Naga Merah Bangau Putih 6
Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Tentu saja para tamu lain yang juga merasa tak senang kepada mereka, kini menjadi jerih dan tak berani sembarangan bergerak. Siang Hwa yang amat berduka mendengar tentang kematian Kongkongnya yang sedang dicari-cari, untuk sesaat duduk termenung dengan hati terharu. Setelah melihat betapa kedua saudara Lee yang sombong itu merobohkan Lie Kai, Kim Kong Hosiang dan Soan Cu Tojin, barulah ia berdiri dari kursinya dan dengan tindakan tenang akan tetapi gesit ia lalu menghampiri Lee Kim Bwe. Kedua saudara Lee ini masih berdiri di tengah ruangan dengan tersenyum-senyum, seakan-akan menanti datangnya lawan baru dengan sikap menantang. Kini, melihat Siang Hwa mendatangi, Lee Kun buru-buru melangkah maju dan menyambutnya dengan senyum simpul.
"Nona Liok, harap kau jangan terlalu dekat. Siapa tahu masih ada orang yang merasa penasaran dan hendak mencoba kami. Kalau terjadi pertempuran dengan senjata tajam, bukankah berbahaya sekali kalau kau terlalu dekat? Sayang kalau sampai kau terkena senjata yang nyeleweng!"
Siang Hwa tidak menjawab, bahkan melihatpun tidak. Dara baju merah ini langsung menghampiri Lie Kai, dan sekali saja ia menepuk pundak orang-tua itu, Lie Kai telah dapat dipulihkan kembali jalan darahnya yang tadi terkena totokan Kim Bwe yang lihai. Juga ia lalu memulihkan kesehatan Soan Cu Tojin yang tertotok oleh Lee Kun. Kedua orang Nona ini berdiri berhadapan dan Kim Bwe tersenyum mengejek ketika ia bertanya.
"Kau mau apakah? Gurumu telah kurobohkan, apakah kau murid Thiat-Thouw-Gu Lie Kai hendak membalas kekalahan itu?"
Semua orang memandang dengan amat khawatir. Kalau Lie Kai sendiri saja roboh dalam segebrakan menghadapi Kim Bwe, bagaimana seorang gadis muda yang menjadi murid Lie Kai berani melawan Dewi Koan Im Bertangan Seribu yang lihai itu? Akan tetapi, jawaban yang keluar dari mulut Siang Hwa benar-benar mengejutkan semua orang. Bahkan Lie Kai sendiri juga menjadi heran dan terkejut.
"Kau telah menghina Kongkongku!"
Ucapan yang keluar dari Bibir Siang hwa lambat-lambat dan jelas sekali dan sepasang mata dara jelita itu memandang tajam.
"Kalau kau tidak lekas-lekas menarik kembali kata-katamu yang menghina Kongkongku, dan tidak minta maaf, jangan harap kau akan dapat keluar dari sini dengan mulut utuh!"
Lee Kim Bwe sendiri sampai menjadi bengong mendengar ucapan gadis muda itu. Saking herannya melihat keberanian yang luar biasa ini, ia sampai lupa untuk marah! Bahkan ia menjadi ingin tahu sekali mengapa gerangan gadis ini menjadi demikian marah.
"Siapa menghina Kongkongmu? Siapa pula gerangan Kongkongmu?"
Tanya Lee Kim Bwe.
"Kau tadi telah menghina Panglima Song Liang, dialah Kongkongku, seorang panglima dan pejuang tanah air yang gagah berani. Lekas kau menarik kembali kata-katamu dan minta maaf jangan membikin aku kehabisan kesabaranku!"
Tiba-tiba terdengar gelak tertawa dari Lee Kun ketika ia mendengar ucapan Siang Hwa ini.
"Ha, ha, ha alangkah lucunya! Nona Liok, kau murid Thiat-Thouw-Gu Lie Kai berani mengancam kepada Ciciku Jian-Jin Koan-Im? Ha, ha, ha!"
Akan tetapi tiba-tiba ia harus menutup mulutnya dan cepat melompat ke belakang, oleh karena tiba-tiba tangan Siang hwa telah menyambar dan menampar pipinya! Betapapun cepatnya mengelak, namun masih saja telapak tangan Siang Hwa dengan cepat mengenai pipinya.
"Plok!"
Terdengar bunyi nyaring dan pipi Lee Kun menjadi merah!
"Itu hanya sekedar untuk peringatan, manusia sombong dan ceriwis!"
Katanya kepada Lee Kun yang berdiri dengan mata terbelalak. Bukan main cepatnya gerakan tangan Nona itu, sehingga ia sendiri tak melihatnya.
"Eh, kiranya kau memiliki kepandaian juga!"
Kata Kim Bwe.
"Tarik kembali kata-katamu dan minta maaf!"
Tanpa memperdulikan omongan lawan, Siang Hwa mendesak.
"Bocah bermulut besar kalau aku tidak mau, kau mau apa?"
"Kuhancurkan mulutmu!"
Kata Siang hwa dan secepat kilat ia menggerakkan tangannya memukul mulut Lee Kim Bwe.
Kim Bwe cepat miringkan kepalanya, akan tetapi ia tidak mengira bahwa Siang Hwa memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada yang dikiranya semula. Kalau orang lain yang memukul dielakkan dengan miringkan kepala saja, pukulan itu tentu akan mengenai angin, akan tetapi, Siang Hwa memiliki gerakan yang cepat dan setiap kali menggerakkan tangan, maka gerakan ini telah terdapat pecahan-pecahannya sehingga ia dapat menahan serangan di tengah jalan untuk dirobah menjadi serangan lain. Demikianpun, ketika tadi ia memukul mulut Kim Bwe dengan gerak tipu Oan-Jiu Hoan-Hwe (Melonjorkan Tangan Mencari Bunga) dan pukulannya ini dapat dihindarkan lawan, tiba-tiba tangan yang terkepal itu dibukanya dan arah pukulannya dirobah sehingga kini ia menampar dengan cepat dan tak terduga sama sekali.
"Plak"!!"
Kembali terdengar suara ketika telapak tangan Siang Hwa berhasil menampar pipi kanan Lee Kim Bwe! Sesungguhnya selain cepat gerakannya, juga tamparan-tamparan yang di "bagi-bagikan"
Oleh Siang Hwa kepada Lee Kun dan Lee Kim Bwe, dilakukan dengan tenaga lweekang yang hebat. Kalau saja orang lain yang terkena tamparan ini, tentu sedikitnya akan rontok gigi dan pecah kulit. Akan tetapi, kepada kedua saudara Lee itu, tamparan ini hanya mendatangkan rasa pedas dan pipi merah. Betapapun juga, hampir Lee Kim Bwe menjadi pingsan saking gemasnya. Ia merasa heran, terkejut, marah, malu sekali. Dia, Jian-Jiu Koan-Im si Dewi Koan Im Tangan Seribu, yang sudah terkenal di dunia kang-ouw, yang tadipun dengan segebrakan saja dapat membuat orang-orang gagah ternama terguling-guling, kini terkena tamparan seorang gadis yang masih hijau!
"Bangsat perempuan hina dina! Kalau hari ini aku tidak dapat membunuhmu, percuma saja aku hidup!"
Setelah mengeluarkan ancaman dengan suara setengah menjerit ini, Lee Kim Bwe lalu mencabut pedangnya. Tadi Siang Hwa sudah menyaksikan ilmu pedang Kim Bwe maka ia tidak berani memandang ringan. Dengan cepat, iapun mencabut pedang Gin-Kong-Kiam dari pinggangnya dan siap siaga menanti datanganya serangan. Lee Kim Bwe menubruk dengan serangannya yang cepat dan ganas. Pedangnya dipegang lurus ke depan dan dengan tangan kiri dibelakang pedangnya meluncur menusuk ke arah ulu hati Siang Hwa. Ini adalah gerakan ilmu pedang Leng-San Kiam-Sut yang hampir sama dengan gerakan tipu Sian-Jin Tit-Louw (Dewa menunjuk Jalan).
Ketika Siang Hwa melihat datangnya tusukan yang cepat berbahaya ini, ia lalu menangkis dengan pedangnya. Kim Bwee tiba-tiba menarik kembali pedangnya dan dengan cepat telah merobah pula gerakan pedang itu, kini menggunakan gerak tipu yang disebut Seng-Siok Hut-Si (Musim Panas Mengebut Kipas). Gerakan ini tidak ditujukan untuk menyerang tubuh lawan, melainkan dipergunakan untuk menyabet pedang Siang Hwa sekuat tenaga. Ketika melihat gerakan pedang Siang Hwa, Lee Kim Bwe dapat melihat bahwa ilmu pedang gadis muda itu cukup lihai, maka ia berlaku cerdik. Ia telah melatih diri dan memiliki tenaga lweekang yang cukup lihai, maka kini ia hendak mempergunakan tenaganya itu untuk membuat pedang lawan terlepas dari pegangan.
"Trang...!"
Dua batang pedang itu beradu dengan kerasnya. Tadinya Kim Bwe telah merasa pasti bahwa kalau pedang lawannya tidak terlepas karena terpental oleh tenaganya yang besar, pasti pedang lawan itu akan terbabat putus oleh pedangnya yang merupakan pedang pusaka yang ampuh. Akan tetapi, ternyata bahwa kedua harapannya ini kosong belaka. Ketika sepasang pedang beradu, berpijarlah titik-titik bunga api menyilaukan mata dan dengan terkejut Kim Bwe merasa betapa tangannya menjadi tergetar hebat. Ketika ia memandang ke arah lawannya, ia melihat Siang Hwa berdiri tegak sambil tersenyum sinis, pedang di tangan lawannya itu berkilauan mengeluarkan cahaya putih, sedikitpun tidak patah ataupun gempil!
Tahulah ia bahwa pedang lawannya itupun sebuah pedang mustika, maka kemarahannya memuncak. Sambil berseru nyaring, ia lalu menyerang lagi dan kini ia mainkan gerak-gerak tipu dari Leng-San Kiam-Sut yang cepat dan kuat. Pedangnya berobah menjadi sinar bergulung-gulung menyerang ke arah Siang Hwa. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan merah ketika Siang Hwa menggerakkan tubuh dan byangan merah ini dilindungi oleh sinar putih yang bergulung-gulung dari pedangnya. Bukan main hebatnya pertempuran antara kedua orang wanita itu, dan para penonton memandang dengan mulut melongo. Mereka telah maklum akan kehebatan ilmu pedang Jian-Jiu Koan-Im Lee Kim Bwe, maka permainan pedang Lee Kim Bwe yang hebat itu tidak mengherankan mereka.
Yang membuat mereka menjadi bengong adalah kehebatan ilmu pedang Siang Hwa, gadis muda yang sama sekali tidak ternama dan yang tadinya mereka pandang rendah. Hal ini tidak mengherankan, karena siapakah yang akan mengira bahwa seorang gadis murid dari Lie Kai akan sehebat itu kepandaiannya? Yang paling merasa terkejut adalah Lee Kim Bwe sendiri dan juga Lee Kun. Lee Kim Bwe merasa kaget dan dadanya berdebar gelisah ketika ia menyaksikan kehebatan gerakan pedang lawannya. Selama pengalamanya bertempur yang banyak menghadapi ilmu-ilmu pedang lawan, belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti yang dimainkan oleh Siang Hwa. Untuk jurus-jurus pertama memang ia berlaku ganas dan galak, mencoba untuk mendesak Siang Hwa dengan serangan-serangan mematikan dan bertubi-tubi.
Akan tetapi segera ia menjadi kecele dan juga matanya menjadi kabur ketika Siang Hwa mainkan ilmu pedang yang jauh lebih cepat daripada permainannya sendiri. Demikian kuat gerakan pedang Siang Hwa sehingga tiap kali menyerang, pedangnya terpental kembali diikut oleh serangan-serangan pembalasan dari Siang Hwa yang membuatnya sibuk sekali. Belum dua ppuluh jurus mereka bertempur, Lee Kim Bwe sudah mulai mundur dan jarang dapat membalas serangan lawan yang lihai itu. Lee Kun ketika melihat ini, tidak mau tinggal diam. Tadinya ia ingin mempermainkan Siang Hwa akan tetapi semenjak mendapat hadiah tamparan pada pipinya tadi, ia mulai berlaku hati-hati dan tidak berani memandang rendah. Apalagi setelah kini ia menyaksikan betapa Cicinya sama sekali tidak berdaya menghadapi ilmu pedang Siang Hwa.
"Bangsat wanita kau harus membayar untuk tamparanmu tadi!"
Ia berseru dan menerjang maju dengan pedangnya. Ucapan itu hanya untuk menutup rasa malunya saja, karena sesungguhnya amat memalukan mengeroyok seorang gadis muda yang tadinya mereka pandang rendah.
Akan tetapi, sebelum ia sempat menyerang, tiba-tiba dari luar pintu berkelebat bayangan biru dan mendadak didepannya telah berdiri seroang pemuda berpakaian biru yang memegang sebatang pedang. Pemuda ini berusia paling banyak dua puluh tahun mukanya Bundar, matanya berseri dan mulutnya selalu tersenyum, wajahnya tak dapat dikatakan tampan sekali, akan tetapi siapa juga yang berkenalan dan melihat wajahnya, tentu akan tertarik dan suka. Wajah inilah yang biasa disebut wajah simpatik, selalu mendatangkan kegembiraan kepada siapa yang bicara kepadanya. Namun bagi orang yang membenci dan bermusuh dengannya wajah ini akan selalu nampak mengejek dan menggemaskan! Pakaiannya sederhana, berwarna biru dan di pinggang kini tergantung sebuah kantong kulit kecil, yakni kantong berisi senjata rahasia.
"Lee Kun, sampah neraka, baru sekarang aku dapat menyusulmu!"
Katanya dengan suara mengandung kemarahan, akan tetapi mata dan Bibirnya tetap berseri.
"Orang she Sim!"
Kata Lee Kun marah.
"Benar-benarkah kau hendak mencari permusuhan?"
"Bangsat besar, siapa mencari permusuhan? Sebelum kau menyatakan bertobat dan minta maaf, sampai ke neraka sekalipun aku akan tetap membayangimu!"
Lee Kun merasa menyesal sekali kalau ia mengenangkan perbuatannya yang membuatnya bermusuhan dengan pemuda yang lihai ini. Hal ini terjadi kurang lebih dua pekan yang lalu ketika ia dan Cicinya masih berada di Propinsi Kwantung. Dalam sebuah kota, ketika ia mengunjungi Kelenteng besar di kota itu, ia melihat seorang gadis cantik dengan keluarganya sedang bersembahyang di Kelenteng. Lee Kun memang mempunyai sifat mata keranjang dan ketika ia melihat kecantikan gadis itu, ia merasa tertarik sekali dan tidak dapat menahan nafsu hatinya untuk menggoda.
"Eh, Siocia (nona), apakah kau bersembahyang minta jodoh. Kalau benar demikian, tak usah kau mencari jauh-jauh, Siocia, akupun masih bujangan!"
Ucapannya yang kurang ajar ini hanya untuk menggoda saja, tidak disangkanya sama sekali bahwa di antara rombongan keluarga gadis itu terdapat seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, pemuda ini adalah adik misan gadis itu yang bernama Sim Tiong Han, seorang anak murid Kun-Lun-Pai yang berilmu tinggi. Tentu saja Sim Tiong Han marah sekali mendengar Piauwci-nya (Kakak misannya) dihina orang, maka ia lalu membentak.
"Bangsat bermulut kotor! Kau keluar dari Kelenteng ini kalau memang jantan! Jangan hanya berani menggoda kepada wanita yang lemah!"
Lee Kun yang memiliki watak sombong, tentu saja tidak memandang sebelah mata kepada pemuda berpakaian biru itu, dan dengan tindakan lebar ia lalu melangkah keluar dari Kelenteng. Setelah tiba di halaman Kelenteng yang lebar, ia berdiri bertolak pinggang, menanti datangnya pemuda yang menantangnya itu.
"Siapakah kau dan mau apa kau mengajak aku keluar?"
"Bangsat, cabul! Kalau kau belum bertobat dan minta ampun kepada ku, Sim Tiong Han. Aku takkan membiarkan kau pergi begitu saja!"
Kata pemuda baju biru itu.
"Ha, ha, ha, anak muda. Mungkin matamu buta atau telingamu tuli! Tidak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan Lui-Kong-Ciang Lee Kun?"
"Bagus! Sudah lama aku mendengar kabar bahwa orang yang bernama Lee Kun adalah seorang manusia sombong yang mengagulkan kepandaiannya. Ternyata kabar itu masih belum lengkap, karena sesungguhnya Lee Kun adalah seorang manusia sombong yang berwatak rendah dan hina. Lekas kau minta ampun dan bertobat!"
"Kurang ajar!"
Seru Lee Kun dan ia cepat menyerang dengan pukulan tangannya. Pukulannya inilah yang membuat ia dijuluki Lui-Kong-Ciang (Tangan Geledek) karena ia memiliki ilmu pukulan Pek-Lek-Jiu (Pukulan Halilintar) yang mengandung tenaga bukan main kuatnya. Ia akan membikin pemuda itu roboh dengan sekali pukul. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Sim Tiong Han adalah anak murid Kun-Lun-Pai yang memiliki ilmu pukulan Gin-Kong-Ciang yang tidak kalah hebatnya. Melihat pukulan yang mendatangkan angin keras ini, Sim Tiong Han tidak menjadi takut, bahkan lalu menggerakkan tangannya menangkis dengan tenaga Gin-Kong-Ciang yang diandalkan.
"Duk!"
Kedua lengan tangan bertemu dan kalau Sim Tiong Han hanya mundur dua tindak, adalah Lee Kun terhuyung-huyung ke belakang sampai tujuh langkah! Lee Kun merasa terkejut sekali dan ia maklum bahwa ilmu silat pemuda ini amat tinggi. Ia merasa menyesal bahwa untuk godaan yang tak berarti itu ia harus menghadapi bencana. Melihat bahwa di situ banyak sekali terdapat penonton yang rata-rata memandangnya dengan marah, ia lalu melarikan diri secepatnya!
"Bangsat, jangan harap akan dapat melarikan diri sebelum minta ampun!"
Seru Sim Tiong Han. Akan tetapi ternyata dalam hal ilmu berlari cepat Lee Kun masih menang setingkat sehingga setelah berkejar-kejar beberapa lama. Lee Kun dapat melepaskan diri dari pengejarnya dan menjumpai Cicinya yang berdiam di sebuah Kuil Nikouw (Pendeta-Pendeta perempuan).
Ia tidak berani menceritakan pengalamannya kepada Lee Kim Bwe, karena Cicinya itupun tidak suka mendengar kenakalannya terhadap wanita. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Hunan, dan karena tidak melihat bayangan Sim Tiong Han, Lee Kun menjadi lega hatinya. Tidak tahunya bahwa Sim Tiong Han masih tetap mengejarnya dan kini, di dalam rumah Yap Ma Ek, selagi Cicinya terdesak hebat oleh Siang Hwa, tiba-tiba saja pemuda Kun-Lun-Pai itu muncul di depannya. Lee Kun tidak melihat jalan lain, karena ia takut kalau-kalau pemuda itu akan membongkar rahasianya dan membikin ia malu di depan sekian banyak orang kang-ouw. Sambil berseru marah ia lalu menyerang pemuda itu dengan pedangnya.
Kini pertempuran terbagi menjadi dua golongan dan keadaan makin tegang. Semua orang tidak mengenal Sim Tiong Han dan mereka kagum melihat gerakan pedang pemuda baju biru ini, yang ternyata tidak kalah lihainya daripada Lee Kun. Kaum tua yang berada di situ makin tercengang. Hari ini mereka mengalami kejadian luar biasa dan menyaksikan kepandaian yang amat hebat. Banyak diantara mereka menghela napas dan mengakui kebodohan sendiri. Ternyata kini banyak muncul orang-orang muda seperti Liok Siang Hwa dan pemuda baju biru ini yang sama sekali tidak terkenal, akan tetapi yang memiliki ilmu silat yang benar-benar tinggi. Kalau dulu Lee Kun terkejut melihat Sim Tiong Han dapat menangkis pukulannya Pek-Lek-Jiu dan membuatnya terhuyung mundur, kini ia menjadi makin gelisah karena ternyata Kun-Lun Kiam-Hwat yang dimainkan oleh pemuda itupun kuat sekali!
Sambil bertempur ia melirik kearah pintu mencari jalan lari untuk menyelamatkan diri. Sementara itu, Sim Tiong Han sambil bertempur melirik ke arah Nona baju merah yang sedang mendesak Lee Kim Bwe dan ia diam-diam merasa girang dan takjub. Ia mengenal gerakan ilmu pedang Ang-Liong Kiam-Sut yang pernah dilihatnya sekali, dan bukan main kagumnya melihat ilmu pedang yang sukar itu kini dimainkan dengan amat baiknya oleh seorang gadis muda. Iapun menjadi gembira dan tidak mau kalah mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mendahului Sing Hwa merobohkan lawannya. Kepandaian Lee Kun masih setingkat lebih rendah daripada kepandaian Lee Kim Bwe, terutama sekali dalam hal ilmu pedang. Kini karena didesak hebat oleh Sim Tiong Han, ia tak dapat menahan lagi.
Karena tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan lawan. Lee Kun lalu berniat mengadu nyawa. Ia menangkis bacokan lawannya dan membarengi dengan tusukan pada dada Sim Tiong Han. Tentu saja Tiong Han tidak sudi mengadu nyawa, dan cepat menarik pedangnya lalu menangkis dengan gerakan "menempel". Kedua pedang menempel erat-erat dan kini keduanya mengadu tenaga yang disalurkan melalui pedang mereka. Tiong Han lalu mengerahkan tenaga dan sambil berseru keras ia membuat gerakan yang disebut Angin Puyuh Menggulung Daun. Pedangnya diputar sehingga Lee Kun terpaksa mengikuti gerakan memutar ini. Tiba-tiba pedang Tiong Han maju ke depan dan mengancam pergelangan tangannya. Terpaksa Lee Kun melepaskan pedangnya dan menarik kembali tangannya agar terhindar daripada tusukan ujung pedang lawan!
"Trang..."
Pedang itu jatuh di atas lantai, disusul pula oleh bunyi "Trang"!"
Yang nyaring lagi ketika pedang di tangan Lee Kim Bwee terlepas pula karena terpental oleh serangan pedang Siang Hwa! Seperti sudah berjanji sebelumnya, dalam waktu yang berbareng Siang Hwa dan Tiong Han dapat melucuti senjata lawan dan keduanya lalu menodongkan ujung pedang di depan dada lawan masing-masing!
"Hayo lekas tarik kembali kata-katamu yang menghina Kongkong dan minta maaf!"
Bentak Siang Hwa kepada Lee Kim Bwe yang berdiri dengan muka pucat saking malu dan penasarannya.
"Hayo kau lekas menyatakan tobat dan minta ampun!"
Bentak Tiong Han kepada Lee Kun. Lee Kim Bwe hampir menangis saking malunya. Belum pernah selamanya ia menderita kekalahan, apalagi dari seorang gadis muda seperti Siang Hwa. Ia menggigit Bibirnya dengan muka pucat.
"Bukan seorang gagah untuk berlaku garang dengan pedang di tangan terhadap lawannya yang bertangan kosong!"
Katanya dengan keras, berusaha mengurangi perasaan malunya.
"Hem, begitulah? Kau benar-benar keras kepala! Agaknya kau harus dihajar lebih dulu!"
Kata Siang Hwa sambil menyarungkan pedangnya kembali. Tiong Han yang melihat sikap Siang Hwa ini merasa amat kagum dan iapun lalu turut-turut menyimpan pedangnya.
"Kau masih belum mau mengaku kalah?"
Bentaknya kepada Lee Kun yang sesungguhnya sudah merasa jerih sekali menghadapi pemuda konsen itu. Lee Kim Bwe merasa heran melihat pemuda tampan yang telah mengalahkan adiknya itu, karena sesungguhnya ia tidak tahu siapa adanya pemuda itu dan mengapa tahu-tahu menyerang adiknya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tidak mau banyak bertanya, dan hanya mengira bahwa pemuda itu tentulah kawan dari Liok Siang Hwa. Ketika ia melihat Siang Hwa menengok kepada Tiong Han karena gadis inipun merasa kurang senang melihat betapa pemuda baju biru seakan-akan menirunya, lalu melihat kesempatan terbuka. Dengan cepat ia lalu mengirim pukulan keji ke arah dada Siang Hwa!
"Awas, Nona!"
Seru Tiong Han melihat gerakan ini dan ia hendak menolong Siang Hwa, akan tetapi dari samping, Lee Kun menyerangnya dengan pukulan Pek-Lek-Jiu! Terpaksa ia menGurungkan niatnya menolong Siang Hwa dan cepat menangkis pukulan Lee Kun, lalu membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Sementara itu, sebetulnya Tiong Han tak perlu memperingatkan Siang Hwa, oleh karena gadis ini biarpun masih muda, akan tetapi telah mendapat latihan-latihan cukup banyak dari ketiga orang Gurunya. Biarpun diserang dengan mendadak dan dengan curang tanpa memberi tahu lebih dulu, akan tetapi ia telah memiliki gerakan tubuh yang otomatis. Begitu telinganya mendengar desir angin pukulan dari arah kiri menuju ke dadanya, tiba-tiba tubuhnya bergerak ke belakang seperti terjengkang,
Kemudian disusul dengan kedua kakinya melayang ke atas berjungkir balik tiga kali di udara dan turun lagi dengan kaki lebih dulu. Gerakannya demikian ringan dan gesit, turun tubuhnya bagaikan selembar bulu burung, sehingga semua orang yang melihat gerakan Burung Hong Menyambar Turun ini merasa demikian kagum sampai mereka bertepuk tangan memuji! Tanpa banyak cakap lagi, Siang Hwa lalu membalas dengan serangannya. Kini mereka bertempur dengan tangan kosong, lebih hebat dan mati-matian daripada tadi. Kalau Lee Kun memiliki ilmu pukulan Pek-Lek-Jiu, adalah Lee Kim Bwe memiliki ilmu Tiam-Hwat (menotok jalan darah) yang amat lihai. Siang Ha sudah mengetahui hal ini, bukan hanya karena tadi ia melihat betapa Lie Kai terkena totokan Lee Kim Bwe yang lihai, akan tetapi juga karena ia melihat betapa pada kedua tangan Kim Bwe, jari tengah dan jari telunjuk sama panjangnya.
Ini menunjukkan bahwa semenjak kecil, kedua tangan Lee Kim Bwe itu telah dilatih menotok sehingga bertumbuhnya dua jari itu sama dan selain cocok untuk ilmu totok, juga keras sekali dan dapat dipergunakan untuk ilmu pukulan Hun-Kin Coh-Kut, yakni semacam ilmu pukulan menggunakan dua jari yang telah keras sama panjangnya itu untuk memutuskan otot dan melepaskan tulang lawan! Akan tetapi, setelah mereka bertempur belasan jurus, kembali Lee Kim Bwe dibikin pening kepalanya oleh ginkang atau ilmu meringankan tubuh dari Siang Hwa yang benar-benar hebat itu. Gerakan gadis itu bagaikan seekor burung walet yang sukar sekali diserang, apalagi ilmu totok dari Lee Kim Bwe adalah ilmu Tiam-Louw yang dilakukan pada jalan darah tertentu, bukan seperti ilmu totok Coat-Meh-Hwat dari Bu-Tong-Pai yang tak perlu mencari jalan darah.
Sukar bukan main untuk dapat menotok seorang lawan yang memiliki gerakan secepat Siang Hwa. Sebaliknya, Lee Kim Bwe juga maklum bahwa lawannya yang masih muda tapi lihai sekali itu sengaja mempermainkannya, karena lawannya tidak menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Hal ini membuat ia diam-diam mengeluarkan keringat dingin dan bulu tengkuknya berdiri karena merasa serem. Belum pernah ia bertemu dengan seorang lawan sehebat ini! Sementara itu, Sim Tiong Han juga mempermainkan Lee Kun bagaikan seekor kucing mempermainkan tikus kecil. Ia mengocok Lee Kun sampai Lui-Kong-Ciang si Tangan Geledek itu menjadi pening. Berkali-kali terdengar suara "Plak-Plok!"
Ketika tangannya menampar pipi, menempeleng kepala dan menendang tubuh belakang lawannya itu. Lee Kun dipermainkan tanpa dapat membelas sedikitpun juga.
"Belum mau bertobatkah engkau?"
Terdengar Tiong Han berseru dan "Plak!"
Kembali tangan kirinya menempeleng belakang kepala Lee Kun untuk kesekian kalinya. Lee Kun hampir menangis saking jengkel dan malunya. Ia maklum bahwa kalau lawannya yang lihai itu berniat jahat, tentu tamparan itu telah dapat dirobah menjadi pukulan maut dan nyawanya takkan tertolong lagi. Pada saat itu ia bahkan mengharapkan lawannya menghabiskan nyawanya saja daripada mengirim tempelengan-tempelengan yang hanya bersifat menghina itu. Adapun Siang Hwa setelah puas mempermainkan Lee Kim Bwe yang sedikitpun tak pernah dapat menyentuhnya, lalu mengambil keputusan untuk memberi sedikit hajaran kepada Jian-Jiu Koan-Im ini.
ketika ia melihat lawannya menusuknya dengan totokan ke arah pundaknya, ia cepat mengerahkan tenaga dan mempergunakan ilmu Pik-Ki Hu-Hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah). Ketika jari tangan Lee Kim Bwe dengan tepat mengenai pundak, si Dewi Koan Im Tangan Seribu ini terkejut sekali karena merasa betapa kulit pundak Siang Hwa lunak dan licin. Ia cepat hendak menarik kembali tangannya, akan tetapi terlambat. Siang Hwa telah mendahuluinya menyambar dua jari tangannya itu dan sebelum ia dapat menarik tangan, dua jari tangannya yang digunakan untuk menotok itu telah terkena cengkeraman tangan Siang Hwa! Lee Kim Bwe mengerahkan tenaganya dan ia mengandalkan kekerasan jari-jari yang terlatih itu, akan tetapi tiba-tiba ia merasa sakit luar biasa pada kedua jarinya dan terdengar suara.
"Krek!"
Membuat ia merasa kesakitan sekali dan menjeritlah ia tanpa disadari. Ternyata bahwa sambungan tulang jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya telah terlepas! Bukan main sakitnya tangan itu, sampai terasa ke ulu hatinya, dan seluruh urat-urat tangannya seakan-akan ditusuk-tusuk jarum!
"Kau masih belum mau minta maaf?"
Tanya Siang Hwa sambil bertolak pinggang. Akan tetapi Lee Kim Bwee benar-benar keras hati. Biarpun rasa sakit membuat matanya mengeluarkan air mata dan membuat mukanya menjadi pucat sekali, namun tetap ia tidak mau menuruti permintaan Siang Hwa. Sebaliknya, Lee Kun ketika melihat keadaan Cicinya dan juga karena ia merasa matanya berkunang-kunang karena tempelengan tangan Tiong Han yang terakhir amat kerasnya, segera berseru,
"Sudahlah"
Maafkan aku, aku menerima salah!"
Sim Tiong Han menunda serangannya dan kini iapun berdiri bertolak pinggang dan memandang dengan puas.
"Berhari-hari aku mengejar, hanya untuk mendengar ucapanmu ini! seorang laki-laki yang gagah perkasa takkan malu mengakui salahnya, akan tetapi dasar kau laki-laki berbatin rendah, kalau belum dipaksa dan dihajar belum mau mengakui kesalahan! Kau sendirilah yang mencari penyakit dan sombong, jangan menganggap aku Sim Tiong Han berlaku keterlaluan!"
Sementara itu, Siang Hwa masih membentak-bentak Lee Kim Bwe, minta bekas lawannya itu menarik kembali penghinaan atas nama Kongkongnya dan minta maaf. Akan tetapi jawaban yang diterimanya dari Kim Bwe hanyalah lototan mata saja.
"Keparat!"
Teriak Siang Hwa.
"Kau memang besar kepala!"
Tangan kirinya menampar dan "Plak!"
Pipi Kim Bwe kena ditampar sampai kepala wanita itu menjadi miring. Darah menetes keluar dari mulutnya.
"Kau belum puas?"
Teriak Siang Hwa yang sudah marah sekali.
"Cici, Bwe, sudahlah kau mengaku salah dan minta maaf saja!"
Kata Lee Kun yang tidak tega melihat keadaan Kakaknya. Akan tetapi Lee Kim Bwe tidak menjawab tetap memandang dengan amarah meluap-luap.
"Liok-Lihiap, biarlah aku mewakili Ciciku minta maaf dan menarik kembali ucapan yang tak sengaja menghina nama Song-Ciankun tadi."
"Pengecut!"
Seru Kim Bwe dan sekali kakinya bergerak, tubuh adiknya telah terpental beberapa kaki jauhnya terkena tendangannya! Kemudian ia menundingkan jari tengahnya kepada Siang Hwa dan berkata,
"Liok Siang Hwa! Nama ini takkan kulupakan sebelum aku mati, dan kalau kau bukan seorang pengecut, katakanlah siapa nama Gurumu dan apa pula hubunganmu dengan mendiang Siong Liang!"
Liok Siang Hwa tersenyum sindir.
"Kim Bwe aku ampunkan jiwa anjingmu, karena biarpun kau berjiwa pengkhianat dan jahat serta sombong, namun kau memiliki kegagahan yang cukup membuat aku kagum. Dengarlah baik-baik, aku takkan menyembunyikan nama dan keadaanku. Panglima Song Liang adalah Ayah dari Ibuku, dan adapun Guruku ialah Sam-Lian Sianli dari bukit Cin-Ling-San! Baik kau ketahui sekalian bahwa tempat tinggalku di kota Han-Cung Propinsi Shensi."
Semua orang menjadi amat terkejut mendengar bahwa gadis ini adalah murid dari Tiga Dewi Teratai dari Cin-Ling-San. Pantas saja demikian lihai, pikirnya. Juga Kim Bwe terkejut sekali dan diam-diam menyumpah-nyumpah nasibnya yang sial sehingga hari ini ia bertemu dengan murid Ketiga Dewi Teratai yang amat tersohor itu! Tanpa banyak cakap lagi ia lalu membalikkan tubuh dan berlari keluar dari rumah itu, diikut oleh Lee Kun yang juga sudah merangkak bangun setelah ditendang oleh Cicinya tadi. Liok Siang Hwa lalu melompat ke dekat Lie Kai dan bertanya,
"Lie-Lopek, sesungguhnya bagaimanakah keadaan Kongkongku? Benarkah ia telah gugur?"
Lie Kai semenjak tadi berdiri bengong memandang kepada Nona baju merah ini. ternyata bahwa Nona yang telah menolongnya itu adalah cucu Song Liang, bekas musuhnya dan juga bekas kawan seperjuangan!
"Kau"
Kau"
Apakah kau ini puteri dari Liok Houw Sin?"
Siang Hwa terkejut,
"Eh, jadi kau juga sudah mengenal Ayahku, Lopek?"
Lie Kai mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. Ia tidak ingin menceritakan keadaannya dengan Ayah Nona ini, karena hal ini berarti akan membongkar rahasia Houw Sin yang kurang pantas, berhubung dengan pengalamannya dengan Sui Lan dulu.
"Memang Song Liang telah gugur. Ia tewas sebagai seorang pahlawan bangsa, dan aku sendiri yang menyaksikan ketika ia menarik napas terakhir. Di atas pangkuankulah ia binasa, terkena senjata musuh. Telah bertahun-tahun kami berjuang bahu-membahu dan terus terang saja, Nona Liok, sungguhpun Kakekmu itu kepandaian silatnya tidak amat tinggi, namun siasat perangnya amat mengagumkan. Ia telah banyak berjasa terhadap perjuangan para patriot."
"Dimanakah ia dimakamkah, Lie Lopek?"
Tanya Siang Hwa menahan kekecewaannya. Lie Kai menghela napas,
Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, waktu kacau seperti itu, di mana ada waktu untuk mengubur para pahlawan yang gugur? Kami terdesak hebat dan terpaksa melarikan diri meninggalkan kawan-kawan yang tewas atau terluka."
Ia lalu menceritakan pengalamannya ketika berjuang di samping Song Liang.
"Ah, tiada gunanya lagi dicari.."
Kata Siang Hwa.
"Sudahlah, perkenankan aku pergi dan terima kasih atas kebaikanmu, juga terima kasih kepadamu, Yap Lo-Enghiong,"
Katanya kepada Lie Kai dan Yap Ma Ek. Setelah berkata demikian. Ia lalu melangkah keluar, akan tetapi tiba-tiba Tiong Han melangkah maju dan menjura kepadanya
"Liok-Lihiap, aku amat kagum menyaksikan kepandaianmu dan amat beruntung rasa hatiku dapat bertemu dengan murid dari Sam-Lian Sianli yang tersohor!"
Merahlah wajah Siang Hwa dan untuk sekejap mata ia memandang wajah pemuda yang tampan dan gembira itu, lalu menjawab.
"Ah, kau terlalu memuji. Sim-Enghiong. Kepandaianku belum tentu akan dapat menyamai kepandaianmu. Ilmu pedangmu Kun-Lun Kiam-Hwat amat lihai!"
"Ah, kau sudah mengenal ilmu pedangku pula? Alangkah bahagianya hatiku kalau aku mendapat kesempatan bertukar pikiran tentang ilmu pedang dengan kau, Nona. dan memetik sedikit kepandaian daripadamu."
Kembali muka Siang Hwa memerah. Ia cepat menjura dan berkata,
"Mudah-mudahan lain kali kita akan dapat bertemu dan mempunyai kesempatan untuk saling memberi petunjuk, Sim Enghiong. Akan tetapi pada waktu ini aku tidak mempunyai banyak tempo. Maafkan aku!"
Ia lalu melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Setelah Siang Hwa yang amat dikagumi itu pegi, semua orang mencurahkan perhatiannya kepada Sim Tiong Han yang juga telah mereka saksikan kelihaiannya. Maka semua orang lalu mengelilingi pemuda ini untuk memuji dan belajar kenal.
"Yap Lo-Enghiong, harap maafkan Siauwte yang telah berlancang masuk ke rumah ini tanpa minta ijin lebih dulu. Sesungguhnya, telah berhari-hari Siauwte mengejar penjahat Lee Kun yang telah berani menghina adik misanku,"
Secara singkat ia lalu menceritakan pengalamannya. Ketika Tiong Han asyik bercerita, tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu Siang hwa telah berdiri di situ pula. Muka gadis ini nampak merah dan bersungguh-sungguh, alisnya yang bagus dikerutkan
(Lanjut ke Jilid 05)
Naga Merah Bangau Putih (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
"Semua siap sedia!"
Katanya dengan sikap tenang akan tetapi suaranya menyatakan ketegangan hatinya.
"Kedua orang pengkhianat tadi, Lui Kok dan Ban Sek Hosiang, telah datang membawa sepasukan tentara Mancu dan beberapa orang perwira yang agaknya berkepandaian tinggi!"
Terkejut semua orang dan segera mereka mengambil senjata masing-masing dan berlari keluar.
"Jumlah musuh terlalu banyak, kulihat sedikitnya ada seratus orang. Lebih baik melarikan diri sebelum mereka datang!"
Kata Siang Hwa pula. Akan tetapi ternyata peringatannya telah terlambat karena segera terdengar derap kaki kuda dari jauh! Dari depan muncul kurang lebih tiga puluh orang, sebagian besar berpakaian sebagai panglima-panglima Mancu, dan ditengah mereka nampak Lui Kok, Ban Sek Hosiang, bahkan kedua saudara Lee tadipun nampak di situ menunggang kuda!
"Tangkap para pemberontak!"
Teriak Lui Kok.
"Bangsat pengkhianat!"
Tiong Han dan Siang Hwa memaki hampir berbareng dan kedua orang muda ini lalu memutar pedang menyambut keroyokan para panglima Mancu, dan di belakang mereka, dua puluh lebih orang gagah juga lalu menggerakkan senjata masing-masing menyambut serangan musuh.
Yang membuat Siang Hwa dan Tiong Han merasa gemas adalah karena mereka tidak melihat lagi bayangan kedua saudara Lee tadi. Mereka ingin sekali mendapat kesempatan membunuh kedua orang saudara Lee khianat itu. Akan tetapi, Siang Hwa masih terasa puas karena dalam amukannya, ia berhasil melukai Ban Sek Hosiang pada pahanya dan Tiong Han lebih berhasil lagi, karena tangan kiri Lui Kok telah terbabat putus oleh pedangnya! Kedua orang muda ini yang memiliki kepandaian paling tinggi, mengamuk bagaikan dua ekor naga sakti, di mana saja pedang mereka berkelebat tentu senjata musuh terbabat putus atau tubuh seorang lawan terguling. Akan tetapi, jumlah musuh terlalu banyak. Para perajurit yang tadinya hanya menGurung,
Ketika melihat betapa para pemimpin mereka kewalahan, lalu dikerahkan maju dan dua puluh lebih orang-orang gagah yang tadinya berkumpul di rumah itu telah terkurung rapat! Di antara para penglima musuh, banyak yang berkepandaian tinggi dan sebaliknya di antara para orang-orang kang-ouw terdapat juga yang kurang pandai, maka tak lama kemudian, banyak juga orang kang-ouw yang roboh mandi darah. Bahkan Yap Ma Ek, pendekar tua itu, tiba-tiba berteriak keras dan roboh dengan dada terluka oleh ujung tombak seorang panglima. Melihat hal ini, timbullah kekhawatiran di hati Siang Hwa. Ia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, oleh karena mengandalkan kepandaiannya, agaknya takkan sukar baginya untuk melepaskan diri dari kepungan. Akan tetapi ia mengkhawatirkan orang-orang gagah lainnya, kecuali Tiong Han karena pemuda inipun lihai sekali.
"Sim-Enghiong, kita pecahkan menjadi dua rombongan. Kau membuka jalan dari kiri dan aku dari kanan!"
"Baik, Liok-Lihiap!"
Jawab Tiong Han dengan suara gembira. Di dalam ketegangan dan pertempuran sehebat itu, pemuda ini masih saja tersenyum-senyum gembira. Mereka lalu memecah rombongan menjadi dua.
Lie Kai bertempur dalam rombongan Sim Tiong Han dan pendekar tua ini timbul pula kegembiraannya. Pertempuran ini mengingatkan ia akan pertempuran di dalam peran melawan bala tentara Mancu waktu dulu! Terdengar teriakan-teriakannya yang menyeramkan, ketika ia mainkan goloknya dengan gagah sekali. Thiat-Thouw-Gu Lie Kai memang menaruh dendam yang amat hebat pada balatentara Mancu, anjing penjajah itu. Ia kerahkan segala kepandaiannya. Akhirnya, berkat kegagahan mereka, terutama sekali Siang Hwa dan Tiong Han, terlepaslah mereka dari kepungan, dan mereka lalu melarikan diri, dikejar oleh pasukan Mancu itu. Siang Hwa lalu memencar pula rombongannya, bahkan ia lalu menyuruh mereka yang tadi mengikutinya untuk melarikan diri terlebih dulu sedangkan ia sendiri tertinggal di belakang untuk menyambut para pengejar!
Bukan main gagahnya dara ini, gagah dan juga tabah sekali. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa hal yang seperti ini pula terjadi di lain jurusan. Seperti telah berjanji lebih dahulu, juga Tiong Han melakukan siasat yang sama seperti Siang Hwa. Ia menyuruh kawan-kawan lain melarikan diri lebih dulu dan ia sendiri mencegat para pengejar yang segera mengeroyoknya. Setelah merasa bahwa orang-orang yang melarikan diri mendapat tempat-tempat sembunyi yang aman, barulah Tiong Han memutar tubuh dan lari dengan cepat, sebentar saja meninggalkan para pengejarnya. Akan tetapi ketika tiba di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba dari atas pohon melompat turun seorang tinggi besar dan orang ini adalah Lie Kai! Ia sengaja menanti Tiong Han di situ dan dengan girang ia tertawa,
"Sim-Taihiap, aku sengaja menanti di sini karena aku ingin sekali belajar kenal dengan kau yang muda dan gagah ini!"
Sim Tiong Han tertawa girang.ia memang suka kepada Kakek yang gagah ini dan mereka lalu melanjutkan perjalanan bersama-sama. Sementara itu, Siang Hwa juga melarikan diri setelah kawan-kawan lain dapat menyelamatkan diri dari para pengejarnya. Dan setelah melihat bahwa tidak ada seorangpun kawan yang ikut melarikan diri terancam bahaya lagi, Siang Hwa lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Propinsi Shansi, hendak pulang dan memberi laporan kepada Ayah-Bundanya tentang hasil usahanya mencari Kongkongnya.
Kita tinggalkan dulu Lie Kai dan Tiong Han yang melakukan perjalanan bersama itu, dan Liok Siang Hwa yang kembali ke kotanya, karena sudah terlalu lama kita meninggalkan Lie Swan Hong, pemuda puteri Sui Lan yang turun gunung bersama Suhengnya yang bernama Seng Tee Hwesio, untuk melakukan dharmabakti sebagai seorang pendekar yang melakukan perantauan, dan juga untuk mencari Kakeknya yang bernama Lie Kai dan berjuluk Thiat-Thouw-Gu si Kerbau Kepala Besi. Seng Tee Hwesio pernah turun gunung beberapa kali untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh mendiang Suhunya, maka kini ia dapat memberi petunjuk dan menceritakan keadaan sesuatu tempat yang mereka lalui kepada Swan Hong sehingga pemuda itu menjadi gembira sekali. Dari atas bukit Thai-Liang-San di Secuan, mereka menuju ke selatan, kemudian mereka lalu mengambil jalan air, naik perahu sepanjang sungai Yang-Ce.
Karena sukar untuk mendapat perahu tambangan yang murah, dan karena perjalanan mereka juga tidak tentu tujuannya, maka mereka lalu membuat perahu sendiri. Bukan perahu biasa terbuat daripada batang pohon, melainkan sebuah rakit atau getek yang terbuat daripada beberapa potong batang bambu yang ditumpuk-tumpuk dan dijajarkan, serta diikat dengan tali bambu pula. Dengan rakit yang sederhana inilah mereka melakukan perjalanan air. Di sepanjang jalan mereka mengalami banyak kegembiraan karena memang tamasya alam di kanan kiri sungai amat indahnya. Sepanjang perjalanan ini, mereka dapat menangkap ikan yang banyak terdapat di sungai itu. Seng Tee Hwesio sengaja melepaskan pantangannya dan ikut pula makan daging ikan, karena memang amat sukar untuk memegang teguh pantangan makan dan hanya makan sayur saja apalagi dalam perjalanan.
Berhari-hari mereka melakukan perjalanan tanpa ada rintangan yang berarti. Ada beberapa orang bajak sungai yag melihat perjalanan mereka, akan tetapi melihat bahwa yang melakukan pelayaran hanya seorang pemuda dan seorang Hwesio yang tidak membawa barang berharga, bahkan yang ditumpangipun hanya rakit bambu, maka para bajak itu tiada nafsu untuk merampok mereka! Ketika rakit yang mereka naiki itu tiba di kota Icang di Propinsi Hopak, mereka meminggirkan rakit dan mendarat di kota yang besar dan ramai itu. mereka telah melakukan pelayaran hampir sebulan lamanya dan sudah mengunjungi banyak dusun dan kota yang dilalui oleh sungai Yang-Ce. Keadaan kota ini amat menarik perhatian Seng Tee Hwesio karena menurut kabar, disitu terdapat sebuah Kuil Buddha yang besar, yakni yang disebut Kuil Thian Hok Si.
Pusat keramaian kota Icang adalah sebuah jalan besar yang penuh dengan toko-toko di kanan kirinya. Terdapat pula rumah-rumah penginapan yang memasang merek besar di samping restoran-restoran yang dari jauh sudah memanggil dan menarik perhatian orang dengan bau masakan sedap yang menimbulkan selera. Swan Hong dan Seng Tee Hwesio juga amat tertarik oleh bau masakan yang amat sedap, yang datang dari sebuah restoran di sudut sana. Masakan udang dari Icang amat terkenal dan udang yang diambil dari sungai itu segar-segar dan besar-besar. Seng Tee Hwesio pernah menikmati masakan udang ini, maka ia lalu mengajak Sutenya mampir ke rumah makan itu. Di dalam ruang restoran banyak orang yang sudah duduk dan sedang makan.
Mendengar percakapan mereka, dapat diketahui bahwa sebagian besar orang yang makan di situ adalah orang luar kota dan orang luar daerah. Memang, kota Icang banyak dikunjungi orang-orang jauh, bukan hanya untuk berdagang, akan tetapi juga untuk berpesiar karena pemandangan di wilayah lembah sungai Yang-Ce memang indah. Swan Hong dan Seng Tee Hwesio disambut oleh seorang pelayan dan mereka mendapat tempat duduk di meja dekat pintu yang baru saja ditinggalkan tamu yang sudah selesai makan. Memang lezat masakan restoran itu sehingga Seng Tee Hwesio sampai lupa akan jubah Pendeta yang dipakainya dan kalau Swan Hong habis seporsi, Hwesio ini habis dua porsi. Pada waktu mereka tengah menikmati masakan itu sambil minum arak ringan, datanglah seorang Hwesio lain yang bertubuh gemuk dan berkepala klimis.
Hwesio ini tangan kanannya memegang tongkat yang besar dan berat, sedangkan tangan kirinya bukan membawa tasbeh atau batok seperti biasa, melainkan mengepit sebuah buku catatan besar! Tadinya Swan Hong dan Seng Tee Hwesio yang duduk di dekat pintu, mengira bahwa Hwesio itu hanya berdiri di ambang pintu lalu mengetok-ngetokkan tongkat pada lantai. Yang aneh sekali, ketika penGurus rumah makan melihat kedatangan Hwesio ini, ia segera tersenyum lebar, tertawa dan membungkuk-bungkuk dengan sikap menjilat sekali sambil berlari menghampiri, menyambut Hwesio itu. tentu saja Swan Hong dan Seng Tee Hwesio merasa heran mengapa untuk menyambut seorang Hwesio, sampai penGurus sendiri yang keluar dari kantornya, bukan oleh pelayan yang banyak terdapat di situ.
"Silahkan masuk, Twa-Suhu. Sumbangan sudah kusediakan."
Akan tetapi Hwesio gemuk itu tidak menggerakkan tubuhnya, bahkan lalu membuka buku catatannya, dan setelah mencari-cari di dalam buku catatan, ia lalu berkata perlahan,
"Hm, hanya lima tail? Terlalu sedikit untuk rumah makan yang dikunjungi tamu sebanyak ini. mulai pekan ini Pinceng naikkan menjadi sepuluh tail!"
PenGurus rumah makan itu menjadi pucat ketika mendengar bahwa uang sumbangan untuk sepekan dinaikkan sampai sepuluh tail, maka sambil menjura ia berkata dengan suara memohon,
"Twa-Suhu, mohon maaf sebanyaknya. Sepuluh tail terlampau berat bagiku, keuntunganku tak ada, sekain banyaknya dalam sepekan? Twa-Suhu, kasihanilah kami, perusahan kami akan bangkrut kalau membayar sepuluh tail sepekan!"
Tiba-tiba sepasang mata Hwesio gemuk itu melotot.
"Apa...? Menyumbang harus dengan hati rela! Kalau kau menolak dan membikin marah Sang Buddha sehingga air sungai membanjir menenggelamkan rumah makan ini, apakah itu bukan berarti semua milikmu akan musnah?"
Setelah berkata demikian, Hwesio gemuk itu memutar tubuhnya dan meninggalkan rumah makan itu dengan langkah lebar.
"Twa-Suhu nanti dulu..."
Si penGurus rumah dengan muka pucat lalu mengejar dan keluar dari rumah makan itu. Swan Hong dan Seng Tee Hwesio merasa heran sekali mendengar percakapan itu. Ketika pelayan datang untuk mengambil mangkok-mangkok kosong dan menerima uang pembayaran, Swan Hong lalu menambah pembayaran itu dengan beberapa potong uang kecil, lalu bertanya kepada pelayan yang berterima kasih menerima hadiah itu.
"Lopek, sesungguhnya siapakah Hwesio tadi dan ada urusan apakah dia dengan rumah makan ini?"
Agaknya pelayan itu merasa ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi setelah menengok ke kanan kiri dan melihat bahwa tidak ada orang lain yang memperhatikan mereka, dengan suara berbisik ia berkata,
"Hwesio itu adalah pengumpul sumbangan dari klenteng Thian-Hok-Si dan..."
Tiba-tiba ia memandang kepada Seng Tee Hwesio dengan curiga,
"Akan tetapi... Apakah Siauw-Suhu ini bukan anggauta Thian-Hok-Si?"
Seng Tee Hwesio menggelengkan kepalanya yang gundul.
"Bukan, Pinceng datang dari tempat yang jauh dan ingin mengetahui apakah yang terjadi dengan Hwesio gemuk tadi?"
Pelayan itu bernapas lega lalu melanjutkan keterangannya. Dengan singkat ia menceritakan bahwa sudah terjadi kebiasaan di Kelenteng Thian-Hok-Si bahwa setiap pekan, semua pedagang di kota Icang harus memberi keuntungan yang sudah ditentukan jumlahnya. Tiada ada orang yang berani menolak jumlah sumbangan yang ditentukan oleh Hwesio itu, karena siapa yang menolak tentu akan tertimpa malapetaka. Ada beberapa orang yang berani menolak, malamnya tewas dengan tiba-tiba dan tidak diketahui sebabnya. Tidak terdapat luka di tubuhnya, akan tetapi orang itu tahu-tahu mati di dalam kamarnya!
"Oleh karena itulah, maka majikan kami tidak berani menolaknya."
Berkerut alis Seng Tee Hwesio mendengar hal ini. Mana ada sumbangan yang dikumpulkan dengan paksa?
"Dan ia tadi bicara tentang banjir, apakah artinya itu? dan peraturan sumbangan ini apakah sudah terjadi semenjak dahulu?"
Tanyanya.
"Sudah, sudah lama sekali terjadi, dan menurut cerita orang-orang yang sudah lama tinggal di sini, memang beberapa puluh tahun yang lalu kota ini disapu bersih oleh air sungai Yang-Ce yang meluap jauh. Sumbangan ini dilakukan kurang lebih sudah tiga tahun yang lalu, semenjak Kelenteng itu diketuai oleh seorang Hwesio bernama Ban Sek Hosiang.
"Agaknya pelayan itu merasa telah bicara terlampau banyak, maka ia lalu meninggalkan kedua orang tamunya itu sambil minta maaf karena tak berani melanjutkan percakapan itu. Setelah keluar dari rumah makan itu, Seng Tee Hwesio berkata,
"Sute, keadaan Kelenteng Thian-Hok-Si itu benar-benar mencurigakan. Marilah kita berkunjung kesana melihat-lihat!"
Swan Hong juga menyatakan penasarannya, maka kedua orang ini lalu menuju ke Kuil Thian-Hok-Si yang berada di ujug sebelah barat. Dari jauh sudah nampak bangunan itu, banyak sekali pengunjung yang hendak bersembahyang atau membayar kaul. Selain patung Ji-Lai-Hud yang dipuja di Kelenteng ini, juga terdapat banyak sekali patung-patung Dewa yang dipuja. Bangunan Kelenteng ini kuno sekali, akan tetapi masih kokoh dan agaknya mendapat rawatan yang baik sehingga cat-catnyapun nampak baru dan mewah. Di atas genteng yang tebal, terdapat sepasang naga batu yang indah seakan-akan hidup. Di ruang depan, lantainya terbuat daripada batu halus yang bersih mengkilap dan meja-meja sembahyang yang dipasang di situ amat besar dan panjang, penuh dengan hidangan-hidangan mahal.
Lilin-lilin yang terpasang di atas meja juga lilin-lilin berwarna yang digambari, besar dan panjang, lilin mahal-mahal belaka. Penutup meja dari kain bersulam gambar dewa-dewa, disulam dengan benang emas dan indah sekali. Pendeknya, Kelenteng ini mewah sekali dan belum pernah kedua orang murid dari Thai-Liang-San itu melihat sebuah Kelenteng seindah ini. terutama sekali Seng Tee Hwesio, ia merasa kagum dan suka sekali kepada Kelenteng yang besar dan baik ini seakan-akan kehilangan kesuciannya karena terlampau mentereng dan penuh dengan keindahan dan kemewahan duniawi. Ketika Swan Hong dan Seng Tee Hwesio masuk ke ruang depan, terjadi pula hal yang terasa janggal oleh Seng Tee Hwesio. Seorang diantara para Hwesio penyambut, datang menyambut mereka dengan tersenyum dan mengangkat kedua tangan sambil bertanya,
"Apakah jiwi hendak bersembahyang?"
Hal ini bagi orang lain terdengar biasa saja, akan tetapi bagi Seng Tee Hwesio, ia merasa amat heran. Biasanya, dimana saja kalau seorang Hwesio mengunjungi Kelenteng tempat lain, pasti ia akan disambut sebagaimana layaknya saudara seagama, dibawa masuk ke dalam untuk bertemu dengan Hwesio kepala, dan mendapat pelayanan seperti seorang saudara yang datang dari jauh. Akan tetapi kini ia disambut seperti orang biasa saja yang datang hendak bersembahyang! Hal ini hanya dapat terjadi karena dua hal, yaitu Hwesio penyambut itu tidak tahu aturan, atau Hwesio kepala memang seorang yang sombong. Adapun Swan Hong ketika mendengar pertanyaan dari Hwesio penyambut, menggelengkan kepala dan menjawab,
"Tidak kami hanya hendak melihat-lihat saja."
Mendengar jawaban ini, Hwesio penyambut itu nampak kurang senang, lalu katanya acuh tak acuh.
"Kalau hanya melihat-lihatpun, boleh asal memenuhi dua peraturan di sini."
Mendongkol sekali hati Seng Tee Hwesio mendengar ini, dan cepat ia berkata,
"Aturan macam apakah ini?"
Hwesio penyambut memandang kepadanya dengan mata tajam lalu tersenyum menyeringai dan berkata,
"Pertama, tidak boleh masuk ke ruang tengah, pendeknya tak boleh melalui pintu-pintu itu, dan kedua harus menyumbang sekadarnya dengan memasukkan uang ke dalam kantong di sudut sana!"
Setelah berkata demikian, Hwesio penyambut itu meninggalkan mereka untuk menyambut orang-orang lain yang baru datang. Swan Hong dan Seng Tee Hwesio saling pandang dengan heran, penasaran dan mendongkol. Luar biasa sekali Kelenteng ini, pikir Seng Tee Hwesio, tahunya hanya ingin menerima uang sumbangan saja!
"Hm, ingin sekali aku bertemu muka dengan Hwesio kepala. Orang macam apakah dia yang memimpin Kelenteng menjadi tempat pemerasan dan kemewahan?"
Kata Seng Tee Hwesio.
"Benar, Ji-Suheng (Kakak seperGuruan kedua), akupun ingin sekali melihat mukanya!"
Kata Swan Hong. Akan tetapi tiba-tiba pemuda ini mengutik tangan Seng Tee Hwesio sambil memandang keluar. Dari luar pintu pekarangan Kelenteng berjalan masuk dua orang sambil bercakap-cakap. Yang seorang adalah Hwesio gemuk pengumpul sumbangan tadi, sedangkan orang kedua adalah seorang yang berpakaian sebagai Tosu, sudah tua dan tangan kirinya putus sampai pada sikunya! Swan Hong dan Seng Tee Hwesio lalu menyelinap di antara para tamu dan dengan diam-diam mereka mendekati dua orang yang berjalan sambil bercakap-cakap itu.
"Lui Totiang, kali ini dia harus diberi hajaran keras! Usahanya demikian maju dan uang sepuluh tail saja..."
Tiba-tiba tanpa disengaja Hwesio gemuk itu melihat Seng Tee Hwesio, maka ia menghentikan percakapannya, sedangkan Seng Tee Hwesio juga pura-pura tidak melihat atau mendengarnya.
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo