Ceritasilat Novel Online

Pembakaran Kuil Thian Loksi 1


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 01

   Kerajaan Tang berada dalam tangan seorang Kaisar yang lemah bagaikan sebuah boneka. Kekuasaan sepenuhnya berada dalam kekuasaan para pembesar yang korup, terutama para pembesar Thaikam (orang-orang kebiri). Rakyat menderita sekali dibawah penindasan dan penghisapan orang-orang besar yang hanya mementingkan kesenangan sendiri saja. Di mana-mana timbul kerusuhan sebagai akibat hati tak puas dan perut lapar. Pembesar tertinggi di setiap kota merupakan raja sendiri, dan tuan-tuan tanah di dusun-dusun merupakan raja-raja kecil tanpa mahkota.

   Keadaan ini tidak saja membuat rakyat menderita hidup yang sukar dan sengsara, akan tetapi juga membikin marah hati setiap orang yang sedikitnya mempunyai perasaan cinta bangsa dan mau yang mau menaruh perhatian kepada keadaan rakyat kecil. Akan tetapi, apa daya mereka? Kaisar dan para pembesar yang hidup dalam laut kemewahan dan kesenangan dunia itu maklum juga akan ketidakpuasan hati rakyat dan telah menaruh curiga kalau-kalau ada rakyat yang hendak memberontak. Oleh karena ini, pemerintah membentuk barisan yang kuat, barisan yang terdiri dari orang-orang berkepandaian silat tinggi dan yang khusus diadakan untuk menindas dan memadamkan api pemberontakan.

   Khusus digunakan untuk menindas dan menghancurkan rakyat sendiri! Oleh karena takut akan hukuman, hukuman mati yang diobral secara murah oleh Kaisar dan para pembesar Thaikam, maka sakit hati dan ketidakpuasan para patriot itu hanya terpendam di dasar hati saja dan mereka hanya berani membicarakan dengan kawan-kawan sehaluan secara sembunyi-sembunyi. Keadaan yang buruk ini pulalah yang menggerakkan hati dan membangunkan semangat dua orang sastrawan terkemuka. Mereka ini adalah Khu Liok dan Ma Eng, dua orang sastrawan pandai yang telah menjadi sahabat baik semenjak mereka masih muda. Kini mereka telah tua dan menjadi orang-orang terpelajar yang amat terkenal karena syair-syair dan tulisan mereka. Bahkan Kaisar dan orang-orang besar amat suka membaca hasil tulisan mereka dan biarpun mereka ini berasal dari rakyat biasa,

   Namun para pangeran dan orang besar tidak merasa rendah untuk berkenalan dan bercakap-cakap dengan dua orang sastrawan ini. Khu Liok dan Ma Eng tinggal di Kotaraja bahkan bertetangga. Mereka seringkali mengadakan pertemuan dan bercakap-cakap dan keduanya memiliki jiwa patriot, merasa marah sekali melihat ketidakadilan Kaisar dan kelaliman para pembesar. Diam-diam mereka mengutuk para pembesar, terutama para Thaikam dan akhirnya, karena sudah tidak tahan lagi menyaksikan penderitaan rakyat kecil, rasa penasaran dan sakit hati telah membuat mereka menggerakkan tangan dan mengarang sebuah kitab kecil yang diberi judul "TUHAN TELAH SALAH PILIH"

   Kitab ini hanya tipis saja dan berisikan sindiran-sindiran dan protes terhadap keadaan rakyat yang sengsara dan terhadap kelaliman pemerintah.

   Walaupun tidak ditulis secara terang-terangan, namun dari isi karangan dapat dirasakan singgungan-singgungan yang pedas dan membuat telinga para pembesar menjadi merah dan muka menjadi pucat. Para rakyat kecil yang membaca tulisan ini, menyambut dengan penuh semangat dan isi karangan ini telah membangkitkan jiwa mereka untuk tidak tinggal diam saja dan untuk berusaha memberantas pihak yang menindas mereka. Di sana-sini para kaum tani mulai mengadakan pertemuan dan perundingan, membicarakan isi tulisan yang sangat berkesan di dalam hati mereka dan timbul pula semangat mereka untuk menumbangkan kekuasaan yang mencekik leher mereka itu. Kaisar dan para pembesar tentu saja tahu akan hal ini dan mulailah diadakan pengusutan dan penyelidikan untuk mengetahui siapa adanya orang-orang yang begitu berani untuk menulis karangan semacam itu.

   Akan tetapi, oleh karena Khu Liok dan Ma Eng tidak menyebutkan nama mereka dalam tulisan itu, para penyelidik itu tak dapat menemukan siapa sebenarnya penulis karangan yang telah memerahkan telinga Kaisar dan para pembesar. Di antara sekian banyak pangeran yang suka berkenalan dengan Khu Liok dan Ma Eng, bahkan telah mengirim anak-anak mereka untuk belajar kesusastraan dari dua orang sastrawan besar itu, terdapat seorang pangeran bernama Gu Mo Tek yang tinggal dalam sebuah gedung besar tak jauh dari rumah kedua sastrawan itu. Gu Mo Tek seringkali mengunjungi mereka, bahkan sering pula mengundang kedua sastrawan itu untuk berkunjung ke gedungnya. Sambil menghadapi arak wangi dan hidangan yang lezat, mereka bertiga bercakap-cakap sampai jauh malam.

   Kedua sastrawan itupun amat suka bercakap-cakap dengan pangeran Gu oleh karena pangeran itupun amat luas pandangannya dan seorang sastrawan yang pandai pula. Hubungan mereka demikian eratnya hingga pangeran Gu mengusulkan untuk mengangkat saudara. Dengan menyalakan hio ditangan, ketiganya mengangkat saudara, disaksikan oleh Bumi dan Langit. Setelah menjadi saudara angkat, ketiga orang ini makin erat hubungannya. Keluarga mereka juga mengadakan perhubungan yang baik sekali dan tidak jarang mereka saling berkunjung. Hal ini berjalan bertahun-tahun sampai pada waktu kedua orang sastrawan ini menulis karangan yang menggemparkan itu. Gu Mo Tek mempunyai dua orang putera yang telah kawin dan kedua orang puteranya ini juga tinggal di dalam gedungnya yang indah dan besar.

   Mereka bernama Gu Keng Siu dan Gu Leng Siu dan menjadi murid-murid kedua orang sastrawan itu. Khu Liok mempunyai seorang putera bernama Khu Tiong sedangkan Ma Eng juga mempunyai seorang putera bernama Ma Gi. Sungguhpun kedua orang sastrawan Khu dan Ma adalah orang-orang lemah yang hanya ahli dalam hal membaca dan menulis, akan tetapi kedua orang puteranya ini telah mempelajari ilmu silat yang tinggi dari seorang tosu di Kunlun-san. Hal ini tidak mengherankan oleh karena kedua orang sastrawan yang berpemandangan luas itu menganggap bahwa kepandaian sastra saja tak dapat menjamin keselamatan dari gangguan orang-orang jahat. Sedangkan pada waktu itu, memang keadaan di Tiongkok amat buruknya, hingga berlakulah hukum rimba, siapa kuat dia menang.

   Khu Tiong dan Ma Gi juga telah beristeri, bahkan pada waktu cerita ini terjadi, kedua isteri mereka telah mengandung. Isteri Khu Tiong adalah puteri seorang penjual obat yang pandai dan juga seorang ahli silat, hingga tak mengherankan apabila nyonya Khu yang cantik itupun pandai pula memainkan senjata tajam. Sebaliknya, isteri Ma Gi adalah puteri seorang petani yang hanya pandai bekerja di sawah ladang, akan tetapi nyonya Ma ini luar biasa cantiknya hingga setiap orang melihatnya pasti akan merasa kagum dan menyangka bahwa ia adalah seorang puteri dari keraton Kaisar. Kedua keluarga Khu dan Ma itu hidup dalam keadaan cukup dan penuh kebahagiaan, terutama sekali oleh karena keduanya sedang menanti datangnya manusia baru yang akan dilahirkan oleh nyonya Khu dan nyonya Ma. Akan tetapi, keadaan hidup manusia ini memang tidak tetap, ada pasang surutnya,

   Maka terjadilah peristiwa hebat yang menggoncangkan seluruh kehidupan mereka dan mengubah keadaan mereka, bagaikan ketenangan air laut yang tiba-tiba terserang badai mengamuk. Beberapa pekan kemudian semenjak Khu Liok dan Ma Eng menulis kitab karangan mereka dan menyebarkannya di seluruh kota dan desa sehingga menimbulkan kegemparan besar di kalangan rakyat dan Kaisar serta pembesar-pembesarnya. Pada suatu pagi, ketika Khu Liok dan keluarganya sedang duduk di ruang dalam dan bercakap-cakap, tiba-tiba datanglah serombongan perwira Kaisar yang membawa surat perintah untuk menangkap Khu Liok sekeluarga. Mendengar hal ini, dari para penjaga pintu, keluarga wanita segera pergi bersembunyi di dalam kamar dengan ketakutan, sedangkan Khu Liok dan Khu Tiong segera keluar menjumpai rombongan perwira yang terdiri dari tujuh orang itu.

   "Khu Liok atas nama Kaisar kami datang hendak menangkap kau dan keluargamu. Harap kau menyerah dan menurut dengan baik tanpa memaksa kami mempergunakan kekerasan!"

   Kata seorang di antara perwira-perwira itu yang agaknya menjadi pemimpinnya.

   "Dengan alasan apakah maka kami sekeluarga hendak ditangkap?"

   Tanya Khu Liok dengan sabar dan tenang. Sementara itu, Khu Tiong berdiri dengan kedua tangan mengepal tinju.

   "Tak perlu kau bertanya kepadaku, karena hal ini bukanlah urusanku. Pendeknya, kau sekeluarga ditangkap tentu ada kesalahan. Nanti saja di depan pengadilan kau boleh mendengar segala kedosaan yang telah kau lakukan"

   "Bukan kami melawan, akan tetapi sebelum kau memberitahukan tentang alasan penangkapan ini, terpaksa kami tidak mau menurut!"

   Tiba-tiba Khu Tiong berkata tegas. Mendengar ini, ketujuh orang perwira itu serentak mencabut pedang masing-masing.

   "Apa? Kalian hendak memberontak? Bagus! Memang telah kami duga bahwa kalian adalah pemberontak-pemberontak jahat. Pendeknya, lekas kumpulkan semua orang untuk kami bawa sebagai tangkapan, kalau tidak, terpaksa kami akan membawa kalian dalam keadaan luka-luka atau mati!"

   Seru komandan perwira itu dengan bengis. Khu Liok dan Khu Tiong sudah mendengar dan kenal akan kebengisan dan kekejaman para perwira ini, maka mereka saling pandang.

   "Tiong-ji, biarlah kita menurut saja. Kita lihat saja bagaimana jadinya nanti di pengadilan"

   Kata Khu Liok. Khu Tiong merasa ragu-ragu akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak ayahnya, maka ia hanya dapat mengangguk dan ia segera masuk ke dalam untuk memberitahu kepada semua keluarga agar berkumpul dan ikut.

   "Semua harus ikut, biarpun seorang pelayan atau pesuruh kecilpun tak boleh ada yang ketinggalan!"

   Teriak perwira itu. Pada saat itu, dari luar mendatangi seorang laki-laki dengan tubuh luka-luka. Ia berlari masuk dan menyerobot saja di antara semua perwira yang berdiri dengan gagah di pintu, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan Khu Liok. Khu Tiong yang baru saja melangkah hendak masuk ke ruang dalam, ketika melihat keadaan orang itu dan mengenal bahwa orang ini adalah seorang pelayan di rumah keluarga Ma Gi, menjadi terkejut sekali dan segera kembali keluar.

   "Ada apakah? Apa yang terjadi di sana?"

   Tanyanya.

   "Celaka... celaka, Khu siauwya... keluarga Ma habis binasa. Ada... ada...perwira-perwira yang datang hendak menangkap dan Ma siauwya melawan sehingga banyak terjadi pembunuhan. Semua... semua... terbunuh atau tertangkap..."

   Baru saja berkata sampai di sini, Khu Tiong sudah mencabut pedangnya dan menyerang rombongan perwira itu. Khu Liok tidak melarang puteranya oleh karena ia maklum bahwa tentu rahasianya dan rahasia Ma Eng telah bocor dan Kaisar telah mengetahui bahwa dia dan Ma Eng yang menjadi penulis kitab pemberontakan itu. Ia lalu melarikan diri ke dalam dan memanggil mantunya, yakni nyonya Khu yang bernama Ong Lin Hwa, puteri tukang obat yang pandai ilmu silat itu. Nyonya Khu telah mendengar bahwa suaminya bertempur dengan perwira-perwira di ruang depan, maka ketika mertuanya memanggilnya, nyonya muda itu telah keluar dengan pedang di tangan.

   "Jangan... jangan kau ikut bertempur. Kau sudah mengandung tua, tubuhmu lemah. Dengar baik-baik, kau harus melarikan diri dari pintu belakang! Tinggalkan kami karena kalau kau berada di sini, tentu kau akan ditangkap pula!"

   Kedua mata Ong Lin Hwa menyinarkan cahaya berapi.

   "Tidak, gakhu (ayah mertua)!"

   Katanya nyaring dan tetap.

   "Mana bisa saja harus meninggalkan suamiku dikeroyok orang? Maaf, kali ini saya terpaksa membandel!"

   Setelah berkata demikian, Lin Hwa melompat keluar dengan pedang ditangannya. Khu Liok menggelengkan kepala dan dengan bersedih ia menjatuhkan diri di atas kursinya.

   "Thian (Tuhan)... lindungilah mereka dan biarkanlah hamba menanggung semua akibat dari semua ini..."

   Isterinya lalu menubruknya sambil menangis. Semua pelayan juga menangis dan lari ke sana ke mari dengan wajah pucat.

   "Tiong-ji, larilah kau dengan isterimu, lekas...! Larilah sebelum terlambat...!"

   Akan tetapi Khu Tiong dan isterinya mengamuk terus hingga akhirnya empat orang perwira yang lain juga roboh dengan tubuh berlumur darah. Khu Tiong dan isterinya yang gagah perkasa itu sebentar saja telah merobohkan ketujuh orang pengeroyoknya. Khu Liok melangkah maju dan memegang tangan anaknya yang masih berdiri memandang ke luar dengan pedang di tangan, seakan-akan hendak menanti datangnya musuh-musuh baru.

   "Khu Tiong! Apakah kau tidak mau menurut perintah ayahmu?"

   Khu Liok membentak dengan suara keras dan marah. Khu Tiong membalikkan tubuh dan segera menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya,

   "Ayah... bagaimana anak bisa pergi meninggalkan ayah menjadi kurban mereka?"

   "Anak bodoh! Ayahmu sudah tua dan selain itu, aku mempunyai banyak sahabat di kalangan atas. Namun, betapapun juga, kau lebih baik pergi menyelamatkan isteri dan... dan anakmu..."

   Menyebut tentang calon cucunya ini, hati Khu Liok merasa terharu sekali. Telah berbulan-bulan ia mengharap-harapkan kehadiran cucunya, telah rindu hatinya untuk merasai kehalusan kulit tubuh bayi yang menjadi cucunya dan untuk menimang-nimang tubuh kecil munggil, menikmati tawanya yang bersih. Akan tetapi, malapetaka datang menimpa dan agaknya tak mungkin ia akan dapat melihat wajah cucunya.

   "Ayah... tapi...

   "

   Khu Tiong masih membantah.

   "Cukup! Lekas kau siapkan kuda dan bawa pergi isterimu, atau kau tunggu sampai aku menjadi marah?"

   Bentak Khu Liok. Dengan hati sedih, terpaksa Khu Tiong lalu menyiapkan dua ekor kuda. Kemudian ia dan isterinya menjatuhkan diri berlutut di depan Khu Liok suami isteri dan menangis tersedu-sedu. Nyonya Khu Liok memeluk dan menciumi puteranya, sedangkan Khu Liok hanya duduk sambil menghela napas.

   "Sudahlah, kau pergilah, lekas!"

   Katanya. Tiba-tiba pelayan di luar berseru,

   "Celaka, Thai-ya..., sejumlah besar perwira mendatangi lagi!"

   Khu Liok cepat berdiri dan mendorong puteranya,

   "Khu Tiong, lekas pergi dengan isterimu, mau tunggu kapan lagi?"

   Khu Tiong dengan masih ragu-ragu dan sedih, terpaksa lalu memegang tangan isterinya, keluar dari pintu belakang dan kemudian cepat naik dipunggung kuda dan melarikan kuda itu cepat melalui jalan belakang. Ketika mereka tiba di sebuah hutan yang berada di luar Kota raja sebelah utara, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil keras.

   "Khu Tiong!!"

   Khu Tiong dan isterinya mengenali suara ini dan dengan girang mereka lalu membelokkan kuda ke kiri dan menuju ke arah suara itu. Di bawah sekelompok pohon, ternyata telah berdiri Ma Gi dengan tubuh penuh peluh dan muka pucat sekali. Khu Tiong melompat turun dari kuda dan kedua orang sahabat itu segera berpelukan dan Ma Gi bahkan mengalirkan air mata.

   "Bagaimana keadaan keluargamu Ma Gi?"

   Tanya Khu Tiong penuh kekhawatiran, sedangkan nyonya Khu melihat betapa sahabat suaminya itu mengucurkan air mata, tak tertahan lagi ia pun ikut menangis.

   "Celaka sekali, Khu Tiong... celaka sekali...

   "

   Kemudian ia lalu menceritakan peristiwa yang terjadi di rumah ayahnya. Ternyata bahwa pada waktu yang sama, serombongan perwira lain telah menyerbu rumah Ma Eng dengan maksud menangkap keluarga Ma. Seperti juga Khu Tiong, Ma Gi yang gagah perkasa lalu mengadakan perlawanan,

   Akan tetapi oleh karena kebetulan sekali pada waktu pertempuran terjadi, di depan rumahnya lewat pula serombongan perwira lain, maka ia lalu dikeroyok oleh belasan orang perwira yang berkepandaian cukup tinggi. Ma Gi mengamuk seperti harimau kelaparan dan berhasil merobohkan lima orang perwira. Akan tetapi, jumlah pengeroyoknya banyak sekali dan beberapa orang pelayan telah roboh di bawah tikaman pedang para perwira yang kejam itu. Ma Eng berteriak-teriak minta supaya anaknya yang telah membunuh perwira-perwira itu segera melarikan diri. Akhirnya Ma Gi tidak tahan lagi dan terpaksa melarikan diri meninggalkan ayah, ibu, serta isterinya. Bukan main kaget dan sedihnya hati Khu Tiong mendengar ini dan ketika ia menceritakan kepada Ma Gi tentang malapetaka yang menimpa keluarganya pula, Ma Gi berulang-ulang menghela napas.

   "Ini tentu ada hubungannya dengan tulisan ayah kita. Akan tetapi, siapa gerangan yang membocorkan rahasia ini hingga Kaisar mendapat tahu"

   Khu Tiong menggeleng kepala karena iapun merasa heran. Di antara semua orang, yang tahu akan rahasia itu hanyalah Khu Liok, dan Ma Eng sendiri dan dia serta Ma Gi.

   "Hanya kita berempat yang mengetahui hal ini, bahkan isteri-isteri kitapun tidak tahu"

   Katanya.

   "Boleh kau tanya isteriku ini, dia belum pernah kuberitahu tentang hal itu"

   "Kau lupa!"

   Kata Ma Gi.

   "Bukankah Pangeran Gu Mo Tek juga mengetahuinya?"

   Khu Tiong terkejut, akan tetapi ia lalu berkata dengan suara tetap,

   "Tak mungkin dia mau membocorkan rahasia. Bukankah ia telah menjadi saudara angkat kedua ayah kita?"

   "Aku juga merasa ragu-ragu untuk menuduhnya, akan tetapi bagaimana mereka bisa tahu?"

   "Nanti saja kita selidiki hal ini. Paling perlu sekarang kita mencari tempat persembunyian dulu"

   Kata Khu Tiong.

   "Lebih baik kita pergi bersembunyi di gedung keluarga Un di sebelah barat"

   "Un Kong Sian?"

   Khu Tiong berpikir sebentar. Memang Un Kong Sian adalah seorang putera bangsawan yang telah menjadi sahabat karib mereka. Pemuda itu selain menjadi sute (adik seperguruan) mereka dalam ilmu silat, juga terkenal baik dan jujur.

   "Baiklah, selain Kong Sian sute, kurasa memang tidak ada lagi yang boleh kita minta pertolongan"

   Mereka lalu kembali ke kota dengan jalan memutar dan setelah hari menjadi gelap, barulah mereka berani masuk kota raja dan menuju ke rumah Un Kong Sian. Un Kong Sian adalah putera seorang congtok yang telah meninggal dunia dan hanya hidup berdua dengan ibunya yang telah tua di dalam gedungnya yang besar. Ia masih belum kawin walaupun telah ditunangkan dengan seorang puteri hartawan. Ilmu silatnya lihai juga karena ia adalah murid seperguruan dengan Khu Tiong dan Ma Gi, bahkan dalam hal ilmu menyambit dengan piauw, Kong Sian lihai sekali hingga mendapat julukan Bu-eng-piauw atau piauw tanpa bayangan. Ketika pemuda ini melihat kedatangan Khu Tiong, Lin Hwa, dan Ma Gi yang datang-datang memeluk dengan wajah pucat, ia menggeleng-geleng kepala.

   "Jiwi suheng dan kau juga so-so (sebutan untuk isteri kakak), mari masuk saja ke dalam"

   Setelah mereka berada di dalam kamar, Kong Sian lalu berkata dengan suara perlahan.

   "Aku telah mendengar semua tentang malapetaka yang menimpa keluarga kalian. Tadi, akupun telah mencari-carimu dan kebetulan sekali kalian datang ke sini. Kalian dicari-cari oleh banyak sekali perwira dan kurasa hanya di sinilah tempat yang sementara ini aman bagimu bertiga"

   Khu Tiong dan Ma Gi mengucapkan terima kasihnya, kemudian setelah mereka menuturkan pengalaman mereka yang membuat Un Kong Sian menghela napas berulang-ulang, pemuda itu lalu berkata,

   "Jiwi suheng (kedua kakak seperguruan), kalian adalah orang-orang gagah yang bersemangat dan berhati kuat. Maka sekarang kuatkanlah hatimu untuk mendengar penuturanku"

   Kemudian pemuda itu dengan suara perlahan dan hati-hati sekali menuturkan apa yang didengarnya semenjak ketiga orang itu melarikan diri dari rumah. Ternyata bahwa karena marah sekali melihat ketujuh orang perwira yang roboh ditangan Khu Tiong dan isterinya, perwira-perwira yang baru datang lalu mengamuk, membunuh semua pelayan dan hanya menangkap Khu Liok berdua isterinya. Sedangkan di rumah Ma Gi, juga terjadi hal yang sama, bahkan lebih hebat lagi, karena nyonya Ma Eng sendiri juga ikut binasa diujung senjata perwira-perwira kejam itu.

   Nyonya ini ketika melihat betapa komandan perwira menarik-narik tangan nyonya Ma Gi mantu perempuannya, dengan nekad lalu menubruk dan memukuli tangan komandan itu sehingga komandan itu menjadi marah dan menendang dengan keras. Nyonya tua itu roboh bergulingan dan kemudian ujung senjata perwira-perwira lain menamatkan riwayatnya. Kemudian, setelah semua isi rumah habis binasa dan tidak ketinggalan pula barang-barang berharga juga ikut lenyap, Ma Eng lalu ditawan dan nyonya Ma Gi diseret pergi oleh komandan itu. Khu Tiong dan Ma Gi berdiri dengan tubuh lurus dan urat-urat menegang, sepasang mata bersinar bagaikan mengeluarkan api dan dari pelupuk mata mengalir dua butir air mata, kedua tangan dikepalkan. Ong lin Hwa atau nyonya Khu Tiong, menangis terisak-isak.

   "Keparat-keparat kejam! Tunggulah pembalasanku"

   Kata Khu Tiong sambil mengacung-acungkan tinjunya.

   "Akan kubasmi perwira-perwira itu!"

   Berkata Ma Gi.

   "Akan kupenggal leher komandan bangsat itu!!"

   Kedua orang muda itu hendak segera pergi melakukan ancaman-ancaman mereka, akan tetapi Kong Sian yang lebih sabar karena biarpun ikut berduka akan tetapi tidak terkena langsung oleh malapetaka itu, berkata menghibur,

   "Suheng berdua harap suka berpikir tenang. Soal pembalasan dendam ini mudah dilakukan kelak, akan tetapi yang terpenting sekarang adalah usaha untuk menolong orang tua jiwi suheng dan juga isteri Ma suheng"

   Mendengar kata-kata ini, Khu Tiong dan Ma Gi tersadar dari keadaan mereka yang dipengaruhi rasa marah luar biasa itu. Malam itu gelap sekali dan di sekeliling tempat tahanan di mana Khu Liok, isterinya, dan Ma Eng dikeram, dijaga keras oleh para perwira. Akan tetapi, dua sosok bayangan hitam yang gerakannya gesit sekali, berhasil melewati penjagaan dan melompat ke atas tembok tinggi yang mengelilingi tempat tahanan. Kemudian dengan gerakan Naga Sakti Naik Mega, kedua sosok bayangan itu melayang naik ke atas genteng rumah tahanan itu.

   Mereka ini adalah Khu Tiong dan Ma Gi yang mendatangi tempat tahanan dan mencoba menolong orang tua mereka. Setelah membongkar genteng, kedua orang muda itu melompat ke dalam rumah. Seorang penjaga yang kebetulan masuk ke dalam ruang belakang hendak memeriksa tawanan, tiba-tiba melihat mereka, akan tetapi sebelum ia sempat bergerak atau berteriak, ujung pedang Ma Gi telah membungkam mulutnya dan ia mandi darah tanpa dapat berkutik lagi. Khu Tiong dan Ma Gi lalu membongkar pintu dan masuk ke dalam kamar tahanan. Akan tetapi, keduanya berdiri tak bergerak di ambang pintu ketika melihat pemandangan yang berada di dalam kamar itu. Kedua orang tua Khu Tiong dan ayah Ma Gi nampak duduk di dalam kamar itu, di atas lantai yang kotor dan menyandarkan tubuh di dinding yang dingin, dan jelas sekali kelihatan betapa tubuh mereka telah menjadi korban siksaan kejam.

   Kedua orang muda itu menubruk maju sambil menangis, memeluk tubuh orang tua mereka. Dan alangkah kagetnya ketika Khu Tiong melihat bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan duduk bersandar di dinding. Sedangkan ayahnya pun pingsan tak sadarkan diri. Keadaaan Khu Liok sungguh mengerikan, kepalanya bengkak-bengkak dan tubuhnya mendapat luka bekas cambukan sedemikan rupa sehingga agaknya tak ada sepotong kulit tubuhnya yang masih utuh, napasnya empas-empis hampir putus. Keadaan Ma Eng juga amat mengenaskan dan hampir sama dengan keadaan Khu Liok, akan tetapi orang tua ini masih sadar dan ketika melihat kedatangan Ma Gi dan Khu Tiong, ia lalu menggerakkan kedua tangannya.

   "Ayah, mengapa kau sampai menjadi begini?"

   Tanya Ma Gi dengan air mata bercucuran.

   "dan bagaimana pula dengan Kwei Lan?"

   "Isterimu... ia dibawa oleh komandan keparat... aku... aku dan Khu Liok... disiksa hebat... takkan tahan hidup lebih lama lagi..."

   "Ayah..."

   "Ma-pekhu..."

   Kata Khu Tiong dan mendekati orang tua itu.

   "Siapakah yang mengkhianati kita? Siapa...??"

   Dengan kuatkan tubuhdan mengumpulkan seluruh tenaga terakhir, Ma Eng menjawab,

   "Gu... Gu Mo... Tek...!"

   Kemudian kepalanya lemas dan napasnya berhenti.

   "Ayah...!"

   Ma Gi berseru sambil memeluk tubuh yang lemas dan tak bernyawa pula itu.

   "Gu Mo Tek! Bangsat Pengkhianat rendah!"

   Khu Tiong menggertak gigi dengan marah sekali. Dan ketika ia mendekati ayahnya, ternyata bahwa ayahnya pun telah melepaskan napas terakhir. Kedua orang muda itu saling pandang, kemudian saling pelukan dengan tangisan menyesak di dada.

   "Ma Gi kita harus membalas dendam sekarang juga!"

   "Baik suheng, akupun rela mengorbankan jiwa untuk membuat pembalasan dendam kepada keparat Gu Mo Tek itu!"

   Jawab Ma Gi dengan mata berapi-api. Setelah beberapa lama memeluki dan menangisi mayat-mayat orang tua mereka, kedua orang muda ini lalu melompat ke atas genteng lagi. Hati mereka panas dan penuh dengan rasa sakit hati. Dari tempat itu, mereka menempuh malam gelap dan mendatangi gedung keluarga pangeran Gu Mo Tek. Setelah mereka pergi, barulah para penjaga mendapatkan mayat penjaga yang tewas oleh pedang Ma Gi sehingga mereka menjadi ribut.

   Beberapa orang perwira melakukan pengejaran dan beberapa orang lagi memberi laporan kepada markas besar. Memang benar sebagaimana dikatakan oleh Ma Eng sebelum orang tua ini menghembuskan napas terakhir. Kedua orang sastrawan ini telah dikhianati oleh pangeran Gu Mo Tek yang melakukan hal ini terdorong oleh keinginannya menempatkan putera-puteranya ke dalam kedudukan tinggi. Ia melihat betapa kedua orang puteranya, yakni Gu Keng Siu dan Gu Leng Siu, tak dapat merebut kedudukan tinggi oleh karena kedua anak muda ini biarpun semenjak kecil telah dilatih dengan ilmu kepandaian sastra, akan tetapi ternyata tidak bisa maju dan lebih senang belajar silat. Maka ketika ia melihat betapa Kaisar dan para pembesar tinggi menjadi gempar karena hasil tulisan kedua saudara angkatnya,

   Ia lalu menggunakan kesempatan ini untuk mencarikan kedudukan tinggi bagi kedua puteranya dengan mengkhianati Khu Liok dan Ma Eng, kedua saudara angkatnya yang amat dikaguminya itu. Sebetulnya ia mengagumi Khu Liok dan Ma Eng hanya dalam bidang kesusastraan dan ketika kedua orang saudara angkat itu menulis karangan yang menyinggung dan memburukkan pemerintah, ia tidak setuju, karena betapa pun juga, darah bangsawan masih mengalir tebal dalam tubuhnya. Akan tetapi, setelah ia melakukan pengkhianatan dan mendengar betapa kedua saudara angkatnya itu ditawan dan keluarganya dibasmi, ia merasa berduka dan menyesal sekali. Semenjak siang hari tadi ia duduk saja di dalam kamarnya sambil menyesali akibat perbuatannya sendiri. Ia diam-diam merasa menyesal sekali mengapa para perwira itu melakukan penumpasan yang demikian kejamnya.

   Gu Keng Siu dan Gu Leng Siu yang berdiam di kamar masing-masing beserta isteri masing-masing, hanya menganggap bahwa ayah mereka berduka mendengar berita tentang malapetaka yang menimpa keluarga Khu Liok dan Ma Eng dan mereka inipun bersama semua keluarga merasa sedih. Tak seorang pun di antara mereka ini tahu bahwa Gu Mo Tek telah melakukan pengkhianatan dan menjadi biang keladi dari pada semua malapetaka itu. Pada malam hari itu, ketika Gu Mo Tek sedang duduk seorang diri di dalam kamar buku, tiba-tiba dari jendela menyambar masuk dua orang muda dengan pedang di tangan. Gu Mo Tek terkejut dan berdiri dari tempat duduknya dan ketika melihat bahwa yang datang itu adalah Ma Gi dan Khu Tiong yang memandangnya dengan sinar mata menyatakan kemarahan dan kebencian besar, ia menjadi ketakutan dan merasa ngeri.

   "Eh, Khu Tiong dan Ma Gi, kalian dari manakah dan... dan mengapa datang ke sini dalam keadaan demikian ini?"

   "Bangsat tua berhati busuk!"

   Khu Tiong memaki marah.

   "Keparat besar, kau telah mengkhianati orang-orang tua kami dan masih berpura-pura bertanya lagi?"

   Berkata Ma Gi sambil melangkah maju dengan pedang ditangan. Gu Mo Tek mundur ketakutan dan dengan wajah pucat ia bertanya,

   "Apa... apa maksudmu...?"

   Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Anjing rendah! Kau telah mengkhianati orang tua kami sehingga seluruh keluarga kami mati dalam tanganmu yang berdarah!"

   Kata Khu Tiong sambil melangkah maju juga.

   "Mati... mereka telah mati...?"

   Gu Mo Tek menggunakan kedua tangannya menutup muka dengan perasaan ngeri dan menyesal.

   "Dan kau harus mampus juga agar kau dapat menghadapi orang-orang tua kami di alam baka untuk minta ampun!"

   Kata Ma Gi. Secepat kilat pedang ditangan Ma Gi dan Khu Tiong bekerja dalam saat yang sama sehingga dua batang pedang menembus dada pangeran tua itu di kanan kiri. Ketika kedua orang muda itu mencabut senjata, tubuh Gu Mo Tek terhuyung-huyung dan roboh mandi darah.

   "Apa yang telah terjadi?"

   Tiba-tiba terdengar suara orang membentak dan pintu kamar itu terbuka keras. Gu Seng Kiu dan Gu Leng Siu melompat masuk dengan senjata golok di tangan. Melihat Khu Tiong dan Ma Gi berdiri disitu dengan pedang berlumur darah dan ayah mereka rebah mandi darah di atas lantai, kedua putera pangeran ini menjadi terkejut sekali.

   "Khu Tiong dan Ma Gi! Apakah kalian telah menjadi gila? Kalian apakan ayah kami?"

   Teriak mereka.

   "Keng Siu dan Leng Siu! Mungkin sekali kalian berdua tidak tahu apa yang telah terjadi. Ayahmu telah mengkhianati ayah kami hingga kebinasaan kami boleh dikata adalah hasil perbuatan ayahmu yang durhaka!"

   "Gila!"

   Teriak Keng Siu dengan suara gemetar.

   "Semenjak siang tadi ayah menyedihkan malapetaka yang menimpa keluarga kalian, dan sekarang kalian datang membunuhnya"

   "Menyedihi kami? Ha, ha, ha! Bahkan terhadap putera-putera sendiri keparat ini masih main rahasia. Ayahmu telah melaporkan kepada yang berwajib tentang tulisan ayah kami itu. Dia telah membunuh keluarga kami, maka sekarang kami datang membalas dendam. Kalau kalian merasa penasaran, kalian boleh berbuat sesukamu!"

   Kata Khu Tiong menahan marahnya.

   "Bangsat berhati kejam! Kami tidak tahu tentang urusan yang kau sebutkan tadi, akan tetapi, jangan mengagulkan kepandaian sendiri! Hutang jiwa harus dibayar jiwa!"

   Teriak Keng Siu sambil melompat maju dan memutar goloknya.

   "Majulah!"

   Ma Gi menantang dan di dalam kamar buku di mana mayat pangeran Gu Mo Tek masih rebah itu, terjadilah pertempuran sengit antara Keng Siu melawan Khu Tiong dan Leng Siu melawan Ma Gi. Suara ribut-ribut ini terdengar oleh para pelayan dan beberapa orang penjaga segera menyerbu dengan senjata di tangan, mengeroyok Khu Tiong dan Ma Gi.

   Sebagian pula lalu lari melaporkan kepada markas besar penjaga di kota raja. Biarpun Keng Siu dan Leng Siu suka akan ilmu silat, akan tetapi mereka hanya belajar dari guru-guru silat biasa saja, maka mana mereka dapat melawan Khu Tiong dan Ma Gi yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi? Juga keroyokan beberapa orang pelayan itu tidak ada artinya bagi kedua orang pemuda yang gagah itu hingga beberapa belas jurus saja, Keng Siu telah tertusuk oleh pedang Khu Tiong sehingga roboh binasa sedangkan Leng Siu telah terbacok lehernya oleh pedang Ma Gi sehingga hampir putus. Tiba-tiba dari luar gedung pangeran Gu ini terdengar suara orang berseru-seru keras. Ternyata para perwira yang mendapat kabar bahwa dua orang putera sastrawan yang ditangkap itu mengamuk di gedung pangeran Gu Mo Tek, segera datang mengurung gedung itu.

   "Sute, mari kita pergi!"

   Kata Khu Tiong yang mendahului adik seperguruannya melompat keluar dari kamar itu dan berlari melalui pintu belakang. Beberapa orang perwira yang sudah menjaga lalu menyerbu mereka, akan tetapi dengan mudah Khu Tiong dan Ma Gi merobohkan dua orang dan mereka segera melompat naik ke atas genteng. Di antara perwira-perwira itu, banyak yang memiliki ilmu silat tinggi, sehingga ketika melihat bahwa dua orang muda yang mereka kejar-kejar telah melompat ke atas genteng, mereka ini lalu melompat pula menyusul. Terjadilah pertempuran hebat lagi di atas genteng, di mana Khu Tiong dan Ma Gi dikeroyok oleh beberapa orang perwira.

   Kedua orang muda ini mengamuk hebat hingga tak sedikit yang roboh diujung pedang mereka, akan tetapi jumlah pengeroyok amat banyak dan boleh dibilang jatuh satu datang dua dan roboh dua datang empat, hingga akhirnya kedua orang muda itupun mendapat luka-luka di tubuh dan mengeluarkan banyak darah. Akan tetapi, dengan pedang yang dimainkan secara kuat dan hebat dalam ilmu pedang asli dari Kun-lun-pai, kedua anak murid Kun-lun-san ini masih dapat mempertahankan diri. Namun, mereka menjadi lelah menghadapi banyak lawan itu dan terpaksa mereka lalu membuka jalan darah dan melarikan diri dari situ dengan cepat. Para anggota penjaga yang dipimpin oleh perwira-perwira kerajaan segera melakukan pengejaran, akan tetapi oleh karena malam masih gelap, Khu Tiong dan Ma Gi dapat menyelamatkan diri, walaupun musuh masih terus mengejar dan mencari-cari.

   Menjelang fajar, ketika kedua orang muda ini berlari dan tidak berani menuju ke rumah Un Kong Sian, kuatir kalau-kalau akan merembet pemuda yang baik hati itu. Tak disangkanya, tiba-tiba pemuda itu muncul dan memberi isyarat dengan tangan agar mereka berdua suka ikut dengannya. Tanpa bertanya, Khu Tiong dan Ma Gi lalu berlari mengikuti Un Kong Sian yang membawa mereka keluar kota raja melalui tempat yang penjagaannya tidak begitu keras. Setelah berlari cepat kira-kira sepuluh li jauhnya dari kota raja, Un Kong Sian membelok ke dalam sebuah hutan kecil dan di situ ternyata telah menanti Ong Lin Hwa, isteri Khu Tiong, di atas seekor kuda dan telah disediakan dua ekor kuda lain untuk mereka.

   "Cepat! Larilah kalian, jiwi suheng, aku telah mendengar semua tentang pembalasan dendammu!"

   "Sute, kau baik sekali. Terima kasih banyak"

   Berkata Khu Tiong.

   "Cepat, mereka telah datang!"

   Kata Un Kong Sian kuatir dan benar saja, dari arah kota raja telah mendatangi banyak sekali kuda yang mengejar mereka. Agaknya para penjaga telah tahu bahwa orang-orang buruan mereka telah dapat melarikan diri keluar dari kota, maka mereka lalu mengejar cepat.

   "Baiklah, sute, selamat tinggal"

   Kata Ma Gi. Akan tetapi, ketika mereka hendak berangkat, tiba-tiba dari arah depan datang pula serombongan tentara negeri yang mengurung mereka.

   "Celaka, kita terkurung"

   Bisik Un Kong Sian dengan pucat.

   "Khu-suheng, lekas kau bawa soso lari, biar aku dan Ma-suheng mempertahankan diri di sini!"

   "Tidak, sute!"

   Kata Khu Tiong dengan tetap.

   "Kami tak dapat membiarkan kau terbawa-bawa dalam urusan kami. Kau saja pergilah cepat-cepat!"

   "Khu-suheng, dalam keadaan dan waktu seperti ini, mengapa kita harus berlaku sungkan-sungkan? Pergilah kau bersama soso!"

   Kong Sian mendesak dan pada saat itu, berpuluh batang anak panah menyambar ke arah mereka hingga mereka bertiga, juga Lin Hwa yang memegang pedang, memutar senjata untuk menyampok semua anak panah yang menyambar ke arah mereka.

   "Kau saja yang pergi, sosomu juga dapat menjaga diri, dan biarkan kami bertiga mempertahankan diri!"

   Khu Tiong berkeras dan Ma Gi juga mendesaknya,

   "Un-sute, kau telah menolong kami dan tidak seharusnya kau berkorban jiwa pula. Kau masih muda dan kau tidak mempunyai hubungan dengan urusan kami ini. Kau pergilah dan tinggalkan kami bertiga mempertahankan diri dan biarlah kami bertiga mati secara orang-orang gagah!"

   Un Kong Sian membanting kakinya dengan gemas dan pemuda yang tampan dan gagah ini merasa bingung sekali.

   "Ah, jiwi suheng benar-benar kepala batu dan keras hati"

   Katanya gemas.

   "Apakah artinya mati bagiku? Apakah artinya mati membela saudara? Lebih baik kalian mengingat akan nasib soso ini, terutama nasib anak yang dikandungnya! Kalau kita semua mati, habis siapakah yang akan membalaskan dendam kelak?"

   Pucatlah wajah Khu Tiong dan Ma Gi karena ucapan ini menikam betul hati dan perasaan mereka.

   "Dia betul suheng!"

   Kata Ma Gi.

   "Kau lekaslah lari bersama soso!"

   Khu Tiong terpaksa lalu melompat naik ke atas kuda, lalu ia berpaling memandang Kong Sian dan Ma Gi dengan kedua mata basah air mata.

   "Sampai mati aku takkan melupakan kalian"

   Ong Lin Hwa telah mendahului dan melarikan kudanya, akan tetapi Khu Tiong masih ragu-ragu dan beberapa kali ia berpaling memandang kedua saudara seperguruan itu. Keraguannya inilah yang mencelakakannya, karena tiba-tiba ia menjerit keras dan roboh dari kudanya. Lin Hwa mendengar jerit suaminya lalu melompat turun dari kuda dan berlari menghampiri. Ia memeluk suaminya yang ternyata terkena anak panah pada dada kanannya. Kong Sian dan Ma Gi juga berlari menghampiri dan pada saat itu kurungan para tentara kerajaan telah makin merapat dan mendekat. Ma Gi tidak mau membuang waktu lagi.

   "Khu-soso, lekaslah kau pergi, tinggalkan kami di sini. Sekarang bukan waktunya ragu-ragu dan berlaku lambat. Musuh telah dekat!"

   Akan tetapi, sambil mengeluh sedih nyonya Khu bahkan lalu menjadi lemas dan roboh pingsan di samping suaminya.

   "Celaka!"

   Kata Ma Gi dengan bingung.

   "Sute, lekas kau pondong tubuh sosomu dan bawa dia lari cepat keluar dari kepungan ini!"

   Un Kong Sian adalah seorang pemuda yang dapat berpikir cepat dan mengambil tindakan tepat pada waktunya.

   "Baik, Ma suheng, dan... mudah-mudahan kau dan Khu suheng dapat keluar dari sini dengan selamat!"

   Pemuda itu lalu memondong tubuh Lin Hwa yang pingsan dan secepatnya ia melompat ke atas kuda yang terbaik, lalu melarikan kuda itu bagaikan terbang cepatnya dari hutan itu. Beberapa batang anak panah menyambarnya, akan tetapi dengan pedang di tangan kanan, Kong Sian dapat memukul jatuh semua anak panah itu dan melarikan kudanya makin cepat lagi. Ma Gi membungkuk dan memeriksa keadaan Khu Tiong. Orang gagah itu mengeluh dan bergerak, membuka matanya, lalu bangun duduk.

   "Isterimu telah pingsan dan ditolong oleh Un sute, sudah melarikan diri"

   Bisik Ma Gi. Dan pada saat itu terdengar sorakan riuh. Beberapa orang perwira telah datang menyerbu dengan senjata di tangan. Terpaksa Ma Gi meninggalkan Khu Tiong untuk melompat dan menyambut musuh-musuh itu dengan pedangnya. Khu Tiong biarpun telah mendapat luka parah dan anak panah masih menancap di dadanya, lalu mencabut pedang pula dan melompat dengan garangnya.

   Ma Gi sendiri merasa kagum melihat sepak terjang Khu Tiong yang mengamuk hebat dan tiap lawan yang menghadapinya tentu roboh kena tusuk atau sabetan pedangnya. Kedua orang ini mengamuk hebat sekali hingga mayat musuh bergelimpangan di atas tanah, akan tetapi oleh karena malam tadi mereka telah mengalami pertempuran dan dikeroyok hingga mendapat luka dan telah lelah sekali, apalagi karena Khu Tiong telah menderita luka parah, maka mereka tak dapat mempertahankan diri lebih lama lagi dan beberapa buah senjata menghancurkan tubuh Khu Tiong dan Ma Gi yang gagah perkasa itu, Mereka telah melakukan perlawanan sebagai orang-orang gagah dan mati di bawah tikaman belasan buah senjata tajam hingga tubuh mereka menjadi tidak karuan lagi rupanya.

   Setelah puas membalas sakit hati atas kematian kawan-kawannya dn menghujani tubuh kedua orang muda yang gagah itu dengan senjata mereka, para perwira dan tentara kerajaaan lalu mengejar terus karena mereka tadi juga melihat bahwa isteri Khu Tiong telah dapat melarikan diri. Beberapa orang di antara mereka lalu mengangkut pergi mayat kawan-kawannya dan menolong yang terluka, sedangkan mayat Khu Tiong dan Ma Gi yang sudah tidak karuan macamnya itu dibiarkan menggeletak begitu saja di dalam hutan itu. Tak seorang pun tahu betapa pada senja hari itu, dua orang penggembala kerbau yang menghalau kerbau mereka dan lewat di tempat itu, merasa terkejut sekali melihat mayat dua orang yang tak dikenalnya, akan tetapi dengan penuh hormat kedua anak penggembala itu lalu menggunakan golok pembabat rumput untuk menggali dua buah lobang di tanah dan mengubur kedua jenazah tadi.

   Kita mengikuti pengalaman Yo Kwei Lan, nyonya Ma Gi yang dibawa pergi oleh komandan perwira ketika terjadi penyerbuan di rumah sastrawan Ma Eng. Komandan itu adalah seorang muda bernama Gak Song Ki, seorang gagah perkasa yang memiliki ilmu silat tinggi, karena dia adalah murid Cin Sam Cu, tokoh besar dari Gobi-san. Ketika memimpin penyerbuan di rumah sastrawan Ma Eng dan melihat nyonya Ma Gi yang cantik jelita dan sedang hamil tua itu, timbul hati kasihan padanya dan sebelum nyonya itu menjadi korban senjata anak buahnya, ia lalu menyeret Yo Kwei Lan.

   Ketika nyonya Ma Eng yang hendak menolong mantunya itu dengan nekad menyerbu, ia lalu menendang nyonya tua itu yang akhirnya mati di bawah pukulan senjata para tentara yang kejam. Kwei Lan menjerit-jerit, akan tetapi dengan totokan pada jalan darah di lehernya, Gak Song Ki berhasil membuat Kwei Lan diam tak dapat mengeluarkan suara pula. Kemudian komandan itu lalu menaikkan Kwei Lan ke atas kudanya dan membawanya lari dari situ. Kwei Lan merasa sedih dan bingung sehingga akhirnya ia jatuh pingsan di atas kuda, tidak tahu dibawa kemana oleh komandan itu. Ketika Kwei Lan membuka matanya, ia mendapatkan dirinya berada dalam sebuah kamar yang indah sekali dan seorang wanita tua sedang duduk menjaganya.

   "Di mana aku...? Mana suamiku...? Mana ayah ibu...?"

   Kwei Lan berbisik perlahan dan ia bangun duduk dengan bingung. Wanita tua itu dengan lemah lembut lalu menyuruhnya berbaring kembali dan berkata dengan halus,

   "Kau tidurlah saja, nak dan jangan banyak bergerak. Kau berada di rumahku, di rumah anakku dan jangan kau kuatirkan sesuatu"

   Kwei Lan teringat akan semua yang telah terjadi dan ia menangis tersedu-sedu sambil menjatuhkan diri di atas bantal yang empuk.

   "Siapakah kau? Dan siapakah anakmu itu? Ke mana perginya komandan keparat tadi?"

   "Tenanglah, nak. Dan jangan kau salah paham. Komandan itu adalah putera tunggalku dan aku adalah ibunya. Ia merasa kasihan kepadamu dan sengaja menolongmu dari bahaya maut."

   "Apa? Ia menolongku? Bangsat rendah! Dialah yang mengepalai setan-setan itu membinasakan keluargaku,"

   Teriak Kwei Lan dengan marah dan bangkit duduk lagi. Nyonya itu tersenyum sabar.

   "Kau masih bingung dan sedih. Sudahlah, jangan kau bersedih dan ingat kepada kandunganmu. Puteraku hanya menjalankan tugas kewajibannya saja dan betul-betul karena kasihan kepadamu maka kau dapat dibawa ke sini dan terlepas dari bahaya maut."

   Kemudian dengan suara halus nyonya janda Gak ini menuturkan betapa puteranya merasa kasihan kepada Kwei Lan dan menawannya agar jangan sampai terjatuh dalam tangan para anak buahnya yang tentu akan membunuhnya pula.

   Dengan tangis memilukan, Kwei Lan mendengarkan ini semua dan ia menaruh kepercayaan, sungguhpun kesedihannya tidak berkurang karenanya. Ia hanya mengharapkan untuk berjumpa kembali dengan suaminya selekasnya. Ketika Gak Song Ki datang, pemuda ini disertai ibunya menengok keadaan Kwei Lan dan sikapnya yang sopan dan halus membuat Kwei Lan tidak ragu-ragu lagi akan maksud baik perwira ini. Akan tetapi, melihat pandangan mata pemuda tampan itu mengandung perasaan hati yang mesra dan menyayang, timbul rasa malu yang besar dalam hati nyonya muda itu dan hal ini memperbesar pengharapannya untuk dapat segera bertemu kembali dengan suaminya dan selekasnya meninggalkan rumah gedung mewah dan indah ini.

   "Toanio, harap kau tenang-tenang saja tinggal di rumah kami ini dan anggaplah rumah ini seperti rumahmu sendiri. Kami takkan mengganggumu, dan kalau boleh anggap saja kami sebagai keluarga sendiri,"

   Kata Gak Song Ki dengan ramah tamah hingga tentu saja Kwei Lan merasa makin malu dan sungkan, karena di dalam keramahan ini terkandung suara hati yang lebih mesra daripada keramahan biasa.

   "Ciangkun, di manakah...suamiku? Kalau kau memang menaruh kasihan kepadaku dan bermaksud menolongku, tak ada pertolongan yang lebih besar bagiku selain apabila kau dapat mempertemukan kami kembali."

   "Toanio, untuk apa kau memikirkan hal itu? Suamimu terbawa-bawa oleh urusan mertuamu yang memberontak terhadap pemerintah, bahkan suamimu telah membunuh banyak sekali perwira-perwira kerajaan. Kau sebagai seorang wanita janganlah ikut-ikut memikirkan dan berdiamlah saja di sini dengan hati tentram."

   Wajah Kwei Lan yang cantik jelita dan pucat itu makin memucat mendengar ucapan ini dan hatinya berdebar-debar penuh kecemasan.

   "Gak-ciangkun, katakanlah sebenarnya, bagaimana dengan suamiku? Bagaimana nasibnya dan dimanakah dia berada?"

   Gak Song Ki menghela napas panjang berulang-ulang, dan ia nampak sukar sekali untuk membuka mulutnya. Akhirnya, sambil memandang tajam dan dengan suara lirih ia berkata,

   "Toanio, apakah yang harus ku katakan kepadamu? Suamimu bersama Khu Tiong yang memberontak dan membunuh banyak sekali perwira itu telah terkurung di hutan dan akhirnya mati terbunuh."

   "Mati...?"

   Lemaslah seluruh tubuh Kwei Lan. Pandangan matanya menjadi suram dan tiba-tiba seluruh isi kamar itu seakan-akan berputaran di depan matanya. Kemudian, dengan keluhan perlahan, nyonya muda ini terguling dari dari tempat tempat duduknya tak sadarkan diri. Untung sekali Gak Song Ki berlaku cepat dan memeluk tubuh itu sebelum Kwei Lan roboh dan kalau hal itu terjadi, akan membahayakan keselamatan kandungannya. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, Gak Song Ki lalu membaringkan tubuh yang lemas itu ke atas tempat tidur. Ketika Kwei Lan siuman kembali, ia mendapatkan dirinya sudah terbaring di atas tempat tidur dan melihat bahwa pemuda perwira itu masih duduk di situ bersama ibunya, menjaganya dengan wajah nampak beriba hati. Nyonya muda itu lalu menangis sedih dan berkata dalam ratap hatinya,

   "Suamiku telah binasa, demikian pula seluruh keluarga... apa artinya hidupku lagi...? Lebih baik aku mati saja..."

   Setelah berkata demikian dan teringat akan keadaannya yang ditinggal seorang diri oleh orang-orang yang dicintainya, tiba-tiba sinar mata Kwei Lan menjadi beringas. Ia memandang kepada Gak Song Ki dan ibunya, lalu berkata dengan suara ketus,

   "Kalian keluarlah dari kamar ini. Keluar!"

   Nyonya tua ibu perwira itu, berdiri dan menhampiri serta membujuk,

   "Sabarlah, nak dan jangan kau bersedih. Tak baik bagi kesehatanmu, terutama bagi kandunganmu."

   "Sudahlah, tiada gunanya semua hiburan dan nasehat bagiku pada saat ini. Pergilah, pergilah kalian berdua dan biarkan aku seorang diri dalam kamar ini!"

   Kemudian ia menangis lagi terisak-isak.

   Nyonya janda she Gak memandang kepada puteranya dan Gak Song Ki memberi tanda dan mengajak ibunya keluar dari kamar itu. Setelah kedua orang itu pergi, Kwei Lan lalu bergerak turun dari pembaringan dengan cepat dan matanya memandang ke seluruh kamar, mencari-cari. Ia hendak mencari benda tajam, pisau atau gunting untuk membunuh dirinya, akan tetapi di situ tidak terdapat sebuah pun benda tajam. Ia lalu memandang ke atas, juga mencari-cari dengan maksud menggantung diri. Akan tetapi, kembali ia kecewa karena rumah gedung itu mempunyai langit-langit yang tinggi sekali dan di situ tidak terlihat balok melintang yang cukup rendah untuk digunakan sebagai tempat sabuknya mengikat lehernya bergantung.

   Juga tempat tidur yang ditidurinya tadi mempunyai bentuk istimewa hingga tempat kelambunya pun kecil dan tidak cukup kuat untuk menahan gantungan tubuhnya. Hal ini membuat Kwei Lan menjadi bingung sekali dan akhirnya sambil memejamkan matanya, nyonya muda yang sudah berputus asa dan nekad ini lalu mengayun tubuh dan maju membenturkan kepalanya yang indah bentuknya itu kepada dinding di depannya. Akan tetapi, kembali maksudnya gagal, Sebelum kepalanya pecah membentur dinding, tubuhnya telah ditangkap dan dipeluk oleh Gak Song Ki yang sengaja berdiri dibalik daun pintu. Karena pemuda ini telah merasa curiga dan sengaja mengintai di situ. Kwei Lan meronta-ronta, akan tetapi ia tidak berdaya melepaskan diri dari pelukan kedua lengan yang amat kuat itu, akhirnya ia menjadi lemas dan menangis tersedu-sedu.

   "Toanio, mengapa kau mengambil keputusan pendek? Berdosa besar untuk membunuh diri sendiri, seakan-akan kau tidak percaya kepada keadilan Thian lagi,"

   Pemuda itu menghibur setelah meletakkan tubuh Kwei Lan dengan hati-hati di atas pembaringan pula.

   "Keadilan Thian? Ah, kalau Thian adil tidak nanti menjatuhkan malapetaka atas keluargaku... mana keadilan Thian...?"

   Suaranya amat memilukan.

   "Jangan berkata demikian, toanio. Keluargamu tertimpa malapetaka bukan tidak ada sebabnya. Semua itu diakibatkan oleh kesalahan dan perbuatan mertuamu dan sahabatnya orang she Khu itu. Sudahlah, toanio, kau ingatlah. Kalau kau membunuh diri, bukankah berarti kau menjadi pembunuh anak yang kau kandung sendiri? Dosamu makin besar lagi!"

   Diingatkan akan hal ini, tangis Kwei Lan menjadi-jadi karena ia merasa terharu dan sedih sekali. Gak Song Ki yang cerdik itu maklum bahwa kata-katanya mengenai sasaran tepat, maka ia lalu menyambung pula,

   "Apalagi membunuh diri, baru berduka saja kau telah mempengaruhi keadaan kandunganmu dan kau telah berdosa terhadap calon anakmu. Karena Thian menghendakinya dan kau telah berada seorang diri, hidup sebatang kara, maka janganlah kau menampik uluran tangan kami yang bermaksud baik. Anakmu yang akan terlahir di sini akan menjadi penghiburmu, maka jagalah dirimu baik-baik, toanio. Kalau kau tidak kasihan kepada diri sendiri, sedikitnya, taruhlah hati kasihan kepada anak yang kau kandung itu."

   Sambil mengguguk-guguk menangis, Kwei Lan memandang wajah pemuda she Gak itu dengan teraruh dan penuh pernyataan terima kasih, lalu ia berkata perlahan,

   "Terima kasih ciangkun... terima kasih. Hanya Thian yang akan membalas kebaikan budimu ini..."

   "Tak usah berterima kasih, toanio. Jaga dirimu baik-baik dan berlakulah seperti keluarga kami sendiri. Rumah ini rumahmu juga dan segala macam keperluanmu, katakan saja kepada pelayan atau kepada ibu, jangan kau berlaku sungkan-sungkan!"

   Dengan gembira dan hati tetap Gak Song Ki mengundurkan diri, keluar dari kamar itu. Ia merasa lebih gembira dari pada kalau pulang membawa kemenangan berperang. Kemenangan kali ini membuat hatinya berdebar girang dan ia merasa bahagia sekali. Demikianlah pengaruh hati yang terserang asmara. Semenjak saat itu, benar saja Kwei Lan menghibur-hibur dirinya sendiri dan tiap kali ia teringat akan kedukaan besar yang menimpa dirinya, ia lalu mengingat kepada anak yang dikandungnya dan yang merupakan sumber kekuatan bagi jiwa raganya. Apalagi sikap Gak Song Ki dan ibunya merupakan hiburan yang besar pula hingga tak lama kemudian ia dapat tersenyum kembali hingga ibu Gak Song Ki seringkali memandang wajah yang tersenyum itu dengan amat kagumnya karena memang jarang ia melihat orang secantik Kwei Lan.

   Un Kong Sian melarikan kudanya cepat sekali oleh karena ia maklum bahwa tak lama lagi para perwira kerajaan tentu akan mengejar dan tak membiarkan seorang keluarga dari Khu Liok yang dianggap pemberontak itu melarikan diri. Baiknya semua pengejar belum melihat mukanya, karena kalau hal ini terjadi maka ia tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan ibunya yang berada di rumah seorang diri pula. Ia tidak merasa kuatir akan keadaan ibunya sekarang, oleh karena ketika ayahnya masih hidup, Un Congtok adalah seorang panglima yang disegani karena gagah berani dan berjasa, sedangkan selain mempunyai rumah gedung sendiri, juga keadaan nyonya janda Un cukup kaya. Setelah melarikan kuda belasan li jauhnya, tiupan angin membuat Ong Lin Hwa siuman kembali dari pingsannya, nyonya muda ini ketika merasa bahwa ia sedang berada di atas kuda yang dilarikan keras, dipeluk oleh Un Kong sian segera berseru,

   "Berhenti dulu!"

   Un Kong Sian girang mendengar ini karena kalau nyonya ini tetap pingsan saja maka sukar baginya untuk dapat bergerak leluasa dalam menghadapi musuh. Segera ia menghentikan kudanya dan melompat turun. Juga Ong Lin Hwa melompat turun dengan air mata membasahi kedua pipinya.

   "Un-te, bagaimana dengan suamiku?"

   Tanya nyonya ini dengan suara tetap, oleh karena sebagai seorang berkepandaian tinggi dan bersemangat gagah, nyonya muda ini tidak lemah hatinya.

   "Khu-soso, ketika siauwte membawa lari soso, Khu suheng kulihat berdiri lagi dan mengamuk dengan pedang di tangan, bersama Ma suheng. Mereka berdua itu gagah sekali, soso. Sebetulnya siauwte merasa iri kepada mereka dan menghendaki agar kau dapat pergi berdua dengan suamimu biar aku dan Ma suheng yang melayani musuh. Akan tetapi, apa mau dikata..."

   Ong Lin Hwa menghela napas panjang,

   "Tuhan menghendaki demikian, Un-te (adik Un), dan aku tahu akan kebaikan hatimu. Namun, biar pun bagaimana juga, kegagahan suamiku dan Ma-te yang gugur dengan pedang di tangan dan anak panah di tubuh, banyak mengurangi kedukaanku. Kalau sampai suamiku tewas, biar kudidik calon anak yang masih kukandung ini untuk menjadi seorang gagah perkasa agar ia dapat membalaskan dendam ayahnya dan membunuh semua perwira kerajaan yang berhati buruk dan kejam."

   Sambil berkata demikian, nyonya yang gagah itu berdiri sambil mengepalkan tinjunya dan kedua matanya yang jeli dan bagus itu berapi-api. Di dalam hatinya, Un Kong Sian tidak setuju dengan maksud Lin Hwa yang hendak memusuhi semua perwira kerajaaan, karena ia maklum bahwa tidak semua perwira kerajaan berhati kejam dan jahat belaka, akan tetapi oleh karena ia tahu pula akan kedukaan wanita muda ini, maka tak baik untuk membantahnya disaat itu.

   "Khu-soso, lebih baik kita cepat melakukan perjalanan karena aku kuatir kalau-kalau mereka akan mengejar ke sini. Biarpun mereka tertinggal jauh, namun kuda mereka lebih cepat larinya dan di antara mereka banyak terdapat orang-orang gagah yang sukar dilawan!"

   "Aku tidak takut! Biar aku mati diujung senjata mereka, aku tidak takut dan akan membasmi sebanyak mungkin perajurit kerajaan yang keparat itu!"

   "Aku tahu, soso, tentu saja kau atau aku tidak takut mati di ujung senjata mereka, akan tetapi kalau kita melawan begitu saja hingga akhirnya kita berdua mati, bagaimana dengan cita-citamu yang tadi kau ucapkan? Apakah anak dikandunganmu itupun tidak akan ikut binasa?"

   Pucatlah wajah Ong Lin Hwa mendengar ini, ia memandang ke arah kuda mereka dan berkata,

   "Kau benar, Un-te. Mari kita pergi cepat-cepat. Akan tetapi, kuda hanya ada seekor saja."

   "Tidak apa-apa, soso. Kau sajalah naik kuda, aku akan mengejar dari belakang!"

   Ong Lin Hwa belum tahu betul sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian pemuda ini yang sebetulnya tidak kalah dari suaminya sendiri, maka wanita muda ini meragukannya. Biarpun ia sendiri memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, namun apabila dibandingkan dengan suaminya atau dengan Un Kong Sian, ia masih kalah jauh. Lin Hwa lalu naik di punggung kudanya dan melarikan kuda itu. Un Kong Sian lalu mengeluarkan ilmu kepandaian berlari cepat, sehingga cepat sekali ia melompat ke depan dan mengejar larinya kuda. Ketika sudah melarikan kudanya untuk beberapa lama, Lin Hwa menengok dan alangkah heran dan kagumnya ketika melihat bahwa pemuda itu berlari cepat sekali di belakang kuda, nampaknya tidak sangat sukar untuk membarengi larinya kuda yang ditungganginya. Beberapa lama mereka berlari dan tiba-tiba mereka mendengar suara banyak kaki kuda mengejar dari belakang.

   
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   


Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini