Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 14


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Plak!!"

   Dua jari tangan itu menempel di punggung Kun Hong dan seketika pemuda itu menjadi merah sekali mukanya, cepat sekali peluhnya keluar semua dan dari kepalanya mengepul uap putih. Inilah tanda bahwa hawa Yang di tubuhnya sudah dibangkitkan oleh totokan itu. bagaikan api menjadi berkobar-kobar di tubuhnya, panasnya tak tertahankan lagi.

   "Uaakkhh!"

   Kun Hong muntahkan segumpal darah dari mulutnya, kemudian ia mengeluarkan seruan dan............"krekk!"

   Sebagian tambang yang mengikat kedua kakinya putus!

   Pek Mau Sianjin mengeluarkan seruan kaget sekali. Cepat tangan kirinya bergerak dan dua jari tangannya menggantikan tangan kanan, kini menotok ke arah lambung dekat pusar. Kembali dua jari tangannya menempel di situ dan tenaga Im yang hebat menyerang Kun Hong. Memang inilah kehebatan ilmu pukulan mematikan hawa thai-yang. Mula-mula hawa Yang di dalam tubuh lawan dibangkitkan sampai sehebatnya, kemudian dengan tiba-tiba menyerang dengan hawa Im yang akan meresap ke dalam tulang sumsum dan perubahan yang mendadak ini akan memusnahkan hawa Thai-yang sehingga orang itu akan kehilangan semua lweekamg di tubuhnya dan menjadi seorang yang biasa saja tidak akan mungkin dapat mempergunakan kepandaian silatnya lagi.

   Tadi Pek Mau Sianjin kaget menyaksikan hawa Yang di tubuh Kun Hong yang ternyata demikian hebatnya sehingga hawa ini mendatangkan kekuatan luar biasa, dan membuat pemuda itu tanpa disengaja dapat memutuskan sebagian dari tambang yang membelenggu kakinya. Ia tidak tahu bahwa pemuda itu telah mewarisi ilmu yang hebat dari Thai Khek Sian, sehingga tenaga Yang dari Pek Mau Sianjin yang dikeluarkan untuk memancing; atau membangkitkan tenaganya, dapat ia sedot dan bahkan menambah kekuatan hawa Yang di tubuhnya!

   Tiba-tiba Kun Hong merasakan pukulan atau totokan pada lambungnya yang mendatangkan hawa dingin melebihi dinginnya salju. Meresap di seluruh tubuhnya membuat ia menggigil. Tubuhnya yang tadinya disaluri hawa panas luar biasa karena hawa Yang di tubuhnya dibangkitkan, sekarang mengalami serangan hawa dingin yang hebatnya bukan kepalang. Ia maklum bahwa hawa ini akan merusak sinkang di tubuhnya, maka cepat-cepat ia mengerahkan tenaganya untuk merobah hawa Yang menjadi hawa Im. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa ia tidak dapat melakukan perobahan itu, karena tenaga Im yang disalurkan dari totokan Pek Mau Sianjin sudah mendahuluinya dan kini sudah terlampau kuat sehingga ia tidak keburu lagi merobah hawa di tubuhnya. Kun Hong berlaku nekat. Biarpun ia maklum bahwa pertarungan antara kedua hawa yang bertentangan di dalam tubuhnya membuat jiwanya terancam, namun tidak ada lain jalan lagi baginya.

   Begitu hawa Im dari tangan Pek Mau Sianjin sudah makin menguat, Kun Hong lalu menyedot hawa ini sekuatnya ke dalam tubuhnya. Ia seperti orang kemasukan arus listrik, bulu-bulu dan rambut di tubuhnya sampai berdiri semua dan tiba-tiba dengan teriakan dahsyat semua belenggu di tubuhnya putus dan Pek Mau Sianjin sendiri memekik kesakitan lalu melompat mundur. Melihat ini. Kam Ceng Swi yang khawatir kalau-kalau pemuda itu memberontak dan menyerang Pek Mau Sianjin cepat maju dan memukul anak angkatnya. Akan tetapi ia terkejut sekali. Ketika tangannya mengenai tubuh Kun Hong di bagian dada Seng-goat-pian Kam Ceng Swi merasa tangannya seperti digigit ular berbisa sehingga ia menariknya dan melompat ke belakang dengan muka meringis kesakitan.

   "Siancai...... siancai....... baru kali ini pinto bertemu dengan pemuda begini lihai........"

   Kata Pek Mau Sianjin yang cepat menjatuhkan diri bersila sambil mengatur napasnya. Wajahnya pucat sekali dan napasnya empas-empis. tanda bahwa kakek tua ini hampir kehabisan tenaga dan napas.

   Sementara itu, Kun Hong berkelojotan di atas tanah sebentar, lalu diam dan rebah dengan muka pucat sekali. Ceng Swi memandang dengan muka pucat pula, lalu dihampirinya pemuda itu. Hatinya lega karena pemuda itu ternyata masih bernapas, biarpun amat lemah. Ia lalu berdiri dan pergi hendak mengambil air untuk diminumkan kepada anak angkatnya.

   Akan tetapi begitu ia pergi, Kun Hong siuman dari pingsannya. Ia bangun duduk, nampaknya lemas. Seorang tosu. yaitu yang bopeng tadi melihat pemuda ini sudah berhasil melepaskan ikatan dan kini bangun duduk sedangkan Pek Mau Sianjin masih duduk bersila mengatur pernapasan, menjadi khawatir sekali. Cepat ia melompat maju dan menggerakkan pedangnya membabat ke arah leher Kun Hong!

   "Plak......... traaanggg!"

   Pedang itu mencelat, si tosu bopeng melompat ke belakang sambil memegangi tangan kanannya yang sakit sekali. Ternyata tadi Kun Hong telah menggerakkan tangan kiri menyampok, sekali sampok saja ia berhasil membuat pedang itu terlepas. Akan tetapi gerakan ini yang hanya menggunakan sedikit tenaga lweekang, sudah mendatangkan rasa sakit di dadanya sampai- sampai ia menggigit bibir dan menahan keluhannya.

   Melihat ini, Ceng Swi sudah berlari cepat datang ke tempat itu. Ia menegur sutenya yang lancang hendak menyerang Kun Hong, akan tetapi diam-diam iapun khawatir karena dari tangkisan tadi masih terbukti bahwa kepandaian anak muda ini tidak lenyap, tenaga lwekangnya masih hebat.

   "Jangan ganggu dia, dia sudah terluka hebat......"

   Tiba-rtiba terdengar suara Pek Mau Sianjin yang masih lemah.

   "Salahnya sendiri. Kalau dia tidak menyedot hawa pukulanku yang ke dua, totokan itu akan membuyarkan thai-yang di tubuhnya dan ia hanya akan kehilangan tenaga di dalam tubuhnya tanpa terluka. Sekarang, tenaganya tidak lenyap bahkan ditambah oleh sebagian dari tenaga hawa pukulan pinto tadi, tenaganya makin hebat. Akan tetapi dia telah menderita luka hebat di jantung dan paru-paru karena bentrokan dua macam tenaga yang berlawanan. Luka ini akan menghalangi dia mengerahkan tenaga lweekangnya. Setiap kali dia mengerahkan tenaga, dia akan terpukul sendiri dan lukanya di dalam dada akan menghebat. Thian Maha Adil, anak itu telah membuat sendiri pencegahnya sehingga dia takkan dapat berbuat jahat tanpa terancam nyawanya oleh luka itu."

   Kun Hong menderita kesakitan hebat, namun ia mendengar jelas semua kata-kata ini. Ia mendongkol sekali, akan tetapi juga cemas karena baru saja ia telah mengalami bukti bahwa kata-kata kakek itu benar adanya. Ia meraba-raba dadanya dan diam-diam memaki ketua Kun-lun-pai.

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   "Kun Hong, kau sudah mendengar sendiri ucapan suhu. Kuharap saja mulai sekarang kau takkan melanjutkan kesesatanmu. Lebih baik menjadi rakyat biasa dari pada menjadi seorang pandai tapi menghianati bangsa sendiri."

   Kun Hong tersenyum pahit, lalu berdiri perlahan dan menjura kepada ayah angkatnya.

   "Ayah, hanya ada dua permintaan dariku, harap ayah penuhi."

   "Apa itu? Katakan,"

   Jawab Ceng Swi, terharu juga melihat keadaan pemuda yang seperti putus asa ini.

   "Pertama, harap kau jangan lanjutkan pelamaranmu kepada nona Pui Eng Lan."

   Ceng Swi adalah seorang yang cerdik dan luas pandangannya. Mendengar omongan ini, ia merasa hatinya tertusuk. Ia tahu akan isi hati anak angkatnya. Tentu saja pemuda ini tidak berani lagi mengharapkan perjodohannya dengan murid Pak-thian Koai-jin yang tentu memiliki kepandaian tinggi, sedangkan pemuda itu sendiri sekarang boleh dibilang telah menjadi seorang pemuda yang lemah dan selalu berada di tepi jurang maut. Maka ia mengangguk tanpa kuasa mengeluarkan kata-kata jawabannya.

   "Ke dua, harap suka beri tahu, di mana dahulu kau telah mengubur jenazah ibu."

   Mendengar ini Ceng Swi menjadi makin terharu. Ia melompat dekat dan memeluk leher pemuda itu.

   "Kau anak tak bahagia......."

   Bisiknya.

   "Sebetulnya ada rencanaku membawamu ke sana, marilah kita bersama mengunjungi makam itu......"

   "Tak usah. ayah. Biar aku sendiri yang mengunjungi makam ibuku........."

   "Kalau begitu, pergilah ke sebuah hutan tak jauh di sebelah selatan kota raja, hutan yang banyak terdapat batu karang berbentuk menara. Makam itu kutandai dengan batu karang menara yang tinggi di mana terdapat tanda senjataku. Carilah."

   Kun Hong melepaskan diri dari pelukan ayahnya, memandang kepada Pek Mau Sianjin yang masih duduk bersila, lalu berkata,

   "Kau tosu tua tentu sudah puas dapat melukaiku, akan tetapi apakah kau juga masih begitu tamak untuk mengangkangi pedangku?"

   Pek Mau Sianjin memberi isyarat kepada muridnya yang membawa Cheng-hoa-kiam, mengembalikan pedang itu kepada Kun Hong sambil berkata.

   "Pokiam yang baik, berguna sekali bagi seorang penegak keadilan, berbahaya bagi seorang penjahat. Semoga berguna bagimu, orang muda."

   Kun Hong menerima pedang itu menyembunyikannya di bawah baju luarnya sehingga tidak kelihatan dari luar. Setelah sekarang ia tidak dapat lagi menggunakan kepandaiannya, untuk apa pedang itu? Lebih baik disembunyikan agar jangan sampai dirampas orang, apa lagi jika bertemu dengan Thio Wi Liong!

   "Aku pergi,"

   Katanya singkat kepada ayahnya. lalu berjalan perlahan meninggalkan puncak itu. Ia tidak berani lagi menggunakan ilmu lari cepatnya, karena sedikit saja mengerahkan lwee-kang di dalam tubuh, berarti memperhebat luka di dadanya! Kam Ceng Swi memandang putera angkatnya sampai jauh. Setelah Kun Hong menghilang di sebuah tikungan. Seng-goat-pian Kam Ceng Swi menghantam-hantamkan senjatanya itu di udara sehingga berbunyi "tar! tar! tar!"

   Lalu disusul oleh nyanyian-nyanyiannya yang terkenal!

   Pek Mau Sianjin menghela napas, maklum betapa hebat kesedihan hati dan kekecewaan muridnya itu. Nasib buruk.......... siapa dapat mengubahnya? Hanya hati yang kuat menerima, hati yang maklum bahwa hidup ini memang merupakan ujian lahir batin, siapa kuat dia menang. Dan baiknya Kam Ceng Swi termasuk orang yang kuat batinnya, maka dihadapinya kesedihan dan kekecewaan itu dengan nyanyian. Pek Mau Sianjin diikuti oleh murid-muridnya memasuki ruangan dalam untuk beristirahat. Sedikitnya membutuhkan waktu satu bulan bagi kakek ini untuk memulihkan tenaganya setelah melakukan totokan-totokan hebat tadi.

   Dengan langkah perlahan dan hati-hati Kun Hong keluar dari ruangan belajar silat di Kelenteng Kun-lun-pai. lalu menuruni puncak. Ia harus berlaku hati-hati, karena jalan di situ amat sukar dan berbahaya. Kalau di waktu datangnya, ia dapat berlari-lari dengan mudah. Akan tetapi sekarang, sekali terpelesat ia harus menggunakar ginkangnya dan ini berarti ia akan memperhebat luka di dadanya. Ia benar-benar tersiksa, memiliki kepandaian tinggi tanpa berani mempergunakannya.

   "Keparat si tua bangka Pek Mau Sianjin."

   Hatinya memaki.

   "Kalau aku mendapat kesempatan, akan kucabuti semua tulang-tulang tuamu dari tubuhmu. Awas kau siluman Go-bi Cin Cin Cu! Kelak kuminumi arak sampai pecah perutmu. Awas kau Seng-goat-pian Kam Ceng Swi.......".

   Baru sampai di sini jalan pikirannya, ia mendengar tindakan kaki orang. Pendengarannya amat tajam dan Kun Hong segera memutar tubuhnya. Ia melihat orang yang baru saja menjadi buah pikirannya, Kam Ceng Swi, berlari-lari menyusulnya.

   "Kun Hong, kau hendak ke mana?"

   Tanya ayah angkat ini.

   "Kau terluka hebat, mari kuantar."

   "Aku hendak ke mana, apa sangkut-pautnya dengan kau? Aku tidak membutuhkan pengantar?"

   Jawab Kun Hong yang masih panas kepalanya karena mendongkol.

   Kam Ceng Swi menundukkan kepalanya.

   "Aku tahu kau amat marah, akan tetapi semua itu kubiarkan demi kebaikanmu sendiri."

   "Hemm, kau angkat aku dari tepi jurang kematian, dulu di waktu kecil dan sekarang pula, hanya untuk melihat aku hidup menderita? Bagus, kelak akan kubalas budimu ini!"

   "Kun Hong, kau terlalu! Tak dapatkah kau melihat kenyataan? Aku tak menghendaki balasan, aku tidak perlu menonjolkan jasa, akan tetapi kalau memang hatimu belum rusak betul oleh pendidikan orang-orang Mo-kauw, kelak kau akan insyaf bahwa aku Kam Ceng Swi sesungguhnya sayang kepadamu. Kau lihat ini, selama kau tidak ada, gelangmu ini menjadi kawan yang tak pernah meninggalkan saku bajuku. Sekarang, kau sudah kembali dan pandanganmu terhadap aku sudah tidak selayaknya. Nah, kau ambil kembali gelang ini.'' Kam Ceng Swi melemparkan sebuah gelang emas kecil ke arah Kun Hong yang segera menyambarnya. Pemuda itu memandang gelang yang berada di tangannya, tidak memperdulikan lagi kepada Kam Ceng Swi yang sudah pergi dengan muka muram dan hati penuh kedukaan. Tak lama kemudian terdengar lagi suara senjata cambuknya menjeletar-jeletar dan suara nyanyiannya dari jauh.

   Akan tetapi Kun Hong tidak mendengarkannya lagi. Pemuda ini memandang kepada gelang emas kecil yang dipegangnya. Di situ terdapat ukiran dua buah huruf yang diukir amat indah dan halusnya, dua buah huruf yang berbunyi KUN HONG. Hanya benda dan huruf inilah yang menjadi pengenal dirinya, yang membuat ia disebut Kun Hong, tanpa nama keturunan!

   Kun Hong mencium gelang yang lengkat pada lengannya ketika ia masih bayi dan ditemukan oleh Kam Ceng Swi. Ia menciuminya dengan air mata berlinang, kemudian ia berkata seperti orang gila.

   "Kaulah ibu bapaku! Kaulah orang tuaku dan kau yang menciptakan Kun Hong di dunia ini. Ha-ha-ha!"

   Sikap ini timbul dari keperihan hatinya. Biarpun Kun Hong semenjak berusia tujuh tahun sudah terjatuh ke dalam tangan Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li. kemudian semenjak itu hidup di lingkungan orang-orang yang terkenal sebagai golongan yang tidak mengenal prikebajikan sehingga bocah ini dewasa dalam keadaan kurang bersih batinnya, namun sebagai seorang manusia ia mempunyai perasaan cinta kasih yang dalam terhadap ayah bundanya. Sekarang, mendengar bahwa ayah bundanya tidak ada yang kenal, dan bahwa yang menjadi kawan hidupnya senenjak ia ditemukan hanyalah sebuah gelang itu tentu saja ia amat menyayang benda itu dan menganggapnya sebagai pengganti ayah bundanya.

   Selagi ia tertawa sambil berjalan perlahan tanpa memperhatikan ke mana sepasang kakinya menuju, tiba-tiba ia melihat seekor kera melompat dari atas cabang pohon dan berdiri di atas batu. Binatang kera bukan merupakan binatang aneh dan melihat seekor kera melompat turun dan pohon juga bukan merupakan penglihatan yang aneh. Akan tetapi melihat seekor kera yang membawa sehelai kertas bertulisan huruf-huruf "ORANG MUDA, KAU KE SINILAH"

   Benar-benar merupakan pemandangan yang jarang terdapat!

   Kun Hong berdiri bengong. Apakah hal ini hanya kebetulan saja? Apakah binatang itu menemukan kertas yang dibawanya ke mana-mana dan kertas itu kebetulan sekali ada tulisannya seperti itu? Akan tetapi, tiba-tiba kera itu berjalan dan kadang-kadang menengok kepadanya, meringis seperti gadis cantik tersenyum dan menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti melambai kepadanya! Kun Hong sampai menjadi bengong. Apakah kera ini dapat menulis? Aah, belum pernah ia mendengar akan hal ini. Biarpun di antara orang-orang Mo-kauw banyak yang memiliki kepandaian aneh. akan tetapi belum pernah ia melihat atau mendengar akan adanya seekor binatang kera yang pandai menulis.

   Ia masih sangsi. Tak mungkin kera itu melambai-lambai kepadanya. Ia diam saja, akan tetapi kera itu memutar tubuhnya, mengeluarkan bunyi bercuitan. lalu kembali melambai-lambaikan kertas itu kepadanya, lalu berjalan lagi ke depan sambil menengok beberapa kali seperti orang yang mengajak Kun Hong supaya mengikutinya.

   Kun Hong menjadi tertarik dan mulai berjalan mengikuti monyet itu. Akan tetapi monyet itu amat gesit, melompat dari batu ke batu. membuat Kun Hong payah sekali. Kalau ia tidak terluka jangankan hanya mengikuti monyet itu. biar di suruh menangkap sekalipun dapat dilakukannya dengan mudah. Sekarang, takut akan menghebatnya luka di dadanya, pemuda ini terpaksa bersusah payah, berjalan perlahan, bahkan setengah merangkak apa bila melalui batu-batu karang yang sukar. Anehnya, kera itu seperti mengerti akan keadaannya dan beberapa kali binatang itu berhenti dan menengok seperti sengaja menantinya.

   Kera itu membawanya mengitari puncak. Kun Hong terkejut karena tahu-tahu setelah mengikuti kera itu sampai setengah hari lamanya, ia tiba di daerah terlarang yang dianggap suci oleh Kun-lun-pai, yaitu tanah kuburan para guru besar Kun-lun-pai yang dimakamkan di situ! Tempat ini merupakan sebidang tanah yang penuh dengan makam, keadaannya selain sunyi juga menyeramkan, ditumbuhi pohon-pohon yang berbunga putih. Kera itu terus memasuki tanah kuburan sambil menengok-nengok. Dengan tindakan kaki perlahan dan hati seram Kun Hong memasuki tempat terlarang itu. Akan tetapi ia tidak takut dan terus mengikuti kera itu.

   Tiba-tiba kera itu melompat ke atas sebuah batu karang, melompat-lompat sambil mengeluarkan suara kemudian sekali meloncat ia telah berada di atas cabang pohon berkembang, melepaskan kertas yang tadi dipegangnya. Mulutnya dimonyongkan dan terus bercuitan.

   Kun Hong melangkah terus ke depan dan hampir ia berteriak saking kagetnya ketika ia tiba di bawah pohon itu. Kalau ia tidak berlaku hati-hati mungkin ia kena injak kepala orang yang menonjol keluar dari tanah seperti sepotong batu! Kepala ini botak kelimis. mengkilap dan hitam seperti batu hitam digosok, mukanya penuh rambat putih, alisnya gompyok akan tetapi sudah putih semua saking tuanya, matanya meram-melek. Untungnya waktu itu siang hari, kalau melihat pemandangan seperti ini pada malam hari. benar-benar mengerikan sekali. Orang itu ternyata bersila ke dalam sebuah lubang di tanah sehingga hanya kepalanya saja yang kelihatan. Ketika Kun Hong menjenguk, ternyata tubuh orang laki-laki tua renta ini sama sekali tidak berpakaian, telanjang bulat seperti tengkorak hidup karena tubuhnya kurus kering tinggal tulang dibungkus kulit.

   "Bagus sekali kau mau datang, orang muda!"

   Ucapan ini terdengar nyaring dan jelas sampai Kun Hong melompait perlahan. Ia lupa akan pantangannya dan terasa dadanya sakit sekali ketika ia melompat kaget dan heran tadi. la meringis, akan tetapi tanpa memperdulikan rasa sakit, ia menoleh ke sana ke mari untuk mencari siapa orangnya yang bicara tadi. Kakek telanjang ini tentu bukan orangnya yang bicara, karena semenjak tiba di situ pandang matanya tak pernah terlepas dari wajah orang dan ia tidak melihat orang itu bicara, hanya matanya meram-melek seperti boneka mainan kanak-kanak. Karena tidak melihat ada orang di sekelilingnya, Kun Hong menoleh kepada kera yang masih ayun-ayunan di atas cabang pohon di atasnya. Ah. aku sudah menjadi gila. pikirnya dengan muka merah. Monyet menulis saja sudah tak mungkin, mana ada monyet bicara? Aku terlalu terpengaruh oleh tulisan di atas kertas itu sehingga telingaku mendengar yang bukan-bukan pikirnya.

   Perhatiannya segera tertuju kepada kakek itu lagi. Apa sih yang dilakukan oleh kakek ini? Melihat keadaan wajah dan kepalanya kakek ini tentu sudah sangat tua, mungkin seratus tahun lebih usianya. Seluruh tubuhnya nampak seperti sudah mati, kulit yang berkeriput dan kering itu, bibir yang pecah-pecah, rambut yang putih layu. Hanya sepasang matanya saja yang membuktikan bahwa mahluk ini masih hidup. Sudah seperti bukan manusia lagi.

   "Kau terluka oleh totokan Im-yang lian-hoan! Sudah kuduga, karenanya kau kupanggil ke sini!"

   Kembali suara yang tadi, suara serak dan pelo terdengar.

   Sekali lagi Kun Hong gedandapan (terkejut dan bingung), celingukan ke sana ke mari. Sukar sekali menentukan dari mana suara tadi arah datangnya, bisa dibilang dari depan, dari kakek yang diam tak bergerak kecuali matanya itu, mungkin juga dari belakang, kanan kiri, atau dari atas! Ketika ia memandang ke atas, monyet itu mengeluarkan suara cecowetan seperti orang bergembira dan, tertawa-tawa!

   "Pek-wan (lutung putih), kau senang mendengar pinto bicara dengan seorang manusia, ya? Bagus kau ambil hidangan untuk tamu kita."

   Suara itu terdengar lagi. Kera atau lutung putih itu melompat pergi sambil cecowetan. memasuki hutan sebelah kanan. Sedangkan Kun Hong celingukan lagi, akan tetapi kini kecurigaannya timbul kepada kakek itu. Kalau di situ ada manusia, manusianya hanya kakek itu sendiri dan dia tentu. Siapa lagi kalau bukan kakek ini yang bicara? Ia tentu saja pernah mempelajari Ilmu Coan-im-kang (Ilmu Mengirim Suara) dari jauh sehingga suaranya dapat ia tujukan untuk orang-orang tertentu tanpa orang lain dapat mendengarnya. Akan tetapi, setidaknya bibir orang yang melakukan ilmu ini akan bergerak sedikit. Sedangkan kakek ini sama sekali tidak menggerakkan bibirnya yang seakan-akan sudah mati!

   "Lapisan luar paru-parumu hampir terbakar oleh hawa thai-yang, sedangkan jantungnya hampir beku oleh pukulan Im-kang. Tanpa diobati mana kau bisa hidup leluasa!"

   Kun Hong sudah amat memperhatikan kakek itu. Ketika suara ini terdengar, ia tidak celingukan lagi, melainkan memandang ke wajah kakek itu dengan seksama. Biarpun bibir kakek itu tidak bergerak, namun ada sedikit perubahan pada wajahnya, yaitu jenggotnya bergerak-gerak tanda bahwa di dalam leher atau perut tentu terjadi pergerakan-pergerakan oleh hawa mujijat. Ternyata benar kakek ini yang bicara, mempergunakan semacam coan-im-kang yang tinggi sekali!

   Kun Hong boleh jadi buruk wataknya, akan tetapi dia cerdik. Melihat keadaan orang ini yang begitu aneh, ia segera dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang sakti dan mungkin sekali dapat menyembuhkan luka di dadanya. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu sambil membentur-benturkan jidatnya di atas tanah seperti seekor ayam makan beras.

   "Huh, sikapmu tadi lebih jantan. Perlu apa bermuka-muka? Bilang saja kau ingin ditolong, hentikan segala tekuk lutut dan sembah itu!"

   Kata kakek itu tanpa menggerakkan bibirnya.

   Merah muka Kun Hong mendengar ucapan dengan nada mengejek ini. Keangkuhannya tersinggung. Ia segera berdiri dan berkata sambil lalu,

   "Orang tua, aku datang kau yang panggil, apa kehendakmu? Kau bilang aku terluka oleh totokan Im-yang-lian-hoan, kalau bukan untuk memberi obat, apakah hanya untuk mengejek?"

   Kakek itu tertawa tanpa membuka mulut, akan tetapi suaranya seperti orang gelak terbahak, membuat Kun Hong memandang dengan melongo. Banyak sudah ia melihat orang-orang aneh di dunianya orang-orang Mo-kauw. gurunya sendiri Thai Khek Sian adalah seorang manusia yang luar biasa sekali. Akan tetapi yang selucu kakek ini belum pernah ia melihatnya Masa ada orang bicara dan tertawa-tawa tanpa membuka mulut atau menggerakkan bibirnya!

   "Ha-ha-ha"

   Kalau aku mengobatimu bagaimana dan kalau aku hanya mengejek bagaimana?"

   "Kalau kau mengobatiku, tak mungkin, mana ada orang miring otak macam kau mampu mengobatiku? Kalau kau mengejek, itu hakmu karena kau berada di sini tentu ada hubungannya dengan Kun-lun-pai dan karenanya namamu akan kucatat di hatiku agar kelak kalau ada kesempatan akan kubalas hinaanmu bersama si tua bangka Pek Mau Sianjin!"

   Tiba-tiba kakek itu menarik napas panjang, bibirnya tetap tertutup rapat akan tetapi dadanya yang gepeng itu beralun.

   "Hemm, benar-benar kau kotor......! He, orang muda ketahuilah bahwa hanya karena kau ini anak pungut Kam Ceng Swi maka aku ambil perduli padamu. Ceng Swi orang baik. seorang jantan tulen maka aku tidak sayang menurunkan satu dua ilmu pukulan kepadanya. Dia jauh lebih baik dari pada semua tosu di Kun-lun. Dia sayang kepadamu, celakanya kau hidup di antara bangkai-bangkai yang berbau busuk. Akan tetapi emas tetap berharga biarpun terendam lumpur, bunga teratai tetap gemilang biarpun hidup di pecomberan. Hatimu kulihat tidak jahat."

   "Stop! Kakek tua bangka, aku kau panggil ini apakah hanya untuk mendengarkan pidatomu?"

   Kun Hong mencela, mendongkol.

   "Heh-heh-heh, kau sudah ketempatan watak Bu-ceng Tok-ong! Ketahuilah, pukulan Im-yang-lian-hoan adalah pukulan rahasia dari partai Kun-lun, biarpun orang-orang seperti Tian Te Cu atau Thai Khek Sian takkan mampu mengobati luka akibat pukulan Im-yang-lian-hoan! Pinto orang Kun-lun-pai, tentu saja dapat mengetahui ini semua. Sayang pmgobatannya tak dapat dilakukan oleh pinto seorang. Pukulan Im-kang dapat kusembuhkan dan kau akan terbebas dari rasa sakit apa bila mempergunakan lweekangmu. Akan tetapi pengaruh desakan hawa thai-yang darimu sendiri hanya dapat disembuhkan oleh seorang ahli gwakang seperti temanku hwesio bermuka hitam. Setelah kuobati, tenaga lweekangmu pulih kembali akan tetapi celaka kalau kau berhadapan dengan ahli gwakang. Setelah diobati oleh temanku hwesio bermuka hitam, tenagamu luar dalam pulih semua, akan tetapi tetap saja bekas luka pada jantungmu membuat kau hanya dapat hidup paling banyak untuk dua tahun saja"

   Kakek itu berhenti bicara, agaknya menjadi lelah setelah bicara panjang lebar.

   "Aku hidup bukan atas kehendakku, matipun bukan atas kehendakku. Kau orang tua mana bisa bicara tentang matiku? Jangan mengoceh!"

   Kata, Kun Hong mencela lagi.

   "Heh-heh-heh, bagus. Ucapan ini menyatakan kebesaran hatimu sehingga kau hidup dua tahun lagi juga tidak menyesal. Hanya kalau kau bisa mendapatkan batu kemala yang bernama Im-yang-giok-cu yang dimiliki oleh Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to maka kau akan dapat menyambung nyawamu."

   Diam-diam Kun Hong kaget sekali. Gurunya, Thai Khek Sian pernah berpesan kepadanya bahwa di dunia ini hanya dua orang yang disegani gurunya yaitu pertama Thian Te Cu kakak seperguruan Thai Khek Sian sendiri dan Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to!

   "Orang muda, jangan bengong saja. Maju dan berlututlah agar aku dapat menotokmu!"

   Kun Hong berpikir bahwa ia telah mendapat luka hebat, hiduppun percuma kalau setiap kali mengerahkan tenaga lweekang ia merasa dadanya sakit sekali. Kalau kakek ini membohong dan sebagai orang Kun-lun-pai hendak membunuhnya, paling-paling ia hanya mati! Lebih baik dari pada sekarang ini mati tidak hiduppun bukan! Ia lalu maju dan berlutut di dekat kepala itu.

   Kakek itu mengeluarkan tangan kanan kiri dari lubang, dua lengan dan tangan yang kurus tinggal tulang terbungkus kulit, mengerikan.

   "Jangan bergerak!"

   Kata kakek itu dan dua tangannya bergerak cepat bukan main. Andaikata Kun Hong belum terluka dan masih leluasa bergerak sekalipun, agaknya tidak mudah mengelak dari dua serangan yang dilakukan hampir berbareng itu. Tahu-tahu jari-jari tangan kiri kakek itu sudah menotok punggungnya. Seketika hawa yang panas sekali memasuki tubuhnya melalui punggung, membuat seluruh kulitnya merah dan peluh berkumpul di jidatnya. Kemudian dengan cepat sekali menyusul totokan di lambungnya yang mendatangkan hawa dingin seperti salju. Dua serangan ini gerakannya serupa benar dengan serangan Pek Mau Sianjin, maka diam-diam Kun Hong kaget sekali. Diserang satu kali saja oleh Pek Mau Sianjin ia terluka hebat, sekarang diserang dengan pukulan yang sama untuk kedua kalinya! Akan tetapi ia sudah tak dapat bergerak lagi karena hawa panas dan dingin yang bercampur aduk itu membuat dia pusing dan....... tiba-tiba ia muntahkan darah lalu terguling pingsan!

   Kun Hong tidak tahu berapa lama ia jatuh pingsan, akan tetapi ketika ia siuman kembali, ia mendengar suara kera itu cecowetan dengan aneh. la menengok dan melihat kera itu bergulingan seperti anak kecil menangis di atas tanah dan....... kepala kakek itu sudah terkulai miring, matanya meram dan sekarang mata itu sudah mati seperti anggauta tubuh yang lain. Kun Hong cepat mendekat dan meraba jidat kakek itu. Dingin! Ternyata kakek itu benar sudah menghembuskan napas terakhir. Di atas tanah terdapat corat-coret tulisannya. Kun Hong segera membacanya, dan benar saja. tulisan itu memang sengaja ditulis oleh kakek aneh itu sebagai pesan terakhir untuknya.

   "Hwesio muka hitam di puncak Kepala Harimau Pegunungan Bayangkara. Mintalah obat kepadanya, katakan bahwa kau diberi petunjuk oleh Liong Tosu di Kun-lun-san!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring.

   "Pemuda iblis, kau berani mengganggu Liong-couwsuhu!"

   Serombongan tosu Kun-lun-pai dikepalai oleh Pek Mau Sianjin sendiri, berlari-larian cepat sekali menuju ke tempat itu.

   Kun Hong cepat menghapus tulisan di atas tanah itu. kemudian ia melompat berdiri lalu melarikan diri turun gunung. Tak mungkin aku dapat melawan mereka, pikirnya. Karena ingin lekas pergi ke Pegunungan Bayangkara dan khawatir kalau- kalau dikejar oleh para tosu Kun-lun-pai. ia berlari cepat, lupa bahwa kalau berlari cepat mengerahkan lweekang dadanya akan menjadi sakit sekali. Setelah ia berlari cepat sekali mengerahkan seluruh lweekangnya dan berada di kaki gunung jauh meninggalkan para tosu Kun-lun-pai baru ia teringat dengan kaget dan heran bahwa dadanya tidak terasa sakit sama sekali!

   "Aah, lukaku sembuh sebagian. Kalau begitu tua bangka aneh itu tidak bicara bohong"

   Katanya nyaring dengan hati girang sekali, ia lalu berlutut dan menjura ke atas langit.

   "Liong Tosu, terima kasih atas kebaikanmu. Semoga arwahmu menjadi dewa!"

   Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa Liong Tosu telah mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong menyembuhkan sebagian dari pada luka di dadanya. Untuk menyembuhkan luka hebat itu, Liong Tosu harus mengerahkan seluruh sinkangnya dan hal ini terlampau berat bagi jasmaninya yang sudah tua sekali sehingga begitu selesai mengobati pemuda itu ia lalu jatuh terkulai dan nyawanya melayang.

   "Setelah ada bukti bahwa totokan Liong Tosu itu mendatangkan hasil baik dan dadaku tidak terasa sakit lagi. tentu bicaranya tentang hwesio muka hitam yang dapat menyembuhkan sama sekali luka di dadaku itu benar pula. Pegunungan Bayangkara tidak jauh dari sini, di sebelah timur. Aku harus ke sana, mencari puncak Kepala Harimau, minta tolong kepada hwesio muka hitam,"

   Pikir Kun Hong dengan hati gembira. Tadinya ia terluka parah dan bergerak sedikit saja dadanya sakit. Sekarang rasa sakit lenyap, akan tetapi menurut Liong Tosu penyakit itu baru sembuh sama sekali setelah ia diobati oleh hwesio muka hitam-Karena Bayangkara tidak jauh, hal itu kiranya tidak sukar dilakukan. Biarpun setelah disembuhkan, menurut tosu tua itu, ia hanya dapat hidup selama dua tahun saja, akan tetapi hal inipun ada obatnya, yaitu Im-yang-giok-cu di Ban-mo-to. Betapapun sukarnya, kalau obat untuk menyambung nyawa, tentu akan ia cari sampai dapat!

   Kun Hong hanya tahu bahwa Pegunungan Bayangkara terletak di sebelah timur Kun-lun-san akan tetapi ia tidak tahu benar, malah hampir tidak mengenal jalan di daerah ini. Pada suatu hari. perjalanannya terhalang oleh sebuah sungai yang besar. Inilah Sungai Kun-sha-kiang yang merupakan sebuah dari pada sungai- sungai yang mengawali Sungai Yang ce-kiang.

   Hari telah menjelang senja ketika ia tiba di tepi sungai itu. Di tempat yang sunyi ini hanya kelihatan sebuah perahu kecil, tergolek-golek di tepi sungai dan seorang nelayan setengah tua, agaknya pemiliknya, duduk melenggut di atas kepala perahu sambil memegangi sebatang pancing. Agaknya sudah terlalu lama ia memancing namun tidak ada ikan yang menyambar maka membuat ia mengantuk, apa lagi hawa di siang hari itu memang amat panasnya.

   "Haai, kakek pemalas! Hayo antar aku menyeberang sungai!"

   Kun Hong membentak.

   Hampir saja kakek itu terguling dari perahunya saking kaget. Baru enak-enak tidur ayam dibentak sampai ia menjumbul dan tersentak kaget, matanya terbelalak.

   "A......... ada apa...... ikan besar......?"

   Ia gagap-gugup lalu menarik-narik pancingnya. Akan tetapi tidak ada ikan yang menyangkut.

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kun Hong tertawa terbahak-bahak.

   "Mana ada ikan mau makan umpan tukang pancing yang malas? Paling-paling yuyu (kepiting sungai) yang mau menyapit. Ha-ha!"

   Tukang pancing itu membuka capingnya yang lebar, lalu memandang kepada Kun Hong penuh perhatian, agak merengut.

   "Eh, orang muda. Kau siapakah dan apa kehendakmu datang menggoda seorang nelayan tua yang kurang makan kurang tidur?"

   "Kakek, aku hendak menyeberang. Hayo kau seberangkan aku dengan perahumu ini."

   Kakek itu mengamat-amati pemuda ini.

   "Kau mau bayar berapa?"

   Kun Hong mengerutkan kening. Pemuda ini tak pernah membawa uang, tak pernah mengenal uang. Kebiasaan golongannya, yaitu golongan Mo-kauw. mau makan atau pakai ambil saja. Milik setiap orang milik mereka juga!

   "Aku tidak punya uang. Aku butuh menyeberang, kau mempunyai perahu perlu apa uang?"

   Katanya tak senang.

   Kakek itu meludah ke dalam air.

   "Tak punya uang untuk bayar tak punya perah u sendiri untuk menyeberang, kalau mau menyeberang boleh berenang saja."

   Setelah berkata demikian kembali kakek itu memperhatikan pancingnya, sama sekali tidak mau perdulikan Kun Hong.

   "Tua bangka busuk! Cacingmu tidak ada ikan makan? Kau makanlah sendiri!"

   Kaki Kun Hong bergerak dan tubuh kakek itu terlempar ke dalam air sungai! Air muncrat dan kakek itu gelagapan baiknya ia seorang nelayan yang pandai berenang, kalau tidak tentu ia akan mati tenggelam di air yang dalam itu-

   Sambil tertawa-tawa Kun Hong mencabut pedang Cheng-hoa-kiam.

   "He, kakek tukang pancing lihat ini! Lain kali pedangku akan membabat lehermu seperti ini. Baiknya sekarang aku sedang gembira maka kuampuni nyawamu!"

   Kun Hong menyabetkan pedangnya ke arah cabang pohon yang tumbuh di pinggir sungai. Sekali sabet saja putuslah cabang itu. Kakek nelayan makin ketakutan dan berenang menjauhi tempat itu, tidak memperdulikan perahunya lagi.

   Kun Hong tertawa dan hendak menghampiri perahu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring lembut.

   "Orang jahat kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini!"

   Dari atas pohon melayang turun sesosok bayangan yang bergerak cepat dan langsung menyerang Kun Hong dengan sebatang pedang tipis. Serangan ini berhabaya sekali, akan tetapi dengan mudah saja Kun Hong menangkis, terus menggunakan pedangnya menempel dan menindih pedang lawan. Ketika ia memandang, ia mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur. Orang itu bukan lain adalah Pui Eng Lan. gadis manis yang selama ini memenuhi ruangan hati Kun Hong dan setiap detik terbayang di depan matanya.

   "Nona Pui Eng Lan..........alangkah girang hatiku bertemu dengan kau di sini...... eeehhh....... anu...... aku tadi hanya main-main saja dengan tukang perahu, harap kau jangan salah mengerti........."

   Katanya ketika ingat bahwa mungkin sekali nona pujaan hatinya ini marah melihat dia mempermainkan tukang perahu tadi. Heran benar, Kun Hong yang selama ini tidak perduli apa yang lain orang akan menganggap tentang sepak-terjangnya, sekarang di hadapan Eng Lan begitu gugup dan kikuk seperti pengantin baru di depan mertuanya!

   Eng Lan merengut dan matanya berkilat-kilat.

   "Tak perlu mengobrol yang bukan-bukan! Aku tidak mengenal segala tukang perahu! Kau girang bertemu dengan aku? Bagus! Aku lebih girang lagi karena sekarang datang kesempatan bagiku untuk membalaskan sakit hati enci Siok Lan kepadamu!"

   Begitu kata-kata terakhir diucapkan, pedangnya meluncur cepat menusuk dada pemuda itu.

   "Traangg.........!"

   Kun Hong menahan pedang itu, cukup perlahan agar gadis itu tidak terkejut.

   "Sabar, nona manis......... sabaaar......!"

   "Apa sabar? Kau pengecut jahanam, kau mempermainkan enci Siok Lan! Kau membikin sakit hatinya, merusak kebahagiaan hidupnya. Gara-gara kau yang mengacau, gara-gara kejahatan dan kecuranganmu, enci Siok Lan sampai diputus perjodohannya dengan calon suaminya!"

   Kembali Eng Lan menyerang, sekarang dengan bacokan keras. Kun Hong mengelak cepat, lalu menggerakkan pedangnya menindih pedang nona itu sebelum Eng Lan sempat menyerang lagi.

   "Nanti dulu. kau menyerang aku ini apakah untuk membunuhku?"

   "Tentu saja! Kau kira main-mainkah ini?"

   Eng Lan meronta hendak melepaskan pedangnya dari tindihan pedang pemuda itu, namun tidak berhasil.

   "Sabar dulu, adikku yang manis. Percayalah kalau memang aku bersalah dan layak menerima hukuman mati. hanya pedang di tanganmu yang akan dapat mengantar nyawaku ke sorga. Aku rela seribu kali mati di tanganmu. Akan tetapi berilah kesempatan padaku untuk mendengar uraianmu sejelasnya. Kalau kau tidak percaya, lihat. kusimpan pedangku dan ini dadaku kalau kau nanti mau tusuk setelah aku mendengar penuturanmu dan merasa aku berdosa dan layak mati."

   Pemuda itu benar-benar menarik pedangnya dan menyimpannya di sarung pedang, membusungkan dadanya yang bidang.

   "Kau....... kau menantang.......?"

   Eng Lan menggerakkan pedangnya menusuk cepat dan kuat ke arah ulu hati pemuda itu. Ia menduga bahwa pemuda yang biasa mempermainkan orang berilmu tinggi ini tentu berpura-pura saja dan akan mengelak. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat pemuda itu sama sekali tidak bergerak, bahkan sepasang mata yang tajam seperti bintang itu sedikitpun tidak berkedip.

   "Cesss........"

   Pedang menembus baju mengenai kulit.

   "Aduhhhh celaka.........!"

   Aneh, yang menjerit ini bukan Kun Hong yang tertusuk, melainkan Eng Lan sendiri. Gadis ini merasa kaget setengah mati melihat pedangnya menembus baju, cepat-cepat ia menarik pulang pedangnya akan tetapi ujung pedang sudah mengenai kulit dada. Darah merah membasahi baju pemuda itu yang tetap tersenyum dan berdiri tegak.

   "Aku........ aku tidak bermaksud membunuhmu secara begitu......... aku tak sudi membunuh orang yang tak mau melawan........."

   Katanya gagap sambil memandang ke arah baju yang penuh darah itu.

   "Kau belum membunuhku, baru menggores kulit. Mengapa tidak jadi? Kalau kau memang menghendaki nyawaku, ambillah. Nyawaku sudah bukan milikku lagi, adikku sayang. Nyawa dan badan ini sudah lama menjadi milik seorang gadis manis bernama Pui Eng Lan........."

   "Cih. tak tahu malu!!"

   Eng Lan menjadi merah sekali mukanya, hampir semerah baju Kun Hong yang terkena darah.

   "Aku menantangmu bertempur seperti layaknya orang-orang gagah. Salahmu sendiri mengapa tidak melawan?"

   "Eng Lan, adikku yang manis, aku tidak main-main. Padamu aku tidak kuasa melawan, aku menyerah kalah, menurut hendak kau apakan juga. Akan tetapi coba kau ceritakan dulu apa kesalahanku. Seorang pesakitan yang diperiksa oleh pengadilan dan dijatuhi hukuman mati sekalipun akan lebih dulu diceritakan apa yang menjadi dosanya."

   "Kau masih berpura-pura? Sudah kusebutkan tadi dosamu kepada enci Siok Lan sekeluarga."

   "Aku tidak merasa berdosa kepada enci Siok Lan. Apakah kau maksudkan murid Pak-thian Koai-jin itu? Aku sama sekali tidak mengenalnya, bagaimana bisa berdosa kepadanya? Aku tidak berpura-pura, sungguh mati, aku tidak mengerti. Coba kau ceritakan."

   Eng Lan menarik napas panjang dan memaki diri sendiri. Mengapa menghadapi pemuda ini yang sudah menyerah begitu saja, tinggal menusuk dadanya cuss dan beres mengapa mendadak ia menjadi lemah dan tidak tega? Ah, keterlaluan memang kalau dia membunuhnya begitu saja, membunuh orang yang tidak melakukan perlawanan, membunuh orang yang kelihatannya betul-betul belum tahu akan dosanya, seorang yang......... yang....... demikian mencintanya. Dulupun. ketika pemuda ini membebaskannya dari tawanan, ia sudah tahu akan cinta kasih hati pemuda ini kepadanya.

   "Baik kuceritakan, supaya orang tidak menganggap aku keterlaluan, akan tetapi itu......... lukamu itu obatilah dulu. Ini aku mernbekal obat. Tak. tahan aku melihat darah."

   Kata gadis itu sambil mengeluarkan sebungkus obat bubuk untuk mengobati luka.

   "Kau yang melukai, kau pula yang harus mengobati."

   Kata Kun Hong tersenyum.

   Makin merah muka gadis itu.

   "Jangan main gila! Maksudku baik kau anggap yang bukan-bukan. Mau pakai obatku atau tidak?"

   Melihat gadis itu marah-marah lagi dan bicaranya ketus, Kun Hong tertawa, menerima bungkusan itu dan mengobati luka kulit dadanya. Eng Lan miringkan kepalanya, jengah melihat pemuda itu membuka kancing baju, malu ia melihat kulit dada yang putih itu, yang sekarang kelihatan tergores ujung pedangnya. Setelah mengenakan obat, rasa perih hilang dan Kun Hong menutup lagi bajunya.

   "Kau berceritalah, aku sudah siap mendengarkan."

   Katanya sambil memandang muka gadis yang masih dipalingkan ke kiri.

   Eng Lan lalu bercerita, Kun Hong mendengarkan. Mereka duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Keduanya kelihatan seakan- akan dua orang sahabat baik yang sedang mengobrol sambil makan angin. Padahal Eng Lan masih memegang pedangnya dan ia masih menganggap pemuda ini musuhnya seorang jahat yang layak ia bunuh!

   Apakah yang diceritakan oleh Eng Lan kepada Kun Hong. Mari kita ikuti sendiri pengalaman gadis itu. Semenjak dibebaskan dari tawanan oleh Kun Hong di Peking, Eng Lan bersama Tung-hai Sian-li berhasil melarikan diri keluar dari kota raja.

   Begitu mereka lolos keluar dari tembok kota, mereka bertemu Siok Lan dan See-thian Hoat-ong. Tentu saja dua orang ini merasa girang sekali melihat mereka telah berhasil menyelamatkan diri. Tak lama selagi mereka maling bicara, datang pula Pak-thian Koai-jin dan Lam-san Sian-ong yang melompat keluar dari balik tembok kota.

   "Kami melihat kalian berlari-lari. Merasa heran tidak ada yang mengejar, maka diam-diam kami hanya mengikuti, takut kalau-kalau ada musuh menyerang dari belakang."

   Kata Pak-thian Koai-jin. Tadinya dia bersama Lam-san Sian-ong memasuki kota raja dengan maksud hendak menolong Tung hai Sian-li dan Pui Eng Lan. Akan tetapi selagi mereka mencari-cari pada tengah malam itu mereka melihat bayangan dua orang wanita itu berlari-lari cepat sambil berlompat- lompatan dari genteng ke genteng.

   "Kami ditolong oleh pemuda yang bernama Kam Kun Hong itu. Lebih baik kita lekas pergi dari sini siapa tahu kalau-kalau musuh mengirim barisan mengejar,"

   Kata Tung-hai Sian-li. Tanpa banyak cakap mereka semua lalu berlari cepat ke selatan. Setelah malam terganti pagi baru mereka berhenti dan Tung-hai Sian-li menceritakan pengalamannya.

   "Sungguh mati aku tidak nyana bahwa pemuda yang lihai sekali itu ternyata berhati baik, tidak seperti yang lain. Sukar dipercaya kalau dia itu murid Thai Khek Sian. Dia memasuki kamar tahanan, minta maaf atas kecurangan kawan-kawannya yang menangkap aku dan Eng Lan secara pengecut. Kemudian ia mematahkan belenggu dan minta supaya aku menjemput Eng Lan dan melarikan diri sambil memesan agar jangan aku melayani serangan kawan-kawannya. Aahh. sungguh berbahaya. Kalau tidak ada pemuda itu, aku dan Eng Lan mana kuat melawan keroyokan mereka? Cuma heranku, apakah yang menyebabkan pemuda itu berbalik pikir dan menolong kami!"

   Eng Lan seorang yang mengetahui sebabnya. Akan tetapi ia diam saja dan menundukkan kepala. Setelah Tung-hai Sian-li selesai bercerita. Siok Lan lalu menghampiri ibunya ini. Sikapnya lain dari pada ketika mereka saling bertemu untuk pertama kalinya. Gadis ini berlutut dan dengan suara gemetar ia berkata.

   "Apakah kau masih menganggap aku anakmu?"

   Tung-hai Sian-li tercengang. Tak disangkanya gadis ini akan bersikap begini. Tadinya ia sudah putus harapan dan mengira bahwa selamanya gadis itu tentu akan membencinya. Akan tetapi dia tidak menyalahkan Siok Lan yang membela ayahnya. Melihat anaknya itu kini berlutut di depannya dan mengeluarkan pertanyaan itu. hatinya berdebar dan dengan mata basah ia memeluk Siok Lan.

   "Anak bodoh, tentu saja kau anakku! Sampai matipun aku akan menganggap kau anakku."

   "Kalau begitu, sebagai seorang ibu tentu akan suka memenuhi permintaan anaknya yang selamanya tak pernah minta apa-apa!"

   Tung-hai Sian-li terharu dan membelai kepala anaknya.

   "Sudah tentu saja, nyawaku kusediakan untuk memenuhi permintaanmu."

   Kwa Siok Lan membalas pelukan ibunya.

   "Ibu, tidak begitu sukar permintaanku. Hanya satu, yalah ibu supaya ikut anak pulang ke Poan-kun."

   Wajah yang masih cantik itu menjadi pucat seketika.

   "Dan....... dan........ ayahmu.......?"

   "Sudah bertahun-tahun ayah menanti kedatangan ibu seperti malam gelap menanti munculnya matahari. Kau tentu mau pulang bersamaku, bukan? Ibu. permintaanku hanya satu ini, kalau ibu tidak mau penuhi, kuanggap ibu tidak mencintaku dan tidak mau menganggap aku sebagai anakmu!"

   Tiba-tiba Tung-hai Sain-li melepaskan pelukannya, bangkit berdiri dan melangkah mundur. Ia membanting kakinya dan membentak "Kau hendak memaksaku?"

   Siok Lan juga melompat berdiri tegak, menjawab sama kerasnya.

   "Ibu terlalu kejam kepada ayah!"

   Dua orang wanita ini berdiri tegak saling berhadapan. Sama cantik sama tinggi langsing, dan sama-sama keras kepala dan marah! Dua pasang mata yang indah bening itu berkilat-kilat seperti mengeluarkan api. Mereka sama sekali bukan seperti ibu dan anak, lebih patut disebut dua orang lawan yang sedang saling berhadapan hendak bertempur. Seperti dua ekor singa betina!

   See-thian Hoat-ong, adik seperguruan atau sute dari Kwa Cun Ek melihat keadaan ibu dan anak itu, mendehem dan berkata perlahan, berbeda dengan biasanya.

   "Siok Lan, jangan bersikap begitu terhadap ibumu........."

   Terang bahwa kakek gagah perkasa ini merasa terharu. Ia menyaksikan persamaan yang tak dapat disangkal lagi antara ibu dan anak ini, bukan persamaan rupa, melainkan persamaan watak. Sama keras kepala, sama pemarah dan sama berani!

   Pak-thian Koai-jin tertawa, suara ketawanya mengandung tenaga khikang membuyarkan suasana tegang itu. Memang kakek ini sengaja hendak mendinginkan suasana, maka ia tertawa lalu disambungnya dengan kata-kata "Nona Kwa memang betul. Mengajak ibu pulang agar supaya dapat berbakti terhadap ayah bunda. Cinta kasih yang suci tidak mementingkan perasaan sendiri. Ha-ha-ha."

   Ucapan ini seperti air dingin diguyurkan ke atas kepala Tung-hai Sian-li. Terdengar ia mengisak ditahan, lalu ditubruknya tubuh anaknya dan ia berkata.

   "Aku menurut....... apa saja yang kau minta, aku menurut........."

   Katanya.

   Siok Lan memeluk ibunya dan menangis, menangis saking girang hatinya.

   Pui Eng Lan yang semenjak tadi diam saja menyaksikan adegan ini. sekarang ia tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia menghampiri Siok Lan dan dengan air mata berlinang ia memegang tangan sahabatnya itu. Siok Lan menoleh dan tersenyum kepadanya, penuh perasaan kasihan. Siok Lan tahu betapa Eng Lan tertusuk hatinya menyaksikan ia dapat bertemu dan berbaik kembali dengan ibunya. Eng Lan sendiri seorang gadis yatim piatu, hanya hidup berdua dengan encinya. Akan tetapi encinya itu menjadi korban keganasan hartawan Liu si tua bangka mata keranjang sehingga enci Eng Lan sekeluarga binasa. Itulah yang menyebabkan Eng Lan pergi ke kota raja bersama suhunya untuk membalas dendam, membunuh kakek hartawan Liu.

   "Eng Lan kau berjanji hendak berkunjung ke rumahku. Lebih baik sekarang kau sekalian ikut bersama aku dan ibu ke Poan-kun. Bagaimana?"

   Kata Siok Lan. Eng Lan hanya menoleh kepada suhunya, orang aneh dari utara yang selama ini menjadi pengganti orang tuanya.

   "Boleh, boleh! Kau memang seharusnya menghibur dirimu. Pergilah ke Poan-kun tiga bulan kemudian aku menyusul ke sana."

   Kata Pak-thian Koai-jin.

   Maka berangkatlah Siok Lan dan Eng Lan bersama Tung-hai Sian-li dan juga See-thian Hoat-ong ke Poan-kun. Pak-thian Koai-jin pergi bersama Lam-san Sian-ong katanya mereka berdua hendak mancing ikan dan minum arak di Telaga See-ouw.

   Hati Eng Lan agak terhibur ketika ia melakukan perjalanan dengan Siok Lan dan Tung-hai Sian-li. Adapun See-thian Hoat-ong adalah seorang gagah yang pendiam dan dengan adanya kakek tinggi besar seperti Kwan Kong ini di samping mereka, tiga orang wanita ini tidak mengalami kepusingan karena tidak ada orang berani mengganggu mereka. Jarang ada orang berani bersikap kurang ajar di depan orang seperti See-thian Hoat-ong.

   Kepada Tung-hai Sian-li dan Eng Lan, Siok Lan menceritakan keadaan rumah tangganya. Karena perjalanan itu jauh dan memakan waktu lama. banyak yang sempat diceritakan oleh Siok Lan, malah ia bercerita juga tentang Ciok Kim Li. gadis yang menjadi korban keganasan Tok-sim Sian-li, sehingga kedua kakinya sampai dibuntungi oleh Kun Hong.

   "Pemuda itu baik sekali kepandaiannya luar biasa tingginya. Sebagai murid Thai Khek Sian. memang pantas ia memiliki kepandaian demikian lihai. Sayangnya, ia berkawan dengan orang-orang Mo-kauw. Aku dan Eng Lan sudah berhutang budi kepadanya."

   Sambil berkata demikian, Tung-hai Sian-li melirik ke arah Eng Lan dengan pandang mata penuh arti. Wanita gagah ini sudah dapat menduga mengapa Kun Hong membebaskan dia dan Eng Lan".

   Eng Lan menjadi merah mukanya.

   "Bibi mengapa harus disayangkan? Orang jahat bergaul dengan orang-orang jahat, itu sudah sejamaknya. Mana ada burung gagak bergaul dengan burung hong?"

   "Eng Lan. kenapa kau bicara begitu? Dia sudah menolongmu, tahu?"

   Siok Lan menggoda. Gadis inipun mengerti akan jalan pikiran ibunya. Memang Siok Lan amat cerdik.

   "Siok Lan, kenapa kau bicara begitu? Dia nolong ibumu, bukan aku!"

   Bantah Eng Lan, akan tetapi Siok Lan dan ibunya hanya tertawa.

   Ketika tiba di luar kota Poan-kun. tiba-tiba Tung-Hai Sian-li berhenti. Siok Lan memandang heran. Sudah semenjak makin dekat dengan Poan-kun. pendekar wanita ini nampak makin muram mukanya, berbeda dengan Siok Lan yang menjadi makin gembira.

   "Ibu, kita sudah sampai di Poan-kun, kenapa berhenti?"

   Tanya Siok Lan sambil memandang wajah yang menjadi agak pucat itu.

   "Kau pulanglah dulu beri tahu ayahmu. Aku menanti di sini."

   Jawab Tung-hai Sian-li singkat.

   Siok Lan seorang gadis cerdik luar biasa, akan tetapi ia berwatak keras seperti ibunya sehingga ia tidak mengerti akan sikap ini. Sebaliknya, Eng Lan lebih halus perasaannya maka Eng Lan lalu menggandeng tangannya dan berbisik.

   "Enci Siok Lan, sudah sepantasnya kau pulang dulu memberitahukan ayahmu akan kedatangan ibumu."

   Sambil berkata demikian, ia mengerahkan tenaga menarik lengan sahabatnya itu melanjutkan perjalanan. Siok Lan memandang tak mengerti, akan tetapi Eng Lan berkedip memberi isyarat sehingga dia menurut saja memasuki kota Poan-kun.

   "Enci Siok Lan. mengapa kau hendak memaksa ibumu masuk? Tentu aaja ayahmu harus keluar menyambut kedatangannya. Masa kau tidak dapat menyelami perasaannya?"

   Siok Lan mengangguk-anguk, akan tetapi di dalam hatinya ia merasa heran mengapa ibunya harus bersikap demikian. Namun kini timbul lagi kegirangan hatinya dan cepat-cepat ia mengajak Eng Lan menuju ke rumahnya.

   Sunyi saja di rumah besar itu. Siok Lan terheran. Mengapa tidak kelihatan seorangpun di halaman depan? Ia bersama Eng Lan terus memasuki halaman dan kini terlihatlah ayahnya duduk di atas kursi, diam tak bergerak seperti patung dan Kim Li juga duduk di atas kursi pendek Gadis buntung kakinya ini memakai celana yang menutupi kedua kaki itu sehingga ia kelihatan berkaki pendek sekali tidak kelihatan buntung.

   "Ayah.........!"

   Seru Siok Lan sambil berlari menghampiri ayahnya. Ketika ia pergi, ayahnya memang kurang enak badan, akan tetapi tidak sekurus ini dan juga tidak kelihatan begini sedih.

   "Ayah. aku membawa oleh-oleh yang amat indah dan akan menyenangkan hatimu......!"

   Kata Siok Lan setelah tiba di depan ayahnya, lalu ia menjatuhkan diri berlutut daan memeluk lutut ayahnya.

   Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika tiba-tiba ayahnya menggerakkan tangan menamparnya.

   "Plakk!!"

   Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Siok Lan menjerit dan terjengkang ke belakang. Pipi kirinya merah bengkak dan mulutnya berdarah!

   "Anak setan, kau lebih baik mampus dari pada membikin malu orang tua!"

   Terdengar Kwa Cun Ek memaki marah sambil bangkit berdiri. Kim Li biarpun kedua kakinya sudah buntung, namun semenjak memperdalam ilmu silatnya di bawah asuhan Kwa Cun Ek, gerakannya menjadi gesit. Cepat ia melompat dan menubruk Siok Lan. lalu menghalangi di depan Kwa Cun Ek sambil berkata.

   "Suhu, ingat, jangan menuruti nafsu amarah! Belum tentu nona Siok Lan bersalah dalam urusan itu........!"

   Kwa Cun Ek membanting kaki.

   "Kwee Sun Tek adalah seorang laki-laki sejati, mana dia bisa membohong? Anak ini biar minggat saja dan sini, biar aku hidup seorang diri menderita sampai mampus dari pada didekati anak yang hanya mencemarkan namaku!"

   Kembali ia hendak memukul akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring.

   "Kau berani memukul anakku?"

   Kwa Cun Ek tersentak kaget, berdiri tegak seperti patung, matanya melotot dan mulutnya melongo. Tung-hai Sian-li telah berdiri di hadapannya, secantik dulu, segagah dulu, segalak dulu! Di belakangnya nampak Eng Lan berdiri di pojok. Nona ini yang tadi cepat-cepat memberi tahu kepada Tung-hai Sian-li akan peristiwa di rumah itu. Mendengar anaknya dipukul oleh Kwa Cun Ek, bagaikan seekor harimau betina Tung-hai Sian-li berlari cepat sekali sampai-sampai Eng Lan sukar menyusulnya.

   Tung-hai Sian-li memeluk puterinya.

   "Begini kau memperlakukan anakku......?"

   Melihat Siok Lan menangis dengan pipi bengkak dan bibir berdarah. Tung-hai Sian-li mencabut pedangnya dan melompat berdiri.

   "Kau hendak membunuh dia! Kau bunuh aku lebih dulu!"

   Tantangnya.

   Kwa Cun Ek yang tadinya marah-marah dan berdiri tegak kini merasa kakinya gemetar dan ia tentu akan roboh terguling kalau saja Kim Li tidak cepat- cepat membawa sebuah kursi di belakangnya. Kwa Cun Ek menjatuhkan diri di atas kursi dan menutupi mukanya.

   

Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono

Cari Blog Ini