Ceritasilat Novel Online

Pembakaran Kuil Thian Loksi 5


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



Lin Hwa, ibu Cin Pau, setelah berpisah dari Kong Sian dengan hati patah dan hancur, lalu kembali ke Kunlun-san dan akhirnya dapat mencari tempat tinggal Bu Eng Cu dan diperkenankan tinggal bertapa di sebuah gua, mendekati puteranya dan hidup mengasingkan diri di puncak Kunlun-san itu. Cin Pau mendapat gemblengan ilmu silat dari Tiauw It Lojin selama belasan tahun, dari usia empat tahun sampai tujuh belas tahun. Dan ketika ia telah berusia tujuh belas tahun, ibunya yang kini telah menjadi seorang pertapa itu, lalu menceritakan kepadanya tentang riwayat hidupnya yang penuh penderitaan. Bukan main hancurnya hati Cin Pau mendengar penuturan ini. Tadinya ia masih menyangka bahwa ayahnya adalah Kong Sian yang baik hati itu dan yang tetap dianggapnya sebagai ayah sendiri.

   "Kong Sian bukanlah ayahmu, pau-ji (anak Pau), dia itu adalah pamanmu karena ia adalah sute dari ayahmu. Akan tetapi dia baik sekali, anakku, dialah orang termulia dalam dunia ini setelah ayahmu. Kita berhutang budi kepadanya dan boleh dibilang bahwa kita dapat hidup sampai sekarang ini berkat jasa dan pertolongannya."

   Kemudian dengan panjang lebar Lin Hwa menceritakan betapa Un Kong Sian telah membelanya mati-matian ketika dikejar oleh para perwira kerajaan.

   "Dimana dia sekarang, ibu? Mengapa pula ia yang begitu baik telah meninggalkan kita di sini?"

   Ibunya tersenyum.

   "Tentu saja dia harus pergi, anak bodoh. Dia mempunyai rumah tangga sendiri di Tiang-an, di rumahnya menunggu seorang ibu yang sudah tua dan seorang isteri yang setia."

   "Dan di mana makam ayah dan Ma susiok yang terbinasa oleh perwira-perwira kerajaan itu, ibu?"

   "Aku sendiri juga tdak tahu, anakku. Dulu ayahmu dan saudara seperguruannya itu dikepung dalam sebuah hutan di luar kota raja. Hal ini kiraku hanya Un Kong Sian yang dapat memberi keterangan karena dia itu tahu akan segala peristiwa dengan jelas."

   Cin Pau termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata,

   "Ibu, anak mau turun gunung!"

   Ibunya terkejut,

   "Eh, mengapa begitu tiba-tiba? Hendak ke mana?"

   "Beritahukan kepadaku, ibu, kepada siapa aku harus menuntut balas atas kematian ayah dan Ma-susiok!"

   Katanya dengan gagah. Ibunya menghela napas dan menjawab,

   "Tidak ada gunanya segala balas membalas itu, nak. Dulu ibumu memang merasa penasaran sekali dan ingin menghancurkan setiap perwira kerajaan. Akan tetapi sekarang aku dapat melihat bahwa tak baik menuruti hawa nafsu. Perwira kerajaan demikian banyaknya dan aku tidak tahu senjata dan tangan siapa yang melayangkan nyawa ayahmu. Tidak mungkin dan tidak seharusnya kalau kita menaruh dendam kepada setiap perwira kerajaan, karena masih kuingat bahwa di antara para perwira itu, banyak pula yang gagah dan budiman. Kakekmu dan kakek she Ma dikhianati oleh pangeran Gu Mo Tek hingga keluarga kita dan keluarga Ma hancur binasa oleh para perwira yang hanya menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar yang juga hanya karena sudah seharusnya membasmi mereka yang memberontak terhadapnya. Jadi pada hakekatnya, sakit hati hanyalah terhadap pangeran Gu saja dan ayah serta susiokmu telah berhasil membalas dendam itu dengan membunuh pangeran Gu Mo Tek. Kalau kuingat-ingat, aku merasa menyesal sekali mengapa ayah dan susiokmu itu juga membunuh kedua putera pangeran Gu karena kuanggap mereka tidak berdosa."

   Kembali Lin Hwa menghela napas dan diam-diam ia merasa khawatir karena ia maklum pula bahwa pada waktu peristiwa itu terjadi, isteri kedua putera pangeran itu, yang seorang telah mempunyai anak dan yang kedua telah mengandung. Mendengar kata-kata ibunya yang panjang lebar itu, Cin Pau menundukkan kepalanya dan biarpun ia masih muda, namun ia telah menerima banyak pelajaran batin baik dari ibunya maupun dari suhunya, maka pandangannya luas dan ia dapat membenarkan pendapat ibunya ini.

   "Kalau begitu, biarlah anak turun gunung untuk mencari makam ayah dan untuk menghaturkan terima kasih kepada... Un Kong Sian susiok!"

   "Memang seharusnya kau pergi mencari makam ayahmu, nak, dan kalau sudah tahu di mana tempatnya, kelak akupun ingin sekali melihatnya. Akan tetapi, kau harus mendapat perkenan dari suhumu lebih dulu."

   Cin Pau lalu kembali ke tempat pertapaan Tiauw It Lojin untuk minta perkenan dari gurunya ini. Tiauw It Lojin tersenyum dan pertapa yang sudah tua ini lalu berkata,

   "Cin Pau, memang sudah tiba waktunya bagimu untuk turun gunung. Akan tetapi, kau harus mampir dulu di tempat pertapaan Beng Hong Tosu di puncak selatan itu. Dulu aku pernah berjanji bahwa apabila kau telah tamat belajar di sini, kau akan ku kirim kepadanya untuk menerima satu dua macam pelajaran darinya. Ketahuilah, Beng Hong Tosu adalah suhu dari mendiang ayahmu. Ia seorang jago Kunlun yang tinggi ilmu silatnya."

   Cin Pau sudah pernah melihat Beng Hong Tosu, karena selain dulu ketika masih kecil dan datang bersama ibunya ia pernah melihat pendeta itu, juga telah dua kali semenjak ia tinggal di pegunungan Kunlun, tosu itu datang mengunjungi Tiauw It Lojin untuk bermain catur. Setelah berpamit dari suhunya dan ibunya, Cin Pau lalu turun gunung, mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk berjalan cepat dan melompati jurang-jurang hingga sebentar saja ia sudah nampak mendaki puncak yang berada di sebelah selatan puncak tempat tinggal gurunya. Ketika ia tiba di lereng bukit itu, dari jauh ia melihat bayangan Beng Hong Tosu berlari cepat dan sebentar saja pendeta tua itu telah berada dihadapannya. Cin Pau cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Hong Tosu yang ketika melihatnya lalu tertawa-tawa.

   Ia membungkuk dan menggunakan kedua tangannya memegang pundak pemuda itu untuk membangunkannya. Cin Pau tiba-tiba merasa betapa kedua tangan itu seakan-akan bukit yang menindih pundaknya, maka tahulah dia bahwa kakek pendeta ini sedang menguji tenaganya. Dengan cepat ia lalu mengerahkan iweekangnya untuk melawan tekanan hebat itu dan tiba-tiba ia merasa tenaga tarikan yang amat hebat hingga tubuhnya hampir saja tertarik berdiri. Akan tetapi karena ia tidak mau membikin malu suhunya yang telah menggemblengnya dengan sungguh-sungguh, ia lalu mengerahkan khikangnya dan mempertahankan diri dengan ilmu Ban Kin Cui (Beratkan Tubuh Selaksa Kati). Menghadapi Cin Pau yang mengeluarkan ilmu ini hingga tubuhnya tiba-tiba menjadi berat seakan-akan berakar pada tanah. Beng Hong Tosu merasa girang sekali. Ia lalu mengerahkan kepandaiannya dan berkata,

   "Anak baik, berdirilah kau!"

   Bukan main hebatnya tenaga dari tokoh Kunlun-san ini, karena benar-benar tubuh Cin Pau terangkat naik ke atas, akan tetapi tetap saja tubuh pemuda itu masih berada dalam keadaan berlutut seperti tadi.

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Pembakaran Kuil Thian Lok Si (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 05

   "Bu Eng Cu benar-benar tidak menyia-nyiakan waktu baik. Pinto tak dapat mengajarmu dalam hal iweekang dan khikang, kau sudah cukup kuat. Ayoh berdirilah dan coba kau melawan pinto!"

   Karena maklum bahwa pendeta sakti ini sedang mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi Cin Pau lalu berdiri dan setelah berkata,

   "Maaf!"

   Ia lalu menyerang dengan pukulan berbahaya. Beng Hong Tosu lalu mengelak dan membalas dengan pukulan-pukulan terlihai dari cabang Kunlun.

   Biarpun keduanya berada di puncak pegunungan Kunlun, akan tetapi asal dan dasar ilmu silat Beng Hong Tosu dan Tiauw It Lojin jauh berbeda. Memang, banyak orang mengira bahwa cabang persilatan Kunlun-pai atau cabang silat Kunlun hanya ada sebuah saja. Pegunungan Kunlun-san adalah sebuah pegunungan yang daerahnya luas sekali sampai ratusan bahkan ribuan mil persegi, dan di atas puncak-puncak banyak bukit itu tinggal banyak sekali orang-orang sakti yang mengasingkan diri atau bertapa. Memang, kuil tempat tinggal Beng Hong Tosu telah terkenal dan dianggap sebagai tempat pusat cabang persilatan Kunlun, akan tetapi selain di situ, masih banyak sekali guru-guru besar yang diam-diam mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya, seperti halnya Bu Eng Cu Tiauw It Lojin itu.

   Dalam hal ilmu silat tangan kosong, pelajaran Tiauw It Lojin masih menang setingkat dengan ilmu kepandaian Beng Hong Tosu dan hal ini terasa benar oleh Beng Hong Tosu ketika ia menghadapi serangan-serangan Cin Pau. Pemuda ini telah mempelajari ilmu keraskan tangan latihan Bu Eng Cu yang disebut Cin Kang Kim Ko Jiu dan yang membuat tangannya selain kuat, juga memiliki tenaga pukulan lihai sekali, terutama sekali pelajaran Coat Meh Hoat semacam ilmu tiam hwat atau totokan jalan darah yang mirip dengan ilmu totok dari Butong-pai, amat mengejutkan hati Beng Hong Tosu. Hanya berkat pengalaman dan kelihaian iweekangnya saja maka Beng Hong Tosu dapat mempertahankan diri terhadap serangan-serangan Cion Pau.

   "Bagus, bagus, lihai sekali!"

   Berkali-kali Beng Hong memuji dan tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik di udara dan melompat kebelakang agak jauh.

   "Cukup, sekarang marilah kita bermain pedang!"

   Katanya. Cin Pau tak membantah dan mencabut pedangnya, yakni pedang ibunya yang diberikan kepadanya ketika ia hendak berangkat. Beng Hong Tosu yang tidak membawa pedang, lalu mematahkan sebatang ranting dari pohon yang tumbuh di situ dan melawan Cin Pau dengan ranting itu.

   Kalau dalam ilmu pukulan tangan kosong, kepandaian Cin Pau boleh dibilang lebih lihai dari pada Beng Hong Tosu, adalah dalam hal ilmu pedang, pemuda ini tertinggal jauh sekali. Ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam hoat dari Beng Hong Tosu bukan main lihainya, hingga biarpun yang dipegangnya bukan pedang tulen, akan tetapi hanya sebatang ranting saja, namun setelah bertempur belasan jurus saja, Cin Pau telah menjadi pening karena ujung ranting kakek itu seakan-akan telah berubah menjadi puluhan batang yang menyerangnya dari segala jurusan. Baiknya Cin Pau memiliki ilmu ginkang yang tinggi karena suhunya yang berjuluk si Tanpa Bayangan itu memang ahli ginkang yang luar biasa, kalau tidak tentu ia telah kena dirobohkan oleh serangan-serangan ranting yang hebat ini.Akhirnya ia tak dapat menahan lagi dan buru-buru melempar pedangnya ke atas tanah dan maju berlutut,

   "Teecu mohon diberi petunjuk,"

   Katanya. Beng Hong Tosu tertawa senang dan ia lalu mengajak pemuda itu ke kuilnya.

   "Cin Pau, dalam hal lain-lain kepandaian, pinto yang bodoh tak berani mengajarmu, hanya mungkin dalam hal ilmu pedang, pinto dapat menambah pengetahuanmu sedikit saja."

   Semenjak saat itu, Cin Pau menerima latihan ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hoat yang luar biasa itu dari Beng Hong Tosu. Dulu ayahnya, yakni mendiang Khu Tiong, Ma Gi dan juga Un Kong Sian juga mempelajari ilmu pedang Kui Hwa Koan Kiam-hoat ini, akan tetapi selama belasan tahun ini, ilmu pedang tersebut telah mengalami banyak sekali perubahan karena Beng Hong Tosu sebagai penciptanya,

   Tiap kali menghadapi lawan tangguh tentu dapat melihat kekurangan-kekurangan ilmu pedangnya dan oleh karenanya ia lalu mengadakan perubahan di mana perlu hingga dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu, Kui Hwa Koan Kiam-hoat mengalami kemajuan hebat dan juga jauh lebih lihai. Cin Pau telah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi hingga ilmu pedang itu dapat dipelajari dengan cepat. Dia hanya memerlukan waktu dua bulan untuk memahami ilmu pedang itu dan telah dapat memainkannya dengan baik sekali, hanya hanya perlu latihan-latihan lebih lanjut. Bukan main girang hati Beng Hong Tosu dan ketika Cin Pau memohon diri untuk melanjutkan maksudnya merantau mencari makam ayahnya, tosu tua itu mengeluarkan sebilah pedang yang berkilauan dan putih cahayanya, memberikan pedang itu kepada Cin Pau sambil berkata,

   "Muridku, kau terimalah Pek Kim Kiam ini dan pergunakanlah untuk membela keadilan dan membasmi kejahatan. Kaulah muridku yang terakhir dan terpandai, maka kau berhak menerima pedang ini dan apabila pinto telah meninggal dunia yang kotor ini, dengan pedang ini berhak menyebut diri menjadi ketua Kunlun-pai yang kudirikan."

   Cin Pau menerima pedang itu dengan girang sekali karena pedang Pek Kim Kiam ini memang dibuat khusus untuk bermain ilmu pedang Kui Hwa Koan hingga berat dan ukurannya tepat sekali dan enak dipakai.

   "Pedang ibumu biar kau tinggalkan saja di sini karena sekarang juga pinto hendak mengunjungi suhumu dan ibumu. Biarpun telah mengasingkan diriakan tetapi seorang wanita gagah seperti ibumu itu tidak boleh ditinggal oleh pedangnya."

   Cin Pau lalu berlutut dan setelah menghaturkan terima kasih kepada suhunya yang kedua ini, ia lalu melanjutkan perjalanannya turun gunung, Semenjak kecilnya, Cin Pau diberi pakaian putih oleh ibunya yang biarpun tidak memberitahukan tentang kematian ayah anak itu, namun diam-diam ia menganggap bahwa puteranya telah berkabung untuk kematian ayahnya. Akan tetapi, warna putih itu akhirnya menjadi warna kesukaan Cin Pau dan anak ini tidak mau dibuatkan pakaian dari lain warna.

   Sekarang setelah dewasa, pakaiannya pun tetap putih dan berpotongan sederhana sekali. Pada suatu senja, ketika Cin Pau berjalan cepat untuk keluar dari sebuah hutan dan mencari penginapan di dusun atau kota terdekat, tiba-tiba matanya yang tajam melihat bayangan dua orang yang bergerak cepat sekali memasuki hutan. Ia lalu cepat bersembunyi di balik pohon dan ketika bayangan itu lewat, ternyata bahwa mereka ini adalah dua orang saikong atau pendeta yang bermuka jahat dan kejam. Seorang di antaranya adalah tua, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar dan mukanya yang penuh berewok dengan sepasang mata lebar itu membuat ia kelihatan seperti seekor barongsai mengerikan. Seorang lagi adalah seorang tinggi kurus yang bermuka pucat, juga berjubah lebar seperti seorang pendeta perantau.

   Di punggung masing-masing nampak gagang pedang dan pakaian mereka yang mewah dan terbuat dari kain indah dan mahal itu cukup mendatangkan kesan kurang baik pada diri kedua orang pertama itu. Cin Pau menjadi curiga dan diam-diam ia mengikuti mereka memasuki hutan kembali. Akan tetapi ia berlaku amat hati-hati karena mereka berdua ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, dapat dilihat dan diduga dengan mudah dari gerak gerik mereka yang gesit dan kuat. Ternyata bahwa kedua orang saikong itu menuju ke sebuah gua yang besar, di dalam hutan itu. Tiba-tiba ia mendengar mereka berbicara tentang "memetik bunga"

   Dan tahulah dia bahwa kedua orang saikong itu adalah orang-orang jahat yang mempunyai kebiasaan buruk dan kejam, yaitu mengganggu anak bini orang.

   Mereka ini adalah penjahat-penjahat yang biasa disebut Jai Hwa Cat, maka bukan main marahnya. Akan tetapi, oleh karena belum melihat bukti dan baru mendengar pembicaraan belaka ia tidak mau berlaku lancang dan bergerak maka ia terus mengintai. Setelah hari mulai menjadi gelap, kedua orang saikong itu keluar dari gua dan berlari cepat menuju ke kota di luar hutan itu. Cin Pau tetap mengejar dengan diam-diam. Ia melihat dua orang saikong itu melompat naik ke sebuah rumah gedung. Cin Pau juga melompat, akan tetapi pada saat ia melompat ke atas, seorang di antara kedua pendeta cabul itu menengok hingga dapat melihatnya. Mereka berdua berseru keras dan dengan cepat menerjang maju dan bermaksud membinasakan pemuda itu dengan sekali serang. Akan tetapi, dengan memutar pedang Pek Kim Kiamnya, Cin Pau menangkis dan membentak keras,

   "Jai Hwa Cat terkutuk!"

   Mendengar bentakan ini, kedua saikong itu terkejut sekali oleh karena tak pernah mereka mengira bahwa ada orang yang telah mengetahui rahasia mereka.

   Pula, melihat betapa gerakan pedang pemuda ini sangat lihainya, mereka lalu menyerang lagi dengan keras dan mempergunakan kesempatan pada saat Cin Pau mengelak ke samping, lalu melompat jauh dan melarikan diri. Cin Pau mengejar, akan tetapi tangan kedua penjahat itu bergerak hingga empat buah benda hitam yang cepat sekali terbangnya, melayang dan menyambar ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari pemuda itu. Cin Pau adalah murid seorang ahli senjata rahasia, maka tentu saja menghadapi serangan piauw ini ia tidak gentar sama sekali, dan ketika ia mengulurkan kedua tangannya, maka dua batang piauw telah disambutnya dengan baik. Yang dua lagi dapat ia elakkan dan jatuh berkerontongan di atas genteng. Tanpa membuang waktu lagi, ia lalu menyambitkan dua batang piauw itu ke arah dua bayangan saikong yang melarikan diri sambil berseru,

   "Makanlah senjata busukmu sendiri!"

   Akan tetapi, kedua orang saikong itu dapat mengelak sambil melompat turun dari atas genteng. Biarpun malam itu bulan bercahaya terang, akan tetapi, di bawah penuh dengan bayangan pohon dan rumah hingga menjadi gelap dan sebentar saja kedua orang saikong yang cerdik dan yang sengaja melarikan diri melalui jalan bawah,

   Telah lenyap dari pandangan mata. Dan ketika Cin Pau sedang mencari-cari di atas genteng, tiba-tiba ia dikejar Siauw Eng hingga keduanya bertempur, dan ketika Cin Pau mencari kedua orang penjahat ke dalam hutan, dengan berani sekali gadis itupun mengejar ke dalam hutan pula. Hal ini telah dituturkan di bagian depan. Cin Pau tidak mau melayani Siauw Eng terlebih lama lagi karena ia anggap gadis itu sombong sekali, biarpun diam-diam ia harus mengakui bahwa dara baju merah itu luar biasa cantiknya bahkan lebih cantik dari pada ibunya sendiri yang tadinya ia anggap sebagai wanita tercantik di dunia ini. Namun ia mencoba untuk mengusir bayangan dara baju merah itu, dan sambil berlari cepat ia bersungut-sungut,

   "Gadis sombong dan galak!"

   Pemuda itu langsung menuju ke gua yang sore tadi telah di lihatnya karena ia merasa yakin bahwa kedua orang penjahat itu tentu telah kembali ke sarangnya. Benar saja, ketika ia tiba di luar gua. Ia melihat cahaya api di dalam gua itu dan ternyata bahwa kedua orang saikong itu telah membuat api unggun di dalam gua. Oleh karena berpikir bahwa kurang leluasa untuk bertempur di dalam hutan yang gelap, dikeroyok oleh dua orang yang cukup kosen dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Cin Pau menahan marahnya dan bersabar menanti sampai pagi.

   Ia tidak tahu bahwa gadis baju merah yang galak itu telah mencari-carinya di dalam hutan dengan pedang di tangan. Memang Siauw Eng merasa penasaran dan marah sekali karena dia yang telah mendapat pujian dan julukan Bidadari Merah dari Gobi-san itu, kini tidak dapat menjatuhkan seorang bangsat kecil. Kalau aku tak dapat merobohkannya namaku tentu akan jatuh rendah sekali, pikirnya, sama sekali tak ingat bahwa peristiwa pertempurannya melawan pemuda baju putih yang disangkanya penjahat cabul itu tak terlihat oleh siapapun juga. Menjelang pagi, setelah cuaca menjadi terang, tiba-tiba Siauw Eng yang sudah lelah melihat Cin Pau di dekat sebuah gua bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Terang sekali bahwa pemuda itupun melihat kedatangannya, akan tetapi pemuda itu sama sekali tak mau mempedulikannya dan menganggapnya seperti daun kering saja.

   "Bangsat cabul, kau hendak lari ke mana?"

   Teriak Siauw Eng keras dan melompat ke depan gua untuk menghampiri Cin Pau. Pada saat itu, tiba-tiba dari dalam gua melompat keluar dua bayangan orang yang berseru,

   "Ha, ha, ha, bidadari cantik dan liar datang menyerahkan diri. Bagus, bagus, sute,"

   Berkata saikong yang tinggi besar dan bermuka seperti barongsai. Saikong kedua yang tinggi kurus tersenyum dan sambil memandang kepada Siauw Eng dengan kagum, ia berkata,

   "Biarlah kutangkap kuda betina liar ini untukmu, suheng!"

   Bukan main kaget dan marahnya Siauw Eng melihat betapa tiba-tiba saja muncul dua orang pertapa yang bicaranya tidak keruan ini.

   "Eh, kalian ini siapakah dan bangsa apa? Pakaianmu seperti orang pertapa akan tetapi lagakmu kasar melebihi siluman!"

   Memang Siauw Eng terlalu manja dan sombong hingga keheranannya pun luar biasa sekali.

   Ia tak pernah merasa takut menghadapi siapapun juga oleh karena belum pernah kehendaknya tak terlaksana karena semenjak kecil kemauannya selalu dipenuhi oleh ayah bundanya yang amat mencintanya. Kedua orang saikong itu sebetulnya bukanlah penjahat-penjahat sembarangan, akan tetapi adalah orang-orang yang telah menggemparkan kalangan Kang ouw karena kejahatan dan kelihaian mereka. Yang tinggi besar dan bercambang bauk seperti muka singa itu adalah Pit Lek Hoatsu, saikong cabul dan jahat yang dulu pernah mengganggu Lin Hwa dan Un Kong Sian dan akhirnya dapat diusir karena takut menghadapi Pek Seng Hwesio ketua kuil Thian Lok Si. Ternyata bahwa selama itu, Pit lek Hoatsu tidak mau merobah cara hidupnya yang penuh kedosaan itu.

   Dan kini kebetulan sekali ia melakukan perjalanan dikawani seorang adik seperguruan yang tidak kalah jahatnya, yakni saikong tinggi kurus itu yang bernama Ban Lek Hoatsu. Ketika lewat di kota itu, mereka tidak lewatkan kesempatan untuk menjalankan kebiasaan mereka yang terkutuk. Melihat munculnya seorang darah muda yang demikian cantiknya, kedua saikong itu seolah-olah melihat seorang bidadari turun dari kayangan. Timbul kegembiraan Ban Lek Hoatsu untuk menangkap gadis ini yang dianggapnya hanya seorang pendekar wanita biasa yang berkepandaian rendah saja. Maka sambil menyeringai menjemukan, saikong tinggi kurus ini menerjang maju dengan tangan kosong, menubruk dan menggunakan gerak tipu Harimau lapar tubruk kambing, langsung kedua tangannya terulur ke depan hendak menangkap tangan Siauw Eng yang memegang pedang dan menerkam pundak gadis itu.

   "Siluman tua!"

   Siauw Eng memaki marah dan tanpa mengelak ia lalu menghadapi serangan itu dengan gerak tipu Kilat Menyambar Membakar Pohon, pedangnya bergerak dari kanan ke kiri dan menyabet ke arah kedua tangan lawan yang menyerang secara ganas itu.

   "Awas, sute...!"

   Pit Lek Hoatsu terpaksa berseru kaget karena benar-benar ia merasa terkejut melihat gerakan gadis baju merah yang luar biasa cepatnya itu. Sementara itu, hanya dengan menggulingkan diri ke atas tanah dan menarik kedua lengannya saja yang membuat Ban Lek Hoatsu dapat menyelamatkan kedua lengannya dari pedang Siauw Eng. Saikong tinggi kurus ini lalu melompat berdiri dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Ia menjadi marah dan penasaran, akan tetapi maklum pula bahwa dara baju merah ini bukanlah makanan lunak yang mudah dikalahkannya dan dirampasnya begitu saja. Maka sambil berseru keras ia mencabut pokiamnya yang terselip dipunggung dan pada saat Siauw Eng telah maju menyerang, ia lalu menangkis dan balas menyerang sambil memaki,

   "Kuda liar! kalau aku tak bisa menangkapmu hidup-hidup, biarlah aku sembeli kau dan panggang dagingmu untuk mengisi perut!"

   Hinaan ini membuat seluruh muka Siauw Eng menjadi merah dan ia balas memaki,

   "Siluman keparat! Hari ini aku Gobi Ang Sianli mengirim nyawamu yang rendah dan kotor ke neraka jahanam!"

   Kemudian ia mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sin Coa Kiam hoat atai Ilmu Pedang Ular Sakti. Ban Lek Hoatsu melawan dengan hebat dan diam-diam pendeta cabul ini terkejut sekali karena ia dapat melihat bahwa ilmu pedang itu adalah ilmu pedang yang ternama dan lihai sekali dari partai Gobi-san.

   Ia merasa menyesal karena tanpa disengaja ia telah bentrok dengan seorang anak murid Gobi-pai yang lihai. Akan tetapi oleh karena sudah kepalang, dan pula lebih baik ia binasakan saja anak perempuan ini dari pada nanti rahasianya dibongkar dan dirinya dibenci oleh kaum persilatan dari Gobi-san, maka ia lalu memutar pedangnya dan mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Sementara itu, Pit Lek Hoatsu yang juga terkejut melihat kelihaian ilmu pedang dara baju merah itu, segera melompat dan bersiap membantu sutenya, akan tetapi tiba-tiba dari balik pohon berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang pemuda tampan berpakaian putih telah berdiri di depannya. Pit Lek Hoatsu marah sekali ketika melihat bahwa pemuda ini adalah pengejarnya malam tadi, maka tanpa banyak cakap ia lalu menerjang dengan pedangnya.

   "Pendeta-pendeta cabul! Sungguh kalian harus malu terhadap sang Buddha!"

   Cin Pau menegur marah dan kata-kata ini membuka mata Siauw Eng bahwa yang menjadi penjahat pemetik bunga sebenarnya adalah dua orang saikong ini dan bukan si pemuda baju putih yang tampan. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa girang mendapat kenyataan ini, dan kebenciannya terhadap lawan yang dihadapinya bertambah. Ia lalu merobah-robah ilmu pedangnya, sebentar memainkan Sin Coa Kiam hoat dan pedangnya menyerang dari bawah dengan ganas dan lihainya, sebentar lagi ditukar dengan Pek Tauw Kiam hoat hingga tubuhnya yang ringan itu melompat tinggi dan melakukan serangan dari atas seakan-akan seekor rajawali menyambar korbannya. Namun ilmu kepandaian Ban Lek cukup lihai dan ditambah pula dengan pengalamannya yang puluhan tahun lamanya itu,

   Ia dapat menghadapi Siauw Eng yang masih hijau dengan baiknya dan bahkan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Adapun Pit lek Hoatsu yang menghadapi Cin Pau, segera mengeluh di dalam hatinya, oleh karena kalau ilmu pedang Siauw Eng telah membuat ia kagum, adalah ilmu kepandaian pemuda baju putih ini membuatnya terkejut dan heran sekali. Ia seperti mengenal ilmu pedang ini yang mirip dengan ilmu pedang dari Kunlun-pai, akan tetapi gerakan-gerakannya tidak begini cepat dan perubahannya tidak begini hebat. Apa pula, pemuda ini agaknya memiliki ginkang dan lweekang yang tidak berada di bawah kepandaiannya sendiri, bahkan dalam hal ilmu meringankan tubuh, pemuda ini telah mencapai puncak kesempurnaan hingga tubuhnya berkelebat bagaikan kilat menyambar.

   Sebetulnya Cin Pau sedang menyerang lawannya dengan menggunakan ilmu pedangnya Kui Hwa Koan Kiam Hoat yang telah mengalami banyak perobahan dan kemajuan itu, apalagi karena yang memainkan adalah seorang pemuda yang memiliki ginkang tinggi dan yang memegang pedang Pek Kim Kiam lagi, maka tentu saja kehebatannya luar biasa pula dan setelah bertempur puluhan jurus, Pit Lek Hoatsu menjadi terdesak hebat. Oleh karena dia sendiri masih belum dapat mendesak dara baju merah biarpun ia telah mengerahkan tenaga dan kepandaian, maka ketika melihat betapa suhengnya yang lihai itu bahkan terdesak oleh pemuda baju putih, Ban Lek Hoatsu menjadi kuatir sekali. Kedua orang saikong ini diam-diam merasa heran mengapa dalam dunia persilatan bisa muncul orang-orang muda yang luar biasa ilmu kepandaiannya ini.

   Pit Lek Hoatsu maklum bahwa apabila ia terus menghadapi pemuda baju putih itu dengan pedangnya, akhirnya ia akan mendapat celaka, maka tiba-tiba ia berseru keras sambil mengambil sesuatu dengan tangan kirinya dari kantong jubahnya yang lebar.

   "Rebahlah!"

   Saikong itu membentak dan ketika ia menggerakkan tangan kirinya, tiba-tiba sehelai jala terbuka dan menyerbu ke arah kepala Cin Pau dengan cepat sekali. Pemuda ini terkejut, akan tetapi ia lalu menggerakkan pedangnya, membacok ke arah jala itu dan akibatnya membuat ia berseru perlahan karena ternyata bahwa jala yang terbuat dari pada kawat baja yang halus dan lemas itu tak dapat terbacok putus, bahkan lalu mengecil dan menggulung pedangnya.

   Jala kecil ini bekerja sendiri karena di dalamnya telah dipasangi kawat-kawat halus yang berada di jari tangan Pit Lek Hoatsu hingga dapat digerakkan sebagai semacam senjata yang berguna dan yang dapat merampas senjata lawan. Untung sekali Cin Pau memiliki ilmu tenaga lweekang yang sudah sempurna hingga ia tidak menjadi gugup dan dengan cepat ia mengirim sebuah tendangan Lui Kik ke arah lambung lawan dan berbareng mengerahkan tenaga untuk mencabut kembali pedangnya yang terlilit jala. Usahanya berhasil dan pedangnya terlepas lagi karena dengan terkejut Pit lek Hoatsu terpaksa melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari tendangan maut itu. Merasa tak kuat menghadapi Cin Pau yang gesit, Pit lek Hoatsu lalu berseru,

   "Sute, mari kita pergi!"

   Sambil berkata demikian, kembali tangannya bergerak ke arah Cin Pau dan segenggam bubuk pasir hitam menyerang ke arah muka, dada, dan perut Cin Pau. Pemuda itu mencium bau amis, maka cepat ia menahan napas dan mengelak karena maklum bahwa senjata rahasia ini tentu berbisa.

   "Penjahat curang!"

   Tegurnya ketika melihat betapa Pit lek Hoatsu menggunakan kesempatan itu untuk melompat pergi dengan cepat.

   Cin Pau lalu mengirim serangan dengan biji-biji caturnya, yakni semacam kepandaian melepas senjata rahasia yang aneh akan tetapi kelihaiannya tak kalah dengan senjata rahasia yang tajam, karena biji-biji catur yang dilepaskannya ini selalu menyerang jalan-jalan darah lawan dan Cin Pau telah mempelajari sampai sempurna betul cara melepas dengan sistim "seratus kali sambit, seratus kali kena."

   Untuk menerjang Pit Lek Hoatsu, Cin Pau hanya melepas dua biji catur yang disambitkan ke arah jalan darah hoat sit hiat dan pek twi hiat. Akan tetapi, Pit Lek Hoatsu benar-benar lihai sekali. Memang benar bahwa sambitan Cin Pau cepat sekali datangnya dan tak dapat dikelit lagi, akan tetapi dengan cerdik sekali Pit Lek Hoatsu menggerakkan tubuh dan mengerahkan lweekangnya sehingga biarpun biji-biji catur itu mengenai tubuhnya,

   Akan tetapi tidak tepat menghantam jalan darah, hanya mengenai daging tubuhnya saja dan mental kembali karena ia telah mengerahkan lweekang yang membuat tubuhnya seakan-akan menjadi kebal. Cin Pau terkejut sekali karena ia tidak tahu akan akal cerdik ini dan menyangka bahwa saikong jahat itu sudah demikian tinggi ilmunya hingga dapat menutup jalan darah dan dapat menahan sambitan caturnya yang jitu. Maka ketika melihat saikong itu melompat pergi, dia tak mau mengejar. Sebaliknya melihat betapa gadis baju merah yang galak itu masih bertempur ramai dengan saikong tinggi kurus tanpa dapat mendesak, ia lalu menyerbu dan membantu. Akan tetapi, Siauw Eng yang merasa penasaran karena belum juga dapat mengalahkan lawannya sedangkan ia melihat betapa pemuda baju putih itu telah mengusir lawannya, lalu berseru,

   "Jangan membantu! Aku tidak minta dibantu!"

   Cin Pau tercengang, maka ia lalu urungkan niatnya hendak membantu, bahkan lalu memasukkan pedang di sarung pedangnya dan pergi duduk sambil menonton di bawah sebatang pohon besar.

   Siauw Eng menggertakkan giginya dan memainkan jurus paling berbahaya dari Sin Coa Kiam hoat dan Pek Tiauw Kiam Hoat hingga benar saja ia dapat mendesak Ban Lek Hoatsu. Akan tetapi ini hanya karena saikong itu telah bersiap untuk menyusul suhengnya dan pergi dari tempat berbahaya itu. Namun Siauw Eng tidak memberi kesempatan dan agaknya sudah maklum akan maksud lawannya. Ia ingin melebihi pemuda baju putih itu yang hanya dapat mengusir lawannya. Ia ingin menjatuhkan lawannya yang satu ini agar dapat melebihi hasil pemuda baju putih. Ban Lek Hoatsu menjadi penasaran dan marah. Sambil berseru keras tangan kirinya bergerak dan sehelai sabuk sutera yang berwarna hitam meluncur ke depan bagaikan seekor ular sungai. Sabuk ini seakan-akan hidup dan meluncur menuju ke leher Siauw Eng dengan kecepatan luar biasa dan gerakan melenggak-lenggok,

   Siauw Eng cepat menyabet dengan pedangnya, akan tetapi seperti halnya dengan Cin Pau tadi, sabuk hitam itu bahkan melibat ujung pedang di tangan Siauw Eng, dan sebelum gadis itu sampai menarik kembali pedangnya, pedang di tangan Ban Lek Hoatsu telah menikam dadanya. Keadaannya benar-benar berbahaya sekali, akan tetapi Siauw Eng telah mendapat gemblengan hebat dari dua orang tokoh Gobi-san, maka akan percuma saja ia belajar sampai bertahun-tahun kalau menghadapi serangan semacam ini saja ia dapat dirobohkan. Dengan seruan keras sekali ia melepaskan pedangnya dan kemudian menggunakan kedua tangannya mencengkeram ke depan, tangan kanan ke dada lawan dan tangan kiri ke pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Cin Pau kagum sekali karena dalam keadaan berbahaya itu, si nona masih dapat mengeluarkan gerakan Eng Jiauw kang yang luar biasa itu.

   "Celakalah sekarang saikong itu,"

   Diam-diam ia berbisik. Akan tetapi ia terlampau memandang rendah kepada Ban Lek Hoatsu, karena biarpun menghadapi jalan buntu ini, saikong itu masih mempunyai senjata yang luar biasa ampuhnya dan yang jarang digunakan, karena kepandaian ini merupakan semacam ilmu sihir yang jahat. Ketika melihat betapa lawannya menggunakan Eng Jiauw Kang yang berbahaya, ia lalu berseru keras dan tiba-tiba dari mulutnya menyembur uap hitam yang menyambar ke arah muka Siauw Eng.

   "Lekas buang diri ke belakang!"

   Tiba-tiba Cin Pau berseru karena ia maklum akan bahayanya uap itu. Ia pernah mendengar dari suhunya bahwa memang di kalangan persilatan terdapat berbagai ilmu hitam yang jahat dan yang sering digunakan oleh para penjahat menghadapi lawan mereka. Hoatsut semacam ini memang amat berbahaya hingga sukar dilawan, maka tanpa terasa lagi ia mengeluarkan seruan itu karena terkejut dan kuatir kalau-kalau dara baju merah itu dapat celaka. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Siauw Eng pernah mendapat pelajaran dari Bok Sam Cu tentang hoatsut. Gadis itupun berseru keras dan sambil menarik kembali pedangnya yang kini mudah terlepas dari libatan sabuk sutera hitam, ia lalu menjatuhkan diri berjungkir balik ke belakang. Kesempatan ini digunakan oleh Ban Lek Hoatsu untuk melompat pergi.

   "Bangsat rendah jangan lari!"

   Bentak Siauw Eng dengan gemas dan ia melompat pula mengejar.

   "Tak perlu mengejar mereka!"

   Tiba-tiba bayangan putih berkelebat dan Cin Pau sudah berdiri di depannya.

   "Mereka itu berbahaya sekali."

   Siauw Eng memandang gemas.

   "Kau penakut!"

   Katanya.

   "orang-orang macam mereka itu harus dibinasakan."

   "Kau sombong sekali,"

   Jawab Cin Pau.

   "Akan tetapi berani sekali. Baru saja kau hampir mendapat celaka di tangan saikong kurus kering itu dan sekarang masih hendak mengejar. Sungguh berani. Berani, bodoh, dan sombong!"

   "Apa katamu?"

   "Aku kata kau berani, akan tetapi bodoh dan sombong?"

   "Berani benar kau memaki orang!"

   "Tidak lebih berani dari pada kau yang mencaci maki aku sesuka hatimu malam tadi. Pembalasan ku ini masih belum ada sepersepuluhnya."

   Wajah Siauw Eng memerah. Ia pandang wajah yang tampan dan gagah itu dengan gemas. Tak biasa orang berlaku kasar kepadanya dan terutama pandang mata pemuda yang agaknya acuh tak acuh kepadanya itu menimbulkan benci di dalam hatinya. Ia sudah terlalu sering dan sudah biasa melihat pandang mata kagum dari mata laki-laki, terutama laki-laki muda seperti yang berdiri dihadapannya ini.

   "Kau licik dan memilih lawan yang lebih lemah. Kalau aku yang menghadapi saikong brewok itu, pasti ia telah mampus di tanganku sejak tadi!"

   Katanya. Cin Pau tersenyum. Ia maklum bahwa ucapan gadis ini tidak benar, karena kepandaian saikong berewok itu lebih sedikit dari pada kepandaian saikong kurus kering, akan tetapi ia tidak mau membantah karena tahu pula bahwa memang watak gadis ini tidak mau dikalahkan orang.

   "Pantas saja kalau kau gagah, bukankah kau sudah mempunyai julukan? Apa julukanmu tadi? Aku mendengar bidadari-bidadari begitu..."

   Dengan cemberut Siauw Eng berkata,

   "Kau ini selain licik juga bodoh dan singkat ingatan. Baru mendengar sudah lupa. Julukanku Gobi Ang sianli!"

   "Hm, kalau begitu kau anak murid Gobi-pai, pantas saja lihai."

   
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Agak senang juga hati Siauw Eng mendapat pujian bahwa ia lihai, biarpun ucapan itu dikeluarkan sepintas lalu saja oleh pemuda itu.

   "Kau juga lihai,"

   Akhirnya ia mengaku juga.

   "tentu kau sudah mempunyai julukan pula."

   Cin Pau tersenyum lagi, kemudian mengangkat pundaknya yang bidang.

   "Orang semacam aku mana pantas memakai julukan? Aku tidak mempunyai gelar sesuatu, dan namaku sedehana saja, yakni Ong Cin Pau."

   "Siapa yang menanyakan namamu?"

   Cin pau melengak dan mukanya menjadi merah. Alangkah sombongnya orang ini, pikirnya dengan mendongkol.

   "Tidak ada yang tanya,"

   Jawabnya cemberut.

   "kau tanya julukan maka aku memberitahukan namaku."

   Untuk beberapa saat keduanya berdiri diam, seorang memandang ke kiri, seorang ke kanan, seakan-akan di depan masing-masing tidak ada orang. Melihat sikap acuh tak acuh dari Cin Pau, Siauw Eng kecewa dan penasaran. Baru kali ini selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang angkuh dan sombong.

   "Mengapa kau tidak tanya namaku?"

   Cin Pau menjadi terheran-heran mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini. Bukan main kukoainya (ganjilnya) dara baju merah yang cantik jelita dan gagah ini.

   "Mengapa mesti bertanyakan namamu? Untuk apa?"

   Jawab Cin Pau sembarangan, tak mau kalah angkuh. Siauw Eng menghela napas panjang.

   "Alangkah baiknya kalau kau... tidak sesombong itu!"

   Kemudian ia membalikkan tubuh dan berjalan pergi, akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan menengok sambil berkata,

   "Betul-betul kau tidak ingin mengetahui namaku?"

   Cin Pau menggelengkan kepalanya, biarpun hatinya ingin sekali mengetahui nama dara yang lucu dan galak ini.

   "Untuk apa?"

   Katanya.

   "Hah, bodoh. Tentu saja untuk diketahui dan diingat. Apalagi gunanya nama? Aku sudah tahu namamu, maka tak baik kalau aku tidak memberitahukan namaku pula. Aku she Gak bernama Siauw Eng. Nah, kita sudah seimbang sekarang, tidak saling menghutangkan!"

   Setelah berkata demikian, Siauw Eng lalu berlari cepat meninggalkan hutan itu. Pelayan hotel menjadi terheran-heran melihat nona baju merah itu masih hidup dan kembali dalam keadaan selamat.

   "Li-enghiong, kau benar-benar sehat-sehat saja dan tidak apa-apa?"

   Tanyanya dengan heran.

   "Kami seluruh pengurus hotel merasa terkejut dan khawatir melihat bahwa jendela kamarmu terbuka dan kau tidak kelihatan berada di kamar. Kami menyangka bahwa kau tentu menjadi kurban siluman-siluman jai hwa cat itu. Tidak tahunya, setelah kami hilang akal, kau datang. Aneh... aneh!"

   Siauw Eng tersenyum manis dan berkata,

   "Jangan khawatir lopeh. Mulai sekarang takkan ada gangguan jai hwa cat lagi!"

   Pelayan tua itu memandangnya dengan mata terbelalak.

   "Apa? Kau sudah berhasil mengusirnya, li-enghiong?"

   Dan ketika Siauw Eng menganggukkan kepala, pelayan tua itu melemparkan sapunya dan berlari-lari keluar sambil berteriak-teriak.

   "Jai hwa cat sudah diusir pergi! Penjahat itu sudah dibunuh oleh li-enghiong... oleh..."

   Tiba-tiba ia teringat bahwa ia belum mengetahui nama Siauw Eng, maka selagi orang-orang di jalan memandangnya dengan bengong ia berlari pula memasuki hotel dan menyerbu kamar Siauw Eng sambil bertanya,

   "Mohon tanya, lihiap, siapakah nama lihiap yang mulia?"

   Siauw Eng tersenyum girang dan berkata,

   "Sebut saja Gobi Ang Sianli!"

   Kembali pelayan tua itu berlari keluar dan berteriak-teriak dengan muka girang dan suara keras.

   "Jai hwa cat telah diusir pergi pendekar wanita yang bermalam di hotel kami. Sudah dibasmi oleh Gobi Ang sianli, Bidadari merah dari Gobi-san! Mulai sekarang kota kita takkan terganggu lagi. Hidup Gobi Ang Sianli!"

   Sambil berteriak-teriak, pelayan itu berlari-lari ke seluruh penjuru kota hingga sebentar saja semua orang tahu akan hal ini dan semua orang lalu berkerumun mengunjungi hotel itu untuk menyaksikan pendekar wanita yang telah menolong kota mereka itu. Melihat hal ini, Siauw Eng menjadi malu sendiri di dalam hatinya, oleh karena sesungguhnya bukan dia sendiri yang mengusir kedua pendeta cabul itu dan kalau saja tidak bertemu dengan Cin Pau, banyak sekali kemungkinan ia akan menderita celaka di dalam tangan kedua saikong yang kosen itu.

   Ketika pelayan tua itu datang dan minta supaya ia suka keluar menemui semua penduduk yang sudah berdiri dan berkumpul di depan hotel, Siauw Eng lalu berkemas dan mengikatkan buntalan pakaiannya di punggung. Kemudian ia hendak membayar uang sewa kamar, akan tetapi dengan sungguh-sungguh pelayan tua itu menolaknya. Dengan diiringkan oleh pelayan yang membongkok-bongkok dengan hormat dan girang, Siauw Eng keluar dari hotel dan benar saja, di luar telah berkumpul banyak sekali orang. Ketika ia muncul, semua orang memandang dengan bengong karena tak mereka sangka bahwa pendekar wanita yang menolong mereka adalah seorang gadis muda yang telah membuat mereka lupa bahwa mereka datang hendak menghaturkan terima kasih dan kini mereka hanya berdiri dengan mata terbelalak dan mulut ternganga!

   "Tentu dia seorang bidadari tulen!"

   Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita tua berseru dan seruan ini menyadarkan semua orang. Orang-orang yang berdiri di depan lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh semua orang yang di belakang dan mereka menghaturkan terima kasih kepada Gobi Ang Sianli. Siauw Eng merasa tidak enak sekali dan baru kali ini ia merasa tidak enak dihormati dan dipuja seperti itu.

   "Dengarlah, cuwi sekalian! Bukan aku saja yang menghalau penjahat-penjahat itu, masih ada lagi seorang pendekar muda bernama Ong Cin Pau. Kepadanyalah seharusnya cuwi mengucapkan terima kasih!"

   Sehabis berkata demikian, tubuhnya berkelebat merupakan bayangan merah dan tahu-tahu ia telah lenyap dari situ. Semua orang merasa kagum sekali dan di antara sekian banyak orang itu terdapat seorang pemuda baju putih yang tersenyum-senyum. Akan tetapi Siauw Eng tidak melihatnya karena ia tadi bersembunyi di belakang orang banyak, bahkan ikut pula berlutut. Siauw Eng melanjutkan perjalanannya dengan cepat karena ia sudah merasa rindu sekali kepada ibunya. Ia tidak mau menunda-nunda perjalanannya dan tidak mampir-mampir di kota lagi, akan tetapi terus saja melewati kota-kota dan dusun-dusun kecuali kalau malam hari tiba. Karena perjalanan yang dilakukan terus menerus ini, beberapa hari kemudian, tibalah ia di sebuah hutan di luar kota Tiang-an.

   Hati Siauw Eng berdebar girang karena ia ingat hutan ini yang tidak berobah keadaannya. Ketika ia masih kecil sebelum pergi ke Gobi belajar ilmu silat, ayahnya seringkali mengajaknya ke hutan ini untuk memburu binatang hutan. Di sebelah barat kota Tiang-an memang banyak terdapat hutan dan ketika ia memasuki hutan pertama yang baru beberapa kali didatangi ayahnya dulu karena jauhnya, Siauw Eng memperlambat larinya sambil melihat-lihat. Beda sekali keadaan hutan-hutan di timur ini dengan di sebelah barat, beda pohon-pohonnya, bahkan berbeda pula suara-suara burung yang berkicau di pohon-pohon itu. Tiba-tiba ia mendengar suara kerbau menguak dan kemudian mendengar suara suling bambu. Ia menjadi terkejut dan heran. Ia tidak tahu bahwa memang terdapat beberapa buah dusun di dekat hutan itu sebelah selatan.

   Ketika ia menghampiri, ternyata di satu tempat yang banyak rumput hijaunya, nampak seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun duduk di bawah sebatang pohon besar. Tiga ekor kerbau sedang makan rumput di dekatnya dan orang itu meniup sulingnya dengan asyik. Siauw Eng merasa tertegun karena di sebelah kanan orang itu terdapat dua gundukan tanah yang jelas sekali menyatakan bahwa di bawah tanah itu ada dua orang manusia dikubur. Pakaian orang itu sederhana saja dan mudah dilihat bahwa dia adalah seorang petani yang hidup berbahagia. Hal ini dapat dilihat dari tubuhnya yang sehat dan wajahnya yang berseri. Ketika petani yang meniup sulingnya itu melihat Siauw Eng, tiba-tiba ia menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan terkejut dan heran, akan tetapi mata Siauw Eng yang tajam itu masih dapat melihat sinar kagum dari kedua mata yang jujur itu.

   "Sahabat teruskan tiupan sulingmu, merdu benar bunyinya,"

   Kata Siauw Eng sambil tersenyum manis. Petani itu makin gugup dan bingung, karena kecantikan Siauw Eng yang muncul dengan tiba-tiba itu membuatnya heran sekali dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Kemudian, setelah ia melihat sikap gagah dan pedang yang tergantung di pinggang Siauw Eng ia lalu berdiri dan menjurah dengan hormat sekali.

   "Lihiap, tentulah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa."

   Siauw Eng tersenyum lagi.

   "Bagaimana kau bisa tahu?"

   "Lihiap membawa-bawa pedang dan berani seorang diri melalui hutan yang banyak terdapat binatang buas ini."

   "Kau cerdik, sahabat. Akan tetapi aku tidak mengerti mengapa kau sendirian pun berani berada seorang diri di sini dengan enak-enak dan ayem, apakah kau juga memiliki ilmu kepandaian tinggi hingga tidak takut akan binatang liar."

   "Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali mencangkul tanah dan meniup suling, akan tetapi apa yang aku takutkan? Aku tidak berada seorang diri, dan selama saudaraku, tanduk baja mengawaniku di sini, aku tak takut kepada binatang apapun juga!"

   Siauw Eng memandang ke sekelilingnya untuk mencari dan melihat kawan petani yang diandalkan dan yang bernama Tanduk Baja itu, akan tetapi ia tidak melihat orang lain disitu.

   "Mana kawanmu yang gagah itu?"

   Tanyanya. Petani itu dengan bangga lalu menghampiri seekor di antara ketiga kerbaunya yang sedang makan rumput dan sambil menepuk-nepuk punggung kerbau yang besar itu ia berkata,

   "Inilah dia, Saudaraku Tanduk Baja! Telah dua kali ia menghadapi harimau dan dengan tanduknya merobek-robek perut harimau itu. Dengan adanya dia di sini, apakah yang aku takutkan?"

   Siauw Eng memandang kagum dan memang kerbau jantan itu nampak kuat sekali. Sepasang tanduknya besar dan runcing bagaikan dua batang tombak. Ia mengangguk-angguk dengan kagum, kemudian ia menunjuk ke arah dua buah kuburan itu.

   "Apakah ini makam keluargamu?"

   Petani itu menggelengkan kepala.

   "Bukan, lihiap, akan tetapi akulah, kedua tanganku inilah yang dulu menanam jenazah-jenazah mereka yang rebah di sini dengan mandi darah. Ah, masih ngeri aku melihat betapa tubuh mereka mandi darah dalam keadaan yang membuat bulu tengkukku masih berdiri kengerian kalau terbayang pula. Mereka juga orang-orang gagah seperti kau, lihiap."

   "Bagaimana kau bisa tahu? Dan siapakah mereka ini?"

   "Entahlah, ketika itu, belasan tahun yang lalu, aku dan seorang kawanku yang sekarang tinggal di kota raja, sedang menggembala kerbau kami dan tiba-tiba ketika kami tiba di sini, kami melihat jenazah kedua orang laki-laki yang sekarang berada di bawah tanah ini. Tangan mereka masih menggenggam pedang dan tubuh mereka hancur, penuh bekas bacokan senjata tajam dan tusukan anak panah. Aku tidak tahu siapa mereka itu menimbulkan rasa iba di hati kami, maka kami lalu mengubur kedua jenazah ini. Dan ternyata Thian memang adil, lihiap. Semenjak aku dan kawanku mengubur jenazah-jenazah ini, keadaan kami mendadak menjadi baik sekali. Sawah yang kami tanami menghasilkan banyak padi dan gandum, jauh lebih banyak dari pada hasil di sawah orang lain dan sekarang aku sudah memiliki tiga ekor kerbau dan sepetak sawah. Dan kawanku itu? Ia telah membuka sebuah rumah makan yang lumayan di kota raja. Bukankah ini berarti pembalasan budi dari kedua jenazah yang tak kami kenal ini?"

   Mendengar penuturan itu, diam-diam Siauw Eng teraruh juga. Alangkah buruknya nasib kedua orang ini, binasa di tempat asing dan dikubur oleh dua orang penggembala kerbau, tidak diketahui oleh sanak keluarga mereka.

   "Hatimu jujur dan mulia, sahabat. Sudah sepantasnya hidupmu bahagia."

   Setelah memuji, Siauw Eng lalu meninggalkan tempat itu, sedikitpun tak pernah mengira bahwa sebuah dari pada kuburan ini adalah kuburan ayahnya sendiri, Ma Gi! Ia melanjutkan perjalanannya dengan hati gembira dan tak lama lagi ia akan tiba di hutan terakhir dan yang terdekat dengan kota Tiang-an Tiba-tiba ia mendengar suara kuda meringkik dan orang bercakap-cakap. Ia berjalan terus dan tak lama kemudian ia melihat dua orang penunggang kuda yang gagah sekali. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda besar dan bagus yang tentu saja mahal harganya berpelana indah dan memakai kerincingan hingga tiap kali kuda itu menggerakkan tubuhnya agak keras, berbunyilah kerincingan itu menimbulkan kegembiraan. Penunggang-penunggangnya juga orang gagah sekali.

   Seorang di anataranya adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar dan tampan wajahnya. Rambutnya yang hitam dan halus itu diikat dengan sutera biru dihias dengan hiasan rambut dari permata indah. Pakaiannya dari sutera dari sutera jambon yang dihiasi renda kuning emas. Pedangnya dengan sarung pedang terukir bagus, tergantung dipinggangnya dan sepatunya dari kulit yang mengkilat. Dandanan seorang kongcu yang cakap, tampan, dan kaya raya. Kawannya juga mengagumkan sekali, yakni seorang gadis muda yang cantik dan lembut sinar matanya. Rambutnya dikepang dua dan dihias pita merah, sedangkan pakaiannya terbuat dari dari pada sutera hijau dan merah yang indah sekali potongannya. Dia atas rambutnya terhias bunga-bunga emas dan mutiara, sedangkan sebatang pedang terselip dipunggungnya.

   "Lihat sumoi, binatang she Ma lewat di sana. Biar aku bikin mampus dia!"

   Sambil berkata demikian pemuda yang gagah itu lalu mengambil anak panah dan menarik gendewanya, membidik ke arah semak belukar dan melepaskan anak panah itu yang dengan cepatnya meluncur ke dalam semak-semak. Siauw Eng merasa heran sekali dan ketika ia memandang, ternyata anak panah itu telah menancap dan menembus tubuh seekor kelinci putih yang mati pada saat itu juga. Pemuda yang lihai anak panahnya itu, melompat turun dari kudanya sambil tertawa riang, kemudian ia mengambil bangkai kelinci yang dipanahnya tadi, mengangkat tinggi ke atas dan berkata kepada kawannya sambil tertawa,

   "Sumoi, lihatlah binatang she Ma ini. Kalau aku bertemu dengan dia, akan kubeginikanlah. Lihat, binatang she Ma sekarang telah mampus, menggerakkan ekornyapun tidak mampu lagi. Ha, ha, ha!"

   Gadis yang cantik itupun tertawa. Kebetulan pada saat itu di atas terbang serombongan burung pipit.

   "Suheng, sekarang aku akan menjatuhkan binatang she Khu!"

   Setelah berkata demikian gadis cantik itu merogoh saku dan mengayunkan tangannya ke atas. Sebuah benda putih berkilau meluncur ke atas dan tepat sekali menyerbu ke arah gerombolan burung yang terbang lewat dan jatuhlah seekor burung dari atas, tertancap dadanya oleh sebatang piauw yang berwarna putih karena terbuat dari pada perak. Melihat jarak yang jauh dan tinggi itu, maka diam-diam Siauw Eng mengagumi kepandaian melempar gin-pauw (piauw perak) gadis itu. Gadis itu turun dari kuda dan memungut kurban piauwnya, lalu mengangkatnya ke atas sambil berkata,

   "Beginilah nasib binatang she Khu kalau bertemu denganku!"

   Katanya kepada pemuda itu. Keduanya tertawa-tawa sambil memaki-maki orang-orang she Ma dan she Khu. Siauw Eng merasa heran sekali mengapa kedua orang muda yang gagah dan kaya ini demikian benci kepada orang-orang she Ma dan she Khu sehingga mereka mengumpamakan binatang-binatang buruan mereka sebagai orang-orang yang dibencinya itu. Ia tidak tahu bahwa kedua orang ini semenjak kecil memang telah dijejali rasa benci, dendam dan permusuhan terhadap dua keluarga Ma dan Khu, selalu diajar untuk membenci dua nama itu oleh ibu mereka. Mereka adalah putera puteri keluarga Gu.

   Pemuda itu bernama Gu Liong, putera tunggal nyonya janda Gu Keng Siu yang tidak mau kawin lagi. Sedangkan gadis itu adalah Gu Hwee Lian, puteri nyonya janda Gu Leng Siu yang kawin lagi dengan Gan Hok, perwira berpangkat Touwtong di kota Lok-keng. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, nyonya Gu Keng Siu yang merasa sakit hati karena kematian suaminya di tangan keluarga Ma dan Khu, lalu menyuruh putera tunggalnya untuk belajar silat kepada Gan Hok yang menjadi suami nyonya Leng Siu dan menjadi ayah tiri Gu Hwee Lian. Oleh karena ini, maka Gu Liong dan Gu Hwee Lian menjadi saudara seperguruan dan mendapat latihan ilmu silat dari Gan Hok yang berilmu tinggi. Semenjak kecil, ibu mereka dan juga Gan Hok, menanamkan bibit permusuhan dalam hati kedua anak muda ini dan menceritakan betapa ayah mereka, yakni putera pangeran Gu Leng Siu dan Gu Keng Siu,

   Juga kakek mereka pangeran Gu Mo Tek, telah menjadi korban keganasan dua orang pemberontak bershe Khu dan Ma dan bahwa sudah menjadi kewajiban mereka untuk membasmi setiap keturunan kedua keluarga itu. Karena itulah, maka tiap kali berburu binatang, kedua anak muda ini sambil berkelakar memaki-maki nama Khu dan Ma untuk melampiaskan rasa sakit hati dan dendam mereka karena tidak tahu di mana adanya keturunan kedua orang keluarga itu dan mereka ini harus membalas kepada siapa. Biarpun Siauw Eng sama sekali tidak tahu tentang hal ini dan tak pernah mendengar tentang nama keluarga Khu dan Ma itu, namun ia merasa kurang senang melihat kelakuan kedua orang muda yang memaki-maki dan menghina dua keluarga tak terkenal itu. Ia lalu melompat keluar mendekati mereka.

   "Eh, kalian ini apakah sudah miring otakmu? Kelinci disebut she Ma dan burung she Khu, kalau bukan orang yang berotak miring tak nanti bicara tidak keruan seperti kalian berdua!"

   Tegurnya.

   Gu Liong dan Gu Hwee Lian terkejut dan memandang. Mulut Gu Liong terbuka dan kedua matanya menatap dengan penuh kekaguman. Sedangkan Hwee Lian juga memandang kagum karena sikap Siauw Eng memang gagah sekali. Akan tetapi teguran Siauw Eng itu setidaknya membuat kedua anak muda ini marah juga, terutama sekali Gu Liong. Kalau saja yang memaki dia gila itu bukan seorang dara muda yang demikian cantik jelitanya, tentu ia sudah menggunakan kepalan menghajar orang itu. Sebaliknya, Hwee Lian agaknya tidak mempedulikan teguran Siauw Eng, karena kembali gadis ini mengambil piauw peraknya dan ketika pada saat itu ia melihat seekor kelinci berlari keluar dari semak, cepat piauwnya menyambar dan ia berkata,

   "Nah, seorang keturunan Ma mampus lagi."

   Siauw Eng cepat membungkuk dan tahu-tahu ia telah memungut batu kerikil yang dilemparkannya ke depan. Gerakkannya ini cepat sekali dan tahu-tahu batu kerikilnya telah membentur gin-piauw yang melayang ke arah perut kelinci itu hingga senjata tersebut menyerong arahnya dan tidak mengenai kelinci. Gu Liong dan Hwee Lian terkejut dan marah melihat kelancangan nona baju merah ini.

   "Siapakah kau yang berlancang tangan dan datang-datang selain memaki kami juga berani mengganggu dan memukul gin-pauwku?"

   Tegur Hwee Lian dengan muka merah.

   "Kelinci diburu untuk dimakan dagingnya, bukan untuk main-main. Dan kalau kalian benar-benar membenci orang-orang she Ma dan Khu carilah mereka dan ajak bertanding, tidak memusuhi binatang-binatang yang tak berdosa. Perbuatan kalian ini hanya menunjukkan sikap penakut saja. Tidak dapat dan tidak berani menghadapi orangnya lalu memuaskan nafsunya kepada binatang-binatang tak berdaya. Hih, tak tahu malu!"

   

Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini