Pembakaran Kuil Thian Loksi 4
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Akan tetapi kau berbeda sekali, sahabatku. Kau... kau terlalu baik padaku, dan... dan ini tentu ada sebabnya."
Kong Sian maklum bahwa Lin Hwa menuntut kepastian darinya dan ia berpikir sekaranglah saatnya untuk menyatakan isi hatinya. Ia lalu melangkah maju dan memegang kedua tangan Lin Hwa.
"Lin-moi... aku... aku cinta padamu."
Lin Hwa tidak terkejut mendengar ini, hanya mukanya menjadi merah dan ia tidak berani menentang pandang mata Kong Sian. Lama sekali mereka berdiam saja dan Lin Hwa juga tidak berusaha menarik kedua tangannya dari pegangan Kong Sian.
"Kong Sian... telah lama aku dapat menduga hal ini dan... dan... terus terang saja akupun suka sekali kepadamu. Kau seorang yang berhati mulia dan gagah dan takkan ada hal yang lebih membahagiakan hatiku selain dari pada menjadi... isterimu yang setia. Kau baik kepada ku dan... dan puteraku pun sayang pula kepadamu. Kau lah satu-satunya orang yang patut menjadi ayah Cin Pau."
"Lin Hwa, sayang..."
Kata Kong Sian dengan suara menggetar.
"Kong Sian, ketahuilah bahwa aku memang hendak mencari makam suamiku untuk minta perkenan agar aku boleh... kawin denganmu, yakni kalau... kalau kau meminangku..."
Ia menundukkan kepala dengan malu-malu.
"Tentu saja aku suka meminangmu, Lin Hwa. Akan teranglah dunia ini bagiku dan akan bahagialah hidupku apabila kau sudi menjadi isteriku."
"Biarpun aku seorang janda yang telah mempunyai seorang putera dan kau..."
"Biarpun kau seorang janda, akan tetapi tidak ada duanya di muka bumi ini."
"Dan kau..."
"Dan aku bagaimana?"
"Dan biarpun kau masih muda belia, masih jejaka, tidak malukah kelak mengawini seorang janda yang sudah berputera?"
Ucapan ini bagaikan kilat menyambar kepala Kong Sian. Tiba-tiba ia melepaskan kedua tangan Lin Hwa, lalu menjatuhkan diri terduduk di atas lantai dan menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya.
"Kong Sian! Ada apakah...? Kong Sian, maafkan kalau aku bersalah, kalau aku mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaanmu. Kong Sian...
"
Lin Hwa memeluk bahunya.
"Tidak, Lin Hwa, tidak! Kau tidak bersalah apa-apa. Akulah yang bersalah, akulah yang sesat dan aku yang telah menipumu!"
"Kong Sian, apa maksudmu?"
Kong Sian menurunkan kedua tangannya dan Lin Hwa menjadi terkejut sekali melihat betapa pucat wajah pemuda itu dan dua titik air mata telah keluar dari matanya.
"Lin Hwa, selama ini aku telah berlaku curang kepadamu. Aku... aku telah berlaku pengecut, tidak berani mengaku terus terang, sebenarnya, sebenarnya... aku telah mempunyai seorang isteri!"
Pada saat itu, tangan kanan Lin Hwa masih ditaruh di atas pundak Kong Sian dan ketika mendengar ini, Lin Hwa secepat kilat menarik kembali tangannya, seakan-akan pundak pemuda itu terasa panas membakar tangannya. Wajahnya pucat sekali dan ia bertanya,
"Apa... apa artinya ini semua?"
Dengan cepat Kong Sian lalu menuturkan bahwa semenjak menolong Lin Hwa dulu, ia telah jatuh hati kepadanya akan tetapi apa daya, ia telah bertunangan semenjak kecil dan ketika ibunya mendesak, ia tak dapat menolak hingga akhirnya ia terpaksa kawin dengan Oey Bi Nio, tunangannya semenjak kecil, Akan tetapi ia tak merasa berbahagia dalam perkawinan itu dan bahkan merasa tersiksa. Semua ini ia ceritakan kepada Lin Hwa dengan sedih sekali. Lin Hwa mendengarkan dengan kalbu terasa hancur dan hati perih. Akan tetapi, wanita gagah ini dapat menekan perasaannya dan tidak memperlihatkan reaksi sesuatu pada mukanya. Ia diam saja, bahkan ketika Kong Sian bertanya,
"Bagaimana pikiranmu, Lin Hwa? Apakah hal ini merobah perasaanmu terhadap aku?"
Ia menjawab,
"Kong Sian, kau tidak tahu akan perasaan seorang wanita. Kalau sekali wanita itu menyatakan cintanya, ia takkan dapat merobahnya lagi, sebaliknya kalau sekali menyatakan bencinya, iapun takkan dapat melenyapkannya dengan mudah. Aku suka kepadamu dan betapapun juga, aku tetap akan suka kepadamu!"
Bukan main girang hati Kong Sian dan ia ingin memeluknya, akan tetapi Lin Hwa mengelak dan tersenyum berkata,
"Bukankah kau tadi sudah pergi mencari makanan? Mana makanan itu?"
Kong Sian tertawa dan menyatakan bahwa kelinci yang ditangkapnya telah lari lagi, ketika ia menolong Lin Hwa tadi.
"Sayang sekali,"
Kata Lin Hwa dengan sungguh-sungguh.
"Aku ingin sekali makan daging kelinci."
Pada saat ini, tidak ada makanan yang lebih lezat dari pada daging kelinci bagiku."
Kong Sian memandang heran lalu berkata sambil tertawa,
(Lanjut ke Jilid 04)
Pembakaran Kuil Thian Lok Si (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo
Jilid 04
"Apa sukarnya? Biarlah aku menangkap seekor lagi untukmu!"
"Pergilah, Kong Sian, dan tangkaplah seekor yang besar!"
Dengan hati girang Kong Sian perrgi mencari kelinci. Hatinya girang sekali oleh karena kini ia tidak menaruh hati was-was lagi. Dulu ia seringkali merasa berdebar kuatir karena Lin Hwa belum tahu bahwa ia telah beristeri. Ia takut kalau-kalau hal ini akan memutuskan hubungannya dengan wanita yang dicintainya itu. Akan tetapi sekarang, ia telah menceritakan semua dan Lin Hwa tidak berubah perasaannya. Ia masih menyinta. Sekali sayang, selamanya tetap sayang, katanya. Alangkah merdu dan indahnya kata-kata ini. Kong Sian sengaja mencari dan menangkap seekor kelinci putih yang besar dan gemuk untuk menyenangkan hati Lin Hwa, maka perginya agak lama juga. Setelah berhasil menangkap seekor ia lalu kembali dengan cepat dan dengan hati girang
"Lin Hwa...! Lihat ini, aku telah menangkap seekor yang muda dan gemuk!"
Serunya bangga ketika tiba di luar kelenteng. Akan tetapi, Lin Hwa tidak nampak keluar. Ia lalu melompat sambil memegang kelinci itu pada kedua telinganya.
"Lin Hwa...!"
Akan tetapi wanita itu tidak berada di bawah meja. Ia mencari-cari sampai di belakang kuil sambil memanggil-manggil, akan tetapi sia-sia, Lin Hwa tidak kelihatan. Kong Sian mulai cemas. Jangan-jangan saikong jahat itu datang lagi dan pergi menculik Lin Hwa. Mengingat akan hal ini kedua kakinya menggigil.
"Lin Hwa...!"
Teriaknya keras sekali agar dapat terdengar oleh wanita itu. Karena biarpun andaikata Lin Hwa terculik, dan dibawa lari, tentu ia akan mendengar teriakan ini dan akan menjawab. Ia memasang telinga baik-baik, akan tetapi tidak terdengar jawaban dari Lin Hwa. Kong Sian melemparkan kelinci yang berada ditangannya hingga untuk kedua kalinya. Kelinci yang sudah ditangkap lari lagi.
"Lin Hwa...!"
Berulang kali Kong Sian memanggil sampai suaranya menjadi serak. Dikerahkannya khikangnya untuk membuat suara panggilan ini melayang jauh. Kemudian dengan hati kuatir sekali ia lalu kembali ke dalam kelenteng untuk melakukan pemeriksaan. Kalau terjadi pertempuran, tentu ada tanda-tandanya di situ. Ketika ia tiba di tempat di mana tadi Lin Hwa duduk, ia melihat coretan-coretan aneh di atas lantai. Ia lalu mendekati dan tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Ternyata bahwa coretan-coretan itu adalah tulisan Lin Hwa yang dilakukan dengan mempergunakan arang hitam bekas api unggun. Tulisan ini singkat saja dan berbunyi,
"Mari kita lawan musuh dalam dada kita sendiri"
Kata-kata ini singkat, akan tetapi mengingatkan Kong Sian akan nasehat suhunya ketika ia hendak turun gunung bersama Lin Hwa. Ia dapat menangkap artinya. Ternyata Lin Hwa bersedia berkorban, bersedia mengundurkan diri dan tidak hendak mengganggu rumah tangganya. Ia tahu bahwa Lin Hwa juga menderita batinnya karena wanita itupun mencintainya dan tetap akan mencintainya. Karena itu ia mengajak melawan musuh dalam dada sendiri-sendiri. Alangkah mulianya hati wanita itu.
"Lin Hwa..."
Kong Sian berbisik dengan hati hancur dan tubuh lemah. Ia tidak hendak mengejar karena akan percuma saja dan sedikit coretan di atas lantai itupun membuat dia sadar bahwa hubungan mereka memang tak mungkin dilanjutkan. Bagaimana dengan Bi Nio, isterinya? Kalau ia menceraikannya, apakah ia takkan menghancurkan hati isterinya dan juga menghancurkan hati ibunya? Ah, nasib... Kong Sian menutup mukanya dan air mata mengalir melalui cela-cela jari tangannya.
"Lin Hwa..."
Kembali ia berbisik lemah. Ketika Kong Sian berseru keras memanggil namanya, Lin Hwa yang belum lari jauh mendengar juga, dan suara ini seakan-akan menarik-nariknya untuk segera kembali. Lin Hwa sambil menyucurkan air mata lalu menggunakan jari-jari tangan untuk menutup telinganya dan berlari terus makin cepat. Masih saja panggilan suara Kong Sian yang keras menembus penutup telinga dan terdengar olehnya.
"Tidak... tidak... tidak...!!!"
Ia menjerit sambil berlari terus dan air matanya mengucur makin deras.
Pemberontakan kaum tani yang berhasil menumbangkan kekuasaan kaisar Tang yang melarikan diri mengungsi ke Secuan itu, hingga ibu kota Tiang-an dikuasai oleh pemberontak pula, ternyata tidak dapat tahan lama. Kaisar yang melarikan diri itu lalu mengadakan persekutuan dengan tentara Turki barat yang disebut Shato dan dengan bantuan tentara Turki yang besar jumlahnya dan kuat ini, kaisar lalu menyerbu kembali ke Tiang-an.
Kembali rakyat mengalami perang hebat dan pasukan petani menderita kekalahan besar sehingga pemimpin pemberontak Oey Couw akhirnya berputus asa dan membunuh diri di puncak gunung Thai-san. Hal ini terjadi lima tahun kemudian setelah pemberontakan terjadi. Un Kong Sian yang mengalami berbagai kekecewaan dan bahkan kemudian menderita "patah hati"
Dalam hubungannya dengan Ong Lin Hwa, setelah berpisah dengan Lin Hwa lalu kembali ke Tiang-an. Ibunya dan isterinya terkejut sekali melihat betapa Kong Sian menjadi kurus dan nampak sedih. Setelah didesak-desak oleh ibunya, akhirnya sambil menangis Kong Sian menceritakan dengan terus terang, bahkan mengaku bahwa ia tak dapat hidup terus dengan Bi Nio biarpun isterinya itu cukup baik dan setia.
"Ampunkan anakmu yang malang ini, ibu. Aku tidak dapat menipu dan mengkhianati Bi Nio lebih lama lagi. Aku tak dapat mencintainya oleh karena hatiku telah tertambat sepenuhnya kepada Lin Hwa. Aku tak dapat menjadi suami Bi Nio pada lahirnya akan tetapi mengasihi wanita lain di dalam hati."
Ibunya merasa berduka dan kecewa sekali dan Bi Nio yang mengetahui hal ini lalu pulang ke rumah orang tuanya yang kaya dan akhirnya dikabarkan bahwa ia mencukur gundul kepalanya dan menjadi nikouw. Kong Sian tinggal dengan ibunya yang selalu berduka karena memikirkan keadaan putera tunggalnya itu hingga akhirnya ibu yang telah tua ini jatuh sakit sampai meninggal. Un Kong Sian lalu menjual semua barang dan rumah, setelah mengumpulkan hasil penjualan itu ia membawanya ke kuil Thian-Lok-Si, di mana ia lalu mendermakan semua uang itu kepada kuil tersebut dan dengan suara sedih ia berlutut dan menuturkan kepada Pek Seng Hwesio tentang segala pengalamannya. Hwesio itu tersenyum maklum,
"Anak muda, kau hanya mengalami kepahitan hidup yang hanya dapat diderita oleh orang-orang yang masih belum sadar. Kepahitan-kepahitan hidup itu memang telah diramalkan oleh Sang Buddha dan pengalaman-pengalaman seperti itu memang selalu akan menimpa manusia yang belum sadar. Pinceng hanya dapat merasa iba kepadamu."
"Suhu, teecu telah kehilangan pegangan, teecu hidup sebatang kara tanpa cita-cita dan tanpa tujuan. Tolonglah Suhu."
Pek Seng Hwesio berkata tenang,
"Pertolongan apa lagi yang dapat diberikan oleh seorang Hwesio tua dan miskin seperti pinceng selain penerangan tentang kebatinan? Kalau kau suka menjadi muridku dan menjadi hwesio, mungkin akan terobat hatimu yang terluka itu."
Dengan serta merta Kong Sian menyatakan suka dan sanggup, maka sekali lagi di dalam kuil Thian-lok-si, rambut kepalanya dicukur gundul. Akan tetapi, kalau dulu ia dicukur untuk melakukan penyamaran dan kini ia dicukur betul-betul untuk menjadi seorang hwesio.
Ketika kepalanya dicukur, tak dapat tidak ia teringat dan terkenang lagi akan pengalaman ketika ia dan Lin Hwa mencukur rambut di kuil ini dulu hingga tak tertahan lagi ia mencucurkan air mata. Pek Seng Hwesio lalu memberi nama padanya dan nama baru ini tidak banyak berbeda dengan namanya sendiri karena hanya dibalikkannya saja, yakni Sian Kong Hosiang. Demikianlah bertahun-tahun Sian Kong Hosiang menjalani ibadat dan selain mempelajari ilmu kebatinan menurut ajaran Sang Buddha, juga ia mempelajari ilmu silat yang tinggi dari Pek Seng Hwesio hingga ilmu kepandaiannya bertambah pesat sekali. Bukan main girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Pek Seng Hwesio benar-benar tinggi bahkan mungkin tak kalah tingginya dari suhunya yang dulu, yakni Beng Hong Tosu, tokoh Kunlun-san.
Waktu lewat dengan tak terasa dan cepat sekali, hingga tahu-tahu tujuh belas tahun telah lewat semenjak terjadinya peristiwa pembasmian keluarga Khu dan Ma. Pada suatu hari, dari sebuah lereng bukit di pegunungan Gobi yang luas, turun seorang berpakaian merah dengan tindakan kaki cepat seakan-akan ia melayang atau terbang saja. Ternyata bahwa orang yang berpakaian merah ini adalah seorang gadis muda berusia enam belas tahun yang sedang berlari mempergunakan ilmu ginkang yang luar biasa hingga nampaknya ia tidak menginjak tanah. Mata orang biasa hanya akan melihat berkelebatannya bayangan merah saja dan mata ahli silat tentu akan terkejut sekali karena melihat bahwa gadis muda itu sedang mempergunakan ilmu lari cepat Keng Sin Sut yang luar biasa.
Dara ini cantik jelita dan manis sekali. Pakaiannya yang berwarna merah berkibar-kibar tertiup angin ketika ia lari, rambutnya yang hitam halus dan panjang itu dikuncir menjadi dua dan ujungnya bergantungan di punggung, bersembunyi di bawah mantelnya yang lebar dan panjang berwarna kuning. Kedua kakinya kecil, bersepatu warna hitam, gerakannya demikan gesit dan ringan seakan-akan rumput yang kena injakpun tidak rusak. Di pinggang kirinya tergantung sebatang pedang panjang yang gagangnya diukir indah berbentuk kepala naga dengan terhias ronce-ronce biru. Sukar untuk melukiskan kecantikan wajah dara ini, karena segala bagian yang terkecil pun menarik hati dan menggairahkan kalbu hingga sekali mata orang tertuju kepadanya, takkan mudah bagi orang itu untuk mengalihkan pandangannya.
Entah apanya yang paling menarik hati, entah sepasang matanya yang lebar dan kocak, bersih bening bagaikan mata burung hong itu, atau hidungnya yang lurus kecil dan mancung, atau bentuk bibirnya yang merah, kecil penuh dan melengkung sempurna bagaikan bentuk gendewa itu. Mungkin sekali setitik kecil tahi lalat di sudut bibir yang membuatnya nampak begitu manis dan ayu, atau potongan tubuhnya yang ramping atau kulitnya yang putih kuning dan halus. Ah, sukarlah untuk memilih mana yang paling menarik, dan lebih mudah untuk menyatakan bahwa dara ini memang seorang gadis yang cantik jelita dan sikapnya gagah. Gadis muda ini bukan lain ialah Gak Siauw Eng. Gak Siauw Eng atau Ma Siauw Eng, puteri mendiang Ma Gi dan Kwei Lan.
Seperti diketahui, nyonya janda Ma Gi yang bernama Kwei Lan itu dilarikan oleh perwira Gak Song Ki dan kemudian setelah Siauw Eng terlahir, nyonya janda itu menjadi isteri Gak Song Ki yang tampan dan gagah. Ketika Kwei Lan melihat betapa besar rasa sayang suaminya kepada Siauw Eng, maka ia tidak menaruh hati keberatan ketika Gak Song Ki mengusulkan supaya she anak tirinya itu dirobah, hingga Siauw Eng yang tadinya she Ma, menjadi she Gak. Semenjak kecil, Siauw Eng telah mendapat didikan sastera dari ibunya dan ilmu silat dari ayah tirinya yang dianggapnya ayah tulen itu. Ternyata bahwa Siauw Eng berotak cerdas sekali, terutama dalam pelajaran ilmu silat. Setiap jurus pukulan baru dilatih satu dua kali saja telah dapat dilakukannya dengan gerakan sempurna hingga makin sayanglah Gak Song Ki kepadanya.
Setelah Siauw Eng berusia dua belas tahun, habislah sudah semua kepandaian Gak Song ki dipelajarinya dan dalam usia semuda itu Siauw Eng telah memiliki kepandaian tinggi dan lihai. Melihat kemajuan anak ini dan bakat besar yang dipunyainya, Gak Song Ki lalu mengirim mengirim Siauw Eng ke Gobi-san, ke tempat pertapaan suhunya, yakni Cin San Cu. Pertapa yang sakti ini begitu melihat Siauw Eng, timbul rasa kagumnya karena benar-benar anak ini memiliki bakat besar untuk menjadi seorang pendekar, maka dengan girang ia lalu menerima Siauw Eng menjadi muridnya. Semenjak itu, Gak Siauw Eng tinggal di Gobi-san, ikut suhunya belajar silat tinggi, bahkan ketika Bok San Cu, sahabat baik dan saudara seperguruan Cin San Cu, datang ke Gobi-san dan melihat Siauw Eng, tosu inipun lalu menurunkan kepandaiannya pula.
Dengan semangat dan tekun sekali Gak Siauw Eng mempelajari ilmu pedang Pek Tiauw Kiam Hwat (ilmu pedang rajawali putih) dan Sin Coa Kiam Hwat (ilmu pedang ular sakti) dari Bok San Cu, dan mempelajari ilmu silat tangan kosong dan latihan iweekang dan ginkang dari Cin San Cu. Tentu saja, digembleng oleh dua orang tokoh Gobi-san yang berilmu tinggi ini, Siauw Eng mendapat kemajuan pesat sekali dan ketika ia telah hampir lima tahun belajar ilmu silat di bawah asuhan dua orang guru besar itu, ia telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan lihai sekali. Sebetulnya, menurut kedua orang suhunya, ia masih harus mematangkan pelajarannya sedikitnya dua tahun lagi, akan tetapi oleh karena Siauw Eng telah merasa rindu sekali kepada ayah bundanya yang telah ditinggalkannya hampir lima tahun lamanya, maka dara itu memohon dan mendesak kedua gurunya untuk memperkenankan ia turun gunung dan pulang ke rumah orang tuanya.
"Muridku, dengan dua macam Kiamhwat yang telah kau pelajari dengan baik itu, kau tak usah takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun,"
Kata Bok San Cu yang memang memiliki watak sombong dan mengagulkan kepandaian sendiri.
"Akan tetapi kau harus melatih diri baik-baik karena gerakan-gerakanmu belum sempurna benar, baru delapan bagian yang sempurna."
"Tentu akan teecu perhatikan, suhu, akan tetapi betul-betulkah tidak akan ada orang yang dapat mengalahkan ilmu pedang teecu?"
Tanya Siauw Eng yang semenjak kecil dimanja orang tuanya dan kini dimanja kedua suhunya hingga dara inipun menjadi angkuh dan merasa dirinya paling pintar.
"Kalau ada yang mengalahkan ilmu pedangmu, aku Bok San Cu hendak melihat siapa orangnya?"
Kata guru itu membesarkan hati Siauw Eng.
"Siauw Eng,"
Kata Cin San Cu yang lebih tua dan lebih sabar sikapnya.
"betapapun juga, kau jagalah dirimu baik-baik dan jangan sekali-kali memandang rendah kepandaian orang lain karena di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai. Kau pulanglah dan bantulah ayahmu yang menghadapi banyak kesukaran. Sekarang setelah pemerintah telah kembali dalam tangan Kaisar, maka tentu banyak terjadi kekacauan yang ditimbulkan oleh sisa-sisa pemberontak, maka sudah menjadi tugasmu sebagai puteri seorang komandan perwira untuk membantu mengamankan seluruh negeri. Kalau kau bisa membantu dan berjasa, berarti kau telah membalas dan menjunjung tinggi nama kami berdua sebagaiguru-gurumu."
Siauw Eng menyanggupi dan setelah mendapat berbagai nasehat dari kedua gurunya yang amat sayang kepadanya itu, ia lalu turun gunung. Ia berangkat pagi-pagi benar dan pagi hari yang cerah itu menimbulkan kegembiraan hatinya. Ia merasa girang dan gembira karena kini ia telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan sedang pulang untuk bertemu kedua orang tuanya. Alangkah rindunya kepada kedua orang tua itu, terutama sekali kepada ibunya. Dalam kegembiraannya, Siauw Eng berlari cepat sekali sehingga ia hanya merupakan bayangan merah yang maju cepat dari atas lereng bukit. Daerah Gobi-san amat luasnya, hingga biarpun Siauw Eng mempergunakan ilmu lari Hui Heng Sut yang tinggi dan dalam sehari saja dapat melalui ratusan li, akan tetapi setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, barulah ia keluar dari daerah Gobi yang luas.
Ia berjalan terus menuju ke timur dan belum melalui kota besar, baru melalui beberapa buah dusun yang amat kecil sederhana, dusun para petani miskin yang hidup seakan-akan terasing dari kota-kota besar. Pada suatu hari, Siauw Eng tiba dalam sebuah hutan pohon Siong yang liar dan besar. Ia mendapat keterangan dari penduduk dusun di luar hutan itu bahwa hutan ini amat panjang, lebih dari tiga puluh li jauhnya dan di dalamnya banyak terdapat binatang buas dan kabarnya belum lama ini ada serombongan perampok bersarang di hutan itu. Akan tetapi, Siauw Eng hanya tersenyum saja mendengar penuturan ini dan sama sekali tidak nampak gentar, bahkan ia berkata dengan lagak sombong,
"Kebetulan sekali, lopek, sudah lama aku tidak makan daging naga dan harimau, dan sudah lama pula aku tidak membasmi gerombolan perampok!"
Mendengar ini, orang dusun yang sudah tua itu memandangnya dengan kaget dan heran, kemudian ia berdiri tercengang ketika melihat betapa dengan sekali berkelebat saja, tubuh dara baju merah itu telah lenyap dari depannya. Empek-empek ini menggeleng-gelengkan kepalanya dan berbisik,
"Siluman atau bidadarikah ia?"
Dengan hati tabah, Siauw Eng masuk ke dalam hutan yang memanjang dari barat ke timur. Benar saja, hutan itu liar sekali hingga di situ belum ada jalan kecil atau lorong yang biasa dilalui orang. Terpaksa ia mencabut pedangnya dan membacok roboh semua penghalang berupa rumput-rumput dan tetumbuhan kecil lainnya. Kadang-kadang ia menghadapi jurang yang lebar dan curam karena hutan itu berada di lereng bukit, akan tetapi dengan gesit ia lalu melompati jurang itu. Hampir setengah hari ia berjalan perlahan karena tak mungkin berjalan cepat di dalam hutan liar itu, akan tetapi ia tidak bertemu dengan seekor binatang buas pun, kecuali beberapa ekor musang dan kelinci yang indah dan banyak sekali burung-burung yang berkicau merdu. Ia tersenyum geli kalau teringat kepada orang dusun tadi yang dianggapnya selalu melebih-lebihkan.
"Memang benar kata suhu,"
Pikirnya dengan hati geli.
"orang tak boleh merasa takut, karena rasa takut menimbulkan khayal yang bukan-bukan. Mungkin seekor kucing akan kelihatan seperti harimau dan seekor ular biasa kelihatan seperti naga oleh petani yang penakut tadi."
Sambil masih tersenyum-senyum geli dan menyabet-nyabetkan pedangnya pada serumpun alang-alang yang tinggi dan yang menghadang di depannya, Siauw Eng melanjutkan perjalanannya. Tiba-tiba ia mendengar orang berlari di depan dan ketika ia memandang, ternyata bahwa dari jauh datang tiga orang laki-laki dengan tombak di tangan, dan mereka ini berlari-lari keras bagaikan dikejar setan. Ketika mereka tiba di dekat tempat Siauw Eng dan melihat banyak pohon di situ, mereka berlumba memanjat pohon yang tinggi sambil membawa tombaknya. Seorang di antara mereka ketika melihat Siauw Eng, cepat berseru,
"Nona, cepat...! Lekas kau naik ke pohon! Macan iblis mendatangi dari sana! Lekas...!"
Akan tetapi, Siauw Eng tidak mau mempedulikan seruan ini dan berdiri dengan tenang sambil menanti datangnya macan iblis yang mereka takutkan itu. Dan tak lama kemudian, datanglah harimau itu dan diam-diam Siauw Eng juga merasa terkejut karena binatang itu sungguh besar dan tinggi seperti seekor lembu muda.
"Nona panjatlah pohon di dekatmu itu!"
Kembali pemburu itu berteriak dengan suara gemetar.
Mereka itu berpakaian seperti pemburu-pemburu yang gagah, akan tetapi kini melarikan diri dari seekor harimau yang seharusnya diburunya. Sungguh lucu, pikir Siauw Eng, yang diburu memburu dan yang memburu menjadi buruan. Akan tetapi ia tidak sempat memikirkan kelucuan ini terlebih jauh oleh karena pada saat itu terdengar auman keras sekali hingga menggetarkan seluruh hutan, bahkan seorang di antara pemburu yang telah duduk dengan amannya di atas cabang tertinggi, hampir terjatuh dari tempat duduknya oleh karena tubuhnya menggigil dan lemas mendengar auman harimau yang dahsyat itu. Siauw Eng berlaku waspada karena menduga bahwa harimau itu pasti akan menyerangnya dengan sebuah lompatan seperti biasa harimau menyerang. Dulu ia pernah ikut suhunya menangkap seekor harimau hingga tahu akan gerak-gerik penyerangan binatang liar itu,
Akan tetapi harimau yang ditangkap gurunya dulu tidak ada setengahnya dari harimau yang berdiri dihadapannya sekarang ini. Dugaannya benar karena tiba-tiba harimau itu merendahkan tubuh dan kemudian melompat dengan sebuah terkaman hebat. Agaknya ia hendak merobek tubuh calon mangsa berwarna merah ini dengan sekali terkam. Akan tetapi, lebih cepat lagi Siauw Eng mengelak dengan sebuah lompatan ke kanan. Sambil melompat, dara itu membalikkan tubuh hingga sebelum harimau itu berbalik, ia telah lebih dulu menghadapi harimau itu dari samping. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia lalu menusuk dengan pedangnya ke arah kaki belakang, akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika tiba-tiba ekor harimau itu menyabet dan hampir saja lengannya yang memegang pedang kena sabet.
Ekor itu menyabet keras bagaikan pecut dan melenggak-lenggok bagaikan ular hingga berbahaya sekali. Siauw Eng cepat menarik kembali tangannya dan kini ia lebih berhati-hati pula karena ternyata bahwa macan ini lihai sekali dan pantas saja disebut macan iblis oleh pemburu-pemburu itu. Sementara itu, ketika harimau tadi menerkam, ketiga orang pemburu yang berada di atas pohon telah menutup mata masing-masing karena mereka tidak tega melihat betapa tubuh gadis baju merah yang luar biasa cantiknya itu dirobek-robek oleh kuku dan gigi harimau. Akan tetapi, ketika tidak terdengar sesuatu, mereka merasa heran dan membuka mata. Alangkah heran dan girang hati mereka ketika melihat betapa Siauw Eng masih hidup dan masih menghadapi harimau itu dengan pedang di tangan dan dengan sikap tenang.
Ternyata dara baju merah itu telah berhasil mengelakkan diri dari terkaman macan yang mereka takuti itu. Luar biasa sekali! Mereka lalu duduk dan menonton pertempuran yang terjadi dan kini terbukalah mata mereka karena heran dan takjub melihat sepak terjang Siauw Eng. Gadis baju merah itu loncat sana loncat sini dengan amat lincahnya, mempermainkan harimau itu dan mengelak dari setiap terkaman dan sambaran kaki harimau, bahkan kadang-kadang mencibirkan bibirnya yang manis, tertawa-tawa mengejek dan meniru-niru geraman binatang yang makin lama makin panas dan marah itu. Dengan terkaman yang dahsyat, yakni mengembangkan keempat kakinya ke kanan ke kiri dan tubuhnya ditekuk hingga dapat digerakkan pula mengikuti ke mana korbannya hendak mengelak.
Inilah terkaman luar biasa hebatnya karena apabila Siauw Eng mengelak, tentu harimau itu sebelum turun dapat melanjutkan terkamannya dan mengubah luncuran tubuhnya. Agaknya tiada jalan lagi bagi Siauw Eng dan untuk balas menyerang, seakan-akan ia hanya akan mengadu jiwa. Ketiga orang pemburu sudah menahan napas karena melihat betapa harimau itu menubruk hebat dan dara baju merah itu masih belum bergerak seperti orang ragu-ragu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar Siauw Eng berseru nyaring dan tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke atas, lebih tinggi dari lompatan harimau itu. Tentu saja hal ini membuat harimau itu tidak berdaya karena tak mungkin ia menggerakkan tubuhnya berbalik ke atas, dan sebelum keempat kakinya kembali ke atas tanah, tiba-tiba ia merasa ekornya sakit sekali.
Ia mengaum keras dan memutar-mutar tubuhnya cepat sekali seakan-akan hendak menggigit ekor sendiri, dan ternyata bahwa ekornya yang panjang itu telah terpotong di tengah-tengah oleh sabetan pedang Siauw Eng yang dilakukan ketika ia masih berada di udara dan pada saat harimau itu tidak menyangka. Setelah kehilangan ekornya, gerakan harimau itu tidak sehebat tadi dan kegesitannya banyak berkurang. Agaknya selain merasa sakit, iapun mulai jerih menghadapi makhluk warna merah yang luar biasa ini. Tubrukannya makin lemah dan jarang, sedangkan aumnya juga berbeda, seringkali ia berdiri saja sambil menggerak-gerakkan kepala seperti sedang ketakutan. Akan tetapi Siauw Eng tidak mau memberi hati kepadanya dan kini dara ini balas menyerang dengan pedangnya. Hebat sekali serangannya dan harimau itu tidak kuasa mengelak lagi.
Sambil mengaum keras yang berbunyi seperti keluhan, harimau itu roboh miring ketika pedang Siauw Eng memasuki dada dan tepat mengiris jantungnya. Setelah berkelonjotan beberapa kali, harimau yang besar dan buas dan yang telah makan banyak manusia itu mati. Terdengar seruan-seruan kaget dari atas pohon karena sungguh mati ketiga orang pemburu itu tak pernah menyangka bahwa seorang gadis muda sehalus dan secantik itu dapat membunuh harimau iblis itu seorang diri dengan pedang dan dalam waktu sedemikian cepatnya. Mereka melorot turun dari pohon dan berdiri memandang gadis itu dengan mata terbelalak. Kemudian, serta merta ketiga orang itu menjatuhkan diri berlutut di depan Siauw Eng. Mereka menghaturkan banyak terima kasih sambil mengangguk-anggukkan kepala. Siauw Eng tersenyum geli dan berkata dengan suara bangga karena penghormatan ini?
"Mengapa kalian menghaturkan terima kasih? Biarpun harimau ini tidak kubunuh, ia juga tak dapat mengganggu kalian yang berada di atas pohon!"
"Lihiap tidak tahu, bukan saja lihiap telah menolong jiwa kami bertiga, bahkan lihiap telah menolong keselamatan jiwa orang sekampung kami."
Siauw Eng merasa heran dan lalu minta diberi penjelasan.
"Kami bertiga tinggal di kampung sebelah selatan hutan ini dan pekerjaan kami adalah pemburu. Boleh dibilang semua orang laki-laki di kampung kami adalah pemburu-pemburu yang mencari penghasilan dengan jalan memburu binatang di hutan ini. Dengan banyaknya binatang di hutan luas ini, maka untuk beberapa lama keadaan kami cukup dan hasil-hasil buruan dapat kami jual ke kampung lain.Akan tetapi, baru kira-kira sebulan ini, muncullah harimau besar ini yang tidak saja mengganggu keamanan, bahkan telah membunuh mati tiga orang kawan kami dan bahkan berani menyerang sampai ke kampung kami dan menerkam seorang anak kecil. Semenjak ada harimau ini, maka kami tidak berani memburu terlalu jauh di dalam hutan hingga penghasilan kami banyak berkurang. Maka, kini lihiap telah membunuh binatang ini, bukankah itu berarti lihiap telah menolong jiwa kami sekampung?"
Kembali ketiga orang itu berlutut dan menghaturkan terima kasih. Bangga sekali hati Siauw Eng mendengar ini. Baru saja turun gunung, ia telah dapat menolong jiwa orang sekampung. Alangkah bangga dan senangnya kalau kedua suhunya mendengar tentang hal ini.
"Apakah selain harimau ini masih ada lagi binatang lain yang mengganggu kalian?"
Tanyanya. Ketiga orang pemburu itu saling pandang dan agaknya ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi kemudian yang tertua di antara mereka berkata,
"Lihiap, ada sebuah bencana yang telah lama mencekik leher kami akan tetapi yang sebetulnya tak berani kami ceritakan kepada siapapun juga. Namun, melihat kegagahan lihiap, kami sangat mengharapkan pertolongan lihiap untuk tidak tanggung-tanggung menolong kampung kami hingga kalau saja lihiap dapat menolong kami bebas dari gangguan yang satu ini, sampai tujuh keturunan kami akan menjunjung tinggi nama lihiap yang mulia."
Berseri sepasang mata Siauw Eng yang indah itu.
"Coba lekas katakan, siapa dan apa yang mengganggu agar dapat kubasmi sekarang juga."
Kemudian orang itu menuturkan seperti berikut. Di sekitar hutan itu terdapat beberapa buah dusun yang biarpun kecil dan sederhana, namun cukup makmur karena banyak penghasilan didapat di daerah itu. Setiap dusun mempunyai seorang kepala kampung sendiri yang dipilih oleh orang sedusun dan biasanya yang diangkat menjadi kepala kampung adalah orang tertua dan terkaya. Akan tetapi, kurang lebih setengah tahun yang lalu, di daerah ini datang seorang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun yang mengaku di utus oleh Kaisar untuk mengepalai daerah itu. Oleh karena ia tidak membawa bukti-bukti dan tanda-tanda ia benar-benar utusan Kaisar, tentu saja orang-orang dusun itu tidak percaya sehingga timbul perkelahian.
Akan tetapi, ternyata bahwa orang yang bernama Ci Lui itu amat kosen dan tak seorangpun di antara semua pemburu dan penduduk di daerah itu dapat melawannya. Akhirnya, dengan menggunakan kekerasan, semua orang terpaksa menurut dan tunduk hingga Ci Lui mengangkat diri sendiri menjadi pemimpin atau kepala dari daerah itu. Ia mengharuskan kepada setiap lurah untuk memberi bagian pajak yang besar kepadanya yang katanya harus dikirimkan ke kota raja, pada hal semua orang dapat menduga bahwa hasil perasan itu masuk kantongnya sendiri. Ia membuat semua rumah gedung di sebuah dusun dan mengawini lebih dari lima orang gadis dusun yang tercantik. Pendeknya, setelah mengangkat diri dengan paksa menjadi kepala daerah di situ, Ci Lui hidup seperti seorang raja dan tak seorangpun berani menentangnya.
"Sebetulnya kami tidak berani menceritakan ini kepada lihiap oleh karena kalau sampai terdengar oleh kepala kampung, kami tentu akan mendapat hukuman. Semua kepala kampung takut sekali kepadanya dan kami tidak berdaya karena memang tidak kuat melawan dia. Kalau lihiap berani dan berhasil menghalau penghalang yang satu ini, tidak saja sekampung kami, bahkan seluruh penduduk di daerah ini akan berterima kasih sekali kepada lihiap."
"Bangsat betul manusia itu!"
Siauw Eng mencaci maki.
"Mari kau tunjukkan di mana rumahnya padaku agar aku dapat memotong kedua telinganya!"
Girang sekali hati ketiga orang pemburu itu mendengar akan kesanggupan ini dan mereka lalu mengajak Siauw Eng pergi ke dusun tempat tinggal mereka.
Sambil memanggul bangkai macan yang berat itu hingga terpaksa mereka memanggul dan menggotongnya bergantian, mereka dengan wajah girang mengantar Siauw Eng. Penduduk kampung yang melihat bahwa harimau siluman telah dapat dibunuh, menyambut dengan girang sekali, bahkan ada yang mencucurkan air mata karena girang dan terharunya. Dan dipimpin oleh kepala kampung yang sudah lanjut usianya, semua penduduk lalu berlutut di depan Siauw Eng. Bukan main bangga hati Siauw Eng karena benar saja seperti yang dikatakan oleh ketiga orang pemburu tadi, semua orang kampung menghormat dan menyatakan terima kasihnya dengan sungguh-sungguh dan dengan terharu. Ketika kepala kampung menanyakan nama, dara itu menjawab,
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Namaku adalah Siauw Eng, she Gak dan aku datang dari Gobi-san."
"Kalau begitu, siocia pantas disebut Gobi Ang Sianli (Bidadari Merah Dari Gobi),"
Kata kepala kampung itu dengan suara keras hingga semua orang kampung bersorak girang menyatakan persetujuan mereka. Siauw Eng dengan muka kemerah-merahan dan mata berseri-seri menjawab,
"Kalau memang kalian hendak menyebutku demikian baiklah mulai sekarang aku memakai julukan Gobi Ang Sianli."
Kembali semua orang bersorak dan pada malam hari itu semua orang dalam keadaan pesta pora dan semua mendapat bagian daging harimau yang mereka benci itu. Bahkan, untuk membalas sakit hati anak-anak, anak kecilpun diberi makan sedikit daging harimau. Akan tetapi, Siauw Eng yang mendengar bahwa harimau itu telah banyak makan manusia, menjadi jijik dan tidak mau ikut makan. Ketika ketiga orang pemburu yang bertemu dengan Siauw Eng di dalam hutan menceritakan kepada kepala kampung bahwa nona pendekar itu hendak membasmi Ci Lui, ia menjadi pucat sekali dan segera menghadap Siauw Eng.
"Lihiap,"
Katanya dengan gemetar.
"Kuharap lihiap jangan sampai mengganggu orang she Ci itu sungguhpun tidak ada keinginan yang lebih besar di dalam hatiku selain melihat manusia itu mampus sekarang juga."
Siauw Eng memandang heran.
"Eh, kau ini aneh sekali, lopek. Kau ingin melihat dia mampus akan tetapi melarang orang mengganggunya, bukankah ini bertentangan sekali?"
"Lihiap, orang itu datang dari kota raja dan agaknya ia berpengaruh sekali di sana. Kalau sampai ia diganggu dan kemudian hal ini terdengar oleh para pembesar, bukankah kampung kita akan mendapat hukuman berat?"
Siauw Eng tertawa dan menjawab,
"Lopek, jangan kuatir. Ketahuilah, aku sendiri adalah orang yang tinggal di ibukota Tiang-an dan bahkan ayahku adalah seorang perwira, seorang komandan yang memimpin pasukan besar, maka apakah yang harus ditakutkan menghadapi seorang penipu rendah seperti orang she Ci itu?"
Mendengar ini, kepala kampung segera berlutut dengan hormatnya,
"Ah, tidak tahunya lihiap adalah puteri seorang pembesar tinggi."
Biarpun hatinya merasa bangga dan senang, namun Siauw Eng merasa tak enak juga melihat kepala kampung yang tua itu berlutut di depannya.
"Sudahlah, lopek. Besok pagi saja antarkan aku menemui orang itu, hendak kulihat sampai di mana kebusukkannya."
Berita tentang kenyataan bahwa nona baju merah yang gagah perkasa itu puteri seorang pembesar tinggi, membuat semua orang makin tunduk menghormat dan kagum.
Pada keesokkan harinya, dengan diantar oleh serombongan pemburu karena kepala kampung sendiri tidak berani mengantarnya, Siauw Eng dengan langkah gagah menuju ke dusun di mana tinggal Ci Lui yang memiliki sebuah rumah gedung besar. Orang she Ci ini keluar sendiri menyambut kedatangan serombongan pemburu yang disangkanya hendak memberi hadiah hasil buruan seperti biasanya karena memang banyak orang yang menjilat dan berusaha mengambil hatinya. Akan tetapi ia heran sekali melihat bahwa rombongan pemburu itu tidak membawa hasil buruan, dan melihat pula bahwa mereka itu mengikuti seorang nona baju merah yang bersikapgagah dan wajahnya cantik luar biasa. Sebaliknya Siauw Eng yang mendapat bisikan bahwa orang tinggi besar yang keluar dari gedung itu adalah Ci Lui sendiri, lalu melangkah maju dengan tindakan kaki lebar dan setelah berdiri di depan Ci Lui, ia menuding,
"Kau kah manusia jahanam yang bernama Ci Lui?"
Bukan main marah dan terkejutnya Cilui mendengar betapa nona cantik ini datang-datang memakinya manusia jahanam. Matanya yang bundar itu bergerak-gerak berputar-putar dan sambil bertolak pinggang ia membentak,
"Perempuan hina dina yang mau mampus. Siapa kau dan dari mana kau datang? Hai, kalian membawa orang liar ini dari manakah? Dan apa maksud kalian? Awas, hal ini tentu akan kulaporkan kepada kota raja dan kalian tentu akan dihukum sebagai pemberontak-pemberontak jahat!"
Semua pemburu ketakutan dan menundukkan kepala tanpa berani bergerak. Akan tetapi Siauw Eng memperdengarkan suara sindiran sambil tertawa.
"Gertak samabal segala bajungan kecil mana dapat menakutkan aku? Eh, keparat, kalau kau memang benar seorang utusan Kaisar dari kota raja, kenalkah kau kepada seorang perwira bernama Gak Song Ki?"
Ci Lui tertawa dan membelalakkan matanya.
"Mengapa tidak kenal? Aku kenal baik Gak-ciangkun itu. Bukankah ia yang tinggal di sebelah selatan kota dan memiliki rumah gedung yang bercat kuning?"
Siauw Eng terkejut juga, akan tetapi dengan suara gagah ia bertanya lagi,
"Kalau kau kenal baik dengan Gak Ciangkun, tentu kau tahu pula bahwa dia mempunyai seorang puteri yang gagah?"
"Puterinya...?"
Ci Lui ragu-ragu dan bingung.
"O, ya, ya... aku tentu saja kenal puterinya itu yang gagah."
"Hm, bangsat rendah pembohong tolol. Akulah puteri Gak ciangkun yang datang hendak menghukummu!"
Kata Siauw Eng sambil mencabut pedangnya.
"Bagus! Kau perampok wanita dari mana dan siapakah namamu?"
Teriak Ci Lui dengan marah pula dan ketika tangannya meraba ke belakang punggung, iapun telah mengeluarkan sebatang pedang tajam.
"Dengarlah baik-baik. Aku adalah Gak Siauw Eng yang berjuluk Gobi Ang Sianli!"
Sambil berkata demikian, secepat kilat Siauw Eng lalu maju menyerang yang dapat ditangkis oleh Ci Lui dan dibalas dengan serangan hebat. Dan keduanya lalu bertempur dengan seru dan mati-matian. Ci Lui sebetulnya adalah seorang penjahat yang berkepandaian tinggi. Ia pernah menjadi perampok dan belum lama ini ia bergelandangan di kota raja, bercampur gaul dengan semua buaya dan penjahat, bahkan pernah menjadi tukang pukul seorang pangerandi kota raja.
Oleh karena ini, sedikit banyak ia kenal atau tahu tentang para pembesar dan perwira di kota raja. Ilmu silatnya cukup lihai, terutama ia telah mempelajari ilmu pedang Thai kek yang boleh juga, biarpun hanya dipelajarinya secara menjiplak dan bukan langsung dari seorang tokoh Thai Kek. Akan tetapi, kini ia menghadapi Siauw Eng, anak murid Gobi tulen yang baru saja turun gunung setelah mendapat gemblengan hebat bertahun-tahun di bawah pimpinan ayahnya yang gagah, kemudian hampir lima tahun di bawah pimpinan Cin San Cu dan Bok San Cu. Setelah mencoba dengan dengan segala tenaga dan kepandaiannya untuk mendesak Siauw Eng, akhirnya Ci Lui terpaksa mengakui kelihaian gadis baju merah itu dan ia terdesak hebat tanpa dapat melakukan serangan balasan lagi. Siauw Eng mempercepat gerakan pedangnya dan dengan teriakan keras,
"Lepaskan telinga kananmu?"
Pedangnya menyambar dan Cilui menjerit kesakitan ketika ujung pedang Siauw Eng membabat dan membikin daun telinganya putus. Sambil mendekap telinga kanan yang kini tidak berdaun lagi serta mengeluarkan banyak darah itu, Ci Lui menyerang lagi dengan nekad dan mati-matian, akan tetapi sebuah tendangan kilat telah membuat pedangnya terlepas dari pegangan dan tendangan kedua membuat ia tak kuasa berdiri karena sambungan lututnya kena tendang. Siauw Eng menggerak-gerakan pedangnya dan berkata,
"Sekarang kau mengakulah bahwa kau hanya seorang penipu rendah dan bahwa kau sama sekali bukan seorang utusan Kaisar. Baru aku mau mengampuni jiwamu."
Sementara itu, semua orang kampung yang melihat bahwa musuh besar yang diam-diam mereka benci itu telah mendapat hajaran hebat, makin lama makin banyak berkumpul dan orang-orang dusun lain juga berdatangan berikut kepala-kepala kampung mereka. Mereka ini lalu berseru dan berteriak-teriak,
"Bunuh saja penipu ini!"
"Nah, kau mendengar itu? Ayoh membuat pengakuan!"
Bentak Siauw Eng lagi. Terpaksa Ci Lui lalu merayap berdiri dan berkata dengan suara lemah.
"Aku... aku memang bukan utusan siapa-siapa..."
Orang-orang berteriak marah dan para pemburu mengangkat tombak hendak menyerang Ci Lui, akan tetapi Siauw Eng mengangkat tangan ke atas mencegah,
"Jangan bunuh dia, aku telah memberi janjiku!"
"Lihiap, dia terlalu jahat, pantas mendapat hukuman mati!"
Teriak seorang kepala kampung dengan marah.
"Hukumannya terlalu ringan!"
Teriak orang lain. Siauw Eng lalu membentak Ci Lui,
"Kau tidak lekas minggat dari sini?"
Mendengar ini, sambil memegang tempat di mana telinganya tadi berdiri, Ci Lui lalu berkata kepada Siauw Eng,
"Lain kali kita bertemu pula!"
Lalu ia melarikan diri secepatya meninggalkan tempat itu. Orang-orang yang berkumpul dari beberapa dusun itu dengan girang sekali lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Siauw Eng dan setelah gadis gagah ini memberi nasehat agar harta benda Ci Lui dibagi-bagi di antara mereka dengan adil dan memperlakukan serta menolong bekas isteri-isteri penipu itu dengan baik pula, lalu pergi meninggalkan dusun itu. Benar sebagaimana ramalan ketiga orang pemburu yang dulu bertemu dengan Siauw Eng, nama gadis ini sebagai Gobi Ang Sianli, dipuji-puji dan dikenang oleh para penduduk dusun-dusun di daerah itu sampai beberapa turunan.
Beberapa pekan kemudian, Siauw Eng mulai melalui kota-kota besar hingga menggembirakan hatinya karena sudah lama sekali ia tidak pernah melihat kota-kota besar dengan rumah-rumah dan bangunan-bangunan indah. Akan tetapi, berbeda dengan ketika ia melewati dusun-dusun, kini hampir semua mata memandangnya dengan kagum dan bahkan pandangan mata orang-orang muda yang melihatnya di dalam kota membuat ia mendongkol sekali oleh karena pandangan itu mengandung maksud kurang ajar. Ia sama sekali tidak tahu bahwa hal itu bukanlah semata-mata salahnya para pemuda itu, akan tetapi oleh karena kecantikannya memang menyolok mata sekali. Pada masa itu, sukar sekali melihat gadis cantik oleh karena para gadis jarang meninggalkan kamar dan apabila mereka keluar selalu tentu naik joli yang menutupi seluruh tubuh mereka.
Banyak juga wanita-wanita kangouw yang melakukan perjalanan, akan tetapi belum pernah ada wanita secantik Siauw Eng yang berjalan di jalan umum dan terlihat oleh setiap orang. Ketika pertama kali memasuki kota dan dipandang sedemikian rupa oleh orang-orang yang bertemu di jalan, memang ia merasa bangga dan senang, akan tetapi lambat laun karena terlalu banyak orang memandangnya, dengan kagum, ia menjadi jemu dan bosan. Maka ia lalu buru-buru mencari sebuah hotel di tengah kota. Seorang pelayan yang telah agak tua usianya menyambutnya dan pelayan yang peramah ini lalu mempersilakannya memilih kamar. Ketika melihat betapa pandang mata pelayan tua ini sama saja dengan orang-orang di kota, Siauw Eng tidak tahan lagi untuk tidak menegur.
"Eh, Lopek! Kau ini sudah tua akan tetapi pandangan matamu sama saja dengan orang-orang lelaki muda yang kurang ajar. Agaknya semua lelaki di dalam kota ini memang kurang ajar dan tidak sopan."
Mula-mula pelayan itu terkejut mendengar teguran ini, akan tetapi ia lalu tersenyum geli dan sambil membongkok-bongkokkan tubuhnya ia berkata,
"Maaf, li-enghiong (pendekar wanita), memang kau ini luar biasa sekali. Aku memang kagum padamu, akan tetapi jangan salah sangka, lihiap, kekagumanku berbeda dengan kekaguman orang lain. Biarpun aku juga kagum melihat lihiap yang cantik seperti bidadari ini, akan tetapi aku lebih mengagumi keberanian dan kegagahanmu."
Siauw Eng senang mendengar omongan pelayan yang suka ngobrol ini, maka setelah ia mendapatkan sebuah kamar yang menyenangkan, lalu ia bertanya lagi,
"Bagaimana kau dapat mengagumi keberanian dan kegagahanku kalau kau belum menyaksikannya sendiri?"
"Li-enghiong, dengan berjalan seorang diri dan membiarkan dirimu yang cantik jelita ini kelihatan oleh umum, sudah termasuk keberanian luar biasa sekali. Jangankan diperlihatkan kepada umum, sedangkan yang disimpan-simpan juga didatangi dan dicuri orang."
Siauw Eng terkejut dan heran karena ia tidak mengerti apa maksudnya.
Kemudian dengan suara perlahan dan dengan muka menunjukkan ketakutan, pelayan tua itu lalu menceritakan bahwa di dalam kota itu telah terjadi kejahatan-kejahatan mengerikan, yakni bahwa telah beberapa pekan ini kota itu diganggu oleh seorang Jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang pekerjaannya mengganggu anak bini orang secara kejam sekali. Dua orang gadis telah tewas dipenggal lehernya karena gadis itu berteriak minta tolong ketika ia datang di malam hari untuk mengganggu. Bukan main marahnya hati Siauw Eng mendengar penuturan ini, akan tetapi ia tidak berkata sesuatu. Setelah hari menjadi malam, Siauw Eng lalu mengenakan pakaian ringkas dan dengan hati-hati ia membuka jendela kamarnya dan melompat naik ke atas genteng. Ia bermaksud untuk mencari dan membekuk penjahat yang telah membuatnya marah sekali itu. Penjahat semacam itu harus dihukum mati pikirnya dengan gemas.
Malam itu kebetulan malam terang bulan dan langit bersih dari awan hingga keadaan cukup terang. Ketika ia sedang berlari-lari di atas genteng rumah-rumah orang dengan gerakan demikian gesit dan ringan bagaikan seekor kucing, tiba-tiba ia melihat di atas genteng agak jauh dari situ berkelebat bayangan putih yang gesit sekali. Berdebarlah hati Siauw Eng karena ia merasa pasti bahwa itulah penjahat yang dicari-carinya. Karena gemasnya ia lalu mencabut pedangnya dan mempercepat gerakannya mengejar bayangan itu. Ia merasa heran mengapa penjahat itu demikian beraninya, memakai pakaian warna putih, tidak seperti penjahat biasa yang lebih sering mengenakan pakaian warna hitam. Akan tetapi, gerakan bayangan putih itu cepat sekali hingga sebentar saja lenyap dari pandangan matanya. Siauw Eng merasa penasaran dan mencari-cari.
Tiba-tiba bayangan itu muncul lagi di atas rumah lain yang tak berapa jauh letaknya dari tempat di mana ia berada, maka Siauw Eng lalu melompat dan mengejar. Tadinya Siauw Eng hendak mengintai dan melihat apa yang akan dilakukan oleh bayangan itu untuk mendapat kepastian bahwa bayangan itu memang benar penjahat yang dicarinya, akan tetapi melihat bahwa bayangan itu gesit sekali gerakkannya, maka ia kini ingin menyusul dan langsung menyerang. Bayangan putih itu agaknya telah melihatnya, karena ia berpaling dan kemudian melarikan diri cepat sekali menuju ke luar kota. Siauw Eng merasa penasaran dan mengejar. Ketika orang yang dikejarnya melompat turun, iapun melompat turun dan mengerahkan ilmu jalan cepat terus mengejar. Setelah tiba di luar kota dan berada di jalan dekat sawah, tiba-tiba bayangan itu berhenti dan menanti Siauw Eng sambil bertolak pinggang.
Siauw Eng mempercepat larinya dan mempererat pegangan pedangnya, dan setelah tiba dihadapan bayangan itu, ia melihat dengan tercengang bahwa orang itu adalah seorang laki-laki yang masih muda dan yang mempunyai wajah cakap dan tampan sekali. Pakaiannya berwarna putih dan sederhana sekali, sedangkan kakinya mengenakan sepatu berlapis besi di bawahnya. Rambutnya diikat ke atas dengan sehelai kain putih, dan pada ikat pinggangnya yang berwarna kuning itu tergantung sebuah kantung piauw. Di punggungnya nampak gagang pedang beronce benang merah emas. Sungguh seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi Siauw Eng tidak mempedulikan ketampanan atau kegagahan orang, segera langsung menyerang dengan pedangnya dan membentak,
"Bangsat rendah. Bersedialah untuk mampus untuk menebus dosamu!"
Melihat sambaran Pedang Siauw Eng yang amat berbahaya itu, pemuda baju putih ini cepat mengelak dan berkata perlahan.
"Hm, garang sekali!"
Siauw Eng cepat menyerang lagi dan karena gerakan pedangnya memang cepat dan luar biasa, pemuda itu lalu mencabut pedangnya pula dan sebentar saja keduanya lalu bertarung dengan hebat. Siauw Eng terkejut sekali karena setelah bertempur belasan jurus, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang lawannya ini tinggi dan luar biasa sekali hingga sama sekali ia tidak dapat mendesak. Maka ia lalu berseru keras dan mengeluarkan ilmu pedang Sin Coa Kiam hwat yang mempunyai gerakan-gerakan lihai dan tak terduga, seakan-akan serangan ular yang bersembunyi dibawah rumput.
Pemuda itu mengeluarkan seruan kagum. Ia tidak menyangka bahwa gadis muda berpakaian merah ini demikian lihai, sedangkan tadinya ia memandang rendah. Ketika tadi berlari-larian di atas genteng, ia mendapat kenyataan bahwa orang baju merah yang mengejarnya itu walaupun memiliki ginkang yang cukup sempurna, namun masih belum dapat mengatasi ginkangnya sendiri, maka ia memandang rendah dan sengaja menanti. Tak diduganya sama sekali bahwa orang berbaju itu adalah seorang anak gadis jelita yang begini kosen. Oleh karena ia memang hendak mencoba kepandaian orang, maka setelah melihat bahwa ilmu pedang Siauw Eng benar-benar tangguh dan kalau dilawan tentu akan sukar menjatuhkannya, maka tiba-tiba pemuda itu berkata,
"Sudahlah, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk berlatih pedang dengan kau!"
Pedangnya lalu diputar hebat sekali sehingga mengeluarkan cahaya berkilauan dan memaksa Siauw Eng melompat mundur dengan kaget, akan tetapi saat itu digunakan oleh pemuda tadi untuk melompat pergi.
"Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana?"
"Mulutmu busuk sekali, datang-datang mengobral makian!"
Jawab pemuda itu sambil menoleh dan terus berlari menegur.
"Bangsat kurang ajar, pengecut hina dina,"
Siauw Eng memaki lagi sambil terus mengejar. Tiba-tiba pemuda itu berhenti dan memutar tubuh.
"Apa? Kau boleh memaki sesuka hatimu, akan tetapi makian pengecut hina dina itu tak dapat kuterima!"
Katanya marah sambil menangkis serangan Siauw Eng dengan pedangnya.
"Memang kau pengecut hina dina! Beraninya hanya mengganggu wanita lemah dan kalau bertemu wanita gagah lalu melarikan diri!"
Bentak Siauw Eng sambil terus menyerang lagi.
"Eh, eh, nona galak. Tahan dulu! Kau ini memaki siapakah?"
"Memaki kau, siapa lagi?"
"Apa salahku?"
"Kau penjahat Jai-hwa-cat tak tahu diri. Sudah menjadi penjahat masih berpura-pura lagi."
"Eh, eh, buka dulu lebar-lebar matamu dan lihat sedang berhadapan dengan siapa? Aku Ong Cin Pau selama hidupku belum pernah mengganggu wanita, apalagi menjadi Jai-hwa-cat
"Bohong! Buktikan kalau kau memang bukan Jai-hwa-cat!"
Seru Siauw Eng. Tentu saja pemuda itu tak dapat membuktikannya, maka ia lalu tertawa dan menjawab,
"Kau berlagak pintar akan tetapi sebenarnya goblok sekali! Coba kau sekarang yang buktikan kalau aku benar-benar seorang penjahat busuk."
"Buktinya kau gentayangan di malam buta di atas rumah orang,"
Jawab Siauw Eng.
"Dan kau sendiri juga berkeliaran di atas rumah orang pada waktu yang sama."
Marah sekali gadis itu.
"Kau... kau pandai memutar lidah. Kau penjahat busuk hina dina!"
Sambil memaki-maki dengan marah sekali Siauw Eng lalu menyerang lagi dengan hebatnya, akan tetapi pemuda itu melawan dengan baiknya dan ternyata bahwa ilmu pedangnya tinggi dan lihai sekali.
"Sudahlah, kau gadis bodoh kurang pengalaman yang bisanya hanya menuduh orang secara membuta. Apa kaukira kau sendiri saja yang cukup gagah dan berani menangkap penjahat? Aku tidak mempunyai banyak waktu lagi!"
Kemudian ia lalu melompat cepat dan ketika Siauw Eng mengejar, pemuda itu lari masuk ke dalam sebuah hutan. Siauw Eng merasa penasaran sekali. Menurut kebiasaan orang-orang gagah, juga menurut nasehat guru-gurunya, seorang lawan yang telah lari ke dalam hutan tak boleh dikejar, oleh karena hal ini berbahaya sekali. Akan tetapi Siauw Eng yang marah dan penasaran tidak memperdulikan pantangan ini dan terus mengejar masuk ke dalam hutan. Pemuda yang berpakaian serba putih, berwajah tampan dan berkepandaian tinggi itu memang benar Ong Cin Pau, putera Lin Hwa dan mendiang Khu Tiong yang telah diambil murid oleh Bu Eng Cu Tiauw It Lojin si Tanpa Bayangan dan di bawa ke tempat pertapaannya, yakni di sebuah bukit di pegunungan Kunlun-san sebelah utara.
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo