan tenangkan hatimu, jangan memikirkan apa-apa..."
Sui Lan membuka matanya, menengok perlahan dan senyum tipis membayang pada Bibirnya. Rasa kasihan yang amat besar terhadap orang-tua ini memenuhi hatinya. Ia maklum bahwa Lie Kai amat menyinta puterinya yang telah meninggalkannya itu, dan sudah beberapa kali, seperti baru saja didengarnya tadi, Lie Kai seringkali keliru meyebutnya seringkali memanggilnya "Eng-ji" (anak Eng), agaknya lupa bahwa dia bukan Lie Eng. Ia tahu bahwa kalau ada Lie Eng di situ, belum tentu Lie Kai akan sayang kepadanya. Ia hanya menjadi pengganti Lie Eng dan di dalam hati orang-tua itu hanya Lie Eng saja yang dicinta dan disayangnya sebagai anak tunggalnya.
"Ayah..."
Katanya lemah.
"Kau tolonglah aku, Ayah... Menurut bidan, aku terlalu berduka dan tak dapat memusatkan perhatian dan pikiran kepada anak yang akan terlahir... Memang aku selalu memikirkan keadaan Houw Sin, Ayah... katakanlah terus terang di mana ia berada dan bagaimana keadaannya. Kalau aku sudah mengetahuinya, agaknya aku akan dapat melenyapkan bayangannya yang mengganggu..."
Lie Kai menggigit Bibirnya, kemudian ia memberi isarat kepada Bidan itu untuk keluar sebentar. Bidan itu menurut dan bertindak keluar, duduk di luar pintu kamar, siap menanti panggilan.
"Sesungguhnya, anakku,"
Katanya sambil memegang pergelangan tangan Sui Lan.
"Sesungguhnya aku telah bertemu dengan Liok Houw Sin."
Sui Lan memandangnya tajam.
"Tentu ia telah menikah Ayah...?"
Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lie Kai mengangguk, tak kuasa menjawab.
"Dengan Song-Siocia puteri panglima itu?"
Kembali Lie Kai mengangguk.
"Isterinya juga sudah mengandung."
Hanya demikian saja ia dapat berkata. Tiba-tiba terdengar Sui Lan tertawa nyaring dan Lie Kai merasa betapa bulu tengkuknya berdiri dan tubuhnya menjadi dingin. Ia seakan-akan melihat mayat tertawa dan dengan melongo ia memandang kepada Sui Lan.
"Ha, ha, ha... bagus, bagus... kau bagaikan kumbang yang menghisap madu kembang, setelah madu habis, kau terbang melayang mencari kembang lain... ha, ha, Houw Sin aku yang bodoh... aku yang dungu"
Yatim-piatu hina-dina, seorang pelayan mengharapkan majikan muda! Dan aku selalu mengenangmu, merindukanmu, mengharap kedatanganmu, dan kau... Kau, bersenang-senang dengan seorang puteri cantik yang lebih tepat menjadi isterimu..."
Kembali ia tertawa dan tiba-tiba ia menangis sedih!
"Sui Lan... Sui Lan... akan kubunuh Houw Sin si keparat itu! Akan kubunuh dia, kucekik lehernya! Aku bersumpah"
"Ayah diam! Jangan kau berkata demikian...! Jangan kau mengganggunya, aku takkan rela kau mengganggu dia yang sudah hidup bahagia! Jangan! Aku tidak berduka lagi, mengapa aku harus berduka? Tidak ada yang mengganggu hatiku lagi, aku bebas kini! Bebas daripada rasa rindu, bebas dari mengharap-harap. Ah, aku kuat melahirkan, mengapa tidak! tidak ada yang kukhawatirkan lagi! Ayah, kau keluarlah dan panggil Bidan itu!"
Dengan menahan air mata, Lie Kai melangkah keluar dan tak lama kemudian, setelah Bidan itu masuk ke dalam kamar, terdengarlah suara yang amat gaduh di dalam kamar itu. Suara jerit bercampur Bidan tercampur dengan suara tangis bayi dan suara keluhan Sui Lan. Tangis bayi itu keras sekali dan Lie Kai berjingkrak-jingkrak di luar kamar. Tangis itu bagaikan nyanyian yang amat merdu, akan tetapi kadang-kadang berubah bagaikan pisau yang menusuk-nusuk hatinya. Ia dikejutkan oleh pekik Bidan itu.
"Lie-Piauwsu! Lie-Piauwsu! Lekas tolong! Aah... bagaimana ini...??"
Lie Kai terkejut dan melompat, menerjang masuk dari pintu. Dan apa yang dilihatnya di dalam kamar, di atas pembaringan itu hampir membuatnya roboh pingsan! Lie Kai adalah seorang yang sudah kenyang akan pertempuran hebat dan darah bukanlah pemandangan yang aneh atau mengerikan baginya, akan tetapi ketika ia melihat betapa darah merah mengucur keluar dari leher Sui Lan, ia merasa ngeri dan terkejut sekali. Ia menubruk ke pinggir pembaringan, tidak memperdulikan akan pakaian dan tangannya yang terkena darah. Ia memegang pundak anak angkatnya, melihat betapa di dekat leher anaknya telah menggeletak sebuah gunting yang berlepotan darah.
"Eng-ji Sui Lan..."
Jeritnya gagap.
"Kau... kau kenapakah...? Ya Tuhan Yang Maha Agung...!"
Orang gagah yang sudah hampir lupa akan nama Tuhan ini kini menyebut nama Thian dengan sepenuh hatinya.
"Mengapa kau lakukan ini, Sui Lan...? Mengapa...??"
Ia menggoyang-goyang pundak anak angkatnya yang sudah lemas dan pucat sekali itu, sedangkan Bidan itu, kini dibantu oleh pelayan rumah tangga yang juga berlari memasuki kamar, sambil menangis merawat bayi yang baru dilahirkan itu. Sui Lan ternyata telah membunuh diri dengan menggunakan gunting yang disediakan untuk memotong pusar bayi! Begitu bayi itu lahir, ia lalu menyaut gunting dan ditusukkan kepada lehernya sendiri! Kini, mendengar jeritan Lie Kai, nyawanya yang sudah melayang keluar itu seakan-akan kembali ke dalam tubuhnya. Ia membuka kedua matanya perlahan-lahan, dan Bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan. Lie Kai harus mendekatkan telinganya ke mulut Sui Lan untuk dapat menangkap kata-katanya.
"Ayah... Jangan ganggu Houw Sin"
Jangan beritahu anakku... Tentang... tentang Ayahnya..."
Setelah berbisik tubuh nyonya muda itu menjadi lemah dan napasnyapun berhenti. Lie Kai perlahan berdiri, kedua tangannya mengepal, dari sepasang matanya mengalir turun air mata di sepanjang pipinya yang penuh keriput dan cambang. Tanpa disadarinya, tiba-tiba semua rambut di kepalanya telah berobah putih! Telah dua kali ia ditinggalkan anaknya! Ia menarik selimut yang menutupi tubuh Sui Lan. Kemudian ia berdiri menatap wajah anak angkatnya itu tanpa bergerak bagaikan patung. Jerit tangis bayi itu menyadarkannya dan ia menengok ke belakang. Kini pelayan itu mendekat dan ketika melihat bahwa Sui Lan telah meninggal dunia, menjerit dan menangislah dia.
"Diam kau!!"
Bentak Lie Kai dengan kerasnya sehingga pelayan itu terkejut dan diam seketika itu juga. Akan tetapi, masih ada yang menangis yakni bayi itu. tangisnya bukan main kerasnya, seakan-akan ia menangisi Ibunya. Bidan itu repot membungkus tubuh kecil itu dengan kain dan berusaha mendiamkannya, akan tetapi anak itu bahkan menangis makin keras. Suara tangis itu mengiris-iris jantung Lie Kai.
"Diam...!! Diam kau...!!"
Bentaknya sambil memandang kepada bayi itu dengan mata merah. Bidan dan pelayan itu terkejut dan takut kalau-kalau Lie Kai akan merampas dan membanting bayi itu. Bidan itu berusaha sedapat mungkin, akan tetapi sang bayi seakan-akan tidak takut kepada bentakan Lie Kai dan menangis makin keras, bagaikan menantang.
"Diam...! Tutup mulutmu...!!"
Lie Kai membentak lagi dan kemudian ia menjambak-jambak rambutnya sendiri sehingga ada beberapa genggaman rambut yang jebol, lalu ia berlari ke luar dari kamar sambil masih berteriak-teriak
"Diam...! Diam...!! Sampai di dalam kamarnya sendiri Lie Kai melemparkan tubuh di atas pembaringan dan rebah menelungkup dengan perasaan hancur.
Setelah bangsa Mancu berhasil menggulingkan pemerintaha Beng-Tiauw yang lebih dulu jatuh ke dalam tangan para pemberontak petani, perlawanan dari rakyat terjadi di mana-mana. Bukan merupakan pekerjaan mudah bagi bangsa Mancu untuk menguasai daerah Tiongkok seluruhnya. Di mana saja mereka berada, mereka menghadapi perlawanan dari para patriot Tiongkok yang berusaha mengusir penjajah ini dari tanah airnya. Sisa-sia barisan Kerajaan Beng-Tiauw bahkan bergabung dengan pasukan-pasukan rakyat untuk mengadakan perlawanan bersama.
Orang-orang gagah dari kalangan kang-ouw dan Lioklim meninggalkan tempat tinggal dan pekerjaan mereka untuk menggabungkan diri dengan para pejuang. Di Tiongkok selatan terbentuklah kesatuan-kesatuan yang kuat dibawah pimpinan orang-orang gagah yang berjiwa patriot. Sie Ko Fa, pemimpin besar yang gagah berani memimpin sisa-sisa tentara Beng-Tiauw dan barisan rakyat melakukan pertahanan di Yang-Chouw dan sekitar lembah sungai Yang-Ce sebelah utara. Akan tetapi, sungguh amat disayangkan bahwa diantara bangsa Tiongkok pun tidak sedikit terdapat penghianat-penghianat dan penjilat-penjilat yang mabok dan silau oleh harta dan kedudukan sehingga mereka ini membantu pergerakan tentara penjajah.
Oleh karena itu, balatentara Mancu makin besar dan mendapat bantuan dari manusia-manusia yang rendah budi ini. Karena tentara Mancu memang amat kuat, ditambah pula dengan bantuan para pengkhianat, maka segala usaha perlawanan rakyat dapat dihancurkan oleh penjajah, betapapun hebat perlawanan dari rakyat. Darah mengalir dan membajir di mana-mana. Air sungai Yang-Ce seakan-akan berobah menjadi darah semua. Pasukan-pasukan Mancu melakukan penyembelihan, perampokan dan segala macam kekejian terhadap rakyat Tiongkok. Ratusan ribu rakyat dibinasakan secara kejam sekali. Terpaksa pahlawan Sie Ko Fa menarik mundur sisa pasukannya ke Yang-Chouw dan membuat pertahanan mati-matian di tempat ini.
Kota dikepung musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Peperangan yang luar biasa hebatnya terjadi. Sungguhpun keadaan amat terjepit dan jumlah barisan musuh jauh lebih banyak, namun para pejuang itu tidak mau menyerahkan diri begitu saja. Mereka berperang dan bertahan sampai tujuh hari tujuh malam sebelum menyerah karena kehabisan tenaga dan ransum. Pahlawan Sie Ko Fa ditawan, akan tetapi pahlawan patriot yang gagah perkasa ini tidak sudi menyatakan takluk sehingga akhirnya ia dibunuh oleh bangsa Mancu. Tewasnya Sie Ko Fa sebagai kusuma bangsa tidak meredakan pemberontakan dan perlawan rakyat. Di mana-mana, orang-orang gagah mengikuti jejak pahlawan ini. Bukan main pusingnya bangsa Mancu menghadapi perlawanan-perlawanan rakyat ini sehingga pemerintah Mancu lalu mengeluarkan peraturan agar semua orang,
Semua rakyat Tiongkok, yakni orang-orang lelakinya, mencukur rambut kepalanya, meninggalkan bagian atasnya saja yang harus dikucir ke belakang! Peraturan ini diadakan agar supaya para petugas dapat membedakan lawan dan kawan dengan mudah, di samping maksud untuk menghina rakyat Tiongkok dan mendatangkan rasa rendah diri kepada rakyat dan memperlihatkan kekuasaan bangsa Mancu. Peraturan ini bukannya melemahkan perlawanan, bahkan sebaliknya merupakan minyak yang disiramkan kepada api yang sedang berkobar. Makin menghebatlah amarah rakyat terhadap penjajah dan makin besar pula perlawanan yang mereka lakukan. Setelah bala tentara Mancu bergerak sampai di Propinsi-Propinsi Cekiang dan Hokkian, rakyat di kedua Propinsi itupun bangkit serentak melakukan perlawanan.
Muncullah pendekar-pendekar dan pahlawan besar seperti Cheng Cheng Kung, Chang Huang Yen, dan lain-lain untuk memimpin para pejuang menghadapi penjajah Mancu. Perang, perang lagi timbul di mana-mana. Kembali penyembelihan terjadi, darah mengalir dan mayat berserakan! Di antara api peperangan yang berkobar-kobar itu, pada suatu hari nampak seorang laki-laki tua menggendong seorang anak laki-laki berusia tiga tahun lebih melakukan perjalanan dengan amat cepatnya menuju ke Secuan. Dia ini bukan lain adalah Thiat-Thouw-Gu Lie Kai si Kerbau Berkepala Besi yang meninggalkan tempat tinggalnya di An-Sin-Kwan yang telah jatuh ke dalam tangan penjajah. Semenjak Sui Lan meninggal dunia, Lie Kai hidup bersama cucunya, yakni anak yang dilahirkan oleh Sui Lan.
Anak itu adalah anak laki-laki dan diberi nama Lie Swan Hong. Teringat akan pesan terakhir dari Sui Lan agar supaya anaknya jangan diberitahu tentang Ayahnya, maka Lie Kai lalu memberi nama keturunan Lie kepada anak ini. Lie Kai menyerahkan perawatan dan pemeliharaan anak itu kepada seorang inang pengasuh. Melihat keadaan negara yang kacau-balau, di mana-mana terjadi pertempuran-pertempuran antara para pejuang melawan penjajah, tangan pendekar tua ini sudah gatal-gatal untuk mencabut golok dan menggabungkan diri dengan para pejuang, akan tetapi ia tidak tega meninggalkan cucunya, Lie Swan Hong. Setelah Swan Hong berusia tiga tahun lebih dan sudah cukup kuat untuk melakukan perjalanan jauh, maka ia lalu membawa anak itu menuju ke Propinsi Secuan.
Ia hendak menyerahkan cucunya itu kepada Suhunya. Lian Kong Hwesio di Gunung Thai-Liang-San, agar anak itu dididik menjadi seorang ahli silat yang pandai. Ia sendiri hendak segera menggabungkan diri dengan para pejuang untuk bertempur mengusir penjajah. Dengan ilmu lari cepat Keng-Sin-Sut, ia melakukan perjalanan cepat sekali dan hatinya berdebar girang setelah ia tiba di kaki bukit Thai-Liang-San dan mulai mendaki bukit itu. telah belasan tahun ia tidak pernah bertemu Suhunya. Apakah orang-tua itu masih hidup? Bagaimana kalau tempat Pertapaan Suhunya di sebuah Kuil dipuncak bukit itu telah kosong? Bagaimana kalau Suhunya sudah meninggal dunia? Pikiran ini membuat ia ragu-ragu dan ingin tahu sekali, maka dipercepatlah langkah kakinya sehingga ia mendaki bukit itu bagaikan terbang.
Setelah tiba di depan sebuah Kuil kecil di puncak bukit, di mana Suhunya dulu tinggal, Lie Kai berhenti dan berdiri dengan ragu-ragu. Kuil itu nampak sunyi seakan-akan tiada penghuninya, akan tetapi halaman depannya bersih, tanda bahwa setiap hari tentu ada orang yang membersihkannya dan menyapu lantainya. Baru saja Lie Kai yang masih menggendong Swan Hong yang tertidur karena lelah itu hendak melangkah masuk ke dalam Kuil, tiba-tiba ia mendengar suara orang bercakap dan dua orang Hwesio kecil berjalan keluar sambil membawa sapu. Kedua Hwesio kecil itu memandang heran ketika mereka melihat Lie Kai berdiri di depan Kuil. Melihat sikap gagah Lie Kai dan nampak gagang golok tersembul di belakang pundak, seorang diantara Hwesio itu lalu menegur halus.
"Sicu, kau hendak mencari siapakah?"
"Siauw-Suhu,"
Jawab Lie Kai.
"Apakah Lam Kong Suhu berada di dalam?"
Kedua Hwesio kecil itu saling pandang, kemudian seorang diantaranya berkata,
"Lam Kong Suhu telah berada di dalam tempat tinggalnya yang kekal."
Ia menunjuk ke sebelah kiri Kuil.
"Itu di sana makamnya. Sicu siapakah?"
Bukan main kagetnya hati Lie Kai mendengar bahwa Suhunya telah meninggal dunia. Ia tidak memperdulikan pertanyaan itu dan bahkan cepat bertanya.
"Bilakah Suhu meninggal?"
"Sudah setahun yang lalu, Sicu, kau datang terlambat."
Dengan kedua kaki lemas, Lie Kai lalu melangkah menuju ke sebelah kiri Kuil dimana terdapat segunduk tanah kuburan. Kedua orang Hwesio kecil itu memandangnya dengan kasihan dan heran. Kemudian mereka melanjutkan pekerjaannya membersihkan Kuil.
Setibanya di depan kuburan itu Lie Kai menurunkan Swan Hong yang sudah bangun dari tidurnya, kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di depan batu bongpai dari makam Suhunya itu. perasaan kecewa, menyesal dan duka bercampur aduk di dalam hatinya. Hal yang dikhawatirkan ketika ia mendaki bukit tadi, ternyata benar terjadi. Suhunya telah meninggal dunia. Apakah yang harus dilakukan sekarang? Untuk membantu perjuangan, adalah hal yang tak mungkin, karena bagaimana dengan Swan Hong? Harapannya untuk melihat anak itu kelak menjadi seorang yang pandai juga musnah, karena selain mendiang Gurunya, siapa pula yang dapat mendidik cucunya menjadi seorang ahli silat yang lebih tinggi kepandaiannya daripada dia sendiri? Saking jengkel dan dukanya, ia mengeluarkan ucapan keras di depan makam Suhunya, seakan-akan menyatakan penyesalannya kepada Suhunya yang sudah mati.
"Suhu mengapa Suhu meninggalkan Teecu yang sedang amat membutuhkan pertolongan Suhu? Teecu hendak menyerahkan anak ini dalam asuhan Suhu agar Teecu dapat membantu perjuangan. Sekarang"
Cita-cita Teecu untuk menghabiskan sisa usia dalam mengabdi kepada tanah air dan melihat cucu Teecu menjadi seorang pendekar gagal sama sekali!"
Setelah meratap dan mengeluh, Lie kai berlutut dan termenung dengan sedihnya. Ia tidak mendengar bahwa seorang Hwesio tua sekali semenjak tadi telah berdiri tak jauh dari situ, memperhatikan dan mendengar semua keluhan tadi. Sementara itu, karena di tempat itu terdapat banyak tanaman bunga, Swan Hong menjadi gembira dan bermain-main seorang diri. Ia mengejar-ngejar seekor kupu-kupu bersayap kuning yang indah sekali dan berterbangan di atas bunga-bunga. Akan tetapi sukar baginya untuk menangkap kupu-kupu yang terbang tinggi itu dan betapapun ia berloncat-loncatan, ia tak dapat juga menangkap binatang itu. anak itu lalu diam dan memperhatikan gerakan kupu-kupu yang ternyata sedang tertarik kepada sebatang bunga yang sedang mekar indah dan banyak madunya. Tiba-tiba Swan Hong lalu memetik tangkai bunga itu dari bawah, lalu bunga itu dipergunakannya sebagai umpan!
Usahanya berhasil, karena kupu-kupu itu memang sedang mengincar bunga ini dan ketika ia melihat bunga itu tiba-tiba merendah, ia lalu terbang rendah untuk mencuri madu di dalam bunga. Tiba-tiba tangan kanan Swan Hong digerakkan cepat dan ia berhasil menangkap kupu-kupu itu! Hwesio tua yang semenjak tadi melihat pula perbuatan Swan Hong, diam-diam tersenyum dan mengangguk-angguk karena ia merasa kagum melihat kecerdikan anak itu. ia lalu meniup dengan mulutnya ke arah tangan Swan Hong yang sedang memegangi kupu-kupu dan ketika angin tiupan itu menyambar tangannya, tiba-tiba terlepaslah kupu-kupu yang dipegangnya. Swan Hong terkejut dan ketika menoleh ia melihat seorang Hwesio tua berdiri di dekatnya. Anak ini lalu menangis keras, sebagian karena kecewa melihat kupu-kupu itu terlepas dan juga karena takut melihat Kakek yang datang tiba-tiba itu.
"Kupu-kupuku"
Dia terbang""
Anak itu menangis.
"Tak baik menangkap kupu-kupu yang terbang bebas. Tak baik mengganggu binatang""
Kakek itu berkata. Lie Kai terkejut mendengar cucunya menangis dan ketika ia melihat Hwesio tua berdiri di dekat cucunya sambil mengeluarkan ucapan yang sifatnya menegur itu. Pada saat itu, Lie Kai sedang ruwet pikirannya dan karenanya membuat wataknya yang keras timbul.
"Kenapa kau menangis?"
Tanyanya kepada anak itu.
"Pinceng telah melepaskan kupu-kupunya!"
Hwesio tua itu menjawab sambil memandang tajam.
"Hwesio tua usilan! Kau menambah kepusinganku saja!"
Lie Kai membentak marah dan ia melompat berdiri lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Hwesio itu dengan maksud merobohkannya! Akan tetapi, Hwesio itu dengan tenang lalu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah Lie Kai. Hebat sekali gerakan ini, karena biarpun ujung lengan bajunya itu tidak mengenai tubuh Lie Kai, tetapi sambaran anginnya telah menyambut serangan Lie Kai dan tak dapat tertahan lagi Lie Kai terlempar ke belakang!
"Orang kasar,"
Hwesio itu berkata dengan suara keren.
"Kalau Suhumu masih hidup, tentu akan dijewernya telingamu! Kau berani berlaku kurang ajar terhadap Supekmu (Uwak Gurumu)?"
Bukan main terkejutnya dan herannya Lie Kai ketika mendengar ucapan ini. Ia teringat akan cerita Suhunya bahwa Suhunya itu mempunyai seorang Suheng (kakak seperGuruan) yang bernama Lam Hoat Hwesio, yang menurut kata Suhunya, mempunyai kepandaian lebih tinggi daripada Guru dari Suhunya sendiri! Ia tidak pernah bertemu dengan Supeknya itu, karena Supeknya telah berpuluh tahun lamanya bertapa di Pegunungan Gobi yang luas dan mengasingkan diri daripada keramaian dunia, bahkan menurut Suhunya, Lam Hoat Hwesio ini sambil bertapa menciptakan berbagai ilmu silat yang tinggi-tinggi! Sambaran angin tadi telah membuat Lie Kai jatuh terduduk setengah rebah terlentang. Dalam keadaan masih terduduk ia segera bertanya.
"Apakah Teecu berhadapan dengan... Lam Hoat Supek?"
Hweesio tua itu tersenyum.
"Supekmu hanya aku seorang, kalau bukan Lam Hoat Hwesio, habis siapakah aku ini?"
(Lanjut ke Jilid 03)
Naga Merah Bangau Putih (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
Lie Kai, lalu merangkak maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Hwesio itu sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
"Ampun, Supek! Teecu memang patut dijewer dan dipukul! Teecu tidak tahu bahwa Supek yang mulia telah tinggal di tempat ini."
Selain ahli dalam ilmu silat tinggi, Lam Hoat Hwesio juga mempelajari ilmu pengobatan. Pada hari itu, iapun sedang mencari dan mengumpulkan daun dan bunga obat ketika ia melihat Lie Kai dan Swan Hong di depan kuburan Sute (adik seperGuruan)nya. Ia telah setahun lebih tinggal di atas puncak Gunung Thai-Liang-San, semenjak Sutenya meninggal dunia. Gunung ini amat indah dan banyak terdapat daun-daun obat, maka Lam Hoat Hwesio merasa suka tinggal di tempat itu. Dua orang Hwesio kecil adalah murid-muridnya dalam ilmu pengobatan dan juga bekerja sebagai pembantunya di dalam Kuil itu.
"Pinceng pernah mendengar dari mendiang Suhumu tentang kau, Lie Kai, dan mendengar akan cita-citamu membantu perjuangan para patriot, Pinceng merasa senang sekali. Kau telah banyak melakukan hal-hal buruk, juga hal-hal yang baik dan pengabdianmu kepada tanah air memang baik sekali. Tentang anak ini... biarlah aku menggantikan Suhumu untuk mendidik dan merawatnya."
Girang sekali hati Lie Kai mendengar ini. Berulang-ulang ia menyatakan terima kasihnya.
"Siapakah nama anak ini dan di mana orang-tuanya?"
"Anak ini adalah cucu Teecu sendiri dan bernama Lie Swan Hong. orang-tuanya telah meninggal dunia."
Jawaban yang singkat ini membuat Hwesio tua itu maklum pasti ada terjadi apa-apa dengan kedua orang-tua anak itu, akan tetapi ia tidak mau bertanya lebih banyak. Ia menghampiri anak itu, lalu mengangkatnya.
"Anak baik, mulai sekarang kau harus tinggal bersama Pinceng!"
Swan Hong memandang wajah Hwesio tua yang peramah itu dan agaknya wajah itu menyenangkan hatinya, buktinya anak itu tertawa girang dan menarik-narik jenggot Kakek yang sudah putih semua itu!
"Supek, apakah Teecu harus pergi sekarang juga?"
"Hal itu terserah kepadamu, Lie Kai, hanya menurut pendapat Pinceng (aku), cita-cita luhur tak mungkin hari esok, tak patut ditunda-tunda dan harus dilakukan sekarang juga. Menunda pekerjaan mulia sampai besok atau lusa hanya dilakukan oleh orang-orang malas atau orang-orang yang memang tidak memiliki kesetiaan dalam cita-citanya."
"Kalau begitu, Teecu akan berangkat sekarang juga, Supek!"
Lie Kai memberi hormat sekali lagi, berdiri dan mengusap-usap rambut Swan Hong beberapa lama, kemudian ia lalu lari turun gunung setelah menjura dihadapan kubur Suhunya! Lam Hoat Hwesio memandang bayangan Lie Kai dan terdengar ia menarik napas panjang.
"Orang yang jujur, kasar, dan berhati mulia!"
Kemudian, perlahan-lahan ia berjalan sambil menggandeng tangan Swan Hong, menuju ke Kuilnya. Lie Kai lalu menuju ke timur dan tiap kali bertemu dengan pasukan rakyat yang berjuang melawan penjajah, ia lalu membantu sekuat tenaga.
Telah banyak musuh yang jatuh di bawah goloknya dan Lie Kai berpindah-pindah dari satu ke lain tempat. Bertahun-tahun ia maju dan mundur bersama pejuang dan akhirnya ia sampai di Propinsi Kiangsu. Ia ikut mempertahankan kota Kiang-Jin dan Ciating di propinsi itu dimana diadakan perlawan yang gagah berani sehingga pertempuran mempertahankan kedua kota ini dari tangan penjajah telah diingat orang dan dimasukkan dalam buku sejarah. Akan tetapi kekuatan musuh amat besar. Tentara Mancu berjumlah dua puluh empat laksa orang lebih sehingga akhirnya perlawanan rakyat dapat juga dihancurkan. Akan tetapi, tentara Mancu baru bisa menjatuhkan Kiang-Jin setelah bertempur hampir tiga bulan dengan mengorbankan nyawa puluhan ribu tentaranya, sedangkan kota Ciating juga dapat diduduki setelah diadakan pertempuran selama dua bulan lebih!
Lie Kai selamat dalam pertempuran-pertempuran itu dan akhirnya ia lari menggabungkan diri dengan pasukan yang dipimpin Cheng Cheng Kung dan Chang Huang Yen, dua orang pahlawan yang terkenal gagah perkasa itu. Lie Kai sudah mulai terkenal di antara para pejuang. Ia dianggap gagah dan amat berani menyerbu musuh sehingga ia mendapat banyak pujian. Pada suatu hari, ketika pasukan-pasukan pejuang dari lain daerah menggabungkan diri, Lie Kai terkejut setelah melihat bahwa pasukan ini dipimpin oleh... Song Liang! Dua orang yang pernah bertempur dan bermusuhan ini saling berhadapan dalam satu perjuangan! Lie Kai terpaksa memberi hormat terlebih dulu oleh karena Song Liang menjadi kepala pasukan kedudukannya tinggi, sedangkan ia hanya seorang perajurit suka rela biasa saja.
Juga Song Liang mendapat nama baik karena bekas panglima perang ini amat pandai mengatur siasat pertempuran, dan sudah banyak jasanya dalam menghantam musuh. Kedua orang pemimpin besar, Cheng Cheng Kung dan Chang Huang Yen, memimpin barisan besar terdiri dari seratus ribu orang lebih, lalu mempergunakan ribuan buah perahu yang dilayarkan sepanjang Sungai Yang-Ce. Mereka ini menuju ke Nanking untuk menGurung kota itu dan menghantam musuh di sepanjang Sungai Yang-Ce. Rakyat membantu pergerakan ini dan makin lama makin besarlah barisan itu. Juga Lie Kai dan Song Liang berada dalam barisan ini. Lie Kai selalu mendekati kepala pasukan ini, karena ia telah menantang Song Liang untuk mengadu kepandaian bilamana perjuangan itu telah selesai!
"Pada waktu ini, kita menjadi kawan seperjuangan,"
Kata Lie Kai kepada Song Liang.
"Akan tetapi, apabila perjuangan telah selesai, kita akan menjadi musuh! Kau telah merampas mantuku, sehingga anak perempuanku menderita karenanya. Maka kau harus mati di tanganku!"
Song Liang tentu saja tidak takut, sungguhpun ia maklum akan kegagahan Lie Kai.
"Baik, kalau perjuangan telah selesai, aku akan menghadapimu, dan kita akan sama lihat, siapa diantara kita dua orang-tua bangka yang akan mampus lebih dulu!"
Jawab Song Liang. Pertempuran hebat susul-menyusul. Korban dikedua fihak jatuh bertumpuk-tumpuk. Dalam sebuah pertempuran hebat di tepi Sungai Yang-Ce, pasukan yang dipimpin oleh Song Liang terkurung hebat dan agaknya ia serta pasukannya takkan tertolong lagi. Akan tetapi, Song Liang dan anak buahnya mengadakan perlawanan hebat, mengamuk bagaikan naga-naga perkasa.
Apalagi Lie Kai yang juga berada dalam pasukan itu, ia mengamuk sehingga membuat musuh merasa kagum dan ngeri. Karena jumlah musuh amat besar, akhirnya pasukan dibawah pimpinan Song Liang yang gagah perkasa itu dipukul hancur. Sebatang anak panah meluncur cepat dan menancap dada kepala pasukan Song Liang. Ia roboh mandi darah dan ketika seorang perajurit musuh hendak menusuknya dengan tombak, Lie Kai datang menolongnya. Dengan sekali tendang saja terlemparlah perajurit musuh dan jatuh tak bernyawa lagi. Lie Kai menghampiri Song Liang dan memangku kepalanya. Ternyata tidak ada harapan lagi bagi Song Liang perwira gagah perkasa itu. anak panah tadi telah menancap dan hampir menembus punggungnya.
"Lie Kai... Ternyata aku yang tewas lebih dulu...! tidak merepotkan kau, kini kau tak perlu bersusah-susah membunuhku lagi!"
Sambil tersenyum, panglima tua ini menarik napas terakhir dalam pelukan Lie Kai. Dua orang musuh menjadi sahabat dalam perjuangan. Alangkah sucinya perjuangan membela tanah air! Lie Kai bangkit dan mengamuk bagaikan seekor harimau kehilangan anaknya. Akhirnya, hanya dia dan beberapa orang kawan lain yang gagah perkasa saja dapat melepaskan diri dari kepungan dan lari menggabung dengan pasukan lain. Betapapun gagahnya dua orang pemimpin besar Cheng Cheng Kung dan Chang Huang Yen, namun kekuatan bala tentara Mancu jauh lebih besar.
Akhirnya pasukan-pasukan pejuang itu terpaksa mundur dari Sungai Yang-Ce dan kembali ke Amoi. Tentara Mancu mengejar terus dan beberapa tahun kemudian, Chang Huang Yen tertawan dan dibunuh oleh penjajah Mancu. Hancurnya pasukan-pasukan pejuang ini membuat mereka berpencaran dan tidak adanya pimpinan membuat mereka menjadi lemah. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi hanya merupakan pemberontakan golongan atau perseorangan saja, yang tidak begitu berarti bagi penjajah. Lie Kai merasa bosan dan lelah, pula ia telah mulai menjadi tua. Terutama sekali ia merasa rindu kepada cucunya yang telah ditinggalkannya tiga belas tahun lamanya itu! Ia kembali ke barat, menuju ke Propinsi Secuan dan mendaki Bukit Thai-Liang-San. Kita tinggalkan dulu Lie Kai yang mendaki Thai-Liang-San untuk menjumpai cucunya yang telah ditinggalkan belasan tahun lamanya itu,
Dan marilah kita kembali menengok keadaan Houw Sin dengan keluarganya. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah mendapat pertolongan dari Oei Lian Niang-Niang dari ancaman Lie Kai, dan setelah Song Liang berangkat untuk ikut berjuang melawan barisan penjajah. Oei Liang Niang-Niang tinggal di rumah Houw Sin untuk menjaga keselamatan sepasang suami-isteri itu dan untuk memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Song Bwee Eng. Akan tetapi ternyata sampai terlahirlah anak yang dikandung oleh Bwee Eng, tak pernah ada gangguan dari Lie Kai. Anak itu adalah anak perempuan dan diberi nama Siang Hwa. Ketika Oei Liang Niang-Niang mendengar bahwa Houw Sin merobah shenya karena takut kepada bangsa Mancu, Tokouw ini menyatakan tidak setuju.
"Mengapa harus mengganti nama keluarga? Kalau memang ada orang Mancu yang mengganggu takut apakah? Bwee Eng mempunyai cukup kepandaian untuk menghadapi orang yang mau mengganggu"
Oleh karena itu,maka kini Houw Sin menggunakan shenya sendiri lagi, dan Siang Hwa diberi she sebenarnya, yakni she Liok. Atas kehendak Bwe Eng, setelah Siang Hwa berusia lima tahun, anak itu lalu diantarkan ke tempat Pertapaan Oei Liang Niang-Niang yang sudah kembali ke bukit Cin-Ling-San di Propinsi Shensi.
Houw Sin tidak berkeberatan bahkan merasa setuju sekali, oleh karena ia maklum bahwa dalam jaman sekacau itu, kepandaian silat jauh lebih penting untuk menjaga diri daripada kepandaian menulis. Oei Liang Niang-Niang dan kedua sucinya (kakak seperGuruan) yakni Pek Lian Niang-Niang dan Ang Lian Niang-Niang suka sekali menerima Liok Siang Hwa sebagai murid, apalagi setelah kedua sucinya itu mendengar bahwa Liok Siang Hwa bukanlah keturunan sembarangan. Kakek dalam (Ayah dari Ayah) anak itu adalah seorang Pangeran, dan Pangeran Liok Han Swee terkenal sebagai seorang bangsawan yang jujur dan baik budi. Adapun Kakek luar (Ayah dari Ibu) anak itupun seorang pahlawan bangsa yang terkenal, yakni panglima Song Liang yang sampai saat itu masih ikut berjuang bersama para patriot lainnya!
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo