Ceritasilat Novel Online

Pek I Lihiap 2


Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Pakaiannya serba ringkas sederhana, mukanya yang jelita tak berbekas pupur atau yanci, nampak kesederhanaannya itu tak mengurangi kecantikannya, bahkan kejelitaannya nampak asli dan segar. Dengan tindakan ringan, gadis itu jalan menuju ke panggung, kemudian dengan gesit bagaikan burung walet ia loncat ke atas panggung, disambut tepuk tangan sopan tapi cukup meriah. Melihat kecantikan gadis itu, dikalangan muda terbit hasrat untuk mencoba kepandaian Giok Cu, siapa tahu kalau-kalau mereka akan kejatuhan bintang dan cukup beruntung untuk dapat berhasil menundukkan gadis jelita itu, menundukkan kemahiran silat dan menundukkan hatinya pula! Sedikitnya ada dua puluh pe muda yang telah gatal tangan hendak mencoba kepandaian Giok Cu. Sebelum Giok Cu mulai bersilat. Ong Kang Ek naik ke atas panggung dan sambil berdiri di sebelah puterinya, ia menjura ke empat penjuru.

   "Cuwi sekalian yang terhormat, harap saja cuwi suka memberi maaf sebelumnya atas kelancangan anakku. Sebenarnya bukanlah maksud kami untuk menyombongkan kebiasaan yang tak berapa banyak, tapi ialah karena anakku yang manja ini telah berjanji kepadaku bahwa pada hari ulang tahunku ini dia hendak menyumbangkan tenaga meramaikan pesta dengan bersilat pedang dan mengambil kesempatan ini untuk minta tambahan pelajaran dari cuwi sekalian. Hanya saja memang adat anakku aneh, dia hanya melayani main pedang dengan mereka yang tidak saja pandai pegang senjata tajam, tapi juga yang pandai pegang dan mainkan pit dan pandai membaca!"

   Mendengar uraian ini, kembali para muda bertepuk tangan, tapi di antara dua puluh orang anak muda yang gatal tangan tadi, kini hanya paling banyak sepuluh orang saja yang masih tetap hendak mencoba gadis itu karena mereka merasa cukup pengertian mereka dalam ilmu surat. Pada saat itu datanglah seorang tamu dari luar yang diantar oleh pelayan yang mewakili Ong Kang Ek menjaga di luar. Ong Kang Ek yang sudah selesai bicara, lalu menjura lagi dan cepat-cepat turun dari panggung untuk sambut tamu-tamunya, seorang muda berpakaian sastrawan dan yang mendatangi dengan sikap lemah lembut dan sopan.

   "Ah, Gan Hianti, kau akhirnya datang juga! Mana ayahmu?"

   Gan Kam Chiu menjura sambil menjawab perlahan:

   "Menyesal sekali ayah tak dapat datang, hanya menyuruh saya menyampaikan pernyataan selamatnya dengan doa supaya lopeh mendapat berkah panjang umur."

   Ong Kang Ek balas menjura.

   "Terima kasih, terima kasih Gan hianti silakan duduk."

   Setelah menghaturkan terima kasih Gan Kam Ciu ambil tempat duduk di bagian para tamu muda. Pada saat itu tak seorangpun memperhatikan sastrawan itu karena semua mata ditujukan kepada Giok Cu yang masih berdiri di panggung dengan pedang di tangan. Kam Ciu juga tujukan pandangan matanya ke sana dan kagumlah ia melihat gadis manis yang pernah menolak lamarannya itu berdiri dengan gagah dan cantiknya di atas panggung.

   Maka mengertilah ia bahwa Giok Cu hendak memperhatikan ilmu pedangnya. Dengan gembira ia duduk dan memandang dengan penuh perhatian. Setelah menjura ke sekeliling sekali lagi Giok Cu mulai bersilat. Pertama-tama ia gerak-gerakkan pedangnya dengan perlahan dengan gerakan yang indah dan lemas hingga ia tidak mirip seorang wanita gagah bermain pedang, tapi lebih pantas seorang penari tengah menarikan tari pedang yang indah gerak-geriknya dan sedap dipandang. Semua tamu kagum akan keindahan tubuh dan gerakannya, dan para tamu hendak mengukur tenaganya merasa lega karena menurut ilmu pedangnya dan tak sukar dilawan. Tapi mereka tidak tahu bahwa Giok Cu sedang mainkan ilmu pedang turunan dari keluarganya pada bagian yang lemas dan yang disebut ilmu pedang Bi-jin-kiamhwat,

   Yaitu ilmu pedang yang sebenarnya hanya digunakan untuk berlatih kelemasan tubuh dan tenaga dalam sesuai dengan namanya yang berarti ilmu pedang wanita cantik. Hanya para locian-pwe yang duduk di golongan terhormat saja yang mengerti akan kelihaian ilmu ini dan mereka mengangguk-angguk karena dari permainan ini mereka telah dapat mengukur ketinggian lweekang dan ilmu pedang Giok Cu. Setelah mainkan sebagian dari Bi-jian-kiam hwat, tiba-tiba Giok Cu berseru nyaring dan gerakan pedangnya berubah. Kini ia tidak lagi merupakan seorang penari yang lincah dan lemas, tapi seakan-akan seekor naga yang baru keluar dari sarangnya! Pedangnya berputar cepat dan sebentar saja pedang itu hanya merupakan gulungan sinar panjang yang bergerak ke sana kemari menutupi tubuh gadis itu hingga yang tampak hanya kakinya saja.

   Terkejutlah sebagian besar anak muda yang tadinya naksir dan yang memandang rendah Giok Cu. Diam-diam mereka menghapus keringat dingin yang keluar dijidat. Dan pada saat itu juga mereka yang ingin mengajukan diri hanya tinggal tiga orang lagi saja! Yang lain-lain telah mundur teratur karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan Giok Cu. Pada saat orang-orang sedang mengagumi ilmu pedang Giok Cu tiba-tiba gadis itu berseru nyaring sekali lagi dan sebuah benda merah panjang tahu-tahu telah berada di tangannya dan benda itu ini bergerak-gerak bagaikan ular menyambar-nyambar mengikuti gerak pedang itu. Itu adalah sehelai angkin sutera warna merah! Dan sampai di sini gadis itu telah keluarkan kepandaian yang paling diandalkan oleh keluarga Ong, yaitu ilmu pedang Hwee-liong-kiamhoat dimainkan oleh pedang di tangan kanan, dan dibantu dengan permainan hui-angkin di tangan kiri!

   Kepandaian inilah yang membuat Ong Kang Ek diberi julukan Pedang-dewa-tanpa-tandingan! Dan ternyata bahwa anak gadisnya tak kalah lihainya ketika mainkan ilmu hebat ini. Pandangan mata para tamu menjadi silau karena sinar pedang yang putih perak itu kini diselang seling warna merah dara sabuk sutera itu. Diam-diam para anak muda leletkan lidah karena ngeri dan kagum. Ternyata bunga yang indah jelita itu mengandung duri yang tajam dan berbahaya hingga tak mudahlah agaknya untuk memetiknya. Setelah Giok Cu hentikan permainannya, maka riuh rendah suara tepuk tangan dan sorak sorai yang memenuhi udara taman itu. Bahkan para locianpwe yang alim-alim itu juga ikut bertepuk tangan tanda memuji. Ong Kang Ek segera naik ke panggung dan menjura keempat penjuru sambil berkata:

   "Cuwi sekalian yang mulia. Harap maafkan kebodohan anakku yang kedangkalan ilmu pedangnya. Sekarang kami persilahkan para saudara yang budiman untuk meramaikan pesta ini dengan memberi pertunjukan silat guna menambah pengertian anakku dan juga untuk meluaskan pengalaman kita bersama."

   Ucapan ini walaupun dikeluarkan di hadapan semua tamu, namun semua orang mengerti bahwa yang dimaksud oleh tuan rumah ialah golongan para pemuda yang duduk di sebelah kiri. Setelah Ong Kang Ek berkata demikian dari golongan ini berdirilah tiga orang pemuda yang cakap dan gagah. Agaknya mereka ini hendak mencoba-coba. Tapi sebelum mereka melangkah maju, tiba-tiba Kam Ciu mendahului berdiri dan dengan suara nyaring keras tapi bernada menghormati ia berkata:

   "Maaf, Ong lopeh, bolehkah siauwtit gunakan hak sebagai tamu untuk majukan usul?"

   Heranlah semua tamu, tapi lebih-lebih lagi Ong Kang Ek sendiri dan Giok Cu. Apakah kehendak pemuda kutu buku ini dan apakah usulnya? Demikian mereka pikir sambil memandang tajam.

   "Terima kasih atas perhatianmu, Goan Hiantit. Tentu saja segala usul yang baik diterima. Coba katakan, apakah usulmu itu?"

   Suara Ong Kang Ek mengandung teguran, karena ia merasa kurang senang dan khawatir kalau-kalau putera orang aneh ini akan bertindak ganjil seperti ayahnya. Kam Ciu menjura lagi lalu berkata, suaranya keras dan nyaring.

   "Biarpun siauwit tidak becus main silat dan tidak mengerti akan ketajaman pedang, namun melihat

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Pek I Lihiap (Cerita Lepas)

   Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   permainan Ong siocia tadi, mudah saja diterka betapa tinggi ilmu pedang Ong siocia. Kepandaian setinggi ini harus dihargai, juga harus diingat kedudukan Ong siocia sebagai seorang gadis dan puteri tuan rumah yang kita hormati, maka tidak pantaslah kiranya kalau Ong siocia harus bermain silat dengan segala orang yang masih rendah tingkat ilmu silatnya! Karena itu, siauwtit usulkan agar mereka yang hendak mempertunjukkan ilmu silatnya, bermain dulu dengan sesama tamu kemudian setelah ketahuan siapa yang terkuat dan yang terlihai, barulah yang terkuat ini menghadapi Ong siocia mengadu kepandaian. Bukankah ini berarti menghormati tuan rumah, terutama Ong siocia?"

   Ucapan ini walaupun agak merendahkan mereka yang hendak menguji kepandaian, tapi tak dapat disangkal lagi bersifat meringankan tugas Giok Cu dan juga mengangkat gadis itu ke tempat tinggi. Oleh karenanya, maka diam-diam Ong Kang Ek kagum akan kecerdikan orang itu dan dengan ucapan terima kasih ia menerima baik usul itu. Para locian-pwe juga menyetujui usul ini hingga Giok Cu lalu disuruh turun oleh ayahnya. Gadis itu lalu loncat turun dan pergi duduk di bagian tamu wanita yang terdiri dari ahli-ahli silat pula itu. Dengan puji dan kagum Giok Cu diam-diam merasa berterima kasih kepada Kam Ciu. Bukankah pemuda itu semata-mata membelanya? Sayang pemuda itu tidak mengerti ilmu silat, pikirnya.

   Empat orang pemuda yang tadinya mengharapkan dapat menghadapi Giok Cu, walaupun dengan kemungkinan dijatuhkan, merasa kecewa dan mereka memandang ke arah Kam Ciu dengan penasaran. Tapi yang dipandang pura-pura tidak tahu, lalu duduk di bangkunya dengan tenang. Seorang pemuda lain yang berpakaian biru muda dan berwajah tampan serta gerak geriknya gesit memandang Kam Ciu dengan curiga dan kagum. Ia adalah seorang tamu yang baru saja datang. Tak seorangpun menyambutnya karena pada saat itu ia datang semua orang sedang mengagum permainan pedang Giok Cu. Tapi tanpa perdulikan segala upacara penyambutan, pemuda itu terus saja memilih kursi kosong di sebelah kanan Kam Ciu yang melihat kedatangannya dan mengangguk serta tersenyum ramah padanya.

   

   Seorang di antara keempat pemuda gagah itu melangkah maju dan dengan tindakan gagah menghampiri panggung. Kemudian ia berloncat dengan gerakan Hwee-niau-coan-in atau Burung terbang terjang mega dan tubuhnya melayang bagaikan seekor burung ke atas panggung di mana ia turun dan berdiri dengan tegak. Gerak loncat indah ini disambut dengan tepuk tangan memuji. Pemuda ini berpakaian putih dan wajahnya tampan. Belum habis tepuk tangan pemuda kedua yang bertubuh agak gemuk loncat menyusul dengan gerakan Cian-liong-seng-thian atau Naga-naik-ke langit. Gerakannya tak kalah gesitnya dengan pemuda pertama dan biarpun tubuhnya agak gemuk, namun wajahnya cukup tampan dan gagah. Kedua orang pemuda di atas panggung itu saling menghormat dengan tertawa karena mereka ini sesungguhnya teman sekolah yang telah kenal baik.

   

   "Saudara Bu mari kita main-main sebenar,"

   Kata yang gemuk.

   

   "Baik, saudara Oey, tapi karena kita harus menghadapi Ong siocia dengan senjata mari kita main-main dengan gunakan senjata pula.

   

   Keduanya lalu menghampiri pojok panggung untuk taruh baju luaur yang mereka lepas dan sambil bertindak ke tengah panggung mereka keduanya mencabut pedang dari sarung pedang yang tergantung di pinggang. Tanpa banyak upacara lagi si gemuk segera kirim serangan dengan pedangnya. Nyata gerakannya gesit dan berat dan para ahli tahu bahwa pemuda gemuk itu mainkan ilmu pedang Liang Gie Kiamhoat dari cabang Butong. Si baju putih tidak kalah gesitnya. Ia menangkis dan balas menyerang. Ilmu pedangnya adalah Tat Mo-kiamhoat yang telah banyak berubah hingga kehilangan keasliannya dan perubahan gerakannya tidak sehebat Tat Mo kiamhoat asli. Namun permainannya cukup kuat untuk mengimbangi permainan si gemuk. Mereka bertempur dengan ramai dan seimbang. Masing-masing tidak berlaku sungkan lagi dan kerahkan tenaga mereka keluarkan untuk dapat merobohkan lawan.

   Rasa persaudaraan lenyap yang ada keinginan untuk menang, untuk dapat menghadapi gadis cantik jelita itu. Dalam pertempuran yang keadaan atau tingkat kepandaiannya seimbang bagaimanakah dapat berlaku mengalah? Mengalah berarti kalau yang berarti pula terluka atau mungkin terbinasa! Karena inilah mereka terlibat dalam pertempuran mati-matian tusukan dan sabotan-sabotan bukanlah merupakan permainan biasa lagi karena digerakan oleh hawa maut! Semua penonton memandang dengan dada berdebar, juga Ong Kang Ek timbul rasa menyesal. Bagaimana kalau seorang di antara mereka mendapat luka berat? Ah, mengapa ia adakan sayembara gila ini? Terang bahwa kedua pemuda itu masih rendah sekali tingkat kepandaiannya dan tak mungkin dapat melawan Giok Cu. Kini kedua pemuda itu saling serang dengan kawan sendiri hanya untuk memperebutkan kemungkinan menghadapi Giok Cu.

   Ah, gila! Sungguh gila! Tapi, sebaliknya dari pada perasaan hati ayahnya Giok Cu memandang pertempuran itu dengan gembira, pipinya kemerah-merahan, sinar matanya memancarkan seri kebanggaan. Mereka itu bertempur untuk dia! Berkelahi mati-matian untuk memperebutkan dia! Pada saat keadaan sangat berbahaya, yakni si gemuk menyerang dengan gerakan Hwee-eng-bok-tho atau Elang terbang sambar kelinci, tangan kanan yang memegang pedang dipakai menusuk dan tangan kiri mencengkeram ke arah dada si baju putih, tiba-tiba si baju putih terpeleset ketika hendak berkelit dan ia roboh terguling. Tapi dalam tergulingnya ia masih sempat tusukkan pedangnya dari bawah ke arah perut si gemuk! Bahaya tak dapat dielakkan lagi dan agaknya kedua bilang pedang itu akan menembus tubuh masing-masing!

   Tapi pada saat itu dari ruang tampak pemuda berkelebatlah bayangan biru ke atas panggung dengan gerakan Koay-liong-hoan atau Siluman naga berjumpalitan sebelum kedua kaki bayangan itu turun ke lantai panggung tampak terayun sebuah benda hitam yang meluncur dan menghantam ujung pedang si gemuk sedangkan secepat kilat tangan kanannya bergerak menotok pundak si baju putih hingga pemuda baju putih itu merasa tangannya lemas dan pedangnya jatuh berketontangan berbareng dengan jatuhnya pedang si gemuk yang terhantam piauw bayangan itu. Semua orang terkejut, kecuali beberapa orang cianpwe dan Ong Kang Ek sendiri yang merasa kagum melihat ketangkasan orang itu. Ketika penolong itu sudah tu run dan berdiri tegak, ternyata ia bukanlah adalah pemuda baju biru yang duduk di kanan Kam Ciu tadi.

   

   "Sungguh sayang kalau dua orang kawan menjadi lawan,"

   Kata pemuda itu sambil tersenyum manis hingga wajahnya yang tampan itu hampir menyerupai seorang wanita cantik. Ong Kang Ek heran melihat pemuda itu karena ia merasa tidak kenal dengan tamunya ini, pula ia tidak pernah melihat kedatangan tamu ini! Tentu saja tidak berani bertanya, hanya memandang dengan kagum dan diam-diam menjaga segala kemungkinan. Kedua pemuda she Bu dan Oey yang dipisah itu pungut pedang mereka dengan wajah merah. Mereka merasa malu dan penasaran sekali, karena mereka merasa terhina oleh pemuda baju biru ini.

   

   "Tuan kau sungguh lancang dan tak memandang orang. Apa perlunya kau ikut campur kami?"

   Tanya si gemuk. Pemuda baju biru itu tersenyum, biarpun ia mendongkol juga mendengar kata-kata kasar ini.

   "Eh, jangan buru-buru marah, saudara. Aku tidak ikut campur, hanya sayang kalau perutmu tertembus pedang karena demikianlah akan terjadi kalau tidak buru-buru memisah."

   

   "Kau menghina orang! Saudara Oey bukanlah orang yang sedemikian mudah termakan pedang! Kau ini orang dari mana tidak kenal aturan? Apakah kau hendak mengacau pesta ini dan mengandalkan kepandaianmu sendiri? Pemuda baju putih membela si gemuk. Si baju biru tertawa geli.

   "Nah, begini baru baik! Kau bela saudara gemuk ini yang baru saja hendak kau tusuk perutnya, sedangkan lehermu sendiri hampir tertembus pedangnya.

   

   "Tuan siapakah kau? Dan apa maksudmu menghentikan permainan kami?"

   Baju biru itu tidak menjawab, tapi matanya mencari tuan rumah, setelah berbtemu ia menghadapi Ong Kang Ek sambil menjura dalam, lalu berkata:

   

   "Ong lo-enghiong, mohon beribu maaf jika saya berani menganggu permainan ini. karena tadi saya melihat seorang tamu yang terhormat maju mengajukan usul, maka perkenankanlah saya mengajukan usul pula. Saya merasa tidak setuju kalau diadakan permainan silat dengan senjata tajam karena biarpun sifatnya hanya main-main, namun permainan senjata tajam yang dilakukan oleh orang-orang bukan ahli adalah berbahaya sekali dan mungkin mengakibatkan kecelakaan hebat. Jika kiranya lo-enghiong tidak keberatan, perkenankanlah saya menjadi batu ujian bagi mereka ini. Biarlah saya lawan mereka dan bilamana ada yang dapat menangkan saya barulah dihadapkan Ong siocia. Bagaimana pendapatmu, Ong lo-enghiong?"

   Ong Kang Ek telah merasa suka dan kagum kepada pemuda yang selain tampan dan pandai bicara juga kepandaian silatnya cukup tinggi in. Dia inikah jodoh anakku? Demikian pikirnya.

   "Aku memang setuju kalau tidak sampai terjadi peristiwa berdarah,"

   Katanya perlahan. Tapi kedua pemuda di atas panggung itu merasa marah dan mendongkol sekali. Terang-terangan baju biru ini menghina dan memandang rendah mereka. Mereka disebut bukan ahli! Juga dua orang pemuda lain yang masih berada di bawah panggung merasa marah sekali. Bagaikan menerima komando, mereka loncat naik dan berkata kepada dua orang yang sudah bertempur itu.

   "Saudara-saudara yang sudah lelah turunlah, biar aku yang menghadapi dia!"

   Berkata seorang dari pada kedua pemuda yang baru naik. Dia ini bersenjata golok besar yang tajam.

   

   "Tidak, biarkan siauwie menghadapinya lebih dulu!"

   Bentak pemuda kedua yang bersenjata siangkiam atau sepasang pedang. Melihat mereka ini si baju biru tersenyum dan ia pergi ke pinggir panggung dan menjenguk ke bawah lalu berkata kepada para muda yang duduk di sana:

   "Cuwi, masih ada lagikah yang hendak mengadu kepandaian. Kalau ada, silahkan naik sekalian agar urusan lekas selesai!"

   Tapi tak seorangpun menjawab, mereka memandang dengan ingin tahu bagaimana jadinya urusan tegang ini. Juga Kam Ciu kelihatan berseri dan tertarik sekali hingga anak muda sastrawan ini lupa minum arak dalam cawannya yang sejak tadi dipegangnya di depan mulut! Kemudian si baju biru menghadapi keempat pemuda yang berdiri di atas panggung. Dua orang pertama masih belum turun karena mereka masih penasaran.

   

   "Saudara-saudara,"

   Kata si baju biru.

   "terus terang saja kunyatakan bahwa kepandaian kalian masih belum dapat mengimbangi kiam-han Ong siocia. Biarpun kalian berempat maju berbareng kerasa kalian masih tak mampu memenangkan dia. Kalau kalian tidak percaya, silahkan tanya kepada para locianpwe yang terhormat dan duduk di sana itu."

   "Jangan banyak cakap. Aku naik bukan tidak melawan siapa juga, tapi hendak merubah kepandaianmu, kau orang sombong ini!"

   Kata pemuda bergolok. Si baju biru menghela napas.

   "Aah, kalian masih penasaran. Biarlah sekarang diatur begini. Kalian berempat boleh baju bersama dan mengeroyokku. Kalau aku sampai kalah, nah baru kalian boleh satu demi satu merasai ketajaman pedang Ong siocia. Bagaimana?"

   

   "Sombong!"

   Teriak si gemuk sambil pegang pedangnya dengan erat.

   "Terangkan namamu, hei orang sombong!"

   

   "Aku bernama Souw Thian In."jawabnya sederhana. Nah, bersiaplah kalian, mari kita bermain-main sebentar!"

   

   "Cabut pedangmu!"

   Teriak pemuda yang bersenjata siang-kiam. Souw Thian In menghadap ke arah Ong Kang Ek yang kini mendekat dan menjura kepada orang tua itu:

   "Ong Lo-enghiong bolehkah saya pinjam sebatang mauwpit (pensil bulu) yang agak besar dan sekalian tinta baknya?"

   Ong Kang Ek segera menyuruh seorang pelayan mengambilkan barang yang dimaksud itu, lalu ia sendiri loncat naik ke panggung.

   "Souw sicu, kami telah menyaksikan kepandaianmu. Perlukah pertempuran yang tidak ada artinya ini dilanjutkan? Aku orang tua telah merasa kecewa dan menyesal akan gara-gara sendiri!"

   

   "Ong Lo-enghiong, jangan cemas. Bukankah saat ini adalah waktu yang baik dan gembira? Nah, biarlah saja yang muda dan bodoh ikut meramaikan pesta ini dengan keempat saudara ini. Kita hanya akan main-main, bukan demikian, cuwi?"

   Kata-kata terakhir ini ditujukan kepada keempat pemuda yang berdiri di depannya dengan muka merah. Pemuda baju putih yang agaknya lebih dapat kendalikan diri berkata kepada Ong Kang Ek.

   "Ong Lo-enghiong. Benar kata-kata tuan Souw ini, kami hanya main-main. Memang kami berempat yang tidak punya guna ini bukan tandingan puterimu yang terhormat, maka biarlah kami bergembira dengan minta pelajaran dari tuan Souw yang gagah perkasa ini."

   Ucapan merenduk ini mengandung ancaman hebat. Ong Kang Ek menghela napas dan loncat turun dari panggung sedangkan Souw Thian In terima sebatang mauwpit dan secawan tinta bak dari seorang pelayan. Sambil pegang pit dengan tangan kanan sedangkan cawan tinta dengan tangan kiri, ia berkata kepada keempat lawannya:

   

   "Nah, marilah kita mulai, kawan-kawan,"

   Katanya sambil tersenyum.

   

   "Mana senjatamu?"

   Tanya si gemuk. Souw Thian In angkat tangan kanan-kiri yang pegang mauwpit dan bak itu sambil menjawab sederhana:

   "Inilah senjataku."

   

   "Apa??"

   Keempat pemuda itu bertanya hampir berbareng. Mereka merasa dipermainkan dan kemarahan mereka memuncak, tapi si pemuda baju putih masih dapat menekan perasaannya dan berkata:

   

   "Orang she Souw! Jangan kau terlalu sombong dan menghina kami. Masak kau hendak hadapi kami hanya dengan alat tulis itu di tanganmu?"

   

   "Cuwi, sekarang aku telah terlibat di atas panggung ini hingga mau tak mau aku harus penuhi permintaan Ong Lo-enghiong yang menghendaki agar pemenang menghadapi Ong siocia. Kalau tidak salah, tadi ada yang menceritakan padaku bahwa Ong siocia hanya mau melayani main senjata dengan orang yang pandai menulis membaca! Na, biarlah dengan kesempatan ini aku perlihatkan pula bahwa aku tidak buta huruf! Sambil main-main dengan cuwi aku akan menuliskan keempat huruf Tung-Si-Nam-Pay (Timur-Barat-Selatan-Utara) di baju saudara-saudara."

   Kata-kata ini sungguh-sungguh merupakan kejumawaan yang jarang bandingannya, hingga membuat seorang jago tua yang duduk di kalangan locian-pwee menjadi tak senang juga. Ia ini adalah seorang cabang atas dari cabang Kwie-san seorang pertapa yang bernama Hoan Tin-cu dan yang terkenal karena ilmu pedangnya Kwie san kiamhoat. Suaranya terdengar kecil tinggi dan nyaring ketika ia berkata:

   "Bagus, biar aku menjadi saksi. Kalau Souw sicu dapat penuhi janjinya tadi, aku kagum sekali. Tapi kalau tidak, dia harus main-main dengan aku barang sepuluh jurus!"

   Lain-lain locianpowe terkejut mendengar ini. Mereka sudah kenal akan tabiat pertapa ini yang terkenal jujur dan terus terang, tapi tak suka mengalah dalam hal adu pedang! Tapi Souw Thian In berlaku tenang saja, sambil menjura ia menjawab,

   "Terima kasih banyak, Totiang. Mudah-mudahan saja saya akan dapat penuhi janji dan tak usah rasakan kerasnya tanganmu!"

   Kemudian dengan tenang, ia menghadapi keempat lawannya dan bertanya:

   "Tidak lekas turun tangan, kalian tunggu apa lagi?"

   Keempat orang yang sudah merah itu makin mendongkol dan dengan berbareng mereka maju menerjang. Senjata-senjata mereka berkelebat ke arah tubuh Souw Thian In bagaikan air hujan, terutama golok dan sepasang siangkiam dari dua pemud aterakhir bergerak sangat cepat dan lihai.

   Para tamu terkejut, termasuk juga para locianpwe yang maklum betapa berbahayanya dikeroyok empat orang pemuda yang bersenjata tajam dan yang tidak lemah pula kepandaiannya itu. Hanya Kam Ciu yang masih tersenyum dan melihat pertempuran itu dengan mata bersinar hingga membuat seraong pemuda yang gagah dan duduk di sampingnya menjadi gemas berbareng geli karena ia maklum bahwa pemuda berpakaian anak sekolah itu masih tersenyum-senyum lantaran tidak mengerti dan tidak tahu betapa berbahaya dan terancam keadaan Souw Thian In yang dikeroyok itu. Tapi tiba-tiba ia mendengar seruan heran dan kagum. Ia cepat memandang lagi ke arah panggung dan heran! Thian In tak tampak pula berada di atas panggung y ang tampak hanya keempat orang itu yang masih saja putar-putar senjata dan tusuk sana-sini.

   Di antara bayangan tubuh dan senjata mereka, tampaklah bayangan biru berkelebat demikian cepat gerakannya hingga tampak yang di atas panggung bukanlah empat orang pemuda gagah mengeroyok seorang tapi bagaikan empat orang kanak-kanan bermain-main dan mengejar-ngejar seekor kupu-kupu biru yang gesit dan liar! Kalau penonton merasa kagum dan heran melihat pertunjukan ilmu ringankan tubuh yang begitu mahirnya, adalah keempat orang pemuda itu merasa terkejut dan bingung sekali. Kadang-kadang mereka melihat lawan mereka berdiri sambil tersenyum, tapi pada saat mereka menubruk maju sambil melakukan serangan, tahu-tahu pemuda baju biru itu telah lenyap dari pandangan mata dan entah dengan cara bagaimana telah berada di belakang mereka pula! Demikianlah Souw Thian In permainkan keempat lawannya hingga mereka menjadi pusing dan pandangan mata mereka berkunang-kunang.

   Hal ini mengakibatkan kendornya permainan silat mereka dan kesempatan baik itu digunakan oleh Thian In untuk maju mendesak. Ia hanya kirim serangan-serangan dengan kedua kakinya yang menentang ke sana kemari, tapi serangan ini cukup hebat. Keempat lawannya merasa angin keras terbawa tendangan itu hingga mereka kaget sekali, tapi ternyata bahwa serangan tendangan itu hanya gertakan belaka. Ketika empat orang itu berkelit, maka Thian In bergerak maju cepat dengan kerjakan mauwpit di tangan kanannya yang sudah dicelupkan dalam tinta bak. Tiap kali ia gerakkan mauwpitnya, tentu mauwpit itu dengan cepat mencolek baju lawan di bagian dada hingga dalam beberapa kali serang saja dada keempat orang itu semua telah terdapat tanda-tanda hitam! Souw Thiak In percepat gerakannya dan ia menyerang lagi beberapa kali. Kemudian ia loncat mundur sambil berseru:

   "Saudara-saudara tahan!!"

   Keempat lawannya yang telah mandi keringat dan kini berdiri dengan terengah-engah segera tunda senjata mereka, si gemuk yang paling payah masih mencoba menggertak:

   

   "Kau mengaku kalah?"

   Tapi gertakannya ini disambut suara tertawa riuh rendah dari penonton. Se gemuk heran dan memandang kepada seorang kawannya. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa di dada kawannya yang berbaju putih itu terdapat tulisan hitam yakni sebuah huruf "Barat."

   Demikianpun di dada kedua pemuda yang bersenjata golok dan siangkiam tertulis huruf "Selatan"

   Dan "Utara". Maka menggigillah tubuh si gemuk dan ia hanya dapat terbelalak memandang ketiga kawannya yang kesemuanya saling pandang dengan wajah pucat. Pemuda yang bersenjata golok segera lempar goloknya dan dengan menangkapkan tangan di dada ia memberi hormat:

   

   "Souw enghiong, sekarang ternyata oleh kami bahwa sikapmu yang memandang rendah tadi memang beralasan. Kami berempat masih jauh dan rendah sekali kepandaian kami dan tidak pantas dibandingkan dengan kepandaian Ong siocia atau dengan kepandaianmu. Kami mengaku kalah dan terima kasih atas pelajaran yang kau berikan kepada kami."

   Ketiga kawannya juga memberi hormat dengan muka panas merah. Souw Thian In balas hormat mereka dengan berkata merendah:

   

   "Cuwi harap maafkan banyak-banyak atas sikapku yang boleh jadi kalian anggap sombong tadi. Sebenarnya masih lebih baik terjatuh dalam tanganku dari pada di tangan Ong siocia, bukan?"

   

   Keempat orang itu setelah saling pandang lalu mengerti akan maksud Thian In. Memang, kalau sampai kalah da lam tangan Ong siocia, karena betapapun juga mereka adalah laki-laki. Kalah dalam tangan seorang pemuda segagah Thian In bukanlah hal yang sangat memalukan. Maka mereka lalu menjura kembali dan rasa dendam dalam hati mereka lenyap. Langsung mereka minta diri dari tuan rumah yang segera menahan mereka dan memohon agar mereka suka duduk kembali. Terpaksa keempat pemuda itu lalu duduk kembali karena sebenarnya merekapun ingin sekali menonton pertandingan antara Thian In dan Giok Cu. Ong Kang Ek melihat kehebatan ilmu silat Thian In, merasa girang dan kagum karena ia telah merasa suka sekali kepada pemuda itu. Juga Giok Cu merasa tertarik oleh pemuda yang tampan dan gagah itu. Ong Kang Ek lalu naik ke panggung dan sambil tertawa berkata kepada Thian In:

   
Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   
"Souw sicu sungguh gagah perkasa. Bolehkah aku tahu nama gurumu yang mulia?"

   

   "Siauwtit mempelajari sedikit ilmu dari Gak Bong Tosu."

   

   Ong Kang Ek mengangguk-anggukkan kepala karena telah mendengar akan nama pendeta yang berilmu tinggi itu. Makin tertarik hatinya terhadap pemuda itu. Pada saat itu Ong Kang Ek dan Thian In mendengar angin loncatan orang dan ketika mereka cepat memandang, ternyata di atas panggung telah berdiri Hoan Tia-cu, tokoh dari Kwie-san. Orang tua ini bertubuh tinggi kurus dengan wajahpucat dan kelihatan lemah. Tapi biarpun ia telah berusia sedikitnya enam puluh tahun rambutnya masih hitam dan mukanya licin dan tak terhias kumis maupun jenggot. Tubuhnya yang agak lurus dan sinar matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli silat tinggi. Melihat pemuda baju biru itu berpaling dan memandangnya. Hoan Tin Cu tertawa dan berkata dengan suara memuji:

   "Souw sicu sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali dan insaf bahwa kami golongan tua sungguh tertinggal jauh olehpara muda. Tapi setelah mendengar bahwa kau adalah murid dari Gak Bong tosu, keherananku berkurang banyak. Sudah lama aku mendengar akan ilmu silat Gak Bong Tosu yang terkenal sebagai ilmu silat kelas satu masa kini. Biarlah aku melupakan usiaku yang tua dan tubuhku yang lemah dan minta Souw sicu suka bermurah hati memberi sedikit petunjuk. Ingin sekali aku menjajal Kwie san kiamhwat pada seorang murid dari Gak Bong Tosu yang lihai!"

   Mendengar disebutnya Kwie-san tahulah Thian In bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang tokoh Kwie-San-Pay.

   Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa pendiri Kwie-San-Pay adalah lima orang yang berilmu silat tinggi dan bahwa mereka itu bertabiat aneh tapi jujur hingga disebut Kwie-ian-ngokway atau Lima orang aneh dari Kwie-san. Terutama sekali mereka itu tidak mau kalah da lam hal ilmu silat dan selalu menganggap bahwa ilmu silat cabang mereka adalah yang paling sempurna! Pernah dulu tiga orang tokoh dari Kwie-san sengaja naik ke tempat kediamman Gak Bong Tosu, khusus untuk mencoba kepandaian silat tosu itu. Tapi ketiga-tiganya kalah jauh terhadap Gak Bong Tosu, dan mereka pulang dengan penasaran, karena biarpun telah dikalahkan, mereka tetap tidak mau menerima kalah! Thian In maklum bahwa kini setelah ia bertemu dengan seorang tokoh dari Kwie-san, mau tak mau ia harus pertahankan nama suhunya. Ia segera menjura kepada pendeta kurus kering itu.

   

   "Totiang aku yang sudah pernah mendengar akan kelihaian Kwie-San-Pay, tapi di antara kelima paycu, tidak tahu Totiang ini yang ke berapakah?"

   Hoan Tin-cu keluarkan suara jengekan.

   "Aku bukanlah seorang di antara ketiga sutee ku yang pernah berjumpa dengan suhumu. Di bukit kami masih ada twasuhengku."

   Dengan jawaban ini mengertilah Thian In bahwa dia berhadapan dengan tokoh kedua dari Kwie-san!

   

   "Kalau begitu bukankah Totiang ini Hoan Tin-cu Totiang yang bergelar Liok-chiu-sian Si-Dewa-tangan-enam? Sungguh bahagia aku yang muda dapat berjumpa dengan Totiang yang telah membuat nama besar! Tapi apa maksud Totiang untuk menjajal Kiam-hwat mu yang sudah terkenal itu kepada seorang muda seperti aku? Harap Totiang suka pikir-pikir kembali. Kalau Totiang dapat kalahkan aku hal ini tidak menguntungkan Totiang juga tak berarti apa-apa. Tapi sebalinya kalau sam pai kiamhwatmu kalah olehku, bukankah hal ini akan membuat Totiang merasa malu dan aku merasa tidak hati saja?"

   Ucapan ini biarpun kelihatan rendah dan halus namun juga mengandung ejekan dan memandang rendah kepada Kwie-san-kiamhwat.

   "Souw sicu! Kepandaianmu sudah begitu hebat, apa pula kau adalah murid Gak Bong maka biarpun seandainya aku jatuh dalam tanganmu aku takkan merasa malu bahkan merasa terhormat. Tentu saja kalau kau mampu jatuhkan aku!"

   Ong Kang Ek merasa tidak enak sekali menghadapi adu mulut ini maka buru-buru ia berkata:

   "Hoan Totiang dan Souw Sicu yang terhormat. Saya tidak ada perlunya hal ini dilanjutkan, karena membikin kita semua tidak enak saja. Memang maksud Hoan Totiang baik, yakni untuk menambah pemandangan kita dan juga untuk meramaikan pesta ini tapi hendaknya diingat bahwa Souw Sicu belum bertanding dengan puteriku, hingga kalau dia harus bermain-main dulu dengan Totiang, maka tentu hal ini kurang adil, apalagi berusan Souw Sicu telah melayani saudara-saudara yang lain."

   Hoan Tin-cu tertawa bergelak-gelak.

   "Aku orang tua tidak tahu diri memang menjadi gangguan saja. Tadi aku minta kepada Souw Sicu, tapi ternyata kau ingin lekas-lekas melihat pemuda ini mengadu kepandaian dengan anakmu. Biarlah aku mundur saja juga tentu saja Souw Sicu lebih senang bertanding dengan Ong siocia dari pada dengan aku si tua bangka!"

   Bukan main panas hati Thian In mendengar olok-olokan ini. Ia menghadapi Ong Kang Ek dan menjura:

   "Ong Lo-enghiong, perkenankanlah kiranya siauwtit melayani Hoa Totiang barang sepuluh jurus sebagai tanda hormat kepadanya dan juga untuk menggembirakan pesta ini."

   Terpaksa Ong Kang Ek mengangguk dan tinggalkan panggung dengan hati cemas karena ia tahu betapa lihainya pendeta tinggi kurus itu.

   

   "Ha, ha! Harimau muda yang gagah berani."

   Sikapmu ini membuat aku makin kagum, anak muda. Keluarkanlah pedangmu dan mari kita main-main sebentar agar kurasai sampai di mana kelihaian ilmu pedang turunan Gak Bong! Jangan kau takut, aku tak begitu kejam untuk mencelakai seorang muda. Kata-kata ini sangat memandang rendah hingga tanpa banyak cakap lagi Souw Thian In lolos pedangnya dari pinggang. Sementara itu Hoan Sin-cu juga telah cabut pedang dari punggungnya dan dengan jumawa sekali ia gerak-gerakkan pedang itu di tangan kanan hingga bersuitan mendatangkan angin dingin. Thian In maklum akan kelihaian orang tua itu, maka ia berdiri masang kuda-kuda dengan tenang dan waspada. Kemudian ia berkata halus:

   

   "Hoan Totiang kau mulailah dulu."

   Setelah perdengarkan suara tawa yang nyaring, Hoan Tin-cu segera gerakan pedangnya mengirim serangan pertama. Gerakan pedangnya memang cepat sekali, ditambah pula dengan gaya-gaya palsu dengan jalan putar-putar dan obat abitkan pedang itu bagaikan permainan pedang yang kacau, tapi yang sesungguhnya merupakan rangkaian serangan berbahaya.

   Tapi Thian In biarpun masih muda, namun ia tergembleng hebat oleh gurunya hingga ia dapat berlaku tenang sekali dan tidak bingung karena gerak-gerak palsu itu. Dengan gerakan Hui-pau-liu-cwan atau Air terjun bertebaran, ia dapat menangkis serangan Hoan Tin-cu dengan mudah sekali. Hoan Tin-cu terkejut juga melihat serangannya dapat dipunahkan demikian mudah, lebih-lebih ketika ia rasakan betapa tangkisan pedang. Thian In membuat tangannya tergetar, ia menjadi hati-hati dan berbareng penasaran sekali. Ia perdengarkan siulan keras dan tahu-tahu ia robah gerakan pedangnya. Kini ia mainkan tipu-tipu terlihai dari Kwie-sankiamhwat. Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar putih berkeredupan yang mengurung Thian In. Untuk sesaat Thian In terdesak dan ia merasa betapa Kwie-san-kiamhwat benar-benar lihai, cepat gerakannya dan kuat tenaga serangannya.

   Namun ia telah mendapat petunjuk istimewa dari Gak Bong Tosu bagaimana harus menghadapi ilmu pedang Kwie-san maka dengan cepat Thian In lalu mainkan gerakan Dinding besi membendung banjir. Pedangnya diputar sedemikian cepatnya hingga merupakan sinar bulat besar yang menjaga dan melindungi seluruh tubuhnya hingga jangankan senjata lawan, bahkan air hujanpun agaknya sukar untuk menembus dinding kuat yang terbuat dari mata pedangnya itu! Beberapa kali ujung pedang Hoan Tian-cu hendak menerobos masuk, tapi selalu dapat terpental keluar kembali karena tangkisan pedang Thian In. Melihat betapa serangan-serangannya tak berhasil sedangkan pemuda itu hanya membela diri saja dan belum balas menyerang, Hoan Tin cu merasa penasaran dan marah karena ia anggap Thian In mengalah yang berarti menghina dan memandang rendah: Maka ia berseru keras:

   

   "Souw Sicu, balaslah menyerang! Jangan takut aku takkan terluka oleh pedangmu. Sambil tangkis sebuah tusukan, Thian In menjawab:

   "Baik, Totiang, aku sudah terima pengajaranmu."

   Sekarang silahkan menerima pertunjukanku. Awas pedang!"

   Berbareng dengan teriakan ini tiba-tiba Thian In gerakkan pedangnya dengan tipu La-liong-sin yauw atau Naga-emas-mengulet. Tiba-tiba saja Thian In membuat gerakkan memutar dan secepat kilat pedangnya membalik dan meluncur dalam serangan berbahaya. Hoan Tian Cu yang sudah siap sedia tak menjadi gentar, bahkan ia berteriak:

   "Bagus!"

   Sambil tersenyum dan gerakkan pedangnya menangkis, Thian In tarik kembali senjatanya dan membuat serangan baru yang tidak kurang berbahaya. Hoan Tian Cu tak menjadi gugup dan bergerak cepat dalam menangkis dan balas menyerang dengan keluarkan tipu-tipu yang paling diandalkan, tapi keadaan mereka seimbang. Thian In menang gesit dan menang tenaga, tapi kalah ulet dan kalah tenang. Tiba-tiba terdengar tepuk tangan memuji. Semua merasa heran dan memandang karena dalam keadaan setegang itu tak seorangpun berani menganggu dengan suara maupun tepuk tangan. Ternyata yang bertepuk tangan itu adalah Kam Ciu.

   Pemuda sastrawan ini yang menganggap permainan kedua orang itu sangat menarik agaknya tidak tahu sama sekali bahwa permainan yang indah dipandang itu mengandung ancaman-ancaman maut bagi kedua belah pihak! Sambil bertepuk tangan pemuda itu memandang pertempuran dengan mata bersinar, sinar dan mulut tersenyum-senyum. Sikapnya bagaikan seorang anak menonton pertunjukkan tari- tarian! Orang-orang di dekatnya terpengaruh oleh kegembiraan pemuda itu hingga merekapun ikut gembira, untuk sesaat melupakan ancaman bahaya bagi yang bertempur. Tapi tak lama kemudian melihat betapa kedua orang itu berputar-putar dalam pertarungan yang semakin sengit, mereka diam lagi dan memandang dengan hati diliputi penuh ketegangan. Kini hanya Kam Ciu saja yang masih merasa gembira. Ia sabar-sabar bertepuk tangan dan berteriak-teriak!

   "Lihat, lihat... Aduh bagusnya tarian losuhu itu seperti seekor ular!"

   Para ahli silat diam-diam merasa geli mendengar ini, lebih-lebih ketika Kam Ciu berteriak lagi: "Permainan pedang mereka mengingatkan aku akan pertempuran ular dan burung garuda. Pernah kumelihatnya! Tapi ketika burung terbang dan menyambar, ularpun kalah!"

   Tak seorangpun perdulikan ocehannya itu walaupun kata-katanya cukup keras. Sesaat kemudian keadaan pertempuran berubah.

   Agaknya Thian In merobah gerakannya. Ia gunakan ginkang atau ilmu ringankan tubuh yang hebat dan yang tadi telah dipertunjukkan ketika melawan empat pemuda. Tubuhnya kin berkelebat ke kanan-kiri dan kadang-kadang berputar-putar lalu loncat ke atas dan menyerang dari belakang dan dari atas. Terpaksa Hoan Tin-cu mengikuti gerakan-gerakan lawan yang gesit bagaikan burung itu! Payah ia putar-putarkan, makin cepat Thian In berputar di lingkungan luar makin cepat pulalah ia harus berputaran hingga sebentar saja ia merasa pusing dan pandangan matanya kabur: Hoan Tin Cu merasa sibuk menghadapi serangan-serangan Thian In yang tak terduga dan yang dilancarkan dari segenap penjuru, bahkan sering kali di atas. Makin riulah tepuk tangan Kam Ciu dan mulutnya tiada hentinya berkaok-kaok:

   "Bagus... bagus...! Nah, lihat tuh... sekarang benar-benar ular melawan burung! Aduh bagusnya..."

   Kini kata-kata gembira dari Kam Ciu ini mendapat perhatian semua orang karena betul-betul keadaan yang bertanding di atas panggung adalah seperti seekor ular dan seekor burung sedang berlagak! Thian In merupakan burung yang tangkas dan besar terbang ke sana kemari mengelilingi ular dan tiap ada kesempatan ia menyerang bagaikan burung mematuk. Sedangkan Hoan Thian Cu berada di tengah bagaikan ular menanti untuk menangkis atau tiba-tiba menyerang kalau lawannya mendekat. Hoan Tin Cu sudah merasa lelah dan pusing. Ia tak tahu bahwa jika dilanjutkan akan kalah maka ketika pedang Thian In menyambar lagi, ia tidak menangkis, tapi berkelit sambil loncat ke belakang.

   

   "Betul lihai! Betul kata orang, guru harimau murid naga. Terima kasih atas pengajaranmu, Souw Sicu."

   Thian In buru-buru menjura.

   "Totiang kau telah mengalah sungguh membuat aku bersukur.

   "Tapi ia salah sangka kalau ia kira bahwa pendeta itu benar-benar mau mengaku kalah, karena dengan wajah muram Hoan Tian-cu berkata:

   

   "Souw Sicu, jika kau mau menghargai aku orang tua nanti pada permulaan musim Chun tahun depan kuundang kau ke Kwie-san di mana sekali lagi aku minta pengajaranmu. Terkejutlah Thin In mendengar ini, tapi dasar ia seorang muda yang tabah, ia tersenyum pahit sambil menjawab:

   "Jadi Totiang masih penasaran? Baiklah kalau ada aral melintang, pasti aku akan memenuhi permintaanmu."

   Hoan Tin-cu lalu menjura kepada Ong Kang Ek sambil berkata:

   "Ong Enghiong, pinto tak dapat mengawani lebih lama lagi. Terima kasih untuk arakmu dan selamat berpisah!"

   Tuan rumah tak sempat menjawab karena tamunya telah memutar tubuh dan bertindak pergi. Ketika lewat di depan ruang di mana anak-anak muda berduduk, tiba-tiba berhenti di depan Kam Ciu dan ia berkata sambil angkat tangan menjura kepada pemuda itu yang masih duduk sambil tersenyum memandangnya:

   "Anak muda kau seorang kutubuku lain kali janganlah banyak mulut bila menonton orang mengadu silat!"

   Ong Kang Ek dan Giok Cu terkejut melihat gerakan Hoan Tin-cu karena itu adalah sebuah gerakan serangan yang dilakukan dengan kerahkan tenaga dalam untuk merobohkan orang tanpa menjamah kulitnya! Ong Kang Ek tidak ingin melihat Kam Ciu dicelakakan, maka hampir saja ia loncat mencegah, sedangkan Giok Cu juga siap sedia dengan piauw di tangan. Tapi ternyata Hoan Tin-cu tidak jadi seorang anak muda karena buktinya Kam Ciu masih saja duduk dengan tertawa. Totiang itu untuk sejenak memandang wajah pemuda sastrawan yang tidak menjawab kata-katanya tapi hanya tertawa geli saja, kemudian tanpa banyak berkata lagi pendeta itu panjangkan langkah dan lari pergi! Kam Ciu gunakan jari telunjuk menuding ke arah punggung Hoan Tin-cu dan tertawanya makin keras bergelak. Ong Kang Ek mendongkol juga melihat sikap pemuda itu. Ia segera loncat mendekati dan berkata:

   

   "Gan Hianti lain kali harap jangan suka goda orang. Tahukah kau bahwa hampir saja kau mengalami bencana maut?"

   Kam Ciu memandangnya dengan tak mengerti.

   "Bencana maut? Mengapa Ong lopeh.

   

   "Hoan Tin-cu tadi sedang marah tapi kau tertawakan padanya hingga hampir saja ia gunakan pukulan gelap untuk membunuhmu. Untung saja ia dapat menahan napsunya, kalau tidak entah bagaimana jadinya.

   "Orang tua itu menghela napas.

   

   "Hm, hm, kalau begitu ia bukan orang baik-baik,"

   Kata Kam Ciu sambil mengangguk-angguk.

   "Ia kalah bukan salahku, tapi karena kelemahan sendiri, mengapa ia marah kepadaku?"

   Thian In yang sementara itu sudah turun dan menghampiri mereka, tepuk-tepuk pundak Kam Ciu sambil tertawa:

   "Mengapa ia marah padamu? Ah, saudaraku yang baik, karena sebenarnya kaulah yang membuat ia kalah olehku tadi!"

   

   "Apa maksudmu?"

   Pertanyaan ini diucapkan oleh Kam Ciu dan Ong Kang Ek dengan berbareng karena orang tua inipun heran mendengar pengakuan itu.

   "Bukankah ketika kami sedang saling serang tadi kau berteriak-teriak mengatakan bahwa kami berkelahi bagaikan seekor ular dan seekor burung? Nah, pada saat itu barulah aku insaf dan mendapat akal untuk menjatuhkannya! Aku baru ingat bahwa ilmu pedang Hoan Totiang hampir sama jalannya dengan ilmu pedang Ouw-coa-kiamhwat yakni ilmu pedang ular telaga yang terkenal lihai dari Lam-san-pay dan biarpun gerakannya lambat, namun tangguh dan kuat sekali. Setelah mendengar teriakanmu, barulah aku ingat bahwa untuk melawan ini haruslah gunakan ginkang yang tinggi untuk mempermainkannya. Kebetulan sekali kepandaian ginkangku lebih tinggi darinya, maka aku lalu gunakan kegesitan untuk menyerang sambil berputaran dan berloncatan hingga ia menjadi pusing dan lelah. Bukankah ini berarti bahwa kau ya ng memberi jalan hingga ia mendapat kekalahan? Nah, karena itulah maka ia marah padamu."

   Mendengar keterangan ini, Kam Ciu tertawa lagi, kini tawanya gembira.

   "Kalau begitu, saudara Souw lain tahun kalau kau pergi ke Kwie-san kau harus ajak aku untuk menjadi penasehatmu!"

   Thian In hanya tersenyum, lalu ia berkata kepada Ong Kang Ek.

   "Ong Lo-enghiong bagaimanakah sekarang? Apakah aku sudah memenuhi sarat untuk mencoba kepandaian puterimu?"

   Ong Kang Ek tersenyum dan berkata:

   "Souw hiantit, kau sungguh gagah. Mana anakku yang bodoh berani unjuk kebodohannya di depanmu?"

   

   "Eh, mana ada aturan begitu, lopeh?"

   Bantah Gan Kam Ciu. Biarpun kepandaian saudara Soaw ini cukup hebat, ia harus pula memenuhi apa yang telah dijanjikan tadi.

   Kalau ia tidak disuruh menghadapi Ong siocia, mana kita tahu siapa yang lebih unggul. Kata-kata ini dibenarkan oleh paramuda yang duduk di situ hingga apa boleh buat Ong Kang Ek pergi panggil puterinya yang duduk di ruang wanita, Giok Cu yang telah siap sedia segera loncat ke atas panggung dan berdiri dengan kepala tunduk karena sesungguhnya ia merasa malu untuk bertanding dengan pemuda yang telah memikat hatinya itu. Souw Thian In pun tidak melewatkan ketika baik ini untuk menjajal kepandaian gadis jelita itu. Dengan gaya indah menarik, ia loncat ke atas panggung lalu berdiri di depan gadis itu sambil menjura memberi hormat yang dibalas oleh Giok Cu dengan muka merah. Alangkah girang, hati Thian In karena setelah berada dekat dengan nona itu barulah ia m endapat kenyataan bahwa Giok Cu benar-benar cantik jelita!

   

   "Ong siocia, harap kau suka berlaku murah hati dan jangan turunkan tangan kejam kepadaku."

   Kata Thian In sambil perlihatkan senyum manis.

   

   "Souw enghiong jangan merendah,"

   Jawab Giok Cu dengan suara merdu halus sambil cabut pedangnya dengan tangan kanan dan angkin suteranya dengan tangan kiri. Thian In mundur dua tindak lalu loloskan pedangnya pula. Setelah saling mengangguk sekali lagi tanda hormat, Giok Cu mulai buka serangan dengan pedangnya, sementara sabuk-sutera merah di tangan kirinya bergerak bagaikan benda hidup membuat lingkaran melindungi seluruh bagian tubuh yang tak terlindung pedang. Gerakan bidadari menari selendang ini sungguh indah dipandang hingga Kam Ciu dengarkan seruan kagum dan sepasang mata tanya memancarkan sinar gembira. Melihat keadaan pemuda sastrawan ini Ong Kang Ek yang memandang dari samping diam-diam menghela napas dengan hati kasihan.

   Orang tua ini maklum betapa pemuda kutu buku ini mencinta dan merindukan Giok Cu, tapi apa mau dikata, pemuda lemah seperti tentu tidak seimbang dengan anak gadisnya yang gagah perkasa. Pikiran ini membuat ia menengok lagi ke arah panggung. Ternyata tanpa sungkan-sungkan lagi Giok Cu keluarkan serangan-serangan yang paling berbahaya. Agaknya gadis betul-betul hendak mencoba sampai di mana kelihaian ilmu silat pemuda baju biru ini maka ia kerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Tapi Thian In tidak menjadi gugup biarpun ia dikurung oleh sinar merah yang bergulung-gulung dan sinar putih yang berkeredep-keredep dari sabuk sutera merah dan pedang Giok Cu. Pemuda ini dengan sigapnya mainkan ilmu pedang angin taufan permainkan ombak, yaitu ilmu pedang ciptaan gurunya yang sengaja dimainkan untuk menjaga diri dari serangan musuh tangguh.

   Ilmu pedang ini jika dimainkan oleh tangan yang mahir dapat membuat pedang merupakan dinding baja yang menutup rapat diri si pemain hingga tak mudah untuk diserang. Pedang di tangan Thian In berputar cepat dan sebentar lagi Giok Cu merasa gelisah karena sedikitpun kedua senjatanya tak dapat mendekati tubuh pemuda itu. Thian In tidak hanya membela diri. Di mana ada kesempatan, iapun kirim serangan-serangan berbahaya. Tapi di mata seorang ahli nyata sekali bahwa ia tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, karena beberapa kali pedangnya yang telah meluncur ke arah tubuh si gadis sengaja dibelokkan seakan-seakan pemuda itu takut kalau-kalau pedangnya akan betul-betul melukai tubuh lawannya. Hal ini pun diketahui pula oleh Ong Kang Ek yang merasa girang karena perbuatan pemuda itu menandakan bahwa ia ada hati terhadap Giok Cu.

   

Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Memburu Iblis Karya Sriwidjono Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini