Patung Dewi Kwan Im 14
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
Betul saja, Siauw Liong memenuhi janjinya. Pemuda itu karena telah terganggu oleh Ang-ie-nio-nio, merasa takut kalau-kalau pertemuan dengan perempuan bekas kekasihnya itu akan membuat Hong Cu kehilangan kepercayaannya, maka ia merasa perlu mempercepat perjalanan. Pagi-pagi sekali ia telah bersiap dan menyediakan dua ekor kuda yang baik dan mahal. Mula-mula Hong Cu tidak setuju diberi seekor kuda, tapi karena Siauw Liong mendesak dan berkata bahwa perjalanan hari ini sangat jauh dan jika berkuda tanpa berhenti, tentu pada sore hari akan sampai di kampung yang dimaksud itu, terpaksa gadis itu menurut. Mereka lalu berangkat dengan cepat sekali. Ketika hari telah menjadi senja, mereka tiba di sebuah kampung di lereng gunung. Itulah kampung Leng-hok-chun di mana Lian Eng tinggal bersama Ang Lie Seng dan nyonyanya, orang tua Hong Cu.
Ternyata karena banyak sekali pembantu dan kaki tangannya, Siauw Liong telah dapat menemukan juga tempat ini! Siauw Liong mengajak Hong Cu berhenti di luar kampung dan mereka lepas begitu saja kedua kuda mereka yang telah hampir mati kelelahan. Kemudian dengan hati-hati dan cara bersembunyi, Siauw Liong mengajak Hong Cu yang sudah tidak sabar dan tubuhnya menggigil karena terharu memikirkan kedua orang tuanya, memasuki kampung Leng-hon-chun. Kebetulan sekali pada saat itu Ang Lie Seng dan isterinya sedang duduk di luar rumah sambil bercakap-cakap, tak lain mempercakapkan puteri mereka yang telah bertahun-tahun lenyap. Siauw Liong mengajak Hong Cu mendekat dan ia menunjuk kepada dua orang tua itu sambil berkata perlahan,
"Hong Cu, lihatlah baik-baik, siapakah kedua orang tua itu?"
Ia lalu menarik perlahan tangan gadis itu yang maju bagaikan kena pesona. Sebentar saja gadis itu dapat mengenali ayah bundanya dan ia memegang lengan tangan Siauw Liong dengan keras untuk menahan getaran hatinya yang terharu. Kemudian dengan sekali lompat, ia telah berada di depan kedua orang tuanya dan menjatuhkan diri berlutut sambil berseru.
"Ayah... ibu...!"
Kedua orang tua itu tertegun. Mereka memandang gadis cantik jelita itu bagaikan sedang mimpi dan tidak segera mengenali wajah yang tunduk menangis itu. Tapi mendengar suara gadis itu nyonya Ang lalu pegang kepala Hong Cu dan mengangkat wajahnya untuk dipandang. Setelah bertemu dengan pandang mata Hong Cu, kedua orang tua itu dengan berbareng berseru.
"Hong Cu...!!"
Dan mereka bertiga saling peluk dengan mesra dan terharu sekali. Siauw Liong sengaja bersembunyi untuk melihat perkembangan peristiwa itu lebih lanjut. Pada saat itu ia telah melihat bayangan seorang gadis lain yang gesit sekali mendatangi dari belakang rumah. Gadis ini adalah Lian Eng!
"Ayah, ibu! Kalian mengapa dan siapakah orang ini?"
Tanyanya heran karena ia belum melihat wajah Hong Cu yang sedang berpelukan dengan kedua orang tuanya. Hong Cu mendengar suara ini cepat melepaskan pelukan ayah ibunya dan Loncat membalikkan diri.
"Kau!"
Seru Lian Eng dengan senyum menghina.
"Penculik hina!"
Hong Cu memaki sengit dan secepat kilat ia pungut ranting yang tadi dibawanya dari atas tanah dan menyerang Lian Eng.
Murid Huo Mo-li melihat datangnya serangan yang hebat dan sengit itu segera berkelit. Iapun tidak kalah marah dan bencinya hingga sambil berseru nyaring ia balas melancarkan serangan dengan Huo-mo-kangnya yang hebat. Hong Cu juga maklum akan kelihaian lawannya maka ia segera mengeluarkan Ouw-coa-koai-tung-hwat dan menjauhi Lian Eng sambil mengirim serangan-serangan totokan yang mengarah urat kematian lawan! Demikianlah, sebentar saja kedua gadis jelita itu saling serang mati-matian dan karena ilmu gin-kangnya memang sudah mencapai tingkat tinggi, mereka hanya tampak oleh Ang Lie Seng suami isteri sebagai dua gulung sinar yang menjadi satu hingga tak mungkin bagi mereka untuk melihat mana Hong Cu dan mana Lian Eng! Berkali-kali kedua orang tua itu berteriak-teriak.
"Hong Cu... Lian Eng... jangan bertempur...!"
Tapi dua gadis yang sedang diamuk nafsu marah itu tidak mau memperdulikan apa-apa lagi selain hendak membunuh lawan di hadapannya. Pula, pertempuran yang hebat itu membuat mereka bergerak ke sana ke mari dan menjauhi kedua orang tua itu. Ternyata kepandaian kedua gadis itu seimbang, karena keduanya memiliki ilmu pukulan berbahaya yang bagaimana juga membuat keduanya jerih. Hong Cu merasa betapa sambaran angin pukulan yang keluar dari kedua tangan Lian Eng hebat sekali dan mendatangkan rasa panas, maka ia menjaga dengan hati-hati sekali jangan sampai beradu lengan atau mengadu tenaga dengan gadis yang memiliki tenaga lwee-kang luar biasa itu.
Sebaliknya Lian Eng harus berlaku awas dan waspada sekali menjaga dirinya jangan sampai kena tertotok oleh ujung ranting Hong Cu yang seakan-akan telah berubah menjadi ratusan banyaknya itu! Pada waktu itu Siauw Liong berdiri mengintai di balik pohon dengan tertawa seorang diri. Ia puas melihat tipu muslihatnya berjalan baik. Tapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bayangan orang berkelebat cepat ke arah kedua gadis yang sedang bertempur itu. Dengan cara luar biasa dan cepat sekali, tahu-tahu bayangan itu telah dapat menerobos di tengah-tengah di antara kedua gadis itu. Hong Cu dan Lian Eng kaget sekali melihat ada orang berani ikut campur dan ketika mereka memandang, ternyata yang datang ialah Siauw Ma!
"Hong Cu, jangan kau serang Lian Eng!"
Siauw Ma menegur dengan suara keras. Hati Hong Cu yang sudah panas itu makin bernyala karena cemburu dan iri hati. Ia memandang pemuda yang dikagumi itu dengan mata hampir mengeluarkan air mata, dan ia hampir menjerit ketika berkata.
"Kau... kau hendak membela dia? Hayo, majulah kalian berdua, aku Ang Hong Cu tidak takut mati!"
Dan ia menggerakkan rantingnya menyerang Lian Eng lagi yang sudah siap. Kembali kedua gadis gagah itu bertempur hebat bagaikan dua ekor harimau betina berebut makanan.
"Kalau kau nekat, terpaksa aku harus mencegahmu!"
Kata Siauw Ma yang maju menangkis sebuah serangan Hong Cu hingga gadis ini seakan-akan dikeroyok dua! Pada saat itu terdengar suara orang mencela,
"Tak pantas... tak pantas... dua orang gagah dari Thang-la mengeroyok seorang? Hong Cu, jangan kau takut, aku membelamu!"
Kini Lian Eng yang tiba-tiba berubah pucat mukanya karena ia melihat betapa Tiong Li, pemuda yang menjadi kenangannya itu datang-datang menyerbu dan membantu Hong Cu!
"Tahan!"
Lian Eng membentak dan loncat mundur. Bentakannya yang dikeluarkan dengan tenaga lwee-kang dari Huo-mo-kang yang masih mengalir penuh di tubuhnya ini terdengar luar biasa nyaringnya hingga kedua suami isteri Ang Lie Seng yang telah maju mendekat terpaksa tekap telinga mereka yang terasa sakit. Orang-orang yang sedang bertempur tiba-tiba berhenti dan memandangnya.
"Tiong Li, aku tak dapat melawan engkau yang telah menjadi penolongku. Betapapun juga, aku cukup mengenal budi dan tak sudi aku disebut orang rendah karena membalas budi dengan kepalan tangan!"
Kata Lian Eng sambil menahan kehancuran hatinya.
"Kalau kau tidak menyerang Hong Cu tentu selamanya aku takkan suka mengadu kepandaian dengan kau yang lihai ini,"
Jawab Tiong Li tersenyum. Sementara itu, Hong Cu dan Siauw Ma saling pandang. Kini melihat pertempuran itu berhenti, Ang Lie Seng dan isterinya tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ang Lie Seng dan nyonya menyerbu anaknya dan nyonya Ang dengan menangis tersedu-sedu peluk Hong Cu sambil berkata.
"Hong Cu, Hong Cu... kau datang-datang membikin hati ibumu merasa sakit dan kecewa sekali..."
Hong Cu memandang ibunya dengan heran.
"Mengapakah, ibu? Apakah, salahku?"
Kini ibu itu memandang wajah anaknya dengan penuh penyesalan,
"Kau bertanya apa salahmu? Ah, Hong Cu, mengapa kau masih seperti dulu, selalu membawa kehendak sendiri? Mengapa kau datang-datang berani menyerang Lian Eng, saudaramu?"
"Saudaraku, dia ini?"
Hong Cu menunjuk ke arah Lian Eng dan memandang heran. Kini Ang Lie Seng maju memberi keterangan kepadanya. Suaranyanya terdengar keren dan tetap, seperti suara ayah yang sedang menegur anaknya.
"Hong Cu, ibumu berkata benar. Lian Eng telah menjadi anak angkat kami. Kau harus mencontoh dia dan ucapannya yang baru saja ia keluarkan tadi tepat sekali. Seorang budiman takkan sudi membalas budi kebaikan dengan kepalan tangan! Tapi kau datang-datang bahkan menyerangnya!"
Kini benar-benar Hong Cu tak mengerti dan sepasang matanya terbelalak heran.
"Apa... apa maksudmu, ayah?"
Tanyanya gagap.
"Dengarlah, anak bodoh. Lian Eng adalah orang yang telah menyelamatkan jiwa kedua orang tuamu! Kalau tidak ada Lian Eng, mungkin sekarang ayah dan ibumu telah menjadi tengkorak."
Pucatlah muka Hong Cu mendengar ini dan Ang Lie Seng dengan ringkas ceritakan pengalamannya ketika ia dan isterinya diculik oleh Siauw Liong, kemudian ditolong oleh Lian Eng.
"Nah, sekarang kau harus memberi hormat kepada encimu. Lian Eng lebih tua, setahun dari padamu. Hayo, kau memberi hormat dan minta maaf!"
Mendengar betapa Lian Eng telah menolong jiwa kedua orang tuanya, hati Hong Cu merasa terharu sekali dan ia lalu menghampiri Lian Eng sambil memandang dengan mata basah air mata. Tapi tiba-tiba Lian Eng membalikkan tubuh dan hendak lari dari situ! Gadis keras hati ini rasa cemburu dan iri hatinya demikian besar hingga tak mungkin baginya untuk berbaik begitu saja kepada bekas orang yang dibencinya! Tapi pada saat Lian Eng hendak pergi, tiba-tiba dari depannya muncul seorang kakek yang berkata keras,
"He, Lian Eng, jangan kau kurang ajar!"
Ketika Lian Eng memandang, ternyata yang membentaknya itu adalah kakeknya, Souw Cin Ok! Gadis ini yang semenjak kecilnya memang dididik oleh kakeknya ini, telah mempunyai perasaan takut dan tunduk kepada kakeknya yang seakan-akan menjadi pengganti orang tuanya, maka ketika tiba-tiba melihat kakek itu muncul dan membentaknya, ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis. Souw Cin Ok dengan terharu sekali mendengar suara tangis Lian Eng yang mengingatkan dia akan suara tangis gadis itu ketika masih bayi. Memang di waktu kecilnya Lian Eng tidak gagu dan penyakit itu datang padanya ketika ia berusia kira-kira empat tahun. Souw Cin Ok angkat bangun gadis itu yang sandarkan kepala di dada kakeknya sambil menangis sedih. Orang-orang di situ memandang peristiwa ini dengan terharu.
"Lian Eng... Lian Eng, kau sudah bisa bicara...?"
Lian Eng mengangguk-angguk lalu terdengarlah suaranya yang merdu.
"Ya, Ngkong, aku bisa bicara lagi!"
Mendengar ini, Souw Cin Ok memandang ke atas seakan-akan hendak menyatakan terima kasihnya kepada Thian Yang Maha Kasih.
"Lian Eng, aku melihat kau pergi dari Hong Cu dengan muka marah. Jangan kau kurang ajar dan membawa sikap seperti itu, Cucuku. Sikapmu ini membikin malu kakekmu. Ketahuilah, Hong Cu telah wakilkan kau membalas sakit hatimu dan membunuh seorang dari pada musuh-musuh orang tuamu!"
Mendengar ini, Lian Eng merasa bagaikan disambar petir. Ia menjadi pucat dan memegang lengan kakeknya.
"Ngkong, apa maksudmu?"
Maka Souw Cin Ok lalu menceritakan betapa Hong Cu telah membunuh mati Kwie-eng-cu, yakni seorang dari pada musuh-musuh keluarga Souw. Setelah mendengar habis penuturan itu, Lian Eng segera memutar tubuh dan lari kepada Hong Cu yang masih berdiri di sana memandangnya. Kedua gadis itu berdiri berhadapan dekat sekali dan saling pandang dengan mata berlinang air mata. Kalau tadi mereka saling serang mati-matian dan saling pandang dengan hati mengandung penuh kebencian, adalah kini mereka saling pandang dengan hati penuh diliputi keharuan dan rasa berterima kasih. Akhirnya, dengan berbareng mereka saling menubruk dan memeluk tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, hanya air mata mereka yang membanjir merupakan pernyataan perasaan yang hangat dan penuh arti.
"Enci Lian Eng..."
Bisik Hong Cu.
"Adik Hong Cu, adikku..."
Lian Eng balas merangkul. Beberapa saat mereka saling peluk dengan mesra, kemudian teringatlah Hong Cu kepada Siauw Liong. Maka merahlah wajahnya karena api kemarahan membakar hatinya.
"Enci Lian Eng, mari Kau bantu aku menangkap bangsat itu dan kita hancurkan kepalanya yang jahat!"
"Eh, siapa dia yang Kau maksudkan?"
Tanya Lian Eng heran, tapi Hong Cu telah melompat ke arah tempat di mana tadi Siauw Liong menunggu, disusul oleh Lian Eng yang masih terheran.
Di situ Hong Cu berdiri dengan mata mencari-cari, tapi tentu saja ia tidak bisa mendapatkan bayangan Siauw Liong di tempat itu karena si cerdik ini begitu melihat betapa kedua gadis itu berbalik menjadi baik, siang-siang telah mengangkat kaki dan kabur sambil menyumpah-nyumpah karena siasatnya gagal dan muslihatnya hancur lebur! Kemudian dengan menyesal sekali Hong Cu menuturkan kepada Lian Eng betapa ia telah tertipu oleh Siauw Liong yang menghasut-hasutnya agar memusuhi Lian Eng. Sebaliknya, sambil berjalan kembali ke tempat tinggal Ang Lie Seng, Lian Eng juga menceritakan betapa iapun kena tipu Siauw Liong dan hampir saja celaka jika tidak tertolong Ang-ie-nio-nio. Mendengar hal wanita baju merah itu Hong Cu menghela napas dan berkata,
"Gadis itu harus dikasihani. Biarpun ia bukan orang baik-baik, tapi ia telah salah besar ketika memilih Siauw Liong sebagai orang yang dicintanya. Ia telah salah pilih dan..."
Tiba-tiba Hong Cu terdiam dan ia menundukkan mukanya dengan cepat untuk menyembunyikan warna merah yang menjalar dari leher ke muka. Dengan tak disengaja ia ucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan hatinya sendiri dan yang merupakan sindiran tajam baginya. Ia sama sekali tidak nyana bahwa Lian Eng yang berjalan di sebelahnya juga termenung mendengar hata-kata tadi dan di dalam hati gadis itu juga timbul penyesalan mengapa Tiong Li yang dikenangnya itu ternyata mencinta Hong Cu! Demikianlah, dengan diam-diam ke dua gadis ini menyimpan rahasia hati masing-masing dan aneh sekali, kalau tadinya mereka saling menaruh cemburu dan iri hati, kini perasaan itu lenyap. Bahkan, sambil menyentuh lengan Lian Eng, Hong Cu berkata perlahan.
"Pilihanmu tepat, enci, karena Siauw Ma sangat mencintamu."
Tapi godaan ini tidak menggirangkan hati Lian Eng, yang balas menggoda dalam jawaban sederhana,
"Jangan kau lupa, Hong Cu, bahwa Tiong Li juga membelamu dalam perkelahian tadi. Kau lebih beruntung dari pada aku."
Dan Lian Eng menghela napas. Hong Cu heran melihat sikap yang dingin ini.
"Enci Lian Eng, engkau agaknya tidak gembira melihat Siauw Ma mencintamu?"
"Ah, aku tak pernah memikirkan tentang itu, adikku, tugasku belum selesai kupenuhi."
"Enci Lian Eng, kalau begitu mereka itulah yang salah pilih!"
Kata Hong Cu yang menjadi gembira.
"Ketahuilah, akupun sedikit juga tidak memikirkan Tiong Li dan cintanya!"
Kini Lian Eng lah yang memandangnya dengan heran, kemudian mereka tertawa gembira karena baru mereka tahu bahwa di antara mereka tak pernah ada sesuatu yang harus dibuat cemburu! Mereka kini tertawakan kedua pemuda yang salah pilih itu.
"Kalau begitu, kita tak perlu perdulikan dua orang tolol itu, bukan?"
Kata Hong Cu dengan jenaka dan Lian Eng mengangguk sambil tersenyum. Ketika mereka tiba kembali di tempat tadi, Tiong Li yang sedang asyik bercakap-cakap dengan Siauw Ma, segera menegur mereka,
"Eh, kalian mengapa tertawa-tawa berdua sampai melupakan kami? Hong Cu, sepatutnya kau perkenalkan kami kepada orang tuamu!"
Tapi sebelum Hong Cu menjawab, tiba-tiba mereka berempat yang memiliki telinga tajam, berbareng menengok ke satu jurusan dari mana tampak bayangan seorang mendatangi cepat sekali. Ketika bayangan itu telah tiba dekat, mereka berempat heran karena yang datang itu bukan lain ialah Kim Hwa Sianli.
"Ia terluka!"
Seru Tiong Li. Benar saja, ketika nikouw tua itu tiba di situ, tampaklah oleh mereka betapa di pundaknya menancap sebatang anak panah dan pertapa itu nampak pucat sekali.
"Kalian... murid-murid Thang-la... bantulah pinni..."
Sehabis berkata begitu, Kim Hwa Sinnli tak dapat mempertahankan tubuhnya lagi dan ia terguling roboh. Untung sebelum ia roboh, Lian Eng dan Hong Cu cepat sekali loncat menahan tubuhnya dan merebahkan nikouw itu dengan perlahan.
"Kim Hwa Sianli, apakah yang terjadi?"
Siauw Ma dengan tak sabar bertanya.
"Pinni telah ketemukan malingnya..., ia... ia adalah... murid Tok-kak-coa..."
"Siauw Liong!"
Empat orang muda itu berseru berbareng.
"Ya, dia..., keparat itu... baru saja aku bertemu dengannya dan kami bertempur. Aku terluka, tapi... tapi betul dialah malingnya..."
"Hayo kejar dia!"
Kata Siauw Ma, tapi Tiong Li yang lebih cerdik segera bertanya.
"Ia menuju ke mana?"
"Ke... Bukit Kee-san..."
Tiong Li cepat memeriksa luka orang tua itu, dan terkejutlah ia ketika melihat betapa racun yang hebat dan dipasang di ujung anak panah telah menyerang ke dalam jantung! Karena setelah mendapat luka, pertapa itu lari sekuat tenaga, maka racun berjalan lebih cepat ke dalam jantungnya. Tiong Li maklum bahwa Kim Hwa Sianli tak mungkin ditolong lagi, maka ia segera keluarkan sebungkus obat yang diberikan kepada Hong Cu sambil berpesan.
"Hong Cu, tiap kali ia merasa sakit, beri minum obat ini seperlima bagian dan sakitnya akan lenyap."
Kemudian sambil berbisik perlahan ia berkata.
"Tak dapat ditolong lagi jiwanya."
Setelah itu, Tiong Li dan Siauw Ma hendak mengejar Siauw Liong, dan Lian Eng berkata.
"Mari kalian ikut, aku tahu di mana letak Bukit Kee-san!"
Dan iapun loncat hendak pergi. Tapi terdengar suara Souw Cin Ok mencegah,
"Lian Eng, ada hal yang lebih penting dari pada ini! Aku telah dapatkan tempat tinggal musuh-musuh kita!"
Mendengar ini, Lian Eng segera mengurungkan maksudnya hendak ikut mengejar. Maka Tiong Li berkata kepada Siauw Ma,
"Biar kita berdua yang pergi. Akupun sudah tahu di mana tempat itu!"
Dan kedua pemuda itupun lalu menggunakan ilmu lari cepat berkelebat pergi. Lian Eng menghampiri kakeknya,
"ENgkong, di manakah mereka?"
Tanyanya gemas.
"Ketahuilah, Lian Eng. Mungkin engkau lupa lagi akan nama-nama musuhmu. Pembunuh-pembunuh orang tuamu adalah Tiga Setan dari Tiang-an, yakni pertama Bu-eng-cu, kedua Kwi-eng-cu yang telah terbunuh mati oleh Hong Cu, dan ketiga Pek-eng-cu. Nah, aku telah mendapat tahu bahwa Bu-eng-cu dan Pek-eng Cu kini tinggal di Liok-si, menjadi guru silat di sana. Aku sendiri bukanlah lawan mereka, maka aku sengaja mencari kau agar kau dapat penuhi tugasmu ini."
"Di Liok-si? Ah, aku pernah datang di kota itu!"
Seru Lian Eng yang lalu loncat hendak pergi.
"Cici, tahan dulu!"
Kata Hong Cu.
"Aku ikut!"
Kemudian Souw Cin Ok mendapat tugas untuk mengurus Kim Hwa Sianli yang terluka dan kemudian ia dimintai tolong untuk mengantar Ang Lie Seng pulang ke kotanya. Setelah semua diatur beres dan berpamit kepada orang tuanya, kedua gadis itupun loncat pergi tinggalkan tempat itu, menuju Liok-si. Mari kita ikuti Siauw Liong, pemuda yang cerdik tapi jahat itu. Setelah merasa kecewa melihat betapa ke empat orang muda yang menjadi musuh-musuhnya itu telah berkumpul kembali dan siasat adu dombanya tidak berhasil, dengan bersungut-sungut dan marah ia pergi cepat meninggalkan tempat itu. Ketika ia tengah berlari cepat, tiba-tiba sebuah hud-tim atau kebutan pertapa menyambar dari samping dibarengi suara bentakan halus.
"Eh, anak muda, larimu cepat sekali. Coba kau layani aku barang duapuluh jurus."
Sebelum Siauw Liong dapat menjawab, penyerangnya yang bukan lain ialah Kim Hwa Sianli, maju menyerang dengan pedang dan kebutannya. Siauw Liong terkejut sekali melihat kehebatan pertapa wanita itu, maka ia keluarkan seluruh kepandaiannya untuk melawan. Kemudian, karena hatinya sedang marah dan jengkel, pula melihat dan mengenali pertapa itu sebagai ketua Kwan-im-pai, Siauw Liong turunkan tangan jahat. Diam-diam ia lepas panah tangannya yang beracun dengan beruntun lima kali. Yang empat buah pertama dapat ditangkis oleh pedang Kim Hwa Sianli, tapi anak panah kelima yang menyambar tenggorokan hanya dapat dikelit dan menancap di pundaknya! Merasa betapa pundaknya menjadi linu dan gatal, terkejutlah Kim Hwa Sianli. Ia tadi telah menguji ilmu silat anak muda ini dan ternyata inilah maling patung kelentengnya!
"Anak muda, jadi kau lah maling rendah itu! Kau selalu berlaku curang, apakah kau begitu pengecut hingga takut sebutkan namamu?"
Tertawalah Siauw Liong mendengar ini.
"Imam tua, kau mau tahu namaku? Aku adalah Siauw Liong, dan anak panahku itu boleh Kau anggap sebagai hadiah dari Tok-kak-coa, suhuku."
Setelah berkata demikian, dengan puas Siauw Liong pergi tinggalkan Kim Hwa Sianli. Betapapun juga, rasa penasarannya terhadap ke empat murid Thang-la masih saja belum dilenyapkan. Ia pulang ke Kee-san, tapi karena tidak melihat Ang-ie-nio-nio di dalam guanya, ia merasa kesunyian dan menyesal mengapa ia menyia-nyiakan gadis yang mencinta itu.
Ia tidak kerasan tinggal di guanya dan teringatlah olehnya kawan-kawan baiknya. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Tiang-an Sam-kwie atau Tiga Setan dari Tiang-an, kawan-kawannya yang banyak membantunya, maka ia segera menuju ke sana. Pada suatu hari, ia berhenti di sebuah kota untuk makan. Dimasukinya restoran terbesar dan ia pesan masakan-masakan termahal. Malam harinya ia menyewa kamar di hotel terbesar. Ia sama sekali tidak tahu bahwa semenjak siang, tadi dua pasang mata memperhatikannya dan dua orang muda dengan diam-diam mengikutinya. Pada malam hari itu, ketika Siauw Liong tengah duduk di ruang depan dari hotel, tiba-tiba dari luar masuk seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar. Ketika melihat Siauw Liong, orang itu lalu menjura.
"Sungguh beruntung sekali siauwte dapat bertemu dengan taihiap di sini,"
Katanya dengan hormat sekali. Siauw Liong memandang tak acuh. Terlalu banyak orang-orang sungai telaga dan rimba hijau mengenal padanya hingga ia tidak ingat siapa orang tinggi besar ini.
"Kau siapakah dan ada urusan apa menggangguku?"
Tanyanya dengan angkuh. Tapi orang itu tidak marah, bahkan tampaknya takut-takut.
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau siauwte tidak sedang menjalankan perintah, mana siauwte yang rendah berani mengganggu taihiap? Siauwte diperintah oleh suhu dari Tiang-an dan sengaja mencari taihiap di Kee-san, tapi tak nyana dapat bertemu di sini."
"Siapakah suhumu?"
"Suhu adalah Bu-eng-cu..."
"O, dia? Ada perlu apakah?"
Orang itu menghela napas.
"Ketahuilah, taihiap. Belum lama ini, ji-susiok Kwie-eng-cu telah mati terbunuh oleh seorang gadis pendekar yang namanya Hong Cu."
Terkesiap juga Siauw Liong mendengar ini,
"Hong Cu, katamu?"
"Ya, taihiap. Pembunuh susiok itu namanya Ang Hong Cu, dan sekarang gadis itu bersama seorang kawannya yang bernama Souw Lian Eng, datang mengacau di kota kami. Kedua gadis itu mengamuk dan mereka menuntut supaya suhu dan susiok Pek-eng-cu keluar menjumpai mereka.
"Baiknya suhu dan susiok siang-siang telah tahu bahwa kedua gadis ini adalah lihai sekali dan sukar dilawan, maka mereka lalu bersembunyi. Tidak tahunya kedua gadis itu mengancam semua orang di bu-kwan, katanya kalau dalam waktu tiga hari suhu dan susiok tidak mau menemui mereka, maka bu-kwan akan dibakar dan semua orang yang berada di situ akan dibasmi habis! Karena inilah, maka suhu segera mengutus siauwte naik kuda dan cepat-cepat mengundang taihiap memohon bantuan."
Siauw Liong menahan kagetnya agar jangan sampai terlihat orang. Sebenarnya ia merasa terkejut dan jerih mendengar dua nama itu, tapi otaknya yang cerdik segera bekerja.
"Kau pulanglah dulu dan beritahukan gurumu supaya dia dan Pek-eng-cu keluar menjumpai dua gadis itu."
"Tapi, taihiap..."
"Tutup mulut!"
Siauw Liong membentak hingga orang itu terkejut lalu tunduk.
"Kau dengarkan saja perintahku, jangan banyak membantah. Suhumu dan susiokmu itu supaya keluar dan menjumpai kedua gadis itu lalu tantang mereka mengadakan pertandingan di dalam hutan..."
Tiba-tiba sampai di sini Siauw Liong tutup mulutnya dan ia memandang ke kanan kiri.
"Hayo kau masuk ke kamarku,"
Ajaknya kepada orang itu. Ternyata Siauw Liong berlaku hati-hati sekali. Dua orang yang mendengarkan di atas genteng merasa kecewa sekali, tapi mereka sudah merasa puas akan apa yang mereka dengar. Dua orang itu adalah Si auw Ma dan Tiong Li yang tadinya hendak turun tangan menyerang Siauw Liong tapi mereka tahan dan tunda niat itu ketika mendengar percakapan antara Siauw Liong dan pesuruh dari Tiang-an tentang Hong Cu dan Lian Eng. Kemudian, melihat betapa Siauw Liong mengajak tamunya masuk kamar, kedua pemuda itu tinggalkan tempat itu dan mengambil keputusan untuk terus mengikuti jejak Siauw Liong dengan hati-hati karena mereka khawatirkan keselamatan kedua gadis itu dalam menghadapi Siauw Liong yang licin dan curang.
Sebaliknya, Siauw Liong setelah mengajak tamunya ke dalam kamar lalu memesan agar Bu-eng-cu dan Pek-eng-cu menantang kedua nona itu untuk mengadu jiwa di puncak Gunung Kee-san! Harinya ditetapkan lima hari kemudian, karena dalam waktu lima hari itu ia hendak mencari bala bantuan untuk memperkuat rombongannya. Pesuruh itu lalu kembali ke Tiang-san menyampaikan pesan Siauw Liong kepada gurunya. Sedangkan Siauw Liong lalu pergi ke berbagai daerah mengumpulkan dan mencari bantuan-bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Ban Kok Si Garuda Sakti, Can Bu Si Golok Terbang, dan Ho-pak Chit-kiam atau Tujuh Pedang dari Ho-pak yang terkenal lihai.
Sedikitpun Siauw Liong tidak tahu bahwa selama itu ia terus diikuti oleh Tiong Li, sedangkan Siauw Ma mengikuti pesuruh yang kembali ke Tiang-an untuk melihat perkembangan lebih jauh. Dengan hati besar karena menerima kesanggupan Siauw Liong untuk membantu mereka, Bu-eng-cu dan Pek-eng-cu keluar dari tempat sembunyinya dan menemui Hong Cu dan Lian Eng yang pada hari ketiga datang di bu-kwan mereka dengan wajah keren. Kedua guru silat itu menyambut mereka dengan memberi hormat, sedangkan di dalam hati, mereka heran sekali karena tidak mereka sangka bahwa musuh yang begitu disohorkan dan ditakuti hanyalah dua orang gadis cantik! Bu-eng-cu yang lebih berpengalaman ketika melihat sorot mata kedua gadis itu dapat menduga ketinggian ilmu mereka, tapi Pek-eng-cu yang merasa penasaran lalu menjura di depan mereka sambil berkata,
"Ji-wi lihiap apakah yang dalam beberapa hari ini mencari kami?"
Tapi diam-diam ia mengerahkan tenaganya memukul dengan tenaga dalam. Lian Eng hanya berdiri sambil tersenyum sindir, sedikitpun tak perdulikan pada Pek-eng-cu. Tapi Hong Cu balas menjura dan mengangkat kedua lengannya.
"Dan ji-wi apakah Bu-eng-cu dan Pek-eng-cu yang kami cari?"
Balas Hong Cu sambil mengerahkan tenaganya. Pek-eng-cu yang memandang rendah kedua tamunya, tiba-tiba merasa betapa tenaga yang keluar dari kedua tangannya itu mental kembali dan mendorongnya ke belakang. Ia hendak mempertahan kan bhe-sinya, tapi makin keras ia bertahan, makin keras pula ia terjengkang ke belakang.
"Eh, hati-hati kau nanti jatuh!"
Kata Hong Cu jenaka sedangkan Pek-eng-cu yang sudah jatuh terjengkang merasa dadanya agak sakit dan buru-buru ia merangkak berdiri dengan wajah pucat. Alangkah hebatnya tenaga tamunya, seorang gadis yang tampaknya lemah lembut ini! Bu-eng-cu melihat hal inipun menjadi pucat. Ia maklum bahwa ia dan sutenya bukanlah lawan kedua gadis ini, maka setelah menjura ia berkata.
"Ji-wi lihiap, pernah apakah dengan Souw Cin Ok?"
Kini Lian Eng maju selangkah dan matanya memancarkan cahaya api.
"Aku adalah cucu dari kakek Souw Cin Ok! Kalian telah membunuh mati kedua orang tuaku, maka sekarang jangan banyak mulut lagi. Bersedialah untuk mati!"
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke arah dada Bu-eng-cu yang segera jatuhkan diri ke belakang karena ia merasa datangnya tenaga yang membawa angin panas sekali. Dengan gerakan ini, maka selamatlah ia, akan tetapi tiba-tiba Pek-eng-cu yang berdiri di belakangnya terkena pukulan Huo-mo-kang ini. Guru silat yang bertubuh besar itu untuk kedua kalinya terlempar ke belakang, tapi kali ini lebih hebat karena ia tidak dapat bangun kembali dan ketika beberapa orang muridnya memburu, ternyata Pek-eng-cu telah tewas! Melihat hal ini, Bu-eng-cu cepat loncat berdiri dan dengan nekat ia berkata,
"Orang she Souw, tahan dulu! Kau telah membunuh suteku dengan menggelap apakah ini laku seorang gagah?"
Marahlah Lian Eng.
"Menggelap, katamu? Nah, sekarang kau bersiaplah dan lihat baik-baik sebelum mati, apakah aku menggunakan senjata gelap untuk merampas jiwa anjingmu?"
"Tahan dulu. Aku sedang tidak sehat, maka kalau kau memang gagah, aku tantang kalian berdua mengadu jiwa dengan aku di satu tempat tertentu."
"Ha, anjing tua yang licin. Kau hendak tipu aku dan diam-diam lari minggat?"
Kata Lian Eng menyindir. Murid Huo Mo-li yang sedang marah itu segera maju hendak mengirim pukulan mautnya. Melihat hal ini, Bu-eng-cu lalu angkat dadanya sambil berkata keras.
"Kau mau bunuh boleh bunuhlah! Lihat, aku tidak melawan. Kau tentu akan dapat membunuhku, tapi namamu selamanya akan ternoda di kalangan kang-ouw dan dianggap seorang yang tidak mengenal aturan."
Mendengar kata-kata ini, Lian Eng yang masih hijau dalam aturan-aturan kang-ouw, menjadi ragu-ragu dan saling pandang dengan Hong Cu. Tapi Hong Cu sendiri juga tidak mengerti dan sangsi karena takut kalau-kalau omongan musuh itu benar.
"Atau barangkali kalian memang pengecut dan tidak berani menerima tantanganku untuk mengadu kepandaian di tempat tertentu?"
Bu-eng-cu menambahi untuk memanaskan hati kedua gadis lihai itu.
"Bangsat tua, siapa yang tidak berani? Baiklah, kau boleh tetapkan tempat itu, karena bagi kami sama saja. Kau tak mungkin dapat terlepas dari tanganku,"
Kata Lian Eng. Bu-eng-cu diam-diam bernapas lega. Ia baru saja terlepas dari cengkeram maut. Karena merasa bahwa bahaya telah lewat, ia dapat berkata dengan suara keras dan gagah.
"Nah, begitulah baru ucapan seorang gagah. Dengarlah, kalau memang kalian berani, kau pergilah ke puncak Kee-san. Empat hari lagi aku menanti kalian di sana dan bolehlah kita mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih unggul."
"Hm, kau hendak pancing kami ke Kee-san? Apakah kau hendak minta bantuan si bangsat Siauw Liong?"
Tegur Hong Cu. Terkejutlah Bu-eng-cu mendengar ini, karena tidak disangkanya babwa gadis itu sudah tahu akan maksudnya, tapi Bu-eng-cu tidak mundur, bahkan dengan sengaja ia menyindir.
"Kalau memang di sana ada taihiap, apakah kalian takut kepadanya?"
"Kami takut padanya? Kau melantur! Baiklah, empat hari lagi kami berdua naik ke Kee-san dan tidak hanya membunuh kau, tapi Siauw Liong juga. Tapi awas, kalau kau tidak berada di sana, kami akan mencarimu dan membuat matimu tersiksa!"
Setelah berkata demikian, Lian Eng dan Hong Cu berkelebat dari situ dan lenyap. Melihat kelihaian mereka, Bu-eng-cu diam-diam kagum sekali.
Ia cepat berkemas dan hari itu juga ia urus jenazah Pek-eng-cu yang binasa di bawah pukulan Lian Eng. Setelah beres ia lalu buru-buru angkat kaki ke Kee-san. Hatinya yang selalu takut dan cemas itu menjadi lega dan aman ketika ia bertemu dengan Siauw Liong dan banyak orang gagah yang telah berkumpul di puncak Kee-san dan dijamu oleh Siauw Liong. Juga adik seperguruannya, Ang-ie-nio-nio, telah datang dulu di situ dan kini hubungan antara wanita baju merah itu agaknya sudah baik kembali dengan Siauw Liong, hingga Ang-ie-nio-nio tampak melayani para tamu dengan wajah gembira. Dengan sangat girang Bu-eng-cu melihat betapa di situ berkumpul duapuluh orang-orang gagah yang diundang Siauw Liong, maka heranlah dia karena perlukah dikumpulkan demikian banyak orang gagah hanya untuk melayani dua orang gadis yang masih muda belia?
"Twako, jangan kau takut-takut lagi, tenangkan hatimu. Kalau dua orang wanita itu berani perlihatkan mukanya di sini, pasti mereka takkan mampu turun lagi dengan selamat,"
Kata Siauw Liong ketika ia menyambut Bu-eng-cu. Maka Si Bayangan Iblis itu oleh Siauw Liong lalu diperkenalkan kepada para tamunya. Mereka itu asyik membicarakan lawan-lawan yang diharapkan kedatangannya besok.
"Akupun sudah mendengar tentang turunnya seorang muda dari Thang-la. Dalam waktu setahun saja ia telah membuat nama besar, maka ingin sekali aku mengujinya,"
Kata Can Bu Si Golok Terbang sambil gerak-gerakkan kepalanya yang gundul.
"Bukan hanya seorang, tapi kudengar ada dua orang,"
Kata seorang dari pada Ho-pak Chit-kiam.
"Mengapa hanya dua? Bukankah tokoh tokoh Thang-la ada tiga orang? Aku dulu pernah mendengar nama besar dari Thang-la Sam-sian, Tiga Dewa Thang-la..."
Kata Ban Kok Si Garuda Sakti.
"Ah, betapa banyaknya adanya lawan, dan betapa lihainyapun, dengan adanya cu-wi di sini, kita takut apa?"
Berkata Bu-eng-cu dengan gembira sambil minum araknya.
"Bukan begitu, sebenarnya kamipun sudah mendengar tentang kehebatan murid-murid Thang-la itu, tapi dengan adanya taihiap, kami menjadi berani,"
Kata beberapa orang lain dan dari kata-kata ini maka ternyata bahwa semua orang menyebut Siauw Liong dengan sebutan taihiap atau pendekar besar dan bahwa mereka itu rata-rata memandang tinggi sekali anak muda yang lihai itu.
Pada keesokan harinya, baru saja matahari terbit, Hong Cu dan Lian Eng sudah naik ke puncak Kee-san! Kedua gadis itu bergerak maju dengan hati-hati sekali karena Lian Eng yang pernah mengalami terjebak di atas bukit itu tahu akan kelihaian tempat tinggal Siauw Liong ini. Mereka menduga bahwa Bu-eng-cu tentu tidak berada di situ, tapi karena mereka memang sengaja mencari Siauw Liong untuk membekuk maling dan penjahat itu, maka mereka datang juga di gunung itu. Maka besar rasa heran mereka ketika melihat Bu-eng-cu berdiri di depan gua Siauw Liong dan di sebelahnya tampak banyak orang lain yang kesemuanya bersikap garang. Tapi Siauw Liong tidak tampak di antara mereka.
"Lihat, cici, Bu-eng-cu telah kumpulkan buaya-buaya darat."
"Biarlah, kita basmi mereka sekalian, jadi tidak sia-sia capai lelah kita mendaki bukit ini,"
Jawab Lian Eng. Bu-eng-cu sambut mereka dengan senyum dibuat-buat.
"Selamat datang, nona-nona. Kalian sungguh tepati janji. Marilah kuperkenalkan dengan beberapa orang kawanku yang sengaja datang hendak menyaksikan kita adu kepandaian."
"Hm, siapa sudi berkenalan dengan kawan-kawanmu? Bilang saja kau kumpulkan mereka untuk mengeroyok kami. Kau kira kami takutkah?"
Lian Eng membentak. Bu-eng-cu merasa panas mukanya, dan dari rombongannya loncat keluar saudara termuda dari ketujuh jago pedang dari Ho-pak yang bernama Kwee Liat.
"Kau sungguh sombong, nona. Tak usah dengan keroyokan, aku sendiri masih sanggup melawanmu,"
Katanya. Lian Eng tidak gerakkan kepalanya hanya biji matanya melirik ke arah Kwee Liat. Dilirik secara menghina seperti itu, Kwee Liat segera cabut pedangnya yang tajam dan gerak-gerakkan pedang itu.
"Cabut senjatamu dan marilah kita adu pedang. Hendak kulihat sampai di mana kehebatan murid Thang-la!"
Kwee Gi saudara tertua dari Chit-kiam, hendak mencegah adiknya berlaku lancang, tapi pada saat itu tiba-tiba tubuh Lian Eng berkelebat ke arah Kwee Liat dan terdengar seruan gadis itu,
"Rebah kau!"
Dan dengan serangan beruntun tahu-tahu tubuh Kwee Liat terlempar dan pedangnya telah terampas oleh Lian Eng. Dengan senyum dingin Lian Eng gerakkan tiga buah jari tangannya dan pedang itu patah menjadi dua! Semua orang terkejut sekali, dan masih untung bagi Kwee Liat bahwa Lian Eng tidak menghendaki jiwanya hingga ia hanya mendapat pukulan di pundaknya. Tapi serangan itu cukup membuat tulang pundaknya patah dan ia tak berdaya lagi, hanya merintih-rintih.
"Bu-eng-cu, manusia pengecut!"
Lian Eng membentak.
"Jangan kau bersembunyi di belakang orang-orang tak berguna ini. Kalau memang kau laki-laki mengapa dosamu kau tumpahkan di pundak orang-orang lain? Hayo majulah engkau!"
Bu-eng-cu merasa betapa dadanya berdegupan, tapi karena ia juga seorang tokoh ternama di kalangan kang-ouw, malu dan pantang baginya untuk menyerah begitu saja. Ia lalu meloncat maju menghadapi murid Huo Mo-li.
"Jangan kau bicara sombong!"
Dan ia cabut pula goloknya, tapi pada saat itu Can Bu Si Golok Terbang loncat di depannya dan berkata kepada Lian Eng.
"Sungguh kau gagah sekali, nona. Sanggupkah kau melayani ketigabelas golok terbangku?"
Dan si gundul itu meringis memperlihatkan giginya yang kuning dan bibirnya yang tebal. Mendengar kata-kata ini, Hong Cu mendahului Lian Eng.
"Kau bicara tentang golok terbang, bukankah kau ini yang disebut Hui-to Can Bu Si Golok Terbang?"
Kini Can Bu memandang kepada Hong Cu dan dalam pandang matanya gadis ini bahkan lebih cantik dari pada Lian Eng, maka menyeringai makin lebar.
"Eh, eh, kau sudah kenal kepadaku, nona? Kapankah kita telah pernah bertemu? Aku sudah lupa lagi, sungguh heran!"
Beberapa orang kawannya tertawa mendengar ini dan Hong Cu lalu menjawab.
"Memang kita sudah pernah bertemu, yaitu malam tadi ketika aku menjenguk ke neraka, ternyata kau pun berada di sana sebagai calon penghuninya. Nah, sekarang kau keluarkanlah golok-golokmu itu."
Marahlah Can Bu mendengar ini. Ia loncat ke tempat terbuka yang lebih luas.
"Marilah kalau kau sudah bosan hidup,"
Katanya. Hong Cu dengan senyum sindir menghampiri dengan tindakan tenang.
"Hayo kau lepaskan golok terbangmu, hendak kulihat bagaimana macamnya,"
Kata Hong Cu.
"Awas golok pertama!"
Seru Can Bu dan sebuah golok kecil warna putih melayang dari tangannya bagaikan seekor burung putih terbang menyambar ke arah leher Hong Cu! Memang sambaran ini cepat sekali datangnya dan seorang yang hanya memiliki kepandaian silat biasa, saja tentu sukar menyelamatkan diri dari serangan ini. Hong Cu dengan tenang berkelit ke kiri, tetapi golok ke dua telah terbang menyambar pula dibarengi bentakan,
"Lihat golok kedua!"
Namun dengan kegesitannya Hong Cu kelit golok yang datang beruntun itu. Untuk melepas golok kesatu sampai keempat, Can Bu masih memberi peringatan lebih dulu, tapi mulai golok kelima ia melepas senjatanya tanpa memberi peringatan. Dan ia melepas tiga golok sekali lempar! Bahkan goloknya yang kesembilan dilempar sedemikian rupa hingga ketika golok dapat dikelit oleh Hong Cu, golok itu dapat meluncur dengan membuat lingkaran panjang! Sungguh hebat kepandaian Si Golok Terbang itu, namun kelincahan Hong Cu memang mengagumkan. Dengan gin-kangnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Hong Cu kelit semua golok itu dan juga menggunakan ujung jari menyentil golok yang menyambar dekat hingga tubuhnya merupakan bayangan berkelebat di antara sinar golok yang berkilau bagaikan kilat menyambar itu.
Can Bu terkenal karena tigabelas macam sambitannya dengan golok terbang tetapi di dalam kantong goloknya ia menyimpan dua stel atau berjumlah duapuluh enam golok. Kini melihat ketigabelas goloknya dapat dikelit dengan mudah oleh gadis itu, ia merasa terkejut dan penasaran sekali. Yang sudah-sudah, jangankan menghindari tigabelas golok yang dilemparnya beruntun, sedangkan untuk berkelit dari dua atau tiga buah golok terbangnya saja, jarang ada yang sanggup! Dengan mengeluarkan seruan marah, ia sambit-sambitkan ke tigabelas golok rombongan kedua, dengan gerakan lebih cepat dari pada tadi. Tapi Hong Cu pun percepat gerakannya hingga tubuhnya lenyap, hanya tampak ujung bajunya saja yang berkibar.
Tapi pada saat itu, yaitu ketika Hong Cu berhasil kelit golok terakhir dari lawannya, tiba-tiba dari bawah tanah keluar menyambar tiga batang anak panah dengan cepat dan tak terduga sekali! Tiga batang senjata itu menyambar ke arah lambung kiri, tengah-tengah dada dan pundak kanan! Hebat bukan main serangan ini, karena ketika itu tubuh Hong Cu masih berada di udara dan kedua kakinya baru melayang hendak turun. Yang membuat serangan itu berbahaya sekali ialah karena datangnya tak terduga sama sekali. Siapakah yang menduga bahwa akan datang serangan begitu saja dari bawah tanah? Biarpun Hong Cu gesit dan ringan sekali tubuhnya, namun ia hanya berhasil menghindarkan diri dari panah pertama dan kedua yang mengancam lambung dan dada. Panah ketiga berhasil menancap punggung kanan dekat pundak dan sambil keluarkan teriakan ngeri gadis itu roboh pingsan!
Alangkah kagetnya Lian Eng ketika melihat hal ini. Dengan membentak nyaring ia loncat ke arah Hong Cu untuk melihatnya, tapi ia dicegat oleh ke enam Ho-pak Chit-kiam dan Ban Kok Si Garuda Sakti. Bukan main marahnya murid Huo Mo-li, maka dengan kerahkan tenaganya ia menyerang lawan-lawannya. Sekali gebrak saja dua di antara Ho-pak Chit-kiam roboh dengan dada gosong dan dada terluka hebat.
(Lanjut ke Jilid 15)
Patung Dewi Kwan Im (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
Semua pengeroyoknya terkejut dan mundur, tapi ketika Lian Eng hendak loncat ke tempat Hong Cu roboh, mereka maju menyerang lagi dengan senjata mereka. Pengeroyok-pengeroyoknya adalah orang-orang kang-ouw yang berpengalaman dan berkepandaian tinggi, maka untuk sementara Lian Eng terpaksa melayani mereka.
Berkali-kali gadis cantik ini membentak nyaring dan tiap kali ia membentak dan lengannya terulur memukul, pasti ada seorang lawan terjungkal. Sungguh hebat sekali tenaga Huo-mo-kang yang digunakan untuk menyerang mereka. Namun di antara pengeroyoknya terdapat jagoan-jagoan ternama seperti Ban Kok Si Garuda Sakti, Can Bu Si Golok Terbang, dan tiga orang pertama dari Ho-pak Chit-kiam yang ternyata memiliki ilmu pedang yang benar-benar lihai. Dengan teratur sekali mereka mengurung Lian Eng hingga gadis itu mengamuk hebat bagaikan seekor naga betina bermain di antara mega-mega hitam. Pada saat itu terdengar suara tertawa menyeramkan dan Siauw Liong loncat keluar dari pintu rahasianya di bawah tanah! Ternyata yang melepaskan panah gelap tadi adalah dia sendiri. Melihat keluarnya pemuda ini, meluaplah rasa marah Lian Eng.
"Siauw Liong, bangsat rendah, pengecut hina! Hari ini aku pasti mengadu jiwa dengan kau!"
Tapi Siauw Liong yang melihat betapa kawan-kawannya dapat menahan Lian Eng, tak perdulikan dia bahkan lalu menghampiri tubuh Hong Cu yang masih rebah di atas tanah. Sebelum tangan pemuda itu dapat menjamah tubuh Hong Cu, tiba-tiba terasa angin hebat menyambarnya dari samping hingga ia cepat loncat berkelit. Ternyata yang menyerangnya adalah Tiong Li! Pemuda yang baru datang ini membentak penuh kemarahan melihat keadaan Hong Cu.
"Siauw Liong orang rendah! Untuk perbuatanmu kali ini aku tak dapat memberi ampun Lagi!"
Setelah berkata demikian Tiong Li gerakkan tangannya menyerang hebat. Tapi Siauw Ma yang datang bersama dia lalu berkata,
"Tiong Li, kau uruslah Hong Cu, biarkan setan ini mati dalam tanganku!"
Mendengar kata-kata Siauw Ma ini, sadarlah Tiong Li bahwa ia terlampau menuruti nafsu marahnya hingga lupa akan keadaan Hong Cu yang berbahaya.
Segera ia tinggalkan Siauw Liong yang terpaksa melayani Siauw Ma. Siauw Liong kaget setengah mati melihat datangnya dua pemuda dengan tiba-tiba ini. Hal ini sungguh-sungguh di luar dari pada dugaannya. Tapi ia tak sempat banyak berpikir karena pedang Siauw Ma dengan hebatnya mengurung dirinya hingga ia harus gerakkan kedua tongkat ular di tangannya dengan cepat, namun tetap saja ia tidak dapat punahkan kurungan sinar pedang Siauw Ma yang kuat sekali itu. Tiong Li periksa punggung kanan Hong Cu. Melihat anak panah yang menancap di situ, ia kerutkan kening. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi ia pondong tubuh Hong Cu dan membawanya ke tempat agak jauh di bawah pohon siong tua. Ia letakkan tubuh itu bertelungkup di atas rumput, lalu dengan cepat ia merobek baju gadis itu di bagian punggungnya.
Lalu dicabutnya anak panah itu dan ia khawatir sekali melihat betapa luka itu telah menghitam karena pengaruh racun di ujung anak panah. Tiong Li cepat buka buntalan yang menggemblok di punggungnya dan ambil pisau yang sangat tajam dan beberapa bungkus obat. Dari sebuah guci kecil ia keluarkan semacam minyak yang berbau kecut, dan dituangkannya minyak itu di atas luka Hong Cu. Kemudian dengan cekatan sekali ia gunakan pisau tajam untuk membelah kulit di punggung yang terluka dan membisul itu. Cepat sekali ujung pisaunya bekerja hingga sebentar saja ia mengorek daging dan kulit yang telah membusuk karena pengaruh racun jahat. Pada saat itu Hong Cu siuman dari pingsannya dan ia mengerang kesakitan. Tiong Li maklum betapa sakitnya daging dikorek-korek pisau seperti itu, tapi ia tekan perasaan kasihan yang memenuhi hatinya. Ia pegang pundak Hong Cu dan berkata lirih.
"Hong Cu, jangan khawatir. Aku akan usir pergi semua racun dari tubuhmu."
Mendengar suara yang halus ini, Hong Cu gerakkan lehernya dan memandang kepada Tiong Li. Ia teringat lagi akan peristiwa penyerangan tadi, tetapi tubuhnya terasa kaku dan sakit hingga ia tidak dapat gerakkan tubuhnya.
Ia tahu bahwa ia telah ditotok oleh Tiong Li yang memang sengaja lakukan itu dengan cepat sekali untuk mencegah Hong Cu bergerak, juga untuk membuat gadis itu tidak sangat menderita sakit. Karena ini, Hong Cu lalu meramkan mata kembali dan menyerahkan nasibnya di tangan pemuda itu. Tiong Li lalu keluarkan obat bubuk warna ungu dan masukkan obat itu di dalam daging yang telah dikoreknya tadi. Sebentar saja obat warna ungu itu berubah hitam. Tiong Li mengorek bersih obat yang telah menjadi hitam itu dan menggantinya dengan yang baru. Demikianlah, setelah gunakan obat pengisap racun itu tiga kali, ia lalu keluarkan mutiara salju untuk digunakan menghisap sisa-sisa racun dari luka itu. Tak lama kemudian, warna hitam kebiru-biruan di sekeliling luka di punggung Hong Cu, perlahan-lahan menjadi lenyap, terganti warna putih kemerah-merahan, yaitu warna aseli kulit punggung Hong Cu
Tiong Li menghela napas lega, lalu ia tutup luka itu dengan semacam obat dan membungkusnya dengan kain ikat kepalanya. Untuk melakukan pembalutan ini, terpaksa ia angkat tubuh Hong Cu dan kain itu dibalutkan di punggung terus ke dadanya. Dalam melakukan pekerjaan ini, baru tampaklah betapa kulit leher dan punggung Hong Cu berwarna putih kemerah-merahan dan halus sekali hingga hati Tiong Li berdebar keras. Tadi ia sama sekali tidak melihat keindahan ini karena seluruh perhatiannya tercurah kepada luka gadis itu dan hatinya tadi diliputi kecemasan besar. Tetapi kini, setelah gadis itu terlepas dari pada bahaya, ia kagumi semua ini dan wajahnya menjadi merah padam. Segera ia buang muka dan dengan cepat ia totok pula leher Hong Cu untuk melepaskan totokan tadi.
"Hong Cu, bahaya telah lewat. Kau makanlah dua butir pulung ini,"
Katanya sambil menyerahkan dua butir pil merah. Hong Cu terus menelannya, lalu matanya memandang ke arah mereka yang sedang bertempur.
"Aku harus bantu enci Lian Eng. Aku harus balas kecurangan Siauw Liong, manusia hina itu!"
Tiong Li pegang pundaknya, lalu geleng-geleng kepala.
"Kau tidak boleh banyak keluarkan tenaga, Hong Cu. Kau duduk sajalah di sini dan lihat betapa aku membalaskan sakit hatimu ini."
Sehabis berkata demikian, Tiong Li lalu cabut keluar pedangnya. yang tipis dan lemas lalu loncat ke medan pertempuran yang masih berjalan seru. Sementara itu, tadi ketika Siauw Ma gunakan pedangnya mengurung Siauw Liong, pemuda itu melihat betapa Lian Eng terdesak oleh pengeroyoknya yang berjumlah banyak. Maka ia segera loncat menerjang sambil berkata,
"Lian Eng, mari kita bereskan musuh-musuhmu dulu!"
Ia sangka bahwa yang mengeroyok itu adalah musuh-musuh yang dicari-cari oleh Lian Eng. Karena hebatnya gerakannya, baru bergebrak beberapa jurus saja Siauw Ma berhasil melukai seorang pengeroyok, yaitu orang ketiga dari Ho-pak Chit-kiam. Melihat kedatangan Siauw Ma, Lian Eng merasa gembira dan ia tidak mau kalah.
Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan pukulan lidah Api Menjilat Daun Kering, ia berhasil merobohkan Bu-eng-cu hingga Si Tanpa Bayangan ini terjengkang ke belakang sambil muntahkan darah segar! Melihat betapa musuh besarnya roboh, Lian Eng girang sekali dan dengan cepat ia kirim tendangan kilat ke arah tubuh itu hingga matilah Bu-eng-cu di saat itu juga! Siauw Liong yang ditinggal oleh Siauw Ma, ketika melihat betapa di pihaknya, mengalami kekalahan, segera bermaksud hendak melarikan diri turun gunung. Tapi tiba-tiba Tiong Li yang mengejarnya telah tiba di situ dan langsung menyerangnya dengan hebat. Siauw Liong terkejut dan khawatir sekali. Melawan celaka, lari tidak dapat! Ia tidak ada nafsu untuk melawan terus terhadap serangan-serangan Tiong Li, maka ia lalu loncat ke dalam sebuah lobang rahasia yang menembus ke dalam terowongan di dalam tanah itu!
"Kau hendak lari ke mana?"
Tiong Li berteriak dan hendak mengejar tapi lubang itu secara otomatis dapat tertutup dari dalam hingga Tiong Li menjadi bingung karena tidak mendapat jalan masuk. Biarpun sedang bertempur, tapi karena tidak sesibuk tadi setelah kini Siauw Ma membantunya, Lian Eng dapat melihat betapa Siauw Liong dapat kabur melalui lubang rahasia. Ia lalu berseru kepada lawan-lawannya,
"Cu-wi, tahan!"
Karena suaranya nyaring berpengaruh, semua orang loncat mundur sambil tahan senjata masing-masing.
"Cu-wi, dengarlah. Sebenarnya kami berempat tidak mempunyai permusuhan dengan cu-wi. Yang menjadi musuhku ialah Bu-eng-cu yang kini telah dapat kubinasakan. Sedangkan musuh kami yang lain ialah Siauw Liong yang kini secara licik sekali telah sembunyikan diri di dalam sarangnya dan tinggalkan cu-wi bertempur sendiri.
"Kami tidak menghendaki jiwa cu-wi sekalian, maka jika cu-wi hendak bikin habis pertempuran ini, janganlah halang-halangi kami, dan cu-wi boleh turun gunung dengan aman, kembali ke tempat masing-masing. Tapi, jika hendak dilanjutkan, baiklah, kami berempat takkan mundur setapakpun!"
Karena telah merasa betapa lihainya anak-anak muda ini, dan melihat bahwa benar-benar Siauw Liong secara pengecut sekali tinggalkan mereka, Ban Kok Si Garuda Sakti mewakili kawan-kawannya menjura dan berkata.
"Kalian sungguh anak-anak muda luar biasa. Memang tidak mengecewakan menjadi murid-murid Thang-la! Kami orang tua yang tidak tahu diri. Biarlah, lain kali kita berjumpa pula!"
Sehabis berkata demikian, ia kibaskan lengan bajunya dan loncat jatuh tinggalkan tempat itu. Semua girang lalu pergi sambil membawa kawan-kawannya yang terluka atau binasa.
"Siauw Ma, Tiong Li, aku telah tahu jalan di bawah tanah ini. Mari kita kejar setan itu! Ikutilah saya."
"Tapi... tapi... Hong Cu?"
Tiong Li berkata ragu-ragu sambil memandang ke arah Hong Cu yang masih bersandar di pohon itu dengan tubuh masih lemah. Lian Eng tersenyum maklum.
"Baiklah, kau menjaga di luar saja kalau-kalau buaya itu lari keluar, dan sekalian kau menjaga kau punya Hong Cu yang manis itu!"
Tiong Li tersenyum dengan wajah merah dan ia lalu mengangguk ke arah Siauw Ma sambil picingkan sebelah matanya. Lian Eng dan Siauw Ma lalu mengejar Siauw Liong melalui gua yang gelap. Tapi karena Lian Eng pernah masuk ke situ, ia tahu jalan dan dapat menjaga diri jangan sampai masuk perangkap seperti dulu lagi. Ketika mendekati ruang di mana Siauw Liong tinggal, Lian Eng memberi tanda dan keduanya berjalan perlahan menghampiri. Pada saat itu terdengar suara isak tangis dan mereka kenali suara Ang-ie-nio-nio berkata penuh sesal dan benci.
"Koko, dasar kau yang tak tahu diri. Kau terlalu pandang rendah orang lain dan kau anggap dirimu paling pandai hingga hatimu menjadi kejam dan tidak perdulikan keadaan lain orang.
"Kau hanya memikir untuk kepentinganmu sendiri saja, untuk kesenanganmu sendiri saja. Kau terlampau banyak melukai hati orang, terlampau banyak membunuh orang tak berdosa, terlampau banyak menganiaya anak-anak gadis orang, kau terlalu menuruti nafsu hati dan banyak melakukan kejahatan.
"Sungguhpun demikian, koko, aku... aku tetap cinta padamu. Aku selalu mengharap kau akan mengubah watakmu yang sesat itu. Tapi, tidak tahunya kau bahkan makin sesat. Kini kau menghasut orang-orang memusuhi lawan-lawanmu yang gagah perkasa hingga kembali kau korbankan banyak jiwa."
Terdengar jawaban suara Siauw Liong.
"Hm, Kau bilang mencinta, tapi siapa tahu hati orang? Sudahlah, jangan kau banyak mulut dan membuat aku marah hingga kau juga menjadi korban!"
"Apa? Lagi-lagi kau mengancam hendak membunuhku. Nah, marilah bunuhlah, aku akan mati dengan senyum jika kau yang membunuhnya."
Lian Eng dan Siauw Ma yang mendengarkan di luar segera menghampiri pintu dan siap menolong Ang-ie-nio-nio. Tapi tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dari dalam. Karena hal ini tak pernah, diduga oleh Lian Eng dan Siauw Ma, mereka tak keburu bersembunyi dan pada saat itu dari dalam kamar tampak sebuah benda hitam kecil dilempar keluar dan pintu segera tertutup pula.
Melihat benda kecil menyambar, Lian Eng dan Siauw Ma dengan mudah berkelit, tapi benda itu jatuh di belakang mereka dan meledak! Ledakan itu demikian hebat dan keras hingga terowongan itu tergetar dan Siauw Ma berdua terpental membentur dinding gua. Pecahan-pecahan batu memukul badan mereka, tapi dengan tenaga lwee-kang mereka yang tinggi, batu-batu yang beterbangan itu tak melukai mereka. Akan tetapi, ketika benda itu meledak, keluarlah asap kuning tebal memenuhi tempat itu. Bau asap itu harum dan mengandung bau manis. Siauw Ma dan Lian Eng karena dikejutkan oleh ledakan itu, ingatan mereka agak bingung dan membuat mereka lalai, hingga mereka tak terasa lagi kena hisap asap kuning itu. Seketika itu juga mereka merasa tubuh mereka lemah dan kepala pusing. Tanah yang dipijaknya seperti terputar dan mereka hanya dapat berseru.
"Celaka!"
Lalu robohlah Siauw Ma dan Lian Eng. Tiong Li menunggu dengan Hong Cu yang telah dapat menghampirinya walaupun tubuhnya masih lemas dan lukanya masih sakit. Mereka bercakap-cakap sambil menanti di luar mulut gua. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ledakan yang sangat keras di dalam gua.
"Celaka!"
Teriak Tiong Li.
"Hong Cu, kau tunggulah di sini dulu, biar aku melihat keadaan di dalam. Siapa tahu, jangan-jangan kawan-kawan kita menghadapi bencana."
Pemuda itu dengan cepat masuk ke dalam gua dan sambil meraba-raba ia maju. Setelah matanya agak biasa di tempat gelap itu, tiba-tiba dari dalam ia melihat asap kuning bergulung-gulung keluar. Tiong Li maklum akan kelihaian Siauw Liong dan warna asap itu mencurigakan, maka ia segera jatuhkan diri telungkup hingga asap itu melayang di atas kepalanya menuju keluar.
Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo