Bayangan Bidadari 15
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
Kata Tiong Li Seng-jin danKakek yang sikapnya tetap tenang ini lalu bertanya kepada para murid yang berkumpul dalam ruangan di mana sembilan mayat itu direbahkan di atas bangku berjajar.
"Apakah yang dapat kalian ceritakan ketika kalian melihat perkelahian antara bayangan hitam itu dan Bu-Tong Sam-Lo?"
"Teecu (murid) mendengar Suhu Tiong Jin Tosu berseru bahwa bayangan hitam itu orang Siauw-Lim-Pai!"
Kata seorang murid.
"Teecu mendengar bayangan hitam itu menyebut Bu-Tong Sam-Lo, berarti dia mengenal ketiga Suhu!"
Kata yang lain.
"Dan Teecu mendengar dia menyebut omitohud yang membuktikan bahwa dia seorang Hwesio. Apalagi kepalanya memang gundul dan jubahnya seperti jubah seorang Hwesio."
Kata yang lain. Ketika di tanya apakah ada yang mengenal wajah Si Bayangan Hitam dan bagaimana bentuk tubuhnya, semua orang mengatakan bahwa cuaca yang gelap membuat wajah bayangan itu tidak dapat dilihat jelas. Dan tentang bentuk badannya, terdapat bermacam pendapat. Ada yang mengatakan kecil, ada yang mengatakan sedang, dan ada pula yang mengatakan tinggi besar. Hal ini karena gerakan bayangan itu amat cepat, pula jubah yang longgar itu menyembunyikan bentuk tubuh yang sesungguhnya.
"Kalau Teecu tidak salah duga, dia mempergunakan tendangan Siauw-Cu-Twi sehingga Suhu Tiong Jin Tosu menduga dia dari Siauw-Lim-Pai."
Kata seorang murid yang sudah lebih tinggi tingkatnya daripada yang lain.
"Siancai...!"
Tiong Hak Tosu berseru.
"Suheng, saya kira tidak salah lagi. Bayangan hitam yang kejam itu pastilah murid Siauw-Lim-Pai yang sudah tinggi tingkatnya!"
"Hemm, Tiong Hak Sute, bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa dia orang Siauw-Lim-Pai?"
Tanya Sang Ketua, tetap tenang.
"Bukti-bukti menunjukkan dengan jelas, Suheng. Pertama, dia seorang yang berkepala gundul dan berjubah Hwesio, biarpun warna jubahnya hitam, ini menandakan bahwa dia seorang Hwesio. Ke dua, dia mengenal Bu-Tong Sam-Lo, dia pandai menggunakan ilmu tendangan Siauw-Cu-Twi dari Siauw-Lim-Pai, dan ketika saya melawannya, saya yakin bahwa dia mempergunakan ilmu Toat-Beng Tiam-Hiat-Hoat, ilmu andalan Siauw-Lim-Pai yang hanya dikuasai mereka yang telah memiliki tingkat tinggi. Dengan bukti-bukti itu, saya tidak ragu lagi bahwa orang itu tentulah seorang murid tingkat tinggi dari Siauw-Lim-Pai, Suheng!"
Kata Tiong Hak Tosu yang berwatak jujur dan keras.
Mendengar ini, para murid Bin-tong-pal mengangguk dan menjadi gaduh karena menyatakan setuju. Ada pula yang marah-marah dan mengepal tinju, mendendam kepada Siauw-Lim-Pai. Tiong Li Seng-jin mengangkat tangan kiri ke atas dan semua anggauta Bu-Tong-Pai diam. Suasana menjadi sunyi karena semua tidak berani bersuara, siap mendengarkan apa yang akan dikatakan Ketua mereka.
"Siancai...! Dalam hal seperti ini, jangan sekali-kali membiarkan nafsu amarah menguasai hati kita, karena nafsu amarah akan membutakan mata mengacaukan akal budi dan pertimbangan kita. Kepala kita harus dingin agar kita dapat berpikir sehat dan bertindak bijaksana."
Tiong Hak Tosu segera menyadari kesalahannya.
"Harap Suheng maafkan saya. Menurut pendapat Suheng, bagaimana?"
"Sute, semua dugaanmu tadi memang menunjukkan bahwa Si Bayangan Hitam adalah seorang Hwesio Siauw-Lim-Pai. Akan tetapi yang perlu kita pikirkan, siapakah dia? Kita mengenal semua tokoh Siauw-Lim-Pai yang tingkatnya sudah setinggi itu! Dan andaikata benar dia itu seorang tokoh Siauw-Lim-Pai, mungkinkah dia melakukan pembunuhan-pembunuhan ini? Kita mengenal baik para pimpinan Siauw-Lim-Pai, bahkan mereka adalah saudara-saudara kita dengan aliran sesumber dan sama-sama golongan yang menentang kejahatan. Nah, kalau dia benar tokoh Siauw-Lim-Pai, lalu apa yang menyebabkan dia menyerang dan membunuh murid-murid Bu-Tong-Pai?"
Tiong Hak Tosu mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.
"Sesungguhnya, Suheng, kalau kupikir secara mendalam, rasanya mustahil kalau ada tokoh Siauw-Lim-Pai yang demikian kejam melakukan pembunuhan terhadap murid-murid Bu-Tong-Pai. Akan tetapi, karena bukti-bukti menunjukkan bahwa pelakunya orang Siauw-Lim-Pai, lalu kita harus berbuat bagaimana? Saya dan semua murid tentu saja menyerahkan kepada Suheng untuk mengambil kebijaksanaan dan keputusan."
Tiong Li Seng-jin diam sejenak, menghela napas panjang lalu berkata,
"Sekarang, yang terpenting adalah mengurus pemakaman para korban. Malapetaka yang menimpa kita ini memang besar sekali, ketiga Sute Bu-Tong Sam-Lo dan enam orang murid tewas. Akan tetapi malapetaka itu tidak boleh menggoyahkan batin kita. Biarlah Pinto akan merenungkan peristiwa ini dan setelah semua upacara pemakaman selesai, baru kita bicarakan apa tindakan yang harus kita ambil."
Bu-Tong-Pai berkabung dan sembilan jenazah itu diurus sebagaimana lajimnya. Semenjak hari itu, para murid Bu-Tong-Pai ditugaskan untuk siap siaga dan melakukan penjagaan ketat untuk menjaga agar jangan sampai mereka lengah lagi.
Belasan hari kemudian, sebelum Tiong Li Seng-jin mengambil keputusan, datanglah Yo Kang di markas Bu-Tong-Pai. Bu-Tong Sin-To (Golok Sakti Bu-Tong) Yo Kang yang menjadi tokoh Bu-Tong-Pai setelah memperdalam ilmu goloknya di bawah gemblengan Tiong Li Seng-jin sendiri merupakan tokoh atau pendekar muda Bu-Tong-Pai yang diharapkan akan dapat mengangkat nama besar Bu-Tong-Pai. Maka kedatangannya disambut dengan gembira oleh para murid Bu-Tong-Pai. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Yo Kang mendengar akan malapetaka yang menimpa, perguruannya. Bu-Tong Sam-Lo dan enam orang murid Bu-Tong-Pai tewas dibunuh seorang yang diduga adalah seorang tokoh Siauw-Lim-Pai yang amat lihai! Segera dia menghadap Tiong Li Seng-jin dan Tiong Hak Tosu di ruangan dalam Kuil itu.
"Suhu, banyak terjadi hal-hal yang aneh sekali, sama anehnya dengan peristiwa pembunuhan yang terjadi di sini. Teecu pernah diserang dan dikeroyok para anggauta Hek I Kaipang yang berpusat di Beng-San ketika mereka mengetahui bahwa Teecu adalah murid Bu-Tong-Pai. Mereka memusuhi Bu-Tong-Pai karena menurut cerita mereka, ada murid Bu-Tong-Pai yang telah membunuh tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang di An-Hui."
"Siancai...!"
Tiong Hak Tosu berseru kaget.
"Murid kita yang mana telah melakukan pembunuhan seperti itu?"
"Mereka juga tidak dapat menggambarkan orang yang membunuhnya, akan tetapi mereka merasa yakin bahwa pembunuhnya seorang murid Bu-Tong-Pai karena tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang yang tewas itu terbunuh dengan pukulan Tong-Sim-Ciang."
"Siancai...!"
Tiong Li Seng-jin berseru heran.
"Murid Bu-Tong-Pai yang menguasai Tong-Sim-Ciang dapat dihitung dengan jari! Selain Pinto dan Sute Tiong Hak Tosu dan mendiang Bu-Tong Sam-Lo, hanya engkau, Yo Kang, dan empat lima orang murid Bu-tong yang sudah lama meninggalkan Bu-Tong-San dan sekarang tinggal berpencar di mana-mana. Akan tetapi Pinto yakin bahwa mereka adalah murid-murid yang patuh dan setia kepada Bu-Tong-Pai, berjiwa pendekar dan tidak mungkin melakukan pembunuhan semena-mena itu. Lalu bagaimana, Yo Kang?"
Yo Kang lalu menceritakan betapa dia bersama In Hong mengadakan usaha untuk berunding dengan pihak Hek I Kaipang, dengan alasan bahwa pembunuh tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang itu mungkin saja orang lain yang hendak mengadu domba, mengusulkan agar pimpinan tertinggi Hek I Kaipang mengadakan pertemuan dengan pimpinan Bu-Tong-Pai untuk membicarakan urusan itu untuk berusaha bersama menangkap pembunuhnya.
"Siancai...! Usaha itu baik sekali, Yo Kang. Siapa In Hong itu?"
Tanya Tiong Hak Tosu.
"Kwee In Hong adalah Adik misan Teecu, Suhu. la dikenal dengan julukan Sian-Li Eng-Cu dan ia adalah murid... mendiang Hek Moli dan Bhutan Koai-jin."
"Siancai... suami-isteri liar itu...?"
Tiong Flak Tosu berseru kaget.
"Akan tetapi In Hong bukan seorang gadis liar, Suhu. Sebaliknya, walaupun wataknya keras, namun membela keadilan dan kebenaran."
Yo Kang membela Adik misan yang dicintainya.
"Yo Kang, lanjutkan ceritamu."
Kata Tiong Li Seng-jin yang tetap tenang mendengar semua keterangan Yo Kang.
"Masih terjadi hal yang lebih aneh lagi, Suhu. Ketika Teecu dan In Hong bermalam di sebuah hutan, Teecu mendapat serangan gelap dari seorang bersembunyi. Teecu nyaris celaka, akan tetapi In Hong menolong dan membantu Teecu. Penyerang itu melarikan diri dan anehnya, penyerang itu ketika menyerang Teecu menggunakan ilmu pukulan Pek-Kong-Ciang."
"Ah, Pek-Kong-Ciang dari Kun-Lun-Pai?"
Tiong Hak Tosu berseru heran.
"Benar, Suhu. Penyerang itu mahir menggunakan Pek-Kong-Ciang dari Kun-Lun-Pai."
Kata Yo Kang.
"Hemm, banyak hal yang aneh terjadi! Murid Bu-Tong-Pai dituduh membunuh tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang, lalu ada orang menyerangmu dengan pukulan Pek-Kong-Ciang dari Kun-Lun-Pai, dan yang terjadi di sini, pembunuh menggunakan ilmu Siauw-Lim-Pai menewaskan sembilan orang murid Bu-Tong-Pai! Gejala apa ini? Seolah ada usaha untuk menyalakan permusuhan antara Bu-Tong-Pai dengan Hek I Kaipang, Siauw-Lim-Pai, dan Kun-Lun-Pai!"
Kata Tiong Li Seng-jin.
"Semua itu tidak masuk akal. Mustahil ada murid Bu-Tong-Pai membunuh tiga puluh orang Hek I Kaipang yang terkenal bersih, tidak mungkin pula ada murid Kun-Lun-Pai menyerang dan hendak membunuh murid Bu-Tong-Pai secara menggelap, dan lebih tidak mungkin lagi ada tokoh Siauw-Lim-Pai membunuhi murid-murid Bu-Tong-Pai! Pinto mengira ada permainan kotor di sini."
Kata pula Ketua Bu-Tong-Pai itu.
"Akan tetapi, Suheng. Semua ini telah terjadi! Pihak Hek I Kaipang pasti tidak mau sudah begitu saja. Tiga puluh orang anggautanya dibunuh orang yang menyamar sebagai anggauta Bu-Tong-Pai. Mereka pasti minta pertangung-jawaban kita. Kita harus melakukan penyelidikan sungguh-sungguh, siapa tahu ada murid kita yang tersesat. Sementara itu, sembilan orang kita, bahkan ketiga Sute Bu-Tong Sam-Lo juga mati penasaran. Sudah sepantasnya kita minta pertanggung-jawaban Siauw-Lim-Pai. Semua ini demi keadilan, Suheng!"
Kata Tiong Hak Tosu dengan suara mengandung kedukaan dan penasaran.
"Siancai... memang tidak semestinya kita tinggal diam, Sute. Yo Kang, karena ketiga orang Susiokmu (Paman Gurumu) Bu-Tong Sam-Lo sudah tidak ada, maka Pinto menyerahkan tugas ini kepadamu. Engkau pergilah ke Siauw-Lim-Si (Kuil Siauw-Lim) di kaki Pegunungan Sung-San di Propinsi Ho-Nan, jumpai Ketuanya, Bu Kek Tianglo dan serahkan surat Pinto kepadanya. Engkau boleh ceritakan semua yang terjadi. Dalam surat Pinto itu, Pinto minta pertanggungan jawabnya dan memberi waktu tiga bulan. Kalau dalam tiga bulan Siauw-Lim-Pai tidak dapat menyerahkan pembunuh sembilan orang murid Bu-Tong-Pai, Pinto sendiri akan membuat perhitungan dengan para pimpinan Siauw-Lim-Pai."
Dalam ucapan Tosu yang biasanya lembut itu kini terdengar suara yang tegas.
"Baik, Suhu. Teecu akan melaksanakan perintah Suhu!"
Jawab Yo Kang.
"Dan engkau, Tiong Hak Sute, engkau kerahkan murid membuat penjagaan. Engkau Pinto tugaskan untuk menghadapi pihak Hek I Kaipang kalau mereka datang dan rundingkan urusan yang menyangkut nama Bu-Tong-Pai itu dengan baik dan hati-hati."
"Baik, Suheng."
Kata Tiong Hak Tosu. Pada keesokan harinya, Yo Kang meninggalkan Bu-Tong-Pai untuk pergi ke Siauw-Lim-Si. Sebelum ia tiba di Bu-Tong-San, dia sudah lebih dulu mengunjungi Bibinya, Yo Cui Hwa Ibu kandung In Hong di dusun Hok-Te-Cung. la mendapatkan Bibinya seorang diri di rumah itu. Seperti juga In Hong, Yo Cui Hwa merasa malu untuk menceritakan kepada Yo Kang bahwa ia telah menjadi isteri mendiang Ong Tiang Houw, pembunuh Kwee Seng, suaminya yang pertama. Biarpun ia menjadi isteri Ong Tiang Houw tanpa mengetahui bahwa dia itu pembunuh suaminya, namun ia tetap merasa malu untuk menceritakan hal itu kepada keponakannya ini.
Apalagi ketika itu, Lian Hong sudah meninggalkan rumah karena Ceng Seng Hwesio, wakil Ketua Siauw-Lim-Pai datang sendiri dan mengajak Lian Hong untuk memperdalam ilmunya di Siauw-Lim-Pai, mengingat bahwa gadis berusia empat belas tahun itu dianggap memiliki bakat yang amat baik. Lian Hong senang sekali dengan niat Ceng Seng Hwesio, dan Yo Cui Hwa juga tidak keberatan. Maka ketika Yo Kang datang, dia mendapatkan Bibinya itu hidup seorang diri. Mendengar bahwa Pamannya, Yo Tang yang tua itu sakit-sakitan dan selalu menanyakannya, Yo Cui Hwa mau dibawa keponakannya pindah ke See-Ciu, ke rumah Pamannya dan Kakak misannya, Yo Hang Tek. Demikianlah, dengan membawa surat Tiong Li Seng-jin untuk Bu Kek Tianglo, Yo Kang melakukan perjalanan secepatnya menuju Siauw-Lim-Pai di kaki Pegunungan Sung-San.
Biarpun bangsa Mongol bukan bangsa pribumi Tiongkok, melainkan merupakan bangsa nomad berkuda yang pindah clan satu ke lain daerah di bagian utara, berpindah-pindah memilih daerah yang subur, Namun harus diakui bahwa tidak ada bangsa sehebat bangsa Mongol yang pernah menguasai seluruh daratan Cina. Bangsa yang tidak berapa besar jumlahnya ini ternyata merupakan bangsa yang amat gigih dan pandai berperang. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tidak memiliki kegagahan dan keahlian bertempur.
Kuat, ahli menunggang kuda, semangatnya berkobar-kobar, dan terutama sekali liar dan ganas, tidak pernah memberi ampun kepada musuh-musuhnya sehingga kehebatan bala-tentara Mongol ini tercatat dalam sejarah bangsa-bangsa dari Asia sampai ke Europa! Tadinya bangsa Mongol tidak begitu terkenal, bahkan sebagian besar Tanah Mongol dikuasai oleh dua suku nomad lain, yaitu suku Naiman dan Kerait. Bangsa Mongol juga tunduk kepada suku bangsa Kerait. Akan tetapi sekitar tahun 1170 terjadilah keajaiban yang membawa perubahan besar pada bangsa Mongol. Dengan munculnya seorang pemuda Mongol berusia lima belas tahun yang gagah perkasa dan memiliki keberanian seperti seekor singa jantan. Pemuda Mongol ini bernama Temucin dan dia segera dipilih dan diangkat oleh bangsa Mongol menjadi pemimpin mereka karena keberaniannya yang amat hebat.
Tahun demi tahun dilalui pemuda Temucin dengan perjuangan mengembangkan dan memperkuat bangsanya. Satu demi satu para suku nomad lain diperangi dan ditalukkan, bahkan dua suku besar, yaitu suku Naiman dan terutama suku Kerait, diserang dan ditalukkan. Setelah berjuang selama tiga puluh tahun lebih, akhirnya seluruh Mongol mengakui kekuasaan Temucin dan pada tahun 1206 Temucin diangkat menjadi raja seluruh Mongol dengan gelar Jenghis Khan, nama yang sampai kini termashur di seluruh sejarah dunia. Mulailah dia membawa dan memimpin sendiri bala-tentaranya menyerbu ke selatan. Pada tahun 1213 dia menduduki Shantung dan Peking yang ketika itu menjadi Ibukota Kerajaan Cin, dengan nama Yen-Cing.
Setelah memporak-porandakan Kerajaan Cin, Jenghis Khan tidak melanjutkan serangannya ke selatan, melainkan mengalihkan perhatiannya ke Barat. Bagaikan air bah atau gelombang samudera, bala-tentara Mongol yang dipimpin sendiri oleh Jenghis Khan yang usianya sudah hampir enam puluh tahun namun masih gagah perkasa itu membanjir ke Barat dengan dahsyat dan tidak dapat terbendung oleh apa pun. Sejarah mencatat betapa bala-tentara Mongol di bawah pimpinan Jenghis Khan ini menyerbu Sin-Kiang, Iran, dan Afganistan, melumatkan kota-kota Bukhara, Samarkhand, baikh dan membunuh berpuluh-puluh ribu orang. Sebagian dari pasukan Mongol menyerang Iran Utara, lalu terus melewati pegunungan Kaukasia menyerbu Rusia Selatan.
Pada tahun 1223, ketika Jenghis Khan berusia enam puluh lima tahun, pasukannya menghancurkan tentara Rusia yang melawan di sebelah utara Laut Azov. Setelah sekian lamanya bertualang dalam peperangan dan selalu mencapai kemenangan, menghancurkan kota-kota besar dan membinasakan banyak sekali orang, Jenghis Khan memimpin pasukannya kembali ke Timur. Dia mengambil jalan melalui Pegunungan Ural di sebelah utara Laut Kaspia dan menggabungkan diri dengan induk pasukan yang bermarkas di Sin-Kiang. Dari situ bala-tentaranya dipimpin pulang ke Mongol dan tiba di Mongolia pada tahun 1225. Biarpun pada waktu itu usia Jenghis Khan sudah tujuh puluh tahun, namun semangatnya masih besar dan wataknya masih keras bagaikan seekor singa!
Ketika pasukannya mengadakan penyerbuan ke Barat, bangsa Hsi-Shia yang dia tundukkan enam belas tahun yang lalu (tahun 1209) tidak memperlihatkan kesetiaan mereka sebagai bangsa taklukan, dan tidak mau banyak membantu. Hal ini membuat Jenghis Khan marah dan sekali lagi dia membawa pasukan menyerbu daerah suku bangsa Hsi-Shia. Akan tetapi di dalam peperangan ini, sebelum Ibukota Hsi-Shia dapat direbut, Jenghis Khan yang sudah berusia tujuh puluh dua tahun (tahun 1227) meninggal dunia karena usia tua dan kelelahan. Akan tetapi oleh para putera dan pembantunya, penyerangan itu dilanjutkan dan beberapa hari kemudian Ibukota Hsi-Shia dapat direbut, dan semua penduduknya yang pria dibunuh! Hebat bukan main sepak-terjang Jenghis Khan yang di waktu mudanya bernama Temucin itu.
Puluhan tahun dia mengamuk dengan pasukannya, menyerbu ke barat dan tidak pernah ada pasukan musuh yang dapat menandinginya. Semua dipukul hancur, kota-kota dibasmi dan dibakar, dan jutaan orang, menurut perkiraan tidak kurang dari sebelas juta orang, dibunuh secara kejam dan tanpa mengenal ampun! Dunia Barat menjadi geger dan gentar, pasukan Mongol dianggap sebagai pasukan setan. Daerah yang direbut dan dikuasai Jenghis Khan membentang dari Laut Hitam sampai ke Lautan Pasifik! Setelah Jenghis Khan meninggal dunia, tidak berarti bahwa kegiatan bala-tentara Mongol yang merajalela itu terhenti. Puteranya yang bernama Ogudai yang menggantikannya menjadi Raja di Ibukota Kerajaan Mongol, yaitu Kotaraja Karakorum di Mongolia, melanjutkan politik mendiang Ayahnya, yaitu memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mongol.
Biarpun dia tidak seganas dan sekejam Jenghis Khan, namun Ogudai juga seorang, ahli perang yang mewarisi bakat Ayahnya. Diserbunya Kerajaan Cin pada tahun 1231. Perang terjadi selama tiga tahun dan akhirnya pada tahun 1234, Kerajaan Cin jatuh ke tangan Kerajaan Mongol. Mulailah Cina bagian utara menjadi wilayah Kerajaan Mongolia, adapun Cina Selatan tetap berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sung yang mengungsi ke selatan. Agaknya Ogudai tidak mau kalah oleh sepak terjang mendiang Ayahnya. Setelah Kerajaan Cin jatuh dan Cina bagian utara menjadi wilayah Mongolia, dia menghimpun lagi kekuatan. Pasukannya diperbesar dengan perajurit-perajurit dari bangsa Cina Utara yang telah dikuasai. Kemudian dengan bala-tentara yang besar dia lalu mengadakan lagi penyerbuan ke barat!
Pada tahun 1236 pasukan Mongol menyerbu ke barat, di sepanjang jalan, seperti dulu, kota-kota ditundukkan. Yang tidak melawan tidak diganggu, akan tetapi yang melakukan perlawanan dihancurkan dan kembali pembunuhan-pembunuhan terjadi. Kerajaan-Kerajaan Rusia Selatan ditundukkan. Kota-kota Kiev dan Moskwa direbut dan dibakar dalam tahun 1240. Lalu barisan terus menyerbu ke Polandia, mengarungi Sungai Weichsel, membakar kota Kra-Kau. Setelah itu, bala-tentara Mongolia yang oleh orang Europa dinamakan Pasukan Setan itu memasuki Silesia dan merebut Breslau. Para Raja di Jerman bersatu untuk mengadakan perlawanan, namun tentara gabungan ini pun tidak mampu menandingi bala-tentara Mongolia yang bertempur bagaikan setan. Tentara gabungan Jerman ini dibinasakan dalam pertempuran di Liegnitz pada tahun 1241!
Pasukan Mongol bagaikan banjir terus menyerbu dan memasuki Hongaria, menghancur-leburkan tentara Hongaria dan membakar habis kota Pest. Masih saja pasukan Mongolia maju terus sampai ke depan pintu gerbang kota Wien, di daerah Venezia dan sekitar Laut Adria. Seluruh Europa menggigil ketakutan. Pasukan Mongol itu datang menyerbu secara tiba-tiba dan cepat sekali. Orang-orang Europa menamakannya Pasukan Setan, Pasukan Liar, Pasukan Biadab dan sebagainya. Kekuatan mereka tidak tertandingi di mana-mana. Kekacauan dan ketakutan melanda semua bangsa Europa. Akan tetapi, dalam puncak kejayaannya itu, dalam tahun 1241, secara tiba-tiba Raja Ogudai meninggal dunia. Otomatis semua pasukan ditarik kembali ke timur dan menghilang begitu saja dari Europa.
Pasukan Mongol tidak meninggalkan tentara untuk tetap menguasai daerah-daerah yang telah ditundukkan itu. Europa terlalu jauh bagi mereka. Mereka menyerbu agaknya hanya untuk pamer kekuatan dan untuk menjarah-rayah. Setelah Ogudai meninggal, para penggantinya, beberapa orang pemimpin agaknya tidak begitu bersemangat sehingga Kerajaan Mongol tidak banyak melakukan gerakan. Namun pada tahun 1250, sembilan tahun setelah Ogudai meninggal, pemimpin Kerajaan Mongolia jatuh ke tangan Raja Mongka, seorang cucu Jenghis Khan. Di bawah pimpinan Mongka, kembali bala-tentara Mongolia memperlihatkan keganasannya. Seolah-olah perang merupakan cara hidup bangsa ini. Mongka kembali memimpin bala-tentara Mongol ke Barat. Kembali mereka berpesta pora, membunuh dan merampok.
Pada tahun 1258 bala-tentara Mongol membinasakan Khalifah Abassiyah di Bagdad. Adik Mongka yang bernama Kubilai membawa sebagian pasukan Mongol menyerang Kerajaan Sung di Cina Selatan. Kubilai memimpin pasukan melanda Cina Selatan dan semua daerah selatan direbut. Bahkan pasukan Mongolia terus menyerang sampai ke lndo Cina dan merampok Hanoi habis-habisan! Lagi-lagi semua kegiatan yang dahsyat itu terhenti ketika pada tahun 1259 Raja Mongka meninggal. Kubilai menarik pasukannya kembali ke Mongolia dan pada tahun 1260 Kubilai diangkat menjadi Raja atau yang disebut menjadi Khan sehingga gelarnya menjadi Kubilai Khan.
Kubilai Khan agaknya tidaklah sehaus darah dan segila perang seperti Jenghis Khan dan Mongka Khan. Dia mulai memperhatikan keadaan dalam negeri, berusaha untuk membangun daerah yang sudah dikuasainya. Yang mutlak berada dalam kekuasaannya di mana kekuasaan itu dapat dipertahankan dan bangsa Mongol dapat disebar dan membentuk pemerintahan yang teratur adalah Mongol, Cina dan Tibet. Pada tahun 1264 Kubilai Khan memindahkan Ibukotanya ke Peking dan mendirikan wangsa Cina baru, yang Wangsa Goan (Yuan). Dari tahun 1264 itulah Wangsa Goan mulai dihitung dan ternyata Kerajaan Goan ini mampu bertahan sampai seratus tahun lebih (1264-1368). Akan tetapi Kerajaan Goan belum lengkap ketika didirikan karena di selatan masih ada Kerajaan Sung.
Oleh karena itu, Kubilai Khan lalu mengadakan serangan ke selatan. Namun, Kerajaan Sung di selatan Sungai Yang-Ce, mengadakan perlawanan gigih, dibantu oleh para pendekar yang berjiwa patriot. Maka pertahanan mereka cukup kuat sehingga terjadi perang berkepanjangan. Baru pada tahun 1279, setelah berperang selama belasan tahun, Kerajaan Sung dapat dihancurkan seluruhnya. Tahun 1276 Kotaraja Hang-Couw direbut, Kaisar Kerajaan Sung ditawan dan dibawa ke Peking. Beberapa orang panglima Sung tidak juga mau tunduk dan mengangkat seorang keluarga Kaisar menjadi Kaisar baru dan bertahan di Kanton. Akhirnya, pada tahun 1279 itulah Kanton jatuh pula. Kaisarnya yang masih kecil dilarikan seorang panglima dan setelah dikejar-kejar akhirnya digendong panglima itu lalu terjun ke laut dan tenggelam.
Maka pada tahun 1279 itu berakhirlah Kerajaan Sung dan seluruh daratan Cina menjadi wilayah Kerajaan Goan. Kaisar Kubilai Khan mengalihkan perhatiannya kepada pembangunan. Banyak kekayaan diperoleh dari negara-negara barat yang pernah diserbu dan dirampok. Kaisar ini pun membersihkan semua pemberontakan dan perlawanan rakyat Han, membangun perdagangan sehingga keadaan mulai tenang kembali. Bahkan pemerintahannya mengambil sikap lunak. Tibet diperlakukan sebagai pembantu yang baik. Para Pendeta Lama dirangkul sehingga para Pendeta Lama yang berkuasa di Tibet dengan senang mau membantu Kerajaan Goan ketika dimintai bantuan untuk mengamankan keadaan di daratan Cina, di mana dinilai masih banyak pendekar berjiwa patriot yang diam-diam membenci dan memusuhi pemerintah Mongol.
Juga pemerintah Kubilai Khan mengulurkan tangan kepada para tokoh kang-ouw di Tionggoan (Tiongkok), memberi kedudukan tinggi dan terhormat kepada orang-orang Han yang pandai asalkan mereka itu mau membantu pemerintah. Banyak para pendekar dan orang pandai bangsa Han yang terpikat dan mau membantu. Sebagian adalah orang-orang yang memang tergila-gila oleh kedudukan, harta dan kesenangan. Sebagian lagi adalah mereka yang sebetulnya berjiwa pendekar dan patriot, namun mereka merasa percuma untuk dapat melawan dengan kekerasan karena pemerintah Mongol kuat sekali. Maka dengan menjadi seorang pembesar yang jujur, setidaknya mereka dapat melindungi rakyat jelata dan menggunakan kekuasaan yang mereka dapat untuk menyejahterakan rakyat.
Demikianlah sekelumit tentang riwayat kebangkitan bangsa Mongol yang hebat itu. Kisah "BAYANGAN BIDADARI"
Ini terjadi pada masa pemerintahan Kubilai Khan. Pada waktu itu (sekitar tahun 1290) Kubilai Khan sudah tiga puluh tahun menjadi Kaisar, dan usianya sudah lebih dari tujuh puluh tahun. Memang, seperti tercatat dalam sejarah, Kubilai Khan tidaklah sebesar ambisinya untuk merajalela menyerang negara-negara tetangga sepertiKakeknya. Pernah memang dia mencoba untuk menyerang Jepang (tahun 1281) namun gagal sama sekali. Kemudian pada tahun 1283 pasukannya menyerang Champa, walaupun berhasil menduduki namun tidak dapat lama dipertahankan. Kerajaan Annam juga dicobanya untuk diserang antara tahun 1285 dan 1287, namun gagal pula.
Pada tahun itu juga, Birma juga diserbu, namun juga tidak dapat mendudukinya secara sempurna. Setelah semua kegagalan ini, Kubilai Khan terpaksa harus mencurahkan perhatian keamanan dalam negeri karena masih ada saja rakyat yang dipimpin para pendekar terkadang melakukan pemberontakan kecil-kecilan namun yang cukup mengganggu. Oleh karena itu, untuk dapat menumpas para pendekar yang menentang Kerajaan Goan secara rahasia itu, Kubilai Khan lalu mengangkat dan menugaskan beberapa orang jenderal untuk memberantas dan menanggulangi gangguan ini. Di antara para panglima yang diberi tugas itu, yang paling terkenal dan pandai adalah Ogucin yang menggunakan nama pribumi Ouw Gu Cin atau yang dikenal sebagai Ouw Goanswe (Jenderal Ouw) dan yang tinggal di Kotaraja.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, usaha-usaha membasmi para pejuang rakyat itu antara lain Jenderal Ouw mendatangkan dan mempergunakan tenaga bantuan Empat Datuk Besar, yaitu Datuk Utara Pak Lo-Kui, Datuk Timur Tung Giam-Lo, Datuk Selatan Lam Sin, dan Datuk Barat See Te-Tok. Peristiwa terbantainya tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang di An-Hui yang dikabarkan dilakukan oleh tokoh Bu-Tong-Pai, merupakan berita yang amat menggemparkan dunia kang-ouw. Para pendekar dan para tokoh kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan) terkejut, heran dan bertanya-tanya mengapa ada tokoh Bu-Tong-Pai membunuhi begitu banyak anggauta Hek I Kaipang secara kejam.
Padahal Hek I Kaipang juga terkenal sebagai sebuah perkumpulan pengemis yang tergolong bersih, anti kejahatan bahkan juga patriottik, diam-diam tidak suka dengan pemerintah penjajah Mongol. Selagi peristiwa itu masih menjadi bahan percakapan di dunia kang-ouw, kembali terdengar berita yang lebih menggemparkan lagi. Sembilan orang anggauta Bu-Tong-Pai, termasuk Bu-Tong Sam-Lo yang termasuk tokoh besar Bu-Tong-Pai, tewas dibunuh seorang tokoh Siauw-Lim-Pai! Seluruh dunia kang-ouw geger dan panik. Mereka semua maklum bahwa peristiwa ini merupakan malapetaka dan sudah pasti berekor panjang. Semua orang yakin bahwa Bu-Tong-Pai pasti tidak akan tinggal diam dan kalau terjadi perang antara Bu-Tong-Pai dan Siauw-Lim-Pai, akan hebatlah akibatnya.
Ataukah perbuatan tokoh Siauw-Lim-Pai ini ada hubungan dengan berita bahwa ada tokoh Bu-Tong-Pai membantai tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang? Semua orang bertanya-tanya namun tidak ada yang dapat memberi jawaban. Orang hanya menduga-duga, mereka-reka tanpa pegangan yang pasti. Sementara itu, di Kuil Siauw-Lim-Si sendiri, perguruan silat yang juga menjadi pusat penyebaran Agama Buddha yang dihebohkan dan menjadi bahan pembicaraan orang, keadaannya tenang dan tenteram. Belum ada seorang pun murid atau anggauta Siauw-Lim-Pai yang mendengar akan peristiwa hebat yang terjadi di Bu-Tong-Pai itu. Kuil Siauw-Lim-Si yang menjadi pusat dari perguruan silat Siauw-Lim-Pai merupakan sebuah perumahan besar dan luas dengan berbagai bangunan kuno. Kuilnya juga besar, berdiri paling depan.
Pusat Siauw-Lim-Pai ini berdiri di kaki Pegunungan Sung-San, di Propinsi Honan, Cina Tengah. Selain menjadi perguruan silat aliran Siauw-Lim-Pai yang merupakan dasar dari banyak aliran persilatan, juga Siauw-Lim-Si menjadi pusat penyebaran Agama Buddha. Maka yang menjadi pimpinan dan Guru-Guru agama maupun silat di situ semua adalah para Hwesio (Pendeta Buddha). Siauw-Lim-Si merupakan Kuil kuno sekali. Bangunannya masih kuno, tentu saja mengalami beberapa kali perbaikan karena Kuil itu didirikan pada jaman Dinasti Liang (502-556). Seorang Pendeta Buddha yang terkenal dengan julukan Tat Mo Couwsu atau dikenal sebagai Budhi Dharma, Pendeta Buddhis Zen dari India yang arif bijaksana dan sakti, pernah tinggal di Kuil ini. Tat Mo Couwsu ini yang mula-mula mengajarkan semacam senam yang berdasarkan Yoga kepada para Pendeta.
Senam ini dimaksudkan untuk menjaga kesehatan tubuh para Pendeta Buddha yang lemah. Senam yang diajarkan Tat Mo Couwsu ini bukan sembarang senam, bukan semata untuk menyehatkan jasmani, melainkan terutama sekali untuk menyehatkan dan memperkuat rohani. Dari ilmu inilah kemudian berkembang menjadi ilmu silat, ilmu bela diri yang makin lama semakin dikembangkan. Pada mulanya, ilmu-ilmu silat Siauw-Lim-Pai dirangkai oleh para Pendeta Buddha (Hwesio) yang pandai dan yang mendapat petunjuk atau bimbingan langsung dari Thian (TUHAN) dengan melihat gerakan hewan yang hendak membela diri tanpa menggunakan akal, melainkan digerakkan oleh naluri untuk bertahan hidup. Mula-mula ilmu silat itu mencontoh gerakan dari Panca Hewan, yaitu gerakan Naga, Harimau, Macan Tutul, Ular dan Bangau.
Bersama jalannya Sang Waktu, ilmu ini terus dikembangkan sehingga muncul sebagai aliran, disesuaikan dengan silat manusia setempat, tradisi dan kebudayaan masing-masing. Namun di antara para aliran perguruan silat, yang paling terkenal adalah aliran Siauw-Lim-Pai yang dapat dikatakan sebagai induk para aliran yang lain. Pusat Siauw-Lim-Pai di kaki Pegunungan Sung-San ini terletak di tempat yang amat indah pemandangannya, subur tanahnya, dan sejuk segar hawanya. Lingkungan di hutan-hutan pegunungan itu belum dirusak dan dikotori manusia. Hawa udaranya jernih dan bersih sehingga tidak mengherankan kalau para Hwesio dan para murid Siauw-Lim-Pai yang berada di situ tampak sehat-sehat, pipi mereka kemerahan, sinar mata mereka bening dan wajah mereka cerah. Tampak benar bahwa mereka itu sehat jasmani dan rohani.
Pada waktu itu, Ketua Siauw-Lim-Pai masih tetap dipegang oleh Bu Kek Tianglo yang usianya sudah lebih dari delapan puluh tahun. Tadinya, Siauw-Lim-Pai dipimpin oleh tiga orang bersaudara seperguruan. Yang tertua adalah mendiang Bu Sek Tianglo, Hwesio yang suka merantau dan kini telah meninggal dunia, kedua adalah Bu Kek Tianglo yang kini menjadi Ketua Siauw-Lim-Pai dan yang ke tiga adalah Thian Beng Siansu yang juga merupakan seorang perantau setelah tertarik kepada Agama To dan dari seorang Hwesio (Pendeta Buddha) kini menjadi seorang Tosu (Pendeta Agama To)... Maka, kini hanya Bu Kek Tianglo seorang diri yang memimpin Siauw-Lim-Pai. Ketua ini dibantu oleh murid tertua, yaitu Ceng Seng Hwesio yang berusia sekitar lima puluh tiga tahun, yang mewakili Gurunya untuk melatih ilmu silat kepada para murid yang sudah tinggi tingkatnya.
Tentu saja Ceng Seng Hwesio mempunyai pembantu-pembantu dan di antara para pembantunya yang terpenting dan menduduki tingkat tinggi adalah Coan Sim Hwesio, dan yang terkenal dengan sebutan Ngo-Heng-Tin (Pasukan Lima Unsur). Pasukan yang terdiri dari lima orang Hwesio berusia sekitar empat puluh tahun dan lima puluh tahun ini memiliki nama julukan yang disesuaikan dengan sebutan lima unsur itu. Mereka adalah Kim Hwesio, Bhok Hwesio, Sui Hwesio, Ho Hwesio, dan Thou Hwesio, tepat dengan sebutan Lima Unsur, yaitu Kim (Emas, Logam), Bhok (Kayu, Pohon), Sui (Air), Ho (Api), dan Thou (Tanah)! Kalau lima orang Hwesio ini maju satu demi satu, tentu saja tingkat kepandaian silat mereka masih kalah setingkat dibandingkan tingkat Ceng Seng Hwesio sebagai murid tertua.
Akan tetapi kalau lima orang Hwesio itu maju bersama membentuk Ngo-Heng-Tin, biar Ceng Seng Hwesio sendiri tidak akan mampu menandingi mereka. Perumahan Siauw-Lim-Pai merupakan bangunan-bangunan yang kokoh kuat, dan di situ terdapat pula tempat-tempat rahasia dan jebakan yang berbahaya. Para murid dididik secara keras dan ketat sehingga setiap orang murid baru dinyatakan lulus kalau sudah mampu keluar melampaui lorong-lorong rahasia di mana terdapat alat-alat yang menguji kemampuan mereka.
Alat-alat ini amat berbahaya dan hanya murid yang sudah benar-benar lihai saja yang akan mampu lolos. Bahkan pemerintah Kerajaan Mongol saja tidak berani secara kasar mengganggu Siauw-Lim-Pai karena perguruan ini merupakan pusat penyebaran agama dan tidak tampak memberontak terhadap pemerintah penjajah. Akan tetapi para Panglima Mongol tentu saja tahu bahwa para murid Siauw-Lim-Pai yang berjiwa pendekar itu tentu saja membenci pemerintah penjajah sehingga Siauw-Lim-Pai tetap saja merupakan bahaya yang sewaktu-waktu dapat meletus, seperti api dalam sekam, tampaknya saja dingin, namun di sebelah dalamnya panas dan sewaktu-waktu dapat menimbulkan kebakaran.
Pagi hari itu udara dingin sekali. Matahari baru saja muncul sehingga cahayanya masih lemah, belum cukup panas untuk mengusir hawa udara yang dingin. Seperti biasa, para Hwesio di Kuil Siauw-Lim-Si sejak pagi sekali sudah bangun. Ada yang sedang Liam-Keng (membaca doa), ada yang mengerjakan pembersihan atau menyapu, ada pula yang sibuk di dapur, memotong kayu bakar, memikul air, mempersiapkan makanan pagi, menjerang air, dan sebagainya. Para murid juga sibuk membantu para Hwesio, ada pula yang belajar membaca kitab agama, ada yang berlatih silat. Jauh di tengah kebun yang luas di belakang perumahan Siauw-Lim-Pai yang dikelilingi dinding tembok tebal dan tinggi, kebun yang penuh tanaman bunga, sayur-sayuan, dan pohon-pohon buah, tampak seorang gadis yang berlatih silat seorang diri.
Gadis itu berusia sekitar enam belas tahun, tubuhnya sedang dan ramping, tubuhnya bagaikan kembang sedang mulai mekar, wajahnya cantik manis. Yang mengagumkan adalah gerakannya ketika bersilat tangan kosong di bawah pohon besar itu. Demikian tangkas dan gesit. Sepasang matanya yang bening tajam itu seolah tak pernah berkedip, mata seorang ahli silat yang sudah matang. Yang hebat adalah ketika ia memainkan ilmu silat Ngo-Heng Sin-Kun. Padahal ilmu silat ini amatlah sulit, berubah-ubah sesuai dengan silat lima unsur. Terkadang ganas dan penuh semangat seperti api, terkadang tenang namun menyembunyikan tenaga seperti air, terkadang kokoh seperti logam, lentur seperti batang kayu hidup, dan ada kalanya lamban tenang namun kokoh seperti tanah.
Juga setiap gerakan kaki atau tangan yang menampar atau menendang, mengeluarkan bunyi angin dahsyat, tanda bahwa ia memiliki sinkang (tenaga sakti) yang sudah mencapai tingkat tinggi. Setelah bersilat beberapa lamanya, dahi dan lehernya mulai basah oleh keringat padahal hawa udaranya dingin sekali. Namun pernapasannya masih biasa saja. Tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangan ke belakang punggung dan tampak dua sinar berkelebat ketika kedua tangannya sudah mencabut keluar sepasang pedang yang tadinya berada di sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Mula-mula gadis itu bergerak lambat dengan gerakan indah, tidak ubahnya seorang penari yang mahir.
Gerakannya lentur, lembut dan sama sekali bukan seperti gerakan silat yang melakukan serangan maut dan kasar, lebih mirip tarian indah sekali. Gerakan tubuhnya, kaki, tangan, leher, semua itu begitu serasi, harmonis, indah bagaikan seorang bidadari turun dari kahyangan dan menari-nari dengan kedua ujung selendangnya. Akan tetapi makin lama gerakan itu menjadi semakin cepat. Kini kedua batang pedang itu bergerak-gerak cepat sehingga makin lama bentuk pedangnya semakin kabur dan akhirnya yang tampak hanya dua gulungan sinar pedang menari-nari. Tubuhnya yang ramping juga semakin cepat bergerak sehingga akhirnya hanya tampak bayangan yang dibungkus dua gulungan sinar pedang! Tiba-tiba terdengar tepuk tangan dan gadis itu segera menghentikan silat pedangnya.
Di Siauw-Lim-Si terdapat banyak peraturan keras, di antaranya, murid tidak boleh memuji orang secara berlebihan, dengan sorakan atau tepuk tangan karena pujian berlebihan itu dapat membuat seorang murid menjadi lupa diri dan sombong, merasa hebat sehingga ketinggian hati ini bahkan mendatangkan kelengahan! Kini ada yang bertepuk tangan, berarti ada murid yang melanggar larangan itu, maka ia menghentikan permainannya dan cepat memutar tubuh menghadap ke arah orang yang bertepuk tangan. Akan tetapi ketika ia memutar tubuh, ia tidak melihat ada seorang pun di situ! ia merasa heran sekali. Tidak mungkin ada orang dapat bergerak sedemikian cepatnya menghilang sehingga ia tidak sempat melihatnya! Setankah yang bertepuk tangan tadi? Tidak mungkin. Mana ada setan muncul di waktu matahari sudah bersinar?
"Ciang-Hoat (silat tangan) yang hebat! Kiam-Hoat (silat pedang) yang mengagumkan!"
Tiba-tiba terdengar suara orang memuji. Gadis itu menengadah karena suara itu datangnya dari atas dan ia melihat seorang pemuda duduk di atas cabang pohon dengan kedua kaki bergantungan dan digerak-gerakkan dengan sikap lucu dan ugal-ugalan, seperti seorang kanak-kanak yang nakal.
"Hei! Engkau bukan murid Siauw-Lim-Pai! sungguh berani mati masuk ke tempat ini seperti maling! Kau maling, ya?"
Gadis itu membentak marah.
Pemuda itu tersenyum lebar dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah melayang turun dan kedua kakinya berdiri di atas tanah depan gadis itu dengan ringan seperti sepasang kaki burung yang hinggap di cabang saja. Mereka saling pandang dan dua pasang mata itu menyinarkan kekaguman. Kalau gadis itu merupakan seorang dara remaja enam belas tahun yang amat cantik jelita, pemuda itu berusia sekitar dua puluh tiga tahun, tubuhnya tinggi tegap, wajahnya amat tampan gagah, kulitnya tidak putih benar, agak gelap seperti kulit yang biasa mandi cahaya matahari. Ketika tersenyum wajah itu tampak manis dan sepasang mata tajam itu penuh pengertian, namun senyumnya, membayangkan bahwa dia berwatak jenaka dan gembira. Pakaiannya sederhana namun bersih.
"He-heh, Nona!"
Dia tersenyum lebar sehingga tampak giginya yang putih berkilau,
"kalau aku maling tentu tidak mau memperlihatkan diri. Mana ada maling pada pagi yang cerah begini menemui yang punya rumah?"
"Kalau engkau tidak berniat jahat, hayo katakan siapa engkau, mengapa berada di sini dan tidak masuk sebagai tamu melalui pintu gerbang!"
"Aku orang baik-baik, Nona. Namaku Si Han Lin, dan kalau aku sampai terpaksa masuk ke sini adalah karena ternyata para murid Siauw-Lim-Si adalah orang-orang yang tidak percaya dan berprasangka buruk kepada orang lain..."
"Si Han Lin! Kamu sudah melanggar peraturan malah sekarang menjelek-jelekkan murid Siauw-Lim-Pai! Beraninya kamu!"
"Uh, sabarlah, Nona. Engkau sendiri masih hutang padaku belum juga mau bayar, sudah marah-marah..."
"Hutang apa? Gila kamu barangkali!"
"Hutang nama. Engkau sudah tanya namaku dan sudah kuberitahu, akan tetapi engkau belum membalas memberitahukan namamu. Bukankah itu hutang namanya?"
"Baik, namaku Ong Lian Hong! Nah, sekarang cepat beri penjelasan mengapa engkau muncul di sini seperti maling. Kalau bohong aku akan menangkap kamu seperti maling!"
"Hemm, Nona Ong Lian Hong yang terhormat! Dengarlah baik-baik. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah berada di depan pintu gerbang, minta kepada para murid yang berjaga di sana agar aku diantarkan menghadap Ketua Siauw-Lim-Pai yang bernama Bu Kek Tianglo. Akan tetapi apa kata mereka? Mereka memaki aku gila dan bilang bahwa orang seperti aku tidak mungkin dapat bertemu dengan Bu Kek Tianglo dan akan membawaku menghadap Ceng Seng Hwesio atau seorang di antara para Hwesio pembantu. Tentu saja aku tidak mau karena aku perlu bertemu sendiri dengan Bu Kek Tianglo. Eh, mereka marah-marah dan aku diusir! Nah, terpaksa aku lalu masuk melalui dinding tembok dan tiba di kebun ini karena aku hendak mencari Bu Kek Tianglo! Sekarang begini, karena kita sudah saling berkenalan dan menjadi sahabat, kita baik-baikan saja dan engkau antarkan aku menghadap beliau, bagaimana?"
"Hidungmu!"
Lian Hong memaki, karena di situ para murid dilarang keras memaki, dengan kata kotor, maka ia pun memaki dengan menyebut hidung dan anggauta badan lain yang sifatnya tidak menghina. "Siapa yang menjadi sahabat?"
Si Han Lin, pemuda itu, meraba hidungnya.
"Hidungku kenapa sih?"
Dia memandang ke arah hidung dara itu.
"Tentu saja tidak seindah hidungmu, akan tetapi hidungku tidak cacat, bukan? Atau barangkali kotor karena debu?"
Dia menggosok-gosok hidungnya.
"Nah, sekarang sudah bersih, bukan?"
Geli juga hati Lian Hong, akan tetapi ia tetap cemberut.
"Tolol kamu. Maksudku, kita bukan sahabat."
"Lho! Lian Hong, bukankah kita sudah saling mengenal nama? Aku senang lho bersahabat dengan kamu. Hayolah, sahabatku, tolong antarkan aku bertemu dengan Bu Kek Tianglo. Aku harus bertemu dan bicara dengan beliau."
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Enak saja! Orang-orang yang amat penting, yang berkedudukan tinggi saja masih tidak berani sembarangan minta bertemu dengan Suhuku. Apalagi kamu!"
Han Lin terbelalak.
"Suhu? Jadi beliau itu Suhumu (Gurumu)? Tidak mungkin!"
"Heh? Kamu tidak percaya? Bu Kek Tianglo adalah Suhuku, tahukah kamu?"
"Kalau Ceng Seng Hwesio atau ke lima Ngo-Heng-Tin, memang murid beliau. Akan tetapi engkau? Seorang bocah perempuan? Jangan ngawur! Paling-paling engkau ini cucu murid atau buyut murid beliau!"
"Tolol kamu! Kamu telah melanggar, masuk tanpa ijin. Kamu harus kutangkap dan kuhadapkan Suheng (Kakak Seperguruan) Ceng Seng Hwesio!"
"Mau tangkap aku? Nah, silakan kalau engkau ingin nanti dimaki-maki Bu Kek Tianglo!"
Kata Han Lin dan dia menyodorkan kedua lengannya, menyerah untuk diikat. Lian Hong marah sekali, terutama karena dianggap bocah perempuan yang menjadi cucu atau buyut murid Bu Kek Tianglo. Ia menganggap pemuda itu amat menghinanya. Maka ia cepat mengambil tali dari bambu yang amat kuat dan berada di situ dan mengikat kedua pergelangan tangan itu, disatukan dan dibelit tali bambu lalu diikat sambil mengerahkan tenaganya sehingga ikatan itu kuat sekali.
"Nah, sekarang engkau akan kuhadapkan para Suheng! Hayo jalan!"
Bentak Lian Hong. Han Lin tersenyum.
"Tali bambu ini menyakitkan lenganku. Kau ikat begini kuat, apakah engkau tak kasihan padaku?"
"Kasihan apa? Kamu melanggar dan harus dihukum!"
"Ah, aku tidak mau kalau diikat dengan ini. Aku minta diikat dengan sabuk pinggangmu itu!"
Kata Han Lin dan sekali dia menggerakkan tangan, ikatan tali bambu Itu pun putus-putus! Lian Hong terbelalak, kedua pipinya yang putih menjadi kemerahan karena marahnya.
"Setan kamu! Anjing, Babi..."
"Ssstt! Aku dengar murid Siauw-Lim-Pai dilarang keras untuk memaki-maki seperti itu!"
Kata Han Lin. Lian Hong menggunakan tangan menutup mulutnya dengan kaget.
"Ohhh... aku lupa...! Si Han Lin, jangan main-main, apakah kamu hendak memberontak dan melawanku?"
Ia siap untuk menyerang.
"Tidak, aku tidak melawan. Aku tidak bersalah, aku hanya ingin bertemu dan bicara dengan Bu Kek Tianglo!"
"Kamu melanggar! Kamu harus ditangkap dan kuhadapkan para Suhengku!"
"Ya, boleh saja. Akan tetapi jangan diikat pakai tali kasar itu! Kalau pakai ikat pinggangmu dari Sutera itu, baru aku mau."
"Sialan!"
Lian Hong berseru. Kalau ia melepaskan ikat pinggangnya, bukankah berarti celananya akan merosot turun? Akan tetapi ikat pinggangnya dari Sutera itu panjang sekali, ujungnya saja sudah cukup untuk membelenggu kedua pergelangan tangan itu. Maka tanpa bicara lagi, ia melepaskan sebagian ikat pinggangnya, mengikatkan kembali bagian tengahnya dan sebagian ujungnya yang cukup panjang ia ikatkan pada kedua pergelangan tangan Han Lin yang menurut saja sambil tersenyum. Kini pemuda itu terikat oleh ujung ikat pinggang yang masih mengikat pinggang ramping itu!
"Hayo jalan!"
Bentaknya. Han Lin tersenyum dan berjalan. Karena kedua tangannya diikat sabuk yang masih mengikat pinggang Lian Hong, Tentu saja mereka harus berjalan berdampingan!
Han Lin berjalan melenggang sambil tersenyum geli, sebaliknya Lian Hong berjalan dan berusaha menjauh sedapat mungkin dengan mulut cemberut! Tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang Hwesio bertubuh tinggi besar yang mukanya merah. Inilah Ho Hwesio yang berusia empat puluh tahun. Di jubah Hwesio ini bagian dada terdapat huruf HO (Api) dan Ho Hwesio ini merupakan orang yang paling keras wataknya dibandingkan empat orang lainnya dari Ngo-Heng-Tin (Pasukan Lima Unsur). Alis Hwesio ini berkerut dan matanya memandang marah ketika dia melihat Lian Hong berjalan berdampingan rapat dengan seorang pemuda tampan yang asing, sama sekali bukan murid Siauw-Lim-Pai. Karena kini Ong Lian Hong menjadi murid Bu Kek Tianglo, berarti gadis remaja itu termasuk Adik seperguruannya!
"Sumoi, apa yang terjadi? Siapa pemuda ini?"
Ho Hwesio berseru dengan sikap penasaran. Lian Hong juga memiliki watak yang lincah, manja, dan galak pula. Melihat Ho Hwesio bertanya dengan nada yang keras, ia pun menjawab dengan cemberut pula.
"Ho Suheng, dia ini bernama Si Han Lin, memasuki kebun kita tanpa ijin, katanya hendak bertemu dengan Suhu, maka dia kutangkap untuk kuhadapkan Suheng Ceng Seng Hwesio!"
"Omitohud! Enak saja! Orang begini kurang ajar masih kau perlakukan dengan begitu lunak, Sumoi! Lepaskan dia, biar Pinceng (aku) yang membawanya ke dalam!"
Bentak Ho Hwesio.
(Lanjut ke Jilid 15)
Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
Karena merasa tidak enak kalau harus "memperebutkan"
Tawanan itu, Lian Hong tanpa bicara apa pun ingin melepaskan belenggu ujung sabuknya pada kedua pergelangan tangan Han Lin, akan tetapi ia terkejut melihat betapa kedua pergelangan tangan itu ternyata telah terlepas dari ikatan tanpa merusak ujung sabuk Suteranya. Cepat ia melibatkan lagi ujung sabuk itu pada pinggangnya yang ramping. Kemudian Ho Hwesio dengan alis berkerut menghampiri Han Lin dan berkata dengan suara keren.
"Hai, orang muda bernama Si Han Lin! Engkau telah berani sekali menghina Siauw-Lim-Pai!"
Han Lin memandang kepada Hwesio tinggi besar itu dengan mata terbelalak heran.
"Menghina? Aku menghina Siauw-Lim-Pai?"
Dia memandang ke arah huruf Ho pada dada jubah Hwesio itu dan maklum bahwa yang berdiri di depannya adalah seorang anggauta dari Ngo-Heng-Tin.
"Ho Hwesio, dalam hal apakah aku menghina Siauw-Lim-Pai?"
"Engkau telah menghina dua kali! Pertama, engkau masuk tanpa ijin berarti melanggar kedaulatan kami, dan ke dua engkau memaksa hendak bertemu dengan Suhu Bu Kek Tianglo, Ketua kami. Itu penghinaan namanya!"
"Wah, Ho Hwesio yang terhormat dan baik! Ucapanmu itu menyatakan kebenaran kata-kata bahwa kesalahan orang lain sekecil semut pun tampak nyata, akan tetapi kesalahan sendiri sebesar gajah tetap tidak kelihatan! Dengarlah baik-baik. Aku masuk ke sini karena aku telah ditolak dan diusir penjaga pintu gerbang biarpun aku minta ijin untuk masuk secara baik-baik! Kemudian, apa salahnya aku bertemu dengan Bu Kek Tianglo? Apakah di Siauw-Lim-Pai masih ada aturan membeda-bedakan manusia diukur dari golongan, kedudukan, kekayaan, atau kepandaian? Apakah Ketua Siauw-Lim-Pai itu bukan manusia dan terlalu Suci sedangkan aku hanya orang biasa yang kotor dan hina?"
Mendengar ini, wajah Ho Hwesio menjadi semakin marah, kini bukan hanya karena marah, melainkan lebih karena merasa ditegur dan malu.
"Orang muda, tidak perlu engkau banyak bicara. Kami di sini mempunyai peraturan sendiri yang tidak boleh dilanggar siapapun juga. Kalau engkau mempunyai urusan dengan Siauw-Lim-Pai, engkau cukup bicara dengan kami sebagai para pengurus Siauw-Lim-Pai. Kalau persoalannya penting, baru kami akan melaporkan kepada Toa-Suheng (Kakak Seperguruan Tertua) Ceng Seng Hwesio."
"Tidak bisa, aku hanya mau bicara dengan Bu Kek Tianglo sendiri dan tidak bisa diwakilkan orang lain!"
Kata Han Lin dengan tegas.
"Omitohud! Kiranya engkau bocah yang besar kepala dan nekat!"
Ho Hwesio marah sekali.
"Engkau nekat hendak berjumpa dengan Suhu Bu Kek Tianglo? Baik, untuk dapat bertemu engkau harus dapat melewati Ngo-Heng-Thia (Ruangan Lima Unsur) lebih dulu. Di sana ruangan itu, silakan masuk dan coba ingin kami melihat apakah engkau mampu melewatinya!"
Ho Hwesio menuding ke arah sebuah bangunan yang pintunya lebar dan tertutup. Han Lin tersenyum memandang ke arah bangunan itu dan mengangguk.
"Kebetulan sekali. Sudah lama aku mendengar akan hebatnya Ngo-Heng-Thia yang merupakan ujian terakhir bagi para murid Siauw-Lim-Pai. Aku ingin mencoba sampai di mana kehebatannya!"
Setelah berkata demikian, dengan langkah lebar dia menghampiri bangunan itu, diikuti oleh Ho Hwesio dan juga oleh Lian Hong yang merasa khawatir. Murid Siauw-Lim-Pai yang sudah lulus saja masih harus berhati-hati melewati lorong ruangan itu yang amat berbahaya. la sendiri memang sudah dapat melewatinya. Akan tetapi pemuda ini yang tidak tahu sedikit pun tentang Ngo-Heng-Thia, merasa tenang saja dan berani hendak mencoba melewatinya! Padahal, bukan saja hal itu amat sukar, bahkan juga amat berbahaya dan salah-salah dapat merenggut nyawanya!
"Si Han Lin, lebih baik engkau menyerah saja dibawa menghadap Suheng Ceng Seng Hwesio daripada nekat hendak memasuki Ngo-Heng-Thia!"
Kata Lian Hong yang tidak dapat menahan kekhawatirannya. Pemuda yang sudah tiba di depan pintu ruangan berbahaya itu, berhenti dan memutar tubuh menghadapi Lian Hong sambil tersenyum.
"Adik kecil, mengapa engkau menahan aku? Apa engkau khawatir kalau aku tidak mampu melewatinya dan terluka?"
Hati Lian Hong merasa dongkol mendengar dirinya disebut Adik kecil. la cemberut dan menjawab.
"Aku hanya peringatkan padamu karena aku tidak ingin Ngo-Heng-Thia kami dikotori mayatmu yang hancur dan darahmu mengalir ke mana-mana!"
"Hemm, terima kasih atas perhatianmu, Adik Ong Lian Hong. Jangan khawatir, kukira aku akan mampu melewatinya dengan selamat."
Kemudian sambil tersenyum Han Lin melangkah memasuki pintu yang terbuka lebar. Setelah dia masuk ke ruangan itu, ternyata ruangan itu hanya memiliki sebuah lorong yang lebarnya sekitar dua tombak dan cuacanya remang-remang. Dia melangkah tenang namun sesungguhnya dia waspada dan seluruh urat syarafnya siap siaga menghadapi bahaya yang bagaimanapun.
Begitu dia melangkah tidak lebih dari tujuh langkah, tiba-tiba terdengar suara keras di belakangnya. Dia cepat membalik dan melihat betapa pintu di belakangnya tertutup dari atas dengan daun pintu berlapis besi yang kokoh kuat! Dia terjebak dan tidak dapat kembali atau keluar dari ruangan itu. Jalan satu-satunya hanya maju terus tanpa diketahuinya apa yang akan menghadangnya dalam perjalanan itu. Sejenak Han Lin berdiri dan mengerahkan tenaga saktinya, membiasakan pandang matanya sehingga dapat menembus keremangan cuaca di dalam lorong itu. Kemudian dia melangkah maju perlahan-lahan dengan hati-hati dan waspada. Baru lima langkah dia berjalan, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dari sebelah kiri ke arah kepalanya. Han Lin yang sudah siap dengan pengerahan tenaga sinkang, cepat menangkis dengan tangan kirinya sambil menarik kepalanya ke belakang.
"Dukkk...!!"
Lengan kirinya bertemu dengan sebuah lengan baja yang amat kuat! Lengan baja itu begitu saja mencuat keluar dari dinding dan memukulnya.
Begitu ditangkis, lengan itu meluncur kembali masuk ke dalam dinding. Kini dia maklum bahwa tempat yang dijadikan tempat untuk menguji kepandaian para murid Siauw-Lim-Pai yang tamat belajar itu penuh dengan rahasia yang cukup berbahaya. Dia melangkah terus. Tiba-tiba terdengar suara dari atas dan meluncurlah bandul besi yang beratnya tentu ratusan kati, menimpa kepalanya. Kepala akan remuk kalau tertimpa besi seberat itu. Han Lin cepat mengelak dengan mencondongkan tubuh ke kiri. Pada saat itu, dari kiri tampak bayangan orang menubruknya dan besi yang menimpa tadi tertarik kembali ke atas dan ternyata besi itu tergantung pada sehelai tali baja yang kuat. Han Lin cepat mengelak dengan menyusup ke bawah sambil menggerakkan tangan kanannya memukul ke arah perut bayangan yang ternyata merupakan sebuah arca manusia terbuat dari besi.
Pemberontakan Taipeng Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo