Pedang Pusaka Thian Hong 4
Pedang Pusaka Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Kalau memang demikian halnya, tentu dewata yang adil tidak akan tinggal diam, dan siapa bersalah akan mendapat bagiannya. Ini adalah hukum alam yang tak dapat dielakkan lagi,"
Kata Kim Kong Tojin.
"Kalau begitu, pandanganmu masih picik sekali, Losuhu. Aku yang muda terpaksa tidak dapat menyetujui dan aku tetap membenarkan pemberontakan yang terdorong oleh kesengsaraan rakyat,"
Jawab Nyo Liong. Kim Kong Tojin berkata kepada murid-muridnya,
"Yang manakah yang kau katakan pencuri pedang tadi?"
Murid-muridnya menuding ke arah Yang Giok.
"Nona itu adalah puteri dari Liu Mo Kong dan Pangeran itu serta puterinya yang mencuri pedang kerajaan. Sekarang Pangeran Liu itu juga bersekutu dengan para pemberontak di kota raja!"
"Bohong! Ayahku tidak pernah bersekutu!"
Jawab Yang Giok marah.
"Ayah telah tertawan ketika hendak melarikan diri bersamaku!"
Kim Kong Tojin memandang kepada Yang Giok dan berkata dengan senyum sindir.
"Nona, kau adalah puteri bangsawan, mengapa sekarang kau bersahabat dengan seorang pemberontak?"
"Aku... aku tidak tahu bahwa ia seorang pemberontak!"
Jawab Yang Giok gagah.
"Dan pedang Thian Hong Kiam pun kau berikan kepadanya. Sekarang kembalikan pedang milik kaisar itu!"
"Tidak! Biarpun Ayahku bukan seorang pemberontak, namun beliau tidak suka melihat pedang itu kembali ke tangan kaisar yang lalim! Kaisar tidak berhak memegang pedang itu!"
"Eh, eh, kalau begitu kau juga seorang pemberontak! Walaupun lain sifatnya dengan pemberontak barisan jembel dan tani itu!"
Kata Kim Kong Tojin marah.
"Tutup mulutmu, tosu kurang ajar!"
Yang Giok balas membentak karena gadis ini sedikitpun tidak takut kepada tosu itu dan hatinya yang keras tidak mengizinkan ia disebut pemberontak tanpa balas membentak.
"Kau harus dilenyapkan dulu!"
Kata Kim Kong Tojin dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah berkelebat dan tahu-tahu sebatang pedang telah berada di tangan dan digunakan untuk menyerang Yang Giok.
Gadis ini tidak berdaya menghadapi serangan Kim Kong Tojin yang memiliki gerakan cepat, maka ia hanya memejamkan mata menanti datangnya serangan. Pedang Kim Kong Tojin berkelebat ke arah leher Yang Giok dan "trang!"
Terdengar suara nyaring karena pedang tosu itu telah beradu dengan sebatang pedang lain. Pertemuan tenaga ini demikian hebat hingga bunga api memercik keluar, sedangkan Kim Kong Tojin sendiri terhuyung ke belakang. Ternyata Nyo Liong dengan cepat dan tepat sekali telah berhasil menolong Yang Giok dari pada bahaya maut. Kim Kong Tojin adalah seorang tokoh besar dari Bu-tong-pai, maka tenaga dan kepandaiannya telah mencapai tingkat tinggi. Maka tidak heran bila ia merasa gemas dan marah sekali.
"Bagus, anak muda, mari kita main-main sebentar!"
Ia berkata halus karena berusaha menekan perasaannya yang menggelora. Orang yang sudah memiliki kepandaian tinggi maklum bahwa nafsu amarah mempunyai pengaruh melemahkan dan berbahaya sekali apabila menghadapi seorang lawan tangguh dalam keadaan marah. Oleh karena itu, seberapa dapat ia menahan nafsunya untuk menghadapi pemuda yang berkepandaian tinggi ini. Akan tetapi Nyo Liong tinggal berdiri dengan tenang dan menjawab.
"Ingat, Losuhu, bukan aku yang menghendaki pertempuran ini. Kalau kau orang tua tetap hendak turun tangan mengganggu, silakan!"
Sebetulnya kalau ia tidak sedang dipengaruhi oleh rasa dendam dan marah, Kim Kong Tojin tentu dapat melihat sikap mengalah dan tenang dari pemuda ini dan maklum bahwa sebenarnya pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan sedikitpun tidak jerih terhadapnya. Akan tetapi, karena ia merasa kecewa dan malu, apalagi di situ terdapat tiga orang muridnya dan perwira-perwira lain yang menjadi saksi, ia menjadi nekad dan lupa akan kewaspadaan.
"Baik, kalau begitu, waspadalah terhadap pedangku!"
Tosu ini lalu menyerang bagaikan kilat menyambar. Ia mengeluarkan ilmu pedang Bu-tong-pai yang hebat dan ganas. Nyo Liong tidak mau berlaku semberono dan ia menghadapinya dengan tenang dan hati-hati sekali. Berkat ilmu pedang yang dipelajarinya dari kitab Pat-kwa Im-yang Coan-si memang sebuah ilmu silat yang jarang terdapat di dunia ini, maka ia dapat melawan serangan tosu itu dengan baiknya, bahkan ia masih dapat membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Mengetahui bahwa ia sama sekali tidak dapat mendesak pemuda itu dengan pedangnya, Kim Kong Tojin menjadi heran dan kagum sekali.
Belum pernah seumur hidupnya ia menyaksikan ilmu pedang seperti ini, padahal ia telah mengalami banyak sekali pertempuran dan boleh dibilang ia telah mengenal semua gerakan ilmu pedang. Akan tetapi kali ini benar merasa malu karena ia sama sekali tidak mengenal ilmu pedang Nyo Liong. Menghadapi ilmu pedang yang sama sekali gelap baginya, tentu saja ia menjadi bingung, apalagi kalau yang memainkan memiliki kepandaian khikang dan ginkang sehebat Nyo Liong. Sebenarnya Nyo Liong telah banyak mengalah dan sengaja tidak mau mempergunakan kesempatan-kesempatan baik untuk merobohkan lawan karena ia tidak mau menjatuhkan namanya di depan murid-muridnya. Kalau saja Kim Kong Tojin tidak begitu gemas dan marah, tentu ia akan tahu pula akan hal ini dan menyudahi pertempuran. Akan tetapi tosu ini bahkan menjadi murka sekali dan menyerang dengan nekad.
Menghadapi serangan yang dilakukan secara mati-matian oleh Kim Kong Tojin yang berkepandaian tinggi, terpaksa Nyo Liong tak dapat tinggal bertahan saja, karena kalau ia bertahan terus, tentu ia akan mendapat celaka. Maka ia segera merobah gerakan pedangnya dan kini gerakannya menjadi ganas dan cepat sekali hingga dalam beberapa jurus sajaKim Kong Tojin terdesak hebat. Mereka telah bertempur seratus jurus lebih dan sekarang mereka tidak menjadi lambat, bahkan makin cepat hingga merupakan dua gulung sinar yang saling menyambar. Beberapa puluh jurus lagi telah berlalu dan tiba-tiba pedang tosu itu terpental ke udara hingga terputar-putar tinggi sekali dan ketika pedang itu meluncur turun, Kim Kong Tojin melompat dan menyambutnya dengan tangan. Wajahnya pucat sekali dan mulutnya tersenyum pahit.
"Anak muda she Nyo, kau benar-benar hebat sekali."
Nyo Liong menjura.
"Totiang, kaulah yang hebat dan telah mengalah terhadap aku yang muda."
"Anak muda, kalau kau suka memandang mukaku dalam tiga hari lagi aku hendak bertemu kembali denganmu."
Nyo Liong maklum bahwa tosu yang keras kepala ini masih belum mau mengaku kalah dan masih mengandung dendam, maka ia merasa mendongkol sekali. Akan tetapi, terpaksa ia menjawab juga.
"Totiang, yang memulai adalah kau sendiri, maka selanjutnya terserah kepadamu untuk memutuskan. Aku yang muda tak dapat menanti lebih lama lagi karena aku hendak pergi bersama kawanku ini ke kuil Thian-Hok-si."
"Apa? Kau hendak pergi menemui Kok Kong Hwesio di Thian-hok-si? Ada hubungan apakah kau dengan Kok Kong Hwesio?"
Tanya Kim Kong Tojin.
"Dia adalah sucouwku!"
Jawab Yang Giok. Kim Kong Tojin mengerling ke arah gadis itu.
"Hm, jadi Pangeran Liu adalah murid Kok Kong Hwesio? Pantas, pantas! Gurunya berjiwa pemberontak, tentu muridnya sama saja! Baiklah, anak muda she Nyo, tiga hari lagi, aku akan datang mencarimu di Thian-hok-si!"
Setelah berkata demikian, Kim Kong Tojin lalu mengajak murid-muridnya dan perwira lain untuk pergi meninggalkan tempat itu. Nyo Liong menyimpan pedang Thian Hong Kiam dan menghela napas lega. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia melihat betapa Yang Giok agaknya tidak senang melihat kemenangannya, karena gadis itu berdiri memandangnya dengan sinar mata dingin.
"Eh, moi-moi kau kenapa?"
Tanya Nyo Liong sambil menghampiri Yang Giok.
"Kau... benarkah kau seorang anggauta pemberontak?"
Tanya gadis itu dengan suara lemah. Nyo Liong memandang tajam.
"Bukan menjadi anggauta, akan tetapi aku memang selalu membantu perjuangan mereka karena kuanggap perjuangan mereka itu suci dan baik."
"Kalau begitu kau anggap Oey Couw itu patut menjadi kaisar?"
Tanya Yang Giok kecewa.
"Aku tidak mengerti tentang itu, dan aku tidak perduli siapa yang akan menjadi kaisar, asalkan pemerintah dapat menjalankan tugas secara bijaksana dan dapat memperhatikan nasib rakyat kecil tidak seperti kaisar yang lalu. Aku kenal baik kepada Oey Couw dan aku anggap dia seorang pemimpin besar yang patut dihargai."
Yang Giok makin marah.
"Kau tidak tahu betapa kejamnya barisan pemberontak yang menyerbu ke kota raja. Banyak Pangeran dan pembesar mereka bunuh sampai habis sekeluarganya. Dan kau .. kau yang kuanggap seorang perkasa dan orang baik, ternyata... menjadi pembantu mereka!"
"Yang Giok, jangan kau menuduh yang bukan-bukan?!"
Kata Nyo Liong.
"tentang pembunuhan itu, mungkin karena memang pembesar yang dibunuh itu dulu berlaku sewenang-wenang dan kejahatannya telah menimbulkan kebencian hebat, dan mungkin juga bahwa di antara anggauta barisan petani terdapat orang-orang yang kejam dan jahat, karena tidak semua orang baik, juga tidak semua orang jahat belaka. Akan tetapi, yang kumusuhi adalah peraturan yang dijalankan oleh pemerintah kaisar Tang yang demikian lalim dan hanya tahu mencari kesenangan sendiri saja. Perjuangan pemberontak kaum tani adalah suci dan baik!"
"Jadi pedang Thian Hong Kiam itu patut berada di tangan Oey Couw?"
Tanya Yang Giok marah.
"Dulu pernah kukatakan pada pertemuan kita yang pertama kali bahwa pedang ini memang pantas berada di tangannya."
Yang Giok membanting-banting kakinya dengan gemas.
"Kalau begitu, apakah kau hendak memberikan pedang itu kepadanya sebagai persembahan untuk mencari pahala?"
Melihat betapa kemarahan gadis yang berhati keras itu memuncak, Nyo Liong menjadi sabar kembali dan ia memperlihatkan senyumnya.
"Moi-moi mengapa kau menjadi marah benar. Jangan begitu, adikku. Aku tidak berhak atas pedang ini. Ingat bahwa kaulah yang membawa pedang ini dan aku hanyalah mengawani kau pergi ke sini. Bagiku, pedang ini tidak banyak artinya, baik dipegang oleh siapapun. Kau lebih berharga seribu kali dari pedang ini!"
Di dalam hatinya, Yang Giok sebenarnya merasa girang mendengar pernyataan ini, akan tetapi ia tetap merasa kecewa karena tunangannya yang sangat dibanggakannya itu ternyata anggauta pemberontak. Sebagai seorang gadis bangsawan betapapun juga sebutan pemberontak yang menghancurkan kota raja menimbulkan pandangan rendah dalam hatinya. Maka, ia tak dapat lagi menahan kecewa dan marahnya, lalu ia menangis sambil membanting-banting kaki.
"Kau... kau pemberontak... alangkah akan sedihnya hati Ayah..."
Padahal yang bersedih adalah hatinya sendiri, dan pada saat itu ia sama sekali tidak perduli apa kata Ayahnya tentang hal ini.
"Sudahlah, moi-moi, jangan kau sedihkan hal yang tak berarti ini. Sekarang marilah kita pergi ke kuil Thian-hok-si dan menanyakan pikiran sucouwmu."
Mendengar ucapan ini, Yang Giok menahan tangisnya dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu menuju ke tempat kudanya. Nyo Liong yang dapat meraba isi hati tunangannya yang kecewa itu, juga tidak mau banyak bicara karena ia maklum bahwa pada saat hati Yang Giok masih panas, percakapan hanya akan membuat gadis keras hati ini menjadi makin marah. Kelenteng Thian-hok-si adalah sebuah kelenteng tua yang masih kokoh kuat karena dibangun dari kayu-kayu gunung yang keras dan kuat serta mempunyai tiang yang besar. Ukiran-ukiran dan lukisan-lukisan yang terdapat di sekitar dinding kelenteng itu telah luntur warnanya akan tetapi masih dapat dikagumi keindahan dan mutu seninya.
Di pegunungan Go-bi-san memang banyak terdapat lereng-lereng dan puncak bukit yang indah pemandangannya dan yang mempunyai kuil-kuil besar dan indah. Banyak pula di antara kuil-kuil itu yang telah bobrok dan roboh. Oleh karena banyaknya tempat-tempat indh di daerah pegunungan Go-bi-san, maka banyak pula pertapa-pertapa yang datang ke tempat itu. Di antara para pertapa ini banyak terdapat orang-orang sakti dan berilmu tinggi, maka pegunungan Go-bi terkenal sebagai tempat yang menghasilkan banyak anak murid yang pandai. Oleh karena banyaknya guru-guru yang pandai dan yang datang dari berbagai tempat, maka cabang persilatan Go-bi banyak sekali macamnya. Di antara pertapa-pertapa yang bertapa di situ, terdapat seorang Hwesio yang berkepandaian tinggi dan yang menuntut penghidupan suci.
Dia ini adalah Kok Kong Hwesio yang memilih kuil Thian-hok-si sebagai tempat pertapaannya. Kok Kong Hwesio ini sebenarnya adalah putera seorang menteri di zaman Raja Hauan Tsung yang melarikan diri ke Go-bi-san ketika pemberontakan Tartar yang bernama An Lu San memukul kerajaan. Dan menteri ini lalu mengasingkan diri dan bertapa di pegunungan itu. Puteranya, yakni Kok Kong, menjadi murid seorang pandai di Go-bi dan sampai tua Kok Kong menuntut penghidupan sebagai seorang pendeta yang menganut agama Buddha. Kok Kong Hwesio tak pernah menerima murid, kecuali Pangeran Liu Mo Kong, karena ia melihat betapa Pangeran ini berjiwa bersih dan jujur. Ketika pada waktu mudanya, Pangeran Liu berkelana meluaskan pengetahuan, maka ia bertemu dengan Kok Kong Hwesio dan menjadi muridnya.
Dengan hati sedih, pendeta yang berketurunan bangsawan pula ini melihat betapa kerajaan dipegang oleh kaisar yang lalim dan hatinya hancur melihat kemelaratan dan kesengsaraan rakyat jelata. Akan tetapi apakah dayanya? Sebagai seorang suci yang tidak suka mencampuri urusan dunia, ia hanya memuja saja kepada para dewata agar keadaan yang buruk itu akan berubah menjadi baik. Akhirnya terjadilah pemberontakan kaum tani yang berhasil, dan diam-diam Kok Kong Hwesio berdoa sambil menghaturkan terima kasih serta mengharapkan perubahan yang baik terhadap nasib seluruh umat manusia, terutama golongan rakyat kecil yang selalu hidup di tingkat terendah dan terpijak. Diam-diam pendeta tua inipun memikirkan keadaan muridnya yang menjadi Pangeran dan memegang jabatan sebagai kepala bagian perbendaharaan.
Ia maklum bahwa muridnya berjiwa bersih dan tidak ikut menjadi pemeras rakyat, maka ia maklum pula bahwa muridnya itu tentu akan mengambil tindakan bijaksana dalam peristiwa pemberontakan itu. Ingin sekali ia mendengar tentang nasib muridnya sekeluarga. Oleh karena itu, ketika seorang Hwesio kecil yang menjadi murid dan pelayannya memberitahu bahwa di luar datang dua orang tamu muda, seorang pemuda dan seorang gadis, yang katanya datang dari kota raja dan membawa berita dari Pangeran Liu, ia menjadi girang sekali dan mempersilakan mereka itu datang menghadap. Nyo Liong dan Yang Giok memasuki ruang dalam dan mereka segera berlutut di depan pendeta tua yang duduk bersila di atas bangku bundar yang bertilamkan bantal terisi daun-daun kering.
"Sucouw, teecu Liu Yang Giok datang menghadap,"
Kata Yang Giok. Kok Kong Hwesio memandang gadis itu dengan matanya yang lebar dan tajam. Ia dapat menduga bahwa gadis ini tentulah puteri muridnya, maka ia berkata,
"Anak, bagaimanakah kabar Ayahmu? Dan siapakah kawanmu ini? Coba seritakan semua yang jelas!"
Yang Giok lalu menuturkan dengan singkat dan jelas tanpa merahasiakan sesuatu kepada orang suci itu, bahkan ia memberitahu pula bahwa Nyo Liong adalah pemuda tunangannya yang mengantarnya sampai ke Go-bi-san. Sebagai penutup penuturannya, gadis itu berkata,
"Sucouw, karena teecu merasa bingung dan selalu dikejar oleh pihak-pihak yang menghendaki pedang Thian Hong Kiam, maka akhirnya teecu mengambil keputusan untuk menyerahkan pedang ini kepada Sucouw dan minta nasehat selanjutnya."
Sambil berkata demikian, Yang Giok menyerahkan pedang itu kepada sucouwnya. Akan tetapi, Kok Kong Hwesio tidak mau menerima pedang itu dan berkata,
"Yang Giok, mengapa pedang itu kau berikan kepadaku? Pinceng sudah mencuci tangan dari pada segala urusan dunia, bagaimana pinceng hendak diserahi pedang ini? Yang Giok, mengapa kau sendiri tidak bisa memilih orang yang patut diserahi pedang ini? Kulihat kawanmu itu bukanlah seorang yang lemah, mengapa dia tidak mau membantumu?"
Nyo Liong terkejut, karena baru melihat negitu saja, orang tua ini dapat mengetahui bahwa ia memiliki kepandaian.
"Sucouw,"
Kata Yang Giok dengan suara manja.
"Liong-ko ini telah cukup membantuku, kalau tidak ada dia, tentu pedang ini telah terampas oleh pihak lain."
Kemudian ia menceritakan sepak terjang Nyo Liong dalam membelanya dan membela pedang Thian Hong Kiam, hingga Hwesio itu mengangguk-angguk dengan sinar mata kagum.
(Lanjut ke Jilid 04 - Tamat)
Pedang Pusaka Thian Hong Kiam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04 (Tamat)
"Akan tetapi, sucouw, antara Liong-ko dan teecu, terdapat perselisihan paham yang besar sekali. Menurut teecu yang hanya mentaati pendirian Ayah, pedang ini sepatutnya diserahkan ke dalam tangan seorang calon kaisar pengganti kaisar yang telah lari itu, dan calon ini haruslah seorang yang benar-benar bijaksana dan patut menjadi seorang pemimpin besar. Teecu anggap bahwa pedang ini tidak pantas diserahkan kepada kaisar yang telah dikalahkan oleh pemberontak. Akan tetapi, Liong-ko, menganggap bahwa sudah seharusnya pedang ini diberikan kepada pemimpin pemberontak Oey Couw. Bahkan... bahkan Liong-ko telah pula membantu pergerakan para pemberontak."
Setelah berkata sampai di sini, tak tertahan lagi Yang Giok menangis. Tiba-tiba Kok Kong Hwesio tertawa bergelak-gelak.
"Ha,ha! Kau memang patut menjadi puteri Mo Kong! Kau sama-sama keras hati dan kukuh seperti Ayahmu. He, Yang Giok, dengarlah! Pendirianmu itu keliru, dan seharusnya kau menurut kata-kata Nyo enghiong ini karena dialah yang benar!"
Seketika itu juga terhentilah tangis Yang Giok dan ia memandang kepada sucouwnya dengan mata terbelalak. Hwesio itu mengangguk-angguk,
"Yang Giok kau masih muda dan tidak dapat mengikuti kekuasaan alam yang sewaktu-waktu memang mengadakan perubahan terhadap keadaan dunia dengan tiba-tiba dan tidak terduga. Ketahuilah, memang pergerakan orang-orang she Oey itu patut dipuji dan itupun telah menjadi kehendak alam. Kalau tidak, bagaimana ia bisa menumbangkan kekuasaan kaisar? Pedang pusaka ini sudah semestinya berada dalam tangan orang yang memegang tampuk kekuasaan di kota raja, dan sekarang yang menjadi pemimpin besar adalah orang she Oey itu, maka dia seoranglah yang berhak memiliki Thian Hong Kiam."
Yang Giok tak dapat berkata-kata hanya mendengarkan dengan hati tidak karuan. Akhirnya ternyata juga bahwa tunangannya yang betul. Ketika ia mengerling ke arah Nyo Liong, ia melihat pemuda itu justeru sedang memandang kepadanya sambil tersenyum, maka ia menjadi makin malu kepada diri sendiri.
"Nyo enghiong, sukakah kau memberitahukan siapa sebenarnya suhumu yang mulia? Barangkali saja pinceng kenal."
Nyo Liong lalu menceritakan riwayatnya secara singkat dan ketika ia menyebut tentang kitab Pat-kwa Im Yang Coan-si, pendeta itu nampak terkejut dan kagum.
"Aya... kitab itu telah terjatuh ke dalam tanganmu? Ah, sicu, kalau begitu, benar-benar kau seorang pemuda yang berbahagia sekali. Ketahuilah, di zaman Ayahku masih menjadi menteri, kitab itu telah menjadi perebutan di antara seluruh orang pandai di dunia ini, akan tetapi kitab itu secara tiba-tiba telah lenyap tak meninggalkan bekas hingga tak seorangpun dapat mewarisi kepandaian yang hebat itu. Sekarang ternyata dewata telah memperlihatkan keadilannya hingga kitab itu terjatuh ke tanganmu hingga dapat kaupergunakan untuk membela perjuangan rakyat."
"Locianpwe, sebenarnya karena teecu hanya mempelajari dari kitab dan berkat petunjuk dari Li Lo Kun suhu, maka teecu hanyalah dapat memetik sedikit saja pelajaran dari kitab itu. Dan selanjutnya teecu masih mengharapkan banyak petunjuk dari Locianpwe."
"Ha, ha, anak muda. Dalam hal kepandaian, di manakah batas-batasnya? Tahukah kau bahwa makin pandai seseorang, akan makin jelas terasa dan tampak olehnya betapa bodoh dia itu. Orang yang dapat mengetahui kebodohan dirinya sendiri, barulah pantas disebut orang pandai. Aku adalah seorang yang sudah tua dan dalam hal kepandaian silat, tentu aku tak dapat melawan yang muda-muda!"
"Sucouw,"
Kata Yang Giok.
"Dalam perjalanan teecu berdua telah bertemu dengan seorang tosu dari Bu-tong-san bernama Kim Kong Tojin yang hendak datang untuk mencari Liong-ko ke sini untuk diajak pibu."
Kemudian dengan panjang lebar Yang Giok menuturkan pengalaman mereka ketika bertemu dengan para perwira yang dibantu oleh Kim Kong Tojin dan hendak merampas pedang Thian Hong Kiam. Mendengar itu Kok Kong Hwesio mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Hm, Kim Kong Tojin memang seperti seorang anak kecil yang kukuh dan tidak mau kalah. Beberapa pekan yang lalu ia pernah ke sini dan bercakap-cakap dengan pinceng tentang keadaan kerajaan dewasa ini. Maksudnya hendak menarik tenagaku untuk membantu kaisar memukul kembali para pejuang tani dan merampas kembali kerajaan. Ia mengemukakan bahwa sebagai keturunan seorang menteri sudah sepatutnya kalau pinceng membela kaisar. Oleh karena kami mempunyai pendirian berlainan, maka segera terjadilah perdebatan antara kami dan dia agaknya pergi dengan marah. Tidak tahunya dia bertemu dengan Nyo sicu dan dapat dikalahkan. Ah, biarlah dia datang, hendak pinceng lihat sampai di mana ia berani berlaku kurang ajar. Nyo sicu, kau dan Yang Giok boleh berdiam di sini selama tiga hari sambil menanti kedatangan mereka itu, kemudian kau bersama Yang Giok harus mengantarkan pedang Thian Hong Kiam ke kota raja dan memberikan pusaka itu kepada Oey Couw dan sekalian membebaskan Liu Mo Kong muridku."
Sebagai persiapan menghadapi rombongan Bu-tong-san yang hendak datang ke situ, Kok Kong Hwesio minta supaya Nyo Liong memperlihatkan kepandaiannya. Oleh karena maksud Hwesio ini selain memiliki kepandaian tinggi juga mempunyai pandangan yang luas sekali, Nyo Liong tidak berlaku segan-segan lagi dan ia mulai bersilat. Mula-mula dengan tangan kosong, kemudian mempergunakan senjata pedang. Kok Kong Hwesio merasa kagum sekali dan diam-diam dia memperhatikan untuk meneliti di mana adanya kelemahan-kelemahan dalam permainan anak muda itu. Setelah Nyo Liong selesai bersilat ia berkata,
"Nyo sicu, kepandaianmu sebenarnya sudah hebat sekali. Jarang aku melihat kepandaian yang lebih bagus dari pada ini dan benar-benar kitab Pat-kwa Im-yang Coan-si itu mengandung pelajaran yang luar biasa. Pinceng tidak sanggup melebihi kepandaian ini, hanya pinceng dapat memberi sedikit petunjuk untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang mungkin terjadi karena kurang pengalaman."
Kemudian, dengan telaten sekali Hwesio tua itu memberi petunjuk-petunjuk kepada Nyo Liong dan minta supaya pemuda itu mengulangi permainan silatnya pada bagian-bagian yang dianggap lemah.
Kemudian mereka berdua bersama-sama memecahkan dan memperbaiki gerakan yang dianggap lemah itu hingga kepandaian Nyo Liong makin meningkat. Selain itu, juga Kok Kong Hwesio menurunkan beberapa jurus ilmu silatnya kepada pemuda itu hingga Nyo Liong menjadi girang sekali lalu menghaturkan terima kasih sambil berlutut. Tiga hari kemudian, benar saja nampak Kim Kong Tojin beserta dua orang tosu lain naik ke puncak itu mengunjungi kuil Thian-hok-si. Kedatangan mereka disambut oleh Kok Kong Hwesio sendiri bersama Nyo Liong dan Yang Giok. Yang datang bersama Kim Kong Tojin adalah Kim Bok Tojin dan Kim Huo Tojin, keduanya adalah kakak seperguruan Kim Kong Tojin sendiri. Setelah saling memberi hormat, Kim Kong Tojin berkata kepada Kok Kong Hwesio.
"Kok Kong suhu, kedatangan kami ini tak lain selain hendak menengok kesehatanmu, juga kami ingin sekali menyaksikan kehebatan anak muda she Nyo yang menjadi tamumu ini, dan juga hendak minta kembali pedang Thian Hong Kiam yang dibawanya, karena pedang itu harus kembali kepada pemilik aslinya."
Kok Kong Hwesio tersenyum.
"Kim Kong Toyu, pinceng telah tahu akan maksudmu. Jika kau hendak mengajak pibu kepada Nyo sicu silakan, mataku yang tua agaknya memang bernasib baik sekali hingga akan dapat menyaksikan ilmu pedang Bu-tong-pai."
Dalam ucapannya yang halus ini, Hwesio tua itu diam-diam telah mengeluarkan sindiran hingga Kim Kong Tojin memerah muka.
"Totiang, kalau kau masih kecewa dan hendak memberi pelajaran kepadaku, silahkan!"
Berkata Nyo Liong yang sebenarnya merupakan sebuah tantangan. Mereka lalu menuju ke pelataran depan yang lebar dan sunyi. Kim Kong Tojin telah mencabut keluar pedangnya dan tangan kirinya mengeluarkan sebatang cabang kecil dari pohon Liu.
"Eh, rupanya Kim Kong toyu hendak memperlihatkan kehebatan Bu-tong-Kiam-Tung-hwat, dan kabarnya ranting kecil itu lebih berbahaya dari pada pedangnya. Hebat, hebat!"
Kata Kok Kong Hwesio hingga diam-diam Kim Kong Tojin merasa mendongkol sekali karena kata-kata ini secara tidak langsung merupakan peringatan kepada Nyo Liong bahwa pemuda itu harus berhati-hati terhadap ranting kecil dari pohon Liu yang kelihatannya tidak berarti itu..
"Kalau tamu mudamu merasa jerih, boleh juga tuan rumahnya mewakili,"
Kata Kim Kong Tojin kepada Kok Kong Hwesio secara menyindir, akan tetapi yang disindir hanya tersenyum saja dan berkata kepada Nyo Liong.
"Nyo sicu, apakah benar-benar kau jerih menghadapi jago dari Bu-tong-pai ini?"
Sebagai jawaban, Nyo Liong mencabut Thian Hong Kiam dari pinggangnya dan menghadapi Kim Kong Tojin sambil menyilangkan pedangnya di atas dada.
"Totiang, silakan maju,"
Katanya. Kim Kong Tojin lalu berseru keras dan mengirim serangan cepat sekali dengan pedangnya.
Nyo Liong menangkis tahu-tahu ranting itu menyambar menuju ke leher Nyo Liong dalam sebuah totokan kilat yang berbahaya sekali, jauh lebih berbahaya dari pada serangan pedang tadi. Nyo Liong cepat mengelak dan sambil menggoyangkan tubuhnya ke kiri, tahu-tahu pedangnya menyambar dari kanan. Inilah hebatnya ilmu pedang Pat-kwa Im-yang. Kedudukan kaki Nyo Liong bergerak-gerak menurut garis-garis dan peraturan Pat-kwa, sedangkan tubuh dan pedangnya bergerak-gerak secara berlawanan menurut peraturan im dan yang, hingga selalu pedang di tangannya menyerang secara berlawanan dengan apa yang tampak. Akan tetapi, karena pada tiga hari yang lalu Kim Kong Tojin pernah merasai kehebatan Pat-kwa Im-yang Kiamsut, maka kini ia dapat berlaku hati-hati dan tidak mudah terpedaya.
Demikianlah, mereka berdua saling serang dengan seru sekali dan kedua suheng dari pada Kim Kong Tojin itu hanya berdiri memandang dengan sikap tenang. Akan tetapi di dalam hati mereka merasa terkejut dan kagum sekali karena kini mereka baru percaya akan cerita sutenya bahwa pemuda ini benar-benar hebat ilmu pedangnya. Karena kini Kim Kong Tojin menambah senjatanya dengan sebatang ranting pohon Liu yang digunakan untuk menotok jalan darah, maka ketangguhannya lebih hebat dari pada tiga hari yang lalu, apalagi karena tosu ini kini sedikit banyak telah tahu akan ilmu pedang Nyo Liong. Baiknya sebelum menghadapi tosu ini, Nyo Liong telah mendapat petunjuk-petunjuk dari Kok Kong Hwesio hingga kelemahan-kelemahan yang masih ada pada gerak-gerakannya kini telah lenyap.
Hal inipun mengejutkan Kim Kong Tojin, karena kelemahan-kelemahan yang kemarin dulu ia lihat pada ilmu silat pemuda itu, kini telah lenyap bahkan telah berganti dengan jurus-jurus ilmu pedang cabang Go-bi yang berbahaya dan ganas. Setelah bertewmpur dua ratus jurus lebih, perlahan-lahan dengan ilmu silatnya yang hebat itu Nyo Liong dapat mendesak mundur lawannya. Pada suatu kesempatan yang baik, ujung pedang Thian Hong Kiam berhasil membabat putus ranting pohon Liu di tangan Kim Kong Tojin hingga terpaksa tosu itu melayani Nyo Liong dengan pedangnya saja. Kini ia terdesak hebat dan sewaktu-waktu tentu akan kena dirobohkan. Melihat keadaan sutenya, Kim Bok Tojin merasa khawatir. Ia lalu berseru keras,
Pedang Pusaka Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sute, mundurlah!"
Dan tubuhnya lalu melayang ketengah-tengah kedua orang yang asyik bertempur itu sambil menggoyang-goyangkan senjatanya yang luar biasa sehelai sabuk yang panjangnya empat kaki lebih. Kim Kong Tojin segera melompat mundur, juga Nyo Liong hendak mundur, akan tetapi Kim Bok Tojin berseru,
"Anak muda, mari kita main-main sebentar!"
Sambil berkata demikian, ang-kin (sabuk merah) yang berada di tangannya menyambar dan ujung sabuk itu bagaikan kepala ular meluncur bagaikan hidup menotok ke arah jalan darah kwe-hian-hiat. Nyo Liong terkejut sekali dan mengelak sambil melompat mundur lalu menyabetkan pedangnya untuk membabat sabuk itu.
Akan tetapi sungguh mengherankan, ketika pedangnya beradu dengan sabuk, sabuk itu berubah menjadi lemas dan ringan hingga tak mungkin terbabat karena baru tersambar angin pedang saja sudah melayang menjauh. Nyo Liong tahu bahwa lawannya mempergunakan tenaga lweekang yang tinggi, maka ia berlaku hati-hati sekali dan berjaga diri dengan tenang dan waspada. Sabuk di tangan Kim Bok Tojin itu benar-benar berbahaya sekali karena dengan tenaga lweekangnya yang sudah terlatih sempurna, kain merah itu dapat menjadi keras, menegang atau lemas dan ulet menurut kemauan pemegangnya. Dengan tenaga keras, sabuk merah itu dapat digunakan untuk menotok jalan darah dan dalam keadaan lemas dan ulet, senjata istimewa ini dapat digunakan untuk menyabet atau membelit pedang.
Kali ini Nyo Liong benar-benar menghadapi seorang lawan yang tangguh dan berbahaya sekali. Biarpun ilmu silatnya luar biasa, akan tetapi senjata lawan yang memiliki tenaga keras dan lemas itu dapat mengimbangi permainannya yang berdasarkan tenaga im dan yang atau tenaga lemas dan keras. Terpaksa ia harus mengerahkan seluruh perhatian, tenaga, dan kepandaiannya agar jangan sampai terkalahkan. Pada suatu saat Nyo Liong menyerang dengan pedangnya yang ditusukkan ke arah leher lawannya. Ketika Kim Bok Tojin memiringkan kepala mengelak tusukan itu, Nyo Liong meneruskan senjatanya membabat leher lawan. Kim Bok Tosu terkejut sekali. Memang semenjak tadi ia sering dikejutkan oleh gerakan-gerakan yang susul menyusul yang digunakan Nyo Liong dalam serangannya.
Ia cepat menangkis dengan sabuk merahnya dan menggunakan tenaga lemas hingga sabuk itu tepat sekali membelit pedang. Nyo Liong menggunakan tangan kiri menghantam ke bawah untuk memukul ke arah pusar lawan dan membuyarkan tenaga lweekang lawan yang berpusat di pusar, akan tetapi Kim Bok Tosu juga melayangkan tangan kirinya hingga kedua tangan itu bertemu. Telapak kedua tangan itu saling menempel dan tak dapat lepas lagi, seakan-akan menjadi lengket. Kini terjadi adu tenaga lweekang yang mendebarkan dan menegangkan. Pedang dan sabuk telah menjadi satu dan kedua tangan kiripun telah menempel pula. Kedua-duanya mengerahkan tenaga khikang dan lweekang untuk menjatuhkan lawan.
Adu tenaga ini berjalan lama karena siapa yang berani melepaskan sebuah tangan akan mendapat celaka. Bibir Nyo Liong menggigil dalam mempertahankan tenaganya, sedangkan pada jidat Kim Bok Tosu telah nampak peluh keluar sebesar kacang. Semua orang yang berada di situ maklum bahwa keadaan kedua orang itu berbahaya sekali, dan banyak kemungkinan seorang di antara mereka akan terluka hebat. Akan tetapi untuk membantu juga sangat berbahaya, karena tidak mungkin lagi kedua orang itu dipisahkan tanpa membahayakan keselamatan mereka. Baik di pihak Bu-tong-pai, maupun di pihak Kok Kong Hwesio, memandang pergulatan hebat dan mati-matian itu dengan dada berdebar dan hampir tidak berani bernapas. Terutama Yang Giok yang biarpun belum memiliki kepandaian tinggi akan tetapi telah mengetahui keadaan yang menegangkan itu.
Ia menggigit bibirnya dan memandang ke arah tunangannya dengan muka pucat. Tak terasa pula air matanya mengalir membasahi pipinya. Bagaimana kalau Nyo Liong terkena celaka atau binasa? Akan tetapi, tidak percuma Nyo Liong melatih diri menurut petunjuk kitab Pat-kwa Im-yang Coan-si yang sakti itu. Latihan lweekangnya biarpun belum lama, akan tetapi berkat cara-cara berlatih yang sangat luar biasa dari pelajaran di dalam kitab itu, ia memperoleh tenaga lweekang yang tidak kalah dibandingkan dengan latihan orang yang berpuluh tahun lamanya menurut cara biasa. Oleh karena ini, ia dapat mengimbangi tenaga Kim Bok Tojin yang terkenal sebagai ahli lweekeh yang kenamaan. Melihat betapa lawannya yang masih muda sekali ini dapat mengimbangi kekuatan lweekangnya, Kim Bok Tojin merasa gemas dan marah sekali. Dan inilah kekeliruannya.
Di dalam hal tenaga dalam, pantangan terbesar adalah nafsu marah, karena nafsu ini akan menyerang perjalanan darah dan oleh karenanya akan mengacaukan jalan darah yang telah teratur oleh pernapasan dalam menggerakkan tenaga lweekang. Maka begitu nafsu itu menyerang ke dalam hatinya, Nyo Liong dapat meradsakan betapa telapak tangan lawannya menjadi panas dan libatan sabuk pada pedangnya agak mengendur. Pemuda yang cerdik ini dapat menduga, maka ia lalu memandang lawannya dan mengeluarkan senyum mengejek. Melihat senyum ini, makin marahlah Kim Bok Tojin dan makin lemah pulalah pemusatan tenaganya hingga pada saat yang tepat sekali Nyo Liong mengumpulkan pernapasannya dan mengerahkan seluruh tenaga, tangan kiri mendorong dan tangan kanan yang memegang pedang menarik sambil berseru,
"Ahhh!!"
Kim Bok Tojin tak kuat menahan serangan hebat ini. Ia merasa betapa dari telapak tangan kiri Nyo Liong mengalir hawa dingin yang menusuk dan menyerang terus ke jantungnya. Ia merasa dadanya panas sekali dan tiba-tiba saja pedang Thian Hong Kiam yang ditarik oleh Nyo Liong berhasil memutuskan sabuknya dan ia lalu terhuyung ke belakang, lalu berteriak ngeri dan roboh. Dari mulutnya memancar darah merah dan ia lalu rebah pingsan.
Kim Huo Tojin cepat menotok kedua pundak sutenya dan mengurut-urut dadanya hingga biarpun menderita luka dalam yang hebat, jiwa Kim Bok Tojin dapat tertolong. Sementara itu, Nyo Liong masih tetap berdiri bagaikan patung. Pengerahan tenaga yang hebat itu telah membuat tubuhnya kaku dan untuk beberapa lama ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya hingga tangan kanannya masih memegang pedang yang diacungkan ke atas dan tangan kirinya masih saja dalam posisi mendorong lawan. Yang Giok dengan isak tangis lari menghampiri dan hampir lupa akan keadaan dirinya dan hendak memeluk tubuh Nyo Liong, akan tetapi tiba-tiba lengan tangannya ditarik orang dengan kuat. Ketika ia menengok, ternyata yang menariknya itu adalah Kok Kong Hwesio atau sucouwnya, yang berkata.
"Yang Giok, tenanglah hatimu. Nyo sicu tidak apa-apa, hanya saja ia tidak boleh diganggu pada saat ini!"
Tak lama kemudian, Nyo Liong yang telah mengatur kembali pernapasannya dan telah merasa betapa tenaganya telah normal kembali, lalu memasukkan pedang ke sarung pedangnya dan ia menjura ke arah ketiga tosu itu.
"Aku yang muda telah berlaku kurang ajar, harap sam-wi totiang sudi memaafkan."
Dengan hati panas Kim Huo Tojin lalu maju dan berkata.
"Anak muda, kau benar-benar luar biasa. Mari-mari, majulah dan layani aku. Kalau aku kalah olehmu, kami bertiga takkan banyak cakap lagi dan selamanya takkan mau mengganggumu lagi!"
Nyo Liong maklum bahwa tenaganya sudah banyak berkurang dan ia merasa lelah sekali, akan tetapi kalau ia tidak berani melayani tosu ini, apa akan dianggap mereka? Pada saat itu, Kok Kong Hwesio berkata sambil tersenyum lebar.
"Hm, ketiga kawan dari Bu-tong-san, tidak malukah menyerang seorang pemuda dengan bergantian? Apakah hal ini tidak akan menjadi buah tertawaan orang-orang kang-ouw apabila mereka mendengar betapa tiga orang tokoh terbesar dari Bu-tong-pai secara berturut-turut mengeroyok seorang pemuda yang masih muda sekali?"
Merahlah seluruh muka Kim Huo Tojin mendengar sindiran ini. Memang, kalau dipikir-pikir, pihaknya telah berlaku tidak pantas, karena seharusnya ia mengerti bahwa pemuda itu telah mengeluarkan banyak tenaga dan kalau sekarang diharuskan bertempur lagi, maka andaikata ia akan mendapat kemenangan, akan tetapi kemenangan dari seorang lawan yang telah lelah takkan mengharumkan namanya. Maka, untuk menebus kekalahan pihaknya dan untuk membikin terang muka karena kekalahan dua kali berturut-turut itu, ia lalu berkata kepada Kok Kong Hwesio.
"Kok Kong suhu, bagi pinto siapa saja yang hendak maju anak muda she Nyo ini maupun kau sendiri tiada bedanya. Kalau pemuda ini hendak beristirahat dan kau mau mewakilinya pun boleh. Aku tidak akan memilih lawan!"
Kok Kong Hwesio tertawa.
"Ha, ha, Kim Huo Toyu, kau harus malu. Kakek-kakek tua renta yang hampir mampus seperti kita ini harus berkelahi seperti dua orang anak-anak kecil? Ha, ha, aku malu kepada bayanganku sendiri."
Kim Huo Tojin cemberut.
"Hwesio tua, kau pandai sekali bicara dan mencari alasan. Kalau kau takut, katakanlah saja terus terang, pinto juga takkan memaksamu berkelahi."
"Kim Huo Toyu, apakah artinya takut? Apakah artinya menang atau kalah? Kau sungguh seperti anak kecil saja. Akan tetapi, pada saat ini kau adalah tamu, sedangkan pinceng adalah tuan rumah, maka sudah menjadi keharusan umum bahwa tuan rumah harus melayani tamu baik-baik. Tentu saja permintaanmu itu tak dapat kutolak, akan tetapi, oleh karena kita tidak menaruh permusuhan apa-apa, sedangkan nafsumu yang mendesakmu itupun hanya terbatas pada nafsu tidak puas dan ingin menguji kepandaian belaka, maka marilah kita mengadu kepandaian dengan baik-baik sesuai dengan kedudukan kita sebagai ketua cabang persilatan."
Sambil berkata demikian, Kok Kong Hwesio lalu mencabut sebatang tiang kecil yang terpasang dan tertancap di pelataran itu untuk tempat ikatan tali jemuran pakaian, lalu dengan sebelah tangan ia mematahkan tiang itu menjadi dua potong. Kemudian ia tancapkan dua batang tongkat itu ke dalam tanah, agak berjauhan, kira-kira berpisah satu tombak jauhnya.
"Nah, Kim Huo Toyu, marilah kita adu cio-hwat di atas patok ini!"
Sambil berkata demikian, Kok Kong Hwesio melompat ke atas sebatang patok itu dan berdiri di atas sebelah kaki kiri, sedangkan kaki kanannya di angkat ke belakang dan kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri. Kok Kong Hwesio bertubuh tinggi besar, akan tetapi dengan ringan sekali ia dapat melompat dan berdiri di atas patok tanpa bergoyang sedikitpun, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu ginkang dari Hwesio tua ini. Kim Huo Tojin tersenyum dan iapun lalu melompat ke patok kedua. Ia berdiri dengan ujung kakinya, agak merendah dan kaki kedua diluruskan ke depan, tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri merupakan kepalan menempel di pinggang. Juga gerakan tosu ini ringan sekali hingga semua menjadi kagum.
"Hwesio tua, kau berhati-hati sekali. Baiklah, kita mengadu kepandaian di sini saja. Bagaimana peraturan selanjutnya?"
Melihat gerakan lawan ini Kok Kong Hwesio tersenyum.
"Toyu, kau hebat sekali. Marilah kita gunakan angin pukulan untuk saling mendorong, dan siapa yang terpaksa melompat turun dari atas patok dianggap kurang hati-hati dan selanjutnya tidak boleh banyak cakap lagi!"
"Baik-baik dan bersiaplah!"
Kata Kim Huo Tojin yang lalu mulai menggerakkan tangan kirinya memukul ke depan.
Kok Kong Hwesio lalu mengembangkan tangannya dan mendorong ke depan, menahan angin pukulan lawannya. Demikianlah, kedua orang tua itu saling memukul dan mendorong hingga nampaknya mereka itu berkelahi melawan angin akan tetapi kalau orang berdiri di antara mereka, barulah orang itu akan mengetahui betapa dari kedua pihak datang angin pukulan yang luar biasa hebatnya, karena biarpun angin pukulan yang dilancarkan itu tidak melukai kulit, akan tetapi dapat melukai paru-paru dan jantung serta segala isi perut, mendatangkan luka dalam yang membawa maut. Inilah hebatnya tenaga khikang yang disalurkan melalui pergerakan tangan mereka. Nyo Liong dan Yang Giok sambil saling berpegang tangan menonton pertandingan luar biasa dan menegangkan ini, dan diam-diam mereka hanya berdoa suapaya Kok Kong Hwesio jangan sampai kalah.
Nyo Liong diam-diam mengagumi Hwesio tua itu, karena dalam hal tenaga khikang dan kepandaian ginkang, terus terang saja ia harus mengaku kalah kepada kedua orang tua ini. Adu tenaga khikang ini berlangsung lama karena agaknya kedua kakek itu sama tangguhnya dan tiap-tiap serangan lawan selalu dapat ditahan atau dikembalikan dengan tenaga mereka. Akhirnya Kim Huo Tojin mendapat akal licik dan tiba-tiba saja ia merobah gerakan tangannya, kini ia tidak memukul ke arah lawannya, akan tetapi ke arah patok yang diinjak oleh Kok Kong Hwesio. Terdengar suara "krak"
Dan patok itu patah. Kok Kong Hwesio berseru keras lalu tubuhnya melompat ke atas, berjungkir balik beberapa kali baru ia turun di atas kedua kakinya sambil tertawa bergelak.
"Toyu, kau cerdik sekali. Sayang agaknya kau terlalu banyak menggunakan tenaga hingga jubahmu yang menutup iga kiri menjadi rusak."
Kim Huo Tojin cepat melompat turun dan ia meraba jubahnya. Betul saja, jubah itu telah terobek lebar hingga angin gunung menghembus membuat kulit iganya terasa dingin. Ia menjadi pucat karena maklum bahwa dalam adu tenaga tadi, Hwesio tua itu telah menggunakan pukulan Pek-kong-ciang yang tidak mendatangkan angin, akan tetapi cukup hebat hingga kalau Hwesio itu berhati jahat, tentu ia telah menderita luka dalam, dan bukan hanya jubahnya yang terobek. Cepat ia menjura dan berkata,
"Pinto telah berkenalan dengan Pek-kong-ciang yang hebat dan telah berkenalan pula dengan hatimu yang welas asih. Terima kasih, terima kasih!"
Setelah berkata demikian, Kim Huo Tojin lalu mengajak kedua sutenya meninggalkan tempat itu tanpa berani banyak cakap lagi. Sebagai seorang tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi. Ia harus memegang janji dan secara laki-laki ia telah mengaku salah terhadap Hwesio tua itu. Kok Kong Hwesio menghela napas lega.
"Untunglah mereka itu masih ingat bahwa mereka adalah pendeta-pendeta yang harus memegang teguh kebersihan batin. Sekarang tidak ada bahaya lagi, kalian berdua hari ini juga boleh berangkat ke kota raja dan serahkan pedang itu kepada pemimpin besar, kemudian mintalah agar supaya Liu Mo Kong dibebaskan."
Nyo Liong dan Yang Giok menghaturkan terima kasih kepada Hwesio tua yang baik hati ini dan mereka lalu berangkat secepatnya ke kota raja. Ketika tiba di kota raja, Oey Couw menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali, karena ia telah kenal dan pernah bertemu dengan Nyo Liong yang banyak membantu pergerakannya. Ia menerima pedang Thian Hong Kiam dan mencabutnya dari sarung pedang untuk diperiksa.
"Pedang baik, pusaka bagus. Akan tetapi, apakah artinya pedang ini jika dipegang oleh seorang yang berhati jahat?"
Ia lalu menggantungkan pedang pusaka itu pada pinggangnya dan semenjak itu ia tak pernah berpisah lagi dengan pedang Thian Hong Kiam itu. Dengan senang hati Oey Couw membebaskan Liu Mo Kong yang memang mendapat kebebasan penuh walaupun tinggal di dalam penjara, dan pertemuan antara Liu Mo Kong dan puterinya terjadi sangat mengharukan. Nyo Liong lalu mengajak tunangan dan calon mertuanya untuk pergi ke rumah orang tuanya, di mana mereka disambut oleh Nyo Wan-gwe dengan gembira.
"Oey Couw memang seorang gagah perkasa yang berbudi luhur,"
Kata Pangeran Liu.
"Akan tetapi sayang sekali, ia tidak pandai memegang pemerintahan, hingga aku sangat kuatir kalau-kalau kekuasaannya takkan bertahan lama."
Kemudian atas persetujuan kedua pihak, perkawinan antara Nyo Liong dan Yang Giok dilangsungkan dengan meriah dan kedua mempelai hidup penuh kebahagiaan.
Ramalan dan kekuatiran Pangeran Liu Mo Kong ternyata terbukti. Tak lama kemudian terjadi rebutan kursi di antara para pembesar yang ingin memperoleh pahala dalam perjuangan yang lalu. Perebutan kekuasaan inilah yang kemudian melemahkan kedudukan mereka. Sementara itu, kaisar yang melarikan diri ke Secuan tidak tinggal diam. Ia bersekutu dengan tentara Turki Barat yang disebut Shato dan dibawah pimpinan Li Ke Yung. Empat tahun kemudian, barisan Turki dengan sisa barisan kaisar bergerak maju dan menyerang Tiang-an. Pasukan tani yang kini telah menjadi lemah akibat perebutan kekuasaan itu, terpukul hancur hingga kota raja dapat direbut kembali oleh kaisar atas bantuan Li Ke Yung dan barisan Turkinya.
Oey Couw dan sisa anak buahnya lalu melarikan diri ke Honan, kemudian lari terus ke propinsi Shantung. Kemudian, di puncak gunung Tai-san, Oey Couw yang gagah perkasa ini karena merasa sedih dan kecewa oleh gagalnya perjuangannya yang telah mengurbankan banyak jiwa rakyat dan harta benda itu, lalu berdiri seorang diri dengan pedang Thian Hong Kiam terhunus dan terpegang dalam tangannya. Angin pegunungan yang sejuk meniup dan membuat ikat kepalanya terlepas hingga rambutnya terurai ke pundak dan berkibar tertiup angin, bersaing dengan ikat pinggangnya yang juga berkibar bagaikan bendera megah. Ia menegadah memandang awan yang berarak lalu, dan berkata dengan suara nyaring,
"Kaisar lalim! Biarpun perjuangan kami gagal, biarpun laksaan petani dan rakyat kecil terbunuh di ujung pedang, biarpun aku Oey Couw akhirnya harus melarikan diri karena kalah dan gagal, akan tetapi ingatlah, Jiwa perjuangan suci takkan pernah hancur, takkan pernah mati. Para pejuang dan pahlawan rakyat boleh mati, mayat boleh bertumpuk-tumpuk, akan tetapi jiwa dan api perjuangan yang timbul dari pada derita rakyat yang tertindas oleh kaummu yang sewenang-wenang, takkan padam dan selamanya akan berkobar lagi. Kalian lihat dan tunggu saja, akan datang saatnya api ini berkobar dan bernyala hebat dan akan membakar semua penindas dan pemeras, dan akhirnya rakyat yang akan menang. Hidup perjuangan rakyat tertindas."
Setelah berkata demikian, pahlawan yang gagah ini lalu menggunakan pedang Thian Hong Kiam untuk menusuk dada kirinya hingga ujung pedang itu masuk sampai menembus jantungnya. Ia roboh terlentang dengan mata terbelalak, tak berkutik lagi, sedangkan pedang Thian Hong Kiam terpancang di atas dadanya. Angin bertiup lalu sepoi-sepoi...
TAMAT
andu, http://indozone.net/literatures/literature/227
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo