Ceritasilat Novel Online

Dendam Si Anak Haram 2


Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



"Biar kucoba menotok dia!"

   Tiba-tiba Liu kong berkata.

   "Aihh, Suheng! Kalau Suhu tahu tentu kita mendapat marah. Ilmu menotok tidak boleh dibuat main-main kata Suhu."

   Kwee Cin mencegah Suhengnya.

   "Sute, apakah engkau akan menjadi setolol budak ini? Dia hanya seorang pelayan, dan kita toh tidak akan membunuhnya, hanya untuk memperdalam latihan. Andaikata Suhu tahu pun agaknya beliau malah girang karena kita benar-benar berlatih secara sungguh-sungguh. Selain itu kalau teori ilmu menotok tidak dipraktekan. mana kita bisa mendapat kemajuan?"

   "Kita harus Tanya dia dulu, mau atau tidak!"

   Kata Siang Hwi.

   "Perlu apa mesti tanya budak tolol..."

   Bantah Liu kong akan tetapi Siang Hwi segera memotongnya.

   "Kalau ia tidak mau, kita tidak boleh paksa. Kalau ia kelak mengadu kepada Ayah, kan kita celaka? Ayah amat sayang kepada Kwan Bu, kau tahu?"

   "Kalau dia mengadu, kepalanya akan kupukuli sampai babak belur!"

   Akan tetapi Siang Hwi tidak memperdulikan omelan kakak seperguruan ini dan menghadapi Kwan Bu yang memandangnya dengan mata berseri kembali. Biarpun nona ini masih ketus dan galak terhadapnya, akan tetapi sedikit banyak membelanya, hatinya menjadi girang sekali karenanya. Selain itu, usul Liu Kong tadi diam-diam mendatangkan harapan baru di hatinya. Ia tidak takut kalau-kalau ia akan celaka dalam latihan mereka ini, yang penting ia harus dapat menguasai ilmu menotok yang dipuji-puji itu!

   "Kwan Bu, kau kan mendengar tadi. Kami amat membutuhkan bantuanmu untuk melatih ilmu menotok. Maukah kau membantu dan meminjamkan tubuhmu untuk kita pakai berlatih?"

   Ia mengangguk dengan hati berdebar karena tegang.

   "Aku akan mencobanya dulu!"

   Kata Siang Hwi yang memasang kuda-kuda, kemudian ia meloncat ke depan, menusuk dengan dua buah jarinya, ke arah jalan darah Kin-seng-hiat di pundak kiri Kwan Bu. Kwan Bu yang merasa pundaknya sakit karena kedua jari itu biarpun kecil dan halus telah terlatih dan mengandung tenaga kuat. Biarpun merasa nyeri, namun ia memperhatikan betul-betul titik yang ditotok Siang Hwi. Tanpa ia sadari, karena melihat pundaknya hendak ditotok sebelum jari tangan anak perempuan itu menotoknya, Kwan Bu telah mengerahkan tenaga ke tempat itu, membuat pundaknya mengeras. lni menjadi sebab mengapa totokan itu gagal, di samping tidak tepatnya totokan itu sendiri karena belum terlatih. Kwan Bu menahan sakit dan hanya meringis, bersikap tolol seakan-akan tidak mengerti apa yang mereka perbuat atas dirinya.

   "Wah, gagal...!"

   Kata Siang Hwi kecewa.

   "Kau coba lagi, di lambungnya!"

   Kata Liu kong. Siang Hwi meragu, lalu bertanya kepada Kwan Bu.

   "Sakitkah pundakmu?"

   Kwan Bu membohong. Ia pun tidak puas kegagalan itu karena gagal berarti tidak tepat totokannya dan berarti pula ia tidak mendapat pelajaran. Ia menggeleng kepala dan untuk membikin percaya anak perempuan yang memandangnya penuh perhatian itu ia menambahkan,

   "Tidak sakit, hanya... geli!"

   Siang Hwi tertawa, agaknya lega hatinya.

   "Aku mau coba sekali lagi. Kau diam saja, Kwan Bu."

   Siang Hwi kembali melangkah mundur, memasang kuda-kuda yang amat diperhatikan oleh Kwan Bu. Ia mengenal kuda-kuda ini, dengan kaki kanan di belakang, kaki kiri di angkat dan ditekuk ke belakang, berdiri tegak, tangan kanan di atas kepala, mengacung, dan jari tengah bersama telunjuk menuding, tangan kiri menyentuh siku kanan. Tiba-tiba gadis itu menurunkan kaki kiri, meloncat dan merendahkan tubuh dengan gerakan indah sekali, menotok lambung kanannya.

   "Cuss!! Kwan Bu merasa lambungnya nyeri sekali. Ia tidak mengerahkan tenaga lagi maka lambungnya menjadi lunak dan dua jari kecil itu seakan-akan menusuknya bolong. Rasa nyeri membuat ia menggigit Bibir, akan tetapi akibatnya... tidak apa-apa. Padahal dalam pelajaran tadi disebutkan bahwa totokan pada jalan darah di lambung ini akan membuat ia lemas, Siang Hwi sudah melompat mundur lagi, memandang sasarannya dengan mata terbelalak penasaran.

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Dendam Si Anak Haram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   "Kau... kau... tidak lemas?"

   Ingin rasanya Kwan Bu melemaskan diri pada saat itu karena kasihan melihat Siang Hwi yang tampak kecewa sekali. akan tetapi ia takut ketahuan kalau bersandiwara, maka menggeleng kepala sambil menunjukkan muka penuh penyesalan mengapa tubuhnya tidak menjadi lemas, seolah-olah kegagalan Siang Hwi adalah karena dia! Di samping menyesal demi kekecewaan Siang Hwi, iapun menyesal karena kegagalan itu, berarti kegagalan baginya.

   "Gagal lagi..., ah, memang aku belum bisa, harus bertanya lagi kepada Ayah,"

   Kata Siang Hwi membanting kaki. Kwan Bu memandang. ah, diapun amat mengenal gerakan itu, membanting kaki kanan! Hal ini selalu dilakukan Siang Hwi semenjak masih kecil yaitu sebagai tanda bahwa ia kecewa, kesal hati, atau marah!

   "Kau cobalah lagi, Sumoi. Tak mungkin gagal terus!"

   Liu kong mendesak, ikut kecewa melihat Sumoinya gagal dua kali.

   "Tidak! Sudah cukuplah, kalian boleh mencoba."

   Kwee Cin maju menghadapi Kwan Bu.

   "Kwan Bu, aku mencoba, ya?"

   Kwee Cin memang tadinya juga ramah terhadap Kwan Bu, dan pelayan ini mempuyai kesan baik terhadap dirinya. Kwan Bu mengangguk, diam-diam mengharapkan kali ini Kwee Cin berhasil karena hal itu akan berarti ia berhasil pula. Kalau mereka ini yang sudah mempelajari secara langsung sampai gagal apa lagi dia! Kwee Cin memasang kuda-kuda seperti yang dilakukan oleh Siang Hwi tadi, kemudian ia menerjang maju dengan gerakan cepat dan dua jari tangan kanannya menotok pada jalan darah Kian-keng-hiat, di pundak kanan Kwan Bu.

   "Dukk!!!"

   Totokan itu keras sekali dan terasa oleh Kwan Bu betapa tenaga jari Kwee Cin jauh lebih kuat daripada jari tangan Siang Hwi. Tubuhnya terhuyung ke belakang sampai tiga langkah dan ia merasa pundaknya kanannya sakit bukan main. Ia tadinya sudah girang. Inilah totokan yang berhasil baik, akan tetapi ia segera menjadi kecewa setelah mendapat kenyataan bahwa tidak ada akibat sesuatu pada tubuhnya kecuali sakit yang hebat. Rasa sakit itu sampai meresap ke ulu hatinya, membuat wajahnya pucat sekali.

   "Ah... sakitkah, Kwan Bu..."

   "Aku pun gagal!!"

   Kwee Cin maju memegang pundak Kwan Bu, mukanya memperlihatkan penyesalan yang tidak dibuat-buat. Suara penyesalan ini merupakan obat yang amat menyenangkan hati Kwan Bu, seperti pupuk dingin pada tubuh yang bengkak. Ia menggeleng kepala, tidak berani mengeluarkan suara karena takut rasa nyeri akan terbayang pada suaranya.

   "Coba lagi, Sute."

   "Ah, tidak Suheng. Akupun belum sempurna seperti Sumoi, akan mohon penjelasan dari Suhu."

   Jawab Kwee Cin mundur.

   "Kalau begitu, biarlah aku yang mencoba. Kalian perhatikan!"

   Kata Liu kong. Biarpun di dalam hatinya Kwan Bu ingin sekali melihat Liu kong gagal pula untuk inginnya mempelajari ilmu itu lebih besar, maka ia menekan perasaanya ingin melawan totokan-totokan Liu kong dengan tenaga. Ia dia saja berdiri, tidak mengerahkan tenaga dan totokan pertama datang dari belakang, mengenai pinggangnya.

   "Dukkk!!!"

   Keras sekali totokan ini dan amat nyeri rasa pinggang Kwan Bu, menembus ke perut rasanya, membuat Kwan Bu membungkuk dan memegangi perutnya sambil menangis, akan tetapi ia tidak mengeluarkan suara keluhan sedikitpun juga. Dan datanglah totokan-totokan berikutnya dari Liu kong yang merasa penasaran. Bukan hanya rasa penasaran yang membuat Liu kong menyerang terus dengan totokan-totokannya, juga karena ia ingin melampiaskan amarah kepada Kwan Bu karena iri hati tadi mendengar Siang Hwi memuji-muji keindahan tubuh pelayan ini.

   "Desss!!"

   Totokan yang keras sekali mengenai Hong-hu-hiat di belakang pundak. Kwan Bu terhuyung ke depan, kepalanya pusing pundaknya seperti lumpuh. Sejenak rasa girang mengusir rasa nyeri, akan tetapi kembali ia kecewa karena totokan inipun tidak mendatangkan akibat apa-apa kecuali nyeri pada bagian tertotok. Bukan nyeri karena tepatnya totokan, bahkan nyeri karena tidak tepat. Kemudian datang totokan bertubi-tubi dari Liu kong, pada punggung, pada leher, lambung, dan pundak. Tubuh Kwan Bu menggeliat-geliat ke sana-sini, roboh terguling, berdiri lagi.

   "Cukup Suheng...!"

   Teriak Siang Hwi, namun sekali lagi Liu kong menotok Thian-hu-hiat dan... seketika tubuh Kwan Bu menjadi lemas, mendeprok di atas tanah, kaki tangannya tak dapat digerakkan lagi. Lumpuh! Ia hanya memandang kepada tiga Orang di depannya itu dengan mata terbelalak. Ujung Bibir kirinya mengeIuarkan sedikit darah, sikunya juga berdarah ketika ia roboh tadi dan pipinya biru karena menimpa batu.

   "Kau berhasil, Suheng!!"

   Kata Siang Hwi berseru girang. Gadis cilik ini lupa akan penderitaan Kwan Bu yang mebuat ia tadi mencegah Suhengnya dan kini ia ikut berlutut bersama Liu kong dan Kwee Cin memeriksa keadaan tubuh Kwan Bu. Mereka menggerak-gerakan kaki tangan Kwan Bu yang lemas seperti tak bertulang lagi.

   "Bagaimana rasanya?"

   Tanya Liu kong menyeringai akan tetapi Kwan Bu tidak menjawab sama sekali bahkan melihat wajah anak itupun tidak.

   "Apakah sama sekali kaki tanganmu tak dapat digerakkan, Kwan Bu?"

   Tanya Kwee Cin penuh perhatian gembira karena melihat hasilnya pelajaran itu. Kembali Kwan Bu tidak menjawab, hanya memandang Kwee Cin dengan mata muram. Siang Hwi memegang pundaknya.

   "Kwan Bu, sakitkah?"

   Wajah anak perempuan ini penuh kekhawatiran dan entah bagaimana, terasa girang sekali hati Kwan Bu melihat nona majikannya berkhawatir untuknya! Ia lalu menggelengkan kepalanya. Karena akibat totokan ini hanya melumpuhkan kaki dan tangannya saja.

   "Tidak, nona. Tidak sakit."

   Jawabnya lemah. Ia membohong besar karena selama hidupnya, belum pernah ia merasakan nyeri yang sehebat sekarang ini. Bukan hanya nyeri akibat totokan yang berhasil ini, juga nyeri karena totokan-totokan Liu Kong yang gagal dan dilakukan bertubi penuh tenaga tadi.

   "Suheng, lekas bebaskan kembali dia!"

   Siang Hwi berkata. Liu kong menyanggupi dan mereka lalu membalikan tubuh Kwan Bu sehingga menelungkup. Kemudian Kwan Bu merasa betapa punggungnya ditotok. Inilah jalan darah lntai-thiat-to seperti dalam pelajaran tadi dan ia memperhatikan baik-baik agar dapat mengetahui titiknya yang tepat. Akan tetapi ia kecewa. Totokan Liu kong itu tidak ada hasilnya sama sekali! Tubuhnya masih belum dapat bergerak karena kaki tangannya masih lumpuh! Mereka bergantian berusaha membebaskannya, akan tetapi sampai njarem [sakit-sakit) punggungnya, ia belum juga dapat dibebaskan!

   "Ah, sudahlah, biarkan saja,"

   Terdengar Liu Kong berkata,

   "Bukankah menurut Suhu, dibiarkan juga ia akan bebas sendiri setelah tiga jam?"

   "Jangan Suheng! Dia harus dibebaskan!"

   Kata Siang Hwi,

   "Sumoi benar, Kwan Bu harus dibebaskan dari totokan,"

   Kata pula Kwee Cin.

   "Akan tetapi setelah kita bertiga gagal, bagaimana membebaskannya? Mari kita gotong dia ke kamarnya agar dapat tidur dan nanti bebas sendiri!"

   "Ah, repot-repot amat mengurus budak tolol ini. Biarkan saja di sini, nanti kan bebas sendiri. apa artinya tiga jam untuknya? Malah ia enak di sini bebas dari pekerjaan berat!"

   Kata Liu kong. Mereka berbantahan dan akhirnya Liu kong menurut juga. Bersama Kwee Cin ia menggotong tubuh Kwan Bu yang lumpuh, sedangkan Siang Hwi membawa baju Kwan Bu. Pada saat itu. terdengar suara yang amat mengejutkan mereka bertiga, suara Bu Keng Liong.

   "Apa yang kalian lakukan ini?"

   Tahu-tahu Bu Leng Liong telah muncul di depan mereka memandang dengan kening berkerut.

   "Siang Hwi, tentu engkau yang membuat gara-gara ini!"

   Tiba-tiba Liu Kong berlutut di depan guru dan pamannya.

   "Siokhu (paman), semua ini adalah kesalahan saya. Teecu (murid) yang minta bantuan Kwan Bu untuk menjadi percobaan ilmu tiam-hiat-hoat yang baru kami pelajari, teecu berhasil menotok Thian-hu-hiat di dalam tubuhnya, membuatnya lumpuh, akan tetapi Teecu dan Sute serta Sumoi tidak berhasil membebaskannya."

   Tadinya Bu Keng Liong sudah marah sekali, marah melihat perlakuan yang keras dan kejam dari Liu Kong terhadap Kwan Bu. akan tetapi kini melihat betapa anak ini secara gagah mengakui semua kesalahan dan menutupi kedua adik seperguruannya, wajahnya menjadi terang kembali. Liu kong Sebetulnya anak baik, pikirnya, hanya terlalu keras hati, hal ini mungkin disebabkan oleh kematian Ayah bundanya dalam pertandingan.

   "Kalian bertiga lancang sekali sudah ku katakan bahwa ilmu tiam-hiat-hoat tidak boleh dibuat main-main. Kalau belum sempurna latihan kalian, tidak boleh sekali-kali dipergunakan. Hemmm, main-main seperti ini bisa menimbulkan kematian, tahu?"

   "Nah, lihat baik-baik aku membebaskan Kwan Bu. Untuk membebaskan jalan darah ln-thai-hiat yang melingkar di seluruh pinggang sampai ke pusar dan yang berhubungan dengan semua jalan darah, kedudukan jari tangan harus begini, tidak membujur melainkan melintang, dan menotoknya tidak lurus ke depan melainkan agak dicondongkan ke bawah,

   "Lihatlah!!!"

   Tiga orang murid itu melihat dengan penuh perhatian, akan tetapi agaknya lebih besar lagi perhatian Kwan Bu. Ia tidak dapat melihat seperti tiga orang anak itu, akan tetapi ia lebih untung daripada mereka karena ia dapat merasakan, dan perasaan ini membuat ia tahu dengan tepat di mana titik di bagian punggung untuk membebaskan totokan. Ia merasa punggungnya, agak di atas pinggang, sebelah kanan, ditumbuk dengan jari-jari yang keras, akan tetapi tidak mendatangkan rasa nyeri dan seketika rasa lumpuh pada kedua kaki tangannya lenyap, kaki tangannya dapat digerakkan kembali.

   "Tenang, Kwan Bu, jalan darahmu kacau balau oleh totokan-totokan tadi, biar kuobati kau dan... heee...??"

   Pendekar itu membelalakan mata ketika melihat Kwan Bu bangkit, duduk, lalu bersila meramkan mata dan mengatur pernapasan! semua ini dilakukan Kwan Bu secara otomatis dan tepat. sehingga sebentar saja kesehatan anak ini pulih kembali! Tiga orang anak yang memandangnya hanya mengira bahwa Kwan Bu beristirahat untuk mengumpulkan tenaga, tidak tahu bahwa anak ini melakukan siulian untuk memulihkan luka-luka di bawah kulitnya yang tertotok berkali-kali. Setelah merasa tubuhnya sehat kembali. Kwan Bu bangkit lalu berdiri di depan Bu Keng Liong yang berdiri memandangnya sambil meraba-raba jenggot.

   "Kwan Bu!"

   Katanya, suaranya keren.

   "Dari mana kau dapat melakukan siulian sambil mengumpulkan hawa di tubuh itu?"

   Sambil berlutut Kwan Bu yang tak dapat berbohong lagi berkata, suaranya takut-takut,

   "Thai-ya... ampunkan hamba... hamba hanya meniru-niru... pelajaran nona Siang Hwi dan kedua Kongcu..?"

   Bu Keng Liong mengangguk-angguk.

   "Hem, kau suka mendengar, melihat, dan kemudian mempelajari, ya?"

   "Betul Thai-ya, ampunkan hamba..?"

   "Kau juga melatih ilmu pukulan?"

   "Celaka"

   Pikir Kwan Bu, akan tetapi kini ia sudah melangkah maju, tak mungkin mundur lagi. Ia mengangguk,

   "Sedikit-sedikit, Thai-ya... hanya ngawur karena tidak ada yang sudi menuntun hamba..."

   Pendekar itu merasa disindir, dan memang ini yang dimaksudkan Kwan Bu yang mendengar dari Ibunya bahwa ia tidak diterima menjadi murid!

   "Bangunlah!"

   Suara Bu Keng Liong merupakan perintah dan dengan takut Kwan Bu bangkit dan berdiri.

   "Cin ji (anak Cin) kau boleh mencoba dia, coba bertanding melawannya, hendak kulihat apa yang telah ia dapatkan!"

   Perintah lagi sang guru. Kwee Cin meragu.

   "Tapi... tapi Suhu... Kwan Bu tidak bisa silat!"

   Bantahan Kwee Cin ini diam-diam menyenangkan hati Bu Keng Liong karena menandakan sifat gagah muridnya yang tidak mau menyerang seorang yang dianggapnya bukan lawannya. Akan tetapi menjengkelkan karena hal ini menandakan kelemahan hati si murid yang tidak tunduk akan perintah guru.

   "Biarlah teecu mencobanya, susiok!"

   Kata Liu kong yang marah kepada Kwan Bu. Ia mengira Kwan Bu "Mencuri"

   Ilmu silat gurunya, maka kini siap memberi "hajaran."

   Ia meloncat ke depan Kwan Bu lalu membentak.

   "Kwan Bu, bersiaplah engkau menerima seranganku!"

   Kwan Bu yang masih bertelanjang dadanya itu tidak berani melawan, ia memandang majikannya, menggagap berkata.

   "Tapi... tapi, Thai-ya...!"

   "Kwan Bu engkau bukan seorang laki-laki?"

   Pertanyaan ini keluar dari mulut Siang Hwi dan ucapan ini menggugah semangat Kwan Bu, membangkitkan keberaniannya. Karena majikannya tidak mau berkata apa-apa lagi, ia pun perlahan-lahan menghadapi Liu kong. Ia melihat Liu kong memasang kuda-kuda Chi-ma-he, tangan kanan Liu kong dipentang ke kanan lurus pundak dengan tangan mengepul, tangan kiri ditarik ke belakang dengan jari terbuka. Gagah kuda-kudanya ini, Kwan Bu memang seringkali berlatih di dalam kamar Ibunya, akan tetapi ia tidak tahu bagaimana harus menggunakan semua gerakan silat yang dilatihnya itu untuk menghadapi lawan. Maka ia hanya berdiri dengan kedua kaki di agak tekuk dan kedua tangannya bergantung biasa. Melihat ini, Bu Keng Liong mengerutkan kening dan menjadi ragu-ragu. Akan tetapi ia belum merasa yakin lalu berkata.

   "Kong-ji, seranglah!"

   Liu Kong menyerang. Dahsyat serangannya ini, kakinya maju dengan teratur dan cepat sekali. Tangannya bergerak membingungkan Kwan Bu yang tahu-tahu sudah terpukul dadanya.

   "Bukk!!!"

   Tubuh Kwan Bu terhuyung ke belakang, akan tetapi ketika tubuh lawannya mendesak maju mengirim tendangan, ia ingat akan gerakan mengelak yang dipelajarinya, secara otomatis tubuhnya miring dan merendah lalu secepat kilat tangan kirinya bergerak dari bawah menangkap pergelangan kaki lawan!

   "Hemm...!"

   Bu Keng Liong kembali mengusap-usap jenggotnya. ltulah gerakan jurus Hio-tee-hoan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga) yang dilakukan cepat dan indah, dan memang tepat dipergunakan untuk menghadapi serangan tendangan lawan. Kalau Kwan Bu berlatih matang, pada detik berikutnya dengan sentakan tangan itu ke atas, tubuh Liu kong tentu akan terlempar ke belakang, atau lebih hebat lagi, dengan pukulan tangan ke arah bawah putar, bisa membahayakan Liu kong. Namun Kwan Bu yang hanya ngawur. Tentu saja tidak megetahui perkembangan selanjutnya, dan hanya memegang kaki kanan Liu kong itu erat-erat! Kesempatan ini dipergunakan Liu kong untuk mengirim tendangan berantai dengan kaki kirinya dengan meminjam tenaga Kwan Bu yang memegangi kaki kanannya.

   "Blukk!"

   
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kembali perut Kwan Bu kena ditendang sampai ia terjengkang dan terguling tiga kali baru bangkit berdiri. Melihat anak ini meloncat bangun dari atas tanah terus berdiri, Bu Taihiap mengangguk-angguk. ltulah gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) yang biarpun belum sempurna, namun masih lebih baik dari pada gerakan ketiga orang muridnya. Akan tetapi kini Kwan Bu dihajar benar-benar oleh Liu kong yang menerjang dan menyerangnya kalang kabut. Liu kong sebelum menjadi murid Bu Keng Liong, sudah digembleng oleh Ayah bundanya sejak kecil, gerakannya cepat, pukulannya mantap.

   Dalam pembelaan dirinya, Bu Keng Liong sedikitnya ada sepuluh jurus, ilmu silatnya yang dimainkan Kwan Bu dengan cara baik sekali, akan tetapi kesemuanya ngawur dan tidak pada tempatnya. Hatinya merasa lega. Belum berbahaya, pikirnya. Mulai sekarang ia harus menjaga agar anak itu jangan sampai mencuri lihat muridnya berlatih lagi. Kwan Bu sudah babak belur, hidungnya kena tonjok, mengeluarkan darah. Mata kirinya biru, Bibirnya pecah. Akan tetapi Liu Kong masih menyerang terus. Kalau budak ini belum roboh, aku masih belum mau sudah, pikirnya. Ada juga rasa penasaran karena sudah lima puluh jurus ia menyerang, belum juga Kwan Bu dapat dirobohkan. Beberapa kali roboh, selalu bangun kembali dan satu kalipun dia tidak pernah mendengar suara keluhan keluar dari mulut Kwan Bu.

   "Suheng! Cukuplah, Suheng!"

   Teriak Siang Hwi.

   "Ayah, hentikan dia!"

   Pada saat itu tangan kanan Liu Kong menyusul pukulan tangan kiri yang mengenai leher Kwan Bu dan membuat anak itu terhuyung ke belakang, dan kini tangan kanan Liu kong memukul ke arah kepala. Pukulan yang berbahaya! Kwan Bu yang sudah merasa sakit-sakit di seluruh tubuhnya, kepalanya menjadi pening, kemerahan menyesak dada, malu dan marah dan merasa terhina! Ia melihat datangnya pukulan tangan kanan. Cepat ia menggerakan tangan kiri diangkat tinggi-tinggi lalu menangkap pergelangan tangan Liu kong, menahan tangan itu turun. Mereka bersitegang dan pada saat itulah Kwan Bu melihat ketiak kanan Liu kong. Jari-jari tangan kanannya menegang, yang dua diluruskan dan secepat kilat, sepenuh tenaga ia menotok tepat di jalan darah yan-goat-hiat yang tadi disentuh oleh ujung jari Siang Hwi.

   "Dukkk...!!l"

   "Ayaaaa...!!"

   Teriakan ini keluar dari mulut Bu Keng Liong dan Kwan Bu yang sudah meloncat ke belakang juga berdiri terbelalak melihat betapa Liu kong berdiri kaku seperti arca! Tubuh itu masih berdiri seperti ketika menyerangnya tadi, tangan kanan diangkat tinggi-tinggi untuk memukul, tangan kiri di kepal di pinggang! Siang Hwi dan Kwee Cin juga berdiri terbelalak, melihat dengan wajah pucat. Biarpun tidak mengerti sama sekali bagaimana Kwan Bu dapat melakukan itu. Mereka berdua maklum bahwa Liu kong telah kena ditotok secara tepat sekali oleh Kwan Bu!

   "Ahhh... ini... ini... ampunkan hamba!"

   Kwan Bu menajadi bingung dan gagap, tergopoh-gopoh ia lalu menghampiri tubuh Liu kong, memutarinya kemudian ia menotok ke punggung kanan Liu kong, tepat pada sebelah kanan punggung di atas pinggang, tempat dimana ia tadi juga ditotok majikannya.

   "Dukkkl"

   Dapat dibayangkan betapa herannya hati mereka melihat bahwa totokan pembebasan inipun tepat sekali, Liu kong mengeluh dan terhuyung, dapat bergerak lagi! Marahnya bukan main, marah dan malu. Ia menyambar sapu di dekatnya, sapu yang tadi dilepaskan Kwan Bu, lalu menerjang maju, menusuk ke arah perut Kwan Bu dengan gagang sapu.

   "Krakkkkk!!"

   Gagang sapu hancur berkeping-keping bertemu dengan tangan Bu Keng Liong yang menangkisnya. Pendekar ini memandang tiga orang muridnya dengan marah-marah, kemudian membentak,

   "Kalian pergilah!"

   Mereka bertiga dengan muka tunduk lalu pergi meninggalkan pekarangan, meninggalkan Kwan Bu yang berlutut dengan tubuh gemetar di depan majikannya.

   "Thai-ya... hamba... hamba salah.., hamba mohon Thai-ya memberi ampun."

   "Hemm, Kwan Bu. Darimana kau mempelajari ilmu menotok itu tadi?"

   Suara pendekar itu dingin dan marah.

   "Dari... dari mendengar penjelasan teori Thai-ya tadi, kemudian ditambah dengan latihan Siocia (nona) dan kedua Kongcu..."

   Bu Keng Liong kagum bukan main dan hampir tak dapat percaya. anak ini selain berbakat dan bertulang baik, juga memiliki ingatan yang tajam dan kuat. jarang dicari keduanya!

   "Bagaimana jari-jarimu dapat melakukannya? Coba kulihat jari-jari tanganmu!"

   Dengan gemetar Kwan Bu mengulurkan tangan dan dipegang serta diperiksa oleh pendekar Bu. Tenyata ujung-ujung jari anak ini kasar dan keras, tanda terlatih pasir panas.

   "Hemm, kau latihan menusuk pasir panas?"

   "Benar, Thai-ya... hamba hanya meniru-niru... di kamar Ibu kalau malam."

   "Dan totokan pembebasan tadi?"

   "Meniru ketika Thai-ya membebaskan hamba."

   Bu Taihiap menghela napas dalam-dalam. Kalau dibandingkan tiga orang muridnya, sungguh jauh bedanya. Mereka itu berlatih sebulan, dibandingkan anak ini berlatih sehari, mungkin berimbang! akan tetapi kalau ia ingat akan cita-cita Ciok Kim, lenyaplah keinginan hatinya mengambil murid anak ini. anak seperti inilah yang mungkin cepat mewarisi seluruh kepandaiannya, bahkan melebihi melihat kecerdikan dan bakatnya yang luar biasa. akan tetapi kalau dipergunakan untuk membunuh Ayah sendiri, apa akan kata Orang kang-ouw? Muridnya membunuh Ayah sendiri? Tak mungkin!

   "Kwan Bu, mulai saat ini, engkau sama sekali tidak boleh belajar ilmu silat! Sekali-kali tidak boleh menonton latihan murid-muridku, tidak boleh mencuri dengar atau lihat! Mengerti?"

   "Anak itu menganggukkan kepalanya, akan tetapi kedua matanya menjadi panas dan berbutir air mata menitik turun melalui kedua pipinya. Ia menangis, akan tetapi pantang sesenggukan, ditahannya sampai dada serasa hampir meledak! Terharu hati Bu Keng Liong. alangkah ingin ia mengelus-elus kepala anak itu, menghiburnya dan membimbingnya sehingga menjadi seorang pendekar yang lebih besar daripadanya, akan tetapi kesadarannya mengingatkannya bahwa sekali-kali ia tidak boleh melakukan hal itu demi kebaikan bocah ini sendiri. Ia harus mencegah anak ini yang diam-diam ia kagumi dan ia suka, menjadi pembunuh Ayahnya sendiri!

   "Dan sekali lagi kau mendapatkan kau belajar ilmu silat, engkau akan kuusir pergi dari sini. Mengerti?"

   Kembali Kwan Bu mengangguk, akan tetapi air matanya makin deras membanjir turun.

   "Nah, pergilah mengurus pekerjaanmu!"

   Kwan Bu bangkit berdiri, masih agak pening, mengambil bajunya dan sapunya yang gagangnya sudah hancur, kemudian pergi sambil menundukkan mukanya. Hati pendekar itu makin terharu.

   "Kwan Bu, kesinilah dulu kau!"

   Kwan Bu kembali, hendak berlutut akan tetapi dicegah majikannya yang memegang kedua pundaknya, Pundak yang kuat, pikirnya. Ia lalu memeriksa muka dan tubuh anak itu kalau-kalau ada terdapat luka parah. akan tetapi ia terheran. Tidak ada luka yang berarti. Tubuh yang amat kuat sekali. Ia merogoh saku, mengeluarkan sepotong uang perak.

   "Kau pergilah ke rumah obat, beli param dan obat gosok untuk mengobati bagian tubuhmu yang sakit."

   Kwan Bu menerima, dengan suara serak, berkata,

   "Terima kasih, Thai-ya..."

   "Kwan Bu, kau dengar baik-baik kata-kataku ini. Demi Tuhan, aku suka kepadamu, dan kalau aku melarang kau belajar ilmu silat, hal ini bukan sekali-kali karena aku tidak suka kepadamu. Aku melarang kau belajar ilmu silat demi kebaikanmu sendiri, anak baik. Mulai besok, aku akan menyuruh guru sastra Cong-sian-seng untuk mengajarmu membaca menulis dua kali sepekan, ilmu bu (silat) tidak baik bagimu, ilmu bun (sastra) lebih penting."

   Kembali Kwan Bu mengangguk dan menghaturkan terima kasih, lalu pergi meninggalkan majikannya yang masih lama berdiri termenung di dalam pekarangan berulang-ulang menarik napas panjang. Pendekar ini melupakan urusan Kwan Bu karena ia sedang bingung dan risau memikirkan persoalan adik iparnya yang terbunuh mati oleh musuh-musuhnya, yaitu Orang tua Liu kong. Ayah Liu kong bernama Liu Ti adik isterinya yang menjadi tokoh kang-ouw juga. akan tetapi Liu Ti terlibat dalam pergolakan politik. Pada masa itu, dunia kang-ouw juga terpecah menjadi dua. sebagian pro kepada Kaisar dan menjadi pembela-pembela nama Kaisar, sebagian lagi anti Kaisar dan pro kepada pihak pemberontak-pemberontak yang muncul di sana sini.

   Liu Ti termasuk seorang yang pro Kaisar, maka tentu saja terjadi permusuhan antara dia dan mereka yang pro para pemberontak. Kini Liu Ti dan isterinya terbunuh oleh tokoh kang-ouw yang pro pemberontak dan dia sebagai kakak ipar, tentu takkan dapat membebaskan diri begitu saja dari ikatan permusuhan itu. Bu Keng Liong adalah seorang pendekar, akan tetapi dalam urusan politik, ia bebas. Menurut pendapatnya, politik adalah kotor, hanya permainan belaka daripada mereka yang ingin mendapat kekuasaan. Yang satu berusaha merobohkan yang lain, semata-mata hanya untuk merampas kedudukan. Dan ia tidak suka terlibat dengan urusan ini. Karena itu, selama ini ia berbaik dengan tokoh-tokoh kang-ouw kedua pihak, baik yang pro maupun yang anti Kaisar.

   Akan tetapi, setelah timbulnya peristiwa kematian Liu Ti dan setelah kini Liu kong putera Liu Ti tinggal bersamanya, ia tidak tahu lagi apakah dalam pandangan orang-Orang kang-ouw yang anti Kaisar itu ia masih bebas! Ia khawatir bahwa sewaktu-waktu akan datang keributan mengganggu kesejahteraan rumah tangganya. Bu Keng Liong bukan seorang penakut. Ia akan menghadapi tantangan setiap Orang penjahat. akan tetapi, menghadapi ancaman terlibat dalam pertikaian politik antara orang-orang gagah sedunia, ia benar-benar merasa gelisah. Menghadapi penjahat adalah tugasnya. akan tetapi bertentangan dengan sesama orang gagah hanya karena perbedaan paham, ini dia tidak suka. Namun kalau keadaan memaksa, bagaimana? Ia makin risau, dan untuk menghilangkan kerisauan hatinya ini, ia kembali masuk ke rumah dan minum arak sampai urusan itu terlupa sama sekali olehnya.

   Dengan hati rajin dan sabar luar biasa, Kwan Bu mempelajari ilmu membaca dan menulis. lngatannya yang kuat membuat Cong-sian-seng guru sastera amat suka kepadanya dan mengajarnya dengan rajin pula sehingga dalam waktu setahun saja, Kwan Bu sudah pandai membaca kitab-kitab kuno dan tulisannya juga indah. akan tetapi dalam waktu setahun itu, tak pernah ia melupakan latihannya ilmu silat, dan terutama sekali ilmu menotok. Tentu saja ia melakukan latihan ini secara sembunyi-sembunyi, yakni di waktu malam di dalam kamar Ibunya. Seringkali ia termenung kapankah kiranya ia akan dapat pergi mencari musuh besar itu dan membalas dendam? apakah ilmu totok yang dimilikinya itu sudah cukup untuk menjadi senjata melawan musuhnya? Ah, melawan Liu kong saja ia masih kalah, apalagi melawan kepala perampok itu yang menurut Ibunya amat kuat.

   "Ibu, siapa sih namanya perampok keparat musuh besar itu?"

   Pernah ia bertanya Ibunya.

   "Aku tidak tahu namanya Kwan Bu. akan tetapi kau ingat baik-baik, ia seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Usianya sekarang ini kira-kira empat puluh tahun, matanya lebar bundar, keningnya tebal, dahinya lebar, suka tertawa-tawa terbahak-bahak, dan.., kalau tak salah, ada tahi lalat di bawah dagunya. Ia selalu memegang sebatang golok besar dan ia suka menyerang orang dengan jarum-jarum. Nah, hanya itu yang kuketahui, anakku, akan tetapi aku percaya, kelak kau tentu akan dapat mencari dan menemuinya untuk membalaskan dendam Ibumu, Inilah jarum yang dahulu menancap di mata kiriku."

   Kwan Bu menerima jarum itu dari tangan Ibunya, sebatang jarum yang panjangnya hanya sejari telunjuk, kecil dan runcing. Ia mengamat-amati jarum itu, kemudian membungkusnya kembali dan menyimpannya dalam saku, semenjak itu tak pernah jarum ini terpisah daripadanya,

   Pada suatu malam, setelah semua orang tidur nyenyak karena sudah hampir tengah malam, Kwan Bu masih rajin berlatih silat dalam kamarnya. Kamarnya menjadi satu dengan kamar Ibunya. Ibunya juga sudah tidur, dan Kwan Bu melatih gerakan-gerakan menotok sambil mengingat-ingat gerakan Liu kong dahulu. Kalau ia teringat betapa selama setahun ini sama sekali tidak pernah melihat mereka berlatih lagi, dan membayangkan betapa tiga orang itu kini telah mendapat kemajuan pesat, hatinya menjadi sedih. Hanya ada kebaikannya sedikit, yaitu biarpun sikap Liu kong, Siang Hwi, dan Kwee Cin masih dingin terhadapnya, namun Liu kong tidak berani mengganggu dan menghinanya. Agaknya mereka itu mendapat peringatan keras dari majikannya, dan tidak berani lagi mengulangi perbuatannya yang dahulu.

   Tiba-tiba Kwan Bu berhenti berlatih. Telinganya mendengar sesuatu. Kamar Ibunya adalah sebuah daripada kamar-kamar pelayan yang letaknya di belakang, Pekarangan belakang berada tepat di belakang kamar itu. Tak salah lagi ia, mendengar suara orang! apakah majikannya melatih muridnya menjelang tengah malam yang gelap ini? ah, tak mungkin, akan tetapi, siapa tahu dan kalau memang betul demikian, ini merupakan kesempatan amat baik baginya. Di dalam gelap ini, siapa yang akan melihatnya! Hati-hati Kwan Bu membuka jendela kamarnya, lalu merangkak keluar, menutupkan lagi jendela itu. Ia sudah meniup padam lampu kamar sehingga perbuatannya itu takkan tampak dari luar. Ia hafal betul dengan keadaan di situ. Pekarangan itu setiap hari ia sapu dan bersihkan, tentu saja ia hafal akan letak setiap pohon, hafal mana tempat yang banyak daun keringnya dan mana yang tidak.

   Dengan amat hati-hati ia menyelinap dan melangkah maju, menjaga selalu agar ia tidak melalui tempat yang tertutup daun kering sehingga langkah kakinya sama sekali tidak menimbulkan suara karena yang diinjaknya adalah tanah yang agak lunak terkena hawa dingin malam. Akhirnya tibalah ia di tengah pekarangan dan di bawah sinar bintang-bintang yang rnemenuhi angkasa tak berbulan, ia melihat pemandangan yang membuat matanya terbelalak kaget. Ia cepat menyelinap dekat dan menyusup di balik serumpun kembang, mengintai kedua majikannya, suami-isteri Bu berdiri tengah beradu punggung, masing-masing memegang pedang ditangan! Ditangan kedua majikannya tampak sebatang pedang yang panjang dan berkilauan. Dan tujuh orang laki-laki tampak mengurung suami istri itu, berdiri memasang kuda-kuda dengan golok-golok tajam di tangan mereka!

   "Bu Keng Liong, sekali lagi kami serukan agar kau berikan anak itu kepada kami. Bukankah Bu Taihiap selamanya tidak pernah bermusuhan dengan golongan kami?"

   Bentak seseorang di antara mereka yang suaranya besar parau, Terdengar Bu Keng Liong menjawab, suaranya tenang namun mengandung tenaga yang berpengaruh,

   "Sin-To Chit-Hiap (Tujuh Pendekar Golok Sakti), sekali lagi kutekankan bahwa kami tidak akan menyerahkan anak itu untuk kalian bunuh! Tak mungkin kami membiarkan kalian melakukam kekejaman terhadap seorang anak kecil!"

   "Ha-ha-ha, Bu Taihiap. Tak tahukah akan peribahasa yang mengatakan bahwa membasmi rumput harus sampai ke akar-akarnya? Hanya membunuh orang tuanya melepaskan anaknya, di kemudian hari tentu akan menimbulkan perkara yang lebih besar"

   "Terserah pendapat kalian. akan tetapi kami tetap tidak mau menyerahkan anak itu..!!"

   "Ha-ha-ha! Engkau melindungi anak Liu Ti si pendukung Kaisar, si penjilat yang menari di atas kesengsaraan rakyat?"

   "Sin-To Chit-Hiap! Sudah lama aku mendengar nama besar kalian dan aku tidak akan mencampuri urusan kalian mengenai diri Kaisar. akupun tidak mencampuri pendirian kalian tentang membasmi musuh-musuh kalian. Akan tetapi ingat, Bu Keng Liong bukan seseorang tanpa pendirian pula! Dan dengar baik-baik, selama Bu Keng Liong masih hidup, tidak akan membiarkan tujuh orang yang mengaku gagah seperti kalian ini membunuh anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Tidak peduli anak itu keponakan kami, ataupun anak jembel, bahkan anak penjahat sekalipun! Orang tuanya boleh jadi bermusuhan, akan tetapi anaknya tahu apa? Membunuh kanak-kanak adalah perbuatan pengecut, kalau memang gagah, tunggulah sampai dia besar dan mampu membela diri!"

   "Aaaahh, dan kau mengajarinya ilmu silat agar kelak melawan kami? Bu Keng Liong, engkau sudah menentang kami, berarti engkau termasuk golongan pendukung Kaisar!"

   "Terserah penilaianmu, akan tetapi aku tidak mendukung siapa-siapa, aku hanya mendukung kebenaran dan keadilan!"

   "Kalian patut dibasmi pula!"

   Dan mulailah tujuh orang itu menerjang maju dengan golok mereka.

   Gerakan mereka cepat sekali sehingga mata Kwan Bu menjadi pening dan kabur ketika memandangnya. Ia melihat tubuh tujuh orang itu berkelebatan mengelilingi kedua suami isteri, sinar golok menyambar-nyambar dan Kwan Bu merasa betapa tubuhnya menggigil dan tengkuknya dingin sekali saking ngeri dan cemasnya! ah, bagaimana kedua majikannya akan dapat melawan tujuh orang yang begini lihainya? Kemudian ia mendengar suara nyaring bertemunya senjata tajam, berdencing, berkerontang dan matanya terbelalak memandang sesosok sinar putih yang besar itu berguIung-gulung seperti seekor naga putih, dan di antara sinar putih yang besar itu tampak dua buah sinar hijau yang juga bergulung-gulung dan sungguhpun tidak secepat sinar putih. namun juga cepat sekali gerakannya.

   la sama sekali tidak tahu bahwa sinar putih itu adalah sinar pedang Bu Taihiap, adapun sepasang sinar hijau adalah sinar pedang dari siang-kiam (sepasang pedang) ditangan Bu Hujin! Juga ia tidak tahu bagaimana jalannya pertempuran itu karena pandangan matanya tak dapat mengikutinya. Hanya terdengar olehnya belasan menit kemudian, jerit kesakitan Bu Hujin disusul teriakan arah Bu Taihiap dan pertandingan itu berhenti. Tahu-tahu diantara tujuh orang bergolok itu, yang empat sudah menggeletak berlumur darah sedangkan yang tiga orang kehilangan goloknya. Bu Taihiap berdiri tegak disitu, pedang di tangan, dan di sisinya berdiri pula Bu Hujin, sepasang pedang masih di tangan, akan tetapi pangkal lengan kirinya terluka, berdarah. Seorang diantara yang tiga itu menjura kepada Bu Taihiap, lalu berkata.

   "Kami menerima kalah kali ini. Akan tetapi urusan ini takkan sampai di sini saja. Tunggu pembalasan kami!"

   Dengan suara angkuh dan marah Bu Taihiap menjawab,

   "Aku selamanya tak pernah memusuhi kau yang anti Kaisar, akan tetapi kalau mereka hendak membunuh anak-anak yang tidak tahu apa-apa, terpaksa aku Bu Keng Liong akan berusaha mencegahnya!"

   Tiga orang itu mendengus marah, lalu memanggul pergi empat orang kawan mereka yang terluka dan lari menghilang ke tempat gelap. Bu Taihiap lalu menghampiri isterinya dan memeriksa tangannya.

   "Ah, untung hanya luka kecil. Mari kita obati di dalam,"

   Kata Bu Taihiap dan pergilah suami isteri perkasa ini ke dalam rumah. Sampai lama, lebih lama dari jalannya pertempuran itu sendiri. Kwan Bu mendekam dibelakang rumpun kembang. Ia melongo dan tiada habis kagumnya terhadap kedua majikannya. Bayangkan saja. Dikeroyok tujuh, dan pengeroyok-pengeroyoknya demikian hebat ilmu goloknya!

   Namun dalam waktu singkat kedua majikannya dapat merebahkan empat lawan dan melucuti tiga yang lain! Kwan Bu membayangkan musuh besarnya, agaknya tentu tinggi besar dan pandai bermain golok seperti seorang diantara Sin-To Chit-Hiap ini! kalau saja ia berkepandaian seperti majikannya! Alangkah akan mudahnya membalas dendam hanya terhadap seorang perampok! Peristiwa yang dilihatnya di dalam pekarangan pada malam hari itu, yang tidak diketahui orang lain, membuat Kwan Bu makin mengilar lagi untuk belajar ilmu silat. Jelas bahwa majikannya tidak mau mengajarinya. Lalu, kepada siapa ia harus berguru? Sepekan kemudian, Kwan Bu yang sedang membersihkan ruangan dalam, mendengar namanya dipanggil majikannya. Ia melepaskan kemocing (pengebut bulu ayam) dari tangannya, lalu bergegas keluar.

   Setibanya di ruangan tamu di luar, ia melihat majikannya sedang duduk menghadapi seorang tamu yang usianya sudah tua, tubuhnya kurus kering dan pakaiannya seperti seorang Tosu (pendeta To) dari kain kuning, rambutnya tak bertopi, terurai ke belakang hanya diikat sehelai kain kuning pula di atas telinganya. Majikannya kelihatan amat menghormati tamu ini dan ia melihat pula ketiga orang anak murid majikannya berada di situ. Agaknya pagi ini mereka diberi penjelasan teori ilmu silat di ruangan ini oleh guru mereka ketika Tosu itu datang berkunjung. Ketika ia disuruh mengambilkan air teh untuk disuguhkan, Kwan Bu bergegas ke dapur dan segera menyediakan yang diminta majikannya. akan tetapi ketika ia kembali membawa air teh, ia mendengar tamu itu bersitegang dengan majikannya. Ia sengaja (berhenti di belakang pintu, mendengarkan).

   "Bu-Sicu, memang tak dapat Pinto (aku) membenarkan kekasaran murid-murid keponakan Pinto Sin-To Chit-Hiap itu. Terhadap seorang sahabat seperti Sicu, tidak perlu menggunakan kekerasan. Tak dapat dibantah lagi, mendiang Liu Ti adalah seorang penjilat Kaisar dan telah banyak sekali patriot dan pejuang pembela rakyat yang tewas gara-gara Liu Ti. Sudah sepantasnyalah kalau para orang gagah yang menentang kelaliman Kaisar menjatuhkan hukuman pada keluarganya."

   "Totiang, saya dapat mengerti pendapat Totiang dan saya tidak akan membantah, karena seperti Totiang ketahui. saya tidak suka mencampuri permusuhan antara Orang gagah yang melibatkan diri dengan politik. Memang benar bahwa Liu Ti adalah adik isteriku, akan tetapi dia sudah bermain politik. kemudian menjadi korban akibat permainan itu. aku tidak dapat berkata apa-apa, tidak dapat membenarkan juga tidak menyalahkan dia, seperti juga saya tidak membiarkan maupun menyalahkan golongan Totiang."

   Tosu itu mengangguk-angguk

   "Pinto tahu pendirian Sicu dan setiap orang memang berhak mempunyai pandangan hidup sendiri, akan tetapi, kalau Sicu yang berdiri di tengah-tengah tidak berpihak sana sini kemudian menerima putera Liu Ti bukankah ini sama artinya dengan berpihak kepadanya? Kalau memang Sicu tidak berpihak, pandanglah muka Pinto dan harap Sicu serahkan putera Liu Ti ini kepada Pinto."

   Tosu itu memandang kepada Liu Kong yang memandangnya kembali dengan mata melotot marah.

   "Sayang dalam hal ini kita berselisih paham, Totiang. Sudah saya katakan kepada Sin-To Chit-Hiap bahwa biarpun saya tidak perduli akan permusuhan politik itu. namun saya selalu akan menentang siapa saja yang akan mengganggu anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Baik dari pihak yang pro Kaisar, maupun yang anti Kaisar, kalau saya ketahui mengganggu dan hendak membunuh anak-anak, sudah pasti sekali saya tidak mau mendiamkannya begitu saja. Tidak perduli anak siapa yang akan dibunuhnya."

   "Ha-ha-ha-ha! Dengan lain perkataan, Sicu tidak suka memandang muka Pinto dan tidak mau mengalah? Ha-ha, Sicu terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga tidak memandang sebelah mata kepada pihak lain. Benarkah Sicu belum mengetahui siapa kini yang mengajukan permintaan kepada Sicu?"

   "Saya sudah cukup mengetahui. Totiang adalah Ya Keng Cu Totiang, yang berjuluk Koai-Kiam Tojin (pendeta Pedang Setan), yang namanya sudah tersohor selama puluhan tahun, semenjak saya masih belajar, akan tetapi, saya hanya mengabdi kepada kebenaran, oleh karena itu kalau Totiang berpihak kepada yang tidak benar, terpaksa saya tidak dapat mengalah."

   "Pendeta bau, siapa takut kepadamu!!"

   Tiba-tiba Liu Kong yang sudah amat marah semenjak tadi, menerjang maju dengan nekat. Di belakangnya bergerak pula Siang Hwi dan Kwee Cin yang hendak membantu Suheng mereka.

   "Ha-ha-ha-ha, kalau gurunya harimau, murid-muridnya tentu anak harimau yang galak pula!"

   Kakek itu tertawa tidak bergerak dari tempatnya, akan tetapi ketika Liu Kong datang menubruknya, ia membiarkan anak itu memukul yang tidak dirasakannya sama sekali, akan tetapi di lain pihak. Liu Kong sudah dirangkul dan dikempitnya, tak mampu bergerak lagi. Ketika Siang Hwi dan Kwee Cin datang menerjang kakek itu menggerakkan kakinya perlahan ke depan. Tampaknya kedua anak itu tersentuh kaki, akan tetapi buktinya mereka terlempar ke belakang sampai empat meter jauhnya!

   Pada saat itu, Kwan Bu sudah sejak tadi keluar dan berdiri di depan pintu membawa sebuah tekoan berisi air teh panas dan beberapa buah cangkir. Ia bengong melihat tiga orang anak itu menerjang, kemudian khawatir sekali melihat Liu Kong dikempit, Tanpa berpikir panjang lagi, Kwan Bu berlari maju sambil membawa tekoan dengan Cepat dan kuat ia melemparkan tekoan berisi air teh panas itu ke arah muka Tosu! Tosu itu terkekeh dan menghadapi anak-anak kecil tentu saja ia tidak mau menurunkan tangan jahat, juga bukan seorang kejam, melainkan seorang pejuang yang gigih. Kini melihat diserang tekoan, ia mengangkat lengan kanan menangkis ke atas sedangkan tangan kiri tetap menjepit Liu Kong. Dan pada saat itu, melihat lengan kanan kakek itu terangkat untuk menangkis tekoan, Kwan Bu sudah maju mengirim totokan ke arah jalan darah di bawah ketiak dengan terjangan kuat.

   "Hhhh...!"

   Kakek itu agak kaget. Pertama karena ketika tekoan dapat ia tangkis dan terlempar, ada air teh panas memercik ke mukanya.

   Dan kedua, melihat pelayan cilik itu menotok jalan darah di ketiaknya, sungguh merupakan hal yang sama sekali tak diduga-duganya! Saking kaget, ia melepaskan Liu Kong dan menangkis totokan Kwan Bu dengan tangan kiri lalu sekali kakinya bergerak, kembali tubuh Kwan Bu sudah terlempar, jatuh bergulingan. Liu Kong hendak lari mundur, tapi tangan kakek itu menjangkau hendak menangkapnya. Pada saat itu, Bu Keng Liong yang masih duduk di kursinya, mendorong dengan tangan kanan dari tempat duduknya sambil mengerahkan tenaga sakti melalui lengannya. Dia adalah seorang ahli lweekeh tenaga (dalam) yang terkenal maka dorongannya ini mengundang hawa pukulan untuk menangkis tangan si kakek yang hendak menangkap Liu Kong.

   "Totiang, tidak baik main-main dengan anak kecil!"

   Katanya. Kakek itu terkekeh, merasa betapa tangannya tertangkis dari jauh oleh serangkum tenaga yang tak tampak. Ia mengurungkan niatnya menangkap Liu Kong, kemudian membalikan tangannya dan juga mendorong ke depan, menyambut tenaga dorongan tuan rumah. Keduanya kini duduk tegak, jarak mereka antara tiga meter dan keduanya meluruskan lengan kanan ke depan, dengan telapak terbuka menghadap lawan. Terjadilah adu tenaga dalam yang dahsyat! Beberapa lamanya pertandingan berlangsung secara diam-diam dan tampaklah peluh membasahi dahi Bu Keng Liong. Ya Keng Cu, Tosu itu, tertawa bergelak-gelak, kemudian berkata,

   "Ha-ha, hebat memang kepandaian Sicu, sayang kalau sampai rusak karna seorang penjilat. Terhadap Sicu, tidak berani Pinto menggunakan kekerasan secara kasar, sampai ketemu malam nanti. Kalau sampai besok pagi Pinto tidak mampu mengambil anak ini, anggap saja Pinto kalah dan takkan mengganggu Sicu lagi."

   Setelah berkata demikian tiba-tiba Ya Keng Cu menarik tangannya dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ melalui pintu depan. Gerakannya amat berat sehingga hanya tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kursinya sudah kosong. Bu Keng Liong agak terengah-engah dan kelihatan lelah, kemudian berkata kepada semua anak-anak.

   "Mulai detik ini sampai besok, kalian tidak boleh keluar dari dalam rumah!"

   Kemudian masuklah pendekar itu ke dalam kamarnya.

   "Kwan Bu, aku kagum akan keberanianmu. Kau tidak bisa silat akan tetapi kau berani menerjang Tosu itu,"

   Kata Kwee Cin dengan pandang mata jujur.

   "Kau hanya mau mencari muka di depan Ayah saja!"

   Kata Siang Hwi yang masih marah karena ketika terjadi peristiwa setahun yang lalu, Liu Kong mengatakan bahwa guru mereka diam-diam memberi latihan kepada Kwan Bu.

   "Kalau kau tahu diri, maka kau secara gila-gilaan menyerang kakek itu? Membikin malu saja kau!"

   "Bukan hanya membikin malu, tapi juga merintangi aku. Ketika tadi aku dikempit, aku sudah hampir berhasil membebaskan tangan dan kalau saja budak tolol ini tidak menyerang tiba-tiba, tentu akan berhasil menotoknya dari jarak dekat tanpa ia duga. Dasar tolol, selalu hendak merintangi kita dengan menjual muka kepada siokhu."

   Kwan Bu menjadi marah sekali di dalam hatinya kepada mereka berdua, akan tetapi ia tidak berani melawan, lalu ia menundukkan mukanya, mengambil lap untuk membersihkan lantai dari air teh yang tumpah, kemudian mengambil tekonya yang tadi terlempar.

   Ketika ia selesai mengangkat muka, ternyata ketiga orang anak itu sudah tidak berada disitu. Ia merasa khawatir sekali terhadap majikannya. Kakek itu luar biasa lihainya, sungguhpun ia tidak mengerti bagaimana lihainya, namun dapat ia menduganya. Kalau tidak begitu, tentu majikannya tidak tampak begitu berduka. Ketika melewati kamar majikannya, ia mendengar suara majikannya bicara dengan isterinya. Ia tahu bahwa tentu majikannya membicarakan urusan Tosu tadi, maka ia lalu menggunakan lap untuk mengelap pintu kamar majikannya, karena memang inipun merupakan pekerjaannya sehari-hari di gedung itu disamping mengepel dan lain-lain. Akan tetapi kali ini ia membersihkan pintu dengan maksud mendengarkan percakapan, maka perhatiannya ia curahkan ke dalam.

   "Kita lawan saja, seperti tempo hari melawan Chit-hiap,"

   Terdengar Bu Hujin berkata. Bu Taihiap menarik napas panjang.

   "Tidak bisa isteriku. Kali ini engkau jangan turut campur. Dia datang seorang diri, biarlah aku menghadapinya seorang diri pula. aku yang bertanggungjawab..?

   "Mana mungkin? Liu Kong adalah keponakanku, aku harus mempertanggungjawabkannya pula!"

   Bantah sang isteri.

   "Tidak Engkau jangan ikut-ikut. Lebih baik malam ini kau menjaga mereka bertiga dan akulah yang akan menghadapinya. Kau tahu, dia amat lihai sekali, engkau bisa berbahaya menghadapinya. Sedangkan aku sendiri masih ragu-ragu apakah akan dapat mengalahkannya. Dalam pertemuan tadi..."

   "Mengapa, suamiku? Sebelum bertanding bagaimana kau bisa mengira begitu? Ilmu pedangmu jarang ada yang dapat menandinginya!"

   "Hahhh...!"

   Kembali Bu Taihiap menghela napas panjang.

   "Dalam adu lweekang, selagi aku payah dia masih enak-enak dapat bicara, ini saja sudah membuktikan kelihaiannya. Dia berjuluk Pedang Setan, tentu ilmu pedangnya lihai. Andaikata aku dapat mengimbangi ilmu pedangnya, namun mengingat kekuatan lweekangnya..."

   "Ahh, bagaimana nanti sajalah! Demi kebenaran, kekalahan bukan apa-apa."

   Kwan Bu tidak berani mendengarkan lebih lama lagi, lalu ia pergi ke belakang. Majikannya dalam bahaya, pikirnya. Kalau Liu Kong ia tidak perduli. Memang lebih baik anak itu dibawa pergi saja oleh si Tosu. jadi tidak ada lagi urusan yang menyusahkan majikannya. Tosu itu lihai sekali.

   Kalau saja ia bisa menjadi muridnya. Inilah guru yang amat baik, seperti yang ia idamkan. Sayang Tosu ini memusuhi majikannya dan kalau ia menjadi muridnya. berarti ia harus menjadi musuh majikannya. Dan hal ini tidak benar sama sekali. Semenjak kecil ia berada di situ. Dia dan Ibunya menerima perlindungan keluarga Bu. Budi ini amat besar dan sampai matipun takkan terlupa. Bagaimana mungkin ia menjadi murid musuh majikannya? Tidak, ia mengusir keinginan ini dan memutar otaknya mencari jalan bagaimana ia akan dapat menolong majikannya. Kalau saja ia dapat menunda maksud kakek itu menyerbu rumah ini sampai besok pagi. Bukankah kakek ini berkata bahwa kalau sampai besok tidak mampu mengambil Liu Kong, berarti dia mengaku kalah dan tidak akan mengganggu lagi?

   "Pedang Setan, perlahan dulu...!!"

   Seruan ini membuat Tosu Ya Keng Cu kaget setengah mati. Ia sudah mempergunakan ilmu Couw-sang-hui (Terbang di Atas rumput), nampak kosong tidak ada suara orang, hanya terdengar desir angin yang bermain dengan daun-daun pohon, Bagaimana secara tiba-tiba ada orang yang menegurnya adalah seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun yang ia kenal sebagai anak pelayan yang pagi hari tadi di rumah Bu Keng Liong telah menyiramnya dengan teh panas kemudian menotoknya!

   Memang bocah itu adalah Kwan Bu, semenjak tadi ia telah bersembunyi di dalam pekarangan sebelah belakang rumah, karena ia dapat menduga bahwa Tosu yang akan menculik Liu Kong tentu datang melalui pekarangan belakang. Orang yang hendak melakukan sesuatu secara menggelap, tentu lebih suka mengambil jalan-jalan yang gelap pula! Dengan hati berdebar tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, namun dengan sabar ia menanti sampai tengah malam dan tepat seperti yang diduganya, bayangan hitam Tosu itu berkelebat maka ia lalu membuka mulut dan menegur, sengaja menyebutnya "Pedang Setan"

   Agar menarik perhatian. Betul saja, Tosu itu berhenti dan kini berhadapan dengan dia dalam keadaan terheran-heran.

   "Hah, engkau... bocah pelayan Bu Taihiap? Mau apa engkau?"

   "Sengaja hendak menghadangmu di sini"

   Jawab Kwan Bu dengan sikap tenang. Tosu itu memandang dengan mata terbelalak.

   "Kau...? Menghadang Pinto? Mau apa?"

   Dengan suara setenang tadi, bahkan dengan mengangkat muka membusungkan dada, anak ini rnenjawab.

   "Mau mengatakan kepadamu bahwa engkau. biarpun berjuluk Pedang Setan, sesungguhnya tak lain tak bukan hanyalah seorang... penakut!!!"

   Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tosu itu hampir tak dapat mempercaya telinganya sendiri. Nama besar Koai-Kiam Tojin Ya Keng Cu telah menggetarkan dunia kang-ouw dengan ilmu pedangnya yang jarang tandingan, para penjahat takut bertemu dengannya, disegani kawan ditakuti lawan, dan kini... dia dimaki penakut oleh seorang bocah pelayan berumur sebelas tahun! Bocah ini kalau tidak gila, tentu ada sesuatu yang aneh dibalik keberaniannya yang luar biasa. Ya Keng Cu seorang gemblengan yang sudah berpengalaman, tentu saja tidak mudah menjadi marah. Mendengar ucapan bocah itu, ia malah terseyum dan bertanya.

   "Eh budak kecil, mengapa kau bisa bilang bahwa Pinto Koai-Kiam Tojin Ya Keng Cu seorang penakut?"

   "Karena kau hanya berani dan sombong terhadap lawan yang sudah dapat dipastikan bukan menjadi tandinganmu. Sudah jelas bahwa Bu Taihiap bukan lawanmu dan tidak akan menang sungguhpun sampai mati sekalipun Bu Taihiap tidak akan mundur selangkah melawanmu, namun engkau masih mendesaknya dan datang untuk memaksakkan kehendakmu. Tosu tua, memaksa orang yang bukan tandingannya, bukankah itu merupakan sebuah perbuatan pengecut dan penakut?"

   

Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini