Ceritasilat Novel Online

Pek I Lihiap 5


Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



Gerakan siluman itu benar-benar cepat hingga tubuhnya yang tinggi besar berkelebat ke sana kemari dan sukar untuk dapat dilihat mukanya. Yang terlihat oleh Giok Cu hanya rambutnya yang riap-riaoan berkibar dan sepasang mata yang tajam dan besar. Giok Cu melawan sedapat-dapatnya sampai puluhan jurus, tapi setelah bersilat lima puluh jurus lebih ia merasa lelah. Pukulan-pukulan lawannya terlampau berat baginya dan gerakannya terlampau gesit. Ia tahu bahwa lawannya jauh lebih pandai darinya dan bahwa jika dikehendaki oleh lawan itu sudah dari tadi ia dapat dirobohkan. Agaknya lawan itu sengaja mempermainkannya karena sambil bergerak, tiada hentinya ia tertawa keras. Beberapa kali tangan lawannya telah dekat dengan tubuhnya, tapi sebelum memukul, segera tangan itu ditarik kembali dibarengi suara tawa menyeramkan. Akhirnya Giok Cu tak tahan lagi. Ia berteriak:

   "Tuan Kwa, hayo maju bantu kepung siluman ini!"

   Dari tempat sembunyinya guru silat Kwa dan kawan-kawannya telah melihat jalannya pertandingan yang hebat itu. Kini mendengar seruan Giok Cu, mengertilah mereka bahwa gadis itu terdesak. Dengan sorakan keras dua puluh orang yang pandai silat menerjang dengan senjata tajam di tangan! Bayangan itu melejit ke sana-sini, menyambar-nyambar di antara golok dan pedang sambil tertawa dan berkata:

   "Ha, ha, ha! Sekalian gentong kosong! Pinto telah bosan melayani kalian! Hayo Pek I Lihiap kau ikut pinto!"

   Dengan sekali terjang, robohlah empat orang pengeroyok dan sebelum dapat hindarkan diri, Giok Cu kena tertotok jalan darah Tay-twi-hiat hingga dengan kedua senjata masih di tangan gadis itu menjadi kaku tak berdaya! Kemudian sekali saut saja bayangan itu telah dapat pondong tubuh Giok Cu dibawa lari!

   Orang-orang ribut mengejar tapi sekejab saja bayangan itu telah lenyap dari pandangan mata. Mereka bingung sekali dan kembali untuk merawat kawan-kawan yang terluka. Lebih-lebih guru silat Kwa, ia merasa bingung dan cemas memikirkan nasib Pek I Lihiap dan diam-diam ia merasa menyesal mengapa ia ajak gadis itu menempuh bahaya maut ini. Tapi ia teringat akan kata-kata siluman tadi bahwa setelah mendapat Pek I Lihiap, siluman itu akan pergi dari situ, maka diam-diam iapun bergirang karena dengan adanya korban seorang Pek I Lihiap, banyak orang lain akan terhindar dari bahaya maut. Biarpun tubuh Giok Cu kaku tak berdaya, namun pikiran dan panca inderanya masih bekerja. Matanya masih dapat melihat. Ia merasa dibawa lari cepat sekali di atas genteng-genteng rumah lalu turun dan memasuki hutan. Pada saat itu sesosok bayangan lain menghadang di depan dan membentak:

   "Tosu siluman! Lepaskan korbanmu!"

   Tosu yang dianggap siluman itu tertawa keras.

   "Ha, ha, ha! Kau Bu-Eng-Cu hendak lancang ikut campur dalam urusanku? Ketahuilah, aku bisa bikin kau si tanpa bayangan menjadi si tanpa nyawa!"

   Karena Giok Cu berada dalam panggulan di pundak tosu itu hingga mukanya berada di belakang maka ia tak dapat melihat muka orang yang menghadang di depan. Ia hanya mendengar suara orang itu dan hatinya girang sekali ketika tosu menyebut namanya Bu-Eng-Cu! Jadi dia adalah Koayhiap yang telah berkali-kali menolongnya. Apakah dia Thian In? Ia dengarkan dengan teliti ketika orang itu menjawab:

   "Gak Ong Tosu! Ternyata kau masih ambil jalan sesat! Sebentar lagi tentu suhengmu akan menangkapmu dan memberi hukuman yang setimpal!"

   "Gila kau! Jangan kau takut-takuti aku dengan nama Gak Bong! Kau kira aku takut padanya? Ha, ha, ha! Anak muda, lebih baik kau pergi sebelum datang marahku."

   "Hm, kau kira Aku pun takut padamu? Bagi orang lain mungkin kau dianggap siluman lihai, tapi bagiku tak lain hanya seorang pertapa yang rendah martabatnya! Lepas Pek I Lihiap!"

   Diam-diam Giok Cu merasa heran. Dan suaranya ia tak dapat menetapkan apakah orang itu Thian In atau bukan. Tapi barusan ia mendengar nama Gak Bong dan teringatlah ia bahwa dulu Thian In pernah menyatakan bahwa dia adalah murid Gak Bong Tosu.

   Kalau begitu, tosu siluman yang menculiknya ini adalah sute atau adik seperguruan dengan gurunya Thian In! Tak heran ia demikian lihai! Dan siluman ini adalah susiok atau paman guru sendiri dari Thian In. Kalau begitu, tak mungkin pemuda yang disebut Bu-Eng-Cu itu adalah Thian In. Ia menjadi bingung. Pada saat itu Cak Bong Tosu menjadi marah sekali. Dengan menggerang keras ia menyerang Bu-Eng-Cu. Agaknya ia memandang rendah karena ia menyerang dengan Giok Cu masih dipanggulnya di pundak. Tapi ketika pemuda itu berkelit dan balas menyerang, kagetlah Tosu itu. Serangan pemuda itu demikian cepat dan gerakannya tak kalah gesit dengan dia sendiri, sedangkan dari tangan yang menyerang itu keluarlah tenaga yang hebat! Apalagi ketika Cak Ong menangkis dan kedua lengannya beradu, ia merasa betapa tangannya bergetar, ia terkejut sekali. Tenyata lengan lweekang lawannya tidak kalah lihai!

   Cepat ia lempar tubuh Giok Cu ke pinggir untuk dapat menghadapi Bu-Eng-Cu yang lihai itu dengan leluasa. Sayang sekali kebetulan jatuhnya tubuh Giok Cu dengan punggung menghadapi pertempuran itu hingga ia tak dapat menonton. Hati gadis itu gemas sekali. Ia mencoba kerahkan tenaga dalamnya untuk melepaskan diri, tapi sia-sia, urat-uratnya lumpuh! Maka dengan diam saja hanya pasang telinga untuk mendengarkan mereka yang sedang bertempur, sedangkan hatinya hanya berdoa supaya Bu-Eng-Cu beroleh kemenangan. Ia mendengar suara beradu dan mengerti bahwa mereka sedang bertempur menggunakan senjata tajam. Tapi ternyata selihai-lihainya Bu-Eng-Cu, ilmu silatnya masih kalah setingkat oleh Gak Ong Tosu hingga setelah bertempur puluh jurus ia mulai terdesak. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara halus.

   "Terima kasih, terima kasih, Bu-Eng-Cu Koay-hiap! Kau telah menahan iblis ini. Nah, serahkanlah ia padaku."

   Berbareng dengan suara itu entah dari mana datangnya, tiba-tiba seorang tosu berambut putih tahu-tahu sudah berada di situ dan menghadapi Gak Ong Tosu!

   "Gak Bong lo-cian-pwee! Bagus kau datang. Silahkan memberi hajarang kepada sutemu yang tersesat ini."

   Dan Bu-Eng-Cu segera mencelat mundur ke arah Giok Cu yang masih rendah miring.

   Dengan perlahan ia gunakan du jari tangannya menotok pundak Giok Cu hingga gadis itu terlepas dari pengaruh totokan. Setelah jalan darahnya pulih kembali dan tubuhnya sembuh dari rasa kesemutan, cepat gadis itu bangkit dan duduk dan menengok untuk memandang wajah Bu-Eng-Cu. Tapi ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ! Giok Cu memandang ke sana kemari, tapi ternyata pemuda itu telah pergi dari situ setelah meninggalkan lawannya kepada Gak Bong Tosu dan setelah lepaskan Giok Cu dari totokan. Giok Cu merasa kecewa sekali dan ia memandang ke arah kedua tosu yang masih berdiri berhadapan. Kini ia dapat melihat macamnya siluman yang jahat itu. Ia merupakan seorang tosu dengan rambut hitam kaku dan riap-riapan menutup muka dan leher.

   Mukanya penuh cambang hingga sebagian mukanya tak tampak, yang kelihatan hanya sepasang matanya yang tajam dan mengeluarkan sinar kejam. Pakaiannya mewah dan jubahnya berwarna kuning keemasan. Sepatunya pun baru dan mengkilat. Di rambut yang tak karuan itu terselip hiasan dari emas yang penuh dengan batu permata. Ia berdiri dengan mata melotot dan mulut menyeringai. Giok Cu alihkan pandangan matanya kepada tosu yang baru datang. Cak Bong Tosu adalah seorang pendeta gemuk pendek yang telah putih semua rambutnya. Pakaiannya dari kain kasar warna abu-abu dan kakinya telanjang. Tangan kirinya memegang sebuah kipas yang dipakai untuk mengipasi tubuhnya yang gemuk. Mulutnya tersenyum tapi sepasang matanya yang bersinar lembut itu kini ditujukan kepada sutenya dengan penuh sesal.

   "Gak Ong sudah tahukah akan kesalahanmu?"

   Berbeda dengan senyumnya suaranya terdengar tegas dan berpengaruh. Gak Ong Tosu tundukkan kepala sambil bibirnya bergerak-gerak gugup.

   "Sujeng kau ampunilah sutemu kali ini."

   Ia berkata perlahan.

   "Ampuni? Gak Ong lupakah, kau akan larangan suhu dulu? Lupakah kau bahwa sekali membunuh nyawa tidak berdosa maka kita harus tebus dengan nyawa kita pula? Kau tidak hanya melanggar larangan suhu, tapi kau bahkan melanggar pantangan Yang Maha Tunggal!! Kau telah terpikat oleh pengaruh jahat, kau mempelajari ilmu hitam, ilmu siluman, kau menjadi sejahat siluman sendiri. Bahkan lebih jahat! Aku tahu, kau hendak penuhi syatat ilmu itu dengan makan tiga belas jantung bayi dan menganiaya tiga belas orang gadis suci. Kau tersesat jauh sekali, Gak Ong. Perbuatan itu terkutuk sekali dan entah sampai kapan jiwamu akan terhukum karena perbuatan ini!!"

   "Sudahlah suheng tak perlu kita bertengkar. Sekarang terangkan maksudmu, apa yang kau kehendaki dariku?"

   "Sesuai dengan sumpahmu, kita di depan suhu dulu. Kau harus ikut aku pulang ke Lang-san, segala ilmu yang kau pelajari di sana harus kau kembalikan dan kau harus lepaskan nyawa dari tubuhmu yang kotor itu di depan makam suhu."

   Tiba-tiba sikap Gak Ong Tosu berubah beringas.

   "Enak saja kau bicara! Apakah kau anggap ayam saja demikian mudah menyerah hendak kau sembelih? Ha, ha! Gak Bong kalau kau sudah lupakan perhubungan suheng dan sute, biarlah kita menjadi musuh. Aku tidak takut padamu. Kau baru boleh bawa aku ke Lang-san kalau kau mampu kalahkan aku!"

   "Aku tahu kau akan membangkang, Gak Ong! Tapi baik hidup maupun mati kau harus ikut aku ke Lang-san!"

   "Kaulah yang akan mampus di sini!"

   Gak Ong berteriak keras dan maju menubruk. Gak Bong berkelit dan sebentar lagi Giok Cu hanya melihat dua bayangan berputar-putar bagaikan menjadi satu hingga biarpun matanya telah terlatih namun tetap ia tak dapat bedakan mana Gak Ong, mana Gak Bong! Giok Cu rasakan matanya menjadi kabur dan kepalanya pening hingga terpaksa ia lepaskan pandangan matanya dari mereka. Ketika ia memandang kembali ternyata mereka telah lenyap dan ia hanya mendengar suara Gak Ong Tosu berseru:

   "Gak Bong! Kalau kau memang gagah, datanglah ke Kwie-san!"

   Dari jauh Giok Cu mendengar jawaban Gak Bong Tosu!

   "Tunggulah saja, manusia sesat, saatmu pasti akan tiba!"

   Kemudian keaadaan menjadi sunyi dan Giok Cu berada seorang diri di hutan itu. Ia memandang ke atas sambil termenung ia melihat bulan-bulan terang berjalan-jalan di atas mega. Pikirannya making bingun. Yang masih berat menekan pikirannya ialah kenyataan bahwa Bu-Eng-Cu Koay-hiap bukan Souw Thian In! Thian In adalah murid Gak Bong Tosu, sedangkan tadi ia mendengarnya bahwa Gak Bong Tosu tidak menyebut nama pemuda penolongnya itu sebgai murid!

   Sedangkan Bu-Eng-Cu juga tidak menyebut guru kepada Gak Bong Tosu. Siapakah pemuda itu? Siapakah Bu-Eng-Cu Koay-hiap? Mengapa selalu menolongnya? Dan kenapa setelah menolong selalu tidak mau memperlihatkan diri? Dengan pikiran dan tubuh lemas Giok Cu pungut kedua senjatanya yang terlepas dari pegangan ketika ia lepaskan dari totokan tadi, lalu ia berjalan kembali ke kota Hay-tin. Ketika memasuki kota, maka ia disambut oleh para ahli silat dengan tercengang keheranan, tapi penuh kegembiraan bahwa nona pendekar itu ternyata tidak mengalami bencana seperti yang mereka khawatirkan. Lebih-lebih guru silat Kwa. Ia menyambut Giok Cu dengan seribu satu macam pertanyaan. Giok Cu hanya menjawab singkat:

   "Siluman itu telah terusir pergi oleh orang yang lebih pandai darinya. Bahkan aku pun ditolong olehnya. Kini jangan kalian ikut lagi, siluman itu takkan kembali ke sini.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia tinggalkan kota itu, diantar oleh para penduduk yang berterima kasih kepadanya. Ia menuju terus ke utara, melalui bukit dan hutan. Pada suatu hari, ia sampai di kota An-ting. Kota ini letaknya di daerah pegunungan, dengan sebelah timur mengalir sungai Huang-ho yang terkenal dan di sebelah utara berdirilah Tembok Besar Ban-Li-Tiang-Sia dengan megahnya sebagai lambang kekuatan Tiongkok. Karena kota itu tidak terlalu besar, maka terpaksa Giok Cu harus merasa puas mendapat kamar dalam sebuah rumah penginapan yang sederhana. Ia melihat bahwa keadaan kota itu d alam suasana gembira. Maka ia minta keterangan kepada pelayan yang menuturkan dengan wajah berseri:

   "Kownio, kau beruntung sekali masuk ke kota ini pada hari ini, karena selama tiga hari berturut-turut dan mulai hari ini, patung Kwan Im dari Kwan Im-bio di kota ini akan diarak menuju ke bukit Ho-san di mana telah dibangung sebuah bio baru untuk Kwan Im Pouwsat. Banyak tontonan akan diadakan di antaranya barongsay dan tari liong."

   Girang hati Giok Cu mendengar itu karena sudah lama ia tidak melihat keramaian dan hiburan. Maka dengan hati senang ia keluar dari kamar dan melihat-lihat. Banyak tontonan dimainkan orang di kota itu. Bahkan ada serombongan tukang silat yang mempertontonkan kepandaiannya di sebuah panggung. Suara tambur gembreng menulikan telinga.

   Sebagai seorang ahli silat tentu saja panggung inilah yang paling menarik hati Giok Cu. Ia berdiri di tempat yang enak dan melihat dengan penuh perhatian. Tapi ia kecewa karena pemain-pemain silat yang mempertunjukkan kepandaian mereka itu hanyalah orang-orang biasa saja. Tapi ketika mereka itu mundur dan lari dari belakang, loncat pemain barongsay. Ia menjadi kagum. Pemain barongsay itu bergerak dengan lincah sekali sedangkan permainan kakinya demikian gesit dan hidup seakan-akan barongsay tulen! Pembantunya yang main di belakangnya adalah seorang anak tanggung yang juga indah gerak kakinya. Permainan barongsay ini disambut denga tepuk tangan riuh rendah. Giok Cu bertanya kepada seorang kakek yang berdiri di dekat:

   "Lopeh, pandai sekali pemain barongsay itu. Siapakah dia?"

   Orang tua itu tersenyum kepadanya.

   "Ia adalah Ong Sin dan adiknya, pemain barongsay terbaik di kota ini."

   Barongsay itu mempermain-mainkan Cu atau Mustika yang terbuat daripada kain membungkus bola dari bambu. Cu itu digantungkan kelenengan-kelenangan kecil hingga ketika dilempar, digigit lalu dikejar oleh barongsay itu mengeluarkan bunyi tang-tang-ting-ting lebih menghidupkan permainan barongsay. Memang indah permainan Ong Sin hingga diam-diam Giok Cu kagum dan bangga karena permaian itu masih satu she dengan dia. Tiba-tiba dari bawah panggung loncat seorang tinggi besar yang dengan sekali tendang saja sudah membuat cu atau mustika itu terlempar ke bawah panggung. Penonton-penonton me njadi tegang karena mereka tahu bahwa ada orang hendak mencoba kepandaian barongsay itu! Memang di kota itu terdapat semacam peraturan, yaitu apabila ada permainan barongsay, maka siapa saja diperbolehkan ikut bermain seakan-akan menjadi lawan barongsay itu.

   Jika orang itu sampai kena gigit sedikit saja ujung baju atau anggota badannya maka ia dinyatakan kalah. Tapi sebaliknya jika ia dapat cabut jambul sutera di kepala barongsay itu, ia dianggap menang atau gagah. Harus diketahui bahwa pemegang ekor atau pembantu pemain barongsay itu boleh membantu kepalanya dan boleh mengeroyoknya. Telah banyak orang gagah mencoba untuk mencabut jambul di barongsay yang dimainkan Ong Sin. Tapi mereka gagal semua dan dikalahkan, hingga pemain barongsay Ong Sin yang muda itu menjadi terkenal dan dianggap pemain yang terbaik dan terpandai. Sudah lama juga tak seorangpun berani coba-coba lagi, tapi tak disangka kini ada orang tinggi besar itu yang loncat menantang.

   Yang membuat para penonton tidak senang ialah cara orang itu menantang. Biasanya jika ada orang hendak mengajak bermain ia loncat dan cepat ambil bola cu itu lalu diangkat tinggi di atas kepala, baru dilemparkan ke arah penonton untuk menyimpannya sebentar. Tapi orang tinggi besar itu dengan kurang ajar sekali menendang begitu saja hingga cu terlempar ke tanah. Ini merupakan penghinaan besar terhadap Ong Sin. Tapi ketika orang-orang memandang orang itu, mereka tidak berani mencela karena wajah orang itu sungguh-sungguh bengis dan menakutkan. Sebaliknya Ong Sin berlaku tenang. Ia mainkan barongsaynya dan tekuk kaki kiri ke belakang hingga tubuhnya merendah. Gerakan ini ialah berarti memberi hormat kepada yang datang. Tapi si tinggi besar hanya mengangguk perlahan dan berkata keras:

   "Jagalah jambul dan nyawamu!"

   Berbareng dengan kata-katanya ini, si tinggi besar segera loncat menyambar jambul barongsay itu, tapi barongsay itu seperti hidup dan bermata, dengan gesit sekali ia berkelit dan kepalanya bergerak memutar hendak menggigit lengan si tinggi besar yang menjadi kaget dan tidak menyangka akan gerakan secepat itu hingga ia buru-buru loncat ke belakang! Para penonton bersorak memuji. Si tinggi besar kini bergerak dengan hati-hati. Kini ia gerakkan tangan dan kakinya menyerang dengan hebat. Penonton menjadi cemas ketika melihat betapa orang itu berlaku curang, tidak hanya bergerak hendak merampas jambul semata-mata, tapi bahkan menyerang Ong Sin dengan hebatnya! Jelas sekali bahwa orang itu mengandung maksud baik.

   Sebentar saja mereka bertempur betul-betul biarpun Ong Sin masih berada dalam barongsay! Ong Sin bergerak dengan mengagumkan sekali dan dia tidak hanya dapat hindarkan tiap serangan dengan baik, bahkan beberapa kali hampir berhasil menggigit ujung baju si tinggi besar. Pada suatu saat ketika si tinggi besar menyerang ke arah dada barongsay itu loncat secepat kilat ke samping dan anak yang pegang ekorpun ikut meloncat, kemudian dengan sekali saut gigi barongsay itu berhasil menyangkut ujung baju si tinggi besar! Tentu saja penonton menjadi gembira dan bersorak sambil menyatakan bahwa si tinggi besar telah kalah. Tapi tidak dinyana bahwa dalam kekalahannya, si tinggi besar masih mau bertindak curang. Ia berseru keras dan tangan kanannya yang merdeka mengayun pukulan keras ke arah kepala barongsa di mana tersembunyi kepala Ong Sin!

   Semua orang berseru kaget, tapi pada saat berbahaya itu Ong Sin masih sempat berkelit sambil melepas barongsaynya yang terpukul hancur! Juga adiknya yang pegang ekor lalu loncat menyingkir. Si tinggi besar yang merasa malu dan marah terus saja menyerang kepala Ong Sing dengan nekad. Pada saat itu Giok Cu sudah tak dapat menahan marahnya lagi, apa pula ketika dilihatnya Ong Sin adalah seorang muda yang kurus dan pucat sedangkan adiknya paling baru berusia sepuluh atau sebelas tahun. Timbul wataknya hendak menolong yang tertindas. Sekali ayun tubuh ia telah berada di atas panggung dan sambil berseru keras, pegang lengan Ong Sin dan terus dibawa loncat ke bawah. Di situ ia lepaskan pemuda itu dan tanpa berkata apa-apa, tubuhnya melesat ke atas panggung lagi menghadapi si tinggi besar.

   "Orang liar dari manakah kau maka datang-datang hendak menghina orang? Kau kira hanya kau seorang yang gagah dan berani?"

   Giok Cu menegur penasaran dan memandang dengan mata bersinar. Si tinggi besar balas memandang dengan heran, tapi ia tidak berani pandang rendah karena barusan ia telah lihat kegesitan dan tenaga Giok Cu. Ia duga bahwa gadis itu tentu seorang ahli silat, maka ia hendak menanyakan namanya dan nama partainya untuk menggertak:

   "Aku murid Kwie-San-Pay dan punya urusan pribadi dengan si sombong Ong Sin. Kau siapa berani ikut campur urusan anak murid Kwie-San-Pay?"

   Mendengar nama Kwie-San-Pay disebut-sebut para penonton menjadi gelisah karena mereka sudah kenal akan kelihaian dan keganasan golongan ini. Tapi Giok Cu menjadi makin marah mendengar nama ini disebut-sebut.

   "Pantas, pantas! Guru-gurunya siluman, anak muridnya tentu setan pejajaran!"

   "Tidak perduli kau dari Kwie-San-Pay atau dari mana saja, di depan nonamu kau tidak boleh berlaku sesukamu menghina orang mengandalkan kepandaian sendiri. Pergi kau dari sini sebelum mati konyol di tangan Pek I Lihiap!"

   Kembali terdengar suara-suara sambutan dari penonton karena di antara mereka banyak yang telah mendengar nama pendekar wanita itu. Juga si tinggi besar agaknya terkejut, tapi ia tetapkan hatinya karena paman gurunya di bawah panggung.

   "Bagus, mari kau coba anak Kwie-San-Pay!"

   Si tinggi besar lalu cabut golok yang terselip di punggungnya. Giok Cu dengan tangan kiri lolos sabuk suteranya yang berwarna kuning. Dengan gerak-gerakkan tangan sabuknya melingkar-lingkar dan menyambar bagaikan seekor ular yang indah gerak geriknya. Murid Kwie-San-Pay itu putar golok menyerbu, tapi serangannya dapat dikelit dengan mudah oleh Giok Cu yang balas menyerang dengan sabuknya. Karena marah, nona itu hendak memberi hajaran dulu sebelum menjatuhkan lawannya. Maka berkali-kali ujung sabuknya merupakan cambuk yang berbunyi nyaring mencambuki tubuh di leher, dada, pinggang dan punggung hingga pakaian si tinggi besar menjadi robek di sana sini dan kulitnya pecah-pecah mengalir darah! Penonton bersorak girang dan puas melihat orang kasar itu dihajar habis-habisan oleh Pek I Lihiap!

   Setelah merasa cukup, Giok Cu gerakkan sabuknya membelit golok lawan dan sekali sendal saja golok itu terlepas dari pegangan lawan dan melayang ke arahnya. Dengan tenang ia gunakan tangan kanan menangkap golok hingga senjata itu pindah tangan! Sebelum lawannya hilang keheranannya, ia gerakkan kaki menendang hingga tubuh tinggi besar itu terlempar ke bawah panggung. Kemenangan ini disambut dengan tepik serak riuh, tapi pada saat itu dari bawah panggung keluar seorang tosu yang bertubuh tinggi kurus dan berwajah pucat. Ia bukan lain ialah Hoan Tian-cu, tokoh di rumah Giok Cu! Diam-diam Giok Cu terkejut melihat munculnya tosu ini karena ia pernah menyaksikan ilmu kepandaian pendeta itu dan merasa bahwa kepandaian sendiri masih belum cukup untuk melawannya. Hoan Tian-cu tersenyum mengejek dan memandang kepada Giok Cu.

   "Bagus, bagus! Tidak tahunya Pek I Lihiap yang terkenal gagah itu tak lain adalah kau. Bukankah kau anak perempuan dari Ong Kang Ek? Bagaimana ayahmu?"

   Biarpun sedang marah Giok Cu merasa sedih juga ditanya tentang ayahnya, tapi ia menjawab dingin:

   "Ayah telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu."

   Hoan Tin-cu menghela napas.

   "Sayang... sayang... kemudian ia seperti teringat akan sesuatu.

   "O ya, hmmm... mana mana suamimu?"

   Tak senang Giok Cu mendengar ini.

   "Apa maksudmu Totiang?"

   Hoan Tin-cu memperlihatkan lagi senyumnya yang tidak manis.

   "Bukankah dulu diadakan sayembara pilih mantu dan yang berhasil adalah Souw Thian In murid Gak Bong Tosu mana dia? Apa dia juga turut datang? Telah lama aku menantinya! Kalau dia datang, suruhlah dia saja keluar!"

   "Totiang, jangan kau menghina orang! Siapa yang menjadi isteri orang? Pendeknya jangan kau banyak cakap, apa maksudmu naik ke sini? Apakah kau hendak membeli anak murid partaymu yang kurang ajar tadi?"

   Karena marahnya Giok Cu tak kenal arti takut dan menantang tosu tadi! Mula-mula Hoan Tin-cu terheran mendengar pengakuan itu, kemudian ia tertawa.

   "Ah, galak benar kau dan pemberani pula. Kau kira akan dapat melawanku? Nah, untuk percobaan, kau terimalah pukulan ini!"

   Hoan Tin-cu tanpa gerakkan kedua kakinya lalu pukulkan tangan kanannya ke depan. Walaupun jarak antara dia dan Giok Cu ada kira-kira setembok, namun angin pukulannya mengancam hebat ke arah gadis itu! Pada saat itu dari bawah panggung berkelebat bayangan biru dan seorang pemuda baju biru berseru:

   "Hoan Tin-cu Totiang! Tidak malukah menghina orang perempuan? Kau tadi mencari aku, inilah aku sudah datang!"

   Secepat kilat, pemuda itu gunakan lengan tangannya menolak pukulan Hoan Tin-cu. Walaupun tangannya tidak bentrok dengan tangan pemuda itu, namun angin pukulannya telah berhasil membentur dan mengembalikan pukulan tosu tadi itu! Ketika Giok Cu menengok, hampir saja ia berteriak girang, yang datang di atas panggung bukan lain ialah Souw Thian In!

   "Engko Thian In!"

   Tak terasa bibirnya memanggil nama itu, tapi yang keluar dari mulutnya hanya bisikan perlahan. Thian In menengok dan memandangnya dengan tersenyum simpul!

   "Nona, tak kusangka kita akan bertemu di tempat ini."

   Kemudian pemuda itu kembali menghadapi Hoan Tin-cu dan berkata:

   "Nah, Totiang. Kita sudah berhadapan, silahkan kalau kau hendak memberi pengajaran kepadaku!"

   Hoan Tin-Cu orangnya memang cerdik dan licin. Dari tangkisan tadi ia tahu bahwa dalam beberapa bulan ini rupanya anak-muda itupun melatih dan ilmu kepandaiannya bertambah. Kalau sampai dikalahkan lagi di panggung ini dengan ditonton oleh semua penduduk kota itu, maka tidak saja namanya akan merosot, tapi nama baik partainya juga akan runtuh dan ia tentu akan mendapat teguran suhengnya. Maka sambil paksakan diri berlaku sabar dan tersenyum ia berkata:

   "Anak muda, kau benar-benar pegang janji. Tapi kita janji akan bertemu pada permulaan musim Chun, bukan? Nah, datanglah ke sana setengah bulan lagi, tentu pinto akan menyambutnya dengan baik-baik!"

   "Haruskah aku datang seorang diri?"

   Tanya Thian In.

   "Kau takut? Boleh bawa kawan kalau takut!"

   Menyindir Hoan Thian Cu hingga Thian In menjadi gemas sekali.

   "Aku pun ada janji dengan suhengmu Gan Tin-Cu! Kami akan datang bersama!"

   Giok Cu mendahului. Baik Hoan Tin-cu maupun Thian In heran mendengar ini, tapi pendeta itu lalu tertawa.

   "Baik-baik, nah, sampai berjumpa pula setengah bulan yang akan datang di Kwie-san!"

   Kemudian ia loncat turun dan pergi.

   "Engko Thian In, kau..."

   "Nona Ong..."

   Mereka tak dapat berkata-kata, hanya saling pandang dengan terharu di atas panggung. Pada saat mereka mau turun, tiba-tiba tampak serombongan orang yang berpakaian sebagai hamba negeri mencegah. Yang mengepalai rombongan itu adalah seorang setengah tua yang berkata sambil menjura kepada Giok Cu: "Maaf, lie-enghiong, kami persilahkan kau ikut dengan kami ke kantor Tihu."

   "Eh, eh, apakah kehendak kalian? Apakah kalian hendak menangkap aku? Apa salahku?"

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Pek I Lihiap (Cerita Lepas)

   Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   "Hal itu kami tak dapat menerangkan karena hanya menjalankan tugas. Kami hanya diperintah dan inilah surat perintah itu."

   Anggota-anggota polisi yang lain berdiri dengan angker dan gagah, sikap mereka menunjukkan bahwa mereka berdisiplin. Giok Cu memandang surat perintah itu sejenak dan ia mendapat kenyataan bahwa benar-benar Tihu di situ memerintahkan supaya ia dipanggil menghadap ke kantor. Ia heran dan memandang kepada Thian In.

   "Lebih baik kau ikut saja, biarlah Aku pun pergi dan jika perlu kudapat menjadi saksi, yakni kalau hal ini ada hubungannya dengan pertempuran tadi,"

   Kata pemuda itu. Mereka berdua lalu dibawa ke kantor Tihu. Tihu di kota itu adalah seorang tua yang kelihatan jujur dan peramah. Setelah mempersilahkan Giok Cu dan Thian In duduk, Tihu itu perintahkan semua anak buahnya keluar dari kantor karena ia hendak bicara empat mata dengan tamunya.

   Lihiap aku telah mendengar tentang pertempuran di panggung antara kau dan anak murid Kwi-san-pay. Biarpun aku sendiri merasa senang mendengar bahwa lihiap telah memberi pengajaran kepadanya, namun demi keselamatan dan keamanan kota ini, terpaksa aku panggil lihiap datang ke sini. Karena ketahuilah lihiap, bahwa Kiew-san-pay telah terkenal sebagai cabang persilatan yang sangat berpengaruh dan disegani. Kalau para ketuanya mendengar tentang terjadinya seorang anak murid mereka dipukul orang di kota ini tan pa ada tindakan dari kami, pasti mereka merasa penasaran dan datang mengganggu kami. Hal inilah yang kami mohon lihiap pertimbangkan. Mendengar hal ini ketahuilah Giok Cu akan duduknya persoalan dan ia merasa kasihan melihat Tihu yang tua itu. Tak disangkanya golongan Kwie-San-Pay sampai demikian berpengaruh.

   "Tak perlu kiranya tay-jin berkhawatir tentanghal ini karena mereka telah kenal dan tahu siapakah yang menghajar murid mereka. Ketahuilah, Tay-jin, aku adalah Pek I Lihiap dan yang telah mereka anggap sebagai musuh. Dan saudara ini adalah...seorang sahabat yang kebetulan juga mereka anggap sebagai musuh pula. Maka Tay-jin tak perlu takut-takut dan jika mereka betul-betul berani ganggu Tay-jin, katakan saja bahwa kami berdua telah ditahan dan minggat dari tahanan. Katakan saja bahwa Tay-jin tidak berdaya menangkap kami. Mereka tentu percaya."

   Thian In menyambung kata-kata Giok Cu.

   "Tay-jin tak perlu takut. Aku berani pastikan bahwa golongan Kwie-San-Pay pasti tidak berani datang mengganggu."

   "Namun, atas permohonan yang sangat dari Tihu itu yang benar-benar takut kepada Kwie-San-Pay, terpaksa Giok Cu dan Thian In menurut ketika mereka diminta pergi malam nanti saja dan setengah hari itu mereka diminta masuk dalam kamar tahanan di penjara! Giok Cu tadinya menolak keras bahkan hendak marah, tapi ia disabarkan oleh Thian In yang berkata:

   "Ong Siocia, bukankah hal itu baik sekali? Kita sudah lama tak berjumpa dan banyak hal-hal yang hendak kita bicarakan. Maka marilah kita penuhi permintaan Tay-jin ini, pertama untuk menolongnya, kedua kita dapat beristirahat sambil mengobrol."

   Mereka berdua berhadapan di atas bangku penjara dan Giok Cu memandang wajah pemuda itu dengan perasaan tak karuan.

   "Nona Ong tak kusang kita akan berjumpa di sini..."

   Pemuda itu tundukkan wajahnya yang tampan ketika pandangan mata gadis itu menatapnya dengan selidik.

   "Engko Thian In, kau... kenapa kau tidak hendak... bunuh lagi aku yang hina ini? Sudah tidak marah lagikah kau kepadaku?"

   Untuk beberapa lama Thian In tak dapat menjawab hanya menghela napas berkali-kali.

   "Nona Ong, aku dapat bayangkan betapa kebenciannya kepadaku! Aku telah berusaha membunuh kau dan ayahmu! Ah, aku memang orang rendah yang tak berguna. Membalaskan sakit hati ibu tak berhasil, sebaliknya aku yang hina telah membalas cinta kasih dan kebaikan hati ayahmu dengan pedang! Aah, tapi... aku tak berdaya... aku harus! Aku harus bunuh ayahmu! Aku harus bunuh dia! Nona Ong katakan, di mana dia? Di mana ayahmu, orang kejam terkutuk itu. Tiba-tiba saja Thian In berdiri dan memandang Giok Cu dengan wajah beringas. Giok Cu terkejut, tapi ia tidak takut. Tidak seperti dulu, ia hadapi kemarahan. Thian In dengan kemarahan pula. Sekarang ia bahkan tutup mukanya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu.

   "Kau hendak bunuh ayah? Bunuhlah saja aku! Kau sakit hati kepada ayah? Biarlah aku yang menebusnya. Engkoh Thian In, kau kau bunuhlah aku, aku rela mati di tanganmu, apalagi kalau kematianku ini untuk... menebus... sakit hatimu terhadap ayah..."

   Thian In kepal-kepal tangannya dan ia bicara seperti kepada diri sendiri:

   "Dulu... dulu ada dia yang melindungi kau dan ayahmu hm...kalau tidak, sudah impasla! Sudah selesailah kewajibanku. Tapi, ah, kau bukanlah musuhku. Aku tak menghendaki jiwamu. Aku tak dapat membunuhmu. Ayahmu itulah orangnya yang harus kubunuh demi baktiku kepada ibu. Di mana ayahmu?"

   "Ayah... ayah... telah meninggal dunia dan Giok Cu tekep mukanya lalu menangis sedih. Thian In pucat mukanya. Berita ini mengejutkannya karena memang tidak disangkanya sama sekali.

   "Meninggal dunia? Aah, mengapa? Bagaimana terjadinya? Aku terlambat..."

   "Biarpun kau tidak membunuhnya dengan ujung pedang, tapi kematiannya karena kau juga. Kau tertawalah, kau puaslah. Bergembiralah kau karena sesungguhnya ayahku meninggal dunia karena kau!"

   "Apa katamu? Mengapa begitu?"

   
Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ayah meninggal dunia karena... karena hatinya terpukul. Karena malu. Kau telah mencemarkan nama keluarga kami. Tidak tahukah kau betapa kau telah menghina kami, menghina nama keluarga kami, menghina ayah dan menghina aku? Kau sedia akan menjadi mantu ayah, tapi... tapi... justru pada saat perkawinan... kau... kau hendak membunuh kami. Sedangkan para tamu tahu belaka akan hal itu. Ayah tak dapat menahan kesedihan dan malunya hingga ia jatuh sakit...dan meninggal dunia...Bukankah hal ini berarti bahwa kau telah membunuhnya? Telah membalasnya jika benar-benar dia berhutang kepadamu?"

   Thian In menundukkan kepala.

   "Aku tak puas. Aku tak rela ia mati dalam keadaan demikian. Aku belum begitu rendah untuk melakukan pembalasan dendam secara pengecut dan rendah itu. Kau tahu sendiri...tadinya aku tidak tahu bahwa ayahmu adalah musuhku. Tadinya dengan jujur aku memasuki sayembara, dengan jujur...ingin kawin dengan engkau. Tapi pada saat perkawinan dilangsungkan barulah aku tahu bahwa ia adalah musuhku, bahwa kau adalah anak musuh besarku, bahwa kita...tak mungkin menjadi suami isteri ayahmu, untuk membunuh kau juga, tapi aku tak berhasil. Ayahmu mati karena perbuatanku yang memang rendah, walaupun tak kusengaja. Kau... kau mencari aku untuk... membalas dendam?"

   Giok Cu mengangguk.

   "Memang! Tadinya aku merasa sakit hati sekali dan tinggalkan rumah untuk mencarimu. Untuk menuntut balas! Tapi... aku tak dapat... kau"

   Engko Thian In, kau harus terangkan padaku mengapa kau sakit hati kepada ayah. Barulah hatiku bisa tentram, barulah penasaran dalam hatiku dapat lenyap."

   Thian In memandang kepada Giok Cu dengan heran, kemudian dengan pandangan penuh hati iba. Ia dapat meraba perasaan gadis cantik ini. Pengakuan yang baru saja diucapkan gadis itu adalah pembukaan rahasia hatinya. Gadis ini mencinta padanya. Tapi betapa tidak? Bukankah ia pemuda pilihan dalam sayembara yang telah kawin padanya, walaupun perkawinan resmi itu belum selesai? Thian In merasa bingung dan menghela napas, penuh penyesalan.

   "Sayang dulu aku tak berhasil membunuh ayahmu. Kalau berhasil, tentu kau akan merasa dendam padaku dan akan membenciku selama hidup. Sayang kau dan ayahmu berada dalam lindungannya. Oo, ya, di manakah dia?"

   Giok Cu heran.

   "Dia? Dia siapakah yang kau maksudkan? Dan berapa kali kau katakan pelindung, siapakah yang kau maksudkan?"

   "Dia itu, kawanmu dulu itu, pemuda yang berlagak sastrawan..."

   "Ooo, kau maksudkan Gan Kam Ciu?"

   Thian In mengangguk.

   "Ya, siapa lagi. Di manakah pelindungmu yang gagah dan lihai itu?"

   Giok Cu terkejut bukan main.

   "Eh, eh, jangan kau permainkan namanya. Biarpun ia hanya seorang sastrawan yang lemah, tetapi ia seorang pemuda yang baik dan jujur. Selama hidup aku takkan melupakan kebaikan hatinya."

   Thian In tertegun.

   "Pek I Lihiap! Kau seorang gadis pendekar yang pandai ilmu silat.

   "Benar-benarkah kau begitu bodoh hingga menyangka bahwa Gang Kam Ciu itu seorang sastrawan lemah?"

   Tiba-tiba Thian In tertawa bergelak.

   "Lucu! Lucu! Bukan aku yang sekarang merasa heran sekali mengapa kau dan ayahmu main-main, tapi kaulah yang hendak mempermainkan aku. Sampai mengadakan sayembara pilih mantu yang lihai dalam ilmu silat dan ilmu surat? Padahal di dekatmu ada pemuda seperti Kam Ciu! Terus terang saja, sepuluh kali lipat ia lebih pandai dariku, baik dalam ilmu silat maupun dalam ilmu kesusasteraan."

   Giok Cu memandang wajah Thian In dengan mata terbelalak dan mulut ternganga heran. Ia tidak mau percaya dan anggap bahwa Thian In sengaja mempermainkannya atau menyindirnya. Thian In dapat menduga keraguan gadis itu, maka ia berkata:

   "Nona Ong, memang mungkin kau tidak tahu, sedangkan aku sendiri yang tinggal sekamar dengan dia juga tadinya tertipu. Tahukah kau, siapa yang dulu menjatuhkan aku dan menolong kau dan ayahmu? Siapakah yang menotoku dan membuat aku tak berdaya hanya dengan beberapa butir buah kerikil? Siapa pula yang membantuku ketika aku bertempur melawan Hoan Tin-cu dengan sindiran tentang ular dan burung? Semua itu bukan lain ialah perbuatan pemuda sastrawan yang kau anggap lemah itu!"

   "Dia...? Dia...?? Tapi... ayah dulu bilang bahwa yang dapat menggunakan batu untuk menotok orang hanyalah Hong-san Lojin. Apakah dia murid locianpwee itu?"

   "Entahlah, tapi yang kutahu jelas ialah kepandaiannya yang hebat. Ingatkah kau dulu Hoan Tin-cu pernah menjura dan menyerang secara gelap kepadanya? Ia hanya duduk tertawa saja dan diam-diam memukul kembali serangan tosu itu! Ah aku sendiri masih geli memikirkan betapa bodohnya kita dapat ditipu sedemikian rupa!"

   Sementara itu Giok Cu duduk termenung dengan pandangan jauh. Pikirannya melayang tak karuan. Ia teringat betapa baiknya pemuda sastrawan itu terhadapny, sungguhpun lamarannya dulu telah ditolak mentah-mentah dengan alasan bahwa Kam Ciu tidak pandai silat! Ah, mengapa begitu? Mengapa dul pemuda itu tidak terus terang saja dan memperlihatkan diri sebenarnya? Mengapa pemuda itu rela lamarannya ditolak dari pada membuka rahasia dirinya? Tapi ia dapat menguasai diri dan tunjukkan perhatiannya kepada Thian In, pemuda yang sedianya menjadi suaminya tapi yang kini seakan menjadi musuh itu!

   "Cobalah, ceritakan padaku tentang sakit hatimu,"

   Katanya. Thian In menghela napas beberapa kali kemudian berkata:

   "Baiklah, memang seharusnya kau tahu pula duduknya perkara agar kau tidak manjadi penasaran."

   Tapi Thian In tidak lanjutkan kata-katanya, bahkan miringkan kepala seakan-akan ada sesuatu yang didengarkan. Giok Cu merasa heran dan curahkan perhatiannya untuk mendengar pula. Benar saja, ada tindakan kaki orang di atas genteng! Tindakan kaki itu demikian ringan hingga kalau tidak didengar dengan teliti, tentu takkan terdengar orang. Sebelum mereka berdua dapat berbuat sesuatu, tiba-tiba ada bayangan orang melayang turun dan tahu-tahu seorang tosu yang bermuka kejam dengan pakian mewah berwarna kuning keemasan berdiri di depan pintu kamar mereka yang merupakan jeruji besi yang kuat. Melihat tosu itu menyeringai memandang mereka, Giok Cu loncat berdiri dengan wajah pucat karena ia kenali tosu itu yang bukan lain Gang Ong Tosu, pendeta siluman yang sangat lihai dan yang pernah menculiknya dulu!

   "Ha, ha, ha! Pek I Lihiap yang manis jelita ternyata benar-benar orang yang berani mengganggu anak Kwie-san. Aku tahu, aku tahu, selain kau si cantik manis siapa lagi yang berani? Hayo kau turut aku ke Kwie-san!"

   Setelah berkata begini tosu itu gunakan kedua tangannya memegang jeruji-jeruji besi itu dan sekali betot saja ia berhasil membongkar pintu besi yang belum tentu dapat terbongkar oleh tubrukan seekor kerbau! Thian In meloncat mundur sambil mencabut pedangnya dan membentak:

   "Tosu, siluman dari mana berani kurang ajar?"

   Tosu itu memandang dan ketika melihat pedang Thian In yang digerak-gerakkan dalam persiapan, ia berkata:

   "He, gerakan pedangmu menyatakan bahwa kau adalah murid Gak Bong. Benarkah?"

   Thian In terkejut sekali. Baru melihat ia mencabut pedang dan menggerakkan sedikit saja tosu itu sudah dapat tahu bahwa ia adalah murid Gak Bong Tosu! Ia merasa heran siapakah tosu siluman yang kenal pada Pek I Lihiap dan juga agaknya kenal pula dengar gurunya ini!

   "Gak Bong Tosu adalah suhuku. Siapakah engkau?"

   "Ha, ha, ha! Memang Gak Bong bukan orang baik-baik. Ia tidak bisa mengajar adat kepada muridnya. He, kau muridnya Gak Bong! Siapa namamu? Kau kurang ajar sekali berani-sekali berlaku tidak sopan terhadap susiokmu sendiri?"

   Gemetarlah tubuh Thian In. Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa suhunya mempunyai seorang sute bernama Gak Ong Tosu tapi agaknya suhunya tidak suka kepada sute ini. Apakah tosu ini Gak Ong? Giok Cu berbisik di dekatnya:

   "Ia adalah Gak Ong Tosu, tosu siluman yang dulu pernah menculikku, baiknya aku ditolong oleh gurumu!"

   Pucatlah wajah Thian In. Terpaksa ia berlutut dan berkata:

   "Maaf, susiok. Teecu tidak tahu sedang berhadapan dengan susiok maka berlaku kurang ajar. Terserah kepada susiok kalau hendak mengajar kepada teecu."

   Sementara itu, Gak Ong Tosu telah masuk ke dalam kamar dan tertawa bergelak.

   "Nah, begitulah seharusnya. Tapi kau tadi berlaku sangat kurang ajar! Kesinikan pedangmu!"

   Thian In angsurkan pedangnya dan Giok Cu sudah siap dengan pedangnya pula dengan hati berdebar karena ia hendak membela mati-matian jika tosu siluman itu akan mencelakakan Thian In. Tapi dengan gunakan jari telunjuk dan ibu jari, tosu itu tekan pedang Thian In.

   "Pletak!!"

   Dan dia lempar potongan pedang itu ke atas lantai.

   "Tapi susiok, pedang itu adalah pemberian suhu. Mengapa dipatahkan?"

   "Tak perduli pemberian siapa juga, kau telah bersalah dengan mencabutnya dan hendak melawan kepada susiokmu sendiri. Hayo maju dan berlutut!"

   Thian In hanya dapat menurut, dan ia berlutut di depan susioknya.

   Menurut perguruannya, seorang murid yang bersalah akan dipukul tubuh belakangnya. Dan ia tahu bahwa susiok di depannya ini adalah seorang manusia berhati iblis dan tentu hendak menjatuhkan tangan kanannya kepadanya. Tapi ia tak berani melawan karena dengan demikian berarti ia melanggar peraturan gurunya! Ia hanya kerahkan tenaga dalamnya ke arah punggung untuk menahan kedua orang yang ditahan itu kedatangan musuh dari luar. Dengan menyimpang Thian In ceritakan bahwa yang datang musuh-musuh lama, maka karena hari telah sore ia minta diri dari Tihu itu. Pembesar itu terpaksa meluluskan karena iapun tidak suka kalau musuh-musuh kedua orang itu datang lagi membuat ribut. Sebelum tinggalkan tempat itu, Thian In berkata kepada Giok Cu:

   "Nona Ong, sekarang, biarlah kita berpisah. Aku masih ada urusan lain yang harus diselesaikan."

   Giok Cu memandangnya dengan hati sedih.

   "Tapi, tapi...kau belum ceritakan tentang hal...

   "Biarlah nanti bila kita berjumpa di atas Kwie-san akan kuceritakan padamu akan hal ku mendendam kepada keluargamu."

   Terpaksa Giok Cu hanya dapat melihat pemuda itu meninggalkannya dengan hati perih. Ia merasa betapa sikap pemuda itu telah berobah kepadanya. Ia sebagai seorang gadis yang berperasaan halus dapat merasakan bahwa Thian In tidak cinta. Ujung sabut cepat melejit ke bawah dan menyambar leher tosu itu!

   "Bagus juga permainanmu!"

   Gak Ong memuji dan kali ini ia biarkan saja ujung sabuk membelit lehernya! Ketika Giok Cu dengan girang menyentak sabuknya, bukan tubuh pendeta itu yang roboh, sebaliknya dia sendiri yang tertarik hingga terhuyung ke arah pendeta itu! Gak Ong Tosu dengan tertawa menjemukan buka kedua lengannya sambil berkata:

   "Ah, ah... mari, manis, mari sini..."

   Tapi Giok Cu keburu menahan tubuh dan loncat mundur sambil memaki dengan gemas.

   "Tosu anjing! Tosu siluman!"

   Ia banting banting kaki dan hampir saja menangis, karena menghadapi tosu itu ia merasa sebagai seorang anak kecil yang tak berdaya.

   Sementara itu Thian In masih berlutut tak bergerak. Pada saat yang berbahaya itu, berkelebatlah sinar putih dan tahu-tahu sebutir batu karang putih menyambar ke arah pilingan kepala Gak Ong Tosu. Menyambarnya senjata rahasia itu demikian cepat hingga Gak Ong mengeluarkan suara kaget dan berkelit ke samping. Tapi pada saat itu juga, tida buah benda putih lain menyambarnya! Senjata-senjata rahasia itu sangat lihai karena yang di arah adalah jalan-jalan darah yang mematikan. Dengan berseru marah Gak Ong gunakan ujung bajunya yang panjang untuk mengebut ketiga batu itu, kemudian secepat kilat kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu Thian In dan Giok Cu telah tertotok hingga tidak berdaya karena tak dapat bergerak sedikitpun! Thian In masih berlutut dan Giok Cu berdiri bagaikan patung.

   "Bu-Eng-Cu setan kecil! Jangan lari, tunggu pembalasanku!"

   Gak Ong berseru keras lalu tubuhnya berkelebat keluar dan loncat ke atas genteng. Ketika berada di atas genteng, ia tidak melihat siapa-siapa. Tiba-tiba empat buah batu, batu lain menyambarnya yang dapt dikebut dengan mudah. Berbareng saat itu terdengar seruan Bu-Eng-Cu si Tanpa bayangan.

   "He, Gak Ong, pendeta cabul penuh dosa! Mengapa selainnya cabul dan jahat, kau juga sangat pengecut? Kau sudah janji dengan suhengmu untuk bertemu di Kwie-san. Mengapa kau ganggu mereka sebelum tiba waktu penetapan di Kwie-san? Apakah kau hendak andalkan kepandaianmu menghina yang lemah? Ingat, Gak Ong perbuatanmu ini akan membusukkan nama selama kau hidup di kalangan kang-ouw! Tidak beranikah kau menanti sampai setengah bulan lagi di Kwie-san?"

   Merahlah wajah Gak Ong.

   "Bu-Eng-Cu! Kau manusia rendah! Kau katakan aku pengecut? Untuk makian ini saja aku akan membunuhmu! Baiklah aku menanti di Kwie-san. Dan jangan kau tidak datang, karena kalau kau tidak muncul, ke manapun kau pergi pasti aku akan mengejarmu!"

   Sehabis berkata demikian dengan hati panas Gak Ong Tosu melayang pergi. Thian In dan Giok Cu mendengar semua itu tapi mereka tak berdaya untuk keluar. Tiba-tiba dua butir batu melayang dan memukul tepat pada jalan darah Thian In dan Giok Cu yang segera terbebas dari totokan tadi. Mereka memburu keluar dan loncat naik. Tapi Bu-Eng-Cu Koay-hiap si Pendekar aneh Tanpa-bayangan sudah tak tampak sedikitpun bayangannya!

   "Kenalkah kau kepada Bu-Eng-Cu Koay-hiap?"

   Giok Cu bertanya dengan suara gemetar kepada Thian In. Pemuda itu geleng kepala dan tersenyum.

   "Biarpun belum pernah bertemu muka tapi aku dapat menduga siapa dia, dan kurasa kaupun dapat menduganya, nona Ong. Tapi sementara ini biarlah kita jangan pusingkan kepala dengan menduga-duga karena kau tadipun mendengar bahwa setengah bulan lagi dia juga hendak naik ke Kwie-san. Ah, akan ramailah di sana nanti!"

   Ketika mereka turun kembali, di situ sudah penuh orang-orang yang ternyata adalah Tihu dan pengawal-pengawalnya. Mereka ini diberitahu oleh penjaga tahanan dan segera mengepung tempat itu karena menyangka bahwa datangnya pukulan susioknya yang ia duga tentu akan mendatangkan maut baginya, atau setidak-tidaknya luka dalam yang hebat! Ia meramkan matanya. Tapi pada saat itu Giok Cu tak dapat tahan marahnya lagi. Secepat kilang ia menusuk dengan pedangnya ke arah pinggang tosu itu. Gak Ong Tosu tertawa menyindir dan berkata:

   "Ha, nona, kau juga hendak kurang ajar padaku? Lihat nanti di Kwie-san, kalau aku sudah membawa kau ke sana, apakah kau masih dapat berlaku segalak ini atau tidak. Ha, ha, ha!"

   Sambil tertawa ia gerakkan tangannya dan tahu-tahu pedang Giok Cu telah menusuk celah-celah jari tangan tosu itu yang menyengkeram dan dengan keluarkan suara keras pedang Giok Cu juga patah menjadi dua. Bukan main kagetnya gadis itu tapi ia belum mau menyerah.

   Ia cabut sabuk suteranya dan gunakan itu untuk memecut muka Gak Ong Tosu. Pendeta siluman itu gunakan tangan kiri mencabut ujung sabuk, tapi dengan sekatan sekali Giok Cu gerakkan tangannya hingga lagi padanya! Ia terkenang kepada Kam Ciu. Benarkah pemuda yang dulu ia tolak lamarannya dan tampak lemah dan tolol itu sekarang pendekar luar biasa? Benarkah Bu-Eng-Cu Koayhyap yang lihai dan beberapa kali menolongnya itu adalah Gan Kam Ciu juga? Ah, tidak masuk diakal! Tapi kalau betul... alangkah malunya kalau bertemu padanya! Berpikir sampai di sini, Giok Cu menjadi bingung dan ia merasa betapa ia hidup seorang diri di dunia ini. Tiba-tiba ia merasa sangat kesepian dan menangislah ia tersedu-sedu! Ketika ada tangan memegang pundaknya dengan lembut, ia angkat kepala menengok Tihu tua yang ramah itulah yang memegang pundaknya.

   "Lihiap, mengapa bersedih dan menangis? Marilah kau tinggal di rumahku beberapa hari, Lihiap. Isteriku tentu akan senang sekali bertemu dengan engkau. Tentu saja, kalau kau sudi mampir di rumah kami."

   Giok Cu hendak menolak, tapi ia melihat wajah yang ramah itu seakan-akan memohonnya. Juga, pada saat hari telah mulai gelap itu, hendak kemanakah ia pergi?

   "Marilah, lihiap. Barang-barangmu di hotel telah kupindahkan ke rumah kami, karena aku kalau-kalau di sana ada yang mencurinya."

   Akhirnya Giok Cu setuju dan mengikuti Tihu itu ke gedungnya. Tihu itu adalah seorang she Thio. Thio Tihu hidup berdua dengan isterinya, karena putera tunggalnya yang bernama Thio Seng melanjutkan pelajaran ke kota raja dan menempuh ujian di sana. Gedung Tihu itu biarpun besar tapi hanya diisi dengan perabot rumah tangga yang sederhana saja hingga diam-diam Giok Cu merasa heran. Mengapa ada Tihu semelarat ini? Ia tidak tahu bahwa Thio-Tihu terkenal sebagai seorang yang jujur dan adil.

   Hatinya bersih tak pernah sudi menerima sogokan hingga ia terkenal dan disuka oleh rakyat, tapi keadaannya selalu miskin. Kelebihan hasil yang dipakainya selalu digunakan untuk membantu mereka yang miskin, atau disumbangkan kepada kelenteng-kelenteng yang hendak memperbaiki bangunannya. Thio-hujin ternyata adalah seorang nyonya setengah tua yang halus tutur bahasanya, perumah dan terpelajar pula. Nyonya itu walaupun hanya seorang wanita, tapi setelah bercakap-cakap dengan Giok Cu, ternyata sangat luas pandangannya. Tidak heran bahwa sebentar saja Giok Cu merasa tunduk betul dan merasa suka kepadanya. Hal ini tidak saja dikarenakan kehalusan budi nyonya Thio, tapi juga karena sebenarnya Giok Cu haus akan kasih sayang seorang ibu. Ibunya sendiri meninggal ketika ia belum dewasa.

   

Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini