Ceritasilat Novel Online

Pedang Pusaka Thian Hong 2


Pedang Pusaka Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Yang Giok merasa heran juga mendengar ucapan ini dan mulailah ia menaruh perhatian kepada "tunangannya"

   Itu, karena ternyata bahwa pemuda ini tidak sebodoh yang ia sangka. Akan tetapi Nyo Wan-gwe menghela napas dan berkata.

   "Mudah-mudahan saja begitu. Dan bagaimanakah dengan keadaan puterinya?"

   Tanyanya kemudian kepada Yang Giok.

   "Liu siocia juga telah melarikan diri dan berpisah dengan Ayahnya, akan tetapi saya sendiri tidak tahu ke mana perginya."

   Nyo Wan-gwe menggeleng-gelengkan kepala dan mukanya menyatakan bahwa ia ikut berduka dan bingung hingga melihat keadaannya ini, diam-diam Yang Giok merasa suka kepada "calon mertua"

   Ini. Akan tetapi, ia mendongkol sekali melihat betapa Nyo Liong agaknya tidak ambil perduli sama sekali, bahkan tidak bertanya sesuatunya tentang diri puteri Pangeran Liu, bahkan sebaliknya, cuma mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penyerangan yang terjadi di kota raja.

   "Saudara Kwee,"

   Katanya sambil memandang tajam.

   "kau datang dari kota raja, tentu kau tahu tentang terjadinya penyerbuan barisan tani yang dipimpin oleh Oey Couw itu. Bagaimanakah? Apakah tentara kerajaan melakukan perlawanan? Dan bagaimana sepak terjang barisan tani itu?"

   Dengan mendongkol Yang Giok menjawab.

   "Mereka itu buas sekali dan rata-rata bertempur dengan nekat hingga tentara kerajaan terpukul mundur. Kaisar dan para panglimanya tiap hari kerjanya hanya bersenang-senang saja dan sama sekali tidak melatih tentaranya, mana bisa para gentong nasi itu melakukan perlawanan terhadap musuh yang menyerbu? Boleh dikata bahwa pintu kota raja dibuka begitu saja untuk para penyerbu, dan kaisar sendiri bersama panglima dan pembesar lain siang-siang sudah melarikan diri. Aku tidak tahu banyak tentang pertempuran itu, karena setelah tentara musuh menyerbu masuk, aku bergegas melarikan diri dan sekarang aku berada seorang diri, sebatang kara tak tentu arah tujuan dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap."

   "Kwee hiante, jangan kau kuatir. Karena kau adalah keponakan sendiri dari Pangeran Liu, maka berarti bahwa kaupun adalah keluarga kami sendiri. Kuharap kau suka tinggal saja di sini sambil menanti berita dari Pangeran Liu yang tertawan itu, atau aku akan menyuruh orang mencari tahu tentang nasib Liu siocia."

   Yang Giok berdiri sambil menjura.

   "Kau ternyata baik sekali, Nyo Wan-gwe , dan aku yang muda berterima kasih sekali atas kebijakanmu ini."

   "Ah, kita adalah orang-orang sekeluarga, janganlah berlaku terlalu hormat, Kwee hiante, dan jangan menggunakan sebutan Wan-gwe , panggil saja Lopeh (paman) kepadaku,"

   Kata Nyo Seng Hwat yang baik hati. Nyo Wan-gwe lalu memerintahkan pelayan untuk menyiapkan sebuah kamar untuk Yang Giok dan gadis ini lalu tinggal di dalam gedung calon mertuanya dengan aman. Karena semua orang menyangka bahwa ia adalah seorang pemuda sasterawan, maka ia dapat bergaul bebas dengan Nyo Liong dan pemuda ini tiap hari mengajaknya membaca buku, menulis sajak, atau bermain thioki. Juga seringkali Nyo Liong bertanya tentang keadaan di kota raja, hingga Yang Giok benar-benar menyangka bahwa pemuda ini adalah seorang kutu buku yang betul-betul tidak mengerti ilmu silat.

   Hanya dalam permainan thioki atau catur ia selalu dikalahkan oleh Nyo Liong, dan juga dalam kepandaian menulis, pemuda ini benar-benar mengagumkan. Kalau saja Nyo Liong pandai ilmu silat tentu Yang Giok akan merasa puas sekali melihat tunangannya ini, akan tetapi karena gadis itu menyangka bahwa Nyo Liong adalah seorang yang buta silat, maka tetap saja hatinya merasa kecewa. Tiga hari berikutnya, pada waktu tengah malam yang gelap gulita, ketika seisi keluarga Nyo dan tidur nyenyak, tiba-tiba di atas genteng gedung besar itu berkelebat tiga bayangan orang-orang yang gesit sekali. Mereka ini tidak lain ialah anggauta-anggauta Jian-jiu-pai atau Perkumpulan Tangan Seribu. Seorang di antara mereka terdapat si Kate Tan Kok yang hebat.

   Setelah mengadakan kontak dengan para penyelidik mereka yang berada di kota Siu-bi-koan, akhirnya perkumpulan itu dapat mengetahui bahwa pemuda sasterawan yang membawa pedang Thian Hong Kiam berada di rumah Nyo Wan-gwe , hingga malam itu Tan Kok dan dua orang kawan lain sengaja datang hendak mencuri pedang itu. Dengan secara cerdik sekali mereka telah dapat mencari keterangan di mana letak kamar Yang Giok dan setelah melompat turun, mereka dengan mudah dapat membongkar daun jendela kamar Yang Giok. Akan tetapi, semenjak tinggal di gedung itu, Yang Giok selalu berlaku hati-hati dan waspada, maka iapun dapat mendengar ketika jendela kamarnya dibongkar orang. Dengan pedang di tangan, ketika daun jendelanya terbuka, gadis ini melompat dan menerjang melalui jendela sambil memutar pedangnya dan berseru.

   "Maling hina, kau datang mencari mampus!"

   Melihat bahwa "pemuda sasterawan"

   Itu telah mengetahui kedatangan mereka, maka ketiga maling itu lalu mencabut senjata masing-masing dan maju mengeroyok.

   Tan Kok yang memiliki kepandaian hebat itu kini bersenjata sebatang ruyung lemas sedangkan kedua kawannya bersenjata golok. Gerakan-gerakan mereka cukup hebat hingga baru beberapa jurus saja Yang Giok telah terdesak hebat. Tan Kok maklum bahwa kedua kawannya cukup tangguh menghadapi Yang Giok, maka ia lalu melompat masuk ke dalam kamar itu. Yang Giok yang tahu akan maksud Tan Kok, hendak maju menghalangi, akan tetapi kedua lawannya mendesak hebat dengan golok mereka hingga ia tidak berdaya dan terpaksa menghadapi mereka ini sambil memutar-mutar pedangnya dengan gemas. Karena bingung dan kuatir sekali kalau-kalau pedang Thian Hong Kiam akan tercuri, Yang Giok lalu berteriak-teriak.

   "Tolong, tolong,... maling...!!"

   Akan tetapi, Tan Kok sudah berhasil mendapatkan pedang Thian Hong Kiam yang disembunyikan dalam buntalan pakaian Yang Giok dan maling kate ini nampak telah melompat keluar dari jendela sambil membawa pedang itu.

   "Kawan-kawan, pergi!!"

   Katanya kepada kedua kawannya sambil melompat naik ke atas genteng. Kedua kawannya lalu meninggalkan Yang Giok dan ikut melompat naik. Sementara itu, teriakan Yang Giok telah membangunkan tuan rumah dan para pelayan akan tetapi mereka ini hanya memandang dengan takut dan bingung, karena tidak berdaya menghadapi penjahat-penjahat yang dapat loncat naik ke atas genteng demikian gesitnya bagaikan seekor kucing layaknya. Mereka ini hanya dapat ikut berteriak-teriak, bahkan Nyo Liong juga datang ke tempat itu ikut berteriak-teriak.

   "maling, maling!"

   Kemudian pemuda ini lalu berlari menyembunyikan diri ke dalam kamarnya.

   Yang Giok merasa gemas dan mendongkol sekali. Dari orang-orang lemah yang mendiami gedung ini ia tak dapat mengharapkan bantuan apa-apa, maka iapun lalu nekad dan melompat naik ke atas genteng mengejar ketiga orang pencuri itu. Alangkah heran dan girangnya ketika mendapat kenyataan bahwa ketiga pencuri itu kini sedang mengeroyok seorang yang berkedok sutera hitam. Si Kedok Hitam itu bertangan kosong, akan tetapi pedang Thian Hong Kiam telah berada ditangannya. Ia melayani tiga orang pencuri itu dengan kegesitannya yang luar biasa akan tetapi sama sekali ketiga orang pengeroyoknya tidak berdaya menghadapinya. Bahkan ketika Yang Giok tiba di situ, seorang maling telah dapat tertendang pergelangan tangannya hingga goloknya terlempar ke atas genteng.

   Bukan main kagetnya Tan Kok menghadapi orang aneh yang hebat ini. Ketika ia tadi melompat ke atas genteng tahu-tahu ada bayangan hitam berkelebat cepat dan tahu-tahu pedang Thian Hong Kiam di tangannya telah kena dirampas. Ia lalu maju mengeroyok dengan sengit sekali, akan tetapi baru beberapa jurus saja, si Kedok Hitam yang bertangan kosong itu telah dapat merobohkan seorang kawannya. Maka ia lalu teringat dan maklum bahwa yang berada dihadapannya adalah si "Sasterawan Kedok Hitam"

   Yang kesohor karena kehebatannya. Ia lalu memberi isyarat dan mereka bertiga dengan cepat lalu melarikan diri dalam gelap, diikuti suara ketawa si Kedok Hitam yang berseru,

   "Hah, maling-maling kecil hina dina. Jangan sekali-kali kau berani lagi mengacau kota Siu-bi-koan, karena lain kali aku takkan mau memberi ampun pula.

   Yang Giok berdiri memandang dengan bengong dan kagum sekali. Belum pernah selama hidupnya ia melihat kehebatan seperti itu. Ia sendiri yang memiliki kepandaian dan ilmu pedang cukup tinggi, merasa terdesak menghadapi pengeroyok tadi, bahkan harus ia akui bahwa kepandaian si Kate Tan Kok lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Akan tetapi si Kedok Hitam yang aneh ini dapat menghadapi keroyokan mereka bertiga dengan bertangan kosong saja, bahkan dengan seenaknya dan mudah saja menjatuhkan seorang di antara mereka. Ia belum pernah mendengar tentang nama Sasterawan Kedok Hitam, maka ia kini berdiri memandang dengan tercengang. Si Kedok Hitam menghampiri Yang Giok dan menyodorkan pedang Thian Hong Kiam sambil berkata,

   "Pedangmukah ini saudara?"

   Yang Giok mengangguk dan menerima pedang itu lalu ia menjura sambil berkata,

   "Sungguh siauwte merasa berterima kasih sekali atas budi pertolonganmu, dan siauwte merasa kagum sekali melihat kepandaianmu yang tinggi. Bolehkah kiranya siauwte mengetahui nama enghiong yang mulia dan gagah perkasa?"

   Si Kedok Hitam itu tertawa gelak-gelak lalu berkata,

   "Kepandaianmu sendiri hebat dan di luar persangkaan orang karena kau bersikap seperti seorang sasterawan, apa perlunya memuji-mujiku? Dan sedikit bantuan tadi perlu apa disebut-sebut? Saudara Kwee jangan kau terlalu berhormat!"

   Yang Giok terkejut.

   "Kau telah mengenal namaku?"

   Orang itu tertawa lagi.

   "Siu-bi-koan adalah kotaku bagaimana aku takkan tahu akan kedatangan seorang dari luar seperti kau?"

   "Betapapun juga terimalah ucapan terima kasihku. Kau tidak tahu sahabat, betapa besar artinya pertolonganmu tadi. Pedang yang hendak mereka curi ini bukanlah pedang sembarangan."

   Yang Giok merasa heran mengapa ia tiba-tiba merasa begitu tertarik dan percaya penuh kepada si Kedok Hitam ini hingga tanpa ragu-ragu lagi ia membongkar rahasia pedang Thian Hong Kiam. Sebaliknya, si Kedok Hitam juga merasa tertarik dan sambil melihat pedang yang dipegang oleh Yang Giok, ia bertanya,

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Pedang Pusaka Thian Hong Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   "Pedang pusaka apakah itu, dan mengapa mereka ingin mencarinya?"

   Entah perasaan apakah yang menyebabkan Yang Giok tiba-tiba merasa sangat percaya kepada orang yang tidak kelihatan mukanya itu. Entah suaranya yang lembut, entah sinar matanya yang tajam dan halus dan yang mengintai dari dua lubang di sutera hitam itu, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tertarik dan percaya penuh kepada si kedok hitam yang tinggi sekali ilmu silatnya ini. Ia lalu bercerita tentang pedang itu.

   "Pedang ini adalah pedang pusaka kerajaan yang bernama Thian Hong Kiam dan yang dianggap sebagai lambang jayanya kerajaan. Karena itulah agaknya maka banyak pihak yang menginginkan pedang ini, dan yang tadi mencoba untuk merampas pedang ini adalah pihak perkumpulan Jian-jiu-pai. Masih ada lagi pihak yang kuat dan yang juga pernah mencoba merampas pedang ini, yakni para perwira utusan kaisar yang mengungsi ke Secuan ini."

   Si Kedok Hitam itu nampak tertarik sekali.

   "Kalau begitu, kau berada dalam bahaya selalu saudara,"

   Katanya.

   "Lebih baik diatur begini. Aku tahu bahwa Nyo Wan-gwe mempunyai seorang putera yang terkenal sebagai seorang siucai, dan karenanya, ia takkan dicurigai orang. Kalau kau titipkan pedang ini kepadanya, maka takkan ada orang yang dapat menduga bahwa siucai ini menyimpan pedang pusaka Thian Hong Kiam."

   "Apakah siucai bodoh itu dapat dipercaya?"

   Tanya Yang Giok dengan memperlihatkan muka sangsi.

   "Tadi baru melihat datangnya penjahat saja ia sudah lari terbirit-birit dan menyembunyikan dirinya!"

   Si Kedok Hitam tertawa.

   "Itulah yang kumaksudkan! Dia seorang lemah dan tak mungkin orang seperti dia menyimpan pedang ini hingga takkan ada yang mencurigai ataupun menduganya. Dia dapat dipercaya sepenuhnya, karena aku mendengar bahwa dia adalah seorang yang jujur."

   Setelah berpikir-pikir sesaat lamanya, akhirnya Yang Giok berkata,

   "Baiklah, aku akan menurut nasehatmu ini."

   "Nah, kalau begitu selamat berpisah, saudara Kwee yang gagah!"

   Si Kedok Hitam itu hendak pergi, akan tetapi Yang Giok menahannya dan bertanya.

   "Nanti dulu, Saudara!"

   Kau belum memberitahukan namamu!"

   "Ah, apakah perlunya? Sebut saja aku si Kedok Hitam seperti orang-orang lain menyebutku!"

   Sehabis berkata demikian, sekali menggerakkan tubuhnya, si Kedok Hitam itu berkelebat dan lenyap.

   Yang Giok menghela napas. Alangkah gagah dan berbudi orang itu. Ia lalu melayang turun dan disambut oleh Nyo Wan-gwe dengan seruan heran.

   "Kwee hiante, tak kusangka bahwa kau adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana hiante? Mencuri apakah penjahat-penjahat itu?"

   Yang Giok lalu minta supaya semua pelayan mengundurkan diri sebelum memberi keterangan. Kemudian ia mengajak orang tua itu memasuki ruang belakang. Sebelum ia menceritakan keadaannya kepada Nyo Wan-gwe , muncullah Nyo Liong. Pemuda ini dengan takut-takut lalu bertanya,

   "Sudah pergikah penjahat-penjahat tadi? Heran sekali, mereka itu datang hendak mencuri apa? Ayah, barang apakah yang mereka curi?"

   Melihat munculnya pemuda tunangannya ini, diam-diam Yang Giok membandingkannya dengan si Kedok Hitam, dan seballah melihat Nyo Liong yang tiada gunanya ini. Ia tidak memperdulikan pemuda itu dan mulai menceritakan kepada Nyo Wan-gwe tentang pedang Thian Hong Kiam.

   "Menurut pesan Pangeran Liu, pedang ini harus disembunyikan dan jangan sampai terjatuh ke dalam tangan siapapun, karena pedang ini hanya boleh diberikan kepada seorang yang kelak akan menjadi kaisar yang bijak di negeri kita. Banyak sekali pihak yang hendak merampasnya, bahkan ada utusan dari kaisar yang menghendaki kembalinya pedang ini, akan tetapi Pangeran Liu mempunyai anggapan bahwa pedang itu tidak pantas berada di dalam tangan kaisar lalim itu."

   "Itu benar! Benar dan tepat sekali! Memang Pangeran Liu seorang yang bijaksana dan baik!"

   Tiba-tiba Nyo Liong berkata dan mau tidak mau Yang Giok merasa senang juga mendengar betapa pemuda itu memuji-muji Ayahnya.

   "Habis pedang yang menimbulkan perebutan ini harus diserahkan kepada siapa?"

   Tanya Nyo Wan-gwe yang merasa kuatir kalau-kalau akan ada banyak orang jahat yang datang menyerbu gedungnya.

   "Paling tepat harus diserahkan kepada pemimpin besar Oey Couw!"

   Kata Nyo Liong.

   "Mengapa demikian pikiranmu?"

   Tiba-tiba Yang Giok bertanya sambil memandang kepada Nyo Liong dengan mata tajam hingga Nyo Liong terkejut melihat pandangan mata ini.

   "Karena... karena...bukankah sekarang dia yang menjadi pemimpin dan menduduki istana kerajaan?"

   Katanya gagap.

   "Biarpun Oey Couw telah menduduki istana, namun dia bukanlah seorang yang mengerti tentang pemerintahan. Mungkin ia adalah seorang pemimpin pemberontak yang cakap dan mungkin ia pandai tentang ilmu perang, akan tetapi aku merasa sangsi apakah ia juga pandai tentang ilmu tata negara!"

   "Habis, kalau menurut pikiranmu, saudara Kwee, pedang ini harus diberikan kepada siapa? Apakah kepadaku?"

   Nyo Liong berkelakar. Nyo Seng Hwat menegur puteranya,

   "Liong jangan kau main-main!"

   Akan tetapi, alangkah herannya orang tua ini ketika Yang Giok berkata sambil mengangguk-angguk dan memandang kepada Nyo Liong,

   "Ya, pedang ini hendak kuberikan kepadamu!"

   "Kwee hiante, jangan main-main dalam perkara besar ini!"

   Nyo Wan-gwe menegur Yang Giok.

   "Saudara Yang Giok, jangan kau memperolok-olok aku!"

   Kata Nyo Liong.

   "Aku tidak main-main, memang untuk sementara waktu ini kuharap saudara Nyo Liong suka menyimpan pedang ini untukku. Kau adalah seorang sasterawan, saudara Nyo Liong, dan takkan ada orang yang akan menduga bahwa pedang ini berada di tanganmu. Kalau aku yang membawanya, maka tentu aku selalu akan dikejar-kejar dan akhirnya pedang pusaka ini takkan dapat kupertahankan lagi. Demi kepentingan kerajaan dan demi memenuhi pesan Pangeran Liu, kuharap kau tidak menolaknya."

   "Tapi... bukankah itu berbahaya sekali bagi keselamatannya?"

   Tanya Nyo Wan-gwe dengan kuatir.

   "Jangan takut, Lopeh. Ada aku yang menjaga di sini, dan pula masih ada seorang kawan baikku yang gagah perkasa dan yang ikut menjaganya dengan diam-diam."

   "Aku sudah menyaksikan kepandaianmu ketika kau melompat naik ke atas genteng tadi, saudara Yang Giok, akan tetapi tidak tahu bagaimanakah kepandaian kawanmu ini, dan siapakah dia?"

   Tanya Nyo Liong.

   "Kepandaian kawanku ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaianku sendiri, dan ia tidak lain adalah si Kedok Hitam!"

   Nyo Seng Hwat terkejut sekali.

   "Apa? Kau maksudkan Sasterawan Kedok Hitam yang tersohor itu yang menjadi kawanmu? Ah, hiante, mengapa kau datang dari kota raja ternyata selain memiliki kepandaian bu yang tinggi juga bergaul dengan segala orang kasar dari dunia kang-ouw? Ah, celaka... celaka... Kalau aku tahu akan begini jadinya... ah... Tak enak sekali hati Yang Giok mendengar ucapan "calon mertuanya"

   Ini, maka ia segera menjawab.

   "Nyo Lopeh, jangan kau kuatir tentang hal ini, karena sesungguhnya aku hanya ikut mondok di sini untuk bersembunyi sementara waktu saja. Akan tetapi, karena sekarang orang-orang yang mengejar Thian Hong Kiam telah mengetahui tempat tinggalku di sini, tiada gunanya lagi aku berdiam lebih lama di sini. Aku hendak pergi mencari tempat kediaman sucouw (kakek guru) dan menyerahkan pedang ini kepada sucouw agar untuk sementara waktu ini Thian Hong Kiam disimpan dengan aman oleh sucouw dan takkan dapat diganggu atau dirampas oleh orang-orang yang menginginkannya."

   "Itu baik sekali Kwee hiante,"

   Jawab Nyo Seng Hwat cepat-cepat, sambil memandang wajah Yang Giok dengan mata tajam.

   "memang, pedang pusaka yang sangat berharga ini seharusnya berada di bawah perlindungan seorang yang berilmu tinggi hingga orang lain tidak berani mengganggunya. Bukan aku tidak suka kau tinggal di sini, akan tetapi dengan adanya pedang ini, maka aku yang bertubuh lemah dan telah tua ini, akan selalu merasa kuatir dan takut akan serangan penjahat seperti yang telah terjadi malam tadi."

   "Dimanakah tempat tinggal sucouwmu itu, saudara Yang Giok?"

   Nyo Liong bertanya.

   "Beliau adalah Kok Kong Hosiang yang bertapa di puncak Go-bi-san di sebuah kuil yang disebut Thian-hok-si. Sucouw adalah guru dari Pangeran Liu sendiri."

   "Eh, eh kalau begitu kau adalah murid Pangeran Liu?"

   Yang Giok mengangguk.

   "Ya, Ie-thio (paman) juga suhuku."

   "Saudara Yang Giok orang-orang yang mengejarmu telah tahu bahwa kau membawa pedang Thian Hong Kiam, maka apakah tidak berbahaya kalau kau membawa-bawa pedang itu ke Go-bi-san?"

   Yang Giok menghela napas.

   "Apa boleh buat, aku harus berani menghadapi bahaya itu."

   "Kalau begitu, aku ikut pergi dengan kau!"

   Kata Nyo Liong dengan suara tetap hingga baik Yang Giok maupun Nyo Seng Hwat memandang heran.

   "Liong, orang selemah kau ini akan dapat membantu apa kepada Kwee hiante? Kau hanya akan menyukarkan saja, dan pula, apa perlumu ikut pergi ke tempat yang sangat jauh itu?"

   Kata Ayahnya.

   "Saudara Nyo Liong, biarpun maksudmu itu baik sekali, akan tetapi kata-kata Ayahmu betul juga. Biarlah aku sendiri menghadapi bahaya itu karena akulah yang bertugas, bukan kau,"

   Sambung Yang Giok. Nyo Liong menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Agaknya kau lupa, saudara Yang Giok bahwa aku sebagai seorang sasterawan lemah justeru takkan diganggu oleh mereka itu dan jika pedang kusembunyikan di bawah pakaianku, siapakah yang akan tahu?"

   Kemudian Nyo Liong berkata kepada Ayahnya dengan suara memohon.

   
Pedang Pusaka Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ayah, perkenankanlah anakmu pergi. Telah lama aku mendengar tentang keindahan pengunungan Go-bi, maka sekarang kebetulan ada kawan yang gagah perkasa, biarlah aku sekalian berpesiar ke sana meluaskan pemandangan. Jangan kuatir, Ayah, aku bukan seorang gadis yang perlu dikuatirkan, dan aku tentu akan dapat menjaga diri baik-baik."

   Setelah membujuk-bujuk Ayahnya dan Yang Giok, akhirnya Nyo Liong diperkenankan juga, dan diam-diam Yang Giok merasa senang juga melihat keberanian Nyo Liong yang biarpun telah tahu akan banyaknya bahaya jika berjalan bersamanya, namun tetap hendak mengawaninya ke Go-bi-san. Pula, siapa tahu kalau-kalau sucouwnya akan memberi bimbingan ilmu silat kepada pemuda tunangannya ini agar ia kelak menjadi seorang pemuda yang sedikitnya tidak begitu lemah.

   Begitulah, setelah mendapat pesan banyak-banyak dari orang tuanya dan menerima uang dan pakaian, dengan naik dua ekor kuda bagus yang disiapkan oleh Nyo Wan-gwe , Nyo Liong dan Yang Giok pada keesokan harinya mulai dengan perjalanan mereka ke Go-bi-san. Di luar dugaan Yang Giok, ternyata Nyo Liong pemuda sasterawan yang kelihatan lemah itu pandai sekali menunggang kuda. Dan bukan itu saja, bahkan pemuda ini agaknya kenal baik jalan yang menuju ke Go-bi-san. Oleh karena itu, Yang Giok sendiri masih asing sekali dengan daerah itu, maka Nyo Liong yang menjadi petunjuk jalan dan gadis itu terpaksa menurut saja ke mana Nyo Liong membawanya. Beberapa hari telah lewat tanpa ada gangguan dari pihak-pihak yang hendak merampas Thian Hong Kiam, hingga mereka bernapas lega.

   Di dalam perjalanan ini, mau tidak mau, Yang Giok selalu merasa curiga dan berkuatir kalau-kalau musuh-musuhnya dapat mengejarnya, akan tetapi ia merasa mendongkol melihat betapa Nyo Liong agaknya enak-enakan saja biarpun pedang itu berada di bawah jubahnya, tergantung di pinggang dan tertutup oleh jubahnya yang panjang. Pemuda ini sama sekali tak pernah bicara tentang hal pedang dan orang-orang yang mungkin datang mengejar atau menghadang di jalan. Akan tetapi dengan sikap gembira ia selalu bercakap-cakap tentang pemandangan alam yang permai dan menceritakan segala macam dongeng dan sejarah yang mempunyai hubungan dengan tempat-tempat yang mereka lewati. Kalau saja hati Yang Giok tak sedang kuatir karena tugasnya itu, tentu ia akan merasa senang melakukan perjalanan bersama pemuda ini.

   Sepekan kemudian, pada suatu pagi ketika mereka tiba di sebuah hutan pohon cemara yang indah, tiba-tiba dari jurusan lain mendatangi dua orang penunggang kuda yang berpakaian seperti ahli-ahli silat dengan gagang pedang nampak di belakang punggung mereka. Kedua orang ini telah berusia tiga puluh tahun lebih dan nampak sangat gagah, sedangkan dua ekor kuda tunggangan mereka juga tinggi besar dan baik. Karena di tempat itu sunyi sekali maka pertemuan ini tentu saja menarik perhatian kedua pihak hingga mereka saling pandang dengan penuh perhatian. Bagi Nyo Liong dan Yang Giok, kedua orang itu tidak pernah mereka jumpai, akan tetapi seorang di antara mereka melihat Yang Giok, segera berseru,

   "Hai, sahabat-sahabat muda, berhenti dulu!"

   Nyo Liong dan Yang Giok menahan kendali kuda mereka dan orang yang menegur itu lalu mendekatkan kudanya sambil memandang wajah Yang Giok dengan mata tajam.

   "Anak muda, ada hubungan apa engkau dengan penjahat Liu Mo Kong?"

   Tiba-tiba orang itu bertanya kepada Yang Giok sambil menuding dengan jari telunjuknya. Mendapat pertanyaan yang tiba-tiba ini, berdebarlah hati Yang Giok, akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan menjawab,

   "Eh, tuan, apakah maksud pertanyaanmu yang kurang ajar ini?"

   Orang itu menyengir dan memandang rendah.

   "Mukamu hampir sama dengan seorang yang bernama Liu Mo Kong, dan kau patut menjadi puteranya. Akan tetapi orang itu tidak mempunyai putera, maka kalau kau masih keluarganya, tentu kau adalah kemenakannya. Katakanlah terus terang, masih ada hubungan apa kau dengan Liu Mo Kong?"

   Yang Giok tak dapat menjawab, karena ia tidak sudi mengaku dan tak mau pula menyangkal. Nyo Liong tahu bahwa mereka berdua ini tentu bukan orang-orang yang mempunyai maksud baik, maka ia lalu bertanya.

   "Jiwi, sebetulnya kami tidak mengerti ucapanmu itu. Siapakah adanya Liu Mo Kong yang jiwi sebutkan tadi dan mengapa kalian menyangka bahwa sobatku she Kwee ini keluarganya?"

   Orang itu memandang tajam kepada Nyo Liong, kemudian ia berkata.

   "Memang muka pemuda ini hampir sama dengan Pangeran Liu Mo Kong."

   "Kalau begitu, Pangeran Liu itu tentu berwajah tampan?"

   Kata Nyo Liong tersenyum.

   "Pangeran Liu Mo Kong adalah seorang pengkhianat, pencuri, dan penjahat besar!"

   Kata orang itu dengan mata terbelalak merah. Sepasang mata Yang Giok yang bagus itu mengeluarkan cahaya marah mendengar ini.

   "Apa maksudmu mengucapkan makian-makian kotor di depan kami?"

   Tegurnya.

   "Kau peduli apa? Memang Pangeran bangsat she Liu itu bukan orang baik-baik dan kalau saja aku dapat bertemu dengan dia, tentu dia akan kupenggal kepalanya, kubeset kulitnya dan kuinjak-injak kepalanya!"

   "Bangsat rendah!"

   Yang Giok memaki karena tak dapat menahan sabarnya pula.

   "Mulutmu yang kotor itu bawa pergi jauh-jauh dari kami!"

   "Ha, ha, ha! Kenapa kau marah? Kalau kau bukan keluarganya, mengapa marah mendengar aku memaki-makinya?"

   Orang itu lalu memandang tajam dan sikapnya mengancam sekali. Sebelum Yang Giok menjawab, Nyo Liong cepat berkata.

   "Sobat, bukankah kau tadi mengatakan bahwa wajah kawanku ini serupa benar dengan wajah Pangeran Liu? Nah, tentu saja ia marah kalau kau maki-maki seorang yang berwajah hampir sama dengannya!"

   "Kalau memang ia bukan keluarganya, perduli apa? Aku memaki dangan mulutku sendiri dan sama sekali tidak menyinggung-nyinggungnya!"

   Kata orang itu dengan marah. Akan tetapi Yang Giok berkata keras,

   "Pendeknya kau tak usah memamerkan kepandaianmu memaki dan bermulut kotor di depanku dan lekas pergi dari sini! Mari, Liong-ko, kita pergi!"

   Akan tetapi sebelum ia dan Nyo Liong dapat memajukan kudanya, orang itu mendahului dan menghadang mereka.

   "Anak muda, mukamu mencurigakan, biarlah kami menggeledahmu lebih dulu. Turunlah dari kuda dan biarkan kami memeriksa barang-barangmu!"

   "Eh, kalian ini orang-orang apa dan ada hak apakah memeriksa barang-barang kami? Apakah kalian ini hendak merampok?"

   Yang Giok membentak.

   "Jangan banyak cakap!"

   Orang itu berkata marah.

   "Ketahuilah, kami adalah perwira-perwira kerajaan yang sedang menjalankan tugas. Lekas kamu berdua turun dari kuda!"

   Perwira itu dan kawannya lalu mendahului turun dari kuda dan mereka menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon. Yang Giok memberi tanda dan isyarat mata kepada Nyo Liong, kemudian sambil mencabut pedang, Yang Giok melompat turun.

   "Bangsat-bangsat rampok, sebelum kalian menyentuh barang-barangku lebih dulu hadapilah pedang ini!"

   "Ha, ha! Kau galak benar, anak muda. Baiklah, mari kita main-main sebentar!"

   Perwira itu bersama kawannya sambil tertawa mengejek lalu mencabut pedang dan maju bersama-sama. Akan tetapi, Nyo Liong lalu berkata.

   "Tahan dulu!"

   Setelah turun dari kuda pemuda ini lalu membawa sebuah bungkusan kecil yang dikeluarkan dari buntalan pakaiannya, kemudian ia membawa bungkusan itu kepada mereka. Sambil membuka bungkusan kecil yang berisi emas dan permata mahal itu, ia berkata,

   "Kalian berdua seharusnya malu untuk maju mengeroyok kawanku ini. Lihatlah, barang-barang ini kujadikan taruhan. Kalian boleh maju seorang demi seorang, jangan main keroyokan. Kalau di antara kalian ada yang mampu mengalahkan kawanku ini, barang-barangku ini boleh kalian ambil. Akan tetapi, kalau kalian kalah, kalian anggap saja sebagai pelajaran agar lain kali jangan suka mengganggu orang."

   Bukan main marah kedua orang perwira itu. Yang tadi bicara dengan Yang Giok lalu berkata dengan suara keras,

   "Anak muda, kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Aku adalah Ciu Gin Hok dan kawanku ini adalah suteku Thio Sam, dan kami adalah perwira-perwira kerajaan yang berkedudukan tinggi, bukan bangsa rampok. Akan tetapi karena kau sendiri yang mengajak bertaruh, jangan kau anggap kami curang kalau nanti kawanmu ini kalah dan barang taruhanmu kami ambil."

   "Tentu saja, dan sekarang kau mulailah. Hadapilah kawanku she Kwee ini seorang demi seorang."

   Perwira kedua yang bernama Thio Sam segera maju dengan pedang di tangan karena ia hendak mendahului suhengnya mengalahkan Yang Giok agar barang taruhan yang mahal itu dapat ia miliki.

   "Majulah anak muda,"

   Katanya sambil memutar-mutar pedangnya. Biarpun merasa mendongkol sekali kepada Nyo Liong yang menganggapnya sebagai domba aduan untuk bertaruh, namun Yang Giok tak berkata apa-apa dan segera memutar pedangnya menyerang Thio Sam.

   Gerakan pedangnya cepat dan lincah. Karena hatinya gemas sekali terhadap para perwira yang memaki-maki Ayahnya itu, Yang Giok lalu menyerang dengan sengit. Akan tetapi Thio Sam adalah seorang perwira kerajaan yang berkepandaian tinggi hingga ia dapat menangkis serangan Yang Giok dan balas menyerang tak kalah serunya. Kiam-hoat (ilmu pedang) Yang Giok memang bagus dan hebat, dan biarpun terhadap Thio Sam ia kalah tenaga, akan tetapi ia menang gesit dan ginkangnya lebih tinggi, maka dengan geraka-gerakan tubuh yang cepat serta gerakan-gerakan pedang yang tak terduga, ia dapat mengurung lawannya. Setelah bertempur kira-kira tiga puluh jurus, Thio Sam mulai terdesak hebat dan keadaannya berbahaya sekali. Melihat keadaan sutenya, Ciu Gin Hok lalu berseru,

   "Sute, mundurlah kau!"

   Dan ia lalu menyerbu dan menangkis pedang Yang Giok. Thio Sam terpaksa melompat ke belakang dan berdiri sambil terengah-engah dan heran karena tak disangkanya sama sekali bahwa kiam-hoat pemuda sasterawan yang tampan itu demikian hebat.

   "Bagus, saudara Kwee! Seorang telah dapat dikalahkan! Ha, ha!"

   Nyo Liong bertepuk tangan memuji hingga Thio Sam merasa mendongkol sekali. Akan tetapi ia tak dapat membalas ejekan ini, dan ia hanya melihat pertempuran yang berlangsung antara suhengnya dan pemuda itu dengan harap-harap cemas.

   Ternyata bahwa ilmu pedang orang she Ciu itu biarpun sejalan dengan ilmu pedang Thio Sam, akan tetapi gerakannya jauh lebih cepat dan kuat. Yang Giok terkejut sekali dan ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, akan tetapi Ciu Gin Hok menerjang dengan serangan-serangan berbahaya. Yang Giok diam-diam mengeluh dan merasa khawatir sekali. Lagi-lagi ia merasa kecewa karena Nyo Liong tak dapat membantunya dan "tunangan"

   Yang lemah itu hanya bisa bertaruh dan menonton. Setelah mempertahankan diri selama lima puluh jurus lebih, Yang Giok mulai lelah dan kegesitannya berkurang. Lawannya menggunakan ilmu pedang dari cabang Kun-lun untuk mendesaknya dan kini Yang Giok hanya dapat menangkis saja sambil mundur.

   "Sudahlah, sudahlah! Kami mengaku kalah !"

   Nyo Liong berkata, sambil maju menghampiri mereka dan membawa bungkusannya. Ciu Gin Hok tertawa gelak-gelak dan menyambar bungkusan di tangan Nyo Liong.

   "Sekarang kau baru ketahui kehebatanku!"

   Katanya sambil tertawa-tawa lalu mengajak Thio Sam pergi dari situ. Yang Giok memandang kepada Nyo Liong dengan gemas dan marah.

   "Bagus, bagus, kau tidak membantuku bahkan enak-enak bertaruh dan menganggap aku sebagai ayam aduan!"

   Ia mengomel.

   "Saudara Yang Giok, kulakukan hal itu untuk menyimpangkan perhatian mereka agar pedang kita jangan sampai terampas oleh mereka."

   Nyo Liong membela diri. Yang Giok terpaksa membenarkan ucapan ini.

   "Marilah kita lanjutkan perjalanan kita,"

   Katanya dengan merengut. Nyo Liong tersenyum dan melanjutkan perjalanan dengan masih tersenyum-senyum, hingga beberapa kali Yang Giok memandang kepadanya dengan heran dan mendongkol.

   "Kau agaknya senang sekali melihat aku kalah oleh perwira itu!"

   Katanya.

   "Bukan begitu, aku hanya geli memikirkan betapa mereka akan sangat marah kalau membuka bungkusan barang-barang taruhan tadi. Kau cukup gagah berani, sahabatku. Tentu saja tadi kau kalah karena kau lelah setelah mengalahkan Thio Sam. Yang Giok diam saja, lalu ia mempercepat jalan kudanya hingga Nyo Liong terpaksa mengejarnya. Ah, celaka benar, pikir Yang Giok. Pemuda tunangannya ini benar-benar tidak tahu apa-apa tentang persilatan. Tadi ia kalah oleh Ciu Gin Hok karena memang kalah tinggi kepandaiannya, bukan karena lelah seperti yang diduga Nyo Liong. Akan tetapi, apa gunanya menerangkannya? Biarpun tunangannya itu tidak tahu siapa dia sebenarnya, namun diam-diam Yang Giok merasa malu dan kecewa karena ia dikalahkan orang di depan mata Nyo Liong. Tiba-tiba Nyo Liong berkata kepada Yang Giok.

   "Saudara Kwee, mari kita bersembunyi. Cepat!!"

   Tanpa menanti jawaban, ia lalu memegang lengan Yang Giok dengan tangan kanan dan dengan tangan kiri ia kendalikan kudanya membelok ke kiri dan bersembunyi di balik tetumbuhan yang tebal dan gelap. Yang Giok heran sekali akan tetapi ia tidak membantah dan ikut bersembunyi. Mereka turun dari kuda dan sambil mengelus-elus leher kudanya. Nyo Liong berkata,

   "Mudah-mudahan kuda kita tidak akan mengeluarkan ringkikan."

   Iapun mengelus-elus leher kuda Yang Giok. Baru saja Yang Giok hendak bertanya, tiba-tiba telinganya dapat menangkap suara kuda yang dilarikan cepat dari belakang dan tak lama kemudian tampaklah kedua perwira tadi dengan muka marah sekali memacu kuda mereka lewat di jalan yang mereka lalui tadi. Setelah mereka pergi jauh, Yang Giok hendak bertanya, akan tetapi Nyo Liong menggunakan jari tangan untuk memberi isyarat di depan mulut hingga Yang Giok menunda maksudnya. Mereka bersembunyi untuk beberapa lama lagi, sampai tak lama kemudian, terdengar pula suara kaki kuda dilarikan perlahan. Kedua perwira itu ternyata telah kembali dan terdengar mereka bercakap-cakap dengan suara mendongkol. Ketika mereka lewat di situ, Yang Giok dapat menangkap suara percakapan mereka.

   "Kurang ajar benar! Pemuda baju biru itu telah menipu kita! Kalau aku dapat membekuk batang lehernya, tentu akan kupenggal kepalanya!"

   Terdengar Thio Sam berkata.

   "Hm, akan kubeset kulit mukanya!"

   Ciu Gin Hok bersungut-sungut. Yang Giok memandang kepada Nyo Liong dengan muka heran dan ia menduga-duga mengapa kedua orang itu marah kepada Nyo Liong, karena yang dimaksudkan dengan pemuda baju biru tentulah Nyo Liong. Setelah kedua perwira itu pergi jauh, barulah Nyo Liong tertawa dengan senang hingga tubuhnya tergoncang-goncang.

   "Eh, sebenarnya apakah yang terjadi? Mengapa mereka begitu marah?"

   Tanya Yang Giok.

   "Ha, ha! Tentu saja mereka marah karena isi bungkusan yang kuberikan kepada mereka tadi hanya berisi batu-batu hitam saja. Ha, ha!"

   Yang Giok ikut tertawa dan diam-diam ia memuji kecerdikan pemuda ini karena ia menyangka bahwa ketika ia sedang bertempur tadi, tentu dengan diam-diam Nyo Liong telah mengganti isi bungkusan dengan batu-batu kecil. Dengan gembira mereka melanjutkan perjalanan. Pada suatu hari, Yang Giok dan Nyo Liong tiba di kota Tiang-hu. Mereka bermalam di sebuah rumah penginapan yang terbesar di kota itu dan seperti biasa apabila bermalam di rumah penginapan, Yang Giok minta dua kamar untuk mereka. Hal ini berkali-kali telah membuat Nyo Liong merasa mendongkol sekali. Kali ini ia marah-marah ketika ia berkata.

   "Saudara Yang Giok, kau ini benar-benar aneh! Mengapa kita harus berpisah kamar? Bukankah lebih enak kalau kita berdua bermalam dalam satu kamar hingga kita dapat bercakap-cakap?"

   Hampir saja Yang Giok lupa akan keadaan dirinya dan memaki, akan tetapi ia segera ingat bahwa pada saat itu ia adalah seorang pemuda maka ia hanya berkata,

   "Liong-ko sudah berkali-kali aku berkata padamu bahwa aku tidak bisa tidur berdua. Kalau ada orang lain tidur di pembaringanku, aku takkan dapat tidur nyenyak.

   "Aneh kau ini, seperti seorang perempuan saja. Kalau kita sekamar, bukanlah akan lebih aman dan kita dapat saling menjaga? Pula sebelum tidur kita dapat bermain thioki lebih dulu."

   "Sudahlah, Liong-ko, perlu apa meributkan soal kecil ini? Kalau kau ingin main catur, akan kulayani sampai kita mengantuk dan pergi tidur."

   Nyo Liong masih hendak mengomel, akan tetapi Yang Giok menyetopnya sambil berkata,

   "Liong-ko, aku pernah dengar dari Liu-ithio, bahwa kau telah dipertunangkan dengan Liu siocia. Pernahkah kau bertemu dengan dia?"

   Wajah Nyo Liong memerah.

   "Belum pernah, dan takkan pernah bertemu,"

   Jawabnya singkat. Yang Giok memandang heran.

   "Takkan pernah bertemu? Apa maksudmu? Bukankah kelak akan bertemu juga?"

   Nyo Liong menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Aku tidak mau bertemu dengan dia!"

   "Loh! Kau agaknya marah dan benci kepadanya, mengapa?"

   "Tidak ada yang marah atau membenci. Aku belum pernah bertemu muka dengannya, bagaimana aku bisa marah atau benci? Soalnya ialah, aku dipertunangkan dengan seorang gadis yang belum pernah ku lihat."

   "Jadi kau menolak ikatan jodoh yang dilakukan oleh orang tuamu itu?"

   "Menolak terang-terangan sih tidak berani, akan tetapi... ah, untuk apa kita bicarakan soal ini? Apakah kau sudah pernah melihatnya, saudara Yang Giok?"

   "Melihat siapa? Kau maksudkan melihat Liu-siocia? Tentu saja sudah."

   "Apakah ia... cantik?"

   Yang Giok menggeleng-gelengkan kepala,

   "Tidak, tidak cantik malah menurut pendapatku, ia buruk sekali."

   Nyo Liong menghela napas,

   "Mengapa orang tuaku begitu bodoh? Dasar aku yang bernasib buruk, harus dijodohkan dengan seorang gadis buruk pula!"

   Diam-diam Yang Giok tertawa geli di dalam hati. Tiba-tiba Nyo Liong teringat akan sesuatu dan ia bertanya,

   "Serupa siapakah gadis she Liu itu? Apakah serupa dengan Ayahnya?"

   Yang Giok yang tidak menyangka sesuatu lalu mengangguk dan berserilah wajahnya Nyo Liong.

   "Kalau begitu, kau bohong! Kalau ia serupa Ayahnya, tentu ia cantik!"

   Yang Giok terkejut.

   "Eh, eh... bagaimana kau bisa menyangka begitu?"

   Nyo Liong tertawa senang.

   "Lupakah kau akan ucapan perwira dulu itu? Sebelum bertempur, bukanlah ia katakan bahwa kau serupa benar dengan Pangeran Liu Mo Kong? Nah, kalau Liu-siocia serupa Ayahnya, itu berarti bahwa ia serupa dengan kau, dan kalau ia serupa dengan kau, tak dapat tidak tentu ia cantik!"

   Wajah Yang Giok memerah. Ia merasa lega karena Nyo Liong tidak mengetahui rahasianya seperti yang ia kuatirkan tadi, akan tetapi ia merasa bangga karena pujian pemuda itu langsung tertuju kepada dirinya.

   "Hm, kau ini aneh-aneh saja, Liong-ko!"

   Hanya itu kata-katanya dan selanjutnya ia tak banyak bercakap-cakap karena hatinya masih berdebar mendengar pujian pemuda ini.

   "Saudara Yang Giok, kalau kau tidur di kamar lain, harap kau berhati-hati, karena betapapun juga, pihak lawan tentu takkan tinggal diam saja. Kalau terjadi apa-apa, harap kau suka berteriak agar aku dapat mendengarnya."

   Yang Giok diam-diam merasa girang karena biarpun lemah ternyata pemuda ini berhati baik dan ingin sekali menolongnya, maka ia berkata dengan sungguh-sungguh,

   "Liong-ko, kau sungguh baik hati. Aku akan berlaku sangat hati-hati, jangan kau khawatir."

   "Pedang sudah berada padaku, tentu mereka itu tidak akan menduga sesuatu, akan tetapi yang aku khawatirkan adalah keselamatanmu. Kalau mereka tak bisa mendapatkan pedang itu dan karenanya marah padamu hingga mereka mencelakakan kau, aku takkan memberi ampun kepada mereka!"

   Kata-kata Nyo Liong bersemangat sekali hingga Yang Giok merasa makin terharu.

   "Liong-ko, mengapa kau begini baik dan sangat memperhatikan keselamatanku?"

   Tak terasa lagi ia bertanya. Pemuda itu memandangnya tajam dan berkata dengan suara sungguh-sungguh pula.

   "Saudaraku yang baik, terus terang saja, aku sangat suka kepadamu dan menganggap kau sebagai kawan terbaik. Dan pula, jangan kau lupa, mukamu serupa benar dengan tunanganku bukan?"

   Pedang Pusaka Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia tambahkan dengan jenaka hingga lagi-lagi wajah Yang Giok memerah, maka ia lalu pergi meninggalkan pemuda itu ke dalam kamarnya. Malam hari itu sunyi sekali karena habis turun hujan. Hawa di luar rumah dingin dan orang-orang yang berada di dalam rumah sore-sore telah tidur nyenyak di bawah selimut. Akan tetapi dua orang di dalam kamar terpisah dalam penginapan itu tak dapat tidur.

   Nyo Liong tak dapat tidur karena ia merasa kuatir akan datangnya musuh-musuh yang mengejar mereka, sedangkan Yang Giok tak dapat tidur karena memikirkan Nyo Liong. Pemuda itu baik sekali dan ia mulai merasa suka kepadanya. Ternyata bahwa pemuda itu juga suka sekali kepadanya, walaupun ia tidak tahu bahwa pemuda yang menjadi kawannya itu sebetulnya tunangannya sendiri. Yang Giok dapat membayangkan bahwa kalau Nyo Liong tahu akan penyamaran itu, tentu pemuda itu akan merasa makin suka. Hal ini dapat ia pastikan dan karenanya membuat hatinya berdebar girang dan malu. Akan tetapi, masih terdapat sedikit kekecewaan di dalam dadanya kalau ia memikirkan bahwa pemuda itu hanyalah seorang sasterawan yang lemah.

   Tiba-tiba telinganya menangkap suara kaki menginjak genteng di atas kamarnya. Cepat ia memadamkan api lilin yang masih bernyala di kamar itu dan sambil membawa pedangnya, ia diam-diam membuka daun jendela. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan dan tahu bahwa di atas genteng itu sedikitnya terdapat empat atau lima orang, maka hatinya berdebar keras. Dengan tindakan perlahan ia lalu keluar dari pintu kamarnya dan menghampiri kamar Nyo Liong. Ia ketuk-ketuk pintu pemuda itu dengan perlahan, akan tetapi tak terdengar jawaban. Akhirnya ia meninggalkan pintu kamar itu dan langsung menuju ke belakang. Setelah tiba di pekarangan belakang ia lalu melompat naik ke atas genteng dan benar saja, di atas rumah penginapan itu berdiri lima orang dengan senjata di tangan.

   "Ah, baik sekali kau sudah mengetahui kedatangan kami, anak muda!"

   Terdengar seorang di antara mereka berkata ketika melihat kedatangan Yang Giok. Ternyata yang bicara ini adalah si Kate Tan Kok yang hebat dan yang dulu pernah mencuri Thian Hong Kiam. Diam-diam Yang Giok merasa terkejut sekali, karena baru menghadapi si Kate seorang ini saja sudah sangat berat baginya, apalagi kalau si Kate ini masih dibantu oleh empat orang lain. Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kejerihannya dan berkata dengan suara lantang.

   "Orang she Tan! Kau mengejar-ngejarku sampai ke sini dengan maksud apa? Kita tak pernah bermusuhan, mengapa kau terus mendesak?"

   "Ha, ha, ha ! Coba lihat kawan-kawan! Alangkah berani dan tabahnya anak muda ini! He, anak muda, ketahuilah, kami dari Jian-jiu-pai selamanya tidak mau bekerja kepalang tanggung. Kami telah mengambil keputusan hendak mendapatkan pedang Thian Hong Kiam dan sebelum usaha kami ini berhasil, kami takkan tinggal diam. Lekas serahkan pedang itu dan jangan banyak membantah, karena kau sudah mengetahui sendiri kehebatanku, bukan?"

   Yang Giok merasa heran juga mengapa mereka ini demikian berdungguh-sungguh hendak merampas pedang pusaka kerajaan Tang itu, maka ia bertanya.

   "Pedang itu adalah pedang kerajaan yang tidak banyak harganya, mengapa kalian ini bangsa ya-heng jin (orang jalan malam atau maling-maling) bersusah payah hendak mendapatkannya?"

   "Ha, ha, agar jangan kau merasa kecewa, biarlah kuceritakan kepadamu sebab-sebabnya. Ada seorang Pangeran yang ingin sekali mendapatkan pedang itu dan bersedia menebus sebanyak dua puluh lima ribu tail perak jika kami bisa mendapatkan pedang itu!"

   Terkejutlah Yang Giok.

   "Siapa Pangeran itu? Dan untuk apa ia menghendaki Thian Hong Kiam?"

   Tan Kok tertawa menyeringai,

   "Jangan kau hendak permainkan aku, anak muda. Aku tidaklah begitu bodoh seperti yang kau kira. Kalau kau kuberitahu nama orang itu, tentu kau sendiri akan pergi ke sana dan menerima hadiah itu, ha, ha, ha!"

   "Tan-ko, perlu apa banyak cakap dengan boca ini?"

   Seorang kawannya menegur.

   "Anak muda, lihat, kawan-kawanku sudah tak sabar lagi. Lekas serahkan pedang itu kepada kami."

   Yang Giok menggeleng-gelengkan kepala,

   "Pedang itu tidak berada ditanganku lagi."

   Muka Tan Kok menjadi merah.

   "Jangan kau main-main anak muda. Aku sudah cukup sabar dan jangan bikin aku marah. Di mana pedang itu?"

   Yang Giok mengangkat pundak dan bersiap sedia dengan pedangnya.

   "Kalau kalian tidak percaya, boleh kalian periksa sendiri kamarku, dan kalian juga dapat melihat bahwa pedang itu tidak kubawa."

   Dengan marah sekali Tan Kok memberi tanda dan tiga orang kawannya melayang turun memasuki kamar Yang Giok melalui jendela. Mereka mengadakan pemeriksaan dengan teliti, akan tetapi pedang itu tak mereka temukan. Tak lama kemudian mereka melayang naik kembali untuk memberi laporan kepada Tan Kok. Dari gerakan-gerakan mereka, Yang Giok maklum bahwa kepandaian kawan-kawan Tan Kok ini benar-benar hebat hingga ia menghela napas berat. Bukan main marah Tan Kok. Ia lalu menanggalkan baju luar yang merupakan senjata ampuh dan berkata,

   "Anak muda, kalau kau tidak lekas memberitahu di mana adanya pedang itu, malam ini jangan harap kau akan dapat terlepas dari tanganku lagi. Lekas katakan, di mana adanya pedang itu?"

   Akan tetapi, Yang Giok tidak menjawab dan hanya berdiri dengan memasang kuda-kuda untuk menghadapi serangan mereka. Melihat kebandelan Yang Giok, Tan Kok marah sekali. Sambil berseru keras ia menggerakan jubahnya dan menyerang dengan hebat. Yang Giok melompat dan mengelakkan serangan itu, lalu balas menyerang dengan nekad. Akan tetapi empat orang kawan Tan Kok tidak tinggal diam dan ikut menyerbu hingga keadaan Yang Giok berbahaya sekali. Pada saat itu, berkelebat bayangan orang yang gerakannya gesit sekali dan tahu-tahu sebatang pedang yang berkilau menahan serangan lima orang anggauta Jian-jiu-pai itu. Semua orang, termasuk Yang Giok, memandang dan hampir bersamaan Yang Giok dan musuh-musuhnya berseru.

   "Sasterawan Kedok Hitam"

   Si Kedok Hitam itu tertawa nyaring.

   "Kalian ini benar-benar panjang tangan, dan kerjanya hanya mencuri saja. Akan tetapi sebelum mengulurkan tangan, lihatlah dahulu baik-baik, barang apa yang kalian hendak curi dan lebih-lebih perhatikan dulu apakah tidak ada orang yang melihatnya. Aku berada di sini, apakah kalian kutu-kutu busuk ini masih hendak berani berlaku kurang ajar?"

   Tan Kok marah sekali dan menjawab,

   "Biarpun namamu sudah tersohor sebagai seorang gagah perkasa, akan tetapi apa kau kira kami dari Jian-jiu-pai takut kepadamu? Bagi kami kau tak lain hanyalah seorang pengecut!"

   Sepasang mata yang bersembunyi di balik kedok dan mengintai melalui dua lubang itu memancarkan sinar tajam.

   "Apa katamu, anjing pendek? Aku pengecut?"

   "Hanya seorang pengecutlah yang tidak berani berlaku terang-terangan. Kau menyembunyikan mukamu di balik kedok, apakah itu dapat dianggap laki-laki sejati dan jantan? Kalau kau tidak bersifat pengecut, bukalah kedokmu!"

   "Ha, ha, ha! Ini hanyalah akal bulus yang licik untuk mengetahui rahasia orang. Eh, orang kate. Majulah bersama kawan-kawanmu, dan kalau aku sampai kalah, barulah kau akan dapat melihat dan mengenal siapakah aku sebenarnya."

   Sementara itu, Yang Giok mendapat kesempatan ketika si Kedok Hitam berbantah dengan kawanan maling itu, untuk memperhatikan kesatria perkasa ini baik-baik. Dan ia berdebar dengan hati penuh dugaan. Biarpun suaranya agak berlainan, karena suara orang ini gagah dan keras, sedangkan suara Nyo Liong lemah lembut, akan tetapi suara ketawanya dan potongan tubuhnya benar-benar mirip dengan Nyo Liong. Nyo Liongkah orang ini? Ah, tak mungkin sekali. Pada saat itu, kelima orang anggauta Jian-jiu-pai itu telah maju menyerbu dan segera terjadi pertempuran ramai dan seru sekali. Yang Giok sekali lagi menjadi kagum melihat permainan pedang si Kedok Hitam. Dulu ia telah menyaksikan betapa dengan tangan kosong si Kedok Hitam dapat melayani Tan Kok dan dua orang kawannya.

   Akan tetapi, kini lebih-lebih ia merasa kagum sekali melihat ilmu silat pedang yang luar biasa sekali gerakan-gerakannya. Juga Tan Kok merasa sangat gemas karena telah dua kali si Kedok Hitam ini menghalang-halangi maksudnya dan menggagalkan usahanya yang hampir berhasil. Maka ia berlaku nekad dan menyerang dengan hebat. Setelah bertempur tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba si Kedok Hitam berseru keras dan panjang dan tahu-tahu semua senjata kelima orang itu telah terpental dan tangan mereka yang tadi memegang senjata telah mendapat luka dan mengucurkan darah. Mereka berteriak-teriak kesakitan dan tanpa diberi komando lagi, kelimanya lalu melompat turun dari atas genteng dan lari dalam gelap, diikuti suara ketawa yang nyaring dari si Kedok Hitam. Yang Giok menghampiri penolongnya dan menjura.

   "lagi-lagi in-kong (tuan penolong) telah menolongku dari pada bahaya. Sungguh kau berbudi sekali dan tidak tahu bagaimanakah aku dapat membalas budi itu,"

   

Kisah Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini