Pembakaran Kuil Thian Loksi 2
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Benar saja, soso, mereka telah mengejar dari belakang, agaknya mereka telah mendapatkan jejak kita,"
Kata Un Kong Sian yang mempercepat larinya sehingga dapat berlari di samping kuda itu.
"Habis, bagaimana baiknya, Un-te?"
Jawab Lin Hwa dengan khawatir.
(Lanjut ke Jilid 02)
Pembakaran Kuil Thian Lok Si (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo
Jilid 02
"Mari kita menuju kesana, soso, ke rimba itu!"
Mereka lalu melarikan diri ke dalam hutan di sebelah kira jalan, Un Kong Sian minta supaya Lin Hwa turun dari kuda, kemudian mencambuk kuda itu sehingga berlari terus dengan cepat karena merasa sakit punggungnya dicambuk oleh pemuda itu. Sementara itu, Kong Sian lalu mengajak Lin Hwa berlari cepat dan bersembunyi di dalam rimba. Tak lama kemudian, serombongan tentara pengejar yang dikepalai oleh seorang perwira tua mendatangi dari belakang.
"Hm, Can-ciangkun sendiri yang melakukan pengejaran,"
Kata Un Kong Sian terkejut.
Juga Lin Hwa terkejut karena pernah mendengar nama ini sebagai seorang perwira yang berilmu tinggi dan gagah sekali. Can-ciangkun yang mengejar ini adalah seorang perwira berpangkat congtok dan yang telah menjadi panglima perang karena kegagahannya. Ia ahli bermain silat dengan tombak bercagak dan biarpun usianya telah lebih dari empat puluh tahun, namun tenaganya masih besar dan lihai. Ketika rombongan itu lewat di dekat rimba, mereka tidak berhenti dan mengejar terus, karena kuda yang tadi ditunggangi Lin Hwa masih berlari terus dan terdengar suara kakinya dari situ. Un Kong Sian dan Lin Hwa yang bersembunyi di dalam rumpun alang-alang dan mengintai keluar, merasa lega melihat rombongan yang terdiri lebih dari dua puluh orang itu melewat dengan cepat tanpa menyangka bahwa orang-orang yang mereka kejar berada di dalam rimba itu.
"Mari, soso, kalau kuda kita tersusul, mereka mungkin akan kembali dan mencari di sini!"
Kata Un Kong Sian yang biarpun masih muda, namun pemandangannya luas dan pikirannya cerdas. Lin Hwa menurut saja, karena selain kalah pengalaman, nyonya muda inipun lebih muda usianya dari pada Un Kong Sian hingga biarpun pemuda ini menjadi adik seperguruan suaminya dan ia menyebutnya Un-te (adik Un), namun ia tidak merasa lebih tua atau lebih pandai. Apalagi ketika tadi ia menyaksikan betapa cepat lari pemuda ini hingga dapat diduga bahwa ilmu kepandaian pemuda inipun tentu jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
"Nanti dulu, Un-te. Kita telan ini dulu agar kelelahan kita berkurang,"
Kata Lin Hwa sambil mengeluarkan beberapa butir pel merah dari saku bajunya. Kong Sian maklum bahwa nyonya ini adalah seorang puteri tukang obat yang ternama sekali ketika masih hidup, maka tentu saja Lin Hwa juga ahli dalam hal pengobatan. Akan tetapi karena melihat bahwa pel yang dibawa oleh Lin Hwa itu tidak banyak, maka ia berkata,
"Perlu sekali bagimu, soso, akan tetapi aku sendiri belum lelah. Jangan kita pergunakan benda berharga ini dengan sia-sia."
Lin Hwa mengangguk, dan setelah menelan dua butir pel merah itu yang amat perlu bagi tubuhnya, mereka berdua lalu berlari cepat ke dalam hutan. Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan mereka berdua ini, apalagi karena kandungan Lin Hwa sudah delapan bulan sehingga tak dapat diduga berapa hari atau berapa pekan lagi ia akan melahirkan.
Hutan itu liar dan penuh jurang-jurang curam sehingga perjalanan itu sungguh-sungguh sukar dan melelahkan. Terpaksa Kong Sian mengajak Lin Hwa berkali-kali mengaso untuk menjaga agar supaya nyonya muda itu tidak terlampau lelah. Lin Hwa maklum akan hal ini dan ia makin berterima kasih kepada pemuda yang selain gagah, juga baik hati dan bijaksana sekali itu. Malam itu mereka terpaksa bermalam di dalam hutan yang gelap dan dengan cekatan sekali Kong Sian melompat kepohon-pohon untuk mencari buah-buahan yang enak dimakan. Mereka tidak berani menyalakan api karena takut kalau-kalau ada pengejar yang berada di dalam hutan itu, sehingga mereka harus menderita dari serangan beratus nyamuk yang kecil-kecil akan tetapi amat jahat dan gigitannya panas. Kong Sian mempergunakan mantelnya untuk diobat-abitkan mengusir nyamuk-nyamuk itu.
"Un-te, percuma saja kalau diusir dengan cara demikian. Kau carilah air sebelum keadaan terlalu gelap, kata Lin Hwa. Un Kong Sian lalu pergi mencari air dan akhirnya ia mendapatkan anak sungai mengalir di dalam rimba itu. Ia mempergunakan daun-daun yang lebar untuk membawa air itu dan memberikannya kepada Lin Hwa yang mengeluarkan sebungkus bubuk obat putih.
"Ini adalah bubuk penolak racun dan selalu kubawa untuk menjaga senjata beracun atau gigitan binatang berbisa,"
Katanya.
Kemudian Lin Hwa mencampur obat bubuk itu dengan air lalu membalurkan obat itu keseluruh kulit tubuh yang tidak tertutup pakaian seperti muka, tangan dan kaki. Kong Sian tidak berani melukai perasaan Lin Hwa, juga meniru perbuatan nyonya muda itu dengan merasa tidak enak sekali karena pada pikirnya sungguh gila harus memarami tubuh dengan air pada saat hawa udara sedingin itu. Akan tetapi setelah air yang menempel kulit menjadi kering dan ketika ia diamkan saja nyamuk-nyamuk yang menempel pada kulit muka dan tangannya, dengan heran sekali ia melihat dan mendengar betapa nyamuk-nyamuk itu terbang pergi dan bahkan ada yang jatuh seperti mati pada saat menempel dikulit muka atau tangannya.
"Aduh, hebat sekali obatmu ini, soso. Nyamuk-nyamuk pada mampus begitu menempel pada kulitku, seakan-akan kulitku menjadi berbisa,"
Katanya memuji. Di dalam gelap ia tidak melihat betapa wajah wanita itu berseri mendengar pujiannya, akan tetapi lin Hwa hanya berkata sederhana,
"Hal itu tak perlu diherankan. Sekarang yang penting kita dapat tidur nyenyak agar besok pagi dapat melanjutkan perjalanan."
Perjalanan? Kemana? Demikan Un Kong Sian berpikir bingung, walaupun mulutnya tidak berkata apa-apa. Ia merasa bahwa kini nyonya ini tentu telah menjadi janda dan sebatangkara karena ia tidak dapat meragukan akan nasib kedua suhengnya itu. Ia harus melindungi dan membela nyonya Khu ini karena selain dia sendiri, siapa lagi yang akan melindunginya? Akan tetapi, kemana ia harus membawa Lin Hwa? Pulang ke rumahnya tidak mungkin karena tentu para kaki tangan kaisar akan dapat mengetahuinya dan hal ini amat berbahaya.
Tiba-tiba ia teringat kepada suhunya di Kunlun-san. Membawa Lin Hwa ke pegunungan Kunlun? Lebih tak mungkin lagi, karena perjalanan ke Kunlun-san sedikitnya makan waktu berbulan-bulan, sedangkan kandungan Lin Hwa telah mendekati kelahiran. Habis, apa dayanya? Un Kong Sian merasa bingung sekali dan selagi ia hendak membuka mulut mengajak Lin Hwa berunding, ia mendengar tarikan napas yang halus dan lambat, tanda bahwa wanita itu telah tidur. Maka ia urungkan maksudnya dan menyandarkan tubuh pada sebatang pohon. Dengan lindungan obat istimewa yang membuatnya kebal terhadap gangguan nyamuk, tak lama kemudian Kong Sian juga tertidur karena ia memang telah lelah sekali. Pada keesokan harinya, baru saja mereka berdua terjaga dari tidur, mereka telah mendengar suara orang-orang di dalam hutan itu. Mereka serentak berdiri dan Un Kong Sian lalu berkata,
"Ah, mereka itu agaknya tidak tidur semalam karena gangguan nyamuk sehingga pagi-pagi benar telah mengejar kita."
Keduanya lalu lari terus menuju ke barat dan tak lama kemudian mereka mendengar suara yang amat keras,
"Hai, pemberontak-pemberontak. Menyerahlah dengan baik-baik agar kami tak usah mempergunakan tangan kejam!"
Kong Sian dan Lin Hwa terkejut karena thu bahwa suara ini digerakkan oleh tenaga khi-kang sehingga dapat terdengar jauh dan gemanya memenuhi hutan.
"Itu suara Can Kok lagi yang mengejar,"
Kata Kong Sian sambil mengajak kawannya berlari lebih cepat lagi. Tak lama kemudian mereka telah keluar dari rimba itu dan kini mereka berlari cepat di sepanjang sawah ladang tanda bahwa di dekat situ terdapat desa-desa tempat tinggal kaum tani yang mengerjakan sawah ladang itu.
"Cepat, soso, ditempat terbuka ini kita mudah sekali kelihatan oleh musuh!"
Benar saja, setelah mereka berlari agak jauh dan telah mendekati sebuah dusun, dari dalam rimba keluarlah Can Kok diikuti oleh beberapa orang perwira yang berlari cepat sekali.
"Cepat masuk ke dusun ini!", kata Kong Sian dengan khawatir karena ia maklum bahwa Lin Hwa tidak begitu tinggi ilmu lari cepatnya, apalagi karena kandungannya yang telah tua itu tidak memungkinkan ia berlari cepat.
Jarak antara mereka dengan para pengejar tidak jauh lagi dan ketika melihat sebuah kuil besar ditengah dusun itu, tanpa ragu-ragu lagi Kong Sian lalu memegang tangan Lin Hwa dan mengajak nyonya muda itu masuk ke dalam kelenteng. Kelenteng ini adalah sebuash kelenteng besar yang bernama Kuil Thian-Lok-Si atau Kuil Kebahagiaan Surga. Kuil ini selain besar dan megah, juga didiami puluhan orang Hwesio (pendeta agama Buddha berkepala gundul). Ketika Kong Sian dan Lin Hwa memasuki kuil itu, para pendeta sedang berkumpul di ruang sembahyang dan sedang melakukan ibadat pagi, berkumpul dan bersembahyang bersama, kecuali beberapa orang hwesio yang bertugas, seperti mereka yang bertugas membersihkan halaman, masak, dan pekerjaan-pekerjaan lain lagi. Seorang hwesio tukang sapu di ruang depan melihat dan menyambut kedatangan mereka dengan heran,
"Apakah jiwi (kalian berdua) hendak bersembahyang? Masih terlalu pagi,"
Katanya.
"Suhu (anggilan untuk pendeta), tolonglah kami berdua yang dikejar-kejar oleh para perwira kerajaan. Demi nama Buddha yang mulia dan demi prikemanusiaan, biarkan kami bersembunyi di kuil ini,"
Kata Kong Sian. Hwesio yang belum tua benar usianya itu memandang dengan ragu-ragu, akan tetapi ketika melihat perut Lin Hwa yang besar, ia lalu menyebut nama Buddha dan segera membawa mereka ke ruang belakang.
"Kalian harus menyamar sebagai hwesio,"
Katanya tergesa-gesa.
"Telah pinceng dengar tentang kekejaman para perwira kerajaan. Akan tetapi sayang sekali, bagaimana dengan rambut jiwi?"
Kong Sian berpikir cepat, lalu mencabut pedangnya sambil memandang kepada Lin Hwa,
"Soso, beranikah kau mengorbankan rambutmu yang indah itu?"
Ia terlanjur mengucapkan kata-kata "indah"
Itu yang tak disengaja terloncat keluar dari mulutnya. Untuk sejenak Lin Hwa memandang dengan muka pucat, akan tetapi dengan gagah ia lalu berkata,
"Un-te jangan ragu-ragu, potonglah rambutku!"
Dengan hati terharu Un Kong Sian lalu menggunakan pedangnya yang tajam untuk mencukur rambut kepala Lin Hwa yang meramkan matanya karena tidak tahan melihat betapa rambutnya yang hitam dan panjang itu tercukur habis dan jatuh ke atas lantai. Hwesio itupun dengan cepat lalu mencukur gundul kepala Un Kong Sian. Setelah kedua orang muda itu kepalanya menjadi gundul dan bersih, hwesio tadi cepat membawa pergi rambut yang memenuhi lantai, dan mengeluarkan dua stel pakaian hwesio. Untung sekali bahwa pakaian hwesio memang biasanya longgar dan besar hingga ketika Lin Hwa mengenakan pakaian ini, perutnya yang besar tertutup dan ia nampak sebagai seorang hwesio muda yang tampan sekali. Juga Kong Sian berubah menjadi seorang hwesio tulen hingga tanpa dapat tertahan pula, Lin Hwa memandangnya sambil tertawa geli.
"Mukamu terlalu halus dan merah,"
Kata Kong Sian yang menatap wajah Lin Hwa dengan penuh perhatian.
Wajah Lin Hwa memerah karena kata-kata ini walaupun sesungguhnya diucapkan karena kuatir hal ini menimbulkan kecurigaan para pengejar, akan tetapi juga dapat diartikan sebagai pujian akan kecantikannya. Nyonya muda ini memang pandai sekali dalam hal pengobatan dan penyamaran. Ia lalu minta arang dan setelah mencampur arang itu dengan tanah, ia membuat semacam bedak dan menggosok-gosok dengan bedak istimewa ini. Dan benar-benar hebat, karena kini mukanya berubah sama sekali dan kulit muka yang tadinya halus dan putih kemerahan serta tampak segar itu, kini menjadi gelap kehitam-hitaman dan kasar. Kemudian, kedua hwesio istimewa ini lalu diantar oleh hwesio yang menyapu dan menolong mereka tadi ke ruang sembahyang di mana mereka ikut berlutut dan meniru-niru gerakan bibir hwesio lain yang sedang berkomat-kamit membaca doa.
Dan pada saat itu, setelah mencari di seluruh dusun dan tidak menemukan dua orang buruan mereka, para pengejar yang dikepalai oleh Can Kok, panglima yang kosen itu, masuk ke dalam kuil Thian-Lok-Si. Tadinya memang mereka tidak menduga bahwa kedua orang buruan itu berani memasuki kuil, akan tetapi oleh karena di seluruh dusun tidak tidak terdapat orang-orang yang mereka cari, akhirnya mereka lalu masuk ke dalam kuil. Kedatangan mereka ini disertai kutuk dan caci maki, dan sikap mereka yang kasar ini dan tidak mengindahkan kesucian kuil, membuat para pendeta menjadi marah dan mendongkol. Akan tetapi, mereka bersabar dan tidak mencari penyakit dengan memusuhi perwira=perwira yang terkenal sewenang-wenang dan kejam itu.
Melihat bahwa yang datang adalah serombongan perwira dari kota raja, maka kepala hwesio sendiri maju untuk menyambut setelah upacara sembahyang selesai. Kepala hwesio di kuil Thian-Lok-Si ini adalah seorang hwesio tua bernama Pek Seng Hwesio. Biarpun usianya telah lima puluh tahun lebih, akan tetapi wajahnya masih segar dan kemerah-merahan. Kepalanya gundul dan licin seakan-akan selama hidupnya tak pernah ditumbuhi rambut. Tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya yang sipit itu nampak lemah lembut akan tetapi bersinar tajam sekali. Dengan sikap tenang, Pek Seng Hwesio menyambut kedatangan para perwira yang bersikap kasar itu dengan tubuh membungkuk sedikit dan kedua tangan terangkat ke dada sebagai penghormatan yang dilakukan kepada siapa saja yang bertemu dengannya.
"Cuwi ciangkun, selamat datang dan bolehkah pinceng ketahui maksud kunjungan yang terhormat ini?"
Can Kok yang lebih halus sikapnya dari pada semua anak buahnya, lalu melangkah maju dan membalas penghormatan kepala hwesio itu.
"Losuhu, tadi ada dua orang buruan yang berlari masuk ke dalam kuil ini. Kami datang hendak menangkap dua orang itu dan hendaknya diketahui bahwa ini adalah perintah dari kaisar sendiri yang tak boleh dilanggar oleh siapa juga."
"Dua orang buruan?"
Tanya Pek Seng Hwesio dengan muka heran.
"Pinceng tidak tahu sama sekali. Siapakah orang-orang buruan itu?"
"Mereka adalah seorang wanita muda dan seorang laki-laki kawannya. Mereka itu adalah pemberontak-pemberontak keluarga pemberontak Khu Liok yang telah dihukum. Kalau Losuhu membantu kami menangkap dua orang pemberontak besar itu, tentu kuil ini akan mendapat anugerah dari kaisar."
"Pinceng tidak melihat mereka,"
Kata Pek Seng Hwesio dengan suara bersungguh-sungguh, karena ia memang benar-benar tidak pernah melihat Un Kong Sian dan Ong Lin Hwa karena ketika kedua orang muda itu tadi masuk, ia sedang memimpin persembahyangan di ruang sembahyang. Can Kok memandang tajam dan agaknya ia tidak percaya ucapan itu.
"Benar-benarkah losuhu tidak melihatnya?"
Pek Seng Hwesio hanya menggelengkan kepala dengan perasaan tidak puas melihat bahwa ada orang yang meragukan kata-katanya.
"Kami akan memeriksa kuil ini!"
Tiba-tiba Can kok berkata keras. Pek Seng Hwesio tersenyum,
"silahkan, ciangkun."
Can Kok menyebar anak buahnya dan pemeriksaan dimulai dengan kasar oleh para anak buah panglima itu. Mereka memeriksa dan mencari dengan teliti sekali hingga semua kamar dimasukinya, akan tetapi bayangan kedua orang yang dicarinya itu tidak kelihatan. Dengan penasaran sekali Can Kok mengulur tangan hendak menarik tirai sutera yang menutup meja toapekong yang besar. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras dan nyaring,
"Jangan lakukan kelancangan itu!"
Ini adalah suara Pek Seng Hwesio dan terdengar demikian berpengaruh hingga Can Kok menarik kembali tangannya.
"Mengapa losuhu? Bagaimana kalau dua orang buruan itu bersembunyi di situ?"
"Tak mungkin, pinceng yang menanggung bahwa tidak ada orang dapat bersembunyi di tempat itu. Janganlah ciangkun mengotori tempat yang suci ini."
"Apa? Tanganku kotor? Ha, ha, ha! Tidak lebih kotor daripada meja yang penuh debu dupa ini,"
Katanya dan ia mengulur tangan lagi hendak menarik tirai itu. Akan tetapi, tiba-tiba seorang hwesio yang berwajah bopeng dan bertubuh bongkok, melompat dan menarik tangannya.
"Jangan mengacau di sini! Siapapun juga tanpa perkenan Pek Seng Suhu, tidak boleh menjamah tirai ini!"
Katanya dengan suara keras dan kedua matanya yang bundar dan lebar itu melotot marah. Can Kok terkejut sekali karena ketika tangan hwesio buruk ini menarik tangannya, ia merasa tenaga yang besar sekali keluar dari tangan itu hingga terpaksa ia tidak dapat menjamah tirai itu. Tentu saja perwira ini marah sekali dan sambil bertolak pinggang dengan tangan kiri ia membentak,
"Kau ini hwesio kurang ajar! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa?"
Hwesio yang bermuka bopeng dan hitam itu tertawa bergelak dan berkata dengan suaranya yang parau,
"Dengan siapa? Ha, ha, ha! Pinceng tidak tahu akan perbedaan pangkat dan pakaian, akan tetapi yang sudah terang bahwa pinceng berhadapan dengan seorang yang kasar, dan terutama sekali membanggakan sedikit kepandaian yang dimilikinya."
"Hwesio bangsat! Buka matamu lebar-lebar. Aku adalah seorang panglima kerajaan berpangkat congtok, dan aku si Tombak Dewa Can Kok bukanlah seorang yang biasa suka menerima hinaan dari seorang hwesio hina dina macam kau!"
Can Kok marah sekali hingga seluruh mukannya menjadi merah karena ia telah dihina oleh seorang hwesio biasa di depan semua anak buahnya yang telah melakukan pemeriksaan tanpa berhasil lalu mengelilingi komandannya yang hendak memberi hajaran kepada hwesio kurang ajar itu. Mereka merasa tertarik karena tadinya mereka ini merasa jengkel dan penasaran karena usaha mereka untuk menangkap kedua orang buruan itu gagal, dan mereka telah dapat membayangkan betapa Can Kok pasti akan menghajar hwesio buruk itu sampai berteriak-teriak minta ampun. Akan tetapi, melihat kemarahan Can Kok, hwesio bermuka hitam itu tidak merasa gentar sedikitpun, bahkan lalu menjawab sambil tertawa.
"Bukan kami yang menghina, akan tetapi kaulah yang mulai mencari perkara. Kalian ini datang mencari orang, setelah tak bertemu, seharusnya segera pergi agar jangan mengganggu kami dan jangan mengotori tempat suci ini dengan kekasaran-kekasaran. Akan tetapi kalian bahkan hendak menodai tempat suci. Ketahuilah, orang sombong, jangankan baru kau yang hanya berpangkat congtok saja, bahkan kaisar sendiri tak boleh menghina tempat suci."
"Bangsat sombong, rasai kepalanku!"
Bentak Can Kok yang segera menyerang dengan gerakan istimewa, yakni tangan kanan memukul kepala dengan tipu Thai-san-ap-teng atau Gunung Besar Menimpa Kepala sedangkan tangan kiri menggunakan gerakan Eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda yang menyerang ke arah lambung hwesio itu. Jangankan kedua serangan ini mengenai sasaran, baru salah satu saja kalau mengenai sasaran dengan tepat, cukup membuat orang yang diserang mati seketika. Melihat serangan yang berbahaya dan disertai tenaga iweekang yang kuat ini, baik Un Kong Sian maupun Lin Hwa yang berdiri di antara puluhan orang hwesio yang berada di sekitar tempat itu menonton, menjadi terkejut dan cemas sekali. Akan tetapi, Pek Seng Hwesio bahkan tersenyum dan berkata,
"Lo-koai (setan tua), jangan kau celakakan dia!"
Hwesio muka hitam itu dengan tertawa geli lalu mengulurkan tangan ke arah cengkeraman lawannya, sedangkan pukulan yang mengarah kepalanya yang gundul pelontos itu tidak dihiraukannya sama sekali. Dua hal yang aneh sekali terjadi pada saat bersamaan. Ketika pukulan Can Kok tiba di kepala yang licin itu, tiba-tiba kepalan tangannya meleset, seakan-akan kepala itu terbuat dari pada baja yang dilumuri minyak, demikian keras dan licinnya.
Sedangkan tangan Can Kok yang mencengkeram lambung, begitu kena ditangkap, lalu hwesio itu berseru keras dan tahu-tahu tubuh Can Kok telah dilempar ke atas dan jatuh bergedebukan di atas tanah, kira-kira tiga tombak jauhnya dari tempat itu. Tentu saja hal ini mengejutkan para perwira itu, juga mendatangkan rasa terkejut dan heran pada kedua orang muda yang menyamar menjadi hwesio. Sedangkan Can Kok yang biarpun tidak menderita luka berat, hanya merasa pusing saja, menjadi marah dan malu. Dia tidak tahu ilmu apa yang membuat kepala hwesio itu demikian keras dan licin dan tidak tahu pula gerak tipu apa yang digunakan oleh hwesio itu untuk melemparkannya ke udara. Dengan mengeluarkan seruan keras, Can Kok lalu menyambar tombak cagaknya yang dibawa oleh seorang pembantunya. Ia putar-putar tombak yang telah memberi julukan si Tombak Dewa kepadanyaitu, sambil berkata,
"Hendak kulihat apakah kepalamu yang gundul itu cukup keras untuk menahan tombakku."
Lalu ia menyerang dengan hebatnya.
Can Kok memang lihai sekali bermain tombak bercagak yang disebut kong-ce. Permainannya berdasarkan ilmu tombak dari Butong-pai yang sudah banyak dirobah dan disesuaikan dengan keadaan kong-ce itu dan ujung kong-ce itu mempunyai ujung tiga bergerak-gerak menjadi puluhan ketika ia memutar-mutar dan menyerang dengan ganasnya ke arah hwesio muka hitam yang masih berdiri dan tertawa ha, ha, hi, hi itu. Ketika kong-ce itu menusuk ke arah perutnya yang gendut, hwesio itu tiba-tiba saja menarik perutnya sehingga mengempis, bahkan seakan-akan perut itu pindah ke belakang tubuhnya hingga ujung kong-ce tidak mengenai sasaran.Dipermainkan secara menghina ini, Can Kok lalu mengamuk hebat dan tujuan semua serangannya ialah membunuh lawan ini. Sekali lagi terdengar suara Pek Seng Hwesio,
"Lo-koai, jangan kau celakai dia!"
"Tidak suhu, jangan kuatir. Untuk merobohkan cacing tanah ini, tak perlu membunuhnya,"
Jawab si hweaio muka hitam sambil mengelak ke sana ke mari dengan cepatnya hingga diam-diam Un Kong Sian kagum sekali melihat kehebatan ilmu ginkang ini.
Gerak-gerik hwesio ini mengingatkan dia akan seorang tosu sahabat baik suhunya yang dalam pengembaraannya seringkali mampir di Kunlun-san, karena tosu itu pernah mendemonstrasikan ilmu silatnya atas permintaan suhunya untuk menambah pengertian anak murid Kunlun-pai dan gerakan-gerakan serta kegesitan tosu itu hampir sama dengan hwesio muka hitam ini. Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Can Kok dengan kong-cenya, hanya diganda ketawa sambil bergerak ke sana ke mari oleh hwesio itu. Setelah Can Kok menyerang lebih dari empat puluh jurus dan mulai merasa pening karena dipermainkan, tiba-tiba hwesio itu berseru keras dan sekali ia menangkap dan membetot, tubuh Can Kok terpelanting ke kiri dan roboh mencium tanah sedangkan kong-ce itu telah pindah tangan. Sambil menjura dengan penuh hormat, hwesio muka hitam itu lalu menyerahkan kong-ce tadi kepada Pek seng Hwesio yang menerima sambil memuji,
"Bagus, lo-koai!"
Can Kok merayap bangun dan semua anak buahnya yang berjumlah seluruhnya dua puluh tiga orang itu, dengan senjata di tangan segera maju dan hendak menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba mereka mendengar suara senjata di belakang mereka dan ketika mereka menengok, ternyata lebih dari empat puluh orang hwesio telah berbaris rapi dengan senjata golok besar di tangan dan sikap mereka yang tenang itu mendirikan bulu tengkuk para anak buah Can Kok.
"Cuwi, janganlah menggunakan kekerasan!"
Kata Pek Seng Hwesio dengan suara tenang akan tetapi berpengaruh.
"Apakah salah kami maka cuwi hendak memusuhi kami? Cuwi sedang bertugas mencari dua orang buruan, akan tetapi buruan tidak tertangkap bahkan sebaliknya mengotori tempat suci. Kalau hal ini terdengar oleh kaisar, bukankah cuwi akan mengalami hal yang tidak enak sekali? Ciangkun, terimalah kembali senjatamu ini dan bawalah kawan-kawanmu pergi dari sini!"
Sambil berkata demikian, Pek Seng Hwesio menyerahkan kembali kong-ce itu kepada Can Kok dan ketika ia menyerahkan senjata itu ia angsurkan gagangnya kepada Can-ciangkun sedangkan ia sendiri memegang ujung kong-ce yang runcing. Terpaksa Can Kok menerima senjatanya dan tanpa banyak cakaplagi ia lalu memimpin anak buahnya keluar dari kuil Thian-lok-si yang besar itu. Ketika ia telah tiba di luar dusun, barulah dengan terkejut sekali ia melihat betapa ketiga ujung kong-cenya yang tajam itu telah patah-patah semua. Ia teringat bahwa tadi ketika memberikan senjata ini, kepala hwesio yang alim dan lemah lembut itu memegang ujung kong-ce,
Maka mengingat betapa hebatnya tenaga hwesio tua yang baru memegang saja sudah dapat mematahkan ketiga ujung senjatanya yang kuat dan tajam, maka dapat diukur betapa tinggi pula ilmu kepandaiannya. Diam-diam Can Kok merasa untung bahwa hwesio-hwesio itu tidak bermaksud mencelakakannya, maka ia mengambil keputusan untuk berdiam dan tidak menceritakan hal memalukan itu kepada orang lain. Sementara itu, setelah para pengejar itu pergi jauh, serta merta Un Kong Sian dan Ong Lin Hwa menjatuhkan diri berlutut di depan Pek Seng Hwesio. Bukan main herannya pendeta tua ini melihat dua orang "hwesio"
Muda tiba-tiba berlutut di depannya, bahkan "hwesio"
Yang seorang lagi menangis dengan suara wanita. Ia mengangguk maklum dan tahu bahwa inilah dua orang buruan yang dikejar-kejar oleh Can Kok dan anak buahnya.
"Siapa yang menolong mereka ini?"
Tanya Pek Seng Hwesio sambil memandang ke arah semua hwesio yang berdiri di situ dengan sikap tenang. Hwesio tukang sapu yang tadi menolong mereka, lalu maju dan menjatuhkan diri berlutut di belakang Kong Sian.
"Teecu yang menolong mereka karena teecu tidak tega melihat keadaan toanio yang sedang mengandung ini."
Pek Seng Hwesio menghela napas panjang dan mengangguk-angguk ketika mendengar bahwa wanita yang telah berubah menjadi hwesio gundul itu sedang mengandung.
"Suhu yang mulia, teecu berdua menyerahkan keselamatan jiwa raga di tangan suhu. Kalau suhu menghendaki kami ditangkap dan dihukum mati, terserah, kami takkan melawan karena teecu berdua maklum bahwa melawan suhu sekalian takkan ada gunanya,"
Kata Un Kong Sian.
"Hm, anak muda, kau berani dan tabah sekali. Siapakah kau dan siapa pula toanio ini?"
Tanya Pek Seng Hwesio.
"Teecu hanyalah seorang kawan atau saudara yang membela kawan ini, dan dia ini adalah isteri suheng yang bernama Khu Tiong. Mungkin suhu pernah mendengar nama Khu Liok sastrawan tua itu, Nah, dia ini adalah anak mantunya."
Mendengar nama Khu Liok disebut oleh anak muda itu, wajah Pek Seng Hwesio nampak terkejut dan sikapnya berubah sungguh-sungguh. Ia lalu mengajak masuk kedua orang muda itu ke ruang dalam dan berkata,
"Pinceng sudah mendengar tentang sastrawan tua yang luar biasa itu dan pinceng sudah membaca pula tulisannya yang berjudul TUHAN TELAH SALAH PILIH. Tadinya pinceng tidak sudi membaca tulisan yang berjudul seperti itu, tidak tahunya ketika pinceng membacanya, isinya penuh dengan sifat-sifat prikemanusiaan dan keadilan yang membuat pinceng sampai mengeluarkan air mata karena teraruh. Sastrawan she Khu itu benar-benar telah membuka mata dan melukiskan keadaan rakyat jelata yang amat menderita dan secara menyindir menyatakan betapa dengan pengangkatan seorang kaisar yang tidak tahu akan keadaan rakyatnya maka seakan-akan Thian telah salah pilih, yakni salah memilih kaisar."
Dengan penuh semangat dan bergembira, pendeta tua itu membicarakan isi tulisan Khu Liok sehingga Un Kong Sian dan Lin Hwa merasa girang karena hal ini membuktikan bahwa tulisan orang tua itu benar-benar meresap di kalangan rakyat sampai ke pendeta-pendetanya dan bahwa pendeta ini berada di pihak mereka. Kemudian Pek Seng Hwesio lalu bertanya tentang pengalaman mereka. Ketika ia mendengar betapa seluruh keluarga Khu dan Ma mengalami bencana hebat dan menemui maut secara mengerikan, ia menyebut berulang-ulang,
"Omitohud... Kejam, sungguh kejam. Kalau begitu, jiwi harus segera mencari tempat yang aman. Bagi kau, sicu, lebih mudah untuk menghindari diri dari ancaman mereka karena selain kau seorang pria, juga kau memiliki ilmu silat yang cukup baik. Akan tetapi bagi toanio ini..."
Pek Seng Hwesio memutar-mutar otaknya. Untuk menempatkan wanita muda ini di kuil Thian-lok-si adalah hal yang tidak mungkin sama sekali oleh karena di sebuah kelenteng hwesio, mana bisa ditempatkan seorang wanita muda yang cantik dan yang sedang hami pula?
"Toanio telah mengandung tua, maka perlu sekali mendapat tempat yang tepat, hingga sewaktu-waktu melahirkan, tidak mengalami kesukaran. Pinceng mempunyai seorang kenalan baik di Kwi-ciu, yakni Lan-lan Nikouw yang mengepalai sebuah kuil wanita di kota itu. Lebih baik sicu ajak toanio ke Kwi-ciu yang tak berapa jauh letaknya dari sini sambil membawa sepucuk surat dari pinceng, Lan-lan Nikouw tentu akan suka menerima dan menolong toanio hingga sementara waktu dapat tinggal dan bersembunyi di sana sampai saat melahirkan tiba. Adapun bagi sicusendiri, tentu saja tidak bisa tinggal di sana dan pinceng rasa mudah bagi sicu untuk mencari tempat berlindung,"
Kata pula hwesio tua itu kepada Un Kong Sian.
"Terima kasih banyak, suhu. Sekarang juga teecu hendak membawa soso ke sana. Bagi teecu sendiri tidak ada bahaya sesuatu oleh karena menurut rasa teecu, para perwira itu tidak ada yang melihat teecu hingga setelah teecu dapat mencarikan tempat aman bagi soso, teecu dapat kembali ke kota raja dengan aman."
Demikanlah, setelah keduanya menghaturkan banyak-banyak terima kasih kepada hwesio tukang sapu yang telah menolong mereka, Kong Sian dan Lin Hwa segera meninggalkan kelenteng Thian-lok-si dan menuju ke Kwi-ciu. Mereka masih menyamar sebagai dua orang hwesio yang melakukan perantauan. Oleh karena pada waktu itu memang banyak terlihat hwesio-hwesio atau tokouw-tokouw dan tosu-tosu melakukan perantauan, maka kedua orang hwesio muda yang tampan initidak banyak menarik perhatian orang dan mereka dapat melakukan perjalanan dengan aman tanpa mendapat gangguan.
Bahkan para orang jahat dan perampok tidak mau mengganggu mereka, oleh karena selain mereka segan mengganggu "orang-orang suci", juga mereka tahu bahwa dalam saku baju hwesio yang lebar itu takkan terdapat sesuatu yang berharga. Beberapa hari kemudian, mereka tiba di Kwi-ciu dan mudah saja mereka mencari kuil nikouw (pendeta wanita penganut agama Buddha). Yang bernama Thian-an-tang. Kepala pendeta di situ yang bernama Lan-lan Nikouw ternyata adalah seorang nikouw tua yang amat ramah tamah dan yang menerima mereka dengan hati terharu setelah membaca surat pek Seng Hwesio dan mendengar pengalaman mereka. Ia menyatakan kerelaan hatinya untuk menerima Lin Hwa dengan ucapan halus,
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja toanio boleh tinggal di sini dan biarlah dia menyamar sebagai nikouw dan menanti kelahiran bayinya di kelenteng kami."
Lin Hwa sambil berlutut menghaturkan terima kasih, sedangkan Kong Sian setelah berpamit dan meninggalkan pesan agar Lin Hwa menjaga diri dengan hati-hati, lalu meninggalkan tempat itu dan kembali ke kota raja. Sebelum masuk ke kota raja, pemuda yang selalu berhati-hati ini terlebih dahulu mendengarkan berita-berita tentang peristiwa hebat itu untuk mendengar kalau-kalau namanya disebut-sebut. Akan tetapi, sebagaimana dugaannya, dengan hati lega ia mendapat kenyataan bahwa tak seorang pun di antara para perwira ada yang mengenalnya hingga ia dapat masuk dengan aman di kota raja dan menuju ke rumahnya.
Ibunya yang sudah amat mengkhawatirkan keadaan puteranya yang lama pergi tak kunjung pulang dan yang sama sekali tidak mengabarkan ke mana perginya itu, menyambutnya dengan girang dan lega. Kepada ibunya, Kong Sian menuturkan pengalamannya hingga orang tua inipun merasa amat terharu dan kasihan mendengar tentang nasib kedua keluarga yang dikenalnya itu pula. Pada hari itu juga, Kong Sian mengunjungi seorang perwira yang dikenalnya dan bertanya tentang nasib kedua suhengnya. Ternyata bahwa kedua suhengnya itu telah tewas dan hal ini benar-benar membuat hati pemuda ini sakit sekali. Akan tetapi, di depan perwira itu, ia tidak berani berkata apa-apa dan kemudian ia pulang dengan hati dan pikirannya penuh mengenangkan keadaan lin Hwa Bagaimana kalau nyonya yang kini telah menjadi janda itu mendengar akan nasib suaminya?
Ia merasa kasihan sekali dan diam-diam Kong Sian merasa heran di dalam hatinya kini tumbuh semacam perasaan yang aneh terhadap diri Lin Hwa. Seakan-akan ia ikut merasakan penderitaan nyonya muda itu dan diam-diam ia merasa bahwa ia bertanggung jawab untuk mengurus dan memperhatikan nasib selanjutnya dari Lin Hwa dan diam-diam ia mempunyai kesanggupan besar untuk membela dan melindungi nyonya itu dengan taruhan jiwanya. Nyonya Un yang selalu menguatirkan puteranya kalau-kalau sampai terlibat dalam urusan itu, lalu mengambil keputusan untuk segera melangsungkan pernikaan Un Kong Sian yang sudah lama ditunda-tunda. Ia berpendapat bahwa kalau sudah kawin, putera tunggalnya ini tentu akan menghentikan kebiasaannya merantau. Maka, ketika Kong Sian tiba di rumah, ia disambut oleh ibunya dengan kata-kata halus akan tetapi tegas,
"Kong Sian, aku akan mengirim utusan ke rumah keluarga Oey untuk menetapkan hari perkawinanmu. Ku minta supaya kali ini kau tidak akan membandel lagi!"
"Ibu...!"
Bantah Kong Sian, akan tetapi ketika melihat betapa sinar mata ibunya membayangkan sesal dan duka, ia tak berani melanjutkan bantahannya.
"Anakku, kau tahu bahwa ibumu telah tua dan mungkin takkan lama lagi hidup di dunia ini. Kau tahu pula bahwa idam-idaman hati ibumu yang terutama ialah melihat kau menjadi pengantin dan kemudian kalau usia masih panjang, dapat menyaksikan kelahiran cucuku dan dapat pula menimang-nimangnya. Apakah kau begitu tega hati untuk mengecewakan dan mendukakan hati ibumu yang telah tua ini? Apakah dari anak tunggalku aku takkan mendapatkan kepuasan hati yang tak berapa berat dilakukannya ini?"
Un Kong sian menundukkan kepala dan aneh sekali, pada saat ia didesak supaya kawin dengan Oey-siocia, puteri keluarga Oey yang kaya raya itu, pikirannya melayang ke kuil Thian-an-tang.
"Aku tidak berani membantah kehendakmu, ibu, hanya aku hendak menyatakan bahwa sebenarnya hatiku belum ingin kawin."
"Kong Sian, Kong Sian...apakah kau hendak menanti aku mati lebih dulu sebelum kawin?"
Sambil berkata demikian, nyonya tua itu mulai menangis. Menghadapi senjata ampuh dari kaum wanita ini, Kong Sian menyerah dan segera berlutut di depan ibunya.
"Baiklah, ibu, baiklah dan jangan ibu bersedih hati,"
Jawabnya dengan lemas. Maka giranglah hati Un-hujin ini dan segera ia mengirim utusan dan menetapkan hari pernikahan puteranya itu secepat mungkin.
Semua persiapan pernikahan telah diadakan dan setiap hari nyonya tua itu sibuk sekali, akan tetapi dalam kesibukkannya, sinar kegembiraan tak pernah meninggalkan wajah nyonya tua ini sehingga diam-diam Un Kong Sian menghela napas dan tidak tega untuk mengecewakanhati ibunya. Ia pernah melihat wajah tunangannya dan harus ia akui bahwa wajah tunangannya itu cukup cantik menarik, akan tetapi entah mengapa, kini hati dan pikirannya penuh dengan bayangan Lin Hwa yang ia anggap seorang wanita gagah yang bernasib malang dan patut dikasihani. Sebulan kemudian, perkawinan antara Un Kong Sian dan Oey Bi Nio dilangsungkan dengan meriah. Gedung nyonya Un dihias indah dan ruang yang luas itu penuh dengan tamu-tamu yang terdiri dari orang-orang hartawan dan berpangkat.
Kong Sian nampak gagah dan cakap dalam pakaian pengantin sedangkan Oey-siocia kelihatan cantik bagaikan bidadari dari kayangan. Akan tetapi, benar-benar aneh, pada saat Kong Sian berlutut disamping isterinya untuk bersembahyang, pikirannya tak dapat dipusatkan dan selalu melayang-layang ke tempat jauh, ke kuil nikouw di mana Lin Hwa berada. Bahkan, pada malam harinya, ketika ia berada di kamar pengantin dengan isterinya, ia seringkali melihat betapa wajah isterinya berubah menjadi wajah Lin Hwa yang membuatnya melamun. Un Kong Sian sama sekali tidak tahu dan juga tidak mengira bahwa pada saat itu, tepat di hari ia menikah, pada malam harinya, Lin Hwa telah melahirkan bayi laki-laki yang sehat di dalam kuil Thian-an-tang itu. Tangis bayi ini demikian nyaringnya hingga Lan-lan Nikouw mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan berkata,
"Bagus, bagus! Ia calon seorang Mulia"
Dengan penuh kesabaran dan telaten sekali, para nikouw di kuil itu memelihara Lin Hwa dan bayinya hingga biarpun ketika melahirkan menderita hebat oleh karena lelah dan sedih teringat kepada suaminya, namun lambat laun hati Lin Hwa yang bersemangat gagah itu dapat menundukkan kesedihannya dan apabila ia nelihat puteranya yang montok dan sehat itu, sinar kegembiraan terbayang pada wajahnya yang cantik. Atas nasehat Lan-lan nikouw, anak yang diberi nama Cin Pau oleh ibunya itu, diberi she (nama keturunan Ong, yakni she ibunya, oleh karena kalau diberi she Khu, khawatir kalau-kalau akan menarik perhatian para perwira kerajaan.
Maka, anak itu lalu bernama Ong Cin Pau dan mendapat perawatan yang sangat open dan penuh kasih sayang dari ibunya dan para nikouw di kuil Thian-an-tang. Setelah anak itu dapat berjalan, Lin Hwa mulai menggembleng tubuh puteranya dengan menggosok ramuan obat kuat yang ia buat sendiri dengan maksud agar tubuh puteranya menjadi sehat dan kuat dan kelak menjadi seorang yang gagah perkasa. Peristiwa yang terjadi pada keluarga Khu dan Ma itu, tidak saja mendatangkan malapetaka pada kedua keluarga tersebut, akan tetapi juga mendatangkan malapetaka yang tak kalah hebatnya pada keluarga Pangeran Gu Mo Tek dengan terbunuhnya Gu Mo Tek dan kedua orang puteranya, Gu Keng Siu dan Gu Leng Siu, oleh amukan Khu Tiong dan Ma Gi.
Pada malam hari terjadinya pembunuhan itu, gegerlah seluruh keluarga pangeran itu. Nyonya pangeran yang sudah tua menangis sampai jatuh pingsan beberapa kali, sedangkan isteri kedua orang muda ini memeluki jenazah suaminya sambil menangis tersedu-sedu. Mereka ini harus dikasihani oleh karena sama sekali tidak berdosa dan tidak tahu menahu tentang urusan yang mendatangkan malapetaka ini, bahkan kematian Gu Keng Siu dan Gu Leng Siu juga mengandung penasaran besar karena kedua orang muda inipun tidak tahu akan pengkhianatan terhadap kedua orang sastrawan tua yang dilakukan oleh ayah mereka. Pada saat terjadinya pembunuhan ini, isteri Gu Keng Siu telah mempunyai seorang putera berusia lima bulan, sedangkan isteri Gu Leng Siu mengandung muda, paling banyak empat bulan.
Dapat dibayangkan betapa hancur dan sedih hati mereka dan berbareng dengan kesedihan hebat ini, timbul pula dendam yang mendalam dan besar di dalam hati mereka terhadap Khu Tiong dan Ma Gi. Kedua nama ini mereka ingat baik-baik dan selama hidup takkan pernah mereka lupakan. Beberapa bulan kemudian, isteri Gu leng Siu melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Gu Hwee Lian. Dan karena nyonya janda ini masih muda lagi cantik jelita, maka ketika datang pinangan dari seorang komandan meliter berpangkat Touw-tong yang masih muda lagicakap dan gagah, ia menerimanya lalu berpindah ke rumah gedung Touw-tong itu ke kota Lok-keng. Towtong ini bernama Gan Hok dan ia memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, mewarisi ilmu kepandaian silat ayahnya yang telah meninggal dunia.
Gan Hok menerima anak tirinya dengan hati rela, karena iapun suka melihat anak yang mungil dan mukanya mirip ibunya itu. Adapun nyonya janda Keng Siu tidak mau kawin lagi, bahkan bersumpah hendak menjadi janda sampai tiba saatnya menyusul suami ke alam baka dan bersumpah pula hendak menjagaputeranya yang bernama Gu Liong itu agar kelak dapat membalaskan dendam hatinya. Nyonya janda Cu Keng Siu tetap tinggal bersama ibu mertuanya di gedung nyonya pangeran ini, dan kadangkala ia mengunjungi ibu Gu Hwee Lian yang kini menjadi nyonya Gan Hok itu. Mereka tetap mengadakan perhubungan seperti biasa oleh karena biarpun yang seorang telah menjadi isteri orang lain, namun dendam hati mereka masih sama hingga seakan-akan ada pertalian erat di antara mereka berdua,
Bahkan Gan Hok telah berlaku baik sekali kepada nyonya janda Gu Keng Siu dan ketika diminta, ia suka menerima Gu Liong menjadi muridnya, dan mengajarsilat kepadananak laki-laki ini bersama dengan anak tirinya, yakni Hweee Lian. Biarpun kedua orang perempuan yang mengandung dendam hati besar ini telah mendengar bahwa kedua orang musuh mereka, yakni Khu Tiong dan Ma Gi, telah dapat ditewaskan oleh para perwira, namun mereka tetap merasa kurang puas oleh karena kedua isteri musuh-musuh ini masih hidup dan bahkan sedang mengandung tua sehingga rasa dendam mereka segera berpindah kepada isteri Khu Tiong dan isteri Ma Gi beserta anak-anak mereka. Demikian hebat rasa dendam yang sudah mengeram dan meracuni hati wanita, sehingga mereka tidak puas sebelum melihat musuh mereka di tumpas habis sampai semua keluarga dan keturunannya.
Nyonya janda Ma Gi yang tinggal di gedung Gak Song Ki akhirnya melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Ma Siauw Eng. Nama ini dipilih oleh Kwei Lan, nyonya janda itu, untuk memperingati ayah mertuanya, Ma Eng, maka anaknya pun diberi sama dengan huruf "Eng"
Pula. Gak Song Ki dan ibunya girang sekali dan suka melihat anak perempuan yang cantik dan mungil itu. Adapun tentang nama, Gak Song Ki tidak menaruh keberatan karena ia amat sayang kepada Kwei Lan. Mendapat pelayanan yang amat manis dan baik dari perwira muda yang tampan itu beserta ibunya, dan melihat pula betapa Gak Song Ki selalu bersikap ramah tamah dan sopan santun, juga amat mencintainya, maka setahun kemudian Kwei Lan tak dapat menolak dan menerima dengan hati tulus pinangan perwira muda itu sehingga ia menjadi nyonya Gak Song Ki yang gagah.
Orang tak dapat menyalahkan nyonya janda ini karena ia mempunyai banyak alasan kuat untuk menerima pinangan Gak Song Ki. Pertama-tama karena ia masih amat mudah, belum lebih dua puluh tahun hingga tentu saja hatinya masih ingin sekali mempunyai rumah tangga yang bahagia. Kedua karena Gak Song Ki adalah seorang perwira muda yang cukup tampan, sopan, dan gagah perkasa. Ketiga karena nyonya janda ini merasa telah berhutang budi dan mengingat akan nasib puterinya. Kalau ia menjadi nyonya perwira ini, tentu hidupnya akan terjamin dan dengan sendirinya ia tak usah kuatirkan nasib anaknya. Pula, dengan menjadi isteri Gak Song Ki ia tak perlu kuatir lagi akan dikejar-kejar oleh kaisar dan jiwanya serta keselamatan anaknya takkan terganggu pula.
Ternyata bahwa Gak Song Ki amat menyinta Kwei Lan hingga nyonya ini merasa beruntung sekali. Terutama karena ia melihat betapa suaminya yang baru ini juga menaruh hati kasih sayang kepada Siauw Eng yang jelas sekali kelihatan bahwa ia akan menjadi seorang gadis yang cantik luar biasa seperti ibunya. Gak Song Ki adalah seorang perwira yang kurang paham tentang ilmu sastera, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi hingga karena ia tidak dapat mengajarkan ilmu kesusasteraan maka ia lalu melatih ilmu silat kepada Siauw Eng yang dianggap seperti anak sendiri itu. Demikianlah, empat orang muda yang binasa sebagai akibat dari pada perbuatan ayah masing-masing, yakni Khu Tiong, Magi, Gu Keng Siu, dan Gu leng Siu, meninggalkan keturunan masing-masing yang hidup terpisahkan dalam keadaan yang berlainan pula,
Akan tetapi keempat keturunan itu semua menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi semenjak kecil dan yang kelak akan menimbulkan cerita luar biasa hebat dan ramainya. Pada waktu itu, rakyat yang telah tertindas oleh kelaliman Kaisar beserta hulubalangnya dan para pembesar yang korup, lebih menderita lagi ketika Tiongkok diserang musim kering yang hebat. Panen menjadi rusak dan tak berhasil, namun tetap saja rakyat tani harus membayar pajak yang luar biasa beratnya hingga seakan-akan mereka tercekik dari kanan kiri. Entah dosa apa yang telah diperbuat oleh nenek moyang mereka hingga pada saat yang bersamaan, Tuhan dan Kaisar telah memperlihatkan kekuasaan dan kemurkaan terhadap para petani miskin itu. Keadaan yang amat sengsara ini telah sampai di puncaknya dan ibarat api telah bernyala-nyala.
Kemudian tersebarlah buku karangan Khu Liok dan Ma Eng yang berjudul TUHAN TELAH SALAH PILIH itu yang merupakan kipas dan yang mendatangkan angin hingga api yang telah bernyalah di dada para rakyat kecil itu makin berkobar hebat. Maka pecahlah pemberontakan kaum tani pada tahun 874 dipimpin oleh seorang patriot bernama Ong Sian Ci dan dimulai di Santhung, daerah yang menderita karena musim kering. Pemberontakan menjalar luas sekali sehingga sebentar saja dimana-mana terjadi pemberontakan kaum tani yang menuntut perbaikan nasib. Ketika pemimpin pemberontakshe Ong itu tewasdalam peperangan, ia digantikan oleh seorang patriot lain bernama Oey Ciauw yang berhasil menggerakkan kaum tani dan rakyat kecil sampai mencapai barisan yang terdiri dari setengah juta rakyat lebih.
Dan tentara rakyat ini menyerbu terus, menerjang segala penghalang, sepak terjang mereka mengerihkan dan mengagumkan sekali, mati satu maju dua, roboh dua maju empat, terus menerus jumlah mereka melipat gandahingga akhirnya kekuasaan Kaisar tang dapat ditumbangkan hingga Kaisar yang lemah itu melarikan diri, mengungsi ke Secuan. Un Kong Sian yang melihat semua ini, menghela napas dan menyesali sifat Kaisar yang kurang bijaksana hingga terjadilah pemberontakan ini. Ia tidak mau ikut campur dan hanya tinggal di rumah bersama isteri dan ibunya. Orang muda ini tidak mengalami kebahagiaan dalam rumah tangganya. Memang ia harus akui bahwa isterinya adalah seorang wanita yang selain cantik, juga sangat setia dan melayaninya dengan penuh perhatian. Akan tetapi, isterinya yang bernama Oey Bi Nio ini, terlalu pendiam dan jarang sekali tersenyum.
Segala apa yang dilakukan hanya terdorong oleh tugas dan wajib semata-mata, tanpa disertai perasaan kasih sayang yang seharusnya diperlihatkan oleh seorang isteri. Kong Sian tak dapat mencela isterinya, karena memang dalam segala hal, Bi Nio berlaku baik dan memenuhi kewajiban dan inilah yang mengesalkan hatinya. Bi Nio merupakan sebuah mesin yang baik jalannya, atau seorang pelayan yang sempurna pekerjaannya, bukan merupakan seorang isteri yang merupakan lawan bercinta dan bercekcok. Tubuh Un Kong Sian makin kurus saja, karena ia jarang keluar pintu dan kesukaannya hanya duduk di sebuah kursi dan melamun. Ibunya amat kuatir melihat keadaan puteranya ini dan sebagai seorang wanita kuno, ia cukup puas melihat anak mantunya yang tahu kewajiban dan berbakti itu, sama sekali tidak tahu tentang kekosongan hati puteranya akibat sikap pendiam dan penurut dari Bi Nio itu.
"Kong Sian, mengapa kau selalu melamun dan seperti orang yang berduka saja?"
Pada suatu hari nyonya tua ini bertanya dengan suara penuh kasih sayang.
"Apakah kau merasa tubuhmu kurang sehat?"
Un Kong Sian menggelengkan kepalanyadan ibunya amat terharu ketika melihat betapa di antara rambut anaknya yang hitam dan subur itu kini nampak beberapa helai rambut putih.
"Tidak ibu, aku tidak apa-apa. Hanya..."
"Hanya apakah, anakku? Apakah yang mengganggu pikiranmu?"
Un Kong Sian tak dapat melanjutkan kata-katanya karena memang ia tidak tahu apakah yang menyebabkan ia menjadi kesal dan seakan-akan bosan akan segala apa. Kemudian, tiba-tiba ia teringat kepada Lin Hwa yang telah empat tahun tak dijumpainya itu, maka ia segera berkata,
"Aku hanya ingin sekali pergi merantau, ibu."
Ibunya menghela napas. Nyonya ini merasa kecewa dan sedih sekali oleh karena setelah kawin empat tahun lamanya, mantunya belum juga kelihatan mengandung, sedangkan ia telah amat rindu menanti datangnya seorang cucu yang mungil.
"Kalau kau pikir bahwa hal itu akan mendatangkan kegembiraan bagimu, kau pergilah, nak. Akan tetapi, jangan terlalu lama dan ingatlah bahwa ibumu yang sudah tua menanti di rumah."
Un Kong Sian dengan girang lalu berlutut dan memeluk kaki ibunya yang mencucurkan air mata sambil mencari-cari rambut putih di kepala puteranya itu untuk dicabut. Setelah mengadakan persiapan dan berpamit kepada isteri dan ibunya, Un Kong Sian lalu pergi, mulai dengan perjalanannya merantau. Ketika dia memberitahukan maksud dan kehendaknya kepada isterinya, Bi Nio hanya menjawab sederhana,
"Baiklah, dan aku akan menjaga ibu dengan baik-baik. Kau tetapkan hatimu dan jangan kuatirkan kami."
Setelah keluar dari rumah dan berada di alam bebas, Un Kong Sian merasa seakan-akan ia telah merdeka terlepas dari kurungan, seperti seekor burung yang terlepas dan kini terbang ke angkasa dengan bebas merdeka dan gembira. Ia merasa hidup kembali dari dunia lain yang menjemukan dan mengesalkan hati. Serbuan tentara petani ternyata mendatangkan perubahan hebat di dusun-dusun. Penderitaan berkurang dan kemiskinan agak dapat di atasi, akan tetapi timbul pula gejala-gejala baru yang sebenarnya telah tua yakni berlakunya hukum rimba.
Memang, ketika mulai dengan pemberontakan, semua petani bersatu padu merupakan kesatuan yang kokoh kuat, akan tetapi setelah pemberontakan itu berhasil, mereka saling cakar seperti anjing berebut makanan. Tentu saja dalam perebutan ini, yang kuat menang dan yang kalah tetap menderita. Dengan demikian, maka penindasan masih belum terhapus sama sekali dari muka bumi Tiongkok, hanya bertukar majikan saja. Kalau dulu yang menjadi "raja kecil"
Adalah hartawan terbesar atau bangsawan tertinggi, kini mereka ini dapat diusir dan kedudukan mereka digantikan oleh orang yang terkuat. Un Kong Sian langsung menuju ke Kwi-ciu untuk mendatangi kuil Thian-an-tang dan mencari Lin Hwa, wanita yang selama ini belum pernah lenyap dari ingatannya.
Akan tetapi ketika ia tiba di kuil Thian-an-tang di Kwi-ciu itu, ia melihat bahwa perubahan besar telah terjadi pula di kuil Thian-an-tang. Lan-lan Nikouw yang telah tua itu sudah meninggal dunia ketika terjadi keributan dan penyerbuan barisan tani. Ketika terjadi keributan, maka para penjahat menggunakan kesempatan itu untuk merajalela dan mengumbar nafsu jahatnya. Melihat bahwa di antara para nikouw du kuil Thian-an-tang banyak terdapat nikouw muda yang berwajah lumayan, mereka lalu berani datang mengganggu. Dan di antara para nikouw itu terdapat pula banyak wanita yang sebelum masuk menjadi nikouw menuntut penghidupan tidak patut, bahkan ada pula beberapa orang wanita pelacur yang katanya telah bertobat dan hendak menebus dosa lalu masuk menjadi pendeta perempuan.
Mereka inilah yang masih belum bersih betul batinnya dan tidak kuat menghadapi godaan sehingga diam-diam mereka melakukan perhubungan rahasia dengan para penjahat itu. Hal ini diketahui oleh Lan-lan Nikouw yang juga memiliki kepandaian ilmu silat cukup tinggi. Nilouw tua yang biasanya amat sabar dan peramah itu, tak dapat menahan kemarahan hatinya. Dengan pedang ditangan ia lalu menghajar penjahat-penjahat itu dan bersama dengan para nikouw yang berjalan sesat, ia lalu membunuh mereka sehingga sebentar saja belasan orang menjadi mayat dan bergelimpangan di halaman belakang kuil Thian-an-tang. Biarpun dalam melakukan amukan ini, Lan-lan Nikouw tidak menderita luka, bahkan tidak banyak mengeluarkan tenaga jasmani, namun rohaninya terluka hebat dan ia telah terlampau marah hingga jantung dan paru-parunya terganggu hebat.
Apalagi ia merasa amat menyesal telah melanggar pantangan yang paling besar dari orang yang menyucikan batin, yakni ia telah membunuh sekian banyak orang, maka ia lalu jatuh sakit dan penyakit batin ini membawanya ke lubang kubur. Akan tetapi, amukan dan pembunuhan ini telah membikin takut dan kapok para nikouw, juga mendatangkan kengerian di hati para penjahat, hingga hal yang memalukan nama baik kuil Thian-an-tang itu tak pernah terulang lagi. Kedudukan Lan-lan Nikouw lalu diganti oleh seorang muridnya yang bernama Bwee Lan Nikouw. Ketika peristiwa itu terjadi, belum lama Lin Hwa meninggalkan kuil itu untuk pergi mencari bahan-bahan obat di gunung-gunung dan meninggalkan puteranya dalam rawatan para nikouw. Ketika ia pulang dan mendengar tentang hal itu, bukan main sedih dan menyesalnya, maka ia lalu membawa Cin Pau pergi dari situ.
Kepada para nikouw yang bertanya kemana ia hendak pergi, ia hanya memberitahukan bahwa ia hendak pergi merantau, mencarikan guru silat yang pandai untuk puteranya. Hanya sekian saja keterangan yang bisa didapat oleh Kong Sian, maka dengan hati berat ia meninggalkan kelenteng Thian-an-tang untuk melanjutkan perjalanannya. Ia ingin sekali bertemu dengan Lin Hwa, akan tetapi oleh karena ia tidak tahu ke mana perginya ibu dan anak itu, ia lalu menuju ke Kunlun-san untuk menjumpai suhunya, yakni Beng Hong Tosu, tokoh Kunlun-san, seorang tosu (pendeta pemeluk agama To) yang tinggi ilmu silatnya. Perjalanan ke Kunlun-san bukanlah perjalanan mudah, karena pegunungan Kunlun terletak jauh di barat dan melalui tempat yang berbahaya serta sukar ditempuh.
Akan tetapi oleh karena memang maksudnya hendak merantau, Kong Sian lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke barat. Pada suatu hari, ia tiba di sebuah kota yang ramai. Kota ini adalah kota Li-kiang yang tersohor karena kerajinan tangan berupa guci-guci arak berkembang yang dibuat oleh penduduk di situ. Oleh karena sudah seringkali melihat guci-guci arak itu mengagumi keindahannya, maka Kong Sian lalu mencari sebuah kamar di hotel dan mengambil keputusan untuk berdiam di hotel itu beberapa hari lamanya dan mencari tempat pembuatan guci untuk menyakskan pembuatannya. Ia mendapat keterangan dari pelayan bahwa tukang pembuat guci yang besar di kota itu adalah seorang she Li yang tinggal di ujung selatan jalan besar, maka ia lalu menuju ke rumah orang she Li itu.
Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo