Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 15


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Im-yang-kauwcu melibatkan lagi sabuk hitamnya di pinggang dan menyimpan kembali saputangan merahnya. Lalu dia berlutut di dekat tubuh Beng Han, menggunakan jari-jari tangannya membelai dagu dan pipi pria itu.

   "Bagaimana, Gan-koko, tidak benarkah kata kata Bu Siauw Kim bahwa kau bukan lawanku dalam ilmu silat?" "Perempuan siluman, kaubunuhlah aku!", bentak Beng Han dalam keadaan lemas karena kaki tangannya tak dapat digerakkannya lagi

   "Membunuhmu? Aihh, aku cinta padamu, bagaimana harus membunuhmu? Tidak, koko, aku tidak akan membunuhmu, juga tidak akan menggunakan paksaan. Aku hanya minta belas kasihanmu agar engkau suka menjadi kekasihku malam ini".. aku sama sekali tidak mengandung niat buruk di hatiku."

   "Perempuan hina! Siluman jahat! Aku tidak sudi. Kaukira aku ini laki-laki macam apa? Dari pada menyerah kepadamu, lebih baik kaubunuh aku!"

   "Hebat""! Sungguh sikap jantan ini yang makin menarik hatiku, Gan-koko! Kalau kau merengek, minta ampun, mungkin aku akan muak kepadamu"

   Wanita ini lalu menunduk dan menyentuh pipi Beng Han yang berkeringat itu dengan hidungnya yang kecil mancung, berdiri bulu tengkuk pendekar itu ketika menerima ciuman ini. Isterinya sendiri, Kui Eng yang dicintanya belum pernah memperlihatkan perasaan kasihnya secara demikian terang-terangan!

   "Gan-koko, ingat. Aku telahmengetahui bahwa engkau dan isterimu dan mendiang sutemu adalah tiga naga sakti yang pernah mengacau di kota raja. Bagaimana kalau sampai hal ini di ketahui oleh Tek Po Tosu? Aku bisa saja memberi tahu dia dan mereka yang bertugas di kota raja, kalau aku mau."

   "Silakan! Aku tidak takut mati!"

   Jawab Beng Han makin marah.

   "Akan tetapi untuk memaksa aku melayani hasratmu yang kotor, jangan harap! Lebih baik kau lekas bunuh aku saja!"

   Kembali jari-jari tangan itu membeIai-belai muka, leher dan dada yang bidang itu, sepasang mata indah itu setengah terkatup, bibirnya agak terbuka, hidungnya kembang-kempis, tanda bahwa Im-yang-kauwcu benar-benar telah timbul gairahnya terhadap Beng Han. Sikap jantan dan gagah dari pendekar ini seperti membakar isi dadanya dan membuat api berahinya berkobar.

   "Kau laki-laki jantan, kau singa muda".!"

   Dan kini wanita itu menundukkan mukanya, mendekati muka Beng Han dan bibirnya sudah menyentuh mulut Beng Han yang tidak mampu mengelak lagi. Tiba-tiba terdengar lengking yang mengejutkan, tangis seorang bayi! Im-yang-kauwcu terkejut dan mengangkat mukanya menoleh ke arah kamar di sebelah dalam di mana tangis itu terdengar. Wajah Beng Han berseri dan matanya bersinar-sinar penuh ketegangan.

   "Anakku"".! Anakku lahir""..!"

   Bisiknya dan dia berusaha meronta, namun sia-sia.

   "Aih, kionghi (selamat), Gan-koko! Sekarang, untuk peristiwa menggirangkan itu, marilah kita berpesta berdua.

   "

   Dia merangkul dan hendak mencium mulut Beng Han.

   "Siluman keji, aku tidak sudi! Tidak sudi! Tak tahu malukah engkau hendak memaksaku?"

   Im-yang-kauwcu mengangkat mukanya dan mengerutkan alisnya.

   "Benarkah? Kau tidak mau? Hemm, hendak kulihat nanti. Sekarang lebih baik aku pergi saja menjenguk anakmu yang baru lahir."

   Dia bangkit berdiri dan tiba-tiba wajah Beng Han menjadi pucat.

   "Tunggu! Apa"". apa yang hendak kaulakukan? Jangan kauganggu anakku! Isteriku!"

   Mulut yang manis itu berjebi penuh ejekan.

   "Kalau aku melakukan sesuatu terhadap mereka kau mau apa? Aku hanya ingin melihat, kalau anak itu menyenangkan, aku akan membawanya pergi sebagai pengganti ayahnya yang tidak mengenal cinta kasih orang!"

   Melihat wanita itu sudah melangkah pergi, jantung Beng Han berdebar tidak karuan. Celaka, pikirnya. Wanita seperti itu tentu akan memenuhi ancamannya. Dan isterinya yang baru melahirkan tentu tidak akan mampu melindungi anaknya. Jangankan sekarang dalam keadaan baru saja melahirkan, biarpun dalam ke adaan sehat juga isterinya pasti tidak akan nampu menandingi wanita ini.

   "Kauwcu"""!"

   Dia berseru.

   Wanita itu berhenti dan menoleh, tersenyum.

   "Apa lagi?"

   "Jangan"".. jangan kau mengganggu anakku, kumohon kepadamu, janganlah""..kau boleh bunuh saja aku, tapi jangan mengganggu mereka""."

   Im-yang-kauwcu melangkah kembali, mendekati Beng Han.

   "Kini engkau yang mohon-mohon kepadaku, tadi aku mohon kemurahan hatimu, engkau malah memakiku. Bagaimana sekarang kau boleh mengharapkan aku untuk memenuhi permohonanmu?"

   "Kauwcu, aku mohon kepadamu, kasihanilah anakku, isteriku. Mereka tidak tahu apa-apa""" "

   "Hi-hik, dan kau tidak kasihan kepadaku, koko yang baik? Padahal aku hanya minta balas kasihanmu, minta kasih sayangmu hanya untuk semalam ini saja. Dan isterimu tidak tahu apa-apa, mengapa kau menolak? Kalau kau suka memenuhi permintaanku, akupun tentu akan dengan senang hati memenuhi permintaanmu""."

   Beng Han menjadi bingung sekali. Dia tahu bahwa dia berada dalam cengkeraman wanita lihai ini, bahwa jiwa anaknya berada dalam telapak tangan wanita ini. Dia tidak takut mati, dia lebih baik mati dari pada harus memenuhi kehendak dan hasrat kotor wanita ini.

   Akan tetapi, demi menolong isterinya, terutama anaknya yang baru saja terlahir, dia mau melakukan apapun juga! Apapun juga, termasuk perbuatan hina seperti yang dikehendaki wanita ini! "Kalau""

   Kalau aku memenuhi permintaanmu, maukah kau bersumpah untuk membebaskan anak isteriku?"

   "Tentu saja!"

   Im-yang-kauwcu merangkul dan mencium bibir pria itu dengan penuh kemesraan.

   "Kau"". kau berjanji dulu, kau bersumpah dulul"

   Dengan muka berseri dan kedua pipi kemerahan, Im-yang-kauwcu lalu duduk bersila dan berkata dengan suara serius.

   "Aku, Kim-sim Niocu, Im-yang-kauwcu Bu Siauw Kim, bersumpah demi kedudukanku sebagai ketua Im-yang-kauw, bahwa aku tidak akan mengganggu seujung rambut dari isteri dan anak Gan Beng Han setelah Gan Beng Han sudi menerimaku sebagai kekasihnya malam ini"."

   "Dan kau juga tidak akan mengganggu aku lagi selamanya, tidak akan mengikat aku sebagai kekasihmu setelah malam ini,"

   Kata Beng Han.

   "Dan aku tidak akan mengganggunya lagi selamanya, hanya malam ini saja dia menjadi kekasihku. Aku bersumpah!"

   Gan Beng Han merasa lega. Isteri dan anaknya selamat. Akan tetapi dia? Jantungnya berdebar penuh ketegangan dan mukanya menjadi merah sekali.

   "Kau"". Kau bebaskan totokan ini"".."

   "Ett, nanti dulu, Gan-koko. Aku sudah bersumpah, maka engkaupun harus bersumpah pula."

   "Bersumpah apa?"

   Tanya Beng Han terkejut.

   "Bersumpah bahwa setelah kau kubebaskan engkau tidak akan memberontak dan engkau bersumpah akan memenuhi permintaanku, akan menjadi kekasihku malam ini, akan mencintaku."

   Beng Han tidak berdaya lagi.

   "Aku bersumpah,"

   Katanya.

   "Hi-hik, terima kasih, koko. Aku percaya bahwa seorang pendekar seperti engkau tidak akan melanggar sumpahnya dan menjilat kata kata janjinya sendiri."

   Bu Siauw Kim lalu membebaskan totokannya dan dia menggandeng tangan Beng Han keluar dari lian-bu-thia itu menuju ke dalam taman bunga di belakang rumah.

   Malam itu sunyi, bulan muncul sepotong. Malam yang romantis sekali, malam yang sejuk dan hening. Dan di dalam taman itu, terpaksa Beng Han melayani hasrat hati Im-yang-kauwcu yang sudah diamuk berahi. Mula-mula Beng Han hanya menerima saja, membiarkan dirinya dibelai, dipeluk dan diciumi oleh Bu Siam Kim. Mula-mula dia hendak mempertahankan diri secara diam-diam agar dia tidak terseret oleh gelombang nafsu itu. Yang penting, dia tidak menolak! Dengan demikian dia tidak melanggar sumpah dan janjinya.

   Akan tetapi, dia salah hitung! Beng Han adalah seorang laki-laki yang masih hijau dalam hal asmara. Satu-satunya wanita yang di kenal dan pernah didekatinya hanyalah isterinya sendiri. Dan semenjak isterinya mengandung tentu saja dia menjauhkan diri. Dan dia adalah seorang laki laki muda yang sehat, yang kuat dan di dalam tubuhnya masih mengalir darah panas. Sedangkan Bu Siauw Kim adalah seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan biarpun masih muda, namun pengalamannya dalam hal permainan asmara sudah amat banyak karena wanita ini memang menghambakan diri kepada asmara dan nafsu berahi.

   Oleh karena itu, menghadapi rayuan dan belaian Bu Siauw Kim, akhirnya pertahanan Beng Han runtuh. Dia diamuk oleh gelombang yang amat dahsyat karena tadinya dia menahan-nahan diri, seolah-olah membuat bendungan terhadap air bah mengamuk dan kini bendungan itu jebol dan air bah membanjir dengan dahsyatnya. Tentu saja hal ini amat menggirangkan hati Im-yang-kauwcu karena pendekar iiu telah berubah menjadi seorang kekasih yang amat ganas, amat kuat dan penuh kejantanan!

   Lewat tengah malam, barulah nampak Im-yang-kauwcu bangkit dari atas rumput tebal di mana kedua orang muda ini berenang dalam lautan nafsu berahi. Wajah wanita itu agak pucat, namun matanya berseri dan mulutnya ternyum. Dia membungkuk, mencium bibir pria itu dengan sepenuh perasaannya, kemudian dia bangkit berdiri dan berpakaian lagi, kadang-kadang mengerling kepada Beng Han dengan senyum simpul. Beng Han bangkit duduk dan menutupkan kedua tangannya ke depan muka. Ingin dia menangis, ingin dia berteriak marah, ingin dia menyerang wanita ini. Setelah air bah membanjir keluar, setelah kedahsyatan reda, setelah keadaan tenang kembali, barulah dia sadar dan dia merasa menyesal bukan main. Akan tetapi, semua itu telah berlalu!

   "Gan-koko, kau memang laki-laki jantan, kau memang hebat"".."

   Im-yang-kauwcu berbisik dan hendak memeluk lagi.

   "Sudahlah, Bu Siauw Kim, sudahlah jangan kausiksa hatiku, engkau sudah memperoleh apa yang kauinginkan. Dan harap kau tidak melanggar sumpahmu."

   "Hi-hik, engkau menyenangkan sekali, ko-ko. Bagaimana mungkin aku melanggar sumpahku? Engkau terlalu jujur sehingga engkau tidak melihat bahwa bagaimanapun juga, tidak mungkin aku mau mengganggu anak isterimu tanpa sebab. Nah, selamat tinggal, Gan-koko, Gan-taihiap, aku tidak akan melupakan kemesraanmu malam ini."

   Sekali berkelebat, wanita itu pun menghilang dari taman itu.

   Sampai lama Gan Beng Han tidak bergerak masih menutupi muka dengan kedua tangan nya. Akhirnya dia bangkit juga, berpakaian akan tetapi dia menggigil ketika melangkah ke dalam rumah. Dia merasa takut untuk memasuki kamar isterinya, untuk bertemu denga isterinya. Dia merasa malu untuk bertemu dengan anaknya! Akan tetapi, dia memaksa diri dan akhirnya dia mendorong daun pintu kamar isterinya itu.

   Isterinya rebah terlentang di atas pembaringan, wajahnya agak pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. Seorang anak bayi rebah di dekat Kui Eng, dan bidan yang membantu kelahiran itu masih sibuk membereskan tempat itu.

   "Kau dari mana? Mengapa sejak tadi kutunggu tunggu belum juga masuk, suamiku? Lihat, ini anak kita"". anak perempuan"..!"

   Kata Kui Eng dengan wajah cerah.

   Beng Han berdiri dengan pucat, kedua kakinya menggigil. Dia memandang kepada Kui Eng, lalu kepada wajah orok itu, kemudian dia mengeluh dan lari menghampiri, menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan dan membenamkan mukanya di dalam selimut di atas tubuh isterinya.

   "Aku takut"". aku cemas mendengar rintihanmu tadi"". ah, betapa khawatir hatiku, Eng-moi""."

   Kui Eng tersenyum. Inikah suaminya, suhengnya, yang gagah perkasa dan selalu tenang dan tak pernah mengenal takut itu? Dia bangga! Suaminya ketakutan karena dia! Dia menggerakkan tangan, mengelus rambut kepala suaminya. Suami yang amat baik! Beng Han mengangkat muka dan ternyata kedua matanya basah. Dia menangkap tangan isterinya dan membawa tangan itu ke depan hidungnya, mulutnya, untuk diciumnya dan di dalam hatinya dia menjerit-jerit minta ampun bahwa baru saja beberapa menit yang lalu dia telah menciumi mata, hidung, pipi dan mulut wanita lain dengan penuh kemesraan, dia telah""..!

   "Han-ko, aku tadi bermimpi aneh sekali."

   "Bermimpi?"

   "Ya, aku melihat bidadari,"

   "Bidadari"".?"

   Jantungnya Beng Han berdebar tegang.

   "Ya, dia tadi menjenguk ke sini, dari jendela itu. Wajahnya cantik jelita sekali, pakaiannya serba putih. Dia tersenyum, manis sekali, Han-ko, dan sekali berkelebat dia lenyap lagi."

   "Ahh"".."

   "Kau kenapa, Han-ko?"

   "Tidak apa-apa, tidak apa-apa""."

   Tahulah Beng Han bahwa Bu Siauw Kim, atau Im-yang-kauwcu, benar-benar telah memegang janji, dan sebelum pergi, wanita itu tadi telah menjenguk isterinya. Wanita yang hebat luar biasa, dan wanita yang telah menjadi kekasihnya untuk malam itu! Semenjak peristiwa itu, Beng Han makin tidak mau menonjolkan diri. Dia tahu bahwa kini banyak muncul orang orang pandai di dunia kang-ouw. Dia hidup rukun bersama isterinya, merawat dan mendidik anak mereka, yaitu anak orok yang terlahir di malam yang mengesankan itu, yang mereka beri nama Gan Ai Ling.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan ketika Beng Han menikah dengan Kui Eng, maka secara berturut-turut menikah pula Yap Yu Tek dengan Gan Beng Lian. Biarpun Yap Yu Tek adalah putera seorang bupati di An-kian, akan tetapi pemuda perkasa ini yang melihat betapa bejatnya keadaan pemerintahan, betapa hampir semua pembesar adalah orang-orang jahat yang berkedok kedudukan dan mempergunakan kedudukan bukan untuk melindungi dan membimbing rakyat melainkan untuk memeras rakyat, dia tidak mau menceburkan diri ke dalam lapangan itu. Dia bahkan membuka sebuah toko kain dan bekerja sebagai pedagang kecil kecilan bersama isterinya dan hidup cukup tenteram di kota An-kian. Baru dua tahun setelah mereka menikah, Gan Beng Lian melahirkan seorang anak perempuan yang mereka beri nama Yap Wan Cu.

   Suami isteri Gan Beng Han dan Kui Eng agak sering berhubungan dengan keluarga di An-kian ini, karena ibu dari Beng Han masih menjadi nikouw di Kuil Kwan im-bio di luar kota An-kian, maka sering pula suami isteri dari Cin-an ini mengunjungi An-kian. Akan tetapi, Kui Eng jarang bertemu dengan ibu dan adiknya yang tinggal di kota Ki-ciu. Hal ini adalah karena Kui Eng masih merasa tidak enak kalau bertemu dengan Ang Min Tek, pria yang pernah dicintanya dan yang kini menjadi suami dari adik tirinya, Bu Swi Lan itu.

   Akibat perang masih terasa oleh seluruh penduduk dari daerah yang dilanda dan dilewati pasukan yang berperang Entah berapa ratus ribu orang yang menjadi korban keganasan perang, janda-janda muda, anak-anak yatim piatu. Akibat perang terasa sekali di Kabupaten Cin an, tempat tinggal pendekar Gan Beng Han dan Kui Eng. Banyak sekali anak-anak berkeliaran sebagai pengemis-pengemis dalam keadaan yang amat menyedihkan.

   Pada suatu hari, Beng Han melihat seorang anak kecil menggeletak pingsan di emper rumahnya. Anak laki-laki itu masih kecil, usianya paling banyak lima tahun, sebaya dengan Sian Lun yang menjadi seperti anak sulung mereka. Dengan perasaan kasihan karena dia sendiri pernah mengalami hidup seperti anak itu, menjadi anak gelandangan, akhirnya dengan persetujuan Kui Eng yang juga pernah menjadi korban perang, akhirnya anak itu yang bernama Coa Gin San mereka pungut sebagai murid. Anak itu diberi pekerjaan membantu para pelayan, juga menggembala kerbau, membersihkan pekarangan dan sebagainya. Dan ternyata Gin San amat rajin dan pandai mengambil hati orang, maka dia amat disayang oleh Beng Han, Kui Eng, Sian Lun dan juga Ai Ling yang masih kecil.

   Demikianlah, keluarga pendekar Gan Beng Han ini hidup tenteram. Gan Beng Han sebagal seorang pendekar yang jujur tidak merahasiakan peristiwa malam kelahiran Ai Ling itu. Dengan hati-hati akhirnya dia menceritakan juga kepada isterinya tentang ancaman Im-yang-kauwcu yang amat lihai itu, dan betapa dia terpaksa untuk menyelamatkan anak isterinya telah melayani kehendak wanita yang haus dan gila laki-laki itu. Mendengar penuturan ini, temu saja Kui Eng menjadi marah dan cemburu menggerogoti hatinya. Akan tetapi dia lalu sadar bahwa suaminya melakukan hal itu tentu karena terpaksa sekali, karena tidak ingin melihat dia dan anak mereka diganggu oleh iblis betina itu.

   Selama bertahun-tahun suami isteri ini tidak mau mencampuri urusan dunia kang-ouw, karena selain mereka maklum betapa nama mereka telah dicatat oleh fihak atasan di kota raja, juga mereka tahu pula betapa berbahayanya untuk ikut-ikut dalam urusan pemberontakan, karena memang mereka bukanlah pemberontak-pemberontak, melainkan pendekar-pendekar. Mereka maklum betapa orang-orang kang-ouw kini banyak yang muncul, bahkan tokoh-tokoh kaum sesat yang amat sakti banyak yang merajalela di dunia kang-ouw.

   Betapapun juga, jiwa kependekaran mereka tak pernah dapat mereka kekang dan setiap terjadi hal-hal yang mendatangkan rasa penasaran, sudah tentu suami isteri ini turun tangan membereskan, membela yang lemah dan menggunakan kepandaian mereka untuk menundukkan mereka yang sewenang-wenang, sehingga biarpun mereka berdua sedapat mungkin menyembunyikan diri dan tidak mau menonjolkan diri, namun hampir semua orang kang-ouw di, sekitar daerah itu mengenal belaka siapa adanya pendekar muda sakti Gan Beng Han dan isterinya. Di antara tiga ekor naga sakti yang pernah mengamuk di kota raja, seekor telah gugur dan yang dua ekor lagi agaknya kini sedang "bertapa".

   Apakah dengan demikian akan berakhir kisah tiga ekor naga sakti ini? Tidak sama sekali tidak! Biarpun mereka berdua tidak pernah lagi menonjolkan diri, namun diam-diam Gan Beng Han dan Kui Eng masih terus melatih diri, bahkan mereka mulai menggembleng tiga orang anak itu. Pertama adalah Tan Sian Lun, keponakan mereka yang semenjak lahirnya Ai Ling tidak lagi menyebut ayah dan ibu kepada mereka, melainkan paman dan bibi. Anak ini sudah mulai mengerti, maka rahasia tentang dirinya tidak disembunyikan lagi. Ke dua adalah Ai Ling yang sehari-hari dipanggi Ling Ling. Dan ke tiga adalah Coa Gin San yang ternyata memiliki bakat baik sekali untuk ilmu silat. Tiga ekor naga sakti yang pertama mungkin sudah hampir menghilang di antara awan, akan tetapi tiga ekor naga muda yang masih kecil mulai dipupuk oleh suami isteri pendekar itu!

   Perang memang merupakan peristiwa terkutuk yang menimbulkan akibat-akibat buruk sekali bagi kehidupan manusia, menghancurkan ketertiban, melenyapkan perikemanusiaan, dan api peperangan membuat makin berkobar api nafsu yang membakar manusia sehingga mereka tidak segan untuk melakukan segala macam tindakan maksiat. Apa lagi perang saudara seperti yang ditimbulkan oleh pemberontakan An Lu Shan yang disusul oleh pemberontakan-pemberontakan lain sehingga terjadilah perang saudara yang tiada habis-habisnya sampai bertahun-tahun.

   Biarpun kemudian pemberontakan yang terakhir, yaitu di bawah pimpinan Sin Su Ming, dapat dihancurkan dan pasukan-pasukan Kerajaan Tang dapat merampas Kota Raja Tiang-an kembali, namun keadaan sudah terlanjur rusak! Apa lagi karena Kaisar Hian Tiong berhasil menumpas pemberontakan dengan menggunakan bantuan suku-suku bangsa di luar tembok besar, yaitu Suku Bangsa Uighur dan lain-lain. Hal ini sama artinya dengan mengusir srigala dengan menggunakan bantuan harimau. Srigalanya memang dapat dibunuh akan tetapi sang harimau kini bercokol di dalam rumah dan merupakan bahaya yang tidak kalah besarnya dari pada ketika sang srigala masih mengganas!

   Selain Suku Bangsa Uighur dan lain-lain yang sekali memasuki daerah selatan tidak ingin kembali ke utara lagi, juga perang saudara itu mengakibatkan kelemahan Kerajaan Tang. Beberapa orang gubernur di Propinsi Shan-si dan Ho-nan mulai hendak memisahkan diri dari kedaulatan kerajaan, mulai memperlihatkan sikap memberontak!

   Lebih hebat lagi, dalam keadaan kacau ini rakyat jelata yang tadinya sudah menderita hebat oleh perang yang menimbulkan berbagai macam kekerasan, perampokan, pembunuhan, perkosaan, kini makin menderita oleh munculnya banyak orang-orang jahat yang sengaja memancing di air keruh. Dan para pembesar juga merupakan lintah-lintah darat yang mempergunakan kesempatan itu untuk menumpuk kekayaan sebanyak mungkin, tentu saja dengan jalan menekan dan memeras rakyat.

   Pembesar-pembesar durna macam Thio-thaikam makin besar saja pengaruh dan kekuasaannya. Kaisar makin menjadi lemah dan tidak bersemangat, menjadi seperti boneka saja dan melewatkan hari-hari tuanya dencan hiburan-hiburan yang sengaja diadakan oleh pembesar-pembesar durna untuk membuat kaisar tetap tidur nyenyak dan berenang dalam kenikmatan dan kesenangan sehingga seolah-olah keadaan semua sudah "beres dan baik"

   Saja. Kaisar tidak pernah dapat mengetahui keadaan rakyat jelata yang amat menderita sebagai akibat perang. Semua pelaporan para pembesar yang sampai ke telinga kaisar adalah "baik dan memuaskan".

   Keadaan ini tentu saja menggerakkan hati banyak pahlawan yang benar-benar mencinta negara dan rakyat. Mereka ini adalah kaum pendekar yang dengan cara masing-masing berusaha memulihkan ketenteraman dengan menentang kejahatan-kejahatan di mana saja mereka menemukannya Selain kaum pendekar, juga kaum sasterawan menggunakan cara-cara mereka dalam bentuk tulisan-tulisan, sajak-sajak dan penerangan-penerangan untuk menyadarkan para pembesar dan secara tidak langsung menyadarkan kaisar dari kelaliman dan agar para pembesar yang menyebut diri pemimpin itu benar-benar memimpin rakyat ke arah kesejahteraan dan ketenangan hidup.

   Satu di antara para pahlawan yang mempergunakan tulisan untuk berjuang menentang kelaliman itu adalah sasterawan Han Gi (768-824). Han Gi terkenal sebagai seorang sasterawan yang amat tajam tulisannya, berani dan juga cerdik pandai. Dia berani membela yang benar siapapun mereka, berani pula menentang yang jahat, siapapun juga mereka. Bahkan dia berani menentang kaisar secara terang-terangan.

   Ketika gubernur dari daerah Ho-pei secara terang-terangan memberontak dan tidak mau tunduk terhadap istana, bahkan mulai menyerang daerah tetangganya untuk memperluas daerahnya sebagai permulaan dari pemberontakannya, para thaikam membujuk kaisar untuk mengirim pasukan menghukum gubernur ini. Akan tetapi, pasukan-pasukan kerajaan tidak berhasil menundukkan pemberontak bahkan banyak jatuh korban, dan tentu saja, rakyat di sepanjang jalan yang dilalui pasukan itu menderita pula, seperti biasa.

   Para thaikam pula yang membujuk kaisar untuk mempergunakan pengaruh sasterawan Han Gi yang amat terkenal di daerah Ho-pei. Han Gi dipanggil dan sasterawan ini menghadap kaisar. Menerima perintah kaisar agar dia suka mempergunakan kebijaksanaannya untuk membujuk gubernur yang memberontak, Han Gi melihat kepentingan dari tugas ini dan diapun menerima tugas itu. Tanpa membawa pasukan, hanya diiringkan oleh pasukan kecil pengawal dan membawa tanda utusan kaisar, sasterawan ini pergi menemui pimpinan pemberontak dan mulailah dia mengajak mereka untuk bercakap-cakap dan berdebat tentang pemberontakan itu.

   "Saudara sekalian sudah melihat sendiri betapa hebatnya kesengsaraan yang ditimbulkan oleh perang saudara yang lalu ketika An Lu Shan mulai dengan pemberontakannya. Apakah kalian ingin menambah beban rakyat dengan mengorbankan perang saudara lagi? Kalau kalian melakukan hal itu, tentu rakyat tidak akan mendukung, bahkan membenci kalian,"

   Demikian antara lain Han Gi berkata.

   "Akan tetapi, kaisar sekarang menjadi boneka yang lemah, seluruh pemerintahan berada di tangan para thaikam yang lalim dan tidak adil!"

   Seorang perwira tinggi membantah.

   "Di dalam rumah ada tikusnya, hal itu sudah wajar. Marilah kita berusaha untuk menangkap, membunuh atau menyingkirkan tikus itu. Akan tetapi tidak perlu kita membakar rumah kita. Kalau ada pembesar yang tidak benar, marilah kita melakukan pembersihan dari dalam, mari kita memperingatkan kaisar agar sadar. Perlukah kita mengobarkan api peperangan yang akan membakar negara dan menyengsarakan rakyat sendiri?"

   Dengan bujukan-bujukan yang penuh kebijaksanaan, akhirnya Han Gi berhasil melunakkan hati mereka dan perdamaian dapat diadakan! Han Gi telah berhasil mencapai perdamaian yang tidak dapat dicapai oleh pasukan-pasukan yang kuat dari kerajaan!

   Bukan peristiwa ini saja yang membuat Han Gi amat terkenal, bahkan namanya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah. Diapun berani menudingkan telunjuknya ke hidung pembesar yang paling rendah sampai paling tinggi, termasuk kaisar, untuk menunjukkan kesesatan para pembesar secara terang terangan. Juga dia terkenal sebagai seorang yang ahli dalam pelajaran-pelajaran Nabi Khong Hu Cu dan dengan gigihnya dia menekankan pelajaian-pelajaran itu agar diterapkan dalam kehidupan dari rakyat yang paling kecil sampai pembesar yang paling tinggi kedudukannya. Karena ini pula maka sering kali dia bentrok dengan para pembesar yang memeluk Agama Buddha bahkan sikapnya terhadap perbuatan kaisar yang juga beragama Buddha itulah yang mengakibatkan sasterawan ini dihukum buang sampai jauh ke Kwang-tung.

   Dalam tahun 819, Kaisar Hian Tiong"

   Untuk membangkitkan semangat para pengikut Agam Buddha, dan untuk memperkembangkan agama itu, mengirim pasukan besar yang penuh kemegahan untuk mengawal para pendeta Buddha dalam upacara mengarak benda suci dari Kuil Fa Men Su di Hong Siang Hok ke Tiang an. Benda suci itu kabarnya adalah sepotong tulang jari dari Sang Buddha sendiri. Dengan upacara pawai besar benda suci itu dari Kuil Fa Men Su dibawa ke istana dan disimpan di situ selama tiga hari, kemudian dengan upacara kebesaran diarak dari kuil ke kuil yang berada di kota raja.

   Sasterawan Han Gi tidak pernah menentang penyebaran Agama Buddha yang dilakukan oleh para pendeta hwesio karena dia maklum akan pentingnya kebebasan bagi rakyat untuk memilih agama apa yang disukai mereka masing-masing. Akan tetapi, melihat tindakan kaisar yang terang-terangan menyokong suatu agama tertentu, dalam hal ini Agama Buddha untuk memperkembangkan agama itu, membuat dia merasa penasaran. Dengan berani sekali dia mempergunakan ketajaman penanya untuk menyerang dan memprotes peristiwa ini dalam surat yang ditujukannya langsung kepada kaisar! Di dalam surat protes yang panjang lebar itu, antara lain terdapat kata-kata seperti ini;

   "Buddha adalah nabi dari Negara-negara barat dan kalau sri baginda menghormati dan memujanya, hal itu hanyalah karena paduka mengharapkan usia panjang dan pemerintahan yang damai dan bahagia. Betapapun juga, para kaisar besar di dalam dinasti-dinasti yang lalu, termasuk Kaisar Ui Te, Yu, Tang, Raja-raja Bun dan Bu semua menikmati usia panjang dan pemerintahan yang makmur, walaupun pada waktu-waktu itu belum ada Buddha

   Buddha adalah seorang asing,dan andaikata beliau masih hidup dan sekarang beliau datang berkunjung ke istana, tentu saja sri baginda boleh menyambutnya dengan segala kehormatan sebagai tamu agung dan menjamunya di Ruang Tamu, seperti yang selayaknya diperlakukan terhadap semua tamu agung yang terhormat. Akan tetapi sekarang sri baginda hendak menerima sepotong tulang jari kering yang katanya adalah jari beliau hal ini sungguh merupakan sesuatu yang berlebihan. Hamba mengusulkan agar tulang itu sebaiknya dibakar saja."

   Demikian antara lain surat protes dari Han Gi. Dan bukan semata mata karena bencl maka sasterawan ini memprotes, melainkan karena dia melihat perbedaan faham dan ajaran amat besar antara pelajaran Nabi Khong Hu Cu dan keadaan Sang Buddha sendiri. Menurut pelajaran dari Nabi Khong Hu Cu, kebijaksanaan terutama bagi manusia adalah berbakti kepada orang tua dan negara. Akan tetapi ketika dia mendengar akan riwayat Sang Buddha yang telah meninggalkan istana dan orang tua, tentu saja dia merasa tidak setuju sama sekali, karena dia menganggap hal ini bertentangan sekali dengan faham pelajaran Nabi Khong Hu Cu!

   Memang demikianlah kenyataannya sampai kini, faham selalu mendatangkan perpecahan ketidak cocokan, menimbulkan bentrokan dan pertentangan. Masing-masing kukuh dengan pendapat dan pendirian, kukuh dengan faham dan kepercayaan sendiri-sendiri, dan terdapat sedikit saja perbedaan dalam faham dan kepercayaan itu, tak dapat dielakkan lagi pasti timbul perselisihan.

   Karena protes inilah, maka para pembesar, termasuk para thaikam yang telah memeluk agama Buddha, melihat bahaya dalam diri Han Gi. Jasa-jasanya dilupakan dan para pembesar ini membujuk kaisar sehingga akhirnya Han Gi dijatuhi hukuman buang jauh ke Kuang-tung di mana dia hidup menyepi dan terasing.

   Di dalam keadaan kacau inilah cerita ini terjadi, yaitu kurang lebih sepuluh tahun setelah kota raja geger oleh sepak terjang Tiga Naga Sakti yang mengamuk dan hampir saja rnenewaskan Thio-thaikam yang terkenal sebagai thaikam yang berkuasa dan besar pengaruhnya di istana. Karena kegagalan tiga orang pendekar muda yang terkenal dengan julukan Tiga Naga Sakti itu dalam usaha mereka membunuhnya, maka Thio-thaikam menjadi makin congkak, dan adalah atas usul thaikam ini maka kaisar mengambil keputusan untuk mengarak benda suci yang berupa tulang jari itu!

   Hari telah senja dan matahari mulai tenggelam di langit barat, membentuk kebakaran di langit, warna merah api di antara warna langit yang biru menimbulkan pemandangan yang sukar digambarkan keindahannya. Pendeknya, indah dan megah penuh rahasia! Dua orang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun menunggang dua ekor kerbau gemuk dan besar berjalan perlahan menuju ke kampung di depan.

   Di belakang mereka berjalan belasan ekor kerbau lain yang malas-malasan, dengan mulut yang tiada hentinya bergerak-gerak mengulangi lagi makanan untuk dilembutkan dengan geraham mereka, kadang-kadang ada yang berhenti sebentar untuk merenggut rumput-rumput hijau muda yang merangsang selera. Ekor binatang-binatang ini yang kecil pendek, tiada hentinya bergerak ke kanan kiri tanpa sebab, agaknya menjadi tanda bahwa mereka merasa senang.

   Dua orang anak itu berpakaian sederhana bertelanjang kaki. Yang seorang berkulit putih bersih, mukanya bundar seperti bulan, sinar matanya tajam, tubuhnya tegap dengan bahu bidang dan terdapat kegagahan tersembunyi di wajah dan gerak-geriknya. Dia pendiam dan duduk di atas punggung kerbau sambil menatap langit barat seperti orang tersihir Anak yang ke dua, tubuhnya lebih kecil sungguhpun dia tidak kurus, wajahnya tampan dengan bentuk bulat telur, rambutnya hitam dan panjang sampai ke bawah pundak, berbeda dengan rambut anak pertama yang dipotong pendek. Hidungnya mancung dan matanya bersinar-sinar hidup sekali, selalu bergerak menandakan bahwa dia lincah gembira dan cerdik.

   Kedua orang anak laki-laki itu berpakaian sederhana dan terkena lumpur di sana-sini ketika mereka memandikan kerbau-kerbau itu. Kalau anak pertama duduk termenung memandang ke arah langit barat yang dibakar matahari tenggelam, anak ke dua itu asyik dengan sebatang suling bambu yang ditiupnya dengan mahir. Suara tiupan sulingnya mengalun turun naik, menambah kesunyian senja menjadi hening dan anak pertama yang terpesona oleh keindahan langit itu seperti makin tenggelam oleh alunan suara suling.

   Akhirnya suara suling itu berhenti dan anak ke dua itu menegur sambil menyentuh lengan temannya dengan sulingnya.

   "Eh, suheng! Sejak tadi melamun saja, memikirkan apa sih?"

   Anak ini terkekeh ketika melihat suhengnya terkejut oleh sentuhan sulingnya. Memang anak ini sifatnya nakal, suka menggoda orang dan lincah jenaka, selalu gembira dan penuh senyum dan tawa.

   Anak yang pendiam itu menengok kepadanya sejenak, lalu kembali memandang ke barat dan berkata seperti kepada diri sendiri.

   "Sute, kaulihat awan hitam di ujung kiri itu! Bukankah bentuknya seperti seekor naga? Seekor naga sakti yang sedang terbang di atas api yang membara. Sute, lihat pula awan-awan yang membentuk rumah-rumah beratap runcing di bawah itu. Agaknya itu adalah istana yang sedang kebakaran dan naga sakti itu terbang di atas kekalutan istana untuk menyelamatkan mereka yang terancam bahaya. Betapa ingin aku menjadi naga sakti itu!"

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memang aneh mendengar seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun mengeluarkan keinginan hatinya seperti itu. Akan tetapi, anak ini memang bukan anak sembarangan. Dia adalah murid pertama, juga merupakan keponakan dari sepasang suami isteri pendekar yang amat terkenal di daerah utara Sungai Huang-ho. Suami isteri pendekar itu adalah Gan Beng Han dan Kui Eng, kakak beradik seperguruan yang kemudian berjodoh dan menjadi suami isteri yang hidup berbahagia dengan seorang anak perempuan yang kini telah berusia delapan tahun.

   Anak itu bernama Tan Sian Lun. Ayah dan ibunya telah meninggal dunia semenjak dia masih kecil sekali. Ayahnya bernama Tan Bun Hong, sute dari pendekar Gan Beng Han dan ibunya adalah puieri pangeran yang bernama Song Kim Bwee. Ayah dan ibunya telah tewas karena diserbu pasukan kerajaan atas hasutan Thaikam Thio yang amat berkuasa di istana. Semenjak ayah bundanya tewas, Tan Sian Lun lalu dipelihara oleh Kui Eng, yaitu sumoi dari Tan Bun Hong, dan kemudian setelah pendekar Gan Beng Han dan sumoinya itu menikah, Tan Sian Lun tetap dipelihara seperti anak sendiri dan diakui sebagai keponakan. Ketika dia masih kecil, Sian Lun yang tidak tahu apa-apa itu menyebut ayah dan ibu kepada Beng Han dan Kui Eng. Akan tetapi setelah suami isteri itu mempunyai seorang anak perempuan, dan Sian Lun telah mengerti, isteri itu tidak menyimpan rahasia dan memberitahukan dengan terus terang bahwa Sian Lun sesungguhnya adalah keponakan mereka yang telah dianggap sebagai anak sendiri karena anak ini sudah tidak mempunyai ayah bunda lagil

   Suami isteri pendekar itu memang menaruh iba kepada Sian Lun dan amat menyayangnya seperti anak sendiri. Memang bagi mereka tiada bedanya, karena mereka telah memelihara Sian Lun sejak kecil. Bahkan merekapun menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada Sian Lun, menggembleng anak ini bersama-sama anak mereka sendiri, anak perempuan yang bernama Gan Ai Ling itu. Setelah keponakan dan anak sendiri ini, Beng Han dan isierinya masih mengambil seorang murid lagi yang bernama Coa Gin San. Anak ini juga seorang anak yatim piatu karena ayah bundanya telah tewas pula ketika dusun tempat tinggalnya dilanda perang saudara. Karena kasihan dan melihat bakat yang baik dalam diri Gin San, maka Beng Hari dan isterinya lalu mengambilnya sebagai murid dan memberinya pekerjaan menggembala kerbau dan membantu pekerjaan di sawah milik suami isteri itu yang cukup luas di luar kota Cin-an.

   Gin San adalah seorang anak yang lincah jenaka, pandai mengambil hati orang dan pandai bergaul, juga tahu diri. Dia bekerja amat rajin di situ, membantu gurunya sehingga gurunya juga amat menyayangnya dan dalam hal memberi pelajaran ilmu silat, pendekar itu dan isterinya tidak membeda-bedakan, melainkan menggembleng Sian Lun, Ai Ling, dan Gin San sama rata dan tentu saja disesuaikan dengan bakat mereka masing-masing.

   Hari itu, Sian Lun ikut bersama Gin San menggembala kerbau. Memang kadang-kadang dia suka ikut dengan sutenya ini menggembala kerbau atau bekerja di sawah, sungguhpun lebih sering dia berada di rumah karena pemuda cilik ini suka sekali akan pelajaran kesusasteraan, suka membaca kitab-kitab dan cerita-cerita tentang para pendekar dan pahlawan di jaman dahulu, membaca sajak dan filsafat-filsafat.

   Mendengar ucapan suhengnya itu. Gin San yang memang biasa bergaul dengan suhengnya secara akrab, sama sekali tidak terdapat perasaan berbeda kedudukan sungguhpun Sian Lun adalah keponakan dari majikan dan juga gurunya, terkekeh geli.

   "Heh-heh-heh, engkau sungguh aneh, suheng! Bagiku, di langit itu tidak kelihatan naga atau istana terbakar, akan tetapi penuh dengan emas permata!"

   "Eh, emas permata? Yang mana, sute?"

   "Lihat saja itu, warna kuning emas itu, bukankah itu lautan emas membentang luas di sana? Dan warna-warna merah dan biru itu adalah warna-warna permata yang amat mahal harganya. Dari pada menjadi naga yang terancam bahaya terbakar pula dan menjadi belut panggang, lebih baik kalau dapat meraih dan memiliki emas permata itu, menjadi orang kaya raya, berkedudukan tinggi dan mulia!"

   Sian Lun memandang lagi ke atas akan tetapi angin telah merobah bentuk-bentuk awan itu dan dia tidak tertarik lagi.

   "Pakaian kita kotor terkena lumpur, sebaiknya kalau kita mencuci kotoran ini di telaga kecil itu agar jangan sampai dimarahi nanti."

   "Ah. suhu dan subo tidak akan memarahimu, suheng, akan tetapi aku tentu akan ditegur!"

   Mendengar ucapan ini, Sian Lun memandang sutenya dengan alis berkerut dan mata penuh teguran.

   "Sute, sejak kapankah paman dan bibi membeda-bedakan antara engkau dan aku? Apakah karena aku keponakan mereka dan engkau bukan maka ada perbedaan? Dengan ucapan itu engkau seakan-akan merasa iri, sute."

   Gin San cepat mengangkat tangannya ke atas.

   "Ah, tidak"".. tidak, suheng. Jangan salah mengerti. Aku hanya hendak mengatakan bahwa suhu dan subo amat sayang kepadamu karena suheng selalu baik dan bersih sedangkan aku"".. heh-heh, aku nakal dan sering sekali membikin mereka marah."

   Hal ini memang benar dan Sian Lun tidak mau memperpanjang persoalan itu. Dia tahu bahwa sutenya ini memang nakal dan suka menganggu orang sehingga sering kali menerima teguran dari paman dan bibinya. Biarpun dia terhitung murid dari mereka bahkan seperti anak mereka sendiri, akan tetapi karena mendiang ayahnya adalah saudara seperguruan mereka, maka dia menyebut mereka paman dan bibi. Dua orang anak itu lalu membelokkan kerbau-kerbau itu ke sebuah telaga kecil dan setelah melepas kerbau-kerbau itu makan rumput di tepi telaga, mereka lalu mandi dan mencuci bagian pakaian mereka yang terkena lumpur.

   (Lanjut ke Jilid 16)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16

   Akan tetapi, Gin San yang sudah selesai mencuci bagian yang berlumpur dan menggantung pakaiannya itu di dahan pohon agar cepat kering, sudah terjun dan berenang ke tengah, lalu menepi di tepi seberang. Setelah selesai mencuci noda lumpur pada bajunya, Sian Lun menengok dan mencari-cari sutenya, akan tetapi tidak kelihatan sutenya di air telaga. Maka mulailah dia berteriak memanggil manggil karena senja makin larut dan tak lama lagi tentu cuaca menjadi gelap.

   "Suteeee"".!! Gin San"".!!"

   Teriaknya berkali-kali.

   Tiba-tiba terdengar jawaban dan anak itu datang berlari-lari sambil membawa beberapa buah benda putih yang dipondongnya. Dia tidak kembali melalui air melainkan berlarian di: sepanjang tepi telaga, menghampiri suhengnya.

   "Suheng, lihat apa yang kutemukan di tepi telaga sana tadi!"

   Anak itu memperlihatkan benda-benda itu dan Sian Lun meloncat ke belakang dengan jijik.

   "Ihhh"".! Untuk apa kaubawa-bawa tengkorak dan tulang-tulang ini?"

   Teriaknya dan dia bergidik ngeri.

   Gin San tertawa.

   "Hi-hik, mengapa suheng takut? Ini adalah tulang-tulang manusia. Lihat tengkorak ini bersih dan halus. Aku mendapatkannya berserakan di tepi telaga yang longsor! Agaknya tempat itu dahulu menjadi kuburan dan karena longsor maka tulang-tulang dan tengkorak ini berserakan."

   "Sute, untuk apa kauambil benda-benda ini? Menjijikkan dan menyeramkan saja."

   "Untuk menakut-nakuti orang, suheng. Anak-anak perempuan itu tentu akan lari cerai-berai, heh-heh."

   Sian Lun tidak memperdulikan lagi.

   "Hayo kita cepat pulang, sebentar lagi gelap,"

   Katanya dan dia menggunakan ranting menggiring kerbau-kerbau itu meninggalkan tepi telaga menuju pulang. Gin San juga cepat menggiring Kerbau-kerbau itu sambil membawa tulang-tulang dan tengkorak manusia yang ditemukan di tepi telaga tadi.

   Melihat ini, Sian Lun berkata lagi.

   "Sute, kenapa tidak kau buang saja tengkorak dan tulang-tulang itu? Sungguh aneh kau ini, benda macam itu bukan barang mainan!"

   Biarpun berkata demikian, namun diam-diam Sian Lun kagum sekali akan keberanian sutenya. Dia sendiri tidak berani bermain-main dengan tulang tulang manusia itu.

   "Suheng, bukankah malam nanti ada pesta di kota untuk menyambut lewatnya rombongan pembawa benda suci itu?"

   "Benar, kitapun sudah di janji oleh paman untuk diperbolehkan nonton keramaian bersama sumoi."

   "Nah, kabarnya yang disebut benda suci itu adalah sepotong tulang jari tangan. Nah, apa bedanya dengan ini?"

   Dia memegang sepotong jari tangan yang masih melekat di antara tulang lain yang dibawanya.

   "Aku akan muncul dengan ini dan lihat apakah mereka itu, terutama wanita-wanitanya, mau menyembah-nyembah tulang-tulang ini ataukah mereka akan menjerit-jerit dan lari berserabutan. Heh-heh, alangkah akan lucunya!"

   "Hemm, sute, jangan main-main. Engkau tentu akan dimarahi banyak orang""."

   "Aku tidak takut, suheng."

   "Akan tetapi aku tidak mau ikut mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang usil itu."

   "Jangan khawatir, aku akan menanggungnya sendiri, suheng. Asal engkau mau merahasiakan ini dan jangan memberitahukan kepada suhu dan subo " "Kau tahu aku tidak sudi mengadukan orang,"

   Jawab Sian Lun singkat dan mereka tidak bicara lagi. Setelah tiba di rumah guru mereka yang luas. Gin San menggiring kerbau kerbau itu ke kandang dan cepat menyembunyikan tengkorak dan tulang-tulang itu di sudut kandang, menutupinya dengan rumput rumput kering.

   Gan Ai Ling, anak perempuan berusia delapan tahun, puteri tunggal dari Gan Beng Han dan Kui Eng, menyambut mereka sambil berlari-larian.

   "Twa-suheng, ji-suheng""..kenapa kalian terlambat sekali? Lihat, aku sudah siap untuk pergi menonton keramaian! Dan kalian belum makan, belum mandi""!"

   Melihat Gin San cepat-cepat memasuki kandang, Sian Lun lalu menghadapi Ai Ling dan menahan anak perempuan ini agar jangan melihat tengkorak yang dibawa Gin San.

   "Kami berdua sudah mandi, sumoi. Mandi di telaga, tinggal berganti pakaian dan makan saja. Tidak akan lama."

   Ketika tadi menggiring kerbau memasuki kota, dua orang anak laki-laki itu sudah melihat suasana pesta di kota. Di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh rombongan pembawa benda suci telah dihias dengan kertas-kertas berwarna, bunga-bunga dan lentera-lentera. Rombongan akan lewat besok pagi akan tetapi malam itu orang-orang akan mengadakan keramaian dan pertunjukan yang semarak untuk menghormati peristiwa itu. Tentu saja semua ini digerakkan oleh kepala daerah yang ingin menjilat dan menyenangkan hati kaisar yang sedang berusaha mempropagandakan Agama Buddha dengan upacara perarakan dan penyambutan benda suci itu.

   Ada beberapa ekor mainan liong diperagakan, ada pula barongsai dan kilin. Anak anak itu kini bergegas, berganti pakaian dan tak lama kemudian ketiganya sudah berpamit kepada Gan Beng Han dan isterinya, Kui Eng. Suami isteri pendekar ini mengangguk dan tersenyum sambil berpesan agar mereka tidak pulang terlalu malam.

   "Sian Lun, kau jaga baik-baik adikmu,"

   Kata Kui Eng kepada anak itu dan Sian Lun mengangguk. Tentu saja dia akan menjaga Ling Lin dengan baik, kalau perlu dia bersedia untuk melindungi dan membela dengan taruhan nyawanya. Dia amat sayang kepada Ling Ling biarpun anak ini kadang-kadang bengal dan suka menggoda orang.

   Di sepanjang jalan, banyak orang yang kagum dan memuji Ling Ling atau Gan Ai Ling yang baru berusia delapan tahun, yang mengenakan pakaian biru muda dengan pita rambut merah itu karena Ling Ling memang amat manis dan mungil. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika mereka mulai mendengar suara canang dan tambur yang saling sahutan bergemuruh, tanda bahwa barongsai-barongsai, kilin-kilin, dan liong-liong itu sudah mulai berlagak. Orang-orang hilir-mudik memenuhi jalan raya dan setiap rumah di tepi jalan terbuka lebar-lebar dan diterangi lampu, dan di depan setiap rumah dihias kertas berwarna untuk menyambut pesta itu.

   Ketika mereka bertiga berjejalan dengan orang-orang, tiba-tiba Ling Ling menengok ke kanan kiri dan bertanya sambil memegang lengan Sian Lun.

   "Twa-suheng, ke mana perginya ji-suheng?"

   Sian Lun juga memandang ke kanan kiri yang penuh orang. Karena mereka itu kalah tinggi dengan orang-orang dewasa tentu saja sukar bagi mereka untuk mencari Gin San yang tidak kelihatan itu. Pula, Sian Lun sudah menduga bahwa tentu si bengal itu sudah menyelinap pergi untuk mengambil tulang-tulang dan tengkoraknya, maka dia menjawab.

   "Biarlah dia tidak akan hilang. Biar dia nonton sendiri dan kau nonton bersamaku. Akan tetapi, engkau tidak boleh berpisah dariku, sumoi. Aku tentu akan mendapat marah dari paman dan bibi kalau sampai kita saling terpisah."

   Ling Ling memegang tangan suhengnya.

   "Tidak, akupun takut kalau sendirian, suheng."

   "Kau? Takut?"

   Sian Lun tersenyum. Sepanjang ingatannya, gadis cilik ini tidak pernah mengenal takut! Baik terhadap manusia maupun terhadap setan!

   "Aku ngeri melihat liong itu, seperti hidup dan begitu menyeramkan!"

   Kata Ling Ling. Mereka maju terus, hanyut oleh gelombang nanusia yang menuju ke tempat di mana liong itu sedang dimainkan, di lapangan terbuka dan di situ ada beberapa orang hartawan yang melempar-lemparkan mercon sehingga liong itu "menari"

   Makin indah di antara asap yang membentuk awan, nampak seperti seekor naga tulen beterbangan di antara awan-awan dan suara mercon yang gemuruh itu bersaing dengan suara canang dan tambur.

   Sian Lun yang menggandeng tangan sumoi-nya, menyelinap di antara para penonton untuk mencari tempat di depan. Beberapa orang mengomel, akan tetapi ketika mengenal mereka sebagai anak dan murid sepasang pendekar Gan Beng Han, mereka malah cepat memberi jalan sehingga akhirnya dua orang anak itu dapat berdiri terdepan. Ling Ling kadang-kadang merapatkan tubuhnya kepada suhengnya karena ngeri kalau ada mercon yang meledak di dekatnya. Para hartawan dan para hwesio melempar-lemparkan mercon itu dari depan kelenteng karena liong itu bermain di halaman kuil itu yang luas. Di kuil inilah besok benda suci itu disambut, berhenti sebentar karena para pembawa benda suci yang merupakan rombongan yang dihormati, akan beristirahat dan makan siang di kuil itu.

   Gin San memang tidak nampak di situ. Tepat seperti dugaan hati Sian Lun, setelah tadi berjalan dengan orang banyak, diam-diam Gin San menyelinap meninggalkan sumoinya dan suhengnya, lalu berlari kembali ke kandang kerbau gurunya dan diam-diam dia mengambil tulang dan tengkorak manusia itu dari simpanannya di bawah tumpukan rumput kering. Sambil tertawa-tawa geli seorang diri, anak ini lalu memasang-masangkan kaki dan tangan rangka itu, disambungnya dengan tali dan dengan bantuan kayu dia dapat membuat rangka itu lengkap dengan kepalanya, lengan dan kakinya. Lalu dimasukkannya rangka itu dalam karung dan dibawanya lari keluar, terus dia kembali ke tempat ramai tadi.

   Dia tidak menuju ke tempat permainan liong di depan kuil karena dia maklum bahwa suheng dan sumoinya berada di situ. Dia tidak ingin terlihat oleh suhengnya, apa lagi sumoinya, karena takut sumoinya mengadu kepada suhu dan subonya. Kini dia memanggul karung itu menuju ke pendopo gedung kepala daerah di mana juga terdapat keramaian karena selain singgah di kuil itu, juga rombongan pembawa benda suci akan mampir di pendopo ini Menerima penghormatan pembesar setempat, sebagai utusan kaisar yang terhormat. Di pendopo inilah diadakan tarian barongsai dan kilin yang tidak kalah ramainya, juga dilempari mercon-mercon.

   Gin San memilih tempat yang gelap. Di depan pendopo itu terdapat sebuah pohon besar dan sinar penerangan terhalang oleh daun-daun pohon sehingga bawah pohon itu agak gelap. Akan tetapi ada beberapa orang wanita yang nonton permainan barongsai dan kilin dari bawah pohon ini karena tanah di bawah pohon itu lebih tinggi sehingga dari situ dapat nampak permainan di pendopo itu dengan jelas. Seperti biasa, di mana ada wanita-wanita muda di situ tentu ada pria-pria yang merubungnya, seperti juga di mana ada kembang-kembang tentu di situ datang kumbang-kumbang mengitarinya.

   Dan seperti juga kumbang-kumbang yang mencumbu kembang-kembang untuk mencari sari madu, kaum pria itu sambil tersenyum-senyum mulai pula mencumbu rayu untuk memikat hati wanita itu, janda-janda muda atau pelayan pelayan yang dalam kesempatan itu mempersolek diri dan keluar dari dalam rumah, untuk nonton keramaianyang hanya menjadi dalih karena sesungguhnya adalah untuk mempertontonkan diri mereka! Maka terdengarlah gelak tawa di bawah pohon ini, kekeh genit dan ucapan-ucapan yang penuh arti dan sindiran.

   Tiba-tiba, dari bagian yang paling gelap di bawah pohon, terdengar suara aneh.

   "Hooohhhh, trak-trak trakk"".!"

   Seorang wanita muda menoleh, terbelalak dan menjerit, lalu roboh pingsan! Beberapa orang wanita terkejut dan menoleh dan""

   Terdengar jerit-jerit ketakutan dan para wanita itu lari berserabutan, ada yang sampai terkencing-kencing, ada yang jatuh bangun dan saking takutnya ada yang merangkak-rangkak karena tidak mampu bangkit berdiri.

   "Ssseeeetaaaannn"".."

   "Ssii"".sssiii"".. sssilumannnn"".!"

   Kini bukan hanya para wanita muda yang tadi tertawa-tawa genit itu yang ketakutan dan lari tunggang-langgang, juga para pria yang tadi membujuk rayu menjadi panik, apa lagi ketika mereka melihat di tempat gelap itu jelas ada rangka manusia yang menari-nari, mengeluarkan suara "trak-trak-trrrakk""."

   Ketika tulang-tulang itu saling beradu dan didahului atau dilanjutkan dengan suara gerengan "hoohh...."

   Amat menyeramkan!

   Ketika para pria itu dan orang-orang lain mampu menguasai rasa takut mereka karena pengaruh orang banyak dan mereka berindap-indap kembali ke bawah pohon dengan kedua tangan terkepal akan tetapi kaki mereka gemetar dan siap untuk meloncat dan lari, ternyata di tempat itu sudah kosong tidak ada apa-apanya. Mereka mencari-cari di sekitar pohon itu, namun setan atau siluman tengkorak itu tidak nampak lagi! Tentu saja semua orang menjadi terheran-heran dan makin yakinlah mereka bahwa tadi mereka benar-benar melihat setan.

   Para wanita yang masih ketakutan segera cepat pulang dan kesempatan ini dipergunakan oleh para pria untuk mengantar mereka pulang, atau mungkin membawa mereka ke kamar sendiri atau ke tempat-tempat tertentu untuk "menghibur"

   Mereka dari rasa takut. Dalam keadaan apapun juga, selalu terbuka saja kesempatan bagi mereka yang hendak melakukan kemaksiatan. Napsu timbul dari pikiran, dan pikiran amatlah licin cerdik. Ada saja akal yang diciptakan pikiran untuk melampiaskan dorongan napsu dan menyenangkan tubuh.

   Sementara itu, seorang anak laki-laki menahan tawanya menyaksikan kekacauan yang ditimbulkan olehnya sendiri. Anak ini adalah Gin San, tentu saja. Dan setan atau siluman tadi juga dia yang melakukan penyamaran untuk menggoda orang. Setelah menyembunyikan tengkorak dan tulang-tulang rangka, dia pura-pura ikut mencari setan sambil menahan geli hatinya. Akan tetapi setelah para wanita itu pergi dan tempat itu tidak lagi menjadi gelanggang pertemuan, Gin San tertarik untuk menonton liong yang bermain di depan kuil. Dia membawa tengkorak yang disembunyikan di bawah bajunya, sedangkan tulang-tulang itu ditinggalkannya begitu saja di bawah pohon, tersembunyi di antara semak-semak. Dia suka bermain-main dengan tengkorak manusia itu, maka tengkorak itu dibawanya karena dia merasa sayang kalau dibuang. Tidak mudah mencari tengkorak seperti ini, pikirnya, dan dia termaksud untuk menakut-nakuti anak-anak dengan tengkorak itu.

   Anak yang cerdik ini menyelinap di antara para penonton dan kalau ada penonton yang kurang senang karena didesaknya, dia cepat berkata.

   "Aku mau melihat ayah, ayahku ikut main liong."

   Mendengar ucapan ini, orang itu tidak jadi marah dan memberi jalan kepadanya. Dengan cara ini, Gin San dapat mendesak sampai ke depan. Akan tetapi karena liong sedang berlagak dan beterbangan di antara awan-awan yang tercipta dari asap mercon, maka dia tidak dapat melihat Sian Lun dan Ai Ling yang juga berdiri di depan, akan tetapi di seberang yang lain.

   Gin San memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar saking kagumnya. Kagum kepada para pemain liong yang demikian mahir mempermainkan naga itu sehingga seolah-olah benar-benar seekor naga sakti yang hidup, apa lagi dengan adanya hujan mercon itu menambah hidupnya suasana. Demikian cekatan mereka main, dengan langkah-langkah kaki teratur dan kedua tangan memegang gagang tubuh naga yang terbagi menjadi belasan dan masing-masing dipegang gagang penyangganya oleh seorang pemain. Yang paling mengagumkan adalah si pemain cu (mustika) yang.bulat dapat berputar dan mengeluaikan suara berkerincingan. Dengan gerakan-gerakan kaki tangan bersilat dia mainkan mustika naga itu ke kanan kiri atas bawah dan pemain atau pemegang gagang yang menyangga kepala naga terus mengikuti gerakan mustika itu.

   Pemegang kepala naga ini haruslah seorang yang memiliki tenaga yang kuat karena kepala itu merupakan bagian terberat, apa lagi harus diayun-ayun mengikuti gerakan mustika agar kelihatan "hidup". Selain pemegang mustika yang harus memiliki gerakan silat indah dan pemegang kepala yang harus memiliki tenaga besar, dalam permainan liong ini yang terhitung berat adalah pemegang bagian leher dan bagian ekor. Bagian ekor ini juga berat, sungguhpun tidak seberat kepala, akan tetapi sering kali bagian ekor harus pandai cepat-cepat memutar ekor itu kalau kepala naga menyusup di bawah bagian tubuhnya agar tidak sampai membelit.

   Dan bagian leher harus waspada karena dia merupakan penunjang bagian kepala. Dia harus selalu mendekatkan bagian leher itu dengan kepala, maka dia haruslah seorang yang cekatan. Sekali saja dia kurang waspada dan menahan leher itu, kepala itu akan tertarik ke belakang dan ini berbahaya sekali, dapat merobohkan pemegang kepala sehingga tentu saja permainan itu akan menjadi rusak dan kacau. Selagi naga yang berwarna merah ini main, naga-naga lain yang berwarna hijau dan biru nenanti di pinggiran, menanti giliran mereka dan para pemegangnya menaruh gagang yang panjang di atas tanah, diberdirikan dan digoyang-goyang sehingga biarpun naga itu tidak sedang main, namun kelihatan hidup tanpa para pemainnya mengeluarkan tenaga karena yang menyangga adalah tanah.

   

Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini