Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 10


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Kaisar Mongol Oguthai. yang berhasil merebut wilayah Cin di Tiongkok utara masih menggunakan kota Mongol bernama Karakorum sebagai ibu kota kerajaannya. Istananya megah dan indah, penuh barang-barang berharga hasil perampasan dari macam -macam negara yang diserbu oleh bala tentaranya yang amat kuat. Juga di istana bekas Kaisar Cin. yaitu di Peking, dijadikan istana ke dua, dan kerusakan-kerusakan telah dibangun dan diperbaiki kembali, malah sekarang lebih mewah dari pada dahulu.

   Peking merupakan kota raja ke dua dan kota besar ini menjadi semacam tempat beristirahat kaisar dan para pembesar tinggi. Akan tetapi kaisar sendiri jarang sekali berada di Peking, atau kalau kebetulan berada di situ juga hanya untuk beberapa minggu saja. Yang sudah pasti, di situ menjadi sarang para pembesar Mongol dan kaki tangannya, yaitu penghianat-penghianat bangsa yang bermuka-muka terhadap penjajah menjual bangsa sendiri untuk mencari kedudukan dan harta. Banyak jumlahnya pembesar-pembesar penghianat macam ini, orang-orang Tiongkok yang lagak-lagunya sudah pula meniru-niru lagak penjajah.

   Amat lucu melihat orang Tiongkok itu berpakaian seperti pembesar Mongol bertopi Mongol. aksinya seperti orang Mongol. bahkan bicaranya di pelo-pelokan meniru-niru logat orang Mongol! Bukan main! Dan mereka menganggap mereka telah menjadi orang berkuasa yang gagah. Inilah macamnya orang-orang yang kehilangan kepribadiannya, beginilah manusia yang menjadi bujang nafsu kesenangan, mengejar kesenangan diri dengan pengorbanan apapun juga, rela bersikap palsu, hidup bertentangan dengan hati nurani dan jiwa sendiri, asal bisa memperoleh kedudukan bisa memperoleh kemuliaan dan harta dunia!

   Sudah tentu saja manusia-manusia macam begini ini memuakkan perasaan setiap orang yang sedikit saja mempunyai kepribadian manusia-manusia macam penghianat-penghianat bangsa yang sudah seperti badut-badut menari menurut irama musik majikannya kaum penjajah tentu saja menimbulkan rasa benci kepada setiap orang yang sehat pikirannya. Untuk menyenangkan majikan-majikannya, para bangsawan Mongol itu, para penghianat ini tidak segan-segan untuk menangkap-nangkapi bangsa sendiri dengan tuduhan memberontak, dengan ketawa-tawa sambil menuangkan arak di cawan majikannya melihat bangsa sendiri dipenggal batang lehemya sebagai hukuman seorang pemberontak. Alangkah rendahnya akhlak mereka! Untuk mendapatkan kedudukan dan uang. tidak segan-segan penghianat bangsa ini mencari dan menangkapi gadis-gadis cantik anak bangrsanya, untuk dijadikan umpan dan mangsa bagi bangsawan-bangsawan Mongol yang liar seperti bandot tua! Bahkan ada beberapa orang tikus kaki dua macam ini yang tidak sayang-sayang memberikan anak gadisnya sendiri kepada bangsawan Mongol. hanya agar dia mendapat kedudukan, kekuasaan dan kekayaan!

   Dunia sudah tua..... manusia sudah gila..... demikian keluh rakyat jelata yang hanya pandai berkeluh-kesah tanpa berani berkutik. Tak dapat disalahkan rakyat jelata, tidak boleh mereka ini disebut lemah atau kurang semangat. Apa daya mereka kalau berkutik sedikit saja berarti kepala mereka dipenggal? Apa daya-mereka kalau di sana tidak ada pahlawan-pahlawan bangsa yang sanggup mempersatukan dan memimpin mereka? Yang bermunculan malah bangsa sendiri yang menjadi penghianat dan lincah darat!

   Kalau orang-orang biasa saja sudah merasa penasaran dan kemarahan mereka hanya dipendam dalam dada. lebih-lebih lagi para pendekar perkasa yang tadinya hidup sebagai penghuni-penghuni hutan di gunung-gunung. Mereka merasa marah dan penasaran sekaii. Mereka maklum bahwa terhadap kaum penjajah Bangsa Mongol yang memiliki bala tentara kuat dan besar sekali itu. mereka tidak berdaya. Akan tetapi melihat bangsa sendiri menjadi penghianat. mereka tak dapat menahan kemarahan hati dan segera para enghiong pendekar ini turun gunung. Gegerlah di Peking setelah secara aneh. beberapa orang "pembesar"

   Bangsa Han yang menjadi penghianat ini tahu-tahu kedapatan tewas dipenggal orang lehernya di dalam kamar, tanpa ada tanda-tanda siapa adanya pembunuh- pembunuh itu.

   Kemudian, setelah diketahui bahwa yang melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para "boneka"

   Penjajah itu adalah orang-orang kang-ouw, mulailah para.pembesar mendatangkan jagoan-jagoan, untuk menjadi pelindung dan penjaga keamanan dan mulailah kerusuhan-kerusuhan terjadi, pertempuran-pertempuran kecil dan pertentangan-pertentangan antara orang-orang kang-ouw yang membenci para penghianat dan para jagoan yang dapat dijadikan kaki tangan mereka.

   Thio Wi Liong tiba di Peking pada saat sedang gawat-gawatnya karena beberapa hari yang lalu seorang pembesar boneka she Ciu terbunuh ketika sedang melakukan perjalanan dalam keretanya. Pemuda ini sengaja datang ke Peking karena setelah berbulan-bulan mencari keterangan di selatan, ia mendengar bahwa Gan Tui atau Beng Kun Cinjin lari dari istananya setelah membunuh seorang pangeran muda she Liu. Semenjak melarikan diri, tak seorangpun mendengar ke mana perginya bekas koksu itu? Oleh karena berita ini Wi Liong langsung menuju ke Peking untuk melakukan penyelidikan. Kalau dari orang-orang kang-ouw ia tidak bisa mendapat keterangan, mungkin dari pembesar- pembesar dan kaki tangan Kerajaan Mongol ia bisa mendapatkan jejak musuh besarnya. Kalau perlu ia akan menyusul ke kota raja di utara.

   Sebagai seorang yang berpakaian seperti seorang pemuda pelajar yang lemah lembut gerak- geriknya. ia tidak banyak menarik perhatian orang. Ia menginap dalam kamar sebuah rumah penginapan sedernana dan kelihatannya tidak mencurigakan. Akan tetapi setiap hari ia berkeluyuran ke tempat ramai, setiap kali ada kesempatan ia mencoba untuk bicara kepada orang-orang tua dan memancing tentang keadaan Koksu Beng Kun Cinjin. Di waktu malam ia keluyuran pula dan di waktu malam gelap begini lenyap sifatnya yang lemah lembut berubah menjadi seorang yang gerak-geriknya gesit seperti burung walet.

   Pada suatu pagi Wi Liong sudah nampak duduk di bangku rumah makan kecil menghadapi scmangkok bubur panas. Bukan kebetulan bahwa ia berada di warung itu, karena warung itu berada di seberang jalan di mana berdiri sebuah rumah gadung besar sekali milik keluarga Liu. Pemuda ini ternyata berhasil mendapat keterangan bahwa keluarga dari pemuda she Liu yang dahulu dibunuh oleh Beng Kun Cinjin, sekarang telah pindah ke Peking, di dalam rumah gedung itulah. Akan tetapi hanya sampai sekian saja keterangan yang ia peroleh. Tak seorangpun rupanya mengetahui mengapa pemuda Liu itu dibunuh.

   "Tentu ada rahasianya."

   Pikir Wi Liong dan bukan tidak bisa jadi kalau anggauta keluarga Liu itu ada yang tahu atau setidaknya dapat menduga ke mana perginya Beng Kun Cinjin yang kabarnya lari pergi membawa isteri dan anaknya.

   Warung itu cukup besar dan di situ sudah ada belasan orang tamu yang semua ingin mengisi perut dengan bubur panas yang sedap.

   "Buburnya satu mangkok lagi!"

   Terdengar suara keras dari belakang tempat duduk Wi Liong. Suara ini nyaring akan tetapi tidak menarik perhatian. Wi Liong yang sedang melamun sambil pandang matanya selalu menatap ke arah pintu halaman gedung keluarga kaya raya Liu itu.

   "Hebat betul orang itu, sudah habis tujuh mangkok masih tambah terus."

   Terdengar pelayan berkata perlahan sekali ketika memberi Wi Liong semangkok bubur lagi yang dimintanya.

   "Dengan arak lagi.......!"

   Ucapan ini menggerakkan hati Wi Liong. Tidak aneh orang banyak makan, di mana-mana juga ada orang gembul. Akan tetapi pagi-pagi menghabiskan tujuh mangkok bubur dengan arak? Lucu juga. Ia melirik ke belakang dan melihat bahwa orang gembul itu ternyata adalah seorang laki-laki tua berusia limapuluh tahunan, bertubuh tinggi besar tegap dan sikapnya gagah sekali. Hampir semua orang di dalam warung itu memandang kepada kakek ini dengan muka kagum. Memang kakek itu benar-benar gagah, pakaiannya ringkas dan kuat. Mukanya kemerahan dengan kumis dan jenggot seperti pahlawan besar di jaman Sam-kok, Kwan In Tiang atau Kwan Kong! Golok besar bersarung indah tergantung di pinggang kiri. Duduknya tegak dan gerak-geriknya membayangkan bahwa dia bukan orang sembarangan.

   Sekaligus Wi Liong tertawan hatinya oleh orang tua gagah perkasa ini. Tidak sukar untuk diduga bahwa orang ini tentulah seorang yang berjiwa gagah, seorang kang-ouw yang patut dijadikan kawan.

   Mangkok bubur panas mengepul sudah diantar lagi ke depan kakek itu. Sambil mengibaskan tangannya yang besar, kakek itu berkata tak senang.

   "Hemm. di Peking sekarang menjadi sarang lalat hijau!"

   Wi Liong tersenyum diam-diam. Sebagai orang yang sudah beberapa hari berada di situ, tentu saja ia segera dapat mengenal tiga orang "mata-mata'"

   Kerajaan yang sejak tadi memperhatikan kakek itu sambil saling bisik-bisik. Akan tetapi tak seorangpun kecuali Wi Liong melihat betapa kibasan tangan yang lebar itu sekaligus membuat tiga ekor lalat menempel pada telapak tangan.

   "Lalat makan lalat, sudah sepatutnya."

   Kembali kakek itu berkata.

   Kecuali Wi Liong, tidak ada yang melihat bagaimana kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya. Di lain saat. tiga orang mata-mata itu berseru marah.

   "Heeei.........pelayan! Dalam mangkok bubur ini ada lalatnya!"

   "Di sini juga ada."

   "Ini juga!"

   Tiga orang itu melotot dan memandang jijik.

   Pelayan berlari-lari menghampiri dan melihat bahwa betul dalam mangkok tiga orang itu terdapat masing-masin seekor lalat hijau yang besar! Ini betul-betul aneh dan tak dapat dimengerti karena sungguh kejadian yang langka ada lalat sampai masuk ke dalam mangkok bubur. Akan tetapi mata pelayan ini juga tajam, ia mengenal siapa adanya tiga orang itu, maka sambil membungkuk-bungkuk ia mengambil tiga mangkok itu dan berkata

   "Maaf loya. Biar saya mengambilkan gantinya."

   Buru-buru ia mundur dan tak lama datang lagi membawa tiga mangkok bubur panas di atas baki. Dengan hati-hati ia menaruh tiga mangkok bubur itu di depan tiga orang tamunya yang segera mengaduk-aduk dengan sumpit untuk melihat kalau-kalau ada lalatnya, sedangkan pelayan itu mengusir lalat yang mendekat dengan kain lapnya. Setelah melihat betul bahwa di dalam mangkok mereka tidak terdapat lalat, tiga orang itu mulai makan buburnya dan kembali mereka mulai melanjutkan pengawasan terhadap kakek gagah tadi.

   Kini Wi Liong sudah selesai makan dan sengaja duduk miring agar ia dapat mengawasi gerak-gerik kakek aneh itu. Kakek itu tersenyum kepadanya tangannya kembali mengebut lalat dan kini tidak kurang dari enam ekor lalat hijau "menempel"

   Pada jari-jari tangannya.

   "Lalat hijau menjemukan!"

   Kakek itu kembali menggerutu dan tangannya bergerak perlahan.

   "Auupphhh......!!"

   Seorang di antara tiga mata-mata itu membawa tangan ke mulut sambil melepaskan mangkok buburnya di atas meja, lalu terbatuk-batuk dan matanya mendelik.

   "Ada apa.........?"

   Tanya dua orang kawannya sambil menunda makannya.

   "Ada....... lalat........ ma........ mahukk........"

   Kata orang yang mulutnya kemasukan lalat besar yang menempel di kerongkongannya itu.

   Dua orang kawannya tertawa bergelak akan tetapi tiba-tiba mereka inipun terengah-engah, malah yang seorang terus muntah-muntah karena ada lalat memasuki mulut terus tanpa permisi masuk ke dalam perutnya!

   Kejadian yang lucu ini tentu saja menarik perhatian banyak orang dan tak dapat dicegah lagi meledaklah suara kerawa orang-orang yang sedang makan di situ, sampai ada yang tersedak-sedak dan terbatuk-batuk. Tiga orang mata-mata itu marah sekali, akan tetapi kepada siapa harus marah? Dengan mata melotot dan mulut memaki-maki tiga orang itu meninggalkan rumah makan tanpa membayar harga makanan. Pelayan yang menghadangnya menerima semprotan.

   "Mau minta bayaran? Tidak kulaporkan dan tidak ditutup rumah makanmu masih enak kau! Pedagang bubur lalat!!"

   Pelayan itu buru-buru mundur membiarkan mereka pergi dan kembali orang-orang di situ gelak tertawa. Mereka sebagian besar adalah penduduk aseli Peking maka mereka tahu belaka hahwa tiga orang itu adalah kaki tangan manusia-manusia penghianat yang suka menangkap-nangkapi bangsa sendiri yang dicurigai. Orang-orang macam ini kerjanya hanya keluyuran setiap hari mencari orang yang kiranya dapat dijadikan korban. Bagi para tamu. kejadian tadi adalah hal yang kebetulan saja dan mungkin sebagai hukuman atas dosa-dosa mereka. Kalau tidak begitu, masa hanya mereka saja yang diserbu lalat?

   "Mulut mereka terlalu busuk baunya sampai-sampai menarik lalat-lalat hijau."

   Kata seorang tamu sambil tertawa terpingkal-pingkal.

   "Lalat juga tahu mana sahabatnya!"

   Kata orang lain.

   Akan tetapi senda-gurau dan ejekan terhadap tiga orang mata-mata itu berhenti seketika setelah mereka melihat bahwa tiga orang itu ternyata tidak pergi jauh hanya berhenti di depan warung dan berdiri di seberang jalan dekat pintu halaman rumah gedung keluarga Liu.

   Sementara itu, kakek aneh itu menggapaikan tangan kepada seorang pelayan tua. Pelayan itu cepat menghampiri membungkuk-bungkuk merendahkan diri seperti sikap seorang pelayan rumah makan yang pandai.

   "Duduklah, mari temani aku minum arak."

   Kata kakek itu.

   Pelayan tua kaget, menggeleng-gelengkan kepala.

   "Mana berani saya berlaku kurang ajar terhaaap tamu? Silahkan loya minun, saya yang melayani."

   "Duduk kataku mengapa bantahan?"

   Kakek gagah itu menarik lengan si pelayan yang terduduk di atas bangku seperti bukan atas kehendaknya sendiri, tahu-tahu ia telah duduk begitu saja.

   "Minum secawan arak!"

   Pelayan itu dengan wajah berobah terpaksa minum, dan ternyata diapun seorang setan arak karena sekali tuang saja arak secawan itu sudah amblas! Ia menaruh cawannya yang sudah kering di atas meja wajahnya yang tadi agak pucat menjadi kemerahan dan ia tersenyum-senyum."Terima kasih. loya (tuan tua), arak ini enak sekali "

   Akan tetapi diam-diam Wi Liong mengerutkan kening karena ia melihat bagaimana secara cepat dan diam-diam tadi kakek aneh itu menaruh sebutir pel ke dalam cawan arak pelayan. Agaknya pel itu mudah cair dan tidak ada rasanya, buktinya pelayan itu minum habis tanpa merasa apa-apa. Apakah niat kakek itu melakukan hal ini? Apa kehendaknya? Wi Liong benar-benar merasa heran sekali.

   Akan tetapi tak lama kemudian ia segera mengerti. Kakek pelayan itu melihat caranya minum arak, terang bukan seorang yang tak pernah minum arak kalau tak mau dikata masuk golongan setan arak. Akan tetapi mengapa baru minum dua cawan saja sudah merah sekali mukanya dan suara ketawanya menandakan bahwa ia telah mabok berat? Kalau baru dua cawan saja, arak yang bagaimana tua pun takkan dapat memabokkan seorang ahli minum! Pelayan itu mulai bicara tidak karuan diselingi ketawa-tawa dan kini ia tidak begitu merendah-rendah seperti tadi.

   Wi Liong menjadi tak senang. Kakek tua aneh itu boleh jadi seorang tokoh kang-ouw yang nakal, akan tetapi tidak semestinya kalau ia mempermainkan seorang, pelayan yang tidak punya desa. Selagi ia hendak menegur, ia tersentak kaget dan tidak jadi bergerak ketika mendengar kakek itu berkata.

   "Nah. loheng (kakak tua), sekarang kau dongengkan tentang orang-orang ternama seperti misalnya keluarga Liu pemilik rumah gedung di depan itu."

   Pelayan itu tertawa terkekeh-kekeh, tawa seorang mabok yang tidak sadar lagi.

   "Bandot tua bangka itu? Heh-heh-heh. apanya yang patut didongengkan? Bandot mata keranjang sampai ke tulang sumsum, bapak anak seringgit dua-rupiah-setengah, sama saja!"

   Wajah kakek aneh itu nampak berseri dan penuh harap.

   "Mengapa kau bisa bilang keluarga itu mata keranjang? Apa buktinya?"

   "Heh-heh-heh. bukti? Mau bukti? Hanya orang buta yang tidak melihat. Siapa tidak tahu tentang gadis desa yang tahu-tahu mati dan dikubur diam-diam di tengah malam? Dan belum lama ini setiap malam terdengar tangis wanita, kabarnya ada lagi gadis yang diculiknya. Padahal usianya sudah enampuluh lebih. Kalah tua aku! Tapi tua-tua keladi makin tua makin menjadi! Heh-heh-heh."

   "Semua orang tahu memang kalau Liu-wangwe hartawan Liu mata keranjang, akan tetapi kau bilang ayah anak sama saja, apa artinya itu? Bukankah anaknya hanya seorang yang sudah remaja puteri?"

   "Oooo kau keliru........."

   Pada saat itu pengurus rumah makan itu datang menghampiri dengan langkah lebar.

   "A Sam. jangan mengganggu tamu........."

   Kakek aneh itu melotot kepada pengurus rumah makan.

   "Apa mengganggu? Aku yang mengundangnya menemani aku minum. Kau mau apa?"

   "Maaf, loya........."

   Pengurus itu merendah dan wajahnya memperlihatkan kekhawatiran dan beberapa kali ia menengok ke arah tiga orang mata-mala yang sejak tadi berdiri di depan.

   "akan tetapi A Sam kami beri upah bukan untuk mengobrol, melainkan untuk bekerja....... dan........"

   "Berapa sih upahnya? Nih gantinya!"

   Kakek aneh itu melemparkan sepotong perak yang barangkali cukup untuk membayar upah A Sam selama sepekan!"Sudah, enyah! Teruskan Sam-ko!"

   Pengurus itu tidak berani berkata apa-apa lagi dan pergi. Ia maklum bahwa kakek yang seperti Kwan Kong dan membawa-bawa golok itu tentu seorang kangouw maka ia tidak berani memaksa.

   "Celaka, pikirnya. A Sam sudah mabuk: dan membuka-buka rahasia orang sedangkan anjing-anjing pemburu itu masih berada di depan pintu. Celaka, celaka......... apa yang akan menimpa rumah makan kita?"

   Demikian pengurus itu menggerutu seorang diri.

   Adapun A Sam setelah longak-longok dan tersenyum-senyum puas melanjutkan kata-katanya.

   "Kau keliru loya. Keluarga Liu itu dahulunya mempunyai seorang putera, dalam hal watak cabulnya tidak kalah oleh si bandot tua ayahnya sendiri."

   Pengurus rumah makan itu membanting-banting kaki melihat tiga orang mata-mata kaget mendengar seorang pelayan warung berani memaki-maki Liu-wangwe (hartawan Liu) atau boleh juga disebut Liu-taijin (pembesar Liu). Saking herannya mereka ini sampai tidak bertindak apa-apa. hanya membuka telinga ikut mendengarkan.

   "Di mana puteranya itu sekarang?"

   Tanya kakek aneh penuh perhatian.

   "Ho-ho. sudah tidak ada lagi. Sudah mampus! Akibat mata keranjangnya. Masa dia berani main gila dengan isteri koksu baru."

   "Kau maksudkan Beng Kun Jinjin?"

   "Namanya siapa aku tidak tahu, mana aku bisa tahu? Kabarnya koksu itu seorang hwesio tua, diberi hadiah selir kaisar yang disebut Puteri Harum! Ha-ha-ha lucunya manusia! Puteri Harum bekas selir kaisar dijodohkan dengar seorang hwesio gundul tua, mana puas? Diam-diam main gila dengan putera keluarga Liu yang muda dan ganteng. Semua orang tahu belaka, hanya hwesio tua bangka itu goblok seperti kerbau...... Ha-ha. tentu saja aku juga tahu, dahulu aku berdagang di kota raja, sampai jatuh gulung tikar karena aku keedanan judi dan........."

   Mendengar cerita itu melantur tidak karuan, kakek tadi lalu menyetop.

   "Main gila dengan isteri koksu lalu bagaimana?"

   "Akhirnya hwesio koksu itu tahu juga rupanya. Pada suatu malam si hwesio minggat setelah membunuh pemuda she Liu itu di kamarnya. Dengar baik-baik loya, dibunuh di dalam kamar tidur koksu itu sendiri. Ha-ha itu saja sudah menerangkan keadaan sebenarnya. Hwesio itu membunuh si pemuda lalu minggat bersama Puteri Harum dan anaknya."

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   "Sudah punya anakkah Puteri Harum dan hwesio itu?"

   "Bukan anak si hwesio!"

   "Anak orang she Liu "

   "Juga belum tentu."

   "Habis anak siapa?"

   "Ha-ha-ho-ho, bapaknya banyak......... ha-ha. Tadinya selir kaisar, lalu isteri hwesio dan kekasih Liu-kongcu. Coba bilang, siapa bapaknya?"

   "A Sam, cukup! Bantu aku di sini!"

   Teriak si pengurus rumah makan dengan muka pucat. A Sam agaknya masih ingat akan pengaruh bentakan majikannya ini, cepat-cepat ia berdiri menjura kepada kakek aneh itu dan menghampiri majikannya untuk membantu pekerjaan lain.

   Kakek aneh itu tertawa seorang diri sambil menenggak araknya.

   "Bandot tua....... mata keranjang......!"

   Terdengar ia bersungut-sungut. Akan tetapi kakek itu tersentak kaget ketika memandang ke depan. Terlihat tiga orang mata-mata itu sedang bercakap-cakap dengan seorang kakek tinggi besar dan buruk rupa, bengis kelihatannya, alisnya tebal menutupi mata.

   "Dia di sini.......?"

   Kakek itu berbisik, buru-buru membayar harga makanan dan segera pergi dari warung itu. Akan tetapi Wi Liong masih dapat melihat bagaimana kakek itu menekan, pinggir meja yang segera melesak ke bawah dan meja itu menjadi miring!

   Wi Liong diam-diam merasa kagum dan tidak mengerti akan sikap yang aneh ini. Ia masih terlampau tertegun mendengar penuturan pelayan tua yang benar-benar sangat menguntungkan baginya itu. Jadi sudah jelas bahwa keluarga Liu ini pernah berurusan dengan Beng Kun Cinjin dan kiranya kakek pelayan atau keluarga itu akan dapat memberi petunjuk kepadanya ke mana perginya Beng Kun Cinjin.

   Ketika ia melihat lagi, kakek aneh bermuka Kwan Kong itu sudah tidak kelihatan lagi bayangannya dan sebagai gantinya, dengan langkah lebar masuklah kakek tinggi besar yang tadi bercakap-cakap dengan tiga orang mata-mata di halaman gedung keluarga Liu. Kakek ini tidak kalah anehnya oleh yang tadi. Tubuhnya tinggi besar, mukanya segi empat alisnya tebai menutupi mata, kulit tubuhnya mbengkerok seperti kulit buaya kudisan.

   "Mana dia A Sam si mulut busuk?"

   Tanya kakek tinggi besar itu sambil terus melangkah menghampiri pengurus warung yang kelihatan ketakutan melihat kakek ini. Pengurus itu menudingkan telunjuknya ke kiri dan...... A Sam telah tidur mendengkur di atas bangku panjang!

   Kakek itu menghampiri A Sam yang mabok berat sekali, melihat sebentar lalu menepuK kepalanya beberapa kali. Aneh. A Sam lalu membuka matanya dan agaknya sudah sadar sama sekali dari pengaruh arak. Wi Liong yang menyaksikan ini semua membuka mata lebar-lebar. Ternyata kakek itu telah membuka hawa murni pelayan itu sehingga semua hawa pengaruh arak telah buyar dan lenyap. Hanya seorang berilmu tinggi saja yang sanggup menotok urat-urat kecil di bagian kepala untuk memberi jalan kepada hawa arak yang memenuhi kepala! Lagi-lagi seorang pandai di depannya! Ia memandang terus dan makin lama ia merasa makin tidak asing, seakan-akan ia pernah bertemu dengan kakek ini, entah di mana. A Sam memandang bingung, kemudian kelihatan ketakutan.

   "Hayo katakan, kau yang tahu akan riwayat dahulu, di mana adanya Beng Kun Cinjin sekarang!"

   Tanya kakek tinggi besar itu dengan suaranya yang parau dan kasar.

   "Saya....... hamba....... tidak tahu. Nama itupun baru sekarang hamba dengar........"

   "Bulus! Kalau tidak tahu mengapa tadi mengobrol tidak karuan?"

   "Hamba tidak mengobrol, loya. Sejak tadi melayani para tamu dan........."

   Terdengar beberapa orang tamu tertawa geli, akan tetapi segera diam kembali seperti jengkerik terpijak ketika kakek tinggi besar itu mengerutkan kening dan membentak.

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa orang muka merah yang kau ajak mengobrol tadi?"

   "Orang muka merah yang mana? Aahhhh......."

   A Sam teringat.

   "dia kan tamu di sini tadi.........?"

   A Sam benar-benar kelihatan bingung sekali.

   "Hamba tidak kenal dan tidak tahu ke mana perginya........."

   A Sam memandang ke arah meja yang sudah miring.

   Melihat meja itu, kakek tinggi besar menghampiri dengan langkah lebar, lalu tertawa bergelak menyeramkan.

   "Yang beginian saja dipamerkan?"

   Jari telunjuknya mengungkit ujung meja yang segera terangkat dan rata kembali berdirinya.

   Kemudian kakek itu menyambar kedua kaki pelayan tua, mengangkatnya ke atas sehingga pelayan itu tergantung dengan kepala di bawah! Tentu saja A Sam menjerit-jerit seperti babi disembelih minta diampuni.

   Sambil tertawa-tawa kakek itu membawa A Sam ke dekat tempat godokan bubur dan menggantung kepala A Sam di situ. mengancamnya hendak memasukkan kepala yang kecil gepeng (tipis) itu ke dalam bubur yang mendidih!

   "Aduuhhh...... aaa...... aadduuhhh....... loyaa....... panas.......!"

   A Sam menjerit-jerit, ngeri melihat bubur yang panas mendidih, yang setiap pagi menjadi permainannya kalau ia melayani para tamu. Belum juga kepalanya menyentuh bubur, ia sudah hampir pingsan dan berteriak-teriak kepanasan! Para tamu memandang penuh kengerian pula. Betul-betulkah kepala itu hendak dimasukkan ke dalam bubur mendidih? Sementara itu pengurus rumah makan berdiri dengan kaki menggigil dan muka pucat.

   Kakek kejam itu agaknya mengalami kegembiraan benar melihat A Sam yang ketakutan. Ia tertawa-tawa geli seperti meiihat sesuatu yang lucu. Tangan kirinya yang memegang dua pergelangan kaki A Sam sebentar diturunkan sampai kepala itu sudah mulai terkena uap lalu diangkat lagi, dipermainkan.

   "Ampuuunn...... am..... ampun, tuan besaaarrr......"

   "Ha-ha-ha. mana bisa ada ampun? Kau kemarin memberi bubur yang terlalu panas sampai lidahku serasa terbakar, sekarang kau rasakan bagaimana kalau kepalamu kumasukkan ke dalam bubur panas"

   Kata kakek itu membuat semua orang terheran-heran. Tadinya mereka mengira bahwa kakek itu hendak menghukum A Sam karena tadi A Sam membongkar rahasia keluarga Liu, tidak tahunya sekarang mendadak si tinggi besar itu mempersoalkan lidah terbakar oleh panasnya bubur. Benar-benar hal yang amat mbo-cengli (tiada aturan)!

   "Bu-ceng Tok-ong.......!"

   Tiba-tiba terdengar suara ini dan kakek itu seperti dipagut ular, melemparkan tubuh A Sam ke samping, membuat pelayan itu mengaduh kesakitan dan kepalanya benjol sebesar telur bebek. Cepat ia merayap dan menymgkirkan diri ke belakang, terus bersembunyi masuk ke kolong meja dapur!

   Adapun kakek itu yang sebetulnya bukan lain memang Bu-ceng Tok-ong. meraba-raba siku tangan kirinya sambil memandang ke sekelilingnya. Sinar matanya yang bersembunyi dari balik alis tebal itu menyambar-nyambar penuh bahaya. Akan tetapi, para tamu di dalam warung itu hanya orang-orang biasa, tidak ada yang mencurigakan. Diam-diam ia bergidik sendiri. Sudah terang baginya bahwa ada orang pandai yang baru saja menyerangnya dengan pukulan dari jauh, tepat mengenai siku tangan kirinya, membuat tangan kirinya terasa lumpuh. Orang yang mampu melakukan hal ini sudah tentu seorang pandai sekali. Akan tetapi ternyata orang itupun tidak bermaksud jahat, kalau tidak demikian kiranya pergelangan sikunya dapat terluka lebih hebat lagi. Setelah mendapat kenyataan bahwa di tempat itu tidak terdapat orang yang patut memiliki kepandaian tinggi dalam pandangannya, Bu-ceng Tok-ong dengan langkah lebar keluar dari warung itu, sedikitpun tidak menengok lagi kepada A Sam.

   Para tamupun bubaran cepat-cepat dan sehari itu warung yang biasanya ramai ini menjadi sepi. Berita tentang peristiwa itu cepat sekali tersiar dan orang-orang tidak berani berbelanja di situ, takut kalau terbawa-bawa. Juga Wi Liong diam-diam pergi dari tempat itu. Tadi dia yang menolong A Sam dan diam-diam dia mengirim pukulan jarak jauh, tidak terlalu kuat akan tetapi cukup memberi peringatan kepada Bu-ceng Tok-ong bahwa kalau Raja Racun ini melanjutkan perbuatannya, menggodok kepala A Sam hidup-hidup, tentu akan ada orang yang menolong pelayan itu. Wi Liong bukan seorang bodoh. Dia tidak mau berlaku ceroboh di dalam kota yang selalu terjaga kuat dan penuh dengan mata-mata pemerintah Mongol. Ia hendak menyelidiki urusan pribadinya dengan diam-diam tanpa banyak menimbulkan keributan. Ia sudah mengambil keputusan untuk menemui A Sam malam nanti dan minta penjelasan lebih jauh tentang Beng Kun Cinjin.

   Malam hari itu kota raja ke dua itu nampak indah di bawah sinar bulan yang sore-sore telah muncul di langit biru. Suasana remang-remang romantis menimbulkan kegembiraan dalam hati. Sayang sekali hawa amat dinginnya, orang-orang tidak sda yang berani keluar kalau tidak mempunyai keperluan penting. Lebin enak berdiam di rumah menghadapi hangatnya api di perapian. Apa lagi menjelang tengah malam setelah bulan jauh terbang ke arah barat, dinginnya bukan kepalang.

   Akan tetapi bagi Wi Liong yang sudah memiliki kepandaian tinggi, dengan hawa sinkangnya ia dapat mempertahankan kedinginan itu. Malah ia melompat ke sana ke mari dari genteng rumah ini ke genteng rumah itu bagaikan seekor burung beterbangan. Gerakannya gesit bukan main dan bagi mata biasa sukarlah mengikuti gerakan-gerakan Wi Liong. Sebentar saja ia sudah tiba di atas genteng rumah makan yang pagi hari tadi menjadi tempat keributan. Wi Liong mengintai dari atas genteng. Di bawah gelap saja. tanda penghuninya sudah tidur. Ia melompat turun dan sekali raba terbukalah jendela rumah itu.

   Wi Liong terheran karena mendapat kenyataan bahwa jendela itu memang tidak terkunci dari dalam. Ia melompat masuk bagaikan seekor kucing tanpa menerbitkan suara sedikitpun dan di lain saat ia hampir mengeluarkan seruan kaget ketika di bawah sinar bulan yang menerobos masuk ia melihat tubuh A Sam terbujur kaku dan tak bernyawa di atas bangku panjang! Ia cepat melompat lagi dan kini ia menuju ke rumah gedung di depan warung itu. A Sam sudah tidak bisa dimintai keterangan dan orang satu-satunya yang dapat memberi keterangan kiranya hanya orang she Liu yang oleh A Sam disebut bandot tua.

   Dari jauh ia sudah melihat pertempuran hebat terjadi di atas genteng tebal rumah gedung keluarga Liu. Ia mengenal kakek aneh bermuka merah yang pagi tadi makan di warung. Kakek itu dibantu oleh seorang gadis muda mengeroyok Bu-ceng Tok-ong yang lihai, menggunakan golok besarnya sedangkan gadis muda itu menggunakan sebatang pedang, ilmu silatnya cepat dan cukup lihai. Namun Bu-ceng Tok-ong yang bertangan kosong itu dapat melayani dua orang lawannya yang bersenjata dengan baik, malah dengan pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun ia dapat mendesak dua orang lawannya yang bersikap hati-hati dan main mundur!

   Wi Liong tahu akan kejahatan Bu-ceng Tok-ong dan ia memang tidak suka kepada tokoh Mo-kauw yang sudah pernah menculiknya dari puncak Kun-lun-san itu. Akan tetapi ia tidak mengenal kakek bermuka merah dan gadis berpedang itu. maka merasa tidak pada tempatnya kalau ia membantu mereka tanpa mengetahui sebab-sebab pertempuran. Tanpa diketahui oleh mereka yang sedang bertempur seru, Wi Liong menyelinap dan terus melompat ke bagian lain dari rumah gedung keluarga Liu. Dia hendak menyelidiki dan mencari musuh besarnya, tak perlu melibatkan diri dengan urusan orang lain, pikirnya.

   Akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak genteng di bagian belakang, tiba-tiba ia berjongkok dan bersembunyi di balik wuwungan ketika dari bawah melayang naik dua bayangan orang, juga seorang gadis dan seorang kakek pengemis. Gadis manis itu belum pernah Wi Liong mengenalnya, akan tetapi melihat kakek pengemis yang tangan kiri memegang tongkat bambu dan tangan kanan memegang mangkok, pengemis bertubuh kecil pendek dan bermata besar ini. ia teringat akan penuturan pamannya bahwa di dunia kang-ouw terdapat seorang tokoh besar bernama Pak-thian Koai-jin. Inikah orangnya?

   "Suhu. puas hati teecu (aku) dapat membasmi seorang okpa (hartawan jahat) seperti bandot tua she Liu itu!"

   Terdengar gadis manis itu berkata, suaranya nyaring dan bersemangat.

   "Hemm. kalian orang-orang muda memang berdarah panas. Lihat agaknya See-thian Hoat-ong dan keponakannya yang jelita itu tidak akan kuat menghadapi Bu-ceng Tok-ong. Mari kita bantu!"

   Kata kakek tadi yang sebetulnya memang Pak-thian Koai-jin adanya.

   Dua pendatang baru ini cepat menyerbu dan betapapun lihai kepandaian Bu-ceng Tok-ong. menghadapi empat orang lawan yang berilmu tinggi, apa lagi dua orang kakek itu, ia segera terdesak dan menjadi kerepotan.

   "Ramai-ramai mengeroyok seorang lawan! Curang sekali......!"

   Ia memaki-maki sambil melompat ke sana ke mari mengibaskan tangan baju dan mengirim pukulan-pukulan dahsyat.

   Melihat sekarang Bu-ceng Tok-ong mundur-mundur. Pak-thian Koai-jin berkata kepada kawan-kawannya.

   "Beri ampun dia kali ini!"

   Inilah tanda ajakan bagi kawan-kawannya untuk melarikan diri. Pandangan mata Pak-thian Koai-jin memang tajam sekali. Ia sudah melihat berkelebatnya bayangan dua orang yang cepat sekali gerakannya, maka maklum bahwa Bu-ceng Tok-ong akan mendapat bantuan kuat, ia mengajak kawan-kawannya pergi lebih dulu.

   Betul saja, baru empat orang itu melompat jauh dan melarikan diri, terdengar bentakan nyaring suara seorang wanita.

   "Tok-ong kejar mereka, kami bantu!"

   Bu-ceng Tok-ong girang bukan main melihat munculnya Tok-sim Sian-Ii dan seorang pemuda ganteng yang bukan lain adalah Kam Kun Hong bekas muridnya! Akan tetapi tiba-tiba dua buah benda kecil hitam melayang dan menyamhar ke arah Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li dengan kecepatan luar biasa. Dua orang Mo-kauw itu mengeluarkan seruan marah dan mengibaskan tangan. Dua potong genteng itu hancur berantakan, akan tetapi dua orang itupun merasa telapak tangan yang dipakai menghantam tadi panas dan agak sakit. Kagetlah mereka. Lweekang mereka sudah mencapai tingkat tinggi, masa menghadapi sambitan genteng saja terasa sakit? Terang bahwa penyambitnya seorang berilmu. Mereka ragu-ragu.

   Tiba-tiba terdengar hiruk-pikuk dan tangis riuh rendah dari dalam gedung itu. Bu-ceng Tok-ong menarik napas panjang.

   "Sayang kau datang terlambat, kalau tadi kau di sini mereka takkan berhasil memasuki gedung. Mari kita lihat apa yang terjadi di bawah."

   "Mana Kun Hong?'' tanya Tok-sim Sian-li. memandang ke kanan kiri dan merasa khawatir tidak melihat Kun Hong.

   "Celaka, tentu dia mengejar mereka. Mereka itu adalah orang-orang kuat, mana bisa Kun Hong melawan mereka seorang diri saja?"

   Tok-sim Sian-li mengeluarkan suara mengejek.

   "Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong itu orang-orang macam apa sih? Biar ditambah sepuluh lagi mereka itu bukan apa-apa bagi Kun Hong. Jangan kira Kun Hong sekarang sama dengan dulu. hemmmm!"

   Bu-ceng Tok-ong maklum bahwa tentu pemuda bekas muridnya itu telah menerima warisan ilmu dari Thai Khek Sian, maka ia tidak membantah lagi dan mengajak wanita itu turun untuk melihat apa yang telah terjadi di bawah.

   Ke mana perginya Kun Hong? Pemuda ini tadi melihat dua orang gadis cantik manis mengeroyok Bu-ceng Tok-ong dan sekaligus hatinya tertarik dan tergila-gila. Melihat mereka lari pergi, Kun Hong lalu mengikuti mereka secara diam-diam, tidak mau menyerang hanya membayangi mereka untuk mengetahui ke mana mereka pergi. Ia mengandalkan ilmu ginkangnya yang luar biasa dan dengan mudah ia mengikuti empat orang itu tanpa diketahui oleh mereka yang ia bayangi. Sebaliknya, seujung rambutpun pemuda ini tidak pernah menduga bahwa ada bayangan lain yang mengikutinya dengan gerakan yang tidak kalah gesit dan ringannya! Benar-benar hal yang amat ajaib kalau dibicarakan. Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong adalah dua orang tokoh kang-ouw yang sudah memasuki tingkat tokoh-tokoh tertinggi, namun mereka berdua, juga dua orang gadis cantik yang kepandaiannya sudah tinggi pula itu sama sekali tidak tahu bahwa mereka diikuti oleh dua orang pemuda!

   Kun Hong terus mengikuti empat orang itu yang mempergunakan ilmu lari cepat keluar dari kota menuju ke barat. Ia merasa gembira sekali melihat bahwa dua orang gadis itu betul-betul cantik menarik kalau sewaktu-waktu ia dapat melihat wajah mereka tertimpa cahaya bulan. Yang seorang adalali seorang gadis bertubuh langsing agak tinggi dengan kepala digelung ke atas, dibungkus saputangan sutera. Gadis ke dua manis sekali, agak pendek kalau dibandingkan dengan yang pertama, rambutnya dikepang dua dan ujungnya dibiarkan terurai di atas punggung. Gadis pertama kelihatan cantik jelita, keren dan gagah. Sedangkan yang ke dua nampak manis sekali dan lincah.

   "Aduh, keduanya sama hebatnya. Yang satu jelita yang satu manis sukar dikatakan yang mana lebih menarik hati."

   Pikir Kun Hong.

   "Kalau aku disuruh pilih, tentu aku akan pilih......... keduanya!"

   Ia baru siang tadi memasuki kota bersama Tok-sim Sian-li. setelah mendapat perkenan dari Thai Khek Sian. Selama setahun lebih ia menerima gemblengan dari gurunya itu, mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi sehingga dalam waktu sependek itu kepandaiannya telah meningkat secara luar biasa sekali. Juga ia dipercaya penuh oleh Thai Khek Sian dan kedatangannya di Peking juga membawa tugas sebagai wakil gurunya. Akan tetapi, seperti kebiasaan orang-orang golongannya, dia dan Tok-sim Sian-li tidak mau muncul sebelum malam tiba dan segera setelah tengah malam tiba, mereka pergi mencari Bu-ceng Tok-ong yang mereka dengar berada di gedung keluarga hartawan Liu. Dan melihat dua orang gadis jelita itu Kun Hong sekaligus lupa akan tugasnya dan kini ia mengikuti mereka secara diam-diam sampai jauh di luar kota.

   Sambil berlari ia berpikir. Ia menerima tugas untuk mewakili gurunya, mengadakan hubungan dengan orang-orang segolongan yang sudah berada di Peking dan di kota raja, membantu pergerakan Bangsa Mongol. Ia diberi hak untuk bertindak atas nama Thai Khek Sian dan mewakili gurunya itu membantu pemerintah baru. Begitu tiba di situ, ia sudah mendapat kenyataan bahwa kawan- kawan segolongannya ternyata dimusuhi oleh orang-orang kang-ouw seperti Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong. Akan sibuk dan banyak pekerjaan kelak pikirnya. Kebetulan sekali sekarang aku mengikuti mereka, jadi aku dapat mengetahui di mana sarang musuh, pikir Kun Hong yang menjadi makin gembira oleh karena selain dapat mengenal dua orang nona itu, juga ia dapat menyelidiki sarang musuh!

   Ternyata setelah berlari-larian cepat setengah malam lamanya, di waktu fajar menyingsiag empat orang itu tiba di sebuah bukit yang berbatu-batu. Di atas puncak bukit itu terdapat sebuah kelenteng tua dan dari jauh sudah dapat diketahui bahwa itu adalah kelenteng Siauw-lim-si. bangunannya sudah tua dan kuno akan tetapi masih kokoh.

   Anehnya, tidak ada jalan masuk ke kelenteng itu. Sekelilingnya adalah jurang-jurang lebar belaka dan kelenteng itu jadinya berdiri di atas batu besar terpisah dari tanah datar yang lain. Melihat potongan batu itu. dapat diduga bahwa dahulu batu itu menjadi satu dengan tanah di sebelah kiri, akan tetapi mungkin karena gempa bumi menjadi pecah dan makin lama retaknya makin melebar menjadi jurang yang amat lebar dan dalam.

   Kun Hong yang bersembunyi di balik pohon melihat dari jauh betapa empat orang itu menyelinap ke dalam semak-semak lalu menghilang! Ia menjadi bingung dan mencari-cari. Ke mana perginya mereka? Setelah sampai di sini, sudah tentu mereka pergi ke kelenteng itu. Itulah sarang mereka, tak salah lagi. pikirnya. Kalau aku kembali ke kota, membawa kawan-kawan untuk menyerbu ke sini, sekaligus mereka akan dapat kutawan! Akan tetapi Kun Hong belum puas kalau belum melihat sebelah dalam, apa lagi kalau belum melihat dua orang nona manis tadi! la mulai mencari-cari jalan masuk dan baru ia mendapat kenyataan bahwa jalan masuk memang tidak ada. Akan tetapi empat orang tadi, mengambil jalan manakah?

   Mari kita menengok ke dalam kelenteng yang agaknya tersembunyi di atas bukit itu. Memang kelenteng ini bekas Kelenteng Siauw-lim-si yang sudah amat tua. Bangunannya kuno dan kokoh sekali. Kelenteng ini masih ditempati oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-si, merupakan cabang dari partai Siauw-lim yang amat terkenal. Ada duapuluh orang lebih hwesio tinggal di situ, rata-rata lulusan tingkat pertengahan, jadi rata-rata memiliki kepandaian silat yang lumayan. Yang mengepalai mereka adalah Souw Lo Hosiang, murid pertengahan dari Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai. Memang semenjak terjadinya pertentangan antara pembela-pembela penjajah Mongol dan orang-orang kang-ouw yang memusuhi para penghianat bangsa, kelenteng ini menjadi sarang atau tempat persembunyian orang-orang gagah.

   Pak-thian Koai-jin dan tiga orang kawannya tadi memasuki kelenteng melalui jalan tambang yang sengaja dipasang dari seberang jurang, disembunyikan di dalam semak-semak. Tambang ini cukup besar dan kuat, dipasang dari akar pohon di semak-semak itu sampai ke sebuah jendela bulan di samping kelenteng. Dengan ilmu meringankan tubuh, empat orang itu melalui jalan tambang yang amat berbahaya dan mengerikan bagi mereka yang tidak berkepandaian, lalu mereka melompat ke dalam jendela bulan, yaitu jendela yang bentuknya bundar.

   Wi Liong yang mengikuti mereka segera dapat menemukan jalan ini dan mempergunakan kesempatan selagi empat orang itu melompat ke dalam jendela, secepat burung terbang pemuda ini lari melalui jalan aneh itu. Tanpa ragu-ragu karena tidak bermaksud buruk, iapun melompat ke dalam jendela dan...... tubuhnya terus "nyeplos"

   Ke bawah karena di balik jendela itu ternyata tidak ada lantainya! Atau lebih tepat lagi. tadinya memang ada lantainya, hanya saja sekarang lantai digeser dengan alat yang sudah disiapkan dan menjadi lubang jembatan yang amat lihai. Memang Siauw-lim-pai terkenal dalam hal memasang jebakan-jebakan rahasia.

   Kalau Wi Liong tidak memiliki kepandaian tinggi, tentu ia akan jatuh tunggang-langgang dan mungkin kepalanya akan pecah menimpa lantai batu di bawah, di dalam "sumur"

   Yang dalamnya tidak kurang dari lima tombak itu! Ia cepat mengatur keseimbangan tubuhnya dan dapat meluncur ke bawah dengan kaki lebih dulu dan tiba di dasar sumur itu tanpa menderita luka. Ketika ia melihat ke depan, ternyata ia berada dalam sebuah kerangkeng besi dan di luar kerangkeng itu ia melihat empat orang yang tadi ia ikuti. Pertama-tama pandang mata Wi Liong bertumbuk dengan sinar mata yang amat tajam, sinar sepasang mata yang membuat jantung dalam dadanya tidak karuan lagi kerjanya, gedebak-gedebur tak menentu. Itulah sepasang mata nona yang tinggi langsing, yang rambutnya diikat ke atas. nona yang matanya tajam hidungnya mancung bibirnya kecil! Cepat-cepat Wi Liong mengalihkan pandang matanya dan merasa jengah, merasa pipinya menjadi panas-panas. Tentu saja ia tidak tahu bahwa kedua pipinya memang berubah merah sekali seperti orang kalau merasa malu.

   Kakek muka merah yang kemarin pernah bertemu dengan dia di warung, yang melempar senyum kepadanya, melangkah maju sambil tertawa.

   "Sudah kuduga kau kemarin memang bersikap mencurigakan, terlalu halus! Orang muda. melihat muka dan sinar matamu kau bukan dari golongan sana. Mengapa kau mengikuti kami dan kau siapakah?"

   Wi Liong memang merasa malu. Tidak hanya malu yang tak diketahui sebabnya kalau ia memandang atau lebih tepat bertemu pandang dengan nona tinggi langsing itu. akan tetapi juga malu karena ia sampai terjebak, dan malu pula karena keadaannya memang mencurigakan sekali, memasuki tempat orang tanpa minta, ijin!

   "Aku......... aku hanya mau memberi tahu bahwa ada orang-orang dari gedung keluarga Liu itu mengejar kalian."

   Katanya sederhana.

   "Ha-ha-ha. jangan mencoba menimpakan dosa ke pundak orang lain, orang muda."

   Kata Pak-thian Koai-jin.

   "Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li tidak mengejar kami dan andaikata ada, tentu tidak bisa sampai di sini. Hayo kau mengaku kau ini siapa dan apa maksudmu masuk ke sini? Jangan banyak bicara bohong."

   Biarpun ia berlagak galak, namun orang seperti Pak-thian Koai-jin mana bisa galak? Mukanya saja sudah amat lucu dengan matanya yang lebar dan bersinar lembut, biarpun ada cahaya kenakalan terpancar dari manik matanya.

   "Mana berani aku yang bodoh membohong di depan locianpwe seperti Pak-thian Koai-jin?"

   Kata Wi Liong.

   "Lho.........?! Kau kok sudah mengenalku? Di mana kita pernah bertemu?"

   "Andaikata tidak mengenal muka lccianpwe yang mulia, sedikitnya aku mengenal tongkat dan mangkok itu, sepasang senjata locianpwe sudah terlalu banyak dikenal orang sehingga pamanku Kwee Sun Tek sendiripun mengenalnya. Pamanku itu yang memperkenalkan keadaan dan gambaran tentang locianpwe kepadaku."

   Nama Kwee Sun Tek mana dikenal oleh orang-orang seperti Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong? Akan tetapi tiba-tiba nona cantik bertubuh langsing itu melangkah maju dan menodongkan pedangnya di depan ulu hati Wi Liong.

   "Jangan banyak mengobrol bohong! Lekas kau menjawab pertanyaan susiok See-thian Hoat-ong tadi, siapa namamu dan apa maksudmu datang ke sini?"

   Bentaknya dan matanya memandang tajam.

   Wi Liong mengangkat muka dan kembali kedua pipinya panas ketika ia bertemu pandang dengan gadis itu. Dalam marahnya gadis itu kelihatan makin cantik menarik pikirnya dan ia sama sekali tidak gentar melihat ujung pedang menerobos masuk melalui jeruji besi dan menyentuh baju di dadanya. Malah Wi Liong tersenyum dan saking terpesona oleh wajah jelita itu, sukar baginya menjawab.

   "Hayo jawab! Apakah kau gagu?"

   Gadis itu membentak lagi.

   "Nona, selama hidup aku tidak pernah dan tidak akan membohong. Namaku Thio Wi Liong dan aku datang untuk memberi tahu bahwa di luar ada musuh. Malah sekarang agaknya sudah mau memasuki kelenteng ini."

   Pedang itu ditarik mundur dan nona itu nampak kaget, sungguhpun mukanya berobah merah sekali, entah marah entah mengapa.

   "Susiok. jangan-jangan betul ada musuh datang!"

   Katanya menoleh kepada See-thian Hoat-ong. Jawabannya segera datang dengan munculnya dua orang hwesio bertubuh tegap dari pintu.

   "Cuwi-enghiong"

   Di luar ada seorang muda mencurigakan menyelidiki tempat ini! Seorang di antara mereka melapor.

   "Gerakannya gesit luar biasa dan agaknya ia berilmu tinggi."

   "Kalau begitu kau tidak membohong"

   Kata Pak-thian Koai-jin sambil membuka kaitan yang menutup pintu kerangkeng, Beramai mereka lalu naik ke kamar atas di mana ada jendela bulan tadi melalui sebuah anak tangga kecil. Thio Wi Liong ikut berlari-lari dan begitu sampai di kamar yang kini lantainya sudah pulih kembali, ia segera mendekati jendela dan menuding keluar.

   "Lihat, dia itulah yang tadi mengikuti kalian sampai di seberang sana!"

   Katanya dan otomatis tangan kirinya mencabut suling di pinggangnya.

   Semua orang memandang. Betul saja, seorang pemuda tampan sedang berjalan di atas jembatan tambang dengan enaknya seperti orang bermain-main. Mulut pemuda itu tersenyum manis dan matanya berseri-seri ketika ia memandang ke arah jendela dan melihat dua orang nona manis itu berada di balik jendela. Inilah Kam Kun Hong, murid Thai Khek Sian yang lihai dan berani.

   "Kalau dia musuh biar kuputuskan tambang ini!"

   Kata gadis manis murid Pak-thian Koai-jin gemas, pedangnya sudah digerakkan ke depan untuk memotong jembatan tambang.

   "Eng Lan jangan! Biarkan dia masuk, mau tahu apa kehendaknya!"

   Kata Pak-thian Koai-jin mencegah niat muridnya. Tidak mau kakek tokoh kang-ouw ini membiarkan muridnya melakukan penyerangan curang kepada musuh, apa lagi kalau dipikir bahwa musuh itu hanya seorang pemuda remaja. Belum dapat dipastikan lagi apakah yang datang ini musuh, seperti halnya Thio Wi Liong yang ternyata juga bukan seoramg musuh.

   Sementara itu. Kun Hong yang melihat perbuatan gadis manis itu, dari atas tambang tersenyum lebar.

   "Aduhai nasib........! Tega benar orang hendak membuat aku terjerumus ke dalam jurang begini dalamnya. Bagaimana kelak orang dapai menyembahyangi bongpai-ku (pusaraku)!"

   Dengan sengaja ia membikin berat tubuhnya dan ia berjalan di atas tambang dengan tubuh goyang-goyang tidak tegak.

   Melihat sikap jenaka pemuda yang baru datang, Pak-thian Koai-jin timbul gembiranya.

   "Ha-ha-ha orang muda, awas jangan kau sampai jatuh. Di sini tidak ada cadangan nyawa untukmu!"

   Kun Hong tertawa dan sementara itu ia sudah sampai di pinggir jendela bulan, lalu melompat masuk, sengaja membuat gerakannya kaku dan berat. Gadis manis murid Pak-thian Koai-jin yang bernama Pui Eng Lan yang tadi herdak memutus tambang, sekarang menjadi merah pipinya ketika melihat betapa sepasang mata pemuda yang baru datang itu menatapnya penuh arti. Setelah dekat baru ternyata betapa gantengnya pemuda yang baru datang ini. ganteng dan aneh sekali, hampir sama dengan pemuda Thio Wi Liong yang datang lebih dulu. Sementara itu Wi Liong sudah mengundurkan diri di sudut dan diam-diam memperhatikan keadaan sambil kadang-kadang melirik ke arah gadis langsing yang amat menarik hatinya.

   Begitu memasuki ruangan itu, Kun Hong menatap wajah dua orang gadis itu ganti-berganti dengan sinar mata berseri gembira. Memang hebat dua orang gadis itu, cantik jelita dan kecantikan yang aseli, jauh lebih menarik dari pada Cheng ln dan Ang Hwa atau selir-selir lain dari Thai Khek Sian gurunya yang memiliki kecantikan sudah agak meluntur atau dibantu oleh alat-alat kecantikan. Akan tetapi dua orang gadis ini memang cantik manis bawaan lahir, yang seorang tinggi langsing berkulit kuning langsat dengan sikap gagah, yang ke dua agak pendek berkulit sedikit gelap, manis sekali. Kecantikan yang berbeda sifatnya, namun masing-masing memiliki daya penarik yang sama besarnya seperti orang melihat kembang teratai dan kembang seruni, amat berbeda bentuk dan warna, namun sama cantik menariknya sehingga sukar untuk menentukan mana yang lebih menarik tergantung dari selera yang melihat! Akan tetapi sifat lincah jenaka yang memancar keluar dari mata Pui Eng Lan lebih cocok dengan wataknya. Gadis manis lincah galak berkepandaian tinggi, inilah idam-idaman hatinya.

   "Hemm. inilah calon kawan hidupku........."

   Kun Hong diam-diam mengambil keputusan dalam hatinya. Akan tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk makin lama memandangi gadis-gadis itu karena Pak-thian Koai-jin sudah menyambutnya dengan pertanyaan.

   "Orang muda. kau seperti anak lembu berjantung harimau. Berani betul kau mengikuti kami dan datang ke sini. Kau mau apa?"

   Kun Hong tersenyum, sama sekali tidak kelihatan takut.

   "Orang tua. kau keliru, bukan seperti anak lembu berjantung harimau sebaliknya anak harimau berjantung lembu. Lebih baik di luar kelihatan gagah biarpun jantungnya lemah dari pada jantungnya kuat tapi kelihatan seperti anak lembu!"

   Tentu saja ucapan ini mbocengli (tanpa aturan) karena sebagian orang tentu lebih suka disebut berjantung harimau dari pada berjantung lembu. Akan tetapi Kun Hong pernah menjadi murid Bu-ceng Tok-ong Si Raja Racun Tanpa Aturan, tentu saja ia lain dari pada orang lain.

   "Ha-ha-ha, orang muda gemblung (idiot), kenapa kau bilang begitu? Apa sebabnya kau bilang lebih baik luarnya kelihatan gagah dari pada dalamnya yang gagah?"

   "Karena yang berada di luar itu yang kelihatan, orangj tua. Tentu aku lebih suka kelihatan seperti anak harimau, gagah dan ganteng dari pada menjadi anak lembu. Tentang jantung, siapa sih yang dapat mengetahui bagaimana isi perut orang?"

   Kun Hong tertawa-tawa dan Pak-thian Koai-jin yang terkenal sebagai seorang kakek nakal dan jenaka, juga ikut tertawa terbahak-bahak.

   Akan tetapi See-thian Hoat-ong menjadi hilang kesabarannya. Berbeda dengan Pak-thian Koai-jin, jago tua dari barat ini dahulunya adalah seorang raja muda di Sin-kiang. seorang bangsawan dan ahli perang yang jujur dan tidak suka akan segala perkataan yang plintat-plintut. Melihat sikap Kun Hong yang dianggap pemuda mata-mata musuh itu demikian riang dan seperti orang main- main, ia membentak sambil mengancam dengan kepalan tangannya yang besar dan kuat.

   "Jangan kurang ajar, hayo mengaku siapa kau dan mau apa berkeliaran sampai ke sini!"

   Kun Hong masih bersikap tenang, ia memandang rendah kepada kakek itu, memandang rendah kepada semua orang yang berada di situ karena yakin akan kelihaian sendiri.

   "Aku bernama Kam Kun Hong, datang ke sini karena ingin berkenalan dengan dua orang nona ini dan ingin jalan-jalan........."

   Kata-kata ini membikin marah semua orang, kecuali gadis langsing dan Wi Liong yang menjadi terkejut sekali.

   "Kun Hong...... aku telah bertemu dengan ayahmu.....!"

   Kata Wi Liong dan untuk sedetik Kun Hong melempar pandang kepadanya, kaget. Akan tetapi gadis tinggi langsing itu sudah menerjang maju dengan pedangnya sambil membentak.

   "Jadi kau ini jahanam muda yang membuntungi kedua kaki Ciok Kim Li!"

   Serangan pedang itu hebat sekali dan hanya kelihatan sinarnya menyambar ke dada Kun Hong. Akan tetapi, dengan gerakan enak saja Kun Hong miringkan tubuh dan...... di lain saat dua jari tangannya telah berhasil menjepit punggung pedang itu!

   "Aku adalah sahabat baik Ciok Kim Li. kenapa kau marah-marah?"

   Tanya Kun Hong tanpa melepaskan pedang yang dijepitnya dengan jari tangan.

   Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Susiok. dia ini kawan Tok-sim Sian-li."

   Kata gadis itu yang menjadi penasaran karena tidak mampu mencabut kembali pedangnya juga ia amat terkejut karena tidak menyangka bahwa pemuda itu demikian lihainya. Siapakah gadis ini? Dia bukan orang sembarangan karena inilah Kwa Siok Lan, puteri tunggal dari Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek. Dia inilah tunangan dari Thio Wi Liong yang sekarang berada di situ tanpa mengetahui bahwa dia berhadapan dengan calon isterinya yang belum pernah dijumpainya itu. Juga ia mana bisa menyangka bahwa hatinya tergila-gila kepada gadis yang sesungguhnya tunangannya sendiri?

   Di bagian depan sudah diceritakan tentang pertemuan antara Kun Hong dengan Kwa Cun Ek ketika Kwa Cun Ek menolong Kim Li dari tangan Tok-sim Sian-li. Itulah sebabnya mengapa Siok Lan kaget mendengar nama Kam Kun Hong yang selalu disebut-sebut oleh Kim Li setelah tadi ia terkejut juga mendengar nama Thio Wi Liong, tunangannya! Sungguh ia tidak menyangka sama sekali bahwa di Kelenteng Siauw-lim itu, ia akan bertemu dengan dua orang yang selama ini hanya didengar namanya saja dan begitu bertemu ia menjadi tertegun, juga girang. Ternyata tunangannya adalah seorang pemuda yang tampan sekali dan bukti bahwa pemuda itu bisa memasuki kelenteng menandakan bahwa dia memiliki kepandaian yang tidak mengecewakan!

   

Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini