Ceritasilat Novel Online

Pembakaran Kuil Thian Loksi 8


Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Cin Pau tak dapat berkata apa-apa lagi, hanya menubruk ayah angkatnya sambil menangis. Kemudia ia berlutut lagi di depan kedua makam itu sambil mendekam tak bergerak.

   Sian Kong Hosiang mendiamkan saja karena pada saat seperti itu, lebih baik Cin Pau menghabiskan rasa dukanya dan tak perlu diganggu agar rasa penasaran dan kebencian serta dendam yang mulai bertumbuh dihati anak muda ini, akan lenyap dengan sendirinya. Akan tetapi, tanpa disangka-sangka, pada saat itu terdengar suara kaki kuda mendatangi. Cin Pau seakan-akan tidak mendengar suara ini, akan tetapi Sian Kong Hosiang telah berdiri dan berlaku waspada, karena disangkanya bahwa yang datang itu tentulah rombongan perwira yang mengejar dan mencari mereka. Akan tetapi ketika penunggang-penunggang kuda itu muncul dari satu tikungan, ternyata bahwa mereka itu adalah tiga orang penunggang kuda yang masih muda-muda, seorang pemuda dan dua orang gadis cantik yang sama sekali tidak dikenal oleh hwesio ini.

   "Cin Pau! Mengapa kau menangis di sini?"

   Tiba-tiba seorang di antara kedua orang gadis itu, yang berpakaian merah dan berwajah cantik jelita sekali, turun dari kudanya dan berlari menghampiri Cin Pau yang masih berlutut. Mendengar suara ini, Cin Pau cepat melompat bangun dengan muka merah dan mata bernyala-nyala.

   "Kau...? Apakah kau datang hendak melanjutkan kekejaman ayahmu, kekejaman segala perwira? Apakah kau hendak menawan dan membunuhku? Boleh, boleh! Kalian bertiga, putera puteri perwira yang kaya raya dan gagah, majulah dan mari kita mengadu jiwa di depan makam orang tuaku!"

   Sambil berkata demikian Cin Pau mencabut pedangnya Pek Kin Kiam dan melintangkan pedang itu di dadanya. Siauw Eng memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat.

   "Cin Pau... apakah kau sudah menjadi gila?"

   Tanyanya sambil memandang muka pemuda yang telah banyak berobah semenjak kemarin itu. Wajah ini sekarang nampak kusut dan mengandung kedukaan besar.

   "Aku masih terheran-heran mendengar cerita ayah bahwa kau telah membantu penjahat di kuil Thian Lok Si. Aku tidak sengaja mencarimu, dan mengajak kedua saudara Gu ini untuk melihat dua makam yang pernah kulihat ini dan yang menimbulkan keheranan di dalam hatiku. Mengapa kau bersikap begini, Cin Pau? Kau... kau anak siapakah dan kuburan siapakah ini?"

   Sian Kong Hosiang hendak mencegah, akan tetapi Cin Pau yang sudah marah dan gelap pikirannya itu lalu berkata dengan suara gagah,

   "Inilah kuburan ayahku dan pamanku, kuburan orang-orang gagah Khu Tiong dan Ma Gi. Akulah putera Khu Tiong yang telah terbunuh mati oleh para perwira biadab, mungkin ayahmu Gak Song Ki itupun ikut pula bercampur tangan dan membunuh ayahku. Sekarang mereka membasmi kuil Thian Lok Si menghina ayah angkatku ini, dan kau datang hendak... mengadu jiwa dengan aku?"

   Makin pucatlah wajah Siauw Eng, sedangkan Hwee Lian mengeluarkan seruan tertahan dan wajahnya juga pucat sekali. Sebaliknya Gu Liong ketika mendengar bahwa pemuda baju putih ini adalah putera Khu Tiong, musuh besar yang telah membunuh ayahnya itu, menjadi marah sekali dan memandang penuh kebencian. Sementara itu, Sian Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras dan dari kedua mata hwesio ini mengalirlah air mata. Ia memandang kepada Siauw Eng dengan mata terbelalak dan mulut celangap, kemudian ia melangkah maju mendekati gadis itu dan sambil menuding ia berkata gagap,

   "Kau... kau... mukamu sama benar dengan Souw Kwei Lan... katakanlah, apakah kau anak Souw Kwei Lan...? Apakah Gak Song Ki ayah tirimu...?"

   Wajah Sian Kong Hosiang menjadi pucat sekali hingga tidak hanya ketiga orang muda itu yang kaget, akan tetapi bahkan Cin Pau juga terkejut sekali dan heran. Sebaliknya, Siauw Eng tak terasa lagi mundur dua tindak menghadapi pertanyaan hwesio ini. Ketika ia memandang, teringatlah ia bahwa hwesio ini adalah kepala hwesio di kuil Thian Lok Si, maka ia makin terkejut sekali. Ia mengangguk-angguk dan berkata dengan bibir gemetar.

   "Be... benar, ibuku adalah Souw Kwei Lan! Akan tetapi... omongan apakah yang kau ucapkan tentang ayah tiri? Gak Song Ki adalah ayahku, ayah sejati."

   "Omitohud... Nasib... kau kejam, kau telah mempermainkan anak-anak ini... Nona, ketika malam kemarin kau datang menyerbu, persamaanmu dengan wajah Kwei Lan telah berkesan di dalam hatiku. Kau... kau..."

   Hwesio itu memandang ke arah dua makam itu dengan wajah pucat.

   "kau adalah puteri tunggal dari suhengku Ma Gi. Seorang di antara dua orang yang kini terkubur di dalam tanah ini adalah ayahmu sejati. Kau adalah anak Ma Gi!"

   "Gila!"

   Siauw Eng cepat bagaikan kilat mencabut pedangnya dan menusuk ke arah dada Sian Kong Hosiang. Ia merasa begitu terhina hingga ia lupa diri dan menyerang. Akan tetapi, Cin Pau cepat menggunakan pedangnya menangkis tusukan ini, karena kalau ia tidak cepat-cepat menangkis tentu pedang Siauw Eng telah bersarang ke dalam dada Sian Kong Hosiang yang di dalam keharuannya yang besar tak berdaya untuk menggerakkan tubuh dan bagaikan buta menghadapi tusukan itu.

   "Siauw Eng! Jangan kau mengganggu ayahku!"

   "Apa...? Ayahmu lagi...?"

   "Ayahku yang sejati adalah yang berada di dalam kuburan ini bersama... bersama... ayahmu. Dan dia ini adalah ayah angkatku."

   "Kau gila! Dia inipun gila! Kalian semua orang-orang gila!! Aku...aku adalah anak Gak Song Ki... aku... aku bukan anak pemberontak!"

   Dengan wajahnya yang pucat, Siauw Eng mulai menangis.

   "Tenang dan sabarlah, nona. Bukan dengan sengaja pinceng melukai hatimu dan rahasia ini tidak sengaja terbuka di sini. Memang sudah menjadi kehendak Thian agaknya. Kau pulanglah dan tanyakanlah hal ini kepada ibumu. Betapun juga, dia tentu akan menceritakan kepadamu sejelasnya."

   "Tidak... tidak..."

   Kata Siauw Eng sambil menggeleng-gelengkan kepala dan memandang kepada Sian Kong Hosiang, tidak... kau bohong! Katakanlah bahwa kau membohong, kau menipuku... katakanlah bahwa hal ini tidak benar..."

   "Kau memang anak Ma suheng, tak bisa salah lagi,"

   Kata Sian Kong Hosiang dengan suara tetap.

   Dengan isak tertahan Siauw eng lalu lari ke arah kudanya, melompat cepat dan membedal kuda itu bagaikan gila. Sementara itu, Hwee Lian dan Gu Liong untuk beberapa lama tidak dapat berkata sesuatu. Berita ini terlampau mengejutkan hati mereka. Kenyataan bahwa mereka telah mendapatkan makam dari kedua musuh besar keluarga mereka tak berarti penting lagi, bahkan kenyataan bahwa Cin Pau pemuda baju putih itu adalah putera pemberontak Khu Tiong juga tidak sangat penting. Akan tetapi berita bahwa Siauw Eng adalah puteri Ma Gi, sungguh-sungguh merupakan berita mengejutkan dan hebat. Sungguh sebuah hal yang sama sekali tak pernah dilupakannya, tak pernah diduga-duga. Gu Liong lalu majukan kudanya dengan pedang terangkat, siap menggempur Cin Pau, akan tetapi Hwee Lian berseru,

   "Suheng, jangan!"

   Dan ketika Gu Liong menahan kudanya memandang, ternyata bahwa Hwee Lian telah mengucurkan air mata sambil menatap wajah Cin Pau.

   "Kau... kau musuh besar keluargaku,"

   Katanya setengah berbisik akan tetapi cukup terdengar oleh Cin Pau yang menjadi bingung. Sebelum ia sempat bertanya, kedua saudara itu telah membalapkan kuda mereka meninggalkan tempat itu. Cin Pau berdiri termangu-mangu dengan hati tidak karuan. Kenyataan atau dugaan bahwa Siauw Eng adalah puteri tunggal Ma Gi, jadi seorang yang bernasib sama dengan dia sendiri,

   Kecuali bahwa ibu gadis itu telah kawin lagi dengan seorang perwira sedangkan ibunya sendiri mengasingkan diri di puncak Kunlun-san, membuat perasaaan dan pikirannya terhadap Siauw Eng berubah sama sekali. Tadinya, semenjak pertemuannya dengan Un Kong Sian yang kini telah menjadi Sian Kong Hosiang, ia merasa benci kepada Gak Song Ki dan otomatis ia pun menaruh hati tak senang kepada Siauw Eng yang dianggapnya sebagai puteri seorang perwira berarti menjadi musuhnya pula. Akan tetapi sekarang ia merasa iba, suka, dan... girang bahwa Siauw Eng bukan puteri perwira akan tetapi bahkan puteri Ma Gi, sahabat baik dan saudara seperguruan ayahnya. Cucu Ma Eng, sasterawan tua yang menjadi kawan baik kakeknya Khu Liok itu. Dengan demikian, maka keturunan keluarga Khu dan Ma yang terakhir adalah dia dan Siauw Eng, atau Khu Cin Pau dan Ma Siauw Eng.

   "Cin Pau, tak salah lagi, nona tadi tentulah puteri Ma Gi. Adatnya keras dan tabah seperti ayahnya. Sebagai keturunan terakhir dari keluarga Ma, dia harus kita bela. Kalau sampai para perwira mengetahui bahwa dia anak Ma Gi, tentu dia akan mengalami bencana. Kenalkah kau kepada dua orang saudara tadi?"

   "Mereka adalah Gu liong dan Gu Hwee Lian!"

   "Apa?"

   Sian Kong Hosiang membelalakkan matanya.

   "Tak heran mereka membencimu setelah mengetahui bahwa kau putera Khu Tiong. Mereka itu adalah keturunan kedua saudara Gu, putera pangeran Gu Mo Tek yang terbunuh oleh kedua suhengku!"

   "Begitukah??"

   Cin Pau juga menjadi kaget sekali karena tak disangkanya bahwa di depan kuburan ayahnya dan Ma Gi tadi telah berkumpul empat putera puteri dari ke empat orang yang saling bermusuhan itu. Alangkah anehnya. Akan tetapi ia segera ingat akan nasib Siauw Eng, maka segera ia berkata.

   "Ayah, kalau begitu, aku hendak menyusul adik Siauw Eng!"

   "Baik, kau pergilah dan kalau perlu, kau bela dia dan bawa ke sini!"

   Kata Sian Kong Hosiang. Cin Pau lalu melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu sedangkan Sian Kong Hosiang lalu menuju ke dusun Ma Cin Kiang untuk melihat bekas kuilnya dan seberapa dapat mencari para hwesio yang melarikan diri.

   Siauw Eng membalapkan kudanya secepat mungkin hingga kuda itu berlari cepat bagaikan sedang berkejaran dengan angin. Disepanjang jalan, air mata Siauw Eng mengucur deras sekali. Benarkah ia anak pemberontak, anak Ma Gi yang kabarnya memberontak dan bahkan menjadi pembunuh ayah Gu Liong dan Gu Hwee Lian? Dia anak orang yang selama ini menimbulkan jijik dan bencinya karena menurut semua orang, kedua orang pemberontak itu telah membunuh pangeran Gu Mo Tek, kakek Gu Liong dan Hwee Lian, dan yang menjadi orang buruan pemerintah? Akan tetapi, mengapa ibunya menjadi isteri Gak Song Ki? Dan Gak Song Ki telah dianggapnya seperti ayah sendiri, betapa tidak? Gak Song Ki demikian baik budi dan mulia terhadapnya, begitu mencinta dan menyayang. Dan ayahnya ini dimaki-maki oleh Cin Pau yang kalau benar-benar ia anak Ma Gi, adalah putera kawan baik ayahnya itu.

   Ah, dia tidak percaya. Tak mungkin dia anak seorang pemberontak rendah. Orang di kota Tiang-an terkejut sekali melihat Siauw Eng melarikan kudanya hingga hampir saja menubruk beberapa orang yang sedang berjalan di jalan raya. Mereka semua mengenal Siauw Eng, mengenal Gobi Ang Sianli yang gagah dan cantik jelita, mengenal puteri perwira Gak Song Ki ini yang disohorkan menjadi kembang kota Tiang-an. Bahkan kaisar sendiri telah mendengar namanya dan di dalam hati, kaisar ini ingin sekali menyaksikan kecantikannya. Semua pangeran muda di kota raja kenal padanya dan mengagumi tiada habisnya. Untung ia memiliki kepandaian tinggi dan menjadi puteri Gak-ciangkun yang terkenal gagah dan disegani orang, kalau tidak, tentu telah banyak datang orang dan pemuda menggodanya.

   Ketika tiba di depan gedung orang tuanya, Siauw Eng melompat turun dari kudanya dan membiarkan kuda yang terengah-engah dan penuh peluh tubuhnya itu begitu saja, hingga seorang pelayan segera menghampiri untuk merawat kuda itu. Siauw Eng berlari masuk ke dalam rumah dengan pipi masih basah air mata. Ia langsung menuju ke kamar ibunya. Kwei Lan ketika itu sedang duduk di dalam kamar dan menyulam. Nyonya yang cantik ini sudah agak tua dan karena ia hidup serba kecukupan dan cukup berbahagia, melihat puterinya telah dewasa, berkepandaian tinggi dan cantik jelita, juga suaminya amat mencintainya, maka hatinya menjadi tenteram dan beruntung hingga ia menjadi agak gemuk. Kerjanya tiap hari hanya menyulam saja dengan hati senang. Alangkah terkejutnya ketika melihat puterinya masuk ke dalam kamar sambil berlari-lari dan ketika ia bertemu pandang dengan Siauw Eng, terlepaslah kain yang sedang disulamnya. Pandangan mata puterinya begitu aneh dan liar menakutkan.

   "Eng-ji, kau kenapakah?"

   Tegurnya sambil berdiri.

   "Ibu...!"

   Siauw Eng maju menubruk dan memeluk ibunya. Tak tertahan pula gadis ini menangis sesenggukan di dalam pelukan ibunya.

   "Eh, eh anak nakal! Kau kenapakah? Apakah kau berkelahi dengan orang? Siapa yang mengganggumu?"

   Siauw Eng menekan desakan sedu sedan yang membuatnya sukar membuka mulut. Kemudian ia menarik tangan ibunya dan mereka berdua duduk di atas pembaringan. Dengan kedua tangan masih memegangi tangan ibunya, ia lalu bertanya,

   "Ibu, sayangkah kau kepadaku?"

   "Eh, eh,"

   Kata ibunya sambil tersenyum, akan tetapi kedua matanya memandang penuh kecemasan.

   "pertanyaan apakah ini? Sudah tentu aku sayang kepadamu, anak bodoh!"

   "Kalau ibu sayang kepadaku, jawablah, segala pertanyaanku terus terang."

   "Tentu saja, pertanyaan apakah?"

   "Ibu, siapakah sebenarnya Khu Tiong dan Ma Gi?"

   Bukan main terkejutnya nyonya ini mendapat pertanyaan demikian dari puterinya. Siauw Eng merasa betapa kedua tangan ibunya tiba-tiba menjadi dingin dan nyonya itu segera menarik kedua tangannya dari pegangan Siauw Eng.

   "Kedua orang itu? Mereka adalah dua orang pemberontak yang telah mendapat hukuman, bukankah kau pernah mendengar tentang mereka?"

   Kwei Lan berhasil membuat suaranya terdengar wajar dan tidak gemetar.

   "Ibu, apakah ayahku yang sekarang ini, ayahku perwira Gak Song Ki ini, adalah ayahku yang sejati?"

   Kini nyonya itu tak kuasa menahan getaran yang membuat ia menjadi pucat.

   "Eng-ji, setan manakah yang telah memasuki pikiranmu? Tentu saja ia adalah ayahmu sejati. Apakah kau hendak menghina ibumu sendiri?"

   "Ibu... bebar-benarkah kau tega menipu anakmu sendiri? Ibu... aku... tadi... aku telah mendapatkan kuburan mereka, kuburan Khu Tiong dan Ma Gi!"

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Pembakaran Kuil Thian Lok Si (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 08

   "Apa...!!??"

   Berita ini benar-benar mengagetkan hati nyonya itu sehingga tak terasa pula ia berdiri dengan kedua kaki menggigil. Siauw Eng menubruk ibunya dan membawa ibunya duduk di atas pembaringan.

   "Ibu, ampunkan anakmu. Aku tidak bermaksud buruk, aku hanya menuntut hakku untuk mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Ceritakanlah, ibu, tentu ada hubungan sesuatu antara kau dan... Ma Gi. Orang bilang bahwa Ma Gi adalah ayahku, betulkah ini??"

   Kwei Lan mendengar ucapan anaknya ini bagaikan mendengar suara yang turun dari angkasa raya, yang membuatnya serasa dalam mimpi.

   "Ceritakanlah, anakku, ceritakanlah semua apa yang telah terjadi dan apa pula yang kau lihat di kuburan itu,"

   Katanya dengan bibir gemetar dan wajah pucat, sedangkan kedua matanya memandang jauh. Sambil menangis dan dengan suara terputus-putus Siauw Eng lalu menceritakan betapa ia bertemu dengan Cin Pau yang mengaku menjadi putera Khu Tiong dan di situ ada pula seorang hwesio ayah angkat Cin Pau yang menyatakan bahwa ia adalah anak Ma Gi.

   "Bagaimana muka hwesio itu?"

   "Sikapnya lemah lembut dan halus tutur sapanya, mukanya pucat, halus dan tampan, usianya sebaya dengan ayah."

   Kwei Lan mengangguk-angguk,

   "Siapa namanya?"

   "Sian Kong Hosiang..."

   "Hm, memang benar dia! Tentu Kong Sian, siapa lagi,"

   Nyonya itu berkata dengan suara perlahan.

   "Ibu, betulkah semua itu? Betulkah katanya bahwa aku bukan puteri ayah yang sekarang dan bahwa aku adalah anak Ma Gi?"

   Ibunya dengan wajah pucat dan air mata mulai berlinang di kedua matanya yang indah, lalu memeluk anaknya dan berkata perlahan,

   "Eng-ji, anakku yang tersayang. Dengarlah, akan tetapi kau harus tetapkan hatimu, nak. Kau tahu bahwa ayahmu amat baik kepadamu, amat mulia terhadap kita. Dengarlah... memang ketika aku bertemu dengan ayahmu, aku sedang mengandung engkau. Dulu... ketika kau masih dalam kandungan, aku adalah isteri Ma Gi, putera dari sasterawan besar Ma Eng. Kemudian, karena menuliskan kitab yang menghina kaisar, maka kakekmu bersama sasterawan besar Khu Liok serumah tangga telah dijatuhi hukuman oleh kaisar. Sekeluarga dibunuh semua. Ma Gi atau ayahmu itu, bersama Khu Tiong putera Khu Liok, lalu mengamuk hebat dan mereka berdua akhirnya juga dibunuh oleh para perwira yang menjalankan tugas perintah kaisar. Ketika pembunuhan terjadi, ayahmu yang sekarang, perwira Gak Song Ki ini, merasa kasihan melihat aku yang sedang mengandung, maka ia lalu membawa lari aku ke rumahnya ini. Di sini aku dirawat dengan baik sekali sampai kau lahir dengan selamat. Kemudian... kemudian ia meminangku, nak, dan... dan terpaksa aku menerimanya hingga aku menjadi isterinya sampai sekarang ini..."

   Dengan kedua mata terbelalak dan wajah pucat sekali, sedangkan air matanya mulai turun lagi membasahi pipinya, Siauw Eng mendengarkan penuturan ibunya. Ia memandang kepada wajah ibunya tanpa berkedip,

   "Mengapa kau merahasiakan hal ini kepadaku, ibu?"

   "Untuk kebaikanmu sendiri, Eng-ji, dan juga atas permintaan ayahmu yang amat mencintaimu seperti anak sendiri."

   Tiba-tiba Siauw Eng menarik tangannya dari pegangan ibunya.

   "Jadi seluruh keluarga Khu dan ma dibunuh dan ditumpas habis oleh para perwira sedangkan ibu sendiri enak-enak menjadi isteri seorang perwira dan hidup mewah?"

   "Siauw Eng...!!"

   Ibunya menjerit sambil menutup mukanya lalu menangis.

   "Jadi... kakek dibunuh, ayah dibunuh, nenek dibunuh, semua anggauta keluargaku dibunuh oleh para perwira, akan tetapi ibu..., ibu tidak bersakit hati, tidak menaruh dendam bahkan lalu menjadi nyonya perwira Gak...? Ah, aku... aku merasa terhina dan rendah sekali! Lebih baik pada waktu itupun aku ikut mati dalam kandungan ibu bersama seluruh keluarga Ma!"

   "Siauw Eng...!"

   Kata-kata ini merupakan tikaman hebat sekali yang membuat nyonya itu serentak bangun dan hendak menampar muka anaknya, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas dan akhirnya ia roboh pingsan di atas pembaringan. Pada saat itu Gak Song Ki berlari mendatangi dari luar. Perwira ini baru saja datang dari istana untuk membuat laporan kepada kaisar tentang penyerbuan kuil Thian Lok Si, dan begitu tiba di rumah, ia mendengar tentang sikap Siauw Eng yang ganjil. Ia segera berlari masuk dengan hati penuh kekuatiran, dan ketika mendengar suara Siauw Eng yang keras sedang berkata-kata kepada ibunya, ia segera menuju ke kamar isterinya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat isterinya telah roboh pingsan di atas ranjang sedangkan anaknya itu berdiri dengan muka merah dan air mata bercucuran.

   "Siauw Eng... ibumu kenapakah...?"

   Tanya Gak Song Ki sambil menubruk isterinya dengan kuatir. Akan tetapi Siauw Eng tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata tak senang. Gak Song Ki tidak memperdulikan anaknya, lalu memijit-mijit kepala dan leher isterinya. Setelah ditarik urat pada lehernya, maka siumanlah Kwei Lan sambil mengeluh perlahan. Ketika ia membuka mata dan melihat suaminya telah berada di situ dengan muka kuatir, sedangkan Siauw Eng masih berdiri bagaikan patung, ia lalu menangis sedih. Gak Song Ki merasa lega bahwa isterinya telah siuman dan dapat menangis, maka ia lalu memandang kepada Siauw eng dengan mata penuh cela dan tegur,

   "Siauw Eng, apa yang telah kau lakukan kepada ibumu?"

   Dan jawaban yang keluar dari mulut Siauw Eng membuat ia merasa seakan-akan ada kilat menyambar dari luar kamar.

   "Gak-ciangkun, aku bicara dengan ibuku sendiri, harap kau jangan ikut campur dan suka keluar dari kamar!"

   Gak Song Ki memandang wajah Siauw Eng seakan-akan gadis itu adalah makhluk aneh yang baru saja datang dari lain dunia.

   "Siauw Eng, kau... kau adalah anakku, mengapa kau bicara seperti itu? Aku ayahmu!"

   Dengan suara tanpa irama Siauw Eng menjawab,

   "Ayahku adalah Ma Gi dan sudah tewas dikeroyok oleh perwira-perwira, mungkin kau sendiripun ikut mengeroyok!"

   Maka tahulah Gak Song Ki bahwa anak ini telah mengetahui akan rahasia yang ditutupinya rapat-rapat itu,

   "Betapapun juga, Eng-ji, aku telah menganggapmu seperti anak sendiri dan memelihara serta mendidikmu sejak kau lahir."

   Ucapan yang penuh tuntutan ini bahkan makin memperbesar api kemarahan yang berkobar di dada Siauw Eng.

   "Orang she Gak!"

   Katanya sambil menuding muka Gak Song Ki.

   "Kau baik kepadaku oleh karena itu termasuk siasatmu untuk memikat hati ibuku! Kau bunuh ayahku dan kau pikat ibuku! Bagus...!! Anehkah itu kalau sekarang aku mencabut pedang dan menganggap kau sebagai musuh besarku?"

   "Siauw Eng..."

   Kwei Lan mengeluh panjang mendengar ucapan anaknya ini. Gak Song Ki mulai marah melihat sikap Siauw Eng ini. Timbul perlawanan di dalam hatinya, karena betapun ia sayang kepada gadis ini, akan tetapi ia tetap adalah seorang perwira tinggi yang tentu saja tidak mau dihina orang sedemikian rupa.

   "Siauw Eng!! Ucapan dan sikapmu ini hanya menunjukkan bahwa jiwa pemberontak ayahmu tetap mempengaruhimu. Kau berdarah pemberontak dan tak kenal budi orang. Habis, kalau betul kau adalah puteri Ma Gi, kalau betul bahwa aku telah mengawini ibumu, sekarang kau mau berbuat apakah? Kau mau bunuh aku? Boleh, boleh, kau kira aku takut mati."

   Kenyataan-kenyataan dan terbongkarnya rahasia itu secara hebat telah melukai batin Siauw Eng dan menekan jiwanya hingga gadis ini seakan-akan menjadi mata gelap dan bingung. Pertimbangannya telah patah dan ia tidak dapat berpikir secara sehat pula. Yang memenuhi benaknya pada saat itu hanyalah marah, kecewa, dendam, malu, dan sakit hati. Mendengar ucapan Gak Song Ki, ia bergerak cepat dan tahu-tahu ia mencabut keluar pedangnya.

   "Orang she Gak! Kau kira aku tidak berani menusukkan pedang ini di dadamu? Katakanlah bahwa kau telah ikut membunuh ayahku, ikut membunuh kakekku, ikut membunuh seluruh keluargaku kecuali ibuku yang cantik!"

   Sambil berkata demikian, Siauw Eng memandang dengan mata berapi dan pedangnya sudah siap menusuk.

   "Siauw Eng, aku adalah seorang perwira yang telah bersumpah setia kepada kaisar!"

   Kata Gak Song Ki sambil mengangkat dada.

   "betapapun juga, aku hanya menjalankan tugas kewajibanku dengan setia. Aku tidak membunuh siapa-siapa dengan hati membenci, akan tetapi hanya menjalankan tugas semata! Jangankan keluarga Khu dan Ma, biarpun kausendiri atau orang tuaku sendiri apabila memberontak, sudah menjadi tugasku untuk membasminya!"

   "Bagus, sekarang lawanlah! Aku juga pemberontak... ingat! Aku anak pemberontak!!"

   Sambil berkata demikian, Siauw Eng lalu menyerang dengan pedangnya.

   Gak Song Ki bukanlah orang lemah, dan cepat perwira ini lalu mengelak dan mencabut pedangnya. Perang tanding antara ayah tiri dan anak yang tadinya saling mencinta seperti ayah dan anak tulen itu terjadi dengan hebatnya di dalam kamar, sedangkan Kwei Lan hanya memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil. Akan tetapi, Gak Song Ki yang pada dasar hatinya amat menyayang Siauw Eng, tentu saja tidak tega untuk melawan dengan sungguh-sungguh dan ia tadi mencabut pedang hanya untuk menangkis saja. Selain dari pada itu, memang ilmu pedangnya masih kalah setingkat jika dibandingkan dengan anak tirinya ini, maka setelah bertempur di tempat sempit itu beberapa lamanya, sebuah tendangan Siauw Eng telah mengenai lututnya dengan tepat hingga ia roboh terguling. Siauw Eng bagaikan seekor harimau betina yang marah, segera menubruk untuk memberi tikaman terakhir.

   
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siauw Eng...!"

   Ibunya menjerit ngeri dan tiba-tiba melihat betapa wajah ayah tirinya yang berada di bawah ini tersenyum tenang menanti datangnya tusukan, Siauw Eng menggigil seluruh tubuhnya dan tangannya menjadi lemas. Bagaimana ia bisa membunuh orang yang selalu baik kepadanya, yang dulu sering menggendongnya, menimang-nimangnya, bahkan mendidiknya ilmu silat dengan penuh kesayangan? Dengan hati hancur dara itu lalu melarikan diri keluar sambil menahan sedu sedannya.

   "Siauw Eng...!"

   Terdengar ibunya memanggil.

   "Siauw Eng...!"

   Suara Gak Song Ki terdengar pula. Akan tetapi, Siauw Eng tidak memperdulikan mereka dan berlari terus dengan cepatnya. Pada saat itu, terlihat serombongan orang yang dipimpin oleh Can Kok mendatangi dengan cepat dan ketika mereka melihat Siauw Eng, Can Kok lalu memberi aba-aba dan semua orang yang ternyata adalah tentara-tentara kerajaan itu lalu maju mengejar dan mengurung.

   "Tangkap pemberontak!"

   Seru mereka. Siauw Eng menjadi marah sekali. Dengan pedang di tangan ia menanti kedatangan mereka dan setelah dekat ia lalu berseru keras,

   "Ya, akulah anak pemberontak Ma Gi! Ayoh maju, siapa yang berani, cobalah tangkap aku, Gobi Ang Sianli!"

   Beberapa orang anak buah Can Kok maju menyerbu akan tetapi begitu tubuh Siauw Eng berkelebat merupakan cahaya merah, dua orang pengeroyok telah roboh mandi darah.

   "Ayoo, pembunuh-pembunuh ayahku, pembunuh kakekku dan sekeluargaku! Majulah menerima pembalasan keturunan keluarga Ma!"

   Siauw Eng dengan nekad menyerbu dan mengamuk. Setiap lawan yang mencoba menyambutnya, baru beberapa gebrakan saja terus roboh tak kuat menghadapi dara yang gagah dan sedang marah, hebat itu. Can Kok terpaksa maju dengan senjata kongce yang diandalkan di tangan, lalu membantu mengeroyok dengan hebat. Siauw Eng tidak menjadi gentar, bahkan lalu mengamuk lebih hebat lagi. Ternyata bahwa Can Kok mendengar berita dari Gu Liong dan ibunya. Memang semenjak dulu, ibu Gu Liong, yakni nyonya janda Gu Keng Siu itu, menaruh dendam hebat kepada keluarga Khu dan Ma dan selalu mengharapkan untuk dapat membalas dendam itu kepada keturunan kedua keluarga yang telah membunuh suaminya itu.

   Kini ia mendengar dari Gu Liong bahwa keturunan keluarga yang dibencinya itu masih ada, yakni Cin Pau dan Siauw Eng, maka segera ia mengadakan hubungan dengan Can Kok yang serta merta memimpin beberapa orang anak buahnya untuk menawan Siauw Eng. Gu Liong sendiri tidak ikut mengeroyok karena ia dan ibunya mempunyai tugas lain yang lebih mengerikan dan kejam, yakni Gu Liong dipaksa oleh ibunya untuk mengantarkannya pergi ke makam kedua musuh besar itu. Telah lama Can Kok memang menaruh hati iri terhadap Gak Song Ki yang mempunyai kedudukan lebih tinggi darinya. Biarpun di luarnya ia selalu bersikap ramah tamah dan hormat, akan tetapi di dalam hati ia merasa iri dan dengki. Kini mendengar bahwa puteri Gak Song Ki itu ternyata adalah anak tiri dan adalah keturunan langsung dari Ma Gi,

   Ia menjadi girang dan segera pergi dengan maksud membikin cemar dan malu nama perwira itu, dan menawan Siauw Eng. Kebetulan sekali rombongan bertemu dengan Siauw Eng yang hendak melarikan diri, maka segera ia maju menyerang. Namun, ia menghadapi perlawanan yang tak disangka-sangka semula. Pedang Siauw Eng ganas sekali dan dara itu sukar didekati. Siapa berani mendekati tentu menjadi kurban pedang. Bahkan kongce dari perwira itu sendiri tak banyak berdaya menghadapi pedang Siauw Eng. Karena bencinya kepada perwira ini, Siauw Eng lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melakukan serangan bertubi-tubi. Kalau saja tidak banyak anak buahnya yang membantu, pasti perwira she Can itupun tidak kuat menahan serbuan Siauw Eng yang hebat ini. Pada saat itu, terdengar bentakan.

   "Pemberontak kecil sungguh ganas."

   Suara ini adalah suara Kim-i Lokai, pengemis tua yang masih berada di kota raja yang datang bersama-sama Pauw Su Kam, suheng dari Can Kok itu. Dengan datangnya dua orang lihai itu, keadaan menjadi berubah dan kini Siauw Eng terkurung rapat dan terdesak hebat sekali. Siauw Eng melawan dengan nekat dan mati-matian, mengeluarkan kedua ilmu pedangnya Sin-Coa Kiamhwat dan Pek-Tiauw Kiamhwat berganti-ganti. Akan tetapi, ia menghadapai Kim-i Lokai yang tingkat ilmu kepandaiannya sudah sejajar dengan kedua guru nona itu sendiri, sedangkan Pauw Su Kam juga memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, maka tentu saja makin lama ia makin terkurung rapat oleh senjata-senjata lawan.

   "Siauw Eng, jangan takut, aku datang membantu!"

   Terdengar seruan garang dan berkelebatlah bayangan putih yang gesit sekali. Cin Pau yang menyusul telah tiba pada saat yang tepat dan membantu Siauw Eng menghadapi lawannya yang banyak dan lihai itu. Hebat sekali sepak terjang kedua anak muda itu yang bertempur saling membelakangi hingga tidak ada lawan dapat berlaku curang. Seorang diri Cin Pau dikeroyok oleh Kim-i Lokai, Pauw Su Kam, dan Can Kok yang merasa girang sekali dengan datangnya Cin Pau.

   "Bagus, kedua turunan pemberontak telah masuk perangkap. Kita tawan keduanya!"

   Kata Can Kok yang segera memberi perintah kepada seorang pembantunya untuk mendatangkan bala bantuan dari istana. Cin Pau maklum akan berbahayanya keadaan mereka, maka sambil memutar-mutar pedangnya dan memainkan jurus-jurus paling istimewa dari Kui Hwa Koan Kiamhwat hingga Kim-i Lokai dan kawan-kawannya dapat didesak mundur.

   "Siauw Eng, mari kita pergi dari sini!"

   Kata Cin Pau sambil menarik tangan gadis itu. Siauw Eng juga insaf akan keadaan yang amat berbahaya, apalagi kalau jago-jago tua yang lain datang, terutama ia takut sekali kalau-kalau kedua orang gurunya datang. Ia tidak tahu bahwa semua jago-jago silat yang membantu pembasmian kuil Thian Lok Si telah pulang dan hanya Kim-i Lokai dan Pauw Su Kam saja yang masih berada di situ. Maka dengan cepat ia lalu melompat keluar kepungan sambil memutar-mutar pedangnya.

   Para anak buah tentara kerajaan tidak berani menghalangi mereka karena setiap orang yang berani mencoba menghalangi dengan mudah dirobohkan oleh kedua pemuda pemudi lihai itu. Mereka berdua lalu melarikan diri dengan cepat, dikejar oleh musuh-musuhnya yang berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan senjata. Akan tetapi ilmu lari cepat kedua anak muda itu sudah mencapai tingkat tinggi hinggahanya Kim-i Lokai saja yang dapat menyamai kepandaian mereka, akan tetapi, seorang diri saja, pengemis tua itu tidak berani turun tangan karena maklum bahwa ia takkan menang menghadapi kedua jago muda itu. Setelah tiba di dalam hutan dan melihat bahwa tidak ada musuh yang berani mengejar lagi, Siauw Eng tiba-tiba lalu menangis sedih. Cin Pau menghela napas panjang dan ia maklum apa yang disedihkan gadis ini, maka ia lalu menghibur dengan halus.

   "Siauw Eng, janganlah kau berduka. Ketahuilah bahwa kita bernasib sama, akan tetapi baru sekarang kau mengalami kesedihan dan penderitaan. Sedangkan aku, aku dan ibuku, semenjak peristiwa menyedihkan itu terjadi, kami berdua telah menderita hebat."

   Ia menghela napas lagi.

   "Semenjak ayah meninggal karena keroyokan para perwira atas perintah kaisar, maka ibuku hidup terasing dan bertapa di puncak Kunlun-san, tidak pernah turun gunung dan melihat dunia ramai lagi."

   "Lebih baik begitu!"

   Kata Siauw Eng dengan tiba-tiba merasa mendongkol sekali terhadap ibunya sendiri.

   "Jauh lebih baik hidup sengsara seperti itu dari pada seperti... seperti ibuku..."

   Cin Pau sudah mendengar dari Sian Kong Hosiang tentang riwayat ibu Siauw Eng, maka ia lalu berkata menghibur,

   "Jangan terlalu menyalahkan ibumu, Siauw Eng. Ingatlah bahwa ketika ia ditinggal mati oleh ayahmu, ia masih muda dan sedang mengandung. Mungkin sekali, ini hanya pendapat dan dugaanku, ia menerima pinangan perwira she Gak itu karena ia menjaga nasibmu atau... atau... siapa tahu karena pada waktu itu ia masih muda sekali."

   Mereka lalu saling menuturkan riwayat semenjak kecil dan ketika mendengar tentang pembelaan Un Kong Sian yang sekarang telah menjadi Sian Kong Hosiang itu, Siauw Eng merasa menyesal sekali mengapa tadinya iapun ikut kena ditipu dan menganggap bahwa kuil Thian Lok Si adalah sarang penjahat.

   "Mereka itu bohong belaka!"

   Kata Cin Pau dengan mata berapi.

   "Kuil Thian Lok Si tak pernah menjadi sarang penjahat dan hwesio-hwesio di kuil itu tak pernah melakukan kejahatan. Ini adalah bujukan dan gosokan dari Can Kok, perwira yang berhati busuk itu. Kita harus berhati-hati terhadap perwira itu, karena kalau dipikir-pikir musuh kita yang terbesar adalah Can-ciangkun itu."

   "Akan tetapi... ayah... ayah tiriku juga ikut menyerbu Thian Lok Si dan mungkin dulu ikut pula membasmi keluarga kita,"

   Kata Siauw Eng dengan gemas, akan tetapi suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan.

   "Tentu saja, ayahmu adalah seorang perwira kerajaan, maka setiap perintah raja harus dikerjakannya dengan setia dan taat."

   "Cin Pau, pernah kau melihat ayahku?"

   Pemuda itu memandang heran.

   "Aneh sekali pertanyaanmu ini. Tadi telah kuceritakan bahwa ketika ayah kita gugur, akupun masih berada dalam kandungan ibu. Bagaimana aku bisa melihat ayahmu atau ayahku?"

   "Aku... aku ingin melihat wajah ayahku...,"

   Kata Siauw Eng dengan suara lemah dan seperti anak kecil yang merengek ingin sesuatu. Cin Pau maklum bahwa gadis ini sedang bingung sekali dan hal ini tak perlu dibuat heran. Gadis ini semenjak kecil hidup mewah dan dimanjakan, dalam keadaan kaya raya, disayangi ayah bundanya. Sekarang, tiba-tiba saja, ia mendapat kenyataan bahwa ayah yang biasanya menyayanginya itu adalah seorang musuh besar, bahwa ayahnya yang tulen adalah seorang pemberontak yang selama ini ia benci. Dan kini, ia telah melarikan diri dari rumah, berpisah dari ayah bundanya, bahkan dikejar-kejar oleh para perwira dan mungkin selanjutnya akan menjadi orang buruan. Tentu saja peristiwa ini merupakan tekanan yang hebat sekali pada hati dan perasaan Siauw eng.

   "Siauw Eng, mulai saat ini, pandanglah aku sebagai sahabatmu satu-satunya yang bersedia membelamu dengan jiwa dan raga,"

   Kata Cin Pau dengan sungguh-sungguh hingga Siauw Eng merasa terharu dan memandangnya dengan kedua mata basah.

   "Cin Pau... antarkanlah aku ke makam ayahku...

   "

   Cin Pau mengangguk dan keduanya lalu berjalan perlahan menuju ke hutan di mana terdapat dua makam Khu Tiong dan Ma Gi, ayah mereka itu. Ketika mendengar dari Gu Liong dan ibunya bahwa Siauw Eng adalah anak Ma Gi dan Cin Pau anak Khu Tiong,

   Maka Can Kok selain merasa girang dan berusaha menangkap mereka, juga merasa kuatir karena kedua anak muda yang gagah perkasa itu merupakan musuh-musuh yang tangguh dan yang masih berkeliaran bebas hingga membahayakan keselamatannya. Oleh karena itu, setelah Siauw Eng dan Cin Pau yang dikepungnya itu dapat melepaskan diri, Can Kok segera memberi kabar ke istana, memberi laporan kepada kaisar bahwa dua orang pemberontak muda, keturunan keluarga Khu dan Ma, mengacau dan hendak melanjutkan pemberontakan kakek mereka. Kaisar terkejut sekali, apalagi ketika mendengar bahwa seorang di antara kedua orang pemberontak itu adalah Gobi Ang Sianli yang telah terkenal namanya di kota raja, dan alangkah marahnya ketika ia mendengar bahwa pemberontak ini semenjak kecil telah dipelihara dan dididik oleh Gak Song Ki, perwiranya yang setia itu.

   Ia lalu mengeluarkan perintah kepada Can Kok untuk menangkap Gak Song Ki dan isteri pemberontak Ma Gi yang kini menjadi isterinya itu. Juga perintah itu mengharuskan ditangkapnya Siauw Eng dan Cin Pau serta Sian Kong Hosiang, ketua Thian Lok Si yang dapat lolos itu. Semua itu berkat kelicinan dan kecerdikan Can Kok hingga sekali gus ia mendapat surat kuasa dari Kaisar untuk menawan atau membunuh musuh-musuh dan orang-orang yang tidak disukainya. Kemudian Can Kok menyatakan kekhawatirannya karena pihak musuh adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka ia mohon diberi bantuan perwira-perwira yang pandai. Kaisar lalu memerintahkan kepada tiga orang perwira yang merupakan panglima besar dan tokoh tertinggi, yakni yang bernama Mau Kun Liong, Oey Houw, dan Oey See In.

   Selain mendapat bantuan ketiga panglima ini, Can Kok juga memberi kabar kepada kawan-kawan lamanya, yakni Kongsan Hong-te dan kedua tosu dari Gobi-san, Cin San Cu dan Bok San Cu, oleh karena ia maklum bahwa biarpun Siauw Eng dan Gak Song Ki adalah murid-murid kedua orang tosu ini, akan tetapi Cin San Cu dan Bok San Cu adalah tosu-tosu yang taat dan setia kepada Kaisar. Dengan senjata surat perintah Kaisar, maka ia yakin bahwa kedua orang tosu itu tentu akan suka membantu untuk menawan murid-murid sendiri. Setelah membawa surat perintah penangkapan dari kaisar, Can Kok tanpa membuang waktu lagi lalu membawa sepasukan pengawal dan ketiga orang panglima itu, langsung menuju ke gedung Gak Song Ki untuk menangkap perwira ini beserta isterinya.

   "Gak Song Ki, kau dan nyonya Ma Gi menyerahlah untuk menjadi tawanan. Kami datang atas perintah kaisar!"

   Kata Can Kok dengan sombong sambil memperlihatkan surat perintah itu. Gak Song Ki adalah seorang perwira yang setia, maka setelah berlutut terhadap surat perintah kaisar itu dan menyatakan ketaatannya, ia lalu menggandeng tangan Kwei Lan dan mengikuti rombongan yang menangkapnya itu. Seluruh isi rumah menangis sedih karena peristiwa ini dan orang-orang menjadi ribut mendengar betapa perwira Gak Song Ki beserta isterinya telah ditawan oleh kaisar.

   "Can-ciangkun, aku telah dapat menduga bahwa kau lah yang berdiri di belakang semua ini,"

   Kata Gak Song Ki ketika ia mulai berjalan meninggalkan rumahnya untuk dibawa ke tempat tahanan.

   "Pengkhianat jangan banyak membuka mulut!"

   Bentak Can Kok.

   "kau telah melindungi anak isteri pemberontak besar, percuma saja hendak menyangkal dosa-dosamu yang pantas mendapat hukuman mati!"

   Gak Song Ki hanya menggigit bibir saja karena ia maklum bahwa dalam keadaan tak berdaya ini, makin banyak ia bicara, makin hebat pula Can Kok akan menghina. Karena urusan kali ini menyangkut diri seorang perwira tinggi, maka yang akan menjadi hakim adalah kaisar sendiri dan sementara menanti pengadilan, kedua suami isteri yang malang itu dimasukkan ke dalam sebuah tempat tahanan yang kokoh kuat dan terjaga oleh anak buah Can Kok sendiri.

   Sementara itu, kalangan perwira geger ketika mendengar tentang penangkapan ini. Gak Song Ki adalah seorang perwira yang telah banyak membuat jasa, selain ini, telah beberapa keturunan nenek moyangnya menjadi panglima-panglima yang setia kepada raja, bahkan ayahnya dulu adalah seorang panglima besar yang telah terkenal sebagai pembela kaisar yang paling gagah dan setia, maka penangkapan ini dianggap kurang adil dan menimbulkan gelisah di kalangan mereka. Terutama sekali Gan Hok, ayah tiri Hwee Lian. Ketika mendengar dari puterinya yang datang-datang menangis dan menuturkan bagaimana ia telah mengalami hal-hal yang mengejutkan di depan kedua makam pemberontak dan mendapat kenyataan yang mengagetkan bahwa Siauw Eng adalah anak pemberontak Ma Gi, lalu berkata kepada isterinya dan anaknya,

   "Sudahlah, kalian jangan ikut campur dalam urusan ini. Ingat bahwa biarpun ayah Hwee Lian tewas dalam tangan kedua orang pemberontak Khu dan Ma, akan tetapi mereka berdua juga sudah tewas pula di tangan petugas-petugas hingga boleh dibilang segala perhitungan telah beres dan lunas. Perlu apa kita harus ikut mencampuri urusan ini pula? Sekarang kalian berdua adalah keluargaku, bukan keluarga Gu lagi, dan aku tidak suka kalau harus mengotorkan tangan menanam bibit permusuhan dengan keluarga Khu dan Ma!"

   Hwee Lian menjawab ucapan ayahnya dengan hati terharu,

   "Kau benar, ayah. Memang, aku sendiri tidak bisa memusuhi Siauw Eng, tidak hanya karena ilmu kepandaiannya yang tinggi, akan tetapi juga karena ia begitu baik dan telah kuanggap seperti saudara sendiri. Bagaimana aku sanggup untuk menjadi musuhnya, biarpun ayah kami dulu bermusuhan?"

   "Sebetulnya ayahmu dulu pun tidak bermusuh dengan Khu Tiong dan Ma Gi, anakku,"

   Kata nyonya Gan Hok yang berhati sabar hingga nyonya inipun telah lama menanam rasa sakit hatinya.

   "bahkan ketika kakekmu pangeran Gu dan kedua orang sasterawan tua she Khu dan Ma itu masih bersahabat bahkan mengangkat saudara, ayahmu dan kedua orang itu hidup rukun dan damai bagaikan sekeluarga. Ayahmu hanya terbawa-bawa, demikianpun Khu Tiong dan Ma Gi, terbawa-bawa oleh persoalan yang timbul antara pengeran Gu kakekmu itu dan kedua orang sasterawan tua, dan ayahmu menjadi kurban dari pada kedua saudara yang sedang mata gelap dan mengamuk itu."

   Demikianlah, ketiga orang ini dengan penuh kesadaran telah dapat menolak godaan nafsu dendam hingga mereka tidak mau ikut mencampuri urusan balas dendam yang turun temurun ini. Akan tetapi ketika Gan Hok mendengar tentang ditawannya Gak Song Ki dengan isterinya, ia menjadi terkejut sekali dan perwira ini segera keluar dari gedungnya untuk mencari tahu dan kalau mungkin menolong sahabatnya itu. Siauw Eng dan Cin Pau dengan perlahan berjalan menuju ke makam orang tua mereka. Mereka tidak banyak bercakap, terbenam dalam lamunan masing-masing. Tak pernah disangkanya bahwa kini mereka berjalan berdua di dalam hutan sebagai dua orang yang dikejar-kejar dan dimusuhi kaisar. Perbedaan keadaan mereka yang amat besar dulu itu kini musnah sama sekali dan membuat mereka senasib sependeritaan, saling dekat saling membela,

   Seperti halnya kedua orang ayah mereka yang sampai matipun berada dalam keadaan berkumpul dan berjajar. Ketika mereka masuk ke dalam hutan yang mereka tuju, senja telah mulai mendatang, maka mereka lalu mempercepat langkah untuk tiba di makam itu sebelum gelap. Akan tetapi ketika mereka telah tiba tak jauh dari makam, tiba-tiba mereka mendengar suara orang dan ringkik kuda. Mereka mempercepat lari sambil mengintai dan alangkah kaget kedua orang muda itu ketika melihat bahwa yang berada di situ adalah serombongan orang yang menggali kuburan ayah mereka. Dan orang-orang ini dikepalai oleh Can Kok sendiri, bersama tiga orang panglima. Gu Liong juga nampak berada di situ, bersama seorang wanita yang Siauw Eng kenal sebagai ibu pemuda itu.

   "Kejam...!"

   Siauw Eng berbisik kepada Cin Pau sambil memandang dengan mata terbelalak.

   "Agaknya nyonya Gu Keng Siu hendak membalas dendam kepada kerangka kedua ayah kita..."

   Saking merasa ngeri dan marah, Siauw Eng memegang lengan Cin Pau yang juga menegang karena pemuda ini mengepal tinjunya.

   "Ingat baik-baik,"

   Terdengar Can Kok berkata kepada para pencangkul itu yang telah mulai menemukan kedua kerangka yang dikubur di situ.

   "yang tertusuk panah tulang-tulang iganya adalah kerangka pemberontak Khu Tiong. Ia mampus dengan anak panah tertancap di dada. Sedangkan rangka Ma Gi kalau tidak salah tentu tulang pahanya telah patah, karena dulu ketika ia mampus, beberapa bacokan mengenai pahanya dengan keras sekali. Kita kumpulkan tulang-tulang mereka itu untuk dipertontonkan kepada rakyat agar tidak ada yang berani main berontak-berontakan lagi!"

   "Sesudah itu kita berikan tulang-tulang itu kepada anjing-anjing kelaparan supaya dimakan!"

   Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita, yakni suara nyonya Gu Keng Siu. Suara ini biarpun halus dan merdu akan tetapi terdengar amat menyeramkan sehingga Siauw Eng merasa bergidik. Juga Cin Pau menggertakkan gigi mendengar betapa tulang-tulang ayahnya hendak diberikan kepada anjing. Can Kok mendengar ucapan ini, tertawa bergelak dan berkata,

   "Alangkah bencimu kepada mereka, Gu-hujin."

   "Kalau mereka masih hidup, aku sanggup minum darah mereka!"

   Terdengar pula suara yang halus itu berkata lagi.

   "Dan aku takkan berhenti sebelum dapat membunuh keturunan pemberontak-pemberontak jahat yang telah membunuh suamiku ini!"

   Tiba-tiba seorang di antara para pencangkul itu berkata,

   "Nah, inilah kerangka Khu Tiong! Ada anak panah menembus tulang-tulang iganya."

   "Yang satu ini tentu tulang kerangka Ma Gi kata pencangkul yang lain. Tulang-tulang itu lalu diangkat dan dipisahkan menjadi dua bungkus. Dan pada saat itu, Siauw Eng dan Cin Pau tak kuat menahan kemarahan hati mereka lebih lama lagi. Dengan pedang terhunus mereka keluar dari tempat persembunyian dan berseru,

   "Orang-orang rendah berhati binatang!"

   Secepat kilat mereka lalu menyambar ke arah para pencangkul yang sedang membungkus tulang-tulang itu dan, beberapa tendangan mereka membuat para pencangkul itu jatuh bangun dan ada pula yang terlempar ke dalam lubang kuburan yang mereka gali tadi.

   Cin Pau lalu mengambil bungkusan tulang ayahnya yang tadi telah dilihatnya dari tempat persembunyian, sedangkan Siauw Eng lalu menyambar bungkusan tulang ayahnya pula. Dengan amarah yang meluap-luap, Siauw Eng menerjang kepada nyonya Gu Keng Siu sedangkan Cin Pau lalu menerjang Can Kok. Akan tetapi, tiba-tiba ketiga orang panglima itu membentak keras. Ketika Siauw Eng menyerang ibunya, Gu Liong cepat menangkis dan terjadi pertempuran di antara kedua orang muda ini, akan tetapi oleh karena kepandaian Gu Liong memang jauh berada di bawah tingkat kepandaian Siauw Eng, sebentar saja pedangnya telah terpental. Seorang panglima yang bertubuh tinggi besar lalu maju dengan golok di tangan. Ini adalah panglima pilihan dari kaisar, yang bernama Mau Kun Liong. Tenaganya besar dan kepandaiannya tinggi sehingga ketika ia menangkis pedang Siauw Eng,

   Gadis ini menjadi terkejut karena ternyata bahwa tangkisan itu telah membuat telapak tangannya terasa pedas. Ia berlaku hati-hati sekali dan melawan dengan ilmu pedang Sin-coa Kiamhwat yang lihai, namun perwira tinggi besar itu dapat melawannya dengan baik. Sementara itu, Can Kok yang diserang oleh Cin Pau, melompat mundur dengan ketakutan. Perwira yang licik ini sudah pernah melihat kehebatan sepak terjang Cin Pau, maka sekarang tentu saja ia tidak berani menghadapi pemuda gagah perkasa ini seorang diri. Cin Pau mendesak terus, akan tetapi tiba-tiba dua orang perwira yang gagah maju menyambutnya dengan golok mereka. Dua orang ini adalah Oey Houw dan Oey See In yang mendapat julukan Tiang-an Ji-Koai-To atau Dua Golok Setan dari Tiang-an. Memang permainan golok kedua orang she Oey ini hebat sekali.

   Golok mereka lebar dan tipis, tajamnya bukan main dan karena golok mereka amat ringan sedangkan tenaganya amat besar, maka gerakan mereka juga cepat sekali hingga golok yang lebar itu merupakan sinar putih yang berkelebatan bagaikan dua ekor naga berebut mustika. Cin Pau diam-diam terkejut melihat kegagahan dua orang panglima kaisar ini dan tahulah dia bahwa Can Kok telah mendapat bantuan panglima-panglima berkepandaian tinggi dari istana. Ketika ia mengerling ke arah Siauw Eng, ia mendapat kenyataan bahwa dara baju merah itupun sedang menghadapi seorang panglima tinggi besar bersenjata golok pula. Melihat permainan golok lawan Siauw Eng itu, diam-diam ia mengeluh karena ketiga orang ini benar-benar merupakan lawan tangguh, sedangkan di situ masih terdapat Can Kok, Gu Liong, dan banyak anggauta tentara.

   "Eng-moi, mari pergi!!"

   Serunya keras dan oleh karena keadaan telah mulai gelap dan ternyata lawannya amat tangguh,

   Siauw Eng juga merasa bahwa lebih baik melarikan diri oleh karena sekarang tulang rangka ayahnya telah berada di tangannya. Ia lalu mengeluarkan jurus berbahaya dari Sin-coa Kiamhwat dan pedangnya menyapu ke arah pinggang dan terus dibalikkan pula menyapu kaki lawan. Gerakan ini cepat dan dahsyat, maka Mau-ciangkun tidak berani menangkis dan melompat tinggi ke belakang hingga Siauw Eng mendapat kesempatan untuk melompat jauh dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, karena ia tidak menduganya dan berlaku kurang hati-hati, tiba-tiba ia merasa punggungnya sakit sekali. Untung ia telah mengerahkan tenaganya untuk menolak serangan ini dan piauw yang menyerang punggungnya itu hanya menancap sedikit, akan tetapi cukup untuk membuat ia merasa sakit dan pundaknya terasa kaku.

   Cin Pau telah dapat melompat jauh, akan tetapi, ketika ia melihat betapa Siauw Eng telah terkena piauw yang dilepas oleh Mau-ciangkun, ia menjadi terkejut sekali. Cepat ia mengeluarkan biji-biji caturnya dan ketika ia mengayun tangan, dua buah biji catur melayang ke arah pelepas piauw yang melukai Siauw Eng itu. Mau Kun Liong cepat berkelit, akan tetapi sebuah biji catur lagi tetap saja melanggar lehernya hingga ia roboh sambil berteriak ngeri. Kembali Cin Pau mengayunkan tangannya empat biji catur melayang ke arah dua orang lawannya tadi yang juga hendak mengejar. Akan tetapi kedua saudara Oey ini sudah tahu akan kelihaian biji catur Cin Pau, maka dengan golok di tangan diputar cepat mereka berhasil menyampok biji-biji catur itu.

   "Kejar mereka! Kejar pemberontak-pemberontak itu!"

   Can Kok berseru marah, hatinya mendongkol sekali melihat betapa kedua orang muda itu kembali berani muncul, bahkan telah mencuri tulang kerangka yang ia suruh gali tadi.

   Akan tetapi, Cin pau telah mempergunakan kesempatan itu untuk menghampiri Siauw Eng yang berlari sambil terhuyung-huyung, lalu ia memegang tangan gadis itu dan terus diajak lari cepat. Kawanan perwira mencoba untuk mengejar, akan tetapi malam telah menjelang datang dan keadaan di hutan itu mulai menjadi gelap. Mereka merasa ngeri terhadap biji-biji catur Cin Pau yang berbahaya itu, maka mereka membatalkan maksud hendak mengejar terus, bahkan kedua saudara Oey lalu menolong Mau Kun Liong yang menjadi kurban biji catur Cin Pau yang ganas itu. Untung sekali biji catur itu hanya mendatangkan luka dan memutuskan urat kecil saja, kalau dilepas dengan maksud membunuh, tentu jiwa Mau-ciangkun takkan tertolong lagi. Setelah berlari jauh Siauw Eng mengeluh dan Cin Pau lalu mengajaknya berhenti.

   "Kau terluka, Siauw Eng?"

   Tanyanya, karena biarpun tadi ia melihat gadis itu terhuyung-huyung setelah panglima tinggi besar itu melepas piauw, akan tetapi di dalam gelap ia tidak melihat bagian mana yang terluka.

   "Punggungku... aku kurang hati-hati dan piauw itu sama sekali tidak bersuara...

   "

   Kata Siauw Eng yang melepaskan buntalan kerangka di atas tanah dan ia sendiripun lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput. Cin Pau juga meletakkan bungkusan kerangka ayahnya pula dan berlutut di dekat Siauw Eng.

   "Di Punggung? Bagaimana rasanya?"

   "Tidak apa-apa, hanya... piauw itu masih menancap agaknya."

   "Jangan kau bergerak, biar aku mencabutnya."

   Sambil berkata demikian, di dalam gelap Cin Pau meraba punggung gadis itu.

   "Benar saja, sebatang piauw yang licin dan kecil menancap di punggung, dekat pundak kanannya.

   "Biar aku membuat api dulu, jangan kau banyak bergerak!"

   Kata Cin Pau yang lalu membuat api dari kayu-kayu kering.

   "Jangan, Cin Pau, nanti mereka tahu tempat kita."

   "Tidak apa, biar mereka datang kalau berani. Mengobati lukamu lebih penting lagi dan bagaimana aku bisa mengobatinya di tempat yang gelap?"

   Setelah api unggun itu menyala, Cin pau lalu memeriksa punggung Siauw Eng dan ternyata bahwa piauw itu bentuknya licin, kecil dan panjang bulat. Oleh karena piauw ini licin dan bulat, maka ketika dilontarkan tidak mendatangkan banyak suara, laju lurus seperti ular menyambar.

   "Siauw Eng, terpaksa aku merobek bajumu di bagian punggung ini,"

   Kata Cin Pau agak ragu-ragu dan malu. Gadis itu hanya mengangguk sambil menggigit bibir. Setelah pemuda itu merobek pakaian Siauw Eng di bagian yang terluka, maka terlihat betapa piauw itu menancap di kulit gadis yang halus dan putih itu.

   "Awas, aku mencabutnya, jangan banyak bergerak!"

   Siauw Eng menahan sakit sambil menggigit bibirnya dan peluh memenuhi keningnya karena Cin Pau harus berlaku hati-hati sekali dalam mencabut piauw itu karena ternyata bahwa ujung senjata rahasia ini dipasangi kaitan kecil.

   Kalau saja ia kurang hati-hati mencabutnya, tentu kaitan itu akan terlepas dan tertinggal di dalam daging hingga membahayakan luka di punggung itu. Sebagaimana diketahui, ibu Cin Pau, yaitu Lin Hwa adalah puteri seorang ahli pengobatan yang juga mewarisi kepandaian ayahnya itu, maka Cin Pau juga mengerti tentang pengobatan, mendapat pelajaran dari ibunya hingga ia selalu membawa bekal obat bubuk untuk menjaga kalau-kalau ia terluka, terutama sekali membawa obat-obat yang khusus digunakan sebagai penolak dan penyembuh luka terkena senjata beracun. Akan tetapi, setelah memeriksa dengan teliti, ia mendapat kenyataan bahwa biarpun piauw dari perwira tinggi besar itu bisa membahayakan jiwanya namun tidak mengandung racun hingga luka itu hanya nampak merah karena keluarnya darah.

   Ia menjadi lega dan setelah menaruh obat pada luka itu, ia lalu memberikan mantelnya kepada Siauw Eng untuk dipakai menutupi bajunya yang bolong di bagian punggung itu. Setelah diberi obat, dan piauw itu dicabut dari punggungnya. Siauw Eng merasa enak dan tidak sakit lagi, maka gadis ini lalu menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon di dekat api unggun dan tak lama kemudiania tertidur pulas. Cin Pau tidak mau mengganggu, bahkan ia lalu menyelimutkan ujung mantel yang panjang itu pada kedua kaki Siauw Eng, lalu duduk menjaga dekat api unggun. Entah mengapa, semenjak saat bertemu dengan Siauw Eng yang dikeroyok oleh perwira-perwira, ia merasa seakan-akan ia mempunyai tugas untuk membela dan melindungi gadis ini. Pada keesokkan harinya, Cin Pau menyatakan bahwa ia hendak membakar tulang-tulang kerangka kedua ayah mereka itu.

   "Tulang-tulang ini tidak baik dibawa kemana-mana, bahkan berbahaya sekali. Dulu ibu pernah bercerita bahwa tulang-tulang manusia yang sudah lama terkubur di dalam tanah apabila dikeluarkan kadang-kadang mengandung racun yang jahat dan berbahaya bagi manusia hidup. Maka, lebih baik kita sempurnakan tulang-tulang kerangka kedua ayah kita ini, kemudian abunya kita bawa ke Kunlun-san untuk memberitahukan dan memberikannya kepada ibuku dan selanjutnya mengubur abu ini secara baik-baik. Sebelum kita bertindak lebih jauh, aku hendak minta nasehat suhu dan ibu."

   "Terserah kepadamu, Cin Pau, akan tetapi, aku takkan bisa hidup bahagia sebelum membalas dendam kepada semua perwira jahat itu dan membunuh kaisar yang telah menghukum keluarga kita!"

   Gadis ini masih merasa sakit hati dan marah sekali hingga cita-cita satu-satunya yang terkandung dalam hatinya hanya membalas dendam.

   "Memang, kita harus membalas dendam, akan tetapi kurang baik kalau kita bertindak secara sembrono dan menuruti hawa nafsu belaka. Dalam pandanganku, tidak semua perwira busuk dan jahat belaka, di antaranya banyak pula yang baik, seperti ayah tirimu itu, kurasa tak patut kalau ia dimasukkan daftar perwira-perwira jahat."

   

Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini