Ceritasilat Novel Online

Dendam Si Anak Haram 6


Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Tahan...! Tahan...! Harap sam-wi suka menghentikan pertempuran! Orang sendiri tidak perlu bertempur!"

   Berkali-kali pemuda itu berusaha melerai dan berteriak-teriak, akan tetapi pihak keluarga Bu makin ganas menerjang, bahkan Bu Keng Liong dengan suara marah memaki.

   "Liu Kong manusia tak tahu malu! Jangan banyak mulut! Kalau kau mau mengkhianati guru, kau majulah sekalian menjadi lawan kami!"

   Pada saat itu, terdengar suara keras pedang Kwee Cin terlempar jauh disusul robohnya pemuda ini yang kena pukul paha kirinya oleh tongkat Kim I Lohan. Setelah merobohkan Kwee Cin, Kim I Lohan membantu Lu Mo Kok, tongkatnya menyerampang kaki nyonya Bu yang cepat-cepat melompat tinggi.

   Setelah kini melawan satu sama satu, Bu Keng Liong dan isterinya terdesak hebat. Pedang Bu Keng Liong memang ampuh dan hebat, akan tetapi menghadapi kipas di tangan Lu Mo Kok mendesak dan ketika kipasnya menotok lalu tiba-tiba terbuka dan mengibas ke arah muka Bu Keng Liong, pendekar itu cepat berusaha menangkis sambil membacok lengan lawan. Akan tetapi Lu Mo Kok tertawa dan tangan kirinya menyambar tepat menghantam lambung Bu Keng Liong yang berseru perlahan dan terguling roboh. Hampir berbareng tongkat Kim I Lohan juga sudah memukul pundak nyonya Bu Sehingga nyonya ini roboh pula dengan tulang pundak patah! Siang Hwi dipermainkan oleh Ma Chiang. Sampai pening-pening kepala Siang Hwi menyerang orang kurus bermuka tikus yang amat lihai itu.

   "Nona, menyerahlah, aku tidak tega melukaimu seperti yang lain-lain."

   Kata Ma Chiang, suaranya merayu.

   "Jahanam, lebih baik mati daripada menyerah!"

   Bentak Siang Hwi dan sepasang pedangnya kembali menyerang. Akan tetapi tiba-tiba kedua pedangnya itu terhenti gerakannya dan ketika ia memandang, ternyata kedua pedangnya telah kena dicengkeram oleh sepasang senjata cakar yang tahu-tahu telah berada di tangan Ma Chiang. Senjata cakar ini adalah sepasang sarung tangan yang ujungnya merupakan kuku-kuku runcing. Inilah senjata kuku garuda yang amat hebat, bukan hanya dapat menahan senjata tajam lawan, juga dapat digunakan untuk mencengkeram tubuh lawan dengan kuku-kuku baja itu! Siang Hwi berusaha menarik kembali dua pedangnya, namun tidak dapat terlepas dari tangan Siang Hwi! Gadis ini tidak mau menyerah. Melihat kedua orang tuanya dan Kwee Cin sudah roboh, ia marah dan nekat. Dengan tangan kosong ia maju menerjang.

   "Ha-ha-ha-ha, kau cantik jelita, manis dan juga penuh semangat!"

   Ma Chiang berkata sambil tertawa bergelak, melepas kedua sarung tangannya dan menyambut dua tangan gadis itu yang tahu-tahu telah dapat pula ditangkapnya. Mereka berkagetan dan Ma Chiang mendekatkan mukanya, hendak mencium muka gadis itu. Muka mereka berdekatan dan Ma Chiang tertawa sambil mendengus-dengus,

   "Wah, Wangi...! Wangi...!"

   "Locianpwe, harap jangan mengganggu Sumoi...!"

   Tiba-tiba Liu Kong yang mencinta Siang Hwi tidak tahan menyaksikan keadaan ini. Ma Chiang tertawa menoleh kepadanya, tangannya melepaskan Siang Hwi, bergerak cepat dan tiba-tiba tubuh Siang Hwi menjadi lemas dan lumpuh terkena totokannya yang lihai. Gadis itu roboh pula dan tak dapat bergerak. Liu Kong yang melihat betapa gurunya, Sute dan Sumoinya sudah roboh semua dalam waktu yang singkat itu, menjadi kaget dan juga kagum. Rekan-rekan Ayahnya ini benar-benar lihai bukan main, mungkin jauh sekali lebih lihai daripada Ya Keng Cu dan teman-temannya yang menyerbu kemarin. Ia cepat memberi hormat dan berkata.

   "Saya suka ikut bersama sam-wi, akan tetapi harap jangan mengganggu keluarga Suhu di sini. Saya berani tanggung bahwa Suhu sekeluarga bukanlah kaum pemberontak, juga sama sekali tidak ada hubungan dengan orang-orang anti Kaisar."

   "Omitohud..., tidak bisa begini mudah! Orang she Bu ini sudah terang melawan kami, dan sikapnya seperti pemberontak. Dia harus dibawa ke Kota Raja menanti keputusan pengadilan di sana apakah dia termasuk pemberontak atau bukan. Kalau kelak dia mau merobah sikapnya yang keras kepala, mungkin sekali dia dibebaskan...!!"

   Kata Kim I Lohan.

   "Heh-heh, bener ucapan Kim I Lohan. Juga anak gadisnya yang galak ini harus dijadikan tanggungan. Kalau kelak dinyatakan bersih, tentu dapat menjadi sahabat-sahabat. Kalau sebaliknya, hemm... biar diserahkan kepadaku!" Ucapan Ma Chiang yang memandang tubuh Siang Hwi dengan mata penuh nafsu itu membuat Liu Kong diam-diam marah sekali. Akan tetapi ia tidak berani menyatakan kemarahannya, hanya membantah.

   "Sudah ada saya yang menanggung mereka, apakah masih belum cukup?"

   Tiba-tiba Lu Mo Kok melangkah maju dan membentak,

   "Orang muda she Liu! Baru saja menyatakan hendak melanjutkan perjuangan Ayahmu, akan tetapi belum apa-apa sudah berani membantah kami! apa yang dikatakan kedua rekanku ini tepat sekali. Bu Keng Liong dan puterinya menjadi tawanan dan harus ikut bersama ke Kota Raja. Biarlah ditentukan oleh penguasa yang berhak memutuskan. Kalau memang dianggap tidak bersalah, besok pun akan dibebaskan karena atasan kami menanti tidak jauh dari sini."

   Lu Mo Kok memberi isarat kepada perwira dan beberapa orang perajurit lalu membelenggu kedua tangan Bu Keng Liong ke belakang. Juga kedua tangan Siang Hwi dibelenggu, barulah dia dibebaskan daripada totokan. Sampai di sini Thio Sam, tukang kebun keluarga Bu itu bercerita. Dengan muka sedih ia lalu mengakhiri ceritanya.

   "Demikianlah Kwan Bu..., eh Siauw Hiap... Thai-ya dan Siocia diborgol dan digiring pergi oleh mereka itu. Liu Kongcu juga pergi bersama mereka dengan menundukkan muka. Kami semua sibuk menolong Hujin dan Kwee Kongcu, yang terluka masuk ke dalam rumah. Bu-Hujin menangis terus dan kami semua bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya saya pergi menyusul Siauw Hiap di sini."

   "Siapa yang menyuruhmu lopek? Apakah Bu Hujin?"

   "Bukan. Baik Bu-Hujin maupun Kwee Kongcu tidak menyebut-nyebut namamu, akan tetapi aku teringat bahwa dahulu kau dan Ibumu tinggal di kuil Kwan-im-bio. Maka aku lalu cepat menyusul dan untung dapat bertemu denganmu di sini."

   Kwan Bu mengangguk-angguk.

   "Tenangkan hatimu, lopek. Sekarang juga aku akan mengejar mereka dan berusaha menolong mereka"

   Thio Sam yang amat setia kepada majikannya itu girang sekali, cepat menghaturkan terima kasih sambil menjura. Akan tetapi ketika mengangkat mukanya, ternyata pemuda itu telah lenyap dari depannya! Hati Liu Kong bingung sekali. Tadinya ia merasa girang bahwa kini tiba saat dan kesempatan baginya untuk meningkatkan nama dan mencari kedudukan sesuai dengan keadaan dirinya sebagai putera Liu Ti yang menjadi orang kepercayaan Kaisar dalam usaha membasmi para pemberontak.

   Akan tetapi, kini melihat paman atau gurunya menjadi tawanan, terutama sekali Siang Hwi, hatinya gelisah dan bingung sekali. Lebih-lebih kalau melihat Siang Hwi, gadis yang di cintanya. Ia tahu bahwa Sam-Tho-Eng Ma Chiang si muka tikus tua Bangka itu tergila-gila dengan Siang Hwi dan kalau saja tidak ada dia di situ, tentu gadis itu akan diganggunya. Dan ia tidak dapat menjamin lagi bagaimana sikap kakek muka tikus itu kalau nanti ternyata bahwa gurunya dan Sumoinya dianggap bersalah oleh pendekar yang memutuskannya. Tentu akan celakalah Sumoinya di tangan Ma Chiang yang kelihatannya seperti seekor anjing yang kelaparan melihat segumpal daging segar. Dalam perjalanan menuju ke timur itu, Liu Kong yang tadinya bingung, mendapat akal, ia berjalan perlahan menjajari Ayah dan anak yang terbelenggu dan berjalan sambil menundukkan muka.

   "Siokhu (paman)...!"

   Bu Keng Liong yang merasa muak dan marah sekali terhadap keponakannya ini menoleh pun tidak.

   "Siokhu...,"

   Kembali Liu Kong berkata. Bu Keng Liong tidak menjawab, akan tetapi Siang Hwi yang kini menoleh, memandangnya dengan mata berapi dan menghardik.

   "Engkau mau apalagi mengganggu Ayah, orang pengecut dan khianat?"

   Kecut-kecut muka Liu Kong.

   "Siokhu, dan Sumoi, dengarlah baik-baik. Sungguh mati aku bukan seorang manusia penakut dan pengecut, apalagi hendak mengkhianati kalian. Siokhu tentu maklum bahwa aku tidak berdaya untuk menggunakan kekerasan, apa lagi mereka ini semua adalah rekan-rekan mendiang Ayah. Siokhu, saya mempunyai jalan baik untuk menolong kalian..?"

   Bu Keng Liong tidak menoleh berkata,

   "Aku tidak butuh pertolonganmu..?"

   Liu Kong merasa terpukul dan menggigil Bibirnya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan berbisik lagi.

   "Siokhu, tentu siokhu maklum akan perasaan hatiku terhadap Sumoi. Saya lihat bahwa keadaan Sumoi terancam bahaya mengerikan. Jalan satu-satunya, kalau siokhu ingin menolong puterimu, adalah menjodohkan Sumoi dengan saya... hanya dengan jalan inilah maka siokhu dan Sumoi dapat terlepas dari bahaya. Sebagai isteri saya dan Ayah mertua saya, tentu akan mendapat keringanan."

   "Tidak sudi...! Tidak sudi...! Tidak sudi...!"

   Siang Hwi menangis, menundukkan mukanya. Bu Keng Liong menghela napas panjang.

   "Kong-ji, aku tidak menyalahkan kau bahwa kau tidak dapat menolong kami dengan kekerasan karena memang kau bukan lawan mereka. Akan tetapi... ah, aku jauh lebih senang melihat kau menggeletak mati di sana tadi daripada melihatmu terbujuk dan kau mengikuti jejak Ayahmu...! Tentang perjodohan, dahulu mungkin sekali aku pertimbangkan, akan tetapi sekarang... tidak mungkin lagi. Biarlah kami berdua mati kalau memang tidak ada jalan lain."

   "Siokhu...!"

   "Sudah, aku tidak mau melayanimu lagi."

   Liu Kong mencoba membujuk terus, namun sia-sia. Bahkan kini Sam-Tho-Eng Ma Chiang yang menaruh curiga telah mendekati mereka dan menegur sambil tertawa.

   "Liu-Sicu, kalau mereka ini membandel, jangan ingat lagi tentang hubungan guru murid atau paman keponakan. Tampar saja, habis perkara. Dia ini adalah tawanan! Tapi jangan kau sakiti si manis ini, heh-heh disayang dong...!"

   Hati Liu Kong panas sekali, akan tetapi ia tidak berani menyatakan sesuatu dan dengan hati risau ia menjauhi Ayah dan anak itu. Menjelang senja, rombongan ini tiba di kota Siang-He-Koan dan langsung menuju ke kantor dan gedung pembesar setempat, di mana mereka disambut dengan hormat oleh para penjaga. Kiranya pembesar yang datang dari Kota Raja, yang menjadi atasan tiga orang busu itu, tingal di gedung tikoan ini. Pembesar itu adalah pengawal tinggi kehakiman dari Kota Raja yang mengepulai pemberantasan kaum anti Kaisar. Dialah yang menjatuhkan hukuman-hukuman setempat, bahkan menjalankan pelaksanaan hukum tanpa minta pertimbangan ke Kota Raja lagi. Dan dengan kekuasaannya yang tinggi ini, Ciam Tai-jin (Pembesar Ciam) tentu saja mempunyai pengaruh yang amat besar,

   Ditakuti semua pembesar setempat yang menyambutnya seperti menyambut Kaisar sendiri. Ketika Ciam-Taijin mendengar atas penangkapan Bu Keng Liong dan puterinya, juga mendengar bahwa putera Liu Ti yang kini sudah dewasa ikut dan bersedia membantu perjuangan menumpas kaum anti Kaisar, ia menjadi girang sekali. Segera pembesar yang pandai mengambil hati bawahannya ini mengadakan perjamuan untuk memberi selamat dan menyambut kedatangan Liu Kong. Ciam-Taijin menjamu tiga orang busu berikut Liu Kong di dalam taman rumah gedung tikoan, ditemani pula pembesar setempat itu yang amat menghormati tamu-tamunya. Tikoan ini seorang she Lai, gemuk pendek dan sikapnya terhadap atasan selalu merendah-rendah pandai menjilat, sebaliknya terhadap bawahan selalu menindas dan sewenang-wenang.

   Memang selalu imbangan watak seorang penjilat, terhadap orang yang lebih kuat atau lebih berkuasa, ia menjilat-jilat dan orang yang bersikap seperti ini, tentu selalu menindas bawahannya. Biasanya Lai-tikoan ini hidupnya seperti seorang raja, menjadi orang yang paling berkuasa dan apa saja yang ia lakukan selalu mesti benar dan baik. Apa saja yang ia butuhkan selalu tercapai dan dilayani para hambanya yang banyak jumlahnya. Dari bangun tidur, mandi, bertukar pakaian, makan, sampai malam tidur kembali selalu dilayani, bukan hanya pelayan-pelayannya, juga selir-selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi sekarang, dalam taman bunga itu, dia lah yang merendah diri menjadi pelayan. Untuk mengambil muka dan hati Ciam-Taijin, ia rela mengoper tugas seorang pelayan, melayani Ciam-Taijin menjamu tiga orang busu dan orang muda she Liu.

   Semua itu dilakukannya dengan gembira, dan biar pun ia sebagai tuan rumah dan menemani tamu-tamu agungnya makan minum, namun setiap kali ialah yang menyuguhkan arak, menghidangkan makanan dan lain-lain. Taman bunga itu cukup terang, karena selain tersinar cahaya bulan, juga diterangi lampu-lampu teng beraneka warna. Ciam-Taijin, Lai-tikoan, tiga orang busu dan Liu Kong duduk mengitari sebuah meja bundar yang besar dan hidangan-hidangan lezat dan panas mengepul silih berganti dikeluarkan oleh pelayan-pelayan wanita yang disambut oleh Lai-tikoan sendiri kemudian diatur di atas meja. Mereka akan minum sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Hanya Liu Kong seorang diam saja, karena hatinya memang merasa gelisah kalau teringat akan nasib pamannya dan Sumoinya.

   "Heh-heh-heh, Liu-Sicu mengapa kelihatan muram? Apakah tidak senang telah dapat menggantikan Ayahmu menjadi sahabat baik kami?"

   Ma Chiang yang sudah agak mabok ini tiba-tiba menegur. Semua mata memandang Liu Kong dan pemuda ini menjadi gugup.

   "Tidak... tidak sama sekali. Hanya saja merasa tidak enak kepada siokhu. Dia itu pamanku, juga guruku..?"

   "Liu-Sicu tidak usah khawatir."

   Kata Ciam-Taijin menghibur.

   "Kalau Bu Keng Liong besok mau mendengar bujukanku agar bekerja sama dengan kita, tentu dia bukan hanya akan dibebaskan, bahkan akan kuusahakan akan menjadi busu."

   (Lanjut ke Jilid 06)

   Dendam Si Anak Haram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06

   "Heh-heh-heh! Betul sekali apa yang dikatakan Ciam-Taijin. Dan puterinya itu, biarlah malam ini aku yang membujuknya. Ha-ha, mari minum untuk keselamatan Taijin yang bijaksana!"

   Si muka tikus Ma Chiang mengangkat cawan dan sambil tertawa-tawa mereka semua minum arak termasuk Liu Kong.

   "Ha, ha, mari kita minum secawan lagi untuk merayakan kemenangan kita atas keluarga pengkhianat sehingga dapat menawan Bu Keng Liong!"

   Kini Ciam-Taijin yang mengangkat cawan. Wajah Liu Kong menjadi berubah pucat dan semua mata ditujukan padanya. Pemuda ini maklum bahwa pembesar itu mencoba kesetiaan hatinya, maka dengan hati amat berat dan menekan perasaanya ia mengangkat cawannya pula, ditempelkan ke Bibir dan araknya sudah membasahi Bibir. Pada saat itu, menyambar sebuah sinar putih yang amat kecil dan,

   "Cringgg...!"

   Cawan yang menempel di Bibir Liu Kong itu pecah araknya tumpah dan berhamburan. Liu Kong terkejut dan meloncat bangun, demikian pula tiga orang busu dan Ciam-Taijin. Tikoan yang gemuk pendek itu sudah gemetaran tubuhnya saking kaget dan takut.

   "Liu Kong sungguh aku tidak mengira bahwa kau benar-benar seorang yang tidak ingat budi!"

   Suara ini disusul munculnya Kwan Bu yang berpakaian putih sederhana. Yang memecahkan cawan di tangan Liu Kong tadi adalah sebatang jarumnya.

   Dengan mahir pemuda ini main senjata rahasia jarum yang dahulu dilatihnya setiap saat sampai berhasil sehingga sebatang jarum saja mampu membuat pecah cawan arak di tangan Liu Kong tanpa melukai jari tangan pemuda yang meminumnya! Semua mata kini menengok dan memandang pemuda yang memasuki taman dengan langkah yang tenang. Diam-diam para busu terheran-heran bagaimana pemuda itu dapat masuk begitu enak dan tenangnya, seolah-olah taman itu adalah tempat tinggalnya sendiri dan tidak terjaga oleh banyak pengawal di sebelah luar! Kwan Bu maklum akan ketegangan yang mencekam hati enam orang yang kini berdiri di belakang meja menghadapinya itu. Akan tetapi ia tidak perduli melihat tiga orang busu itu meraba gagang senjata, sebaliknya dengan sikap tenang ia menghadap Ciam-Taijin dan menjura dengan sikap hormat.

   "Saya bernama Kwan Bu dan harap banyak maaf dari Taijin kalau kedatangan saya yang tidak diundang ini mengganggu."

   Kalau tadinya wajah Ciam-Taijin membayangkan kemarahan, kini berangsur-angsur hilang terganti oleh pandang mata yang tajam menyelidik disertai kekaguman. Ada sesuatu dalam diri pemuda ini yang mengagumkannya. Masih muda, tampan dan gagah. Memasuki taman yang penuh busu dan perajurit secara begini tenang. Keberanian yang amat luar biasa, dan sebagai pembesar yang berusaha membasmi kaum pemberontak yang banyak mempunyai orang-orang pandai, ia tentu saja bermata tajam dan suka akan orang-orang yang sekiranya dapat ia andalkan untuk jadi pembantunya.

   "Eh, orang muda yang gagah dan lancang. Bagaimana kau berani datang ke sini tanpa di perintah dan apa kehendakmu?"

   "Taijin, kedatangan saya ini adalah karena saya menghormati Taijin sebagai seorang hakim dari Kota Raja yang tentu saja memegang tinggi kebenaran dan keadilan, maka saya sengaja datang menghadap untuk mohon pengadilan paduka?"

   "Hemm, ada urusan apakah yang mengganggumu sehingga malam-malam kau berani mengganggu kami yang sedang makan minum di sini?"

   "Bukan lain ada hubungannya tentang penangkapan atas diri keluarga Bu di Kiancu, Taijin. Bu Keng Liong semenjak dahulu terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa sehingga di dunia kang-ouw dikenal dengan sebutan Bu Taihiap (Pendekar Besar Bu). Dunia belum pernah mendengar bahwa Bu Taihiap suka mencampuri urusan poilitik, tidak pernah menentang kerajaan, juga tidak menentang mereka yang anti Kaisar. Berpegang teguh kepada sifat seorang pendekar sejati. Kalau sekarang paduka menangkapnya dengan tuduhan ia memberontak, sungguh-sungguh hal ini akan membikin penasaran hati seluruh orang gagah di dunia kang-ouw."

   Sampai di sini, Ciam Taijin mendegarkan dengan hati tertarik. Akan tetapi tiba-tiba Liu Kong membentak,

   "Engkau bujang rendah, engkau anak haram! Siapa suruh engkau mencampuri urusan ini? Di mana-mana engkau mencari muka. Sungguh menjemukan!"

   Melihat Liu Kong menuding-nuding pemuda gagah itu dan memakinya bujang dan anak haram, Ciam Taijin dan tiga orang busu menjadi terheran-heran. Lai-tikoan yang kini sudah timbul kembali keberaniannya, buru-buru menenggak arak untuk menindas debaran jantungnya. Kwan Bu tersenyum ketika memandang Liu Kong, akan tetapi pandang matanya berkilat.

   "Liu Kong, aku memang bekas pelayan keluarga Bu, dan mungkin benar pula bahwa aku seorang anak yang tak berayah. Akan tetapi itu semua belum lah menjadi ukuran bahwa aku adalah seorang manusia rendah diri dan tidak kenal budi seperti engkau! Bu-Taihiap adalah gurumu sendiri, juga pamanmu, namun engkau tega membiarkan dia dan puterinya tertangkap, malah engkau minum arak untuk merayakan kehancuran keluarga Bu. Tak kusangka bahwa untuk mengejar cita-cita, karena besarnya nafsumu mengejar kedudukan engkau menjadi buta dan kejam!"

   Liu Kong hendak melompat dan menerjang Kwan Bu, akan tetapi Ciam-Taijin mencegahnya dengan kata-kata halus namun penuh mengandung pengaruh dan wibawa,

   "Liu-Sicu, mundurlah. Dia datang untuk menghadap kepadaku, jangan engkau mengeruhkan suasana."

   Liu Kong menghentikan gerakannya dan terpaksa melangkah mundur. Ia harus membiasakan diri untuk mentaati semua kehendak dan perintah atasan kalau ia ingin berhasil dalam cita-citanya. Melihat ini, Kwan Bu tersenyum mengejek.

   "Eh, Bhe Kwan Bu, setelah ucapanmu yang membela Bu Keng Liong tadi, kini apakah kehendakmu datang ke sini?"

   Ciam Taijin menghadapi Kwan Bu dan bertanya, matanya memandang penuh perhatian. Sikap, kegagahan, dan keberanian pemuda ini amat menarik hatinya, ia sangsi apakah bocah ini memiliki kepandaian yang berarti, sungguh pun terbukti ia dapat masuk taman itu tanpa diketahui para penjaga.

   "Taijin, hamba percaya akan keadilan paduka membebaskan Bu Keng Liong dan puterinya, Bu Siang Hwi. Dengan memberi kebebasan kepada Ayah dan anak itu, maka seluruh dunia kang-ouw akan makin kagum pada paduka dan akan menganggap paduka sebagai pembesar yang benar-benar adil dan awas, tidak menghukum orang-orang yang tidak berdosa."

   Sam-Tho-Eng Ma Chiang yang tergila-gila pada Siang Hwi, tentu saja menjadi khawatir kalau-kalau atasannya itu akan terbujuk dan benar-benar membebaskan gadis yang denok itu. Ia tahu akan watak Ciam Taijin yang suka akan orang-orang gagah, maka ia cepat-cepat menghardik.

   "Eh, bocah yang masih ingusan! Engkau benar-benar sudah bosan hidup, ya? Kau anggap siapakah engkau ini, berani sekali menjual lagak di depan kami? siapa namamu tadi? Bhe Kwan Bu, bekas pelayan keluarga Bu dan... bocah haram pula? Apa kau tidak tahu siapa aku? Hayo lekas minggat dari sini. Sebelum dengan sekali pukul kepalamu akan kuhancurkan!"

   Kwan Bu tersenyum dengan tenang.

   "Engkau seorang busu kerajaan, hal itu mudah saja dikenal. Kalau semua busu kerajaan seperti ini sikapnya, tidaklah aneh bahwa nama kerajaan menjadi makin suram. Busu termasuk seorang perajurit, betapa pun tinggi pangkatnya. Dan kewajiban seorang perajurit adalah membela Negara dan melindungi rakyat, terutama melindungi rakyat. Apa artinya kerajaan tanpa rakyat? Akan tetapi engkau malah memperlihatkan sikap galak dan sewenang-wenang bagaimana rakyat dapat menyukai perajurit macam ini?"

   Sam-Tho-Eng Ma Chiang marah dan tubuhnya sudah bergerak hendak menyerang, akan tetapi kembali terdengar suara Ciam Taijin.

   "Ma-Busu, jangan terburu nafsu. Mundurlah!"

   Dan seperti Liu Kong tadi, Ma Chiang menahan diri dan mundur, hanya matanya yang melotot ke arah Kwan Bu. Ciam Taijin tertarik sekali mendengarkan kata-kata pemuda itu. Sungguh merupakan ucapan yang sangat berani, akan tetapi tak dapat disangkal kebenarannya. Ia sendiri sudah merasakan dan mengerti apa yang menyebabkan pemberontakan-pemberontakan yaitu karena rakyat merasa tidak puas dengan tingkah laku para petugas negara, terutama sekali para perajuritnya yang selalu menonjolkan kekuasaan dan kekuatan, bukan untuk melindungi rakyat bahkan menindas dengan perbuatan sewenang-wenang.

   "Orang muda she Bhe. Engkau terlalu berani. Agaknya engkau mempunyai andalan sehingga engkau seberani ini. Bu Keng Liong kami tangkap karena ia telah berani bersekutu dengan orang-orang anti Kaisar, bahkan ia berani pula untuk melawan aturan Kaisar ketika para busu datang ke rumahnya. Bagaimana engkau dapat yakin bahwa dia bukan mengandung hati memberontak terhadap kerajaan?"

   "Hamba yakin, Taijin. Hamba yakin bahwa Bu Taihiap sama sekali bukan sekutu para tokoh anti Kaisar, bahkan hamba sendiri menjadi saksi betapa ketika merayakan hari she-jitnya, Bu Taihiap sekeluarganya hampir bertanding mati-matian, mempertaruhkan nyawa untuk membela dan melindungi... manusia tidak kenal budi Liu Kong ini. Memang harus hamba akui bahwa Bu Taihiap orangnya keras hati dan tidak mengenal takut, karena itu mungkin saja kalau ia bentrok dengan utusan paduka, apalagi kalau busu yang galak dan sewenang-wenang!"

   Sampai di sini Kwan Bu, melirik ke arah Sam-Tho-Eng Ma Chiang yang makin melotot marah,

   "Sekali lagi hamba mohon paduka sukalah membebaskan Bu Taihiap dan puterinya. Bu Siang Hwi. Di samping kenyataan bahwa dia tidak berdosa dan bahwa hukuman atasnya berarti sewenang-wenang dan akan membikin kaget dan marah dunia kang-ouw, juga harap paduka ketahui bahwa Bu Taihiap adalah seorang tokoh Bu-Tong-Pai. Kalau saja Bu-Tong-Pai menjadi sakit hati dan mendendam karena ini, bukankah berarti merugikan kerajaan dan menambah musuh yang tak boleh dipandang ringan?"

   Tiba-tiba Kim I Lohan berkata,

   "Omitohud... kalau Bu-Tong-Pai berpihak kepada musuh, pinceng tidak takut menghadapinya!"

   Hwesio ini adalah seorang tokoh dari Siauw-Lim-Pai yang telah "Menyeberang"

   Dan menghambakan diri kepada Kaisar, dan memang antara golongannya dan golongan Bu-Tong-Pai tak pernah ada kecocokan. Namun pandangan Ciam Taijin berbeda. Pembesar yang cerdik ini dapat mengerti kebenaran yang terkandung dalam ucapan Kwan Bu.

   "Lo-Suhu, dalam hal ini tidak ada hal takut atau tidak takut. Akan tetapi dalam ucapan pemuda ini ada benarnya."

   "He, Bhe Kwan Bu, ucapanmu menarik hatiku dan agaknya cukup patut untuk direnungkan. Akan tetapi ketahuilah Bu Keng Liong tertawan setelah terjadi pertandingan antara dia dan para busu, pembantuku. Karena ia ditawan dan dikalahkan dengan kepandaian, maka untuk membebaskannya, harus ditempuh jalan yang sama. Kalau kau memiliki andalan dan mengalahkan kepandaian para busu yang menawannya, barulah aku tidak akan kehilangan muka kalau menuruti permintaanmu. Beranikah engkau mencoba kepandaian para busu kami?"

   Kwan Bu menjura,

   "Hamba datang dengan tekad untuk menolong bekas majikan hamba yang tidak berdosa. Kalau memang syarat yang paduka ajukan seperti itu, tentu saja hamba tidak akan menolak."

   "Bagus! Taijin, serahkan bocah sombong ini kepada hamba!"

   Kata Sam-Tho-Eng Ma Chiang yang sejak tadi sudah marah dan benci kepada Kwan Bu sambil meloncat maju. Ciam Taijin tersenyum, lalu melangkah mundur ke bawah pohon dalam taman untuk menonton pertandingan dan memberi tempat yang luas, kemudian ia mengangguk.

   "Engkau boleh mengujinya, Ma-Busu."

   Lai-tikoan dengan jantung berdebar ikut mundur bersama Ciam Taijin, juga Liu Kong yang memandang dengan penuh kebencian kepada Kwan Bu, mundur pula.

   Dua orang busu lain menonton dan penuh perhatian. Pemuda yang berani bersikap seperti itu tentulah memiliki kepandaian yang berarti, sungguh pun sebagai bekas bujang keluarga Bu, mereka memandang rendah dan menyangsikan apakah pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang melebihi kepandaian murid-murid Bu Taihiap. Dengan muka menyeringai dan hati girang Ma Chiang menghampiri Kwan Bu, sikapnya mengancam. Ia bertolak pinggang, mukanya yang seperti tikus itu nampak lebih runcing ke depan, dada yang tipis itu dibusungkan sehingga kelihatan seperti batang bambu bengkong, kumisnya yang jarang dan dapat dihitung jumlahnya itu bergerak-gerak seperti tikus makan tulang ketika ia mengejek.

   "Heh, bocah ingusan yang sombong melewati takaran! Engkau ini hanyalah seorang bujang rendah, malah seorang anak haram yang hina, berani sekali kau berlagak di depanku. Tahukah siapa aku? Sam-Tho-Eng Ma Chiang kau tahu. Kalau tidak melihat sikapmu yang terlalu amat sangat kurang ajar, aku Sam-Tho-Eng Ma Chiang merasa malu sekali kalau harus melawan bocah ingusan macam engkau. Hayo katakan siapa gurumu yang begitu tidak becus mengajar adat kepadamu, heh?"

   Kwan Bu memandang sejenak, kemudian tersenyum.

   "Ah, kiranya Sam-Tho-Eng Ma Chiang, busu yang amat terkenal dari Kota Raja. Tadinya kusangka bahwa seorang busu berkedudukan tinggi tentu seorang yang tahu akan peraturan dan sopan santun, siapa sangka engkau begini sombong memandang rendah orang lain. lni adalah salahnya julukanmu itulah dan ku usulkan agar engkau mengganti julukanmu itu. Ma-Busu."

   "Hahh? Apa maksudmu, setan cilik?"

   "Julukanmu itu Garuda Kepala Tiga. Nah, di mana di dunia ini ada garuda yang berkepala tiga, maka engkau menjadi puyeng terlalu banyak otak malah menjadi tidak genah, dan tiga buah kepala itu terlalu berat juga membuat kau sombong setengah mati. Lebih baik kau ganti julukanmu itu dengan Garuda Berkepala Angin!"

   "Keparat kau bocah lancang mulut. Mampuslah!"

   Serangan Sam-Tho-Eng Ma Chiang hebat sekali. Ketika tangan menyambar ke arah kepala Kwan Bu, terdengar angin yang berdesir, tanda bahwa lweekangnya sudah kuat sekali. Dan pukulan tangan kiri itu sesungguhnya hanya pancingan karena yang benar-benar bekerja adalah jari-jari tangan kanannya yang mencengkeram ke arah perut Kwan Bu! Ternyata si muka tikus ini tidak mendapatkan julukannya dengan percuma karena memang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kwan Bu mundur dengan tenang untuk menghindarkan diri. Ia hanya melangkah mundur setindak sambil mendoyongkan tubuh ke belakang, lalu cepat kedua tangannya bergerak, yang kiri menyambut tangan kanan lawan dengan totokan dekat siku, yang kanan menyambut hantaman tangan lawan dengan pukulan tangan miring ke arah pergelangan!

   "Heeiiittt!"

   Si muka tikus tentu saja tidak mau ditotok lengannya atau dipatahkan pergelangannya, dan diam-diam ia terkejut melihat cara pemuda itu menghadapi serangan balasan yang otomatis ini. Ma chiang melakukan gerakan melingkar dan dari samping kiri ia menubruk, kini sambil mengerahkan seluruh tenaga dan membentak keras,

   Kedua tangannya membuat gerakan seperti cakar, mencengkeram ke arah pundak dan dada. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tangannya melingkar dan amat kuat, seluruh jari tangan sudah berobah merah! Melihat ini, maklumlah Kwan Bu bahwa lawannya memiliki keistimewaan ilmu cengkeram cakar garuda dan bahwa jari-jari tangan itu sudah digembleng secara hebat sehingga amat kuat, sama dengan baja. Akan tetapi ia sudah tahu bagaiman caranya menghadapi lawan seperti ini, maka iapun dapat miringkan tubuh untuk mencari posisi, dan saat kedua tangan lawan menyambar dibarengi angin bersiut dan bau yang amis, ia cepat menggerakkan kedua tangan dari samping, dengan tangan miring ia menghantam ke arah kedua tangan lawan dengan pengerahan ginkang yang disalurkan pada ujung-ujung jarinya.

   "Prattt...!"

   Dua puluh jari tangan saling bertemu dan hebatnya... si muka tikus itu meloncat mundur dan meringis kesakitan. Matanya yang kecil itu dipincingkan, mulutnya menyeringai, tertawa bukan menangis pun tidak, Bibirnya bergerak-gerak dan kumis jarang itu bergerak-gerak pula. Terdengar tenggorokannya keluar suara,

   "Aa-ad... ad... add...!"

   Agaknya saking sakit rasa kedua tangannya sampai kiut miut rasanya menusuk jantung, ia ingin sekali berteriak-teriak dan mengaduh-aduh, akan tetapi karena malu, ia menahannya.

   Pertemuan tangan tadi benar-benar terasa hebat baginya, seolah-olah bekas pukulan lawan pada tangannya itu merupakan jarum-jarum yang menusuk-nusuk menembus ulu hati! Rasa nyeri bercampur malu membuat Sam-Tho-Eng Ma Chiang marah sekali. Hidungnya yang kecil akan tetapi yang lubangnya besar-besar itu berkembang-kempis tampak bulu hidungnya tersembul keluar dan bergerak-gerak pula, matanya dipelototkan mengeluarkan sinar berapi, mulutnya mendengus-denguskan hawa panas. Kedua tangannya bergerak dan... kini sarung tangan Eng-Jiauw-Kang (Cakaran Garuda) telah ia pakai di kedua tangannya. Jarang sekali Ma Chiang memakai senjata ini kalau tidak menghadapi pekerjaan penting atau lawan tangguh. Senjatanya ini terbuat dari baja itu selain kuat dan runcing, juga telah di rendam racun segala macam ular dan kalajengking yang ampuh!

   "Bocah setan, kau mencari mampus sendiri...!"

   
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengusnya sambil membenarkan sarung tangannya karena ketika mengenakan sarung tangan, kedua tangannya masih terasa nyeri berdenyut-denyut agak gemetar. Lagak dan sikap Ma Chiang kelihatan lucu dalam pandangan Kwan Bu sehingga tanpa disengaja ia menjadi geli dan tersenyum lebar.

   "Ah, kiranya inilah keampuhanmu sehingga engkau berjuluk Garuda Kepala Tiga? Ma-Busu, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, belum menetes setitik darahmu, kau sudah mengeluarkan senjatamu. Gagah benar..!"

   "Cerewet...!"

   Ma Chiang tidak kuasa menahan kemarahannya karena dalam keadaan seperti itu. Maka ia lalu menubruk maju, menggunakan kedua tangan bertubi-tubi melakukan serangan dengan cengkeraman mematikan.

   Kwan Bu cepat mengelak. Biar pun ia maklum bahwa tingkat kepandaian si muka tikus ini sudah amat tinggi, namun ia tidak gentar, dan ia yakin dapat mengatasinya. Orang ini terlalu sombong, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, terutama sekali terlalu percaya akan sepasang sarung tangannya sehingga kesombongan dan ketinggian hati ini membuatnya sembrono. Kwan Bu menggunakan ginkang, tubuhnya berkelebat menjauhi serangan lawan yang bertubi-tubi. Karena pemuda ini sengaja menarik muka ketakutan, Ma Chiang makin besar hatinya, menganggap bahwa lawannya yang muda itu tentu gentar menghadapi sepasang senjatanya yang ampuh. Siapa orangnya tidak gentar, pikirnya dengan kepala membesar bangga, karena senjatanya ini jangankan sampai merobek daging mematahkan tulang, baru menggores kulit saja cukup untuk membunuh lawan!

   "Ha-ha-ha, bocah kemarin sore. Kau hendak lari kemana sekarang?"

   Ma Chiang mengejek dan mendesak terus. Semua orang melihat pertandingan ini tersenyum, termasuk Liu Kong.

   "Nah, bocah haram, kau rasakan sekarang,"

   Pikirnya.

   "Baru sekarang kau bertemu tanding dan kau takkan mampu bersombong lagi!"

   Kwan Bu maklum bahwa lawannya makin congkak dan makin sembrono. Ia datang dengan maksud membebaskan Bu Keng Liong dan Bu Siang Hwi secara damai. Ia tidak mau menggunakan kekerasan merampas tawanan, karena selain hal ini amat sukar melawan ketatnya penjagaan, juga ia tidak ingin bermusuhan dengan petugas-petugas kerajaan. Maka, mengingat pula bahwa Ciam Taijin hanya ingin menguji kepandaiannya, tidak perduli akan nafsu si muka tikus yang hendak membunuhnya, Kwan Bu tidak ingin membunuh lawannya. Kini ia melihat kesempatan baik setelah lawannya makin sombong. Ia sengaja berlaku lambat sehingga hampir saja sebuah cengkeraman mengenai pundaknya. Ia mengelak dengan cara membanting tubuh ke kiri, akan tetapi sengaja ia membikin kakinya terpeleset dan tubuhnya terguling!

   "Ha-ha, mampuslah...!"

   Si muka tikus girang sekali dan menubruk tanpa perhitungan lagi. Memang, kalau tubuh Kwan Bu benar-benar terpeleset roboh, tentu tubrukannya sambil mencengkeram ini takkan terelakkan. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa roboh dan terpelesetnya Kwan Bu adalah buatan, sehingga tentu saja robohnya itu dalam posisi yang sudah diperhitungkan masak-masak. Begitu Ma Chiang menubruk, tiba-tiba Kwan Bu mengirim tendangan dengan tubuh masih rebah miring. Sebuah tendangan yang semestinya ditujukan ke bawah pusar dan sekaligus menewaskan lawan. Akan tetapi Kwan Bu hanya mengirim tendangannya ke arah kaki Sam-Tho-Eng Ma Chiang.

   "Pletukkk...!!"

   Ma Chiang si Garuda Berkepala Tiga itu tiba-tiba mengangkat kaki kirinya yang tertendang menekuk lutut kaki itu dan memegang kaki dengan kedua tangan sedangkan kaki kanan berjingkrak-jingkrakan berputaran dan mulutya mendesis-desis seolah-olah seperti orang makan rujak yang terlalu banyak cabe rawitnya. Hanya mereka yang sudah pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang kaki keringlah yang akan dapat merasakan bagaimana nyeri, cekot-cekot, senat senut, dan kiut miut rasanya kaki kiri Sam-Tho-Eng Ma Chiang pada saat itu. Tulang keringnya tidak patah, akan tetapi justeru inilah yang membuat rasa nyeri setengah mati. Patah tidak, utuh pun tidak, rasanya seperti tulang kering itu digerogoti ribuan ekor semut api.

   "Kau curang... addduududuuuhh... kau curang...!"

   Si muka tikus yang makin berjingkrakan itu mengaduh-ngaduh dan memaki-maki.

   "Omitohud... orang muda yang lihai!"

   Tiba-tiba Kim I Lohan melangkah maju setelah mendapat isarat mata dari Ciam Taijin. Tangan Hwesio ini memegang sebuah cawan terisi arak setengah penuh dan wajahnya berseri ketika ia menghampiri Kwan Bu yang masih berdiri tenang.

   "Orang muda She Bhe yang gagah, pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh jarang ditemukan. Dengan kepandaianmu, Ciam Taijin menganggap kau patut menjadi seorang tamu, maka telah menyuruh pinceng (aku) menyambut dengan penghormatan secawan arak. Silakan menerima arak dan meminumnya!"

   Sambil berkata demikian, Hwesio itu menyodorkan cawan arak itu dan... ternyata arak dalam cawan itu kini mendidih dan bergerak-gerak sampai ke Bibir cawan.

   Melihat ini, Kwan Bu tersenyum dan maklum bahwa Hwesio Siauw-Lim-Pai ini sengaja mengujinya dengan pengerahan hawa lwekang yang amat tinggi, iapun cepat menahan napas mengumpulkan semua ginkang di tubuhnya, disalurkan ke lengan kanannya dan ketika menerima cawan arak, hawa dingin yang luar biasa tersalur melalui jari-jari tangan, menyelimuti cawan arak. Setelah menerima arak dan mengerahkan ginkang, ia lalu mengangkat cawan ke arah atas kepalanya, menuangkan cawan itu dan... arak di dalam cawan tidak dapat tumpah karena arak itu telah membeku! Kwan Bu, tertawa, lalu menyodorkan cawan kembali kepada Kim I Lohan sambil berkata,

   "Maaf, Lo-Suhu. Arak suguhanmu terlalu dingin sampai membeku dan tak dapat diminum. Lagi pula, kedatanganku bukan untuk bertamu dan makan minum, melainkan untuk mohon keadilan dan kebijaksanaan Taijin."

   "Omitohud... kau hebat, Sicu!"

   Kim I Lohan menerima cawan itu dan mengundurkan diri.

   "Wirrrr...!"

   Angin yang dingin tajam menyambar dari samping, Kwan Bu terkejut dan menengok. Gin-San-Kwi Lu Mo Kok kini sudah berdiri di situ menggantikan Kim I Lohan. Kipasnya mengebut dari samping dan angin kebutan itu amatlah kuatnya. Tahulah Kwan Bu bahwa kakek bongkok ini memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada dua orang busu yang lain tadi, maka ia bersikap hati-hati.

   "Bhe Kwan Bu, aku merobohkan Bu Keng Liong dengan kipasku ini, untuk merampasnya kembali, kau kalahkan kipasku ini!"

   Ucapannya belum habis akan tetapi kipas perak itu telah menyambar ke depan dan dalam segebrakan sudah mengirim serangan totokan ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian depan tubuh! Berturut-turut, dengan gerakan otmatis yang indah dan cepat sekali, Kwan Bu mengelak. Ketika ia berusaha membalas dengan pukulan kilat ke arah lambung kakek bongkok itu, Gin-San-Kwi Lu Mo Kok sama sekali tidak menangkis, melainkan menggerakkan kipasnya menyambut pukulannya dengan totokan ke pergelangan tangannya yang memukul. Ia kaget dan kagum, terpaksa menarik kembali lengannya dan kembali ia harus mengelak ke sana ke mari. Tiba-tiba saat itu terjadi keributan di sebelah dalam gedung tikoan. Suara hiruk pikuk orang-orang berteriak-teriak dan suara senjata tajam beradu.

   "Penjahat menyerbu...!"

   "Jaga tempat tahanan...!"

   "Kaum pemberontak...!"

   Teriakan-teriakan ini cukup menyadarkan tiga orang busu itu bahwa yang menyerbu adalah kaum anti Kaisar dan maksud mereka adalah untuk menolong dua orang tawanan Bu Keng Liong dan puterinya. Adapun Ciam Taijin dan Lai-tikoan mendengar bahwa ada "Kaum pemberontak"

   Menyerbu, menjadi terkejut sekali dan buru-buru kedua orang pembesar ini menyelinap dan menghilang ke tempat persembunyian. Lu Mo Kok marah sekali,

   "Bocah keparat! Kiranya engkau anggota pemberontak yang sengaja memancing, sedangkan kawan-kawan menyerbu tempat tahanan. Mampuslah!"

   Kakek bongkok itu menerjang dengan ganasnya, bahkan kini Kim I Lohan juga sudah menggerakkan tongkatnya yang berat. Angin pukulan tongkatnya menyambar ganas, membuat Kwan Bu terpaksa harus melompat tinggi karena kedua kakinya terancam.

   "Harap jiwi tenang dan bikin mampus bocah ini, biarlah siawte yang mempertahankan orang-orang tawanan!"

   Teriak Sam-Tho-Eng Ma Chiang yang sudah sembuh tulang kering kakinya. Tanpa menanti jawaban dari dua orang temannya itu,

   Ma Chiang melompat dan berlari cepat ke arah gedung tikoan di mana masih terdengar kegaduhan orang-orang bertempur. Peristiwa ini mengejutkan hati Kwan Bu. Sungguh di luar dugaannya akan terjadi perubahan seperti itu. Kaum anti Kaisar menyerbu? Ia sama sekali tidak tahu, apalagi bersekutu dengan mereka. Akan tetapi ia tahu bahwa membantah pun tidak akan ada gunanya karena dua orang busu yang mengeroyoknya dan tentu tidak percaya. Dari sudut matanya ia melihat betapa Liu Kong juga pergi dari tempat itu menyusul Sm-tho-eng Ma Chiang. Hatinya menjadi tidak enak. Apalagi, serangan tongkat kepala ular emas di tangan Kim I Lohan dan kipas perak di tangan Lu Mo Kok benar-benar tidak boleh dibuat permainan sama sekali. Dua orang ini lihai sekali dan serangan-serangan mereka merupakan cengkeraman-cengkeraman maut yang berbahaya.

   "Singggg..."

   Sinar merah darah berkelebat menyilaukan mata ketika Kwan Bu melolos Toat-Beng-Kiam dari pinggangnya. Karena hatinya ingin sekali menolong bekas majikannya dan keadaannya kini telah berubah, tidak mungkin lagi menolong dengan cara halus, terpaksa ia hendak menggunakan kekerasan.

   Setelah kini terdapat kaum anti Kaisar menyerbu, agaknya terbuka kesempatan baginya untuk menyelamatkan Bu Keng Liong, kalau perlu dengan kekerasan. Cepat ia menggerakan Toat-Beng-Kiam sambil mengerahkan tenaga. Sinar pedang merah darah itu bagaikan seekor naga merah bermain di angkasa, bergulung-gulung melibat tubuh kedua orang lawannya. Hebat bukan main ilmu pedang yang dimainkan Kwan Bu. Memang di antara murid-murid Pat-Jiu Lo-Koai, pemuda inilah yang paling baik bakatnya, dan karena inilah pula ditambah wataknya yang baik maka Pat-Jiu Lo-Koai menyerahkan Toat-Beng-Kiam, pedang pusaka keramat itu, kepada muridnya ini. Silau mata kedua busu itu. Mereka berusaha menggunakan kipas dan tongkat untuk melindungi tubuh dan balas menyerang, namun berkelebatnya pedang merah darah luar biasa cepatnya, sukar diikuti pandang mata.

   "Cringgg... Tranggg...!"

   Gin-San-Kwi Lu Mo Kok dan Kim I Lohan mencelat mundur dengan muka pucat. Si kipas perak memandang kipasnya yang robek di dua tempat, sedangkan Hwesio itu memandang tongkatnya yang telah buntung. Sementara itu, tubuh Kwan Bu berkelebat lenyap, hanya tampak bayangan sinar pedang merah yang berada di tangannya. Dua orang busu itu menghela napas panjang. Belum pernah selama hidup mereka yang berkelana di dunia kang-ouw dan membuat nama besar, mereka bertemu dengan seorang pemuda remaja yang memiliki kepandaian sehebat itu.

   Mereka sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, tadi pedang merah darah yang luar biasa itu tentu sudah merobohkan dan menewaskan mereka berdua. Mereka segera lari dari tempat itu untuk membantu para pengawal menghadapi serbuan para kaum pemberontak. Ketika melompat ke atas genteng gedung tikoan, di dalam kegelapan malam yang tersinar cahaya bulan remang-remang, Kwan Bu melihat bayangan-bayangan berkelebatan cepat keluar dari gedung. Ia mengenal bayangan Koai-Kiam-Tojin Ya Keng Cu, Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu, Ban-Eng-Kiam Yo Ciat dan belasan orang lain yang rata-rata memiliki gerakkan cepat dan ringan. Dan hatinya lega ketika melihat Bu Keng Liong bersama mereka. Bu Keng Liong melihat pula berkelebatnya Kwan Bu, maka ia cepat berkata.

   "Kwan Bu... kau... pergi tolong Siang Hwi...!"

   Ternyata pihak pegawal yang jumlahnya banyak sekali, lebih lima puluh orang, merupakan lawan yang terlalu berat bagi para penyerbu ini, maka setelah berhasil membebaskan Bu Keng Liong, mereka membujuk Bu Taihiap untuk pergi tanpa berhasil membebaskan Siang Hwi yang dikurung dalam tempat tahanan terpisah.

   Kwan Bu menyelinap dan melompat turun ke ruangan belakang. Ia melihat betapa para pengawal melakukan pengejaran dan di sana-sini terdapat tubuh orang-orang terluka tewas yang malang melintang. Tadi ia melihat rombongan penyerbu hanya membawa tiga orang terluka, maka kini melihat belasan orang pengawal luka atau tewas, diam-diam ia kagum akan keberanian dan kelihaian para kaum anti Kaisar itu. Ketika ia melayang turun, ia melihat seorang terhuyung-huyung. Ia cepat menghampiri dan ternyata orang itu adalah Liu Kong! Pemuda ini berdarah bajunya, teluka pundak dan pangkal lengan, mukanya pucat. Kwan Bu gemas melihat pemuda ini, dan ia tidak tahu pemuda ini terluka oleh pihak penyerbu ataukah pihak pengawal. Namun ia tidak perduli, hanya cepat bertanya.

   "Liu Kong, lekas katakan dimana adanya nona Siang Hwi! Ayahnya minta supaya aku menyelamatkannya!"

   Ketika melihat Kwan Bu muncul tiba-tiba, Liu Kong terkejut. Ia masih tidak suka terhadap Kwan Bu, akan tetapi ia maklum bahwa kiranya hanya pemuda anak haram yang dibencinya inilah yang akan dapat menolong Siang Hwi. Ia menuding ke arah selatan dan berkata suaranya lemah,

   "Sumoi, dilarikan Ma Chiang ke sana, aku berusaha menghalangi akan tetapi... tak berhasil... malahan terluka..."

   Kwan Bu tidak menanti lebih lama lagi, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari depan Liu Kong. Pemuda ini menarik napas panjang dan merasa kecewa serta menyesal mengapa ia tidak bisa mendapat guru pandai sehingga tidak memiliki kepandaian selihai Kwan Bu.

   "Lepaskan aku...! Lepaskaaannn...!"

   Jerit ini melengking keluar dari mulut Siang Hwi. Tubuhnya lemas tak mampu meronta karena ia telah ditotok, dan hanya matanya saja yang terbelalak lebar dan mulutnya menjerit-jerit ketika ia diikat pada tiang rumah itu dan sambil tertawa menyeringai Sam-Tho-Eng Ma Chiang merenggut robek bajunya sehingga tampak baju dalamnya yang tipis. Laki-laki cebol muka hitam pemilik rumah itu berdiri di dekat Ma Chiang sambil memandang dengan mata penuh gairah pula.

   "Heh-heh, nona manis. Masih jugakah engkau berkeras kepala tidak mau menuruti kehendakku? Ingatlah, engkau akan kujadikan isteriku, isteri seorang busu dan hidup seperti puteri di Istana Kaisar! Ayahmupun akan diampuni dan diberi kedudukan! Akan tetapi, kalau engkau tidak suka dan tetap menolak, engkau akan menderita siksaan dari sekarang, mati sekerat demi sekerat dalam keadaan mengerikan!"

   "Tidak sudi! Kau muka tikus menjemukan, lebih baik kau bunuh aku!"

   Teriak Siang Hwi dengan pandang mata penuh kebencian.

   "Sam-Tho-Eng, kenapa banyak membantah? Paksa saja dengan kekerasan, apa sukarnya? Setelah engkau baru aku!"

   Kata si cebol muka hitam sambil mejilat-jilat Bibirnya. Ia sudah mengilar melihat dara yang cantik jelita itu, apalagi setelah kini baju luarnya robek dan tampak baju dalamnya yang membayangkan bentuk tubuh menggairahkan.

   "Aaahh, Gak boan, aku tidak ingin menggunakan kekerasan, aku ingin dia menyerahkan diri kepadaku dengan sukarela!"

   Bantah Sam-Tho-Eng Ma Chiang yang sudah tergila-gila kepada Siang Hwi. Biasanya, busu yang mata keranjang ini kala tergila-gila seorang wanita cantik, tidak perduli wanita itu isteri lain orang atau gadis, lalu mempergunakan kekerasan memaksa dan memperkosanya. akan tetapi terhadap Siang Hwi, ia mempunyai keinginan lain. Ia benar-benar jatuh hati kepada gadis ini dan menghendaki agar gadis ini menyerahkan diri bulat-bulat secara suka rela untuk dijadikan isterinya!

   "Tidak sudi! Sampai mampus aku tidak sudi! Lebih baik kau bunuh, aku tidak takut mati!"

   Siang Hwi berteriak-teriak lalu memaki dua orang itu. Sam-Tho-Eng Ma Chiang marah sekali, akan tetapi ia tetap tidak memperlihatkan kemarahannya, bahkan tersenyum menyeringai dan berkata.

   "Bu Siang Hwi, kau benar-benar tidak tahu dicinta orang! Ketahuilah bahwa Ayahmu dan kau sudah dicap pemberontak dan tak dapat tiada tentu akan dihukum mati. akan tetapi kalau engkau suka membalas cinta kasihku, suka menjadi isteriku, aku Sam-Tho-Eng Ma Chiang, busu yang terkenal di Kota Raja, akan mampu membebaskan kau dan Ayahmu, tidak dihukum mati bahkan akan mendapat kedudukan mulia dan terhormat di Kota Raja. apa kau tidak ingat kepada Ayahmu? apa kau tidak ingin menjadi anak berbakti yang menyelamatkan Ayahmu dan mungkin Ibumu juga? Karena keluarga pemberontak tentu akan dibasmi semua sampai habis."

   "Monyet kau! Kadal tua Bangka tak tahu malu! Kau sudah mau mampus, sudah keriputan, buruk rupa, mukamu seperti kadal buduk, tubuhmu kurus seperti cecak kering, tidak menengok tengkuk! apa kau tidak pernah bercermin? Tua Bangka macam engkau hendak menjadi suamiku? Phuuuhhh, lebih baik aku mati. Ayahpun lebih senang mati dari pada mempunyai mantu macammu. Cih, tak bermalu!"

   Siang Hwi memang pada dasarnya seorang gadis lincah yang pandai bicara dan galak, maka kini dalam keadaan marah ia menerocos dan memaki-maki. Muka Ma Chiang yang ciut seperti muka tikus itu menjadi merah sekali saking marahnya.

   "Gak Boan, siapkan mejanya!"

   Bentaknya. Gak Boan, laki-laki cebol muka hitam itu membelalakan matanya dengan ngeri.

   "Ah, sayang sekali, perlukah itu...?"

   Ia meragu. Mata Ma Chiang melotot.

   "Lekas lakukan perintahku!"

   Bentaknya dan Gak Boan menggerakkan pundaknya lalu pergi. Gak Boan ini adalah seorang tokoh bajak, bekas tangan kanan Ma Chiang yang dahulunya sebelum menjadi busu adalah seorang kepala bajak sungai Huang-ho yang terkenal. Tak lama kemudian, si cebol ini datang lagi memasuki ruangan itu, lengan kanannya mengempit sebuah meja. Meja yang besar dari kayu tebal, beratnya tidak kurang dari seratus kati. Dapat mengempit meja ini dengan tidak banyak susah seperti orang membawa benda ringan saja, dapat diketahui bahwa orang cebol ini memiliki tenaga yang kuat sekali. Meja itu diletakkan di tengah ruangan.

   "Bocah yang tidak tahu disayang, engkau sendiri yang memilih jalan menuju neraka!"

   Demikian Sam-Tho-Eng Ma Chiang mengomel lalu menghampiri Siang Hwi.

   Sekali tangannya bergerak, ia sudah merenggut putus tali yang mengikat Siang Hwi pada tihang itu, lalu mengempit tubuh gadis itu, membawanya ke arah meja yang berdiri di tengah ruangan. Siang Hwi memandang dengan mata melotot penuh kemarahan untuk menyebunyikan rasa ngerinya. Ia tidak tahu dan tidak dapat menduga apa yang hendak dilakukan si muka tikus ini dan karena itulah ia tegang dan ngeri. Dengan gerakan kasar Ma Chiang melempar tubuh Siang Hwi ke atas meja dan mengikat kaki tangan gadis yang lemah itu dengan tali panjang dengan keempat kaki meja. Karena ini keadaan Siang Hwi menyedihkan sekali, tak dapat bergerak, kaki tangannya agak terpentang dan tak dapat digerakkan lagi. apa lagi memang totokan pada tubuhnya masih belum bebas.

   "Ambil kurungan itu!"

   Kata pula Ma Chiang kepada Gak Boan. Wajah yang hitam itu menjadi makin hitam sepasang matanya melotot penuh ketegangan. Akan tetapi Gak Boan tidak berani membantah bekas pemimpinnya dan pergi dari situ. Tak lama kemudian ia sudah kembali dan membawa sebuah kurungan yang di dalamnya terdapat dua ekor tikus besar sebesar kucing! Tikus itu liar dan meronta-ronta di dalam kurungan minta keluar, menCicit dengan mata merah dan beringas. Sudah lima hari tikus-tikus ini tidak diberi makan, karenanya selain juga kelaparan juga amat liar dan ganas. Melihat tikus-tikus dalam kurungan ini, tersedak napas Siang Hwi. Gadis ini memandang dengan mata terbelalak, dadanya berombak, mukanya pucat dan ia merasa ngeri sekali.

   "Aku... mau diapakan...?"

   Tak dapat Siang Hwi menguasai kengeriannya dan ia mengajukan pertanyaan ini seperti pada diri sendiri. Ma Chiang tertawa menyeringai.

   "Heh-heh, apakah kau masih menolak? Katakanlah bahwa kau suka menjadi isteriku, suka membalas kasihku, dan aku membuang tikus-tikus ini dan membebaskanmu!"

   Siang Hwi menoleh dan memandang. Muka Ma Chiang merupakan muka tikus yang besar dan jauh lebih mengerikan dari pada muka dua ekor tikus dalam kurungan itu, maka ia membuang muka dan mengeraskan hati.

   "Tidak sudi! Lebih baik aku mati. Kau bunuh saja aku!"

   Senyum di wajah Ma Chiang menghilang, terganti tarikan muka beringas dan marah,

   "Bagus, kalau begitu biarlah kau dicumbu oleh tikus-tikus ini!?"

   Sambil berkata demikian, tangannya meraih dan...

   "Breeeeettt!"

   Baju dalam merah muda yang tipis itu robek sehingga terbukalah kini tubuh bagian atas dari Siang Hwi. Tampak sepasang buah dadanya dan perutnya yang berkulit putih halus, Siang Hwi meramkan mata, menggigit Bibir.

   "Kau boleh meronta-ronta sekarang!"

   Ma Chiang berkata lagi. Tangannya menotok dan terbebaslah Siang Hwi dari pada totokan. Tubuhnya dapat bergerak lagi dan ia mulai menggerak-gerakkan kaki tangannya dan meronta ingin bebas. akan tetapi gerakan tubunya ini membuat tubuh atasnya menggeliat-geliat dan menimbulkan pemandangan yang menggairahkan sehingga dua pasang mata Ma Chiang dan Gak Boan memandang ke arah dada Siang Hwi dengan pandang mata penuh nafsu. agaknya dua pasang pandang mata ini mengirim getaran panas sehingga terasa oleh Siang Hwi. Gadis itu membuka mata, menengok dan sekaligus menghentikan gerakan-gerakannya. Selain ia maklum bahwa meronta akan sia-sia belaka, juga ia tidak ingin menjadi tontonan.

   Maka ia diam saja, diam dan dingin seperti es, tidak lagi berontak, tidak lagi mengeluarkan suara, hanya memandang ke atas memandang ke arah atap rumah, mematikan perasaan. Ma Chiang tersadar dari keadaan terpesona keindahan tadi. Ia tertawa lagi, mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya, sebuah bungkusan yang memang sudah ia siapkan untuk pelaksanaan rencananya yang keji ini. Ketika bungkusan dibuka, ternyata berisi sepotong kuih kering dan madu. Dengan tangannya ia mencengkeram kuih kering ini sampai hancur, dan mencampurkannya dengan madu kemudian ia maju dan... mengeluskan kuih campur madu ini pada kedua buah dada Siang Hwi. Gadis itu menggigit Bibir dan meramkan matanya, makin berusaha mematikan perasaan sehingga ia tidak merasa lagi betapa dadanya dioles-oles oleh jari tangan yang kurang ajar itu.

   

Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini