Ceritasilat Novel Online

Pek I Lihiap 6


Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



Karena kebaikan Thio Tihu dan keramahan Thio-hujin. Giok Cu merasa betah tinggal di situ hingga ketika suami isteri she Thio itu minta agar ia tinggal lebih lama ia menyetujui sambil haturkan terima kasih. Tapi, biarpun merasa senang tinggal di situ karena tekanan-tekanan batin yang dideritanya semenjak tinggalkan rumah sampai pada perjumpaannya dengan Thian In, ditambah kekecewaan hatinya mendengar akan hal Kam Ciu yang membuatnya merasa malu kepada diri sendiri, Giok Cu jatuh sakit! Tubuhnya panas sekali hingga ia sering sekali mengigau menyebut-nyebut nama ayah-ibu, nama Thian In dan Kam Ciu berganti-ganti. Berhari-hari ia tidak ingat orang hingga Thio Tihu berdua isterinya merasa bingung sekali. Kedua suami isteri yang baik hati ini segera panggil tabib terpandai dan merawat gadis itu dengan teliti dan open sekali.

   Tiga hari kemudian Giok Cu sembuh kembali dari sakitnya, walaupun tubuhnya masih lema. Ia terima kasih sekali kepada Thio-Tihu dan terutama kepada Thio-hujin yang sering kali duduk di pinggir pembaringannya dan gunakan tangannya yang halus untuk membereskan rambut dan pakaiannya, bahkan sering kali nyonya yang berbudi ini elus-elus rambut kepala Giok Cu dengan penuh kasih sayang! Giok Cu tidak tahu bahwa nyonya itu dulu di samping puteranya mempunyai juga seorang anak perempuan yang wajahnya hampir sama dengan dia, dan yang meninggal dunia karena penyakit. Agaknya persamaan wajah inilah yang menggerakkan hati nyonya itu untuk timbul kasih sayangnya terhadap Giok Cu. Pada hari keempatnya, di waktu senja ketika Giok Cu sadar dari tidur siang, ia melihat Thio-hujin telah duduk pula di dekatnya.

   "O, sudah lamakkah, pehbo?"

   Tegurnya sambil buru-buru bangun duduk. Ia diharuskan menyabut peh-peh dan Peh-boh, yakni uwak atau paman serta bibi kepada Thio-Tihu berdua, sebutan yang lebih mesra dan yang lebih berarti bahwa ia dianggap keluarga sendiri. Thio-hujin menahan tubuhnya dengan tangan lalu mendorongnya perlahan untuk rebah kembali.

   "Tidurlah saja Giok Cu badanmu masih lemah. Kebetulan sekali Siauw Seng mengirim buah-buah dari kota raja. Nah ini untukmu,"

   Nyonya itu serahkan beberapa butir buah.

   "Siapakah Siauw Seng Peh-boh??"

   Thio hujin gunakan tangannya menutup mulut sambil tertawa.

   "Lupakah kau? Dia adalah anak kami. Namanya Seng, tapi dari dulu kami sebut dia Seng Kecil (Siauw Seng)."

   "Peh-bo, sungguh saya merasa berhutang budi kepadamu berdua. Kebaikan hatimu membuat saya malu saja. Maka besaok hendak melanjutkan perantauanku, Peh-bo."

   Thio-hujin menghela napa.

   "Kau... sudah tidak mempunyai orang tua lagikah?"

   Giok Cu geleng-geleng kepala dengan sedih.

   "Dan keluarga lain?"

   Kembali Giok Cu geleng-geleng kepala.

   "Dan... jangan marah, ja. Itu... pemuda yang dulu bersamamu? Siapakah dia? Masih keluargamukah?"

   "Bukan! Ia hanyalah... kenalan ayah ketika beliau masih hidup. Kebetulan saja aku berjumpa di kota ini ."

   "Jadi... kau, belum kawin?"

   Giok Cu termenung sebentar, wajah halus itu sambil tersenyum lalu gelengkan kepala.

   "Belum bertunangan?"

   Pertanyaan ini dikeluarkan dengan hati-hati sekali. Giok Cu kerutkan jidat sebentar lalu menjawab tetap:

   "Belum. Mengapa kau tanyakan hal itu, Peh-bo?"

   Thio-hujin menghela napas.

   "Terus terang saja, nak. Peh-pohmu dan aku sering bicara tentang kau dan kami merasa kau sebagai anak sendiri. Kami suka dan kasihan padamu. Kami... kami... jika kau suka, kami akan girang sekali mengambil mantu kau untuk kami jodohkan dengan Siauw Seng..."

   Giok Cu bangkit dan duduk dengan serentak. Ia memandang dengan mata terbuka lebar kepada nyonya yang memandangnya dengan tersenyum itu.

   "Ah, Peh-bo..."

   Tiba-tiba Giok Cu memeluk nyonya itu dan menangis sedih. Thio hujin elus-elus pundak gadis itu dengan penuh kasih sayang.

   "Kalau kau hidup sebatang kara, bukankah baik sekali kau terima pinanganku, Giok Cu? Kau akan mendapat keluarga dan orang tua yang akan selalu berlaku baik padamu. Tapi, ingat nak, aku tidak memaksa. Aku tahu bahwa sebagai seorang gadis pendekar yang sering merantau dan banyak melihat dunia kau tentu tidak puas menerima begitu saja. Maka biarlah kutunggu sampai Siauw Seng pulang, lihatlah sendiri putera kami itu. Kalau ia tidak terlalu buruk dan terlalu bodoh, kuharap engkau dapat menerima kehendak kami ini."

   "Bukan demikian, Peh-bo. Tapi... tapi aku..."

   Giok Cu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena hatinya sangat terisak-isak saja. Nyonya Thio bangkit berdiri dan setelah menepuk-nepuk bahu gadis beberapa kali dengan mesranya ia berkata:

   "Jangan banyak bersedih, nak dan jangan bingungkan tentang pinangan itu. Kau mempunyai banyak waktu untuk mempertimbangkannya. Sekarang mengasolah badanmu masih lemah."

   Setelah berkata demikian nyonya yang baik hati itu tinggalkan kamar Giok Cu dan gadis itu duduk termenung seorang diri.

   Pikirannya berputar-putar dan melayang-layang jauh. Ia hendak dijodohkan dengan putera Tihu, seorang pemuda sasterawan. Ia teringat kepada Kam Ciu. Pemuda itu juga dianggap sastrawan ketika meminang dan ditolaknya, hanya karena alasan bahwa ia seorang pemuda sastrawan lemah! Ah, ia telah menolak pemuda seperti Kam Ciu dan salah memilih seorang pemuda yang hendak membunuhnya, yang telah mendatangkan malu dan cemar pada keluarganya. Dan sekarang ia akan dijodohkan dengan seorang pemuda sastrawan lain, sastrawan tulen? Ia bingung, akhirnya menjadi pusing dan tak terasa tertidur kembali. Di dalam tidurnya ia mimpi berjumpa dengan Thian In yang mengejarnya dengan pedang terhunus dan hendak membunuhnya.

   Ia akhirnya tak kuat lari lagi dan menanti pemuda itu dengan nekad lalu ia berkata bahwa ia takkan melawan dan rela dibunuh asal saja pemuda itu suka menceritakan tentang sebab permusuhannya dengan ayahnya. Tapi Thian In tak menjawab, hanya terus menyerang dan sabetkan pedang ke leher Giok Cu! Giok Cu berkelit tapi pedang masih terus bergerak mengikuti leher hingga ia menjerit dan sadar dari tidurnya! Giok Cu susut keringat yang membasahi leher dan jidatnya. Seketika timbul rasa penasaran dalam hatinya terhadap Thian In. Mengapa pemuda itu belum mau juga membuka rahasianya? Mengapa belum juga menceritakan riwayat terjadinya permusuhan? Malam hari itu, ketika Nyonya Thio memasuki kamar Giok Cu, ia melihat kamar itu telah kosong. Gadis itu diam-diam telah pergi hanya tinggalkan sehelai surat di atas meja. Dengan kecewa dan terharu Thio-hujin baca surat itu.

   Thio Peh-bo yang tercinta,

   Sungguh saya merasa berdosa besar dan malu sekali telah pergi diam-diam tanpa pamit, setelah Peh-bo berdua begitu baik terhadap saya. Tapi apa boleh buat, sebuah urusan yang sangat penting memaksa saya pergi malam ini juga. Saya belum dapat ceritakan apakah adanya urusasn ini, dan pada bulan depan, sekiranya saya masih hidup, pasti saya akan datang menghaturkan maaf di depan Peh-bo berdua.

   Hormat saya: Ong Giok Cu

   Diam-diam Thio-hujin mengeluh. Ah, dasar anak perempuan kang-ouw. Sayang dia bukan gadis terpelajar biasa yang tidak kenal akan segala kekasaran dari golongan persilatan, pikirnya. Maka timbullah sedirit rasa kecewa dalam hati nyonya yang halus budi itu. Dan pergilah ia mendapatkan suaminya sambil membawa surat Giok Cu. Thio Tihu hanya geleng-geleng kepala dan rabah-rabah kumisnya. Seperti orang yang tak sehat pikiran, Giok Cu di waktu tengah malam buta pergi meninggalkan gedung Tihu, balapkan kudanya keluar kota dan semalam penuh tiada hentinya ia berpacu melawan angin malam.

   Ia tak perdulikan hawa malam yang dingin, tak perdulikan tubuhnya yang baru saja sembuh dari sakit itu menjadi basah oleh keringat. Ia larikan kudanya seperti dalam mimpi. Satu-satunya pikiran yang terbayang dalam otaknya ialah kejar dan cari Thian In! Fajar telah menyingsing ketika ia masuk kota kecil yang ramai. Bau masakan yang keluar dari sebuah rumah makan menyadarkannya bahwa perutnya sejak malam tadi terasa lapar dan minta diisi. Ia hentikan kudanya di depan rumah makan itu dan setelah ikat kendali kuda pada sebuah tiang, ia masuk. Rumah makan itu kecil tapi telah ramai. Giok Cu agak heran melihat kerajinan orang-orang di situ, sepagi itu telah keluar rumah dan berada di rumah makan. Mungkin di situ terdapat pasar yang buka pagi-pagi, pikirnya.

   Rumah makan itu berloteng dan karena di bawah terlalu penuh, Giok Cu naik ke loteng. Semua tamu yang makan di situ adalah laki-laki belaka, dan tak seorangpun tidak menengok memandangnya semenjak ia memasuki pintu rumah makan. Hal ini membuat Giok Cu merasa gemar sekali hingga ketika ia sudah sampai di loteng ia duduk sambil tarik kursi keras-keras. Yang makan di atas loteng hanyalah serombongan orang terdiri dari seorang tua dan empat orang muda. Pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat dan di pinggang mereka tergantung pedang. Tapi Giok Cu tak memperhatikan mereka hanya makan dengan bernapsu. Ia tidak tahu bahwa seorang di antara mereka yang muda, memandangnya dengan penuh gairah. Ketika ia kebetulan menengok, maka marahlah ia karena orang muda itu lalu memandangnya dengan mata kurang ajar dan mulut cengar cengir!

   Bangsat, pikirnya, dan untuk melampiaskan rasa mendongkolnya, Giok Cu berdiri dengan serentak dan pergi hingga kursi yang tadi didudukinya terguling dan mengeluarkan suara keras! Tapi gadis itu tak perdulikan itu semua, hanya cepat bayar harga makanan dan cemplak kudanya. Tapi setelah keluar dari kota, pikirannya agak tenang. Hawa sangat sejuk dan pemandangan indah. Maka ia jalankan kudanya dengan perlahan seenaknya. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda belakangnya. Segera ia hentikan kudanya dan minggir. Ternyata yang datang adalah lima orang yang tadi sedang makan di loteng rumah makan. Pemuda yang tadi memandangnya dengan sikap menjemukan, tahan les kudanya hingga kawan-kawannyapun terpaksa berhenti. Orang tua itu angkat tangan memberi hormat.

   "Nona, boleh aku bertanya. Nona hendak ke mana?"

   Kata-katanya diiringi senyum memikat. Giok Cu kedikkan kepalanya.

   "Hendak kemanapun aku apakah hubungannya dengan kamu?"

   Orang itu tersenyum dan lirik kawan-kawannya yang juga tersenyum mendengar dan melihat lagak gadis yang galak itu.

   "Tidak apa-apa, nona. Hanya kalau kita sejurusan, bukankah lebih enak kita jalan sama-sama dari pada menyepi seorang diri."

   Giok Cu marah sekali, wajahnya memerah.

   "Kau anggap aku orang apa maka kau berani berlaku kurang ajar?"

   Orang itu makin lebar senyumnya.

   "Kau? Kau kuanggap orang yang cantik jelita, sayang sedikit galak!"

   "Bangsat, rendah, kau cari mampus!"

   Giok Cu cabut pedangnya dan loncat turun dari kudanya. Pengganggunya loncat turun juga dan sambil memandang kawan-kawannya ia berkata:

   "Ah, tak kusangka gadis cantik ini pandai main pedang. Twako, perkenankanlah aku main-main sebentar dengan orang ini."

   Orang yang tertua mengangguk tersenyum.

   "Tapi berhati-hatilah, jangan kau celakakan padanya."

   "Mana aku tega hati untuk melukai kulitnya yang halus dan putih bersih itu?"

   Orang itu berkata tapi ia harus segerah tahan suara ketawanya ketika pedang Giok Cu datang menyambar!

   "Aya...! ia berseru sambil berkelit cepat, tapi tak disangkanya gerakan pedang Giok Cu yang cepat sudah datang menyerang lagi!

   "Bagus!"

   Teriaknya dan menangkis. Kini Giok Cu yang terkejut karena tangkisan itu berat sekali hingga tangannya tergetar. Ia tahu lawannya bukan orang lemah, maka cepat tangan kirinya mencabut sabuk suteranya yang segera disabetkan ke arah muka lawannya. Lawannya terkejut dan melihat benda panjang warna kuning bagaikan ular menyambar mukanya, ia berkelit, tapi benda itu cepat sekali gerakkannya hingga pundaknya masih tercambuk! Ia rasakan pundaknya panas hingga terhuyung-huyunglah ia ke belakang sambil menjerit:

   "Aha, lihai sekali!"

   Melihat kawannya tak dapat menangkap gadis itu bahkan kena terpukul sabuk, pemimpin mereka yang paling tua itu merasa kagum dan tiba-tiba ia bertanya kepada Giok Cu:

   "Nona berpakaian putih, bersenjata pedang dan sabuk. Bukankah Pek I Lihiap?"

   "Aku memang Pek I Lihiap, habis kalian mau apa? Pergilah sebelum aku ambil kepala kalian semua!"

   Jawab Giok Cu dengan jumawa. Orang tua itu tertawa besar melihat lagak gadis itu.

   "Pek I Lihiap kau sombong sekali. Kalau baru mempunyai kepandaian seperti ini saja, tak mungkin kau mampu ambil kepala kami. Tapi kami mempunyai urusan lebih penting dan tidak ada waktu bermain-main maka maafkanlah kami!"

   Ia lalu memberi tanda kepada kawan-kawannya yang cemplak kuda masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Giok Cu mendengar betapa mereka goda dan tertawai pemuda yang menggodanya tadi. Diam-diam Giok Cu bernapas lega. Ia maklum bahwa untuk melawan pemuda tadi itu saja belum tentu ia bisa menang. Apa lagi melawan yang lain-lain yang agaknya berkepandaian tinggi, terutama pemimpin itu. Ia heran dan ingin tahu siapakah rombongan itu.

   Langgam bicaranya seperti orang-orang kota. Karena tidak mempunyai tujuan tertentu, maka Giok Cu ikuti jejak mereka. Setelah hari mulai gelap, sampailah ia di kota Liok-an-kia. Ia memilih kamar di hotel yang terbesar. Ketika ia diantar oleh pelayan ke kamarnya, ia mendengar suara orang bercakap-cakap dan ia kenal bahwa orang-orang yang sedang bercakap-cakap di kamar sebelah adalah rombongan yang ribut dengan dia di hutan tadi. Karena merasa curiga dan ingin sekali tahu darimana datangnya orang-orang ini, ia hendak mengintai dan mendengar pembicaraan mereka. Kebetulan sekali ia dapatkan sebuah lobang kecil dinding papan yang memisah kamarnya dengan kamar besar mereka. Ia melihat mereka berlima mengelilingi meja menghadapi arak dan makanan. Ia pasang telinga mendengar dengan penuh perhatian.

   "Kita harus berhati-hati dan jangan gegabah. Ciu-sute tadi berlaku sembrono sekali, harap saja hal semacam itu jangan terulang lagi. Kita sedang menghadapi tugas besar dan berat, jangan libat diri dengan segala hal yang reme-reme.

   "Tapi apakah beratnya menangkap seorang sastrawan lemah semacam Thio Seng?"

   Pemuda yang tadi menganggu Giok Cu itu berkata menghina.

   "Ciu-sute, kau masih muda dan belum banyak pengalaman. Jangan kau kira mudah saja menangkap Thio Seng. Biarpun dia sendiri lemah. Tapi namanya telah banyak menggerakkan hati orang-orang gagah di kalangan kang-ouw dan ia telah banyak mempunyai kawan. Karena itulah maka Oey Tay-jin mengutus kita. Gadis tadi adalah Pek I Lihiap, sia tahu kalau-kalau dia juga mempunyai hubungan dengan Thio Seng?"

   Giok Cu merasa heran karena ia teringat akan putera Thio Tihu. Bukankah putera Thio Tihu yang bersekolah di kota raja juga bernama Thio Seng? Bukankah orang yang hendak dijodohkan dengan dia yang disebut Siauw Seng oleh nyonya Thio, adalah seorang yang dinanti-nanti dan hendak ditangkap oleh kelima orang ini? Ia mendengarkan lagi.

   "Penyelidik kita melapor bahwa dia telah berada di Ki-lok dan paling lama dua hari lagi tentu tiba di sini."

   Tiba-tiba timbul pikiran dalam kepala Giok Cu. Ia harus tolong Thio Seng.

   Ia harus membelanya sebagai pembalas budi kepada orang tua pemuda itu. Sementara itu, tak habis herannya mengapa anak muda terpelajar putera seorang Tihu pula, hendak ditangkap oleh rombongan orang-orang ini? Siapakah mereka ini? Pada saat itu terdengar suara orang-orang di luar dan pintu kamar mereka terbuka. Maka masuklah empat orang yang tiga berpakaian seperti lima orang pertama dan yang keempat adalah seorang pendeta Lama berkepala gundul yang berpakaian jubah kuning, tapi jubah itu tak berkancing di bagian atas dan terbuka saja hingga tampak dadanya yang penuh bulu hitam. Tubuh Lama itu tinggi besar, tapi tindakan kaki dan gerakannya demikian ringan dan gesit hingga diam-diam Giok Cu terkejut. Ia maklum bahwa orang-orang dalam kamar itu adalah orang dengan kepandaian tinggi, sedikitnya tidak di bawah kepandaiannya sendiri!

   "Ha, loheng baru datang! Dan Beng Po Hwatsu juga ikut datang! Silahkan duduk, silahkan duduk!"

   Semua orang duduk, kecuali Lama itu. Ia berdiri dan tiba-tiba tangannya mengangkat guci arak dan menghirupnya. Kemudian ia turunkan lagi guci itu ke atas meja, lalu menengok ke dinding yang berlobang kecil dan menyembur.

   "Pinto paling tidak suka kalau ada anak anak mengintip-ngintip orang lain,"

   Katanya lalu tertawa bergelak-gelak. Untung sekali Giok Cu telah bercuriga dan buru-buru tarik kepalanya dari lobang itu. Ia melihat arak yang disemburkan itu memasuki lobang bagaikan jarum-jarum berterbangan! Kalau saja semburan arak itu mengenai matanya tentu ia akan menjadi buta! Keringat dingin membasahi jidatnya. Bagaimana pendeta itu dapat tahu bahwa ia berada di situ? Apakah pendeta itu dapat melihat menembus dinding? Giok Cu tak sempat berpikir lagi, tentang hal ini. Ia cepat ambil pedang dan buntalan lalu keluar dari kamar. Kepada pelayan ia beritahukan bahwa ia hendak pergi pesiar naik kudanya.

   Setelah cemplak kudanya, ia balapkan kuda tinggalkan tempat berbahaya itu. Ia bertanya kepada orang-orang di situ jalan yang menuju ke Ki-lok, karena ia hendak mencegat Thio Seng untuk diberi peringatan. Kemudian ia kaburkan kuda menempuh malam gelap! Ia merasa lelah dan mengantuk, tapi karena ingin segera berjumpa dengan Thio Seng dan menolongnya menghindarkan diri dari bencana, ia tidak memperdulikan diri sendiri. Ia makin heran memikirkan mengapa untuk menangkap anak muda itu dibutuhkan tenaga demikian banyak, bahkan harus minta bantuan seorang berilmu tinggi seperti pendeta Lama itu. Ia terus berkuda sampai pagi dan masih saja ia berada dalam sebuah hutan, karena jalan besar yang dilaluinya itu lewat dalam sebuah hutan yang sangat panjang. Untung malam tadi terang bulan hingga ia bisa melanjutkan perjalanan.

   Ketika melihat sebuah anak sungai ia turun dan mencuci muka, karena ia merasa lelah sekali dan mengantuk, sedangkan ia hendak melanjutkan perjalanannya sampai dapat berjumpa dengan orang yang dicarinya. Pada siang hari, setelah melampaui beberapa dusun dan bertanya kepada para petani kalau-kalau mereka melihat rombongan sastrawan muda lewat di situ, akhirnya ia bertemu juga dengan Thio Seng. Ia melihat empat penunggang kuda datang dari depan. Yang tiga orang berpakaian seperti biasa dipakai seorang siucay atau mahasiswa. Sedangkan orang keempat berpakaian sebagai ahli silat. Ketika mereka datang dekat, Giok Cu sengaja mencegah di tengah jalan karena ia hendak bertanya apakah benar mereka itu rombongan Thio Seng. Tapi alangkah herannya ketika melihat bahwa orang yang membawa pedang dan mengawal mereka itu bukan lain ialah Thian In sendiri!

   "Ong Siocia! Kau di sini?"

   Tegur Thian In yang majukan kudanya.

   "Aku bukan sengaja mencari kau,"

   Gadis itu menjawab perlahan walaupun ia tahu bahwa sebenarnya Thian In yang dia cari-cari.

   "Hendak kemanakah kau?"

   "Aku hendak mencegat rombongan Thian kongcu. Apakah tuan-tuan ini rombongannya?"

   Seorang pemuda yang berwajah tampan dan tampak cerdas majukan kudanya lalu menjawab dengan menjura:

   "Siauwtee adalah Thio Seng, apakah yang harus siauwtee kerjakan untukmu, nona? Giok Cu memandang tajam. Inilah pemuda yang hendak dijodohkan dengan dia! Mau tidak mau ia harus akui bahwa Thio Seng adalah seorang pemuda yang cakap sekali. Mukanya putih dan bundar dengan sepasang mata yang bening tajam, sedangkan mulutnya manis dengan bibir merah seperti mulut seorang wanita cantik dan usianya paling banyak dua puluh tahun. Kalau dibandingkan, Thio Seng lebih tampan daripada Kam Cu maupun Thian In sekali! Giok Cu balas memberi hormat.

   "Thio kongcu, maaf aku tidak kenali kau karena baru mendengar nama saja, baru kali ini melihat rupa. Aku kenal baik dengan kedua orang tuamu, Thio kongcu. Wajah pemuda itu berseri.

   "Ah, bagaimana keadaan mereka, nona? Mereka baik saja dan mengharap-harap kedatanganmu."

   "Kau sungguh mulia, nona. Terima kasih atas berita yang kau sampaikan ini. Tapi...tapi agaknya nona mempunyai kepentingan dengan siautee hingga sampai mencegat di sini."

   "Sebenarnya, aku hendak memperingatkan kau supaya berhati-hati karena ada beberapa orang hendak menangkapmu!"

   Giok Cu menduga bahwa pemuda itu akan terkejut dan ketakutan, tapi ia kecele. Thio Seng sama sekali tidak memperlihatkan muka terkejut, apa lagi takut. Tidak demikian dengan kedua kawannya yang juga adalah pemuda-pemuda pelajar sastra, mereka ini menjadi pucat dan jelas menunjukkan muka takut. Tiba-tiba Thian In pegang lengan Thio Seng dan berkata:

   "Mereka benar-benar tidak mencegat kita, tapi jangan takut, ada aku di sini. Apa pula sekarang ada Pek I Lihiap beserta kita, takut apakah kita?"

   Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Thian In sengaja jalankan kuda di belakang bersama Giok Cu. Setelah berada di belakang berdua dengan gadis itu, wajah Thian In tampak bersungguh-sungguh.

   "Nona Ong, sebenarnya siapakah orang-orang yang hendak menangkap Thio-kongcu? Ada berapa orang dan mereka orang-orang apa?"

   "Katanya kau tidak takut! Untuk apa tanya-tanya pula?"

   Jawab Giok Cu sambil mengerling tajam dan mulut tersenyum mengejek.

   "Di depan Thio kongcu tidak perlu kita bicara tentang bahaya."

   "Tapi ia tampaknya tak setakut engkau!"

   Thian In menghela napas.

   "Memang ia orang luar biasa. Biarpun tubuhnya lemah, tapi hati dan semangatnya lebih kuat dan tabah daripada kita. Karena itu harus kita lindungi dia."

   "Eh, dia itu orang apakah maka agaknya demikian penting? Aku lihat orang-orang yang hendak menangkapnya juga bukan orang-orang sembarangan. Mereka berjumlah sembilan orang dan semuanya memiliki ilmu silat yang tidak rendah, terutama pendeta itu!"

   "Biarlah aku tidak takut. Apalagi ada kau yang membantu."

   "Engkoh Thian In sebenarnya orang penting macam apakah pemuda sastrawan lemah itu?"

   Tanya Giok Cu sambil menunjuk dengan gagang cambuk kudanya ke arah punggung Thio Seng, dan bagaimana kau bisa bersama-sama dengan dia?"

   "Biarlah kuceritakan riwayatnya yang kudengar dari suhu, dan tentang pertemuanku dengan dia agar kita tidak kesepian melalui hutan ini,"

   Kata Thian In yang selalu bercerita. Seperti telah diketahui, Thio Seng atau yang biasa disebut Siauw Seng oleh ayah ibunya, adalah putera tunggal dari Thio Tihu yang tinggal di kota Anting.

   Semenjak kecilnya, Thio Seng sangat pintar dan maju sekali dalam pelajaran membaca dan menulis hingga setelah ia agak besar, ayahnya mengirimnya ke kota raja di mana tinggal pamannya yang menjadi congtok. Thio Seng terus mempelajari ilmu kesusasteraan dan ketatanegaraan dengan tekun dan rajin ketika ia menempuh ujian koota raja, ia lulus dengan hasil baik. Tapi dalam dada pemuda ini menyala semangat cinta bangsa yang besar sekali hingga ia segera merasa penasaran dan menyesal melihat ketidak adilan pemerintah Cen-tiauw di masa itu. Ia anggap bahwa pemerintah asing dan bangsa Boan mengisap rakyat yang miskin. Ia bersedih betapa orang-orang gagah bangsa Han yang memiliki kepandaian digunakan oleh pemerintah asing itu untuk menindas rakyat lemah, betapa orang-orang gagah terpecah belah dan bahkan saling bermusuhan.

   Terdorong oleh rasa penasaran, kemarahan dan kesedihan ini ia menulis sebuah karangan yang isinya mencela pemerintah Boan dan menyerukan kepada semua rakyat jelata agar bersatu padu, saling tolong dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk. Walaupun ia tidak langsung menganjurkan pemberontakan, tapi isi tulisan itu demikian tajam hingga menimbulkan heboh besar, baik di kalangan rakyat maupun di pihak pemerintah. Orang-orang gagah yang membaca karangan itu timbullah semangat kepahlawanan dan jiwa patriotnya, para dorna atau penghianat, yakni orang-orang Han yang gunakan kesempatan untuk mencari pangkat dengan menjilat-jilat pembesar-pembesar Boan dan menindas serta kurbankan bangsa sendiri merasa tercambuk muka mereka, sedangkan kaisar membaca karangan itu menjadi marah.

   Pada saat itu memang Thio Seng hendak pulang ke rumah orang tuanya, maka kaisar segera memberi titah untuk menangkap pemuda itu dan membawanya ke istana. Tapi hal itu dilakukan dengan hati-hati sekali oleh para petugaas karena mereka maklum bahwa banyak sekali orang gagah merasa simpati dan suka kepada Thio Seng. Di antara para orang gagah i tu, Gak Bong Tosu juga merasa kagum akan keperibadian dan buah pikiran anak muda itu, maka ia segera mencari Thian In dan perintahkan muridnya itu mencegah perjalanan Thio Seng dan melindunginya. Thian In semenjak gagaknya membalas dendam kepada Ong Kang Ek lalu naik gunung dan bertapa dengan suhunya, tapi Gak Bong tahu bahwa muridnya itu tidak berjodoh untuk menjadi pertapa, karena itulah maka ia perintahkan muridnya turun gunung sekalian melindungi pemuda sasterawan yang berjiwa besar itu.

   Perjalanan Thian In terhalang ketika ia bertemu dengan Giok Cu, tapi segera pemuda itu melanjutkan perjalanannya ke kota raja untuk menjemput Thio Seng. Kebetulan sekali ia bertemu dengan Thio Seng yang telah tertangkap oleh segerombolan perampok dan dengan gagah Thian In menwaskan kepala rampok dan menolong Thio Seng dengan dua orang kawannya. Semenjak peristiwa itu mereka bersahabat dengan Thian In mengawali Thio Seng pulang ke kampungnya dan bertemu di jalan dengan Giok Cu. Demikianlah, Thian In menceritakan pengalamannya kepada Giok Cu dan sebaliknya Giok Cu juga tuturkan pengalamannya semenjak mereka berpisah. Tentu saja ia tidak ceritakan bahwa ia telah dipinang oleh Thio-hujin untuk dijodohkan dengan Thio Seng! Akhirnya Giok Cu bertanya:

   "Engko Thian In, sebenarnya aku masih sangat mengharap penjelasan tentang rahasiamu agar penasaranku segera padam."

   Thian In menghela napas dan geleng-geleng kepala.

   "Belum waktunya, nona Ong, nanti saja aku tuturkan hal itu di atas gunung Kwie-san!"

   Setelah berkata demikian pemuda itu keprak kudanya dan jalankan kudanya sejajar dengan Thio Seng, sedangkan Giok Cu dengan hati mangkel tinggal di belakang. Tak lama kemudian Thian In mendekati Giok Cu lagi dan berkata perlahan:

   "Nona, kau katakan tadi hendak membalas budi keluarga Thio dan membela Thio kongcu, betulkah?"

   Giok Cu memandang heran karena ia tidak dapat menduga apa maksud pemuda itu, tapi ia mengangguk membenarkan.

   "Kau begitu, kuharap kau suka berjalan di belakang, sedangkan aku berjalan di depan hingga Thio kongcu dan kawan-kawannya berada di tengah. Dengan cara demikian, akan lebih mudahlah kita melindunginya. Hati-hatilah, kita sudah dekat Liok-ankian!"

   Giok Cu mengangguk dan semangatnya bangun kembali. Ah, ia memang hendak membalas budi dan melindungi keselamatan Thian Seng dengan sekuat tenaga, kalau perlu dengan jiwanya! Bukankah dulu ayah bunda pemuda itu juga telah memeliharanya dari sakit, bahkan mungkin dari kematian? Ketika mereka memasuki kota Liok-ankian, hati Giok Cu berdebar. Betapapun juga, kalau teringat akan pendeta Lama itu, ia merasa seram dan ngeri juga. Dapatkah ia dan Thian In melawan kekuatan mereka itu? Ia sangsi dan ragu-ragu, tapi di depan Thian In dan Thio Seng ia tidak sudi perlihatkan kelemahan atau ketakutan, lebih-lebih ketika ia mendengar bahwa biarpun tubuhnya lemah, hati dan semangat Thio Seng menyala bagai api yang tak kenal padam!

   Mereka singgah di sebuah rumah makan sebentar untuk makan. Selama itu Giok Cu dan Thian In berlaku sangat hati-hati biarpun kepada Thio Seng mereka tak berkata apa-apa. Terutama Thian In sampaipun makanan dan minuman yang dihidangkan selalu diperiksa dengan teliti hingga diam-diam Giok Cu merasa kagum dan dalam perjalanan itu ia banyak mendapat petunjuk yang memperluas pengalamannya. Tapi sungguh heran, sampai pada saat mereka keluar lagi dari kota Liok-ankian, mereka tidak mengalami gangguan sedikitpun! Thian In memandang Giok Cu dengan penuh pertanyaan, tapi gadis itu sendiripun mengangkat pundak dan terheran. Perjalanan dilanjutkan. Beberapa belas li setelah mereka berada di luar kota, tiba-tiba mereka berada di luar kota, tiba-tiba di sebuah kota jalan tikungan mereka melihat beberapa orang berdiri di pinggir jalan.

   "Nah, itulah mereka!"

   Giok Cu berkata cemas. Ketika Thian In memandang, pemuda itu berseru:

   "Celaka mereka adalah pengawal-pengawal istana, jagoan-jagoan kelas satu! Kita menemui lawan-lawan berat!"

   
Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ternyata yang mencegat mereka adalah delapan orang pahlawan keraton dan seorang pendeta lama berjubah kuning. Thian In belum pernah melihat pendeta asing itu, mereka tidak berapa memperhatikan. Yang menjadi pusat perhatiannya ialah rombongan pengawal itu.

   "Nona, kau lihat! Pengawal yang tertua itu bukan lain ialah Kim-To Poey Kong Si golok emas! Ia lihai sekali, maka serahkanlah ia padaku. Kau boleh layani yang muda-muda mungkin mereka tak berapa berat!"

   Ketika mereka sudah datang dekat dengan para pencegat itu Kim-To Poey Kong sambil lintangkan goloknya angkat tangan kiri.

   "Tahan, atas nama Sri Baginda Kaisar yang mulia, kami harus antar Thio siucai kembali ke kotaraja!!"

   Thio Seng memang biasa disebut Thio siucai, ialah sebutan bagi para sastrawan yang telah lulus ujian. Melihat sikap orang, Thio Seng turun dari kuda dan bertanya:

   "Bolehkah aku melihat tanda-tanda bahwa kau diutus oleh Baginda Kaisar? Mana lengkinya (bendera perintah)?"

   "Lihatlah, bukalah matamu! Bukankah jelas bahwa kami adalah pahlawan-pahlawan Kaisar? Kami tak perlu membawa lengki!"

   Thio Seng geleng-geleng kepala dengan tabah.

   "Tak mungkin ada aturan demikian! Kalau memang kau membawa tanda dari Sri Baginda, tentu aku akan berlutut dan menurut saja kau tangkap. Tapi karena kalian tidak membawa surat perintah, aku tidak mau kau suruh kembali ke kota raja!"

   "Twako, tak perlu ribut-ribut. Tangkap saja dia!"

   Seru pengawal lain. Tapi pada saat itu Thian In dan Giok Cu maju menghalang di depan Thio Seng.

   "Orang-orang kurang ajar dari mana hendak andalkan kekerasan mengganggu orang baik-baik?"

   Thian In membentak.

   "Eh, darimana datangnya orang hutan ini? Menyindir seorang pengawal muda yang pernah merasakan sabetan sabuk Giok Cu, berkata menyeringai:

   (Lanjut ke Jilid 06)

   Pek I Lihiap (Cerita Lepas)

   Oleh : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06

   "Ha, Pek I Lihiap datang lagi. Apakah kau rindu padaku?"

   Pahlawan itu gunakan kesempatan untuk menghina Giok Cu karena hatinya masih sakit karena sabetan dulu.

   "Saudara-saudara! Kalau memang kalian tidak mencari permusuhan, pergilah jangan ganggu kami!"

   Thian In berkata lagi. Kim-to Poey-kong tertawa.

   "Sobat, kau agaknya seorang gagah juga. Maka kau pergilah dengan Pek I Lihiap, kami takkan mengganggu kalian. Tapi Thio-siucai ini harus kalian tinggalkan kepada kami."

   "Tak mungkin! Kami berlima adalah teman seperjalanan, tak mungkin dia kami tinggalkan. Kami pergi bersama dan tinggal bersama pula."

   "Kalau begitu, terpaksa kami harus gunakan kekerasan!"

   "Silahkan! Kami tidak takut!"

   Berkata demikian ini Thian In mencabut pedangnya dan Giok Cu juga turut contoh pemuda itu.

   "Ha, ha! Agaknya kalian dua orang muda sudah bosan hidup."

   Sebagai penutup kata-katanya, Kim-To Poey Kong gerakkan golok emasnya ke arah Thian In yang menangkis dengan cepat. Keduanya merasa betapa besar tenaga masing-masing hingga Kim-To Poey Kong terkejut sekali, karena si Golok emas ini tadinya hendak gunakan tenaganya dan sekali sampok hendak bikin pedang Thian In terpental jauh! Siapa duga, tidak saja pedang, pemuda itu tidak terlempar, bahkan ia merasa telapak tangannya yang memegang golok tergetar panas! Ia maklum bahwa pemuda di depannya ini tak boleh dibuat gegabah, maka ia berseru:

   "Kawan-kawan, serbu!"

   Para pengawal keraton itu maju menyerbu dengan senjata masing-masing tapi Giok Cu perlihatkan kesebetannya. Ia mengamuk hebat dengan tangan kanan pegang pedang dan tangan kiri pegang sabuk sutera. Gerakannya demikian gesit dan ia bersilat dengan penuh semangat hingga tak berbeda dengan seekor harimau betina mengamuk. Thian In juga keluarkan seluruh kepandaiannya. Ia mainkan pedangnya bagaikan seekor naga menyambar-nyambar ke sana kemari. Tapi lawan mereka adalah pahlawan-pahlawan kelas satu yang memiliki kepandaian silat tinggi hingga mereka segera terkurung dan terdesak hebat.

   "Adik Giok Cu, kesini!"

   Thian In berseru keras dan Giok Cu segera geser kakinya hingga mereka berdua berkelahi sambil adu punggung. Dengan cara demikian, mereka lebih muda menghadapi lawan-lawan mereka tanpa khawatir diserang dari belakang. Giok Cu berkelahi makin bersemangat. Agaknya sebutan Thian In menyebutnya adik! Kedua kawan Thio Seng dengan wajah pucat dan tubuh menggigil ketakutan bersembunyi di balik pohon. Tapi sungguh mengagumkan, Thio Seng sendiri duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Anak muda itu duduk dengan enaknya sambil nonton perkelahian itu. Berulang-ulang ia mengangguk dan matanya berseri kagum melihat sepak terjang Thian In dan Giok Cu hingga beberapa kali ia berseru:

   "Bagus! Bagus!"

   Tapi perlahan-lahan, Thio Seng merasa cemaas juga, bukan takut untuk nasibnya sendiri, tapi takut kalau-kalau kedua muda mudi yang gagah itu akan mendapat celaka, di ujung senjata. Ia tahu betapa mereka terdesak, tapi apa daya, ia tak sanggup membantu. Thian In dan Giok Cu juga merasa betapa berbahaya keadaan mereka. Mereka telah merasa lelah sekali, bahkan Thian In telah mendapat beberapa luka di tubuhnya.

   "Adikku yang baik, biarlah kita mati bersama dalam menjalankan tugas kegagahan!"

   Thian In berbisik, Giok Cu tiba-tiba merasa kedua pipinya basah karena air matanya loncat keluar ketika ia mendengar kata-kata Thian In itu. Ia hana bisa menjawab dalam bisikan.

   "Engko Thian In, jangan putus harapan. Mari kita terjang kepungan ini!"

   Dan ia putar pedang dan sabuk suteranya makin cepat. Terdengar pekik kesakitan dan seorang pengawal tertusuk pedang Giok Cu pada pahanya. Ia terhuyung-huyung ke belakang lalu roboh dan tak dapat membantu kawan-kawannya. Melihat hasil yang didapat oleh kawannya, Thian In timbul semagatnya. Ia kertak gigi dan putar pedangnya dengan gerakan Hui-pauw-liu-coan atau Air terjun bertebaran.

   Terdengar jeritan lain dan pedang Thian In berhasil pula melukai pundak kiri seorang pahlawan lain yang cepat loncat mundur untuk rawat lukanya. Kawanan pengawal keraton menjadi marah sekali dan mereka mendesak makin hebat. Yang aneh adalah pendeta Lama itu. Ia berdiri berpeluk tangan dan nonton pertempuran itu. Sungguh sikapnya seperti Thio Seng, tenang dan dingin! Kembali Thian In dan Giok Cu terdesak hebat. Giok Cu mendapat luka dipangkal lengannya dan Thian In telah menerima beberapa guratan lagi. Keadaan mereka sungguh berbahaya dan jiwa mereka seolah-olah tergantung pada sehelai rambut! Pada saat itu terdengar pekik kesakitan beberapa kali dan keadaan para pengepung menjadi kalut. Dua orang pengawal keraton roboh tak ingat orang! Kini yang mengepung tinggal empat orang lagi.

   Thian In dan Giok Cu tidak tahu bagaimana dan mengapa dua orang pengeroyoknya roboh. Pada saat itu, barulah pendeta Lama itu bergerak! Dengan sekali loncat saja pendeta itu telah berada di tengah kalangan pertempuran, dan dua kali tangannya bergerak, ia telah dapat merampas pedang Thian In dan kedua senjata yang dipegang Giok Cu! Melihat kehebatan orang, Thian In dan Giok Cu loncat mundur dengan terkejut, tapi pada saat itu keempat pahlawan telah maju mengeroyok lagi! Sedangkan pendeta lama itu tinggalkan mereka dan tahu-tahu telah loncat ke depan Thio Seng! Sebelum Thio Seng tahu apa yang terjadi, ia merasa dirinya telah diangkat dan berada dalam pondongan pendeta Lama itu. Thio Seng hendak berontak, tapi tiba-tiba ia rasakan tubuhnya kaku dan tak dapat bergerak. Ternyata ia telah ditotok jalan darah Tay-hwie-hiat hingga tubuhnya kaku!

   Beberapa buah batu putih menyambar ke arah jalan darah pendeta Lama itu, tapi semua senjata rahasia itu dapat disampoknya pergi. Namun makin banyaklah batu-batu kecil m enyambar dan kesemuanya menuju ke tempat yang berbahaya atau ke arah urat yang mematikan! Repot juga batu yang lihai itu. Akhirnya karena gemas, Beng Po Hoatsu, yakni pendeta Lama yang lihai itu, tutup semua jalan darahnya dan kerahkan tenaga dalamnya hinnga kulitnya menjadi kebal. Dan aneh! Semua batu seperti hujan menyerangnya, ketika mengenai kulit tubuhnya lalu jatuh ke atas tanpa berhasil sedikitpun! Kemudian, maklum bahwa lawan-lawan tangguh segera datang membela Thio Seng. Beng Po Hoatsu kempit tubuh pemuda itu dan sekali berkelebat ia lenyap dari situ! Thian In dan Giok Cu berada dalam keadaan berbahaya. Mereka kini bertangan kosong dan harus menghadapi empat orang jagoan keraton.

   Mereka sibuk melawan dan gunakan kegesitan hingga sama sekali tidak tahu akan terculiknya Thio Seng oleh Beng Po Hoatsu. Tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tampak sinar pedang berkelebat ke kanan kini, dan tahu-tahu dua orang pengawal roboh tewas, sedang seorang lagi terbabat pahanya sampai hampir putus! Tinggal Kim to Poey Kong seorang yang merasa gemas dan heran. Ia ayunkan goloknya menyabet ke arah bayangan itu, tapi kembali berkelebat sinar pedang dan ia merasa tangannya sakit sekali hingga goloknya terlepas. Ternyata lengannya telah terlepas hingga mengeluarkan banyak darah. Pada saat itu Thian In maju menendang dadanya hingga ia terlempar beberapa tombak dan roboh pingsan! Thian In dan Giok Cu hanya melihat bayangan itu loncat pergi cepat sekali dan terdengar suara:

   "Thio-kongcu kenal tertawan si auwte coba mengejarnya!"

   Thian In dan Giok Cu kagum sekali, dan setelah berdiri bengong agak lama, akhirnya Thian In berkata:

   "Hebat sekali kepandaian orang itu!"

   "Dia adalah Bu-Eng-Cu Koayhiap. Aku kenal suaranya!"

   Kata Giok Cu gembira.

   "Pantas disebut Bu-Eng-Cu si Tanpa bayangan. Ginkangnya benar-benar telah mencapai puncak kesempurnaan."

   "Tapi mengapa Thio-kongcu sampai dapat terampas? Siapa yang melakukan itu?"

   Tiba-tiba Thian In teringat.

   "Eh, mana pendeta Lama yang tadi berdiri saja dan tiba-tiba merampas senjata kita? Dia lihai sekali tentu dialah yang telah menawan Thio kongcu."

   Giok Cu mengangguk membenarkan.

   "Tentu dia! Siapa lagi selain dia. Untung Bu-Eng-Cu Koay hiap datang, kalau tidak, selain Thio kongcu tertawan, jiwa kitapun tentu telah melayang."

   Thian In menghela napas lagi. Kalau pendeta itu sampai dapat menawan Thio kongcu di depan mata Bu-Eng-Cu, dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian pendeta Lama itu. Mereka merawat luka masing-masing. Untungnya Thian In selalu membekal obat-obat luka. Kemudian mereka memilih dua kuda yang terbaik dan naik kuda itu tinggalkan para korban. Delapan orang pahlawan Kaisar yang terkenal gagah perkasa semua rebah mandi darah di tempat itu, ada yang sudah mati, ada yang pingsan, dan ada yang masih bergerak-gerak sambil mengerang kesakitan!

   "Sekarang apa yang harus kita lakukan?"

   Giok Cu berkata bingung.

   "Kita harus menuju ke rumah orang tua Thio kongcu. Aku dapat menduga bahwa kaisar tentu akan membasmi mereka serumah tangga. Marilah, makin cepat makin baik. Thio-Tihu serumah tangga harus segera lari bersembunyi!"

   Mereka lalu bedal kuda dan membalap menuju kota Anting. Mereka berjalan terus tak kenal lelah walaupun sesungguhnya mereka butuh sekali mengaso setelah mengalami pertempuran yang hebat itu dan mendapat luka-luka walaupun hanya luka-luka di luar dan tak berbahaya. Semua ini menunjukkan bahwa baik Thian In dan Giok Cu adalah orang-orang yang menjunjung tinggi prikebenaran,

   Orang-orang yang setia akan tugas seperti halnya Thian In yang menjalankan perintah suhunya, dan yang bertekad dalam membalas budi, seperti halnya Giok Cu yang masih ingat akan budi keluarga Thio kepadanya! Kedatangan mereka disambut oleh kedua suami isteri Thio. Dengan halus agar tak mengejutkan orang, Giok Cu ceritakan akan hal tertawannya Thio Seng. Namun, tetap saja Thio-hujin mendengar hal ini lalu menjerit dan jatuh pingsan! Setelah ditolong dan siuman kembali, nyonya itu menangis sedikit walaupun ia menahan suara tangisnya, agak tak kedengaran orang tapi tubuhnya bergerak-gerak menggigil dan air matanya tiada hentinya mengalir dari kedua belah matanya. Giok Cu menjadi terharu dan ikut menangis. Thio Tihu dapat menekan penderitaan batin itu. Ia geleng-geleng kepalanya.

   "Memang sudah kuduga bahwa Siouw Seng tentu akan menjadi seorang luar biasa. Aku girang mendengar dia berjiwa patriot, berarti ia menjunjung tinggi nama nenek moyangnya, tapi tak kusangka ia seberani itu. Ahh...ia masih muda, tak kurang hati-hati...

   "Tapi, Tay-jin tak usah kau khawatir. Thio kongcu telah membangunkan semangat banyak orang gagah. Mereka tentu takkan tinggal diam dan berusaha menolongnya. Sekarang yang penting Tay-jin berdua harus segera lari dari sini, karena kalau tidak tentu bencana besar menimpa keluar ini! Pasti kaisar akan menangkap kalian serumah tangga!"

   Thio Tihu mengangguk-angguk.

   "Aku tahu... aku tahu... tapi sebagai seorang pemangku jabatan, aku harus menerima segala hukum yang dijatuhkan padaku oleh Sri Baginda!"

   "Kau keliru, Tay-jin. Bukankah puterimu sudah dengan nyata sekali menyatakan ketidak adilan pemerintah? Mengapa kau hendak berkorban jiwa serumah tanggamu untuk kaisar asing itu? Pula, kalau sampai Tay-jin tertawan, aku berani pastikan bahwa Thio-kongcu juga pasti akan menyerahkan diri kembali seandainya ia telah terbebas sekalipun. Mana dia mau melarikan diri jika diketahuinya bahwa orang tuanya mendekam dalam penjara!"

   Karena bujukan-bujukan Thian In dan Giok Cu, akhirnya orang tua itu menurut. Demikianlah, malam-malam mereka berangkat, diantar oleh Giok Cu dan Thian In. Mereka bersembunyi dalam sebuah kampung di bukit yang sunyi di mana mereka menuntut hidup sebagai petani biasa. Setelah berjanji hendak menyelidiki keadaan Thio Seng, Thian In dan Giok Cu berpisah dari mereka. Kedua orang muda itu naik kud dan menuju ke kota raja. Di sepanjang jalan mereka tak banyak bercakap-cakap, karena mereka masih tertindas oleh rasa kasihan melihat nasib rumah tangga Thio. Pada keesokan harinya ketika mereka sedang bedalkan kudanya melalui sebuah lereng bukit, dari jauh tampak dua kuda mendatangi dengan dijalankan perlahan oleh penunggangnya.

   Ketika mereka sudah datang dekat, hampir saja kedua anak itu berteriak dengan girang, kaget, dan heran. Seorang dari kedua penunggang kuda itu ternyata adalah Thio Seng sendiri! Pemuda itu tersenyum-senyum dan ayem saja, seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu yang hebat! Setelah saling pandang denga heran, Thian In dan Giok Cu memperhatikan penunggang kedua, Thian In melihat bahwa orang itu adalah seorang tua yang berpakaian sebagai sastrawan pula. Kuku jari tangannya panjang-panjang dan jenggotnya putih panjang pula. Wajahnya biasa saja dan kedua matanya memandang dengan jujur dan terbuka. Bibirnya selalu membayangkan senyum ramah. Kalau bagi Thian In orang tua itu tak dikenal dan tampak seperti seorang guru sekolah biasa saja, bagi Giok Cu adalah sebaliknya. Ia loncat turun dan lari menghampiri lalu memberi hormat sambil menyebut:

   "Gan lopeh benar-benar Kau kah ini?"

   Orang tua itu tertawa bergelak, suara tawa yang jujur dan tak dibuat-buat. Sebaris gigi yang putih, rata dan kokoh kuat tampak. Matana bersinar-sinar mengeluarkan cahaya kilat. Setelah berhenti ketawa, sastrawan tua itu mengelus-ngelus rambut Giok Cu sambil berkata:

   "Nona Giok Cu! Hampir aku lupa ketika melihat kau sudah begini berubah. Bagaimanakah, baik-baik saja kau selama ini?"

   Orang tua itu ternyata bukan lain ialah Gan Im Kiat, si sastrawan jujur yang dulu datang bersama puteranya, Kam Ciu dan bermalam di rumah Giok Cu. Gan Im Kiat inilah yang dulu melamar untuk dijodohkan dengan Kam Ciu, dan lamaran itu telah ditolaknya! Giok Cu heran mengapa orang tua itu tidak menanyakan ayahnya dan sebaliknya menanyakan keadaannya sendiri? Masih marahkah orang tua itu kepada ayahnya karena penolakan pinangan dulu?

   "Gan lopeh... ayah... ayah telah meninggal dunia,"

   Katanya dan air matanya menitik turun.

   "Hm, hm... jangan menangis, nona. Aku sudah mendengar akan hal itu dari Kam Ciu. Kematian bukanlah hal yang aneh bagi manusia hidup. Bukankah kita semua ini akhirnya toh akan mati juga? Mati dulu atau mati belakangan itu hanya soal waktu saja! Mengapa kau bersedih? Mari, mari, kuperkenalkan aku kepada kawanmu ini. Ia agaknya gagah sekali."

   Thian In ketika mendengar bahwa orang tua itu adalah ayah Kam Ciu, menjadi heran sekali. Orang tua ini kelihatan biasa saja. Apakah anaknya itu benar-benar pandai? Ia sangsi. Mendengar kata-kata terakhir dari Gan Im Kiat, ia maju dan turun dari kuda dan menjura:

   "Saya adalah Souw Thian In. Bagaimana lo-sianseng dapat menolong Thio kongcu?"

   "Menolong? Ha, menolong?"

   Gan Im Kiat memandang kepada Thio-kongcu.

   "Coba kau ceritakan apa yang telah terjadi. Thio Seng yang semenjak tadi hanya mendengarkan sambil tersenyum, segera berkata:

   "Gan lo-sianseng ini sebenarnya adalah guruku dalam hal kesusasteraan! Beliau pernah mengajarku beberapa bulan ketika aku masih tinggal di kota raja. Ketika aku ditawan dan dibawa pergi oleh pendeta Lama dulu, aku lalu dimasukkan dalam tahanan sementara menanti persidangan memeriksaku. Dan malam tadi datanglah seorang gagah menolongku. Aku tidak tahu siapa dia karena gerakan-gerakannya demikian cepat dan malam gelap. Tahu-tahu aku telah dibawa loncat naik ke atas rumah dan dibawa ke dalam hutan. Kemudian aku ditinggalkan di hutan itu seorang diri. Ketika aku tanya namanya, ia tak mau mengaku hanya berkata bahwa aku harus menanti di situ dan jangan pergi ke mana-mana. Lalu ia pergi dengan berjanji.

   "Dengan bernyanyi? Ah, ia tentu Bu-Eng-Cu Koayhiap!"

   Berkata demikian Giok Cu memandang kepada Gan Im Kiat dengan tajam tapi orang tua itu hanya tersenyum dan bertanya kepadanya.

   "Kenalkah kau kepada Bu-Eng-Cu Koayhiap?"

   Giok Cu geleng-geleng kepala dan menjawab:

   "Kenal sih tidak, tapi sudah beberapa kali kami bertemu tanpa saling bertemu muka. Beberapa kali ia menolongku dengan menggelap. Gan Lopeh kenalkah kau kepada Bo-eng-cu Koayhiap?"

   Dan gadis itu kembali gunakan matanya yang tajam menatap wajah orang tua itu.

   "Pernah aku mendengar nama itu,"

   Jawabnya sederhana.

   "Aku tidak tahu siapakah dia, hanya lagu nyanyiannya masih kuingat, beginilah:

   Pedang di tangan kiri

   Pit dan kertas di tangan kanan

   Menjelajah rimba raya

   Menurun jurang mendaki gunung

   Langit suram muram

   Bumi hitam gelap kotor

   Pedang dan pit tak berguna

   Biarlah pedangku tumpul berkarat!

   Biarlah pitku kering tak bertinta!

   "Mendengar nyanyiannya itu, aku lalu berteriak dan mencelanya, dan mencelanya, dan kukatakan bahwa lagu itu seharusnya begini:

   Pedang di tangan kiri

   Pit dan kertas di tangan kanan

   Menjelajah rimba raya

   Menurun jurang mendaki gunung

   Langit suram muram

   Bumi hitam gelap kotor

   Asah pedang, gosik bak basahkan pit

   Biar pedangku membersihkan bumu

   Biar pitku menerangi langit

   Pedang dan pit bersatu, ribuan, laksaan

   Langit akan bersih, dunia akan terang

   "Setelah aku nyanyikan lagu yang telah kurobah itu, dari dalam gelap ia berseru bahwa lagu itu sangat baik dan ia sangat kagum padaku, lalu berjanji bahwa semenjak saat itu ia akan mengubah pendiriannya."

   Thian In dan Giok Cu mendengar penuturan Thio Seng dengan kagum dan heran. Tiba-tiba Giok Cu berpaling kepada Gan Im Kiat dan berkata:

   "Gan Lopeh, di manakah saudara Kam Ciu? Telah lama aku tidak berjumpa dengan dia.

   "Kam Ciu? Ah, anak yang tiada guna itu selalu pergi ke mana-mana. Ia mempunyai urusan tersendiri, entah di mana ia berada sekarang. Aku pun hendak mencarinya, maka kebetulan sekali kami bertemu dengan kalian di sini. Nah, sekarang aku serahkan Thio Seng kepada kalian untuk diantar ke rumah orang tuanya. Aku harus mencari Kam Ciu!"

   Kemudian otrang tua itu naik ke atas kudanya lagi dan jalankan kuda itu perlahan ke jurusan lain. Giok Cu masih merasa penasaran berteriak:

   "Gan lopeh, kenalkah kau kepada seorang locianpwe?"

   

Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini