Ceritasilat Novel Online

Patung Dewi Kwan Im 13


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



"Siauw Liong, bantulah aku bangun."

   Siauw Liong menengok dengan pandang jemu.

   "Bangunlah sendiri!"

   Bentaknya kasar. Gurunya diam saja dan berkata dengan lemah,

   "Sesukamulah, kau boleh biarkan aku mampus di sini, tapi kau sendiri akan menjadi orang tidak berguna dan akhirnya kau pun akan mampus dengan terlantar, dihina sana-sini!"

   Mendengar kata-kata suhunya Siauw Liong marah sekali dan loncat bangun dengan kepalan tangan terangkat hendak memukul mati suhunya yang telah menjadi orang lemah tiada guna itu. Tapi ia turunkan lagi tangannya ketika melihat betapa wajah suhunya menyeringai dan mengejeknya, lalu anak muda itu jatuhkan diri sambil menangis sedih.

   "Aah... aku harus berbuat apa... bagaimanakah dengan nasibku kelak..."

   Demikian ia mengeluh.

   "Kalau kau dapat mewarisi kepandaianku, tentu kau takkan terhina orang lain."

   "Kau... sudah menjadi orang tidak berguna,"

   Kata Siauw Liong putus asa.

   "Asal aku dapat hidup lebih lama, tentu dapat kudidik kau."

   Maka teringatlah Siauw Liong akan obat pemberian Si Tabib Dewa untuk suhunya maka ia lalu berkata.

   "Aku mau merawat kau sampai sembuh, suhu. Tapi kau harus turunkan semua kepandaianmu dan mengajarku sampai pandai betul."

   Suhunya keluarkan senyum kemenangan.

   "Habis kau tadi pikir bagaimana, anak bodoh? Kalau aku tidak turunkan kepandaianku, habis kepada siapa lagi? Kalau bukan kau yang balaskan sakit hatiku, habis siapa lagi yang sanggup?"

   "Siapa sudi balaskan sakit hatimu? Kau jatuh ke tangan mereka adalah karena kebodohanmu sendiri, ada sangkut paut apakah dengan diriku? Tapi bagaimanapun juga, kalau aku sudah pandai, pasti akan kucari murid-murid Thang-la Sam-sian untuk menghajar mereka dan memuaskan hatiku."

   Suhunya perdengarkan suara ketawa ha, ha, hi, hi.

   "Itu sama saja... sama saja..."

   Semenjak itu, Siauw Liong merawat suhunya dengan menggunakan obat mujijat dari Kiang Cu Liong. Dengan teliti Siauw Liong merawat Tok-kak-coa sampai beberapa bulan, karena ia melakukan itu dengan mempunyai maksud tertentu, yakni memeras keluar semua kepandaian suhunya ini kalau sudah sembuh.

   Akhirnya sembuhlah Tok-kak-coa, walaupun ia harus berjalan pincang dan tubuhnya makin bongkok serta tenaganya lenyap sama sekali dan menjadi lemah. Akan tetapi, karena otak Siauw Liong cerdik sekali, ditambah pula Tok-kak-coa juga mengajar dengan sungguh-sungguh hati karena iapun mempunyai maksud, yakni hendak menjadikan Siauw Liong seorang yang pandai sekali agar dapat membalaskan sakit hatinya, maka Siauw Liong maju pesat. Ia mengajar teorinya saja dan Siauw Liong berlatih silat di bawah pengawasannya. Biarpun ia sendiri tak dapat memberi bukti kehebatan pelajaran silat yang diajarkannya, tapi ia masih juga dapat memberi contoh gerakan-gerakannya, walaupun dengan lemah dan lambat. Namun, ia dapat menegur semua kesalahan dalam gerak pelajaran, hingga bagaimanapun juga, akhirnya Siauw Liong dapat juga mewaris ilmu kepandaiannya yang memang hebat.

   Bahkan Siauw Liong demikian pintarnya dan dapat mempelajari ilmu tongkat suhunya serta mengubahnya dengan tipu-tipu tambahannya sendiri di bawah pengawasan dan petunjuk suhunya. Ilmu tongkatnya ini diberi nama Ilmu Tongkat Ular Hitam Kepala Dua! Juga dari suhunya, Siauw Liong mempelajari kegunaan racun ular dan binatang berbisa lainnya yang jahat dan berbahaya. Kedua lengan tangannya bahkan oleh suhunya direndam dalam bisa hingga menjadi lihai dan berbahaya. Kurang lebih empat tahun kemudian, Siauw Liong telah menjadi pandai dan bahkan ia lebih hebat dari Tok-kak-coa, karena selain dia memiliki tenaga besar, juga ilmu tongkatnya dan kedua lengannya merupakan kelebihan dari pada suhunya. Ia lalu meninggalkan suhunya, dan ketika suhunya minta ia menanti beberapa tahun lagi, Siauw Liong menjadi marah dan hampir saja ia memukul mati suhunya itu!

   Dengan mengandalkan kepandaiannya yang tinggi, Siauw Liong malang melintang di dunia kang-ouw dengan, pakai julukan Ular Hitam Kepala Dua. Ia memang mempunyai watak yang jahat dan dasarnya memang tidak baik, maka sebentar saja ia telah melakukan berbagai kejahatan. Ia merampok orang-orang hartawan dan mengumpulkan harta besar yang disimpannya di atas bukit Kee-san, di sana ia membuat terowongan di bawah tanah yang dipasangi banyak jebakan rahasia yang lihai. Di situlah ia mengumpulkan harta rampasannya. Selain merampok, Siauw Liong juga seringkali melakukan perbuatan rendah dan terkenal sebagai seorang penjahat pemetik bunga. Tiap kali melakukan kejahatan, ia selalu meninggalkan tanda lukisan ular hitam kepala dua.

   Sebagaimana mudah diduga, yang melakukan kekacauan dengan menyerbu Kelenteng Kwan-im-bio dan berhasil membunuh Cin Hwa Sianli dan Kim Bok Sianjin serta berhasil pula menggondol pergi patung Kwan-im Pouwsat adalah pemuda jahat ini. Ia sengaja memakai kedok sutera hitam agar Kim Hwa Sianli salah sangka dan bingung. Perbuatan ini sengaja ia lakukan mencontoh perbuatan suhunya dulu, yakni mengadu dombakan ketua Kwan-im-kauw dengan orang lain. Selain ini, masih banyak kejahatan lain ia lakukan. Belum lama ini ia bertemu dengan seorang gadis cantik baju merah, yakni Ang-ie-nio-nio. Siauw Liong tertarik kepada gadis cantik ini dan sebaliknya Ang-ie-nio-nio yang juga terkenal sebagai seorang gadis gagah yang genit dan cabul, segera merasa senang sekali kepada Siauw Liong, pemuda yang selain tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi itu.

   Mereka segera menjadi kawan baik yang saling mencinta. Ang-ie-nio-nio bahkan ikut Siauw Liong tinggal di Bukit Kee-san serta mengurus keperluan sehari-hari pemuda itu. Mereka tinggal di situ dengan beruntung untuk beberapa hari lamanya. Dan baru pada hari itu mereka berpisah ketika Siauw Liong turun bukit dan tinggalkan Ang-ie-nio-nio. Ketika Siauw Liong pancing Lian Eng dan berhasil menjebak gadis dan menyemprotnya dengan hawa beracun hingga Lian Eng jatuh pingsan, tak sangkanya sama sekali bahwa Ang-ie-nio-nio yang telah jatuh hati padanya, sudah kembali pula di situ menanti kembalinya! Ketika Siauw Liong melihat Ang-ie-nio-nio maka ia merasa kecewa, karena tentu saja ia tidak leluasa lagi untuk mencelakakan Lian Eng yang sedang pingsan.

   "Biarkan aku urus musuhmu ini!"

   Teriak Ang-ie-nio-nio yang cepat cabut pedangnya hendak disabetkan ke leher Lian Eng!

   "Moi-moi, tahan!"

   Siauw Liong memang biasa menyebut "moi-moi"

   Atau dinda kepada Ang-ie-nio-nio walaupun sebetulnya umurnya masih lebih muda dari pada perempuan itu. Secepat kilat Siauw Liong dapat merampas pedang yang hendak tewaskan jiwa Lian Eng.

   "Jangan kau bunuh dia. Aku sengaja tangkap dia untuk pancing musuh-musuhku ke mari!"

   "O, begitukah?"

   Kata Ang-ie-nio-nio sambil mengerling tajam dan mulutnya tersenyum mengejek setengah tidak percaya.

   "Kalau begitu, biarlah dia ku lemparkan dalam penjara ular!"

   Siauw Liong tak dapat berkata lain hanya mengangguk. Ang-ie-nio-nio segera mengangkat tubuh Lian Eng yang lemas dan kopiah Lian Eng terlepas hingga rambutnya yang hitam bagus dan panjang itu terurai ke bawah. Ang-ie-nio-nio kagum dan iri melihat rambut sebagus itu, maka cepat-cepat ia tutupkan lagi kopiah Lian Eng dan membawa gadis itu ke dalam. Setelah berjalan di dalam terowongan itu agak jauh, tibalah ia di penjara ular. Yang disebut penjara ular ini adalah sebuah kamar segi empat yang berdinding batu karang, dan di sekelilingnya terdapat puluhan ular yang diikatkan ekornya pada ruji-ruji kerangkeng yang merupakan pintu hingga orang yang dikeram di dalamnya tak mungkin dapat keluar tanpa melalui ular-ular berbisa itu!

   Tadinya Ang-ie-nio-nio hendak membunuh saja Lian Eng, tapi karena ia tidak mempunyai permusuhan dengan gadis itu dan juga karena hatinya tidak sekejam Siauw Liong, maka ia urungkan niatnya. Tadipun di depan Siauw Liong, ia hanya hendak mencoba hati Siauw Liong karena ia khawatir kalau-kalau Siauw Liong mencinta gadis tawanan ini. Tapi kemudian ia mendengar bahwa Siauw Liong hendak menggunakan tawanan ini untuk memancing datang musuh-musuhnya. Ang-ie-nio-nio pencet sebuah knop rahasia di dinding dan pintu ini terbukalah! Di balik pintu kerangkeng ular itu ternyata terdapat dua orang tua laki-laki dan perempuan yang bermuka pucat, sedangkan yang perempuan tengah menangis dan sandarkan mukanya di pundak laki-laki itu. Ang-ie-nio-nio lempar tubuh Lian Eng ke dalam kamar tahanan dan berkata kepada kedua orang itu.

   "Jangan kalian bersedih, ini kuberi kawan untuk menghibur kalian!"

   Ia tertawa mengejek, lalu menggunakan alat rahasia untuk menutup pintu itu kembali. Kedua orang tua itu bukan lain ialah ayah ibu Hong Cu! Ternyata bahwa Ang Lie Seng, ayah Hong Cu yang menjadi pembesar di Tiong-an-kwan, dan isterinya telah diculik oleh Siauw Liong! Pemuda jahat ini dalam penyelidikannya tahu bahwa pembesar she Ang ini adalah ayah Hong Cu, seorang dari pada musuh-musuhnya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menculik mereka untuk memancing kedatangan Hong Cu di sarangnya! Telah beberapa hari ia keram kedua orang tua itu di dalam kamar yang mengerikan itu hingga keduanya sangat menderita sekali. Berkat kebaikan hati Ang-ie-nionio, maka Siauw Liong tidak lupa untuk tiap hari memberi ransum kepada kedua tawanannya.

   Ang Lie Seng dan isterinya melihat seorang gadis berpakaian laki-laki dilempar ke dalam tempat mereka, menjadi kaget dan merasa kasihan sekali. Mereka khawatir kalau-kalau gadis ini telah mati. Tapi hati mereka lega ketika melihat bahwa orang itu masih hidup. Segera dengan hati-hati mereka mengangkat tubuh Lian Eng dan membaringkan gadis itu di atas pembaringan batu yang terdapat di sudut kamar tahanan. Tak lama kemudian Ang Lie Seng dan isterinya melihat gadis itu siuman kembali dan bergerak-gerak perlahan sambil mengeluh. Mereka girang sekali dan segera mendekati Lian Eng. Gadis itu membuka matanya dan memandang heran. Kemudian ia teringat akan pengalamannya maka cepat ia bangkit duduk. Dipandangnya suami isteri tua di depannya itu dengan heran.

   "Aku berada di mana? Dan siapakah kalian?"

   Dengan singkat dan diselingi suara tangis isteri Ang Lie Seng menuturkan riwayatnya, bahwa telah sepuluh hari ia dan isterinya diculik dan ditawan oleh Siauw Liong. Lian Eng gemas dan marah sekali. Ia meloncat ke arah pintu kerangkeng besi itu dan hendak menggunakan kepandaiannya untuk membukanya, tapi alangkah terkejutnya ketika terdengar desis tajam dan puluhan ular mengulurkan kepala dan menyembur ke arahnya! Ia cepat meloncat mundur dengan wajah pucat.

   "Celaka, mereka memasang ular-ular berbisa di sini!"

   Katanya.

   "Ya, itulah yang membuat kami selalu ketakutan. Kalau seekor saja dari pada mereka terlepas dari ikatannya dan dapat merayap masuk, matilah kita!"

   "Jangan takut, Lopeh, aku ada di sini,"

   Kata Lian Eng dengan gagah. Kemudian gadis ini mengerahkan Huo-mo-kangnya dan memukulkan kedua tangannya ke arah ular yang terikat di pintu. Beberapa ekor ular yang bergantungan terdekat, terkena pukulan itu bagaikan dipukul dengan senjata berat. Mereka tertiup angin pukulan hingga kepala mereka memukul ruji-ruji pintu dan mati tak berkutik pula karena selain kepala mereka pecah menghantam besi pintu, juga sebagian tubuh mereka seperti hangus terbakar api!

   Demikianlah kehebatan Huo-mo-kang. Kedua orang tua she Ang ketika melihat hal ini menjadi kagum dan bengong. Demikianlah, dengan cara demikian Lian Eng memukul mati ular-ular yang terikat di situ hingga tak lama kemudian semua ular yang berjumlah puluhan itu menggantung dengan lemas dalam keadaan tak bernyawa pula! Tapi ketika Lian Eng maju hendak menggunakan tenaga tangannya membuka kerangkeng besi itu, ia mundur lagi dengan terkejut karena semua ruji besi kerangkeng itu kini telah berlumuran dengan benda cair berwarna kehijau-hijauan dan baunya amis sekali. Ia tahu bahwa itu adalah bisa beracun yang keluar dari mulut ular-ular itu sebelum semua binatang itu binasa dan bisa itu berbahaya sekali.

   "Bagaimana, lihiap?"

   Ang Lie Seng bertanya sambil memandang wajah Lian Eng yang bingung itu dengan khawatir.

   "Tak dapatkah kau membuka pintu itu?"

   Lian Eng berkata dengan kecewa.

   "Sukar sekali. Semua besi telah penuh racun berbahaya, bagaimana aku dapat membukanya?"

   Pada saat itu dari luar kerangkeng terdengar suara perlahan.

   "Stt, lihiap yang tertawan di dalam, sudah sadarkah kau?"

   Kemudian, agaknya Ang-ie-nio-nio yang bersuara itu melihat keadaan semua ular yang bergantungan hingga ia keluarkan seruan kaget yang ditahannya lalu berkata lagi.

   "Ah, sungguh hebat kepandaianmu! Tapi hati-hatilah, sekali saja kau terkena racun ular-ular itu, jiwamu sukar tertolong lagi. Biarlah kubuka pintunya."

   Ang-ie-nio-nio tekan knop rahasia dan pintu kerangkeng itu otomatis terbuka sendiri. Lian Eng, tidak segera loncat keluar karena ia masih curiga.

   "Kenapa kau lakukan ini?"

   Tanyanya dengan suara keren dan bersiap sedia. Bayangan merah berkelebat masuk dan Ang-ie-nio-nio telah memasuki kamar tahanan itu. Ia pandang Lian Eng dengan kagum.

   "Aku tidak bermaksud buruk. Dia sedang tidur, Kau bawalah kedua orang tua ini keluar dari sini dan pergilah jauh-jauh!"

   Kedua orang tua itu girang sekali, tapi Lian Eng masih bercuriga dan memandangnya heran.

   "Kenapa kau menolong kami? Apa maksudmu?"

   Ang-ie-nio-nio merah mukanya, tapi dengan berkeras ia berkata,

   "Siapa mau tolong kalian? Aku tidak tolong siapa-siapa, aku hanya tolong diriku dan keberuntunganku sendiri. Pergilah, atau kau tidak mau pergikah?"

   "Mengapa aku mesti pergi? Aku hendak penggal kepala Siauw Liong si bangsat rendah itu dulu! Di mana dia??"

   Lian Eng pegang tangan Ang-ie-nio-nio dengan keras hingga diam-diam nona baju merah ini terkejut sekali merasa betapa tenaga Lian Eng benar-benar luar biasa dan kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya!

   "Kau sungguh keras kepala dan bodoh! Dengan kenekatanmu yang bodoh ini kau membahayakan keselamatanmu sendiri dan keselamatan kedua orang tua ini!

   "Tidak hanya Siauw Liong lihai sekali, tapi tempat ini penuh dengan jebakan rahasia sedangkan aku sendiripun tidak hafal akan rahasia-rahasia berbahaya itu. Apakah kau hendak ulangi lagi bencana yang menimpamu?

   "Lebih baik kau tolong dulu orang-orang tua ini. Ketahuilah, kedua orang tua ini adalah ayah dan ibu nona Hong Cu yang dimusuhi oleh Siauw Liong."

   Girang dan terkejutlah Lian Eng mendengar ini. Jadi kedua orang tua ini adalah ayah dan ibu Hong Cu. Ia gigit bibirnya lalu berkata,

   "Baiklah! Betapapun juga, kau telah menolong kami dan mempunyai maksud baik. Biar lain kali aku berkesempatan menolong kau kembali."

   Lalu ia ajak Ang Lie Seng dan isterinya keluar dari kamar tahanan itu.

   "Hati-hati dan dengar baik-baik. Kau jalan saja menurut terowongan ini. Di depan ada jalan simpang empat.

   "Jangan kau injak tengah-tengah persimpangan itu, tapi ambillah jalan memutar dan menempel dinding kiri, lalu kau jangan membelok ke kanan atau ke kiri, karena yang ke kiri adalah menuju ke tempat Siauw Liong yang banyak dipasangi rahasia, sedangkan yang ke kanan menuju ke sebuah kawah bukit yang berbahaya sekali.

   "Kau jalan terus tapi sekali-kali jangan tinggalkan dinding kiri. Kalau kau jalan terlampau ke tengah, maka kau akan mengalami banyak sekali gangguan-gangguan berbahaya dari bekerjanya senjata rahasia!"

   Lian Eng mengangguk dan kedua orang tua itu mendengar ancaman hebat ini menggigil. Lian Eng lalu memondong Ang Lie Seng dengan tangan kanan dan nyonya Ang di tangan kiri, lalu dengan cepat lari keluar menuruti jalan yang ditunjuk oleh Ang-ie-nio-nio dan dengan hati-hati kerjakan semua pesan nona baju merah itu. Benar saja, karena ia jalan cepat tak lama kemudian sampailah ia di luar sebuah gua. Ia turunkan kedua orang tua itu dan bernapas lega, lalu pandang Ang Lie Seng dan isterinya dengan tajam.

   "Siapakah namamu, Lopeh?"

   Tanyanya. Ang Lie Seng lalu menjura kepada gadis itu.

   "Lihiap, kau telah menolong jiwa kami dari bahaya maut. Besar sekali budi ini. Aku adalah Ang Lie Seng yang menjabat pangkat Ti-hu di kota Tiong-an-kwan. Bolehkah kami ketahui nama lihiap yang mulia?"

   Lian Eng balas memberi hormat.

   "Aku bernama Souw Lian Eng, dan sekarang kuharap Ang Lopeh ikut padaku."

   "Kami hendak segera kembali ke Tiong-an-kwan, lihiap,"

   Kata Ang Lie Seng. Tapi Lian Eng berkata lagi.

   "Bukankah Lopeh mempunyai seorang gadis bernama Hong Cu?"

   Terkejutlah kedua orang itu dan memandang Lian Eng dengan mata terbentang lebar.

   "Betul, betul! Tahukah lihiap dimana adanya Hong Cu sekarang?"

   "Tentu saja tahu. Nah, kalau Lopeh hendak bertemu dengan dia maka Lopeh ikut aku dan untuk sementara waktu tinggal bersamaku. Ketahuilah, akupun hidup sebatangkara dan untuk sementara waktu sebelum bertemu dengan Hong Cu, aku akan menganggap kalian sebagai ayah dan ibuku sendiri."

   Ang Lie Seng dan isteri merasa girang sekali. Mereka boleh disuruh apa saja asal bisa bertemu kembali dengan Hong Cu. Maka serta merta permintaan Lian Eng ini diterima dengan girang.

   Sebetulnya sikap yang aneh dari Lian Eng timbul dari rasa iri hatinya kepada Hong Cu. Ia menganggap Hong Cu seorang gadis yang jauh lebih bahagia dari pada dia sendiri. Tidak hanya soal mendapat kawan baik, tapi bahkan soal orang tua, agaknya gadis itu lebih beruntung darinya! Maka ia dapat menduga bahwa Hong Cu tentu hendak mencari orang tuanya, maka ia ingin gadis itu kehilangan orang tuanya dan sebaliknya ia akan ambil orang tua Hong Cu itu sebagai orang tua sendiri. Ia anggap ini sebagai pembalasan baik sekali! Memang agaknya watak yang aneh dan keras dari Huo Mo-li telah diturunkan pula kepada muridnya ini. Lian Eng lalu membawa Ang Lie Seng dan isterinya ke kampung Leng-hok-chun sebuah kampung kecil yang berada di lereng gunung dan mempunyai hawa yang nyaman serta pemandangan indah.

   Di situ Lian Eng membeli sebuah rumah dan tinggal bertiga dengan orang tua angkatnya. Kalau Ang Lie Seng menanyakan bilamana Hong Cu datang, selalu dijawabnya bahwa ia hendak mencari gadis yang dikenalnya baik itu dan memberi alasan bahwa tidak baik bagi Ang Lie Seng untuk kembali ke kotanya karena tentu Siauw Liong akan mencari mereka dan berdaya menculiknya kembali. Alasan ini memang masuk akal maka Ang Lie Seng tidak berani kembali ke Tiong-an-kwan dan sambil menanti kedatangan anak gadisnya yang sangat diharapkannya ia hidup sebagai petani yang sederhana tapi cukup aman dan damai di kampung Leng-hok-chun itu. Sementara itu, Siauw Liong ketika melihat betapa ketiga orang tawanannya lolos menjadi marah sekali.

   "Moi-moi! Kenapa kau lepaskan mereka?"

   Tanyanya dengan mata melotot kepada Ang-ie-nio-nio yang berdiri sambil tundukkan muka di depannya.

   "Koko, mengapa kau mau tanam permusuhan dengan orang-orang lain? Gadis itu lihai sekali dah lihatlah betapa ia dapat menggunakan hawa pukulannya untuk membunuh mati semua ularmu. Bukankah itu pukulan Huo-mo-kang dari Huo Mo-li yang lihai?

   "Pula, aku khawatir kalau-kalau kau ada hati terhadap gadis itu, ia cukup cantik, aku khawatir kalau-kalau kau ah, koko, aku terlalu cinta padamu dan tidak ingin melihat kau terkena celaka!"

   Ang-ie-nio-nio lalu menubruk maju dan memeluk pundak Siauw Liong. Tapi Siauw Liong marah sekali. Dengan sebelah tangan ia menampar pipi Ang-ie-nio-nio dan sekali dorong saja gadis baju merah itu terlempar hingga kepalanya terbentur dinding batu hingga mengeluarkan darah.

   "Perempuan lancang! Aku hendak berbuat apa saja ada hubungan apakah dengan kau? Siapa yang berkuasa di sini? Kalau kau tidak suka padaku, boleh pergi ke neraka jahanam!"

   Ang-ie-nio-nio pandang wajah pemuda yang dicintanya itu dengan mata terbelalak dan air mata mulai turun membasahi pipinya. Ia tidak merasakan sakit dan perihnya luka di kepala, karena hatinya lebih perih lagi. Tak disangkanya bahwa Siauw Liong yang biasanya pandai membujuk dan merayu dengan kata-kata halus dan indah merdu, sikapnya yang halus mencinta dan membuatnya lupa akan segala dan menyerahkan jiwa raganya kepada pemuda itu, kini dapat memperlihatkan sikap sekejam dan sekeras itu.

   "Koko... kau..."

   Hanya demikian ia dapat berkata karena keroNgkongannya segera tertutup oleh isak tangisnya yang sedih dari hati hancur.

   Tapi Siauw Liong dengan marah segera meloncat dan lari keluar, tinggalkan gadis yang menangis sedih itu. Siauw Liong dalam perantauannya telah berhasil membuat dirinya ternama dan mempunyai pengaruh besar sekali di kalangan para penjahat. Di mana-mana ia mempunyai kaki tangan dan kawan-kawan yang bersedia membantunya. Karena inilah maka mudah saja baginya untuk mencari dan menyelidiki sesuatu. Kini ia segera sebar perintah kepada kawan-kawannya itu untuk menyelidiki keadaan Hong Cu, Tiong Li, Siauw Ma, dan Lian Eng, yakni orang-orang yang diincarnya dan yang hendak dibikin celaka itu. Ia tahu bahwa ketiga tokoh Thang-la tidak tinggalkan pertapaan lagi dan bahwa juga si Tabib Dewa telah menghilang di utara tiada kabar ceritanya lagi.

   Maka ia hendak jatuhkan hukumannya kepada empat murid itu. Ia keluar dari guanya dengan marah. Ia cerdik dan cukup maklum apa yang terjadi dalam hati Ang-ie-nio-nio. Gadis baju merah itu agaknya hendak memonopoli hatinya! Gadis itu hendak menjauhkan dia dari segala permusuhan dan hendak mengajak ia hidup sebagai suami isteri dalam rumah tangga yang damai, tenteram dan bahagia! Ah, persetan itu semua! Jangan harap gadis itu akan miliki hatinya untuk dia sendiri saja. Biarlah ia tadi telah memberi sedikit hajaran kepada gadis itu, mungkin ia akan menjadi penurut dan lain kali tidak berani berlaku lancang lagi! Karena banyaknya barisan penyelidik terdiri dari para penjahat di seluruh daerah, tak lama kemudian Siauw Liong dapat mendengar tentang tempat tinggal Lian Eng dan kedua orang tua Hong Cu.

   Ia girang sekali, tapi ia tidak segera mengejar ke sana. Pemuda yang licin cerdik itu menggunakan siasatnya dan tipu muslihatnya. Ia hendak menanti sampai mendengar tentang Hong Cu dan Tiong Li. Dari pembantunya ia hanya tahu bahwa Hong Cu telah pulang ke rumah orang tuanya dan kini sedang mencari-cari orang tua itu. Ia hendak menjumpai Hong Cu lebih dulu sebelum mencari Lian Eng. Ia merasa betapa keempat orang muda itu merupakan lawan-lawan berat, maka ia harus cerdik. Ia melihat gejala yang dapat menimbulkan permusuhan di antara mereka, yakni gejala cinta segi tiga antara Tiong Li, Lian Eng dan Hong Cu. Ia tahu pula bahwa Siauw Ma mencinta Lian Eng, maka ketika ia mendengar dari pembantu-pembantunya, bahwa Siauw Ma berada di sebuah kota yang tak jauh dari situ, cepat ia mengejar Siauw Ma.

   Siauw Ma yang mengembara seorang diri dan merasa kesunyian karena ditinggal oleh Lian Eng yang dicintanya, selalu menjaga agar ia tidak pergi terlalu jauh dari Pegunungan Thang-la dan di mana ia berada, ia selalu menggunakan kepandaiannya menolong sesama manusia yang berada dalam kesukaran. Tidak jarang Siauw Ma tundukkan perampok-perampok yang tanpa pilih bulu mengganggu rakyat, sedangkan sering pula ia mendatangi gedung pembesar-pembesar kejam dan hartawan-hartawan pengisap rakyat untuk diberi peringatan keras dan diambil sebagian hartanya untuk kemudian dibagikan secara sembunyi kepada orang-orang miskin. Pada waktu itu musim kering tiba hingga sawah ladang tidak banyak mendatangkan hasil dan banyak pula sawah yang kering dan rusak tanamannya. Keadaan yang buruk ini menimbulkan banyak keburukan.

   Maling dan rampok muncul di mana-mana dan banyak orang mati terlantar. Keadaan seperti inilah yang membuat orang-orang berjiwa pendekar seperti Siauw Ma merasa sedih dan sibuk sekali berusaha mengurangi bencana yang menimpa rakyat miskin dengan jalan memberi mereka bantuan uang. Tentu saja uang ini ia ambil dari para hartawan yang menyimpan uang sampai bulukan di peti uang mereka dan menyimpan gandum serta padi demikian banyaknya hingga berlebih-iebihan dan membusuk dalam gudang mereka. Pada suatu hari Siauw Ma dalam sebuah kota bernama Hang-chun. Malam harinya, seperti biasa Siauw Ma naik ke atas genteng pergi menyelidiki keadaan. Ketika ia tiba di atas sebuah gedung besar, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil namanya. Ia heran dan berhenti, lalu menengok. Ternyata Siauw Liong telah berdiri di belakangnya sambil tersenyum.

   "Siauw Ma, bagus betul perbuatanmu, ya? Kau sekarang telah menjadi maling kecil? Ha, ha, ha!"

   "Siauw Liong, manusia rendah! Kebetulan sekali kau datang karena kau mengingatkan aku akan lenyapnya patung dari Kwan-im-kauw. Bukankah kau orangnya yang menjadi pencurinya?"

   Memang sering kali Siauw Ma memikirkan hal patung yang lenyap itu dan timbul dugaan dalam hatinya bahwa yang mencurinya tentu Siauw Liong. Karena berada dalam tempat gelap, Siauw Ma tak dapat melihat betapa wajah Siauw Liong memucat mendengar tuduhan ini. Tapi Siauw Liong dapat perdengarkan suara sedemikian rupa sehingga seperti sungguh-sungguh.

   "Bagus sekali kau sebut hal itu, Siauw Ma. Ketahuilah olehmu, aku sendiri sedang mencari tahu hal lenyapnya patung itu! Tapi aku tidak serendah kau untuk menuduhmu seperti yang kau lakukan padaku. Ketahuilah, kalau aku tidak salah duga, yang mencuri patung itu adalah Tiong Li, murid si Tabib Dewa sakti itu."

   "Kau menuduh yang bukan-bukan! Mana Tiong Li mau melakukan hal serendah itu, membunuh dua orang ketua Kwan-im-kauw? Sudahlah kau jangan menggangguku, atau kau hendak lanjutkan pertempuran kita yang dulu?"

   Tantangnya.

   "Eh, eh, jangan begitu galak, kawan. Aku seorang kawan baik, kau selalu menganggap sebagai musuh. Sebaliknya orang yang kau anggap kawanmu paling baik, si Tiong Li itu, ia tak lain hanya seorang laki-laki yang suka wanita. Tahukah kau, betapa nona Lian Eng telah dihina oleh Tiong Li?"

   Terkejutlah Siauw Ma mendengar nama Lian Eng disebut-sebut.

   "Apa katamu? Jangan kau jual obrolan kosong di depanku!"

   Bentaknya marah.

   "Siapa yang mengobrol? Kau tidak percaya sudahlah."

   Dan Siauw Liong membuat gerakan hendak pergi.

   "Nanti dulu!"

   Siauw Ma berseru dan, ia tidak melihat betapa Siauw Liong yang cerdik itu tersenyum.

   "Ada apa lagi? Bukankah kau tidak percaya padaku?"

   Katanya.

   "Siauw Liong, jangan kau main-main dengan aku! Katakan, apa maksudmu tadi ketika Kau bilang bahwa Lian Eng telab dihina oleh Tiong Li?"

   "Dengarlah, aku tidak perduli kau mau percaya atau tidak. Beberapa hari yang lalu, secara kebetulan saja aku dapat melihat Lian Eng sedang duduk menangis di sebuah hutan seorang diri. Aku tanyakan dia mengapa dia menangis, dan secara tak sadar, ia menjawab bahwa Tiong Li dan Hong Cu menghinanya.

   "Ia tidak mau ceritakan sebab-sebabnya dan terus saja menangis. Aku tidak tahu sebabnya tapi kemudian aku dapat bertemu dengan Tiong Li dan Hong Cu.

   "Ternyata pemuda murid tabib itu kini berubah menjadi seorang rendah dan tak tahu malu. Agaknya ia dan Hong Cu ada hubungan kotor karena di mana saja mereka selalu berada bersama dan sikap Tiong Li terhadap Hong Cu kelihatan mesra sekali. Nah, sesukamulah mau percaya atau tidak, itu bukan urusanmku."

   "Kau bohong! Apa buktinya bahwa kata-katamu ini benar?"

   "Ha, memang kau bodoh, maka mana kau mau percaya omongan orang? Kau mau bukti? Baik, ketahuilah aku belum lama ini bertemu dengan Hong Cu dan Tiong Li. Mereka berada di kota Lam-hin dan sedang menuju ke jurusan timur.

   
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kalau kau dari sini menuju ke Lam-hin, maka kau akan bertemu dengan mereka. Tentu saja kalau bertemu dengan kau, Tiong Li takkan mau mengaku, tapi kau lihatlah saja hubungan antara Tiong Li dan Hong Cu."

   "Siauw Liong, seujung rambutpun aku tak dapat percaya bicaramu! Kau memang seorang pembohong besar dan kau jagalah, kalau telah bertemu dengan mereka dan mendapat kenyataan bahwa kau hanya mengobrol sesukamu, maka kau akan kucari dan kuberi hajaran karena kau telah menghina kawan-kawanku!"

   "Orang tolol, terserah padamulah! Apa lagi akupun tidak jerih akan ancamanmu. Kau kira aku takutkah? Bodoh!"

   Kemudian Siauw Liong loncat menghilang dalam gelap. Siauw Ma yang sudah dibakar hatinya oleh Siauw Liong tidak lanjutkan niatnya semula dan kembali ke kamar rumah penginapan. Ia merasa bingung. Benarkah cerita Siauw Liong? Tak mungkin, pasti ia membohong. Tapi mengapa ia harus membohong padanya? Apa perlunya? Demikianlah, malam itu ia tak dapat tidur dan bergulingan gelisah di atas pembaringannya. Racun obrolan Siauw Liong terasa juga pengaruhnya. Pada keesokan harinya, ia mencari tahu di mana jalan yang menuju ke jurusan Lam-hin.

   Setelah mendapat tahu, ia segera menuju ke Lam-hin! Dan betul saja, setelah berjalan cepat lebih setengah hari lamanya, ia melihat sepasang pemuda-pemudi datang dari jurusan depan. Ia masih dapat mengenali Tiong Li karena pemuda itu memikul pikulan keranjang obat! Cepat sekali Siauw Ma loncat sembunyi di balik sebatang pohon besar. Hong Cu dan Tiong Li lewat sambil bercakap-cakap. Wajah Tiong Li nampak gembira dan pandang matanya kepada gadis di sebelahnya itu memang nyata sekali menunjukkan rasa kasih yang besar. Tapi sebaliknya wajah gadis yang cantik jelita itu nampak muram seakan-akan menyusahkan sesuatu. Keningnya berkerut hingga sepasang alis matanya yang panjang hitam kecil itu hampir bertemu satu sama lain. Setelah kedua teruna remaja itu jalankan kuda mereka lewat, Siauw Ma segera loncat keluar dan memanggil.

   "Saudara Tiong Li! Tunggulah sebentar!"

   Tiong Li tahan kudanya dan berpaling.

   "Siauw Ma!"

   Ia berteriak girang. Mendengar nama ini, Hong Cu juga tahan kudanya dan berpaling. Siauw Ma melihat betapa wajah gadis yang tadinya muram itu tiba-tiba menjadi terang berseri dan gadis itu segera loncat turun dari kuda dan menghampirinya.

   "Saudara Siauw Ma!"

   Suara panggilan yang keluar dari mulut Hong Cu ini merdu sekali dan untuk sejenak gadis itu lupa akan kedukaannya dan berdiri memandang Siauw Ma dengan mata bercahaya.

   "Kau juga di sini, nona Hong Cu!"

   Siauw Ma balas menegur dan tersenyum ramah. Sementara itu, Tiong Li juga loncat turun dan pegang lengan Siauw Ma dengan girang.

   "Ah, benar-benar kau telah menjadi seorang yang gagah dan tegap,"

   Katanya memuji sambil memandangi seluruh tubuh Siauw Ma yang tegap.

   Siauw Ma bernapas lega melihat bahwa sebagian dari obrolan Siauw Liong adalah bohong, karena dengan jelas ia dapat menyaksikan bahwa hubungan antara Tiong Li dan Hong Cu adalah cukup sopan dan bersih. Hal ini mudah saja dilihat dari sikap kedua pihak. Ia dapat menduga bahwa Tiong Li agaknya cinta sekali kepada gadis itu, tapi ia heran mengapa Hong Cu bersikap acuh tak acuh. Mereka saling menceritakan riwayat mereka secara ringkas dan segera melanjutkan perjalanan bertiga karena Siauw Ma katakan bahwa ia tidak mempunyai tujuan tertentu. Hari telah mulai gelap ketika mereka masuk dalam sebuah kota dan memesan dua kamar dalam sebuah rumah penginapan. Sebuah kamar untuk Siauw Ma dan Tiong Li, sebuah lagi untuk Hong Cu. Saat itulah digunakan oleh Siauw Ma untuk bicara empat mata dengan Tiong Li. Ia pandang sahabatnya itu dengan tajam, lalu bertanya,

   "Tiong Li, sahabatku. Kau seorang gagah dan jantan, maka aku harapkan jawaban-jawaban yang jujur dari mulutmu."

   Tiong Li memandang kawannya itu dengan heran, tapi ia cukup maklum bahwa Siauw Ma adalah seorang yang jujur dan suka bicara terus terang dalam segala hal. Maka ia tersenyum menjawab.

   "Tentu saja, Siauw Ma. Terhadap seorang kawan baik seperti engkau, tentu aku tidak mau main-main. Jawaban apakah yang Kau kehendaki dariku?"

   "Pernahkah kau bertemu dengan Lian Eng?"

   Terkesiap juga hati Tiong Li mendengar pertanyaan ini karena ia teringat akan gadis yang aneh itu dan tiap kali teringat kepada Lian Eng timbullah hati kasihan kepadanya karena iapun lambat-laun dapat menduga bahwa gadis itu sebetulnya "ada hati"

   Kepadanya! Maka kini pertanyaan ini mengingatkan ia kembali akan peristiwa yang dialaminya dengan Lian Eng.

   "Memang pernah aku bertemu dengan dia."

   Ia lalu menceritakan tentang pengalamannya ketika membeli kuda dari tuan tanah yang mendapat hajaran dari Lian Eng itu, kemudian karena ia tahu bahwa kawannya menghendaki penjelasan yang lengkap, ia menuturkan pula sikap Lian Eng ketika bertemu dengan Hong Cu dan betapa Lian Eng menjadi marah pergi!

   "Tidak adakah sengketa antara engkau dan Lian Eng?"

   Tanya Siauw Ma. Tiong Li memandang heran.

   "Tidak, ketika ia marah kepada Hong Cu, aku hanya melarang ia menyerang Hong Cu. Agaknya ia menganggap aku berat sebelah dan ia menjadi marah lalu pergi. Aku menerangkan sejujurnya kepadanya bahwa aku mencinta Hong Cu dan karenanya aku terpaksa membelanya dan tidak memperkenankan Lian Eng mencelakakannya."

   "Apakah kau menghinanya?"

   Siauw Ma bertanya lagi. Tiong Li bangkit dari kursinya dan memandang tajam, suaranya terdengar sungguh-sungguh dan penasaran ketika ia berkata.

   "Siauw Ma! Kau anggap aku orang macam apakah? Bagaimana kau bisa ajukan pertanyaan macam ini? Aku tak pernah menghina Lian Eng!"

   Siauw Ma pun berdiri dan pegang tangan Tiong Li.

   "Maaf, kawan. Aku telah dibujuk oleh Siauw Liong.

   "O, penjahat rendah itu? Pantas saja sikapmu aneh."

   "Kalau begitu, biarlah kita berpisah. Aku hendak mencari Lian Eng."

   Tiba-tiba Tiong Li tersenyum gembira. Sambil tepuk pundak Siauw Ma yang bidang, ia berkata tertawa,

   "Aah, begitu besarkah cintamu kepada nona Lian Eng?"

   Untuk pertanyaan ini Siauw Ma menjawab cepat.

   "Mungkin sama besarnya dengan cintamu terhadap Hong Cu!"

   Kedua pemuda itu saling berpegang tangan dengan erat sebagai dua orang pemuda sahabat yang telah ketahui rahasia masing-masing. Kemudian Siauw Ma malam-malam itu juga tinggalkan Tiong Li yang tidak sanggup menahan kawannya itu. Malam itu terang bulan dan Siauw Ma keluar lalu berlari cepat. Maksudnya hendak mengunjungi seorang sahabatnya yang menjadi kepala pendeta di sebuah kelenteng di luar kota dan bermalam di situ. Tapi ketika ia sedang berlari cepat, tiba-tiba bayangan seorang lain mendahuluinya dan berhenti di depannya. Bayangan itu berpotongan ramping dan terdengar ia tertawa merdu.

   "Hong Cu, Kau kah ini?"

   Siauw Ma menegur. Hong Cu tertawa.

   "Sungguh seorang kawan yang baik sekali kau ini. Lupakah kau sudah akan pergaulan kita dulu hingga sekarang begitu bertemu kau lalu pergi tanpa pamit?"

   "Maaf, Hong Cu, aku terburu-buru Aku sudah minta Tiong Li sampaikan salamku padamu."

   "Mengapa dengan perantaraan dia? Eh, sebenarnya kau hendak ke manakah malam-malam begini?"

   "Aku hendak pergi ke Kelenteng Ban-hok-tong di luar kota. Pek In Tianglo menjadi hwesio kepala di situ dan aku hendak bermalam di sana."

   "Kalau begitu aku ikut!"

   "Eh, bagaimanakah kau ini? Habis, Tiong Li bagaimanakah? Akan kau tinggalkan begitu saja?"

   "Mengapa tidak? Besok pagi kita bisa jemput dia dan pergi bertiga."

   Siauw Ma duduk di atas sebuah batu di pinggir jalan dan berkata.

   "Hong Cu, kau duduklah di sini."

   Gadis itu lalu menghampirinya dan duduk di hadapannya. Mereka saling pandang di bahwa sinar bulan purnama. Siauw Ma memandang dengan bingung dan heran sedangkan Hong Cu memandang dengan kagum dan mesra.

   "Hong Cu, sikapmu ini sungguh merupakan teka-teki bagiku. Kau... kau hendak ikut aku pergi ke kelenteng itu, Mengapa?"

   Hong Cu tersenyum dan menyembunyikan rasa malunya dengan menundukkan kepala.

   "Aku... aku tidak apa-apa, Siauw Ma! Hanya, bukankah kita sudah bertahun-tahun berpisah? Sekarang kita baru saja bertemu, maka aku ingin sekali mengobrol dengan kau. Apakah salahnya itu? Bukankah kita kawan baik?"

   "Ya, ya, tentu saja, Hong Cu. Tapi... tapi... Tiong Li..."

   "Lagi-lagi Tiong Li kau sebut-sebut namanya. Mengapa dengan Tiong Li? Ini adalah urusanku sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dia."

   Makin heranlah hati Siauw Ma.

   "Tapi... tapi kurasa, lebih baik kita ajak dia sekalian, atau kau... kau bilang dulu padanya, asal dia tidak keberatan tentu aku suka kau ikut."

   Maka berdirilah Hong Cu dengan marah.

   "Siauw Ma! Apa artinya bicaramu yang tidak karuan ini? Mengapa aku harus minta izin dari Tiong Li? Kau aneh sekali! Dia dengan aku bukan apa-apa, hanya kawan baik seperti kita berdua! Jangan kau sangka yang tidak-tidak, Siauw Ma, aku akan menjadi marah!"

   Mengertilah kini Siauw Ma. Jadi cinta Tiong Li kepada gadis ini hanya sepihak! Celaka sekali, bagaimanakah baiknya?

   "Hong Cu, dengarkan kata-kataku ini. Mungkin kau sendiri tidak menduga, tapi aku beritahukan padamu bahwa Tiong Li, pemuda yang gagah perkasa dan tampan dan yang menjadi sahabatku terbaik di dunia ini, dia itu cinta padamu! Tahukah kau? Dia cinta padamu, maka tidak boleh Kau anggap sepi begitu saja!"

   Hong Cu terduduk kembali. Ia menganggukkan kepala.

   "Aku... aku tahu, Siauw Ma. Tapi... apakah cinta dapat dipaksakan? Aku... aku anggap dia seperti saudara sendiri."

   Siauw Ma menghela napas dan keduanya berdiam tak berkata sampai lama. Kemudian, tanpa angkat kepalanya, Hong Cu bertanya.

   "Dan kau, Siauw Ma? Kau adalah seorang yang tulus hati dan jujur maka jawablah terus terang. Adakah kau juga mencinta seseorang?"

   Berat rasa hati Siauw Ma untuk menjawab. Ia tahu bahwa gadis jelita yang duduk sambil tunduk di depannya ini diam-diam menaruh hati kepadanya dan kini gadis ini bertanya siapakah yang dicintanya? Sungguh sebuah pertanyaan yang berat sekali dan satu ujian hebat bagi kejujurannya. Tapi Siauw Ma lebih mengutamakan kejujuran yang dianggapnya lebih baik. Ia pikir lebih baik berterus terang dari pada diam-diam dan dapat menimbulkan salah paham yang besar. Dengan suara tetap ia menjawab.

   "Aku cinta kepada Lian Eng!"

   Hong Cu mendengar pengakuan yang tak disangkanya sama sekali ini merasa seakan-akan pipinya kena tampar! Lian Eng! Mengapakah nasib sekejam ini? Kalau memang Siauw Ma yang dikagumi itu tidak membalas cintanya dan mencinta orang lain, mengapa justru orang lain itu Lian Eng adanya? Lian Eng gadis yang membencinya itu? Tadinya ia tidak benci kepada Lian Eng, hanya kasihan dan tidak suka, tapi sekarang ia merasa benci sekali! Ia tidak tahu bahwa perasaan inipun dimiliki Lian Eng terhadapnya karena sebab yang sama, yakni cemburu dan iri hati! Hong Cu perdengarkan suara ketawa merdu dan nyaring yang kedengaran aneh di tengah malam itu, lalu gadis itu berkata.

   "Kalau begitu, marilah kita berlumba mencari Lian Eng! Aku masih belum penuhi tantangannya yang dulu karena terhalang oleh Tiong Li!"

   Suara ini mengandung ancaman hebat bagi diri Lian Eng hingga Siauw Ma terkejut sekali. Hong Cu lalu loncat pergi dan lari dengan cepatnya. Siauw Ma memanggil dan mengejar, tapi Hong Cu telah lari jauh dan lenyap dari pandangan mata. Siauw Ma berdiri bengong untuk beberapa lama, kemudian ia menghela napas berkali-kali dan melanjutkan perjalanannya ke kelenteng sahabatnya untuk bermalam. Dengan hati panas dan marah Hong Cu kembali ke tempat penginapannya dan dengan diam-diam masuki kamarnya. Setelah berkemas, ia lalu menulis surat pemberitahuan kepada Tiong Li bahwa ia hendak mengambil jalan sendiri karena ada keperluan penting dan minta Tiong Li maafkan dia.

   Kemudian ia tinggalkan surat itu kepada pelayan dan dengan diam-diam ia keluarkan kuda lalu melarikan binatang itu pergi dari situ. Seperti halnya Lian Eng dulu, Hong Cu kaburkan kudanya di bawah sinar bulan purnama dan semalam suntuk ia tidak hentikan kudanya, lari bagaikan dikejar setan! Seperti juga di kota-kota lain, Siauw Liong juga mempunyai kaki tangan di kota itu dan ia telah diberitahu tentang kedatangan Hong Cu dan Tiong Li. Oleh karena ini ia bersiap sedia dan karena ia berada di suatu tempat tak jauh dari situ, dengan diam-diam, iapun melakukan pengintaian sendiri. Ia melihat ketika Hong Cu keluar dari penginapan dan kaburkan kudanya, maka dengan tak buang waktu lagi ia diam-diam mengejar dari belakang. Ia heran sekali karena gadis itu semalam penuh terus larikan kudanya hingga ia terpaksa harus mengikuti juga.

   Ketika malam telah berganti pagi dan Hong Cu masih saja kaburkan kudanya, Siauw Liong menjadi bingung. Kudanya sudah tidak kuat lari lagi, maka cepat ia loncat turun dan menggunakan ilmu lari cepat! Untung baginya bahwa kuda Hong Cu juga sudah lelah sekali hingga ia tidak tertinggal. Hong Cu bukannya tidak tahu akan pengejaran seorang di belakang setengah malam penuh itu, tapi karena hatinya sedang duka, maka ia tidak memperdulikannya. Kini ia teringat akan pengejarnya karena suara kuda di belakang telah lenyap dan ia melihat seorang berlari mengejarnya dan timbullah marahnya. Mau apakah orang gila itu mengejar-ngejarnya sepanjang malam? Hong Cu loncat turun dari kudanya yang telah lelah dan yang segera jatuhkan diri berlutut, kemudian gadis itu pungut sebatang ranting kayu kering.

   "Orang itu mencari mampusnya sendiri,"

   Demikian gerutunya, sama sekali ia tidak pandang sebelah mata kepada orang yang datang lari cepat sekali itu. Ketika orang itu telah sampai di depannya, kemarahan Hong Cu meluap. Ternyata orang itu adalah Siauw Liong! Ia teringat akan Kim Hwa Sianli yang dulu memberi tahu bahwa patung Dewi Kwan-im kembali tercuri orang dan bahkan kedua tokoh Kwan-im-kauw sampai terbunuh.

   "Eh, maling kecil tak tahu malu! Kau datang mengantarkan kematianmu?"

   Serta merta Hong Cu loncat menyerang dengan ranting di tangannya, sedikitpun tak memberi kesempatan kepada Siauw Liong. Pemuda itu cepat loncat jauh karena ia telah tahu akan kehebatan ilmu tongkat gadis itu dan bahwa ranting kecil itu bahayanya melebihi ratusan golok besar di tangan orang-orang biasa! Tapi Hong Cu yang baru jengkel dan sedih saat itu tumpahkan seluruh hawa marahnya kepada Siauw Liong, maka ia loncat mengejar dan mengirim serangan pula dengan ganasnya. Terpaksa Siauw Liong keluarkan dua tongkat ular hitam dari dalam bajunya dan mainkan sepasang ular itu untuk menangkis.

   "Nona Hong Cu, nanti dulu. Belum lagi kita bicara, mengapa datang-datang kau menyerangku."

   "Siapa sudi bicara dengan maling busuk!"

   Kembali ia menyerang dan kembali Siauw Liong menangkis lalu loncat mundur.

   "Eh, eh, nanti dulu! Kau beberapa kali memaki aku maling, aku telah mencuri apamukah?

   "Cih! Manusia rendah tak tahu malu. Apa kau sangka aku tidak tahu bahwa kau lah maling patung dari Kwan-im-bio dan kau pulalah pembunuh ketua-ketua Kwan-im-kauw?"

   Siauw Liong perlihatkan muka sedih.

   "Aah, memang benar kau berpikiran cupat! Mudah saja kau dibohongi orang. Kau ribut-ribut urusan patung orang lain, sedangkan urusanmu sendiri tidak kau perdulikan! Tidak tahukah kau bahwa ayah ibumu berada dalam bahaya?"

   Diingatkan akan ayah ibunya yang sampai kini belum ada kabar ceritanya, seketika lemah tubuh Hong Cu. Ia memandang pemuda itu dengan wajah pucat dan air matanya turun cepat.

   "Di... di manakah... mereka,"

   Tanyanya gagap. Siauw Liong tersenyum dan dengan tenang ia masukkan pula senjatanya. Pemuda yang cerdik ini tahu sudah bahwa senjata yang keluar dari mulutnya telah berhasil baik, dan bahwa kini tidak ada bahaya lagi.

   "Nah, kau mau tahu? Ia telah terculik oleh Lian Eng!"

   "Kau... kau bohong!"

   Gadis itu memandang dari balik air matanya dengan mata melotot.

   "Bohong? Aku Siauw Liong selamanya tak pernah membohong! Kau mau bukti? Marilah kutunjukkan tempatnya. Aku tahu di mana Lian Eng mengeram orang tuamu."

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Patung Dewi Kwan Im (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   "Di mana? Di mana mereka? Hayo kau katakan padaku!"

   Hong Cu berkata gemas.

   "Sayang aku tidak tahu nama kampung di lereng gunung itu! Kalau kau memang ingin menolong mereka, kau harus ikut aku pergi ke sana!"

   "Tidak sudi! Siapa sudi pergi bersamamu?"

   "O, begitukah? Kalau kau tidak sudi, siapa mau memaksa? Nah, selamat tinggal."

   Dan Siauw Liong balikkan tubuh.

   "Tunggu dulu. Sebelum Kau beritahukan tempat mereka, jangan harap kau dapat pergi dari sini!"

   Hong Cu mengancam dengan rantingnya.

   "Hm, kau sangka aku takut padamu? Sekalipun kau akan menang dan dapat membunuhku, tetap kau takkan tahu di mana orang tuamu berada dan kalau terlambat mungkin jiwa mereka melayang. Maka sudahlah, jangan banyak berlagak, kau ikut aku ke tempat orang tuamu. Kalau kau takut aku membohongimu, mudah saja bagimu untuk kemudian menyerangku, masih belum terlambat!"

   "Jauhkah tempat itu?"

   Akhirnya Hong Cu bertanya. Setelah memikir-mikir beberapa lama, Siauw Liong berkata.

   "Yaah, kira-kira perjalanan sepekan paling cepat!"

   Hong Cu merasa bingung. Sepekan? Dan selama itu harus bersama-sama pemuda kurang ajar ini? Harus melakukan perjalanan bersama? Tapi ia harus berani berkorban perasaan untuk membela orang tuanya. Kalau memang benar Lian Eng yang menculik orang tuanya, kurang ajar benar gadis gagu itu! Ia harus serang dan adu jiwa dengan gadis itu!

   "Baiklah, aku ikut kau ke tempat itu. Tapi awas kalau kau membohong dan berani kurang ajar terhadapku, jangan Kau katakan aku keterlaluan kalau aku cabut nyawamu!"

   Akhirnya Hong Cu berkata dan tatap wajah Siauw Liong dengan bengis. Tapi agaknya mata yang tajam dan indah itu tidak membuat jerih hati Siauw Liong, bahkan ia balas memandang dengan mesra dan tersenyum, hingga Hong Cu membentak.

   "Hayo kita berangkat, apa maksudmu memandang orang sambil tersenyum-senyum?"

   Maka berangkatlah mereka berdua sambil menggunakan ilmu lari cepat menuju ke arah timur laut. Siauw Liong yang mendapat kesempatan jalan bersama gadis cantik yang sangat menarik hatinya itu, merasa gembira sekali dan ia tidak menyembunyikan perasaan ini. Tiada hentinya ia mengajak gadis itu mengobrol dan ia menceritakan pengalamannya yang luas. Tapi Hong Cu hanya mendengar dengan setengah hati dan jarang sekali menjawab kalau tidak perlu betul. Tiga hari kemudian mereka tiba di sebuah kota dekat sungai yang tampak ramai. Sebenarnya, menuruti jalan lurus, untuk pergi ke kampung di mana Lian Eng menyembunyikan orang tua Hong Cu, cukup menggunakan waktu dua hari. Tapi karena Siauw Liong sengaja mengambil jalan memutar agar makan waktu lebih lama, maka biarpun telah berjalan cepat selama tiga hari mereka belum juga sampai di tempat tujuan.

   Melihat sikap Siauw Liong yang ceriwis dan sepanjang jalan berusaha mengambil-ambil hatinya, Hong Cu dapat menduga bahwa pemuda jahat ini tentu sengaja mengambil jalan memutar, tapi ia masih bersabar dan mengambil keputusan untuk menahan sabar sampai sepekan. Kalau sampai selama itu belum juga mereka tiba di tempat yang dimasudkan, maka ia takkan memberi tempo lagi dan hendak mengadu jiwa dengan pemuda ceriwis ini! Tiap kali berhenti di sebuah kota dan bermalam di rumah penginapan, Hong Cu selalu mengambil kamar sendiri yang agak jauh dari kamar Siauw Liong agar ia tidak terganggu. Juga sepanjang jalan ia berlaku hati-hati dan waspada sekali, sedikitpun tak berani lengah dan lalai, hingga sedikitpun tidak memberi ketika atau kesempatan kepada Siauw Liong untuk berlaku curang. Juga di waktu makan,

   Ia berlaku hati-hati sekali karena ia cukup tahu akan kelihaian pemuda itu mempergunakan racun. Sebenarnya, betapapun keras Hong Cu menjaga diri, kalau kiranya dikehendaki oleh Siauw Liong, pemuda itu tentu akan berhasil juga berbuat curang dengan menggunakan kelicinan serta kecurangannya yang penuh tipu muslihat. Tapi untung bagi Hong Cu bahwa pada waktu itu Siauw Liong sedang menjalankan rencana lain. Pemuda yang cerdik itu sengaja hendak mengadu dombakan Hong Cu dengan Lian Eng, dan jika Hong Cu telah dapat bermusuhan dengan Lian Eng, maka tentu nona manis ini akan percaya kepadanya dan dapat bersikap lebih manis, karena Siauw Liong tahu bahwa Hong Cu juga dikecewakan dalam cintanya terhadap Siauw Ma! Ia sengaja pikat-pikat dan ambil hati Hong Cu. Ketika kedua orang itu masuk ke kota Kian-bun yang ramai itu tiba-tiba terdengar seruan orang.

   "Kau, Siauw Liong!"

   Ketika mereka berpaling memandang, Hong Cu melihat bahwa yang menegur itu adalah seorang perempuan muda cantik berpakaian merah. Wanita itu dengan tindakan kaki yang genit menghampiri Siauw Liong dan pada wajahnya yang cantik itu terbayang senyum mesra. Melihat ini Hong Cu lalu membuang muka dan tidak memperhatikan mereka pula, hanya menjauhi dan berdiri tak acuh.

   "Moi-moi, kau di sini?"

   Siauw Liong menegur dengan wajah tak senang.

   "Koko, aku mencari-carimu sampai di mana-mana. Hayo kita pulang saja, koko!"

   Berkata wanita itu yang bukan lain ialah Ang-ie-nio-nio.

   Tiba-tiba mata Siauw Liong mengeluarkan sinar marah. Ia gerak-gerakkan tangan dan membentak.

   "Hayo, kau pergi dari sini! Jangan Kau ganggu aku, aku sedang sibuk dan ada urusan penting. Pergi!"

   Ang-ie-nio-nio memandang sedih.

   "Koko, mengapakah? Kenapa sikapmu begini berubah? Lupakah kau akan hubungan kita, apakah... apakah..."

   Sampai di situ Ang-ie-nio-nio melirik ke arah Hong Cu yang kebetulan sedang memandang kepadanya. Ia lalu sambung kata-katanya sambil memandang Hong Cu dengan marah.

   "Ah, jadi kau telah mendapat kekasih lain?"

   Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hush! Tutup mulutmu, moi-moi!"

   Bentak Siauw Liong, tapi Ang-ie-nio-nio telah menjadi begitu marah hingga ia cabut pedangnya dan loncat ke arah Hong Cu sambil berteriak.

   "Kalau begitu, aku harus membunuhnya sekarang juga!"

   Kemudian tanpa perdulikan Siauw Liong, perempuan baju merah itu menggerakkan pedangnya hendak menyerang Hong Cu. Tapi pada saat itu, Siauw Liong yang merasa marah sekali, loncat mendahului. Ternyata gin-kang pemuda itu jauh lebih hebat dari pada kepandaian Ang-ie-nio-nio hingga sebelum perempuan baju merah itu dapat menerjang Hong Cu, ia telah berhadapan dengan Siauw Liong.

   "Perempuan keparat, kau mencari mampus?"

   Siauw Liong berseru dan menggerakkan kepalan kanannya memukul dengan hebat kepada bekas kekasihnya. Ang-ie-nio-nio bukankah orang lemah. Ia cepat loncat mundur dan kelit pukulan itu.

   "Koko, jadi kau membela gadis ini? Baiklah, biar aku mati dalam tanganmu."

   Suara ini diucapkan dengan suara memilukan sekali dan ketika Siauw Liong maju menggerakkan pedang yang telah berada di tangannya, Ang-ie-nio-nio menangkis tapi tidak balas menyerang. Sebentar saja serangan Siauw Liong datang bertubi-tubi dan tentu saja gadis baju aerah itu tidak dapat menahannya lebih lama pula. Ia menangkis sambil mundur, sementara itu wajahnya menjadi merah dan muram.

   Biarpun diserang mati-matian, sedikitpun ia tidak membalas menyerang. Cinta hati yang demikian besar ini mengharukan hati Hong Cu yang semenjak tadi memandang dengan bibir tersenyum menghina. Ia sebenarnya tidak senang melihat sikap Ang-ie-nio-nio yang genit dan yang begitu kurang ajar telah menganggap ia sebagai kekasih Siauw Liong! Tapi melihat betapa gadis baju merah itu demikian mencinta Siauw Liong dan rela mati, ia menjadi kasihan juga. Pula, ia tidak suka melihat Siauw Liong membunuh orang di bawah pandangan matanya tanpa ia berbuat sesuatu untuk mencegahnya! Maka, ketika Ang-ie-nio-nio telah benar-benar terdesak dan pedang Siauw Liong meluncur hendak menembus lehernya, Hong Cu meloncat dengan tongkat ranting di tangannya dan tiba-tiba Siauw Liong merasa betapa ujung pedangnya tergetar dan membal kembali karena benturan hebat dari ranting itu.

   "Hong Cu, jangan kau ikut campur!"

   Berkata Siauw Liong dengan suara halus, tapi Hong Cu membentak keras.

   "Kalau aku berada di sini, jangan harap kau akan dapat membunuh orang sesukamu sendiri saja!"

   Dan tongkatnya terus terputar hebat hingga terpaksa Siauw Liong meloncat mundur. Sementara itu, melihat gerakan gadis yang hanya bersenjata ranting dapat menangkis pedang Siauw Liong, Ang-ie-nio-nio terkejut dan heran sekali. Ketika Hong Cu memandangnya dan pandang mata mereka bertemu, bukan main kagetnya wanita baju merah itu, hingga ia pandang Hong Cu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.

   "Jadi... Kau kah ini...?"

   Hong Cu mengangguk ke arah perempuan cantik itu.

   "Ang-ie-nio-nio, kau dalam keadaan baik-baik?"

   Ang-ie-nio-nio tidak mau berkata apa-apa lagi kepada Hong Cu, tapi perempuan muda itu bahkan menghampiri Siauw Liong yang berdiri heran mengapa Ang-ie-nio-nio telah kenal kepada Hong Cu. Ang-ie-nio-nio berbisik kepada Siauw Liong,

   "Kalau bermusuh, hati-hatilah kau, koko. Ia lihai sekali dan suhengku Kwie-eng-cu juga terbinasa dalam tangannya!"

   Biarpun Ang-ie-nio-nio bicara perlahan sekali, namun Hong Cu yang berdiri agak jauh dapat juga mendengar karena pendengarannya yang terlatih baik itu sangat tajam. Maka ia berkata sambil tersenyum.

   "Itu benar, Siauw Liong, bahkan tangan kanan kekasihmu ini pernah kupatahkan tulangnya! Nah, kalau kalian hendak menuntut balas, kebetulan sekali, aku telah bersiap!"

   "Kau pergilah dan jangan mengganggu aku!"

   Siauw Liong membentak, marah kepada Ang-ie-nio-nio yang segera meloncat pergi setelah melirik dengan tajam ke arah Hong Cu.

   "Sungguh hatimu palsu sekali untuk menyakiti seorang kekasih demikian rupa!"

   Hong Cu menyindir dan merasa sebal kepada pemuda itu. Siauw Liong hanya mendengus marah.

   "Siapa bilang ia kekasihku? Perempuan itu tak tahu malu."

   "Sudahlah jangan banyak membicarakam hal ini, aku tidak mau dengar. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita agar cepat-cepat sampai di tempat orang tuaku, kalau tidak, aku khawatir kalau-kalau kesabaranku akan habis dan jika terjadi demikian, aku tak dapat menanggung keselamatan jiwamu lagi!"

   Siauw Liong menarik muka cemberut seakan-akan penuh sesal.

   "Kau ini sungguh seorang gadis yang tak kenal budi orang!"

   Ia mengomel.

   "Aku bermaksud baik dan hendak menolongmu, tapi kau selalu memperlihatkan sikap bermusuhan."

   "Siapa mau percaya obrolanmu? Sampai sekarang juga, aku masih belum percaya bahwa kau betul-betul hendak membawaku ke tempat yang kau sebutkan itu! Tapi awaslah kau, kalau beberapa hari lagi ternyata kau tidak mewujudkan janjimu..."

   "Sudahlah, jangan selalu mengancam. Kau memang sangat tidak bisa percaya orang. Baik, kita lihat sajalah nanti.

   "Mulai besok, aku akan mengambil jalan memotong agar kita cepat-cepat sampai di tempat itu dan kau akan melihat dengan mata sendiri bahwa sebenarnya aku, Siauw Liong, adalah seorang pemuda yang betul-betul hendak menolongmu, dan bahwa orang-orang yang kau anggap kawan baik itu semua palsu belaka!"

   Kalau hendak menurutkan hatinya, Hong Cu hendak mendamprat lagi, tapi karena lagi merasa girang mendengar janji ini ia tidak mau membuat hati pemuda itu lebih sakit lagi dan membatalkan maksudnya hendak mempercepat perjalanan mereka. Maka gadis ini diam saja dan mereka memilih kamar dalam sebuah rumah penginapan.

   

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini