Ceritasilat Novel Online

Naga Merah Bangau Putih 9


Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Swan Hong tertegun.

   "Benar, Lo-Enghiong, aku adalah Lie Swan Hong murid dari Lam Hwat Hwesio. Ilmu golok itu sesungguhnya adalah Pek-Ho To-Hwat."

   "Ha, ha, bagus, bagus... tidak kalah oleh Gurunya, sekarang kalah oleh muridnya"! Sama saja, aku sudah merasakan kelihaian Pek-Ho To-Hwat dan aku puas"! Anak muda golokku ini tak boleh jatuh ke dalam tangan orang yang tidak berharga, hanya orang-orang yang memiliki ilmu golok seperti aku dan kau saja yang patut memakainya. Nah... terimalah, kau... kau berhak memiliki golok ini..."

   Luar biasa sekali kekuatan tubuh Kakek itu. biarpun dadanya telah tertembus pedang, namun ia masih mampu berkata-kata selama itu. akan tetapi kini ia telah lemah, terlalu banyak darah mengalir keluar, ia terengah-engah dan meramkan matanya, ditangisi oleh gadis-gadis itu.

   "Anak muda... Awas, jangan ada yang mengganggu anak-anakku ini! Kalau mereka ini diganggu, biarpun sudah mati, aku akan keluar dari kuburan... terimalah golok ini..."

   Ia mengerahkan tenaga terakhir untuk mengulur tangan memberikan golok mustika itu kepada Swan Hong yang menerimanya dengan terharu. Maka matilah Kakek itu, diantar oleh suara tangisan tujuh belas orang gadis-gadis cantik yang mengaku sebagai anak-anaknya!

   Dengan penuh keheranan, setelah tubuh yang sudah menjadi mayat itu diangkat ke dalam Kuil, Giok Cui dan Swan Hong melihat betapa keadaan di dalam Kuil itu lebih mewah lagi. Kemudian mereka bertanya kepada para gadis itu yang segera memberikan keterangan sejelasnya. Ternyata bahwa Kakek itu adalah seorang kang-ouw yang menjadi gila karena tiga orang anak gadisnya semua meninggal dunia terserang penyakit yang menjalar di kampungnya. Ia menjadi gila setelah tiga orang anak dari seorang isterinya meninggalkan dia sebatangkara, lalu ia merantau sampai jauh sambil menangis-nangis dan memanggil nama anak isterinya. Makin lama, makin hebatlah penyakit gilanya ini sehingga ketika ia tiba di tempat itu, ia menculik gadis-gadis yang diaku sebagai anaknya! Ia memperlakukan gadis-gadis itu dengan baik sekali, melebihi seorang Ayah sejati terhadap anak-anaknya.

   "Aku akan membikin kalian hidup mewah seperti puteri Kaisar!"

   Demikian katanya sambil tertawa-tawa.

   "Aku adalah Ayahmu dan aku akan mendidik ilmu silat kepada kalian, memberi pakaian yang paling baik, makanan yang paling lezat, rumah yang paling mewah dan indah! Kemudian, hanya pendekar-pendekar gagah perkasa dan bangsawan-bangsawan muda yang berkedudukan tinggi saja yang dapat menjadi mantu-mantuku! Ha, ha, ha, tidak... tidak...! Hanya Pangeran saja yang pantas menjadi mantu-mantuku!"

   Mula-mula para gadis itu takut sekali terhadap Kakek ini, akan tetapi ketika melihat bahwa "Ayah"

   Ini memang baik sekali terhadap mereka, merekapun hidup senang. Lebih-lebih karena Kakek ini memiliki sedikit ilmu hoatsut (ilmu sihir) dan dengan kepandaiannya ini ia menyihir "anak-anaknya"

   Sehingga mereka menjadi penurut dan menganggap seperti Ayah sendiri!

   Juga ilmu golok yang ia ajarkan kepada para anaknya itu dilakukan dengan ilmu sihir. Dengan hanya memberi minum secawan arak yang dicampur obat dan dibacakan mantera, gadis yang minum arak itu otomatis bisa bermain silat dengan golok! Ini adalah ilmu sihir dari daerah Mongolia Dalam. Swan Hong lalu berlari keluar dari hutan untuk memberitahu kepada para penduduk yang menjaga diluar. Maka berbondonglah orang-orang datang memasuki hutan. Ayah-Ibu para gadis itu lalu berpelukan dengan anak mereka dan suasana menjadi amat riang gembira. Swan Hon dan Giok Cui agaknya telah dilupakan orang dan ketika mereka itu teringat kembali kepada mereka, ternyata kedua orang muda itu telah pergi jauh tanpa pamit!

   Swan Hong dan Giok Cui melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari Kongkong mereka. Setiap kali tiba di suatu tempat, mereka lalu mencari tokoh silat di kota atau dusun itu, dan bertanya tentang Lie Kai yang berjuluk Thiat-Thouw-Gu! Benar saja seperti yang diduga oleh Seng Thian Hwesio, hampir semua tokoh persilatan kenal kepada Thiat-Thouw-Gu Lie Kai atau setidaknya pernah mendengar namanya. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang melihatnya! Beberapa bulan kemudian, mereka tiba di Propinsi Shensi. Mereka mengambil jalan ini oleh karena dari seorang Piauwsu (tukang mengawal barang-barang berharga), mereka mendengar bahwa Thiat-Thouw-Gu Lie Kai berada di sekitar daerah Shensi.

   Selama perjalanan yang berbulan-bulan itu, perhubungan antara Swan Hong dan Giok Cui makin erat. Di luarnya, mereka ini seperti Kakak-beradik kandung saja, akan tetapi sesungguhnya, keduanya masih belum dapat melenyapkan perasaan cinta kasih yang lain lagi sifat. Betapapun juga, keduanya dapat mempergunakan kekuatan iman masing-masing untuk menekan perasaan yang mereka anggap tidak pada tempatnya itu, dan demikianlah, hubungan mereka penuh dengan kesopanan dan kemesraan keluarga. Ilmu silat Giok Cui meningkat cepat setelah mendapat latihan-latihan dan petunjuk dari Kakak misannya. Pada suatu hari, mereka tiba di perbatasan antaran Propinsi Shensi dan Propinsi Sansi, yakni di Pegunungan LuliAng-San yang penuh dengan hutan rimba yang masih liar.

   "Kita berhenti dulu di sini, Twako, karena aku ingin melatih ilmu silat pedang. Gerakan ke delapan belas yang disebut Seng-Siok Hut-Si (Musim Panas Mengebutkan Kipas) masih amat sukar."

   Seperti biasa, Swan Hong selalu memenuhi permintaan adik misannya ini, karena kalau ditolak, gadis itu akan merengut, dan biarpun Giok Cui selalu menurut kata-kata Kakak misannya, akan tetapi ia lalu menjadi marah dan diam saja tidak mau berjenaka pula. Giok Cui lalu mencabut pedangnya dan ia lalu bersilat pedang.

   "Putar pedang itu dengan pergelangan tanganmu saja, lenganmu jangan ikut bergerak, dilempangkan ke depan. Dengan demikian, pergerakan Seng-Siok Hut-Si akan sempurna!"

   Swan Hong memberi petunjuk setelah melihat gadis itu berlatih. Setelah berlatih beberapa lama, pergerakan Giok Cui mulai sempurna dan gadis itu merasa girang sekali. Ia memang rajin dan tanpa mengenal bosan ia lalu mengulang dan mengulang lagi gerakan itu. Tiba-tiba Swan Hong berkata.

   "Giok Cui, ada rombongan orang berkuda datang ke jurusan ini!"

   Gadis itu menunda permainan pedangnya dan benar saja, dari jauh nampak debu mengebul dan Swan Hong lalu menarik tangan adik misannya untuk bersembunyi di balik pohon.

   Ia melihat dari jauh bahwa yang datang itu adalah serombongan perwira berkuda terdiri dari lima belas orang. Setelah rombongan itu datang dekat, kedua orang muda ini melihat dengan terkejut bahwa dua orang diantara mereka adalah Lee Kim Bwe dan Lee Kun! Dan ditengah-tengah sekali, dua orang laki-laki dan perempuan duduk di atas kuda dengan tangan terikat! Mereka ini agaknya tawanan-tawanan yang hendak di bawa pergi oleh rombongan perwira Kerajaan itu. Hal ini sebetulnya tidak mengherankan, bahkan seringkali terjadi penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan oleh perwira-perwira Kerajaan baru itu. Akan tetapi kali ini, karena di situ terdapat kedua saudara Lee yang mereka benci, dan terutama melihat laki-laki setengah tua dan wanita yang terikat tangannya itu, Swan Hong dan Giok Cui menaruh perhatian besar.

   "Kita kejar mereka!"

   Bisik Swan Hong setelah rombongan itu lewat. Entah mengapa, melihat laki-laki berpakaian sasterawan yang tertawan itu, hatinya merasa kasihan sekali dan timbul niatnya hendak menolong. Gok Cui memang mempunyai perasaan benci yang besar sekali terhadap Lee Kim Bwe dan Lee Kun, dan juga ia tidak suka kepada para perwira itu, maka ia lalu mengangguk. Kedua orang muda ini lalu berlari cepat mengejar rombongan berkuda itu.

   "Apakah kita akan menyerang mereka?"

   Tanya Giok Cui. Swan Hong menggelengkan kepalanya.

   "Kita harus berlaku hati-hati. Diantara para perwira Kerajaan, banyak yang berkepandaian tinggi. Lagi pula, kita belum tahu siapakah adanya dua orang yang tertawan itu. lebih baik kita menyelidiki dulu sebelum turun tangan. Kalau memang dua orang itu orang baik-baik, tentu saja kita harus turun tangan menolong mereka!"

   Karena rombongan berkuda itu tidak melarikan kuda mereka dengan cepat, maka Swan Hong dan Giok Cui dapat juga mengikutinya dan tidak tertinggal jauh. Setibanya di dusun di luar hutan itu, rombongan berkuda berhenti dan bermalam di rumah kepala kampung yang menyambut mereka dengan penuh penghormatan. Dua orang tawanan itu lalu dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan dan dibelenggu kaki tangannya.

   Sebetulnya siapakah dua orang laki-laki dan wanita yang menjadi kurban keganasan perwira-perwira Kerajaan yang dipimpin oleh Sin-Kiam Siang-Hiap Lee Kim Bwe dan Lee Kun ini? Mereka ini bukan lain adalah Liok Houw Sin dan isterinya Song Bwee Eng atau Ayah-Ibu dari Liok Siang Hwa gadis pendekar yang gagah perkasa itu! sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Siang Hwa yang gagah berani ini telah menghajar habis-habisan kepada Lee Kim Bwe, dan di dalam kesemberonoannya, Sing Hwa telah memberitahukan nama, tempat tinggal, bahkan mengaku bahwa Ibunya adalah anak dari mendiang Song Liang, panglima yang telah gugur sebagai pejoang yang hendak mengusir pemerintah Mancu! Lee Kim Bwe yang mendapat hinaan besar di depan banyak orang dalam rumah Yap Ma Ek itu, tentu saja merasa sakit hati sekali.

   Apalagi setelah Lee Kim Bwe bertemu dengan Swan Hong dan Giok Ciu sehingga kembali ia menderita kekalahan, bahkan pedangnya terampas oleh Swan Hong. Jian-Jiu Koan-Im Lee Kim Bwe menjadi amat penasaran. Ia bersumpah di dalam hati untuk membalas dendam kepada orang-orang muda yang telah mengalahkannya itu, dan untuk dapat mencapai maksud hati ini, tak lain ia harus mendapat bantuan kawan-kawan yang berilmu tinggi. Ia dan adiknya kini telah "diakui"

   Oleh Kaisar sebagai pembantu-pembantu yang setia, maka ia lalu ajak adiknya pergi ke Kotaraja. Di sini mereka lalu berhubungan dengan para perwira Kerajaan dan berhasil minta bantuan dua belas orang perwira-perwira Kerajaan yang kepandaiannya tinggi. Bahkan tiga orang diantara para perwira itu adalah perwira-perwira kelas satu!

   Tiga orang perwira ini kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada Lee Kun atau Lee Kim Bwe, maka dengan bantuan orang-orang gagah ini, Sin-Kiam Siang-Hiap lalu mulai mencari musuh-musuhnya. Pertama-tama mereka bersama dua belas orang perwira itu menuju ke kota Hancung di Propinsi Shensi, tempat tinggal Liok Siang Hwa gadis pendekar yang telah mendatangkan kehinaan hebat kepada kedua saudara Lee itu di rumah Yap Ma Ek. Tentu saja Liok Houw Sin dan isterinya terkejut sekali ketika pada suatu hari, di depan rumah mereka datang serombongan perwira Kerajaan dengan sikap menakutkan. Liok Houw Sin adalah seorang sasterawan yang tidak pandai silat, maka tentu saja ia merasa khawatir sekali. Tidak demikian dengan isterinya, yakni Song Bwee Eng. Puteri mendiang Panglima Song Liang ini pernah dilatih silat oleh Ayahnya dan ia memang memiliki ketabahan seperti Ayahnya pula.

   "Apakah keperluan kalian datang di rumah kami?"

   Tanya Song Bwee Eng dengan garang. Lee Kim Bwe tersenyum dan melompat turun dari kudanya lalu menghadapi nyonya itu.

   "Kami datang hendak mencari seorang Nona bernama Liok Siang Hwa. Bukankah di sini rumahnya?"

   Pada waktu itu, Liok Siang Hwa belum kembali dari perantauannya, dan sebagai seorang yang tahu tentang kehidupan orang-orang kang-ouw, nyonya Liok ini jug mengira bahwa orang-orang gagah ini mungkin sekali kawan-kawan anaknya. Ia lalu menjawab.

   "Memang Siang Hwa adalah anak kami, akan tetapi pada saat ini ia belum pulang dan masih merantau, entah berada di mana."

   Mendengar ucapan ini, Lee Kim Bwe nampak kecewa, akan tetapi ia bertanya lagi.

   "Bukankah kau adalah puteri dari Panglima Song Liang?"

   Song Bwee Eng terkejut mendengar pertanyaan ini, akan tetapi ia menetapkan hatinya dan mengangguk.

   "Memang, Song-Ciangkun adalah Ayahku!"

   Jian-Jiu Koan-Im Lee Kim Bwe tersenyum menyindir lalu berkata nyaring,

   "Bagus sekali! Ayahmu seorang pemberontak, anakmupun seorang pemberontak. Karena sekarang anakmu tidak ada, hayo kau ikut kami sebagai tawanan!"

   Baru sekarang Song Bwee Eng merasa gelisah. Ia tahu bahwa ada bahaya besar yang mengancam rumah tangganya. Akan tetapi sebelum ia sempat bergerak, suaminya telah melangkah maju di depannya dan berkata kepada Lee Kim Bwe.

   "Nona, harap kau jangan mengganggu isteriku. Kami suami-isteri selalu tinggal di tempat ini dan tidak tahu menahu tentang segala pemberontakan. Kau tidak boleh menawan isteriku!"

   Baru saja Liok Houw Sin berkata demikian, seorang di antara para perwira lalu berseru.

   "Bukankah kau ini Pangeran Liok Han Swee??"

   Sambil berkata demikian, perwira itu melompat turun dari kudanya dan memandang wajah Houw Sin yang menjadi pucat itu dengan penuh perhatian.

   "Benar, kau adalah Liok Houw Sin, putera Pangeran Liok itu. Ha, ha, ha! Ini namanya sekali tepuk mendapat dua lalat! Kita sekaligus dapat menawan orang-orang penting, puteri pemberontak Song Liang, dan putera pengkhianat Liok Han Swee!"

   Ia mengulur tangannya menangkap lengan Liok Houw Sin.

   "Jangan mengganggu suamiku!"

   Seru Song Bwee Eng sambil bergerak maju mendorong tubuh perwira itu. Akan tetapi, tidak tahunya perwira ini adalah seorang di antara ketiga orang perwira kelas satu. Mendengar sambaran angin serangan Bwee Eng, sambil tertawa menghina ia mengulur tangan kiri dan dengan mudah ia dapat pula menangkap pergelangan tangan nyonya itu! Bwee Eng dan Houw Sin meronta-ronta dan hendak melawan sekuatnya, akan tetapi mereka menghadapi lawan yang amat kuat dan tangguh, dan karena Bwee Eng maklum bahwa perlawanan tidak akan ada gunanya, ia lalu berkata kepada suaminya.

   "Biarlah, kita ikut saja ke mana orang-orang ini membawa kita!"

   Dengan kedua tangan terikat, Bwee Eng dan Houw Sin lalu dibawa oleh rombongan berkuda itu menuju ke Kotaraja. Mereka menjadi girang sekali, karena menganggap telah mendapatkan tawanan yang cukup berarti kali ini. Kalau Kaisar mendengar bahwa yang ditawan adalah puteri Song Liang dan putera Liok Han Swee, tentu mereka akan mendapat hadiah. Adapun kedua saudara Lee itu juga merasa puas karena sungguhpun mereka tidak dapat membalas sakit hatinya terhadap Siang Hwa,

   Akan tetapi dengan penangkapan Ayah-Bunda gadis itu berarti sudah merupakan pembalasan yang cukup hebat. Siapa tahu kalau-kalau gadis itu akan mendapat tahu tentang penangkapan ini dan mengejar! Kalau demikian halnya, mereka telah bersiap menangkap pula gadis musuh besarnya itu. Lee Kim Bwe dan Lee Kun tidak takut menghadapi Siang Hwa, karena mereka telah yakin akan kelihaian kawan-kawannya, terutama tiga orang perwira kelas satu itu. Mereka ini benar-benar kosen dan lihai sekali. Seorang diantara mereka yang tadi mengenal muka Houw Sin, adalah seorang panglima tua yang dulu menjadi kawan Panglima Song Liang. Panglima ini bernama Tan Gak Kong, seorang tokoh Bu-Tong-Pai yang ahli dalam permainan senjata kongce (tombak panjang bercabang dua), juga tenaga lweekangnya sudah mencapai tingkat tinggi.

   Dua orang panglima kelas satu lainnya adalah Kakak-beradik bangsa Mancu yang kosen. Yang tua adalah Tung Hacu yang menjadi ahli dalam ilmu pedang pasangan (Siang-kiam) dan memiliki ilmu pedang yang disebut Hwe-Eng Kiam-Sut (Ilmu Pedang Garuda Terbang). Adapun adiknya, Tung Haci, memiliki tenaga kasar, bahkan tenaganya tidak kalah oleh Tan Gak Kong, sedangkan senjatanya adalah sebatang toya pendek yang terbuat daripada baja yang keras dan berat. Tiga orang perwira kelas satu inilah yang menjadi andalan kedua saudara Lee itu, maka kini mereka mengharapkan kedatangan Siang Hwa dengan hati berani. Dan pengharapan mereka itupun terkabul! Bahkan bukan hanya Siang Hwa yang muncul, akan tetapi juga musuh-musuhnya yang telah merampas pedangnya, yakni swan Hong dan Giok Cui!

   Demikianlah, Swan Hong dan Giok Cui melakukan pengintaian terhadap rombongan itu. ketika rombongan itu bermalam di rumah kepala dusun, kedua orang muda ini diam-diam mendatangi rumah itu. Dengan hati-hati mereka lalu bersembunyi di tempat gelap dan mengintai ke sebelah dalam, di mana para perwira itu sedang dijamu makan oleh tuan rumah. Mereka itu duduk mengelilingi meja besar di ruang depan yang lega, minum arak sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap. Kesombongan membuat mereka bercakap-cakap dengan keras, tak menyembunyikan sesuatu karena mereka juga tidak takut terdengar oleh siapapun juga. Tan Gak Kong, perwira yang bertubuh pendek gemuk itu mengangkat cawan araknya sambil berkata kepada Lee Kun.

   "Saudara Lee, sungguh ingin sekali aku bertemu dengan puteri mereka yang kau sohorkan amat gagah perkasa dan terutama sekali... Cantik jelita itu! Ha, ha, ha, akan gembiralah seorang tawanan yang cantik seperti dia. Siapa namanya katamu tadi? Aku lupa lagi!"

   Lee Kun tersenyum. Ia maklum bahwa pengaruh arak telah membuat mulut perwira tua yang mata keranjang ini mulai mengoceh.

   "Tan-Ciangkun, aku tidak membohong ketika berkata bahwa gadis itu selain gagah perkasa, juga cantik sekali bagaikan setangkai bunga botan! Namanya Siang Hwa, Liok Siang Hwa!"

   "Siang Hwa...?"

   Ah, namanya saja kembang harum! Aku ingin menjadi kumbang untuk mengisap madu kembang yang harum itu. Ha, ha, ha!"

   Semua orang yang duduk di situ tertawa mendengar kelakar yang tidak sopan ini. Hanya Lee Kim Bwe seorang yang tidak ikut tertawa. Gadis ini masih tidak puas sebelum musuh besarnya tertawan agar ia dapat membalas penghinaan yang telah ia alami dari Liok Siang Hwa.

   "Cuwi-Ciangkun (tuan-tuan perwira sekalian),"

   Katanya sungguh-sungguh sambil memandang kepada para perwira itu.

   "Gadis liar itu benar-benar berbahaya, harap jangan memandang ringan, ia adalah murid dari Sam-Lian Sianli dari Cin-Ling-San! Perjalanan ke Kotaraja baiknya kita lakukan lambat-lambat saja agar memberi ketika kepadanya untuk mengejar kita. Orang-orang macam suami-isteri she Liok yang kita tawan ini, sungguhpun mereka merupakan keturunan-keturunan dari para pemberontak besar seperti Song Liang dan Liok Han Swee, akan tetapi tidak ada artinya dan tidak berbahaya. Pemberontak yang berkepandaian seperti gadis liar Liok Siang Hwa itulah yang harus dibasmi, karena amat berbahaya!"

   "Ha, ha, ha!"

   Tan Gak Kong tertawa lagi.

   "Jian-Jiu Koan-Im, jangan kau gelisah. Kalau Kembang Harum itu datang, serahkan saja kepada kumbang ini!"

   Ia menepuk-nepuk dadanya.

   "He, Tan-Ciangkun!"

   Tiba-tiba Tung-Haci menegur sambil tertawa.

   "Kau ini kumbang tua belum apa-apa sudah membual! Bagaimana kalau nanti gadis itu benar-benar muncul dan kau dikalahkan olehnya?"

   "Apa...?? Tak mungkin! Mana ada kumbang kalah oleh kembang? Lebih baik mati saja!"

   Jawab Tan Gak Kong. Demikianlah, mereka bersenda-gurau dan tertawa-tawa sambil makan minum arak dan masakan yang dihidangkan. Sementara itu, setelah mendengar percakapan mereka, Swan Hong menarik tangan Giok Cui keluar dari tempat persembunyian lalu berbisik,

   "Moi-moi, ternyata tawanan itu adalah suami-isteri yang hendak dibawa ke Kotaraja karena tuduhan pemberontak! Kelihatannya perwira-perwira itu memiliki kepandaian tinggi, maka pekerjaan harus kita bagi. Kau masuklah dari belakang dan usahakanlah agar supaya kau dapat membebaskan kedua orang tawanan itu, lalu kau ajak lari dari sini terlebih dulu. Biar aku yang mengacau dan menyerang para perwira sehingga mereka tak dapat mengejar kau dan para tawanan yang lari."

   Giok Cui mengerutkan alisnya. Hatinya tak sedap untuk berpisah dari pemuda ini, akan tetapi oleh karena maklum bahwa siasat itulah yang terbaik untuk menolong kedua orang-tua itu, ia lalu berbisik kembali.

   "Kemanakah aku harus membawa lari mereka, Twako? Bagaimana nanti kita bisa bertemu kembali?"

   Swan Hong berpikir sebentar, lalu menjawab,

   "Tidak ada tempat yang lebih baik selain di Kelenteng Thian-Hok-Si! Di sana ada kedua orang Suhengku yang tentu mau menolong kita. Kau pergilah ke selatan, ke kota Icang di Hopak dan bawalah kedua orang-tua itu ke sebuah Kelenteng besar di kota itu, yakni Kelenteng Thian-Hok-Si. Kau tentu masih ingat akan nama-nama kedua Suhengku, yakni Seng Thian Hwesio dan Seng Tee Hwesio."

   Giok Cui mengangguk maklum. Ia telah bertemu sekali dengan Seng Thian Hwesio ketika ia ikut Swan Hong naik ke bukit Thai-Liang-San. Akan tetapi kembali ia ragu-ragu ketika ia bertanya.

   "Habis kau sendiri, bagaimana Twako? Hatiku tidak enak meninggalkan kau menghadapi mereka seorang diri. Bagaimana... kalau kau... tertangkap oleh mereka?"

   Swan Hong memegang tangan Giok Cui dan untuk sedetik timbul kembali kemesraan yang menghangatkan jantungnya. Akan tetapi ia cepat-cepat melepaskan lengan itu lagi dan sambil tersenyum ia berkata.

   "Adikku yang manis, masih belum percayakah kau kepadaku? Aku tidak berani memastikan bahwa aku akan dapat kalahkan mereka, akan tetapi kurasa aku akan dapat menjaga diri dan takkan sampai tertawan oleh mereka. Harap kau jangan khawatir, kau berangkatlah dulu, pergunakan tiga ekor kuda mereka yang berada di kandang dan bawa lari dua orang-tua itu. Aku pasti akan menyusulmu ke Kelenteng Thian-Hok-Si!"

   Terpaksa Giok Cui mentaati permintaan pemuda ini dan setelah berkata sekali lagi.

   "Kau hati-hatilah menjaga dirimu, Twako,"

   Lalu ia menyelinap ke dalam gelap menuju ke belakang rumah itu. Swan Hong lalu kembali ke ruang depan dan mengintai. Para perwira masih makan minum dengan gembira. Swan Hong hanya menjaga saja karena ia baru akan turun tangan menyerang mereka dan mengacaukan keadaan apabila usaha Giok Cui diketahui orang, sehingga dengan demikian ia dapat mencegah mereka mengejar Giok Cui. Akan tetapi, tiba-tiba ia dikejutkan oleh berkelebatanya bayangan orang dari atas genteng dan baru saja ia menengok ke atas bayangan itu dengan gerakan yang cepat bagaikan seekor burung besar, telah melayang ke dalam ruangan yang penuh tamu. Ternyata ia adalah seorang gadis muda yang cantik jelita, berpakaian serba merah menyolok mata!

   "Orang-orang she Lee pengecut hina dina!"

   Dengan suara nyaring, gadis baju merah itu membentak marah.

   "Kalau kau berani, lawanlah aku, jangan mengganggu orang-tuaku yang tidak berdosa! Kalau sekarang juga kau tidak membebaskan mereka, jangan katakan aku kejam kalau aku mengambil kepala kalian yang tak berharga!"

   (Lanjut ke Jilid 07 - Tamat)

   Naga Merah Bangau Putih (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07 (Tamat)

   Untuk beberapa lama, semua orang yang hadir di situ memandang dengan terkejut dan kagum. Kemudian terdengar suara ketawa terbahak-bahak dan perwira pendek gemuk Tan Gak Kong lalu bangkit berdiri.

   "Ha, ha, ha, ha! Inikah Kembang Harum itu? Ah, benar saja, benar-benar indah dan harum. Aku sudah menjadi kumbangnya...!"

   "Orang-orang she Lee!"

   Siang Hwa gadis baju merah itu membentak sambil memandang ke arah Kakak-beradik she Lee itu.

   "Apakah kalain benar tidak berani mempertanggungkan jawabkan perbuatanmu? Jangan kau bersembunyi di belakang gentong kosong ini, karena takkan ada gunanya!"

   Lee Kim Bwe dan Lee Kun yang sudah mengetahui kelihaian gadis itu, tak berani menjawab, hanya memandang marah. Sedangkan Tan Gak Kong lalu tertawa kembali.

   "Ah, galak! Galak dan liar! Akan tetapi aku paling suka Kembang Harum yang liar, kembang hutan yang belum tersentuh oleh kumbang-kumbang kota yang rakus. Ha, Ha, Nona. Apakah benar kau yang bernama Liok Siang Hwa, puteri dari dua orang tawanan pemberontak itu? Kini Siang Hwa memandang kepada perwira gemuk pendek ini dan ia tersenyum menghina.

   "Kau ini anjing dari manakah berani menggonggong dan bersikap kurang ajar? Apakah kau tua bangka yang sudah hampir mampus ini sudah rindu kepada kuburan?"

   Merahlah telinga Tan Gak Kong mendengar hinaan yang hebat ini.

   "Aduh, kalau saja kau tidak begitu cantik manis, ucapan ini saja sudah cukup membikin aku marah dan menghancurkan kepalamu! Akan tetapi sayang sayang kalau kembang yang harum dan indah ini menjadi rusak. Nona manis, demi Tuhan, aku akan berusaha membujuk para pembesar untuk memberi keringanan kepada orang-tuamu, asal saja kau suka menjadi kekasihmu!"

   Hampir meledak rasa dada Siang Hwa mendengar ini.

   "Monyet tua! Sebelum mengambil kepala dua ekor anjing she Lee, lebih dulu kepalamu yang buruk akan kupenggal!"

   Ia lalu menggerakkan pedangnya dengan cepat sekali menyerang leher Tan Gak Hong. Perwira ini terkejut sekali karena serangan ini benar-benar berbahaya dan amat cepat datangnya. Ia segera membuang diri kebelakang untuk mengelak serangan ini. Kemudian ia mengambil senjatanya konce yang tadi disandarkan pada meja. Dengan senjata di tangan ini, ia mengangkat dadanya dan menghampiri Siang Hwa.

   "Nona jangan kau mencari penyakit sendiri. Ketahuilah bahwa aku Tan Gak Hong adalah seorang panglima yang belum pernah menderita kekalahan dalam tiap pertempuran. Kau yang masih muda dan cantik, baru dapat bermain pedang sedikit saja, sudah berlagak sombong. Jangan kira bahwa setelah dapat mengalahkan dua saudara Lee, kau lalu menjagoi di seluruh dunia. Lebih baik kau menyerah, ikut padaku dan aku akan memberi pelajaran ilmu tombak dan ilmu pedang yang lebih tinggi kepadamu!"

   "Tua bangka tak tahu malu! Kau boleh pentang mulut sesukamu, karena sebentar lagi mulutmu takkan dapat kau gerakkan lagi!"

   Sambil berkata demikian, Siang Hwa lalu berkelebat maju dan pedangnya sudah digerakkan! Menyerang hebat dengan gerak tipu Ang-Liong Ciong-Goat (Naga Merah Sembunyikan Bulan) sebuah tipu serangan dari ilmu pedang Ang-Liong Kiam-Sut yang lihai. Tan Gak Kong cepat menangkis dan ketika kedua senjata itu beradu, tahulah Siang Hwa bahwa lawannya memiliki tenaga lweekang yang tinggi, maka ia lalu mempercepat gerakan pedangnya dan bersilat dengan hati-hati. Sementara itu, Swan Hong yang tadi bengong dan kagum melihat Nona baju merah yang cantik jelita itu, kini makin kagum menyaksikan ilmu pedang yang demikian hebatnya. Ia dapat melihat bahwa dengan ilmu pedang seperti itu, tak perlu dikhawatirkan Nona itu akan kalah atau mudah dirobohkan lawan-lawannya, maka ia lalu mempergunakan kesempatan ini untuk lari ke belakang menyusul Giok Cui.

   Untung saja ia melakukan perbuatan ini, karena setelah ia tiba di belakang rumah, ia melihat Giok Cui dan nyonya yang tadi tertawan sedang menghadapi keroyokan lima orang penjaga. Ternyata bahwa Giok Cui telah berhasil mencuri tiga ekor kuda, akan tetapi ketika ia menyerbu ke dalam dan berhasil melepaskan ikatan tangan Liok Houw Sin dan Song Bwee Eng, ia terlihat oleh para penjaga yang segera mengeroyoknya! Bwee Eng melihat penolongnya diserang, lalu maju dan berhasil merampas sebuah pedang dari seorang pengeroyok, lalu iapun membantu Giok Cui mengamuk! Adapun Liok Houw Sin hanya berdiri memandang dengan gelisah. Kedatangan Swan Hong merupakan pertolongan tepat, karena beberapa kali gerakan kaki tangannya membuat para pengeroyok kocar-kacir dan jatuh bangun.

   "Lekas, moi moi, lekas pergi! Biar aku yang menghadapi mereka!"

   Kata Swan Hong.

   "Jiwi, harap suka naik kuda dan ikut adikku ini!"

   Katanya pula kepada Liok Houw Sin dan Song Bwee Eng. Bwee Eng lalu melompat dengan sigap ke atas seekor kuda, berbareng dengan Giok Cui, akan tetapi Liok Houw Sin tak dapat bergerak secepat itu.

   Melihat keadaan orang-tua ini, maklumlah Swan Hong bahwa orang-tua ini adalah seorang sasterawan yang lemah. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menyaut tubuh orang dan dengan ringan dan cepat sekali ia menaikkan tubuh Liok Houw Sin di atas seekor kuda. Houw Sin menjadi kagum sekali, karena merasa seakan-akan tubuhnya diterbangkan ke atas. Tanpa banyak cakap lagi larilah tiga ekor kuda itu, keluar dari kampung. Belasan orang penjaga lari ke tempat itu, akan tetapi segera terdengar teriakan-teriakan mereka yang roboh karena sambutan kaki tangan Swan Hong yang cekatan. Setelah merobohkan para penjaga ini sehingga tak dapat mengejar, Swan Hong lalu berlari ke kandang kuda, melepaskan ikatan kuda-kuda di situ dan segera mencambuk-cambuk mereka. Kuda-kuda itu terkejut dan ketakutan dan sebentar saja mereka berlari liar keluar dari kandang!

   Setelah melakukan perbuatan yang dimaksudkan untuk mencegah pengejaran, Swan Hong lalu berdiri kembali ke ruang depan. Ternyata bahwa gadis baju merah itu masih bertempur hebat melawan Tan Gak Hong. Tadinya Tan Gak Kong masih bertempur sambil tertawa-tawa mengejak, akan tetapi baru bertempur beberapa jurus saja, suara ketawanya hilang, karena jangankan untuk tertawa untuk bernapaspun sukar baginya! Gerakan pedang dari Siang Hwa luar biasa sekali, merupakan segulung sinar putih yang berputaran diantara sinar merah dari pakaiannya. Pedang Gin-Kong-Kiam di tangannya sama lihainya dan berbahayanya seperti kilat menyambar-nyambar sehingga permainan tombak dari Tan Gak Kong menjadi kacau balau!

   Tadinya, para perwira lain yang telah percaya penuh akan kelihaian Tang-Ciangkun, hanya menonton sambil tertawa-tawa, ingin menyaksikan bagaimana caranya perwira itu mempermainkan Siang Hwa. Akan tetapi, baru dua puluh jurus saja dengan terkejut mereka melihat betapa perwira itu sudah tak berdaya lagi, didesak secara hebat sehingga hanya mampu menangkis sambil mundur teratur! Tung Hacu dan Tung Haci, kedua saudara perwira Mancu, tentu saja tidak mau membiarkan kawannya berada di dalam bahaya. Mereka telah bangkit dari tempat duduk dan menarik keluar senjata masing-masing, siap untuk mengeroyok Siang Hwa. Akan tetapi pada saat itu juga, seorang penjaga dengan napas terengah-engah datang melapor.

   "Celaka... cuwi Ciangkun... tawanan telah terlepas dan melarikan diri!"

   Suara ini membuat kedua perwira Mancu menunda gerakannya membantu Tan-Ciangkun dan kesempatan itu dengan baik dipergunakan oleh Siang Hwa. Pedangnya berkelebat cepat dan terdengar jerit kesakitan dari Tan Gak Kong. Senjata tombaknya terlempar jatuh dan sebelah tangan kanannya, terbabat putus sebatas siku oleh pedang Gin-Kong-Kiam yang tajam! Melihat ini, barulah kedua orang perwira Mancu itu menyerbu maju.

   Tung Hacu menggunakan siam-kiam (sepasang pedang) dan Tung Haci mengeluarkan toyanya yang berat. Siang Hwa tidak menjadi jerih. Ia menyambut dengan pedangnya yang mempunyai gerakan lihai. Akan tetapi segera gadis ini mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian kedua orang perwira Mancu ini jauh lebih tinggi daripada kepandaian Tan Gak Kong yang telah dirobohkan. Gerakan kedua perwira ini aneh sekali dan asing baginya, karena mereka bersilat dengan ilmu silat Mancu. Sepasang pedang di tangan Tung Hacu bergerak-gerak dan berputaran seperti kitiran angin sedangkan toya di tangan Tung Haci menyambar-nyambar bagaikan seekor ular yang dahsyat sekali. Akan tetapi, ilmu pedang Ang-Liong Kiam-Sut yang dimainkan oleh Siang Hwa adalah semacam ilmu pedang yang tinggi tingkatnya, oleh karenanya selain memiliki daya serang yang berbahaya juga memiliki daya tahan yang kuat sekali.

   Dengan mainkan gerakan Ang-Liong Hoan-Sin (Naga Merah Memutar Tubuh) Siang Hwa dapat melindungi seluruh tubuhnya dengan sinar pedangnya sehingga yang nampak hanyalah bayangan merah terbungkus oleh gulungan sinar putih dari pedangnya. Bertubi-tubi senjata di tangan kedua orang lawannya beradu dengan pedangnya, menimbulkan suara yang nyaring dan terlihatlah bunga api berpijar amat indahnya. Akan tetapi kini beberapa orang perwira maju pula mengeroyok, sehingga keadaan Siang Hwa menjadi amat berbahaya. Untuk menghadapi dua orang perwira Mancu ini saja, sudah amat sukar baginya untuk mengambil kemenangan, sungguhpun belum tentu ia akan dikalahkan dalam waktu lama. Apalagi sekarang ditambah dengan sembilan orang perwira lain yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi,

   Karena mereka ini rata-rata adalah perwira-perwira kelas satu dan dua dari kedudukan panglima Kerajaan. Adapun kedua orang saudara Lee ketika mendengar laporan tentang larinya tawanan, segera memburu keluar hendak mengejar. Akan tetapi, tiba-tiba kedua saudara Lee itu menjerit ngeri dan tubuh mereka terlempar kembali ke dalam, roboh merintih-rintih tak dapat bangun pula! Ternyata pada saat mereka hendak mengejar, Swan Hong melompat masuk dan mengirim pukulan dengan ilmu pukulan Liap-Kang Pek-Ko-Chiu yang luar biasa hebatnya ke arah Lee Kim Bee, berbareng mengirim tendangan Kim-Kong-Twi ke arah Lee Kun! Biarpun kedua orang itu berusaha untuk menangkis, namun angin pukulan dan tendangan yang mengandung tenaga khikang tinggi ini masih saja mengenai tubuh mereka sehingga mereka terlempar jauh dan menderita luar di dalam.

   Swan Hong tidak berhenti sampai disitu saja. Ia mencabut golok mustika yang diperolehnya dari Kakek gila dulu itu, lalu menyerbu ke dalam kalangan pertempuran, dimana Swan Hong sedang sibuk sekali menghadapi hujan senjata yang ditujukan kepadanya. Sinar putih dari golok Swan Hong lebih besar daripada sinar putih dari pedang Siang Hwa, dan begitu sinar golok itu menyambar, terdengar beberapa orang perwira berteriak kesakitan dan senjata mereka terlepas dari pegangan! Siang Hwa cepat melirik dan alangkah kagum hatinya melihat betapa seorang pemuda yang berpakaian putih dan berwajah tampan serta gagah, mainkan golok sedemikian rupa sehingga diam-diam Siang Hwa mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan permainan golok sehebat itu! Swan Hong juga memandang sekilas kepadanya sambil tersenyum dan berkata,

   "Lihiap (pendekar wanita), jangan khawatir, orang-tuamu telah tertolong dan bebas. Adikku mengantar mereka ketempat yang aman!"

   
Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bukan main girangnya hati Siang Hwa mendengar keterangan ini.

   "Terima kasih!"

   Jawabnya singkat dan karena kegembiraan ini, gerakannya menjadi makin bersemangat.

   "Lihiap, kau serahkan dua ekor kerbau Boan (Mancu) itu kepadaku!"

   Seru Swan Hong pula yang segera menyerbu dan menahan serangan Tung Hacu dan Tung Haci. Pertempuran terbagi menjadi dua rombongan dan kedua anak muda yang gagah perkasa ini mengamuk bagaikan sepasang naga yang sakti. Swan Hong menghadapi dua orang perwira Mancu ditambah dengan tiga orang perwira lain sehingga ia dikeroyok lima, sedangkan Siang Hwa dikeroyok oleh enam orang perwira! Kedua orang muda ini sesungguhnya berkepandaian tinggi dan lihai sekali. Akan tetapi kini mereka dikeroyok oleh banyak lawan yang tangguh, dan tempat pertempuran itu ternyata kurang lebar sehingga tentu saja gerakan mereka amat terbatas.

   "Lihiap, mari kita layani mereka di luar!"

   Seru Swat Hong dan Siang Hwa agaknya mengerti akan maksud pemuda ini.

   "Baik, Taihiap!"

   Jawabnya dan tubuhnya berkelebat merupakan bayangan merah melompat ke luar dari ruangan itu. Bayangan putih dari tubuh Swan Hong mengikutinya dan keduanya kini berdiri di pekarangan rumah yang luas.

   "Kita pancing mereka ke lain jurusan agar jangan sampai menyusul orang-tuamu!"

   Swan Hong cepat berkata lirih dan gadis yang cerdik itu dapat menangkap maksudnya dan mengangguk sambil tersenyum girang.

   Kawanan perwira segera melompat dan mengejar. Mereka merasa marah sekali karena selain tawanan mereka terlepas juga tiga orang kawan telah dilukai. Mereka merasa terhina sekali dan dengan hati penuh amarah mereka lalu menerjang dan mengepung lagi rapat-rapat! Ang-Liong Kiam-Sut (Ilmu Pedang Naga Merah) dan Pek-Ho To-Hwat (Ilmu Golok Bangau Putih) benar-benar merupakan sepasang ilmu silat yang luar biasa sekali. Apalagi karena kedua orang muda itu mainkan ilmu silat itu dengan senjata-senjata mustika yang ampuh dan tajam. Dan yang aneh sekali, setelah mainkan kedua ilmu silat itu, mereka mendapat kenyataan bahwa permainan mereka sesuai benar dapat saling mengisi dan saling menjaga!

   Karena kenyataan ini, tanpa diperintah, mereka lalu bertempur saling mendekati dan saling membelakangi. Dengan demikian, tak ada lawan yang dapat menyerang dari belakang dan mereka dapat melakukan perlawanan lebih baik lagi. Pedang Gin-Kong-Kiam di tangan Swan Hwa amat ganasnya dan sebentar saja ia telah berhasil merobohkan seorang pengeroyok. Swan Hong tidak mau kalah dan setelah ia mengeluarkan ilmunya, yakni menyerang dengan gerakan Burung Bangau Menyambar Ikan, ia berhasil melukai tangan kiri Tung Hacu sehingga perwira Mancu ini terpaksa hanya dapat melakukan penyerangan dengan tangan kanan. Pedangnya yang kiri telah terlempar dan tak dapat dipergunakan lagi karena tangan kirinya terluka dah menjadi lumpuh.

   "Lihiap, mari kita lari...! ke Barat"!"

   Tiba-tiba Swang Hong berseru. Betapapun juga, keadaan para perwira itu masih kuat dan kalau dilawan terus akan amat melelahkan. Apalagi, tujuan mereka yang terpenting hanya membebaskan kedua orang-tua yang tertawan tadi. Kini tujuan itu telah tercapai, maka perlu apa mengadakan perlawanan terus? Lebih baik kini mulai memancing mereka ke barat agar jangan mengejar kedua orang-tua yang dibawa oleh Giok Cui melarikan diri ke selatan itu. Kembali gadis baju merah itu yang berotak cerdik itu dapat menangkap maksud pemuda itu, maka iapun lalu mengikuti pemuda itu melompat keluar dari gelanggang pertempuran dan bersama-sama melarikan diri ke barat.

   Mereka sengaja berlari tidak terlalu cepat sehingga perwira itu masih dapat mengejar dan menyusul mereka. Setelah berlari agak jauh, keduanya lalu berhenti untuk membuat perlawan pula. Kembali mereka terkurung dan pertempuran dilakukan lagi di bawah sinar bulan yang suram. Di dalam pertempuran ini, Swan Hong dan Siang Hwa kembali merobohkan seorang perwira kemudian mereka berlari lagi. Kejar-mengejar ini dilakukan sampai fajar dan karena jumlah pengejar makin lama makin kecil, akhirnya sisa perwira-perwira itu menjadi gentar juga dan menghentikan pengejaran mereka. Swan Hong dan Siang Hwa kini berlari cepat dan setelah para pengeroyok tidak kelihatan lagi, Swan Hong lalu mengajak gadis itu membelok ke selatan! Mereka berlari cepat tanpa bicara sesuatu dan agaknya diantara kedua orang muda ini terdapat keinginan untuk mencoba kepandaian masing-masing.

   Diam-diam mereka mengerahkan tenaga dan mempergunakan ilmu berlari cepat yang paling tinggi sehingga biarpun tidak berjanji sesuatu, agaknya mereka hendak mengadakan balap lari! Swan Hong mengerahkan ilmu larinya yang paling lihai, yakni ilmu lari Liok-Te Hui-Teng (Lari Terbang di Atas Bumi) sehingga tubuhnya melesat maju sedemikian cepatnya seakan-akan kakinya tidak menginjak tanah! Akan tetapi Siang Hwa juga tidak mau kalah. Ia mengerahkan ilmu lari cepat yang juga paling lihai, yakni ilmu lari Teng-Peng Towu-Sui (Menginjak Rumput Menyeberangi Sungai). Tubuhnya menjadi demikian ringan seakan-akan ia dapat menginjak rumput tanpa merebahkan rumput itu dan agaknya angin yang meniup tubuhnya maju dengan kecepatan luar biasa.

   Ketika tiba-tiba merasa angin tertiup dari belakang dan tubuh Siang Hwa cepat menyambar lewat, Swan Hong menjadi terkejut sekali. Ia harus mengerahkan seluruh napas dan tenaganya agar jangan sampai tertinggal. Sebaliknya, Siang Hwa juga merasa heran ketika ia menengok, ia mendapatkan betapa pemuda itu masih dapat tepat berada di belakang kakinya, tidak tertinggal sebakpun! Ia mengerahkan lagi tenaganya dan melompat cepat, mempergunakan ilmu lompat Ouw-Liong Coan-Tah (Naga Hitam Menembus Menara). Setelah tubuhnya melayang dan turun lagi ke atas tanah dan ia menengok, dengan kagum ia melihat betapa tubuh pemuda itupun melayang dengan ilmu lompat Liok-Te-Hui Teng-Kang-Hu (Ilmu Melompat Jauh Bagaikan Terbang) dan tahu-tahu telah turun tepat di sebelah kirinya!

   Mereka saling pandang dan tersenyum, lalu berlari lagi secepatnya. Diam-diam Siang Hwa membandingkan pemuda ini dengan Sim Tiong Han, pemuda pendekar pedang Kun-Lun-Pai yang dulu pernah menarik hatinya ketika mereka bersama menghajar kedua saudara Lee di rumah Yap Ma Ek! Semenjak berpisah dengan pemuda she Sim yang gagah perkasa dan selalu tersenyum manis itu, seringkali ia terkenang dan sesungguhnya ia ingin sekali mendapat kesempatan bertemu lagi. Dan kini ia bertemu dengan seorang pemuda yang lebih gagah lagi, maka diam-diam ia membuat perbandingan. Betapapun tampan dan gagahnya pemuda baju putih ini, satu hal ia sudah yakin, yakni bahwa senyum pemuda ini tidak semanis senyum pemuda she Sim itu!

   Sesungguhnya aneh sekali, akan tetapi pada saat itupun beberapakali Swan Hong melirik ke arah gadis baju merah yang hebat ini. ia merasa kagum sekali karena belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis yang sehebat si baju merah ini. dan diam-diam iapun membuat perbandingan antara gadis ini dan... Giok Cui! Tadinya, diseluruh dunia ini baginya hanya Giok Cui seoranglah gadis yang paling cantik dan paling menarik hati. Dan kini, bertemu dengan Nona ini, ia membuat perbandingan. Harus ia akui bahwa dalam ilmu silat, sudah tentu Giok Cui kalah jauh, akan tetapi biarpun tak dapat disangkal lagi bahwa Nona baju merah ini cantik jelita dan menarik sekali, namun masih belum mengatasi kejelitaan Giok Cui adik misannya itu. Karena merasa bahwa kini tak mungkin lagi para perwira itu dapat mengejar mereka, maka tiba-tiba Swan Hong berhenti berlari dan berkata.

   "Lihiap, bagaimana pendapatmu kalau kita berhenti sebentar?"

   Siang Hwa menahan larinya dan menengok sambil tersenyum.

   "Lelahkah kau?"

   "Lelah sih tidak, akan tetapi apakah tidak lebih baik kalau kita menuturkan keadaan masing-masing? Kita bertempur bersama, bahkan kini menuju ke tempat yang sama. Sudah sepantasnya kalau kita sedikitnya mengetahui nama masing-masing, bukan?"

   Tak terasa lagi merah wajah Siang Hwa dan ia menunduk.

   "Ah, memang aku seorang yang kurang mengenal budi. Kau telah bersusah payah membantu orang-tuaku, bahkan adikmu telah membebaskan dan menyelamatkan orang-tuaku, dan aku... agaknya tidak memperdulikan kau, bertanya namamupun tidak!"

   "Ah, tak perlu kita bersungkan-sungkan, Nona. Ketahuilah bahwa namaku adalah Lie Swan Hong, dan aku berdua adik misanku sedang melakukan perjalanan merantau mencari seorang Kongkongku yang tak kuketahui ke mana perginya."

   Siang Hwa menghela napas.

   "Agaknya dalam zaman sekacau ini banyak keluarga yang cerai-berai tak tentu tempat tinggalnya! Betapapun juga kau masih beruntung, Taihiap, karena kau masih mempunyai seorang adik misan untuk menjadi kawan seperjalanan! Berbeda dengan aku yang melakukan perantauan seorang diri saja."

   Siang Hwa lalu berdiam dan Swan Hong yang semenjak tadi menanti keterangan tentang diri Nona itu, akhirnya bertanya.

   "Kau agaknya lupa untuk memperkenalkan dirimu, Nona, dan mengapa pula orang-tuamu sampai tertawan oleh rombongan perwira jahat itu?"

   Kembali wajah Siang Hwa memerah.

   "Ah, aku telah lupa akan hal itu. memang nama dan keluargaku tidak ada harganya untuk dituturkan kepada lain orang. Aku bernama Liok Siang hwa dan aku adalah murid tunggal dari Sam-Lian Sianli. Adapun tentang orang-tuaku, mereka ditangkap karena dua sebab. Pertama, karena sepasang anjing rendah she Lee itu telah menaruh hati dendam kepadaku, yakni ketika mereka terjatuh dalam tanganku di rumah seorang pendekar tua she Yap. Dan kedua, Ayah-Bundaku ditangkap oleh karena Ayahku adalah putera seorang Pangeran Kerajaan Beng-Tiauw dan karenanya dianggap musuh oleh Kerajaan sekarang, sedangkan Ibuku adalah puteri seorang panglima yang ikut berjuang melawan pemerintah baru sehingga gugur, maka tentu saja dianggap pemberontak."

   Swan Hong merasa amat kagum mendengar keterangan ini.

   "Ah, tidak tahunya kau yang gagah berani dan lihai ini adalah keturunan bangsawan-bangsawan tinggi! Maaf, aku telah berlaku kurang hormat, Siocia."

   Gadis itu memandang tajam dan keningnya berkerut.

   "Lie Taihiap, apakah bersungguh-sungguh atau hanya berkelakar? Ketahuilah bahwa bagiku tiada perbedaan antara bangsawan dan orang biasa! Bagiku, orang yang budiman dan mulia, dialah bangsawan dan orang besar yang setinggi-tingginya dan patut dihormati biarpun ia terlahir dari petani miskin. Sebaliknya, orang yang rendah budi dan jahat, dialah orang serendah-rendahnya, biar andaikata ia putera Kaisar sekalipun!"

   Swan Hong makin merasa kagum dan kekaguman ini memancar dari sepasang matanya yang menatap wajah yang cantik dan gagah itu.

   "Ah, ucapan ini saja sudah membuat aku merasa bahagia dapat bertemu dan berkenalan dengan kau, Liok-Lihiap!"

   "Ah, kembali kau memuji-muji, saudara Lie! Apakah sudah menjadi adat setiap orang laki-laki yang selalu memuji-muji seorang wanita?"

   Tanya Swan Hwa sambil mengerling tajam. Swan Hong tersenyum.

   "Kalau memang wanita itu patut dipuji, mengapa aku tidak memujinya? Kau memang pantas dipuji, Nona Liok, karena selain kau gagah perkasa dan cerdik-pandai, juga kau keturunan orang-orang gagah, patriot-patriot sejati pembela nusa dan bangsa. Ketahuilah bahwa aku memandang tinggi para patriot yang sudah berusaha dan berjuang menghalau penjajah, sungguhpun usaha mereka itu gagal. Sayang pada waktu itu, aku masih kecil sehingga tak dapat ikut berjuang. Akan tetapi, Kongkongku yang sedang kucari ini, adalah seorang pejuang juga, oleh karena itu, aku selalu memandang tinggi para pejuang yang gagah berani."

   Siang Hwa tersenyum.

   "Kalau begitu pendapat kita tidak berbeda. Belum lama ini aku telah bertemu dengan banyak bekas pejuang, pendekar-pendekar tua yang gagah perkasa, yakni di rumah Yap Ma Ek Lo-Enghiong itu, dan di sana pulalah maka aku dapat bermusuhan dengan kedua orang anjing penjilat penjajah she Lee itu. Ah, banyak pendekar tua yang benar-benar mendatangkan rasa kagum dalam hatiku, terutama sekali seorang pendekar tua yang shenya sama dengan shemu, seorang gagah yang terkenal di kalangan kang-ouw, yakni yang bernama Thiat-Thouw-Gu Lie Kai."

   Mereka bercakap-cakap sambil duduk di atas akar pohon, akan tetapi ketika mendengar nama ini disebut, tiba-tiba Swan Hong melompat bangun seakan-akan diserang oleh seekor ular dari bawah rumput.

   "Apa...?? Kau telah bertemu dengan dia?? Liok-Siocia, dia itulah Kongkongku yang kucari-cari selama ini!"

   Kini tiba giliran Siang Hwa yang melompat ke atas seakan-akan diserang ujung pedang yang runcing dari bawah tanah!

   "Betulkah...? Alangkah kebetulan sekali! Seakan-akan ada tangan gaib yang membimbing kita untuk saling bertemu! Ketahuilah, Lie-Taihiap, Kongkongku itu ketika berjuang selalu bahu-membahu dengan Kongkongmu, bahkan ketika Kongkongku terluka, ia tewas di dalam pangkuan Kongkongmu! Bukankah ini aneh dan kebetulan sekali?"

   Swan Hong juga menjadi terheran-heran, gembira dan terharu.

   "Liok-Siocia, ceritakanlah... ceritakanlah pertemuanmu dengan Kongkongku... Bagaimana rupanya sekarang? Ah, ketahuilah semenjak aku ditinggalkannya dalam usia tiga tahun, sampai sekarang aku belum pernah bertemu dengan dia..."

   Saking terharu dan tertariknya, sambi berkata demikian tanpa disengaja Swan Hong memegang lengan gadis itu erat-erat. Siang Hwa juga menjadi terharu, dan tidak menarik lengannya yang terpegang sampai pemuda itu sadar kembali dan melepaskan pegangannya dengan muka merah. Pemuda ini lalu duduk pula, diikuti oleh Siang Hwa yang segera menuturkan pengalamannya semenjak ia merantau untuk mencari Kongkongnya seperti halnya Swan Hong sekarang ini. kemudia betapa ia bertemu dengan Lie Kai di rumah Yap Ma Ek dan bersama para pejuang dan pendekar tua itu melawan rombongan perwira yang dipimpin oleh Sin-Kiam Siang-Hiap, kedua saudara Lee itu.

   "Karena ketika dikejar rombongan kami terpecah dua, maka Kongkongmu ikut rombongan lain sehingga terpisah pula daripadaku. Aku tidak tahu kemana dia pergi, dan semenjak itu kami belum pernah saling bertemu lagi."

   Kata Siang Hwa sebagai penutup penuturannya sambil tak terasa pula ia terkenang kepada Sim Tiong han pemuda pendekar yang gagah itu.

   "Benar-benar aneh..."

   Kata Swan Hong setelah Nona itu selesai menuturkan pengalamannya.

   "Apa yang aneh, Lie-Taihiap?"

   "Sungguh aneh, seperti yang kau katakan tadi. Kakek kita saling bersahabat, bahkan berjuang bersama lebih-lebih lagi Kakekmu menghembuskan nafas terakhir dipangkuan Kakekku. Kau pergi merantau mencari-cari Kongkongmu, demikianpun aku. Kita sama-sama tak dapat bertemu dengan orang yang kita cari, dan sekarang... kita bertemu dalam keadaan yang amat kebetulan sekali. Bukankah ini namanya... aneh?"

   Hampir saja tanpa disadarinya ia menyebut "jodoh"! Siang Hwa tersenyum manis.

   "Memang dunia ini, tidak berapa lebar!"

   Hanya demikian komentarnya.

   "Mari kita menyusul orang-tuamu di kota Icang, setelah bertemu, aku berserta adik misanku hendak mencari Kongkong, tentu ia takkan jauh dari sini. Apalagi karena disini banyak orang mengenal namanya, kurasa takkan sukar mencari dia!"

   Demikianlah, kedua orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan, sama sekali tidak mengira bahwa mereka telah diancam dan diikuti oleh bencana yang datang seakan-akan awan gelap di atas kepala mereka. Mereka tidak tahu bahwa setelah mereka berhasil melarikan diri daripada kepungan para perwira, datanglah seorang Tosu dan Tokouw (Pendeta To laki-laki dan wanita) di tempat itu.

   Ketika mereka berdua melihat keadaan Lee Kim Bwe dan Lee Kun yang menderita luka dalam akibat pukulan dan tendangan Swan Hong, kedua orang Pendeta ini lalu maju dan setelah menotok pundak mereka dan memberi sebutir pil merah untuk ditelan kedua orang she Lee itu lalu sembuh dan segera menjatuhkan diri berlutut. Tosu itu adalah Guru dari kedua orang she Lee ini dan bernama Bo Heng Sianjin. Ia adalah seorang Pendeta dan Pertapa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sesungguhnya dahulu pernah menjadi seorang diantara tokoh-tokoh Go-Bi-Pai. Akan tetapi karena batinya kurang bersih, maka ia diasingkan oleh tokoh-tokoh lain, turun gunung dan akhirnya silau oleh bujukan-bujukan pemerintah Boancu, bahkan lalu diangkat menjadi Koksu atau Guru negara yang tidak saja bertugas melatih para panglima, akan tetapi juga memberi nasihat kepada Kaisar tentang keamanan.

   Tokouw yang datang bersamanya adalah seorang sahabat baiknya yang bernama Bi Li Suthai, juga seorang Pertapa wanita yang terkenal sebagai seorang wanita cabul dan memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Disamping ilmu silatnya yang tinggi, Bi Li Suthai juga terkenal sebagai ahli dalam penggunaan bermacam-macam bisa binatang seperti ular dan lain-lain, maka ia mendapat julukan atau nama poyokan Ngo-Tok Kui-Bo (Biang Hantu Lima Racun). Melihat kedatangan kedua orang Pertapa lihai ini, Lee Kim Bwe dan Lee Kun menjadi girang sekali. Kim Bwe sambil menangis lalu menuturkan penghinaan-penghinaan yang ia alami dari Lie Swan Hong dan Liok Siang Hwa. Mendengar penuturan ini, marahlah Bo Heng Sianjin, maka ia lalu mengajak Bi Li Suthai untuk melakukan pengejaran.

   "Akan kutangkap hidup-hidup kedua anjing kecil itu dan menyeretnya kepadamu!"

   Kata Bo Heng Sianjin kepada kedua muridnya. Kedua orang Pertapa ini memang memiliki ilmu lari cepat yang tinggi. Akan tetapi, oleh karena Swan Hong dan Siang hwa ketika melarikan diri mengerahkan kepandaiannya dan seakan-akan main balap, sampai lama barulah kedua orang Pertapa ini dapat menyusul mereka. Melihat ilmu lari cepat yang hebat dari kedua orang muda itu, Bo Heng Sianjin menjadi terkejut dan kagum.

   

Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini