Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 22


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



"Tidak!"

   Kata Siok Lan terharu.

   "Dengan berbuat begitu aku akan merusak penghidupan dua orang, dia yang akan cemar namanya dan kau yang akan menjadi berduka. Sudahlah, kaubawa dia dan kaubunuh dia, barulah keadaanku biasa kembali seperti kemarin sebelum dia muncul! Kalau kau tidak mau melakukan ini, aku sendiri akan membunuhnya kemudian aku akan tinggalkan kau!"

   Mendengar ketidaksabaran dan kejengkelan di dalam suara isterinya; Chi-loya tahu bahwa tidak ada pilihan lain baginya. Ia sudah cukup mengenal watak Siok Lan yang amat keras.

   "Baiklah, kalau demikian kehendakmu."

   Katanya kemudian menarik napas panjang. lalu mengenakan jubah panjang dan mengikatkan rantai baja di pinggangnya.

   Siok Lan menghampiri tubuh Wi Liong yang masih telentang pucat di atas dipan, membungkuk dan memberi ciuman tanpa malu-malu lagi penuh keharuan pada kening pemuda itu.

   "Bawalah, bunuhlah........."

   Katanya perlahan dan air matanya bercucuran turun ketika ia memandang suaminya yang tinggi besar itu, yang sudah melangkah keluar dengan cepatnya sambil memondong tubuh Wi Liong.

   Siok Lan berdiri terus di ambang pintu, pucat seperti mayat, tidak bergerak seperti patung. Hanya air matanya yang bergerak, seperti batu-batu giok berjatuhan di atas pipinya tanpa dirasa dan diusapnya. Seakan-akan, semangatnya terbang mengikuti tubuh Wi Liong yang dipondong pergi oleh suaminya,. Ia yakin betul bahwa Chi-loya pasti akan memenuhi permintaannya, pasti akan membunuh Wi Liong sebagaimana yang dipintanya. Ia tahu betapa besar cinta kasih orang tua itu kepadanya.

   Setelah semalaman gadis itu berdiri di pintu. Menjelang pagi, sesosok bayangan berkelebat dan masuklah Chi-loya berkerudung baju panjangnya karena pagi itu dingin sekali. Wajahnya nampak gembira akan tetapi menjadi terkejut dan cemas melihat isterlnya berdiri di ambang pintu.

   Dipeluknya Siok Lan. dirangkul dan ditanya penuh kasih sayang.

   "Mengapa kau masih di sini dan belum tidur?"

   Siok Lan menatap wajahnya, mencari-cari dengan pandang mata untuk menjenguk isi hati suaminya, berkata lirih.

   "Sudah.........?"

   Chi-loya hanya mengangguk, menarik lengan gadis itu memasuki rumah, menutup pintu.

   "Kau seharusnya sudah tidur, berdiri di luar bisa masuk angin."

   Kata Chi-loya sambil merangkulnya.

   Siok Lan diam saja, malah merebahkan kepala di dada suaminya sambil menangis terisak-isak. Chi-loya menggeleng-gelengkan kepala, menarik napas dan mengelus-elus rambut yang halus hitam itu untuk menghibur hati isteri yang amat dicinta itu.

   Siok Lan dapat tidur sejenak. Akan tetapi begitu cahaya matahari pagi memasuki kamar melalui kaca-kaca jendela, ia tiba-tiba melompat bangun dan cepat mencuci muka dan membereskan rambutnya,.

   "Hayo antar aku, lekas........."

   Katanya kepada Chi-loya yang juga ikut bangun dengan kaget dan memandang heran.

   "Antar ke mana?"'

   "Ke mana lagi? Ke Sungai Wu-kiang, bodoh!"

   Siok. Lan menghardik.

   Berdiri bulu tengkuk Chi-loya mendengar isterinya berkata kasar itu. Sambil mengerutkan kening, ia turun dan memegang lengan isterinya.

   "Mau apa pagi-pagi ke sungai?"

   Tanyanya hati-hati.

   "Hendak melihat apakah betul-betul dia sudah mati. Hayolah!"

   Sambil berkata demikian, Siok Lan menangkap pergelangan tangan suaminya, menyambar pedang di dinding lalu menarik suaminya keluar gedung. Setibanya di luar, para pelayan memandang heran melihat tuan dan nyonya itu pagi-pagi pergi secara tergesa-gesa, bahkan Chi-loya masih kusut pakaiannya, belum juga mencuci muka!

   Chi-loya menurut saja dan di lain saat keduanya sudah nampak berlari cepat menuju ke sungai.

   "Percuma kita ke sana, tentu jenazahnya sudah hanyut....."

   Kata Chi-loya perlahan.

   Akan tetapi Siok Lan tidak menjawab, malah mendengar ini ia lalu berlari makin cepat Terpaksa suaminya mengikuti dan belakang dengan muka berubah amat khawatir.

   "Di mana......... di mana kaubunuh dan buang dia.........?."

   Tanya Siok Lan setelah mereka tiba di tepi Sungai Wu-kiang yang airnya mengalir tenang dan penuh.

   Chi-loya nampak gugup dan tanpa berkata-kata ia membawa Siok Lan ke sebuah tebing tinggi' di tepi sungai. Dari tebing itu ke permukaan air ada seratus meter lebih dan dari tempat itu air kelihatan kehijauan, tenang sekali seperti tidak bergerak, seperti sutera hijau dibentangkan panjang. Dengan telunjuknya Chi-loya menunjuk ke arah air.

   "Di situ.........?"

   Suara Siok Lan menggigil dan matanya memandang ke bawah, mencari-cari kalau-kalau ia menemukan mayat Wi Liong. Akan tetapi yang mengambang di permukaan air hanyalah benda -benda kecil keputihan, yaitu busa- busa air dan kotoran-kotoran sisa yang termakan ikan.

   "Mana......... mana dia? Mana jenazahnya.........?"

   Chi-loya menjadi pucat dan menarik napas panjang, sedih sekali melihat isterinya bersikap seperti itu.

   "Sudah kukatakan tadi, tentu jenazahnya sudah hanyut dan tenggelam. Siok Lan isteriku, kenapa kau bersikap begini? Kau menghendaki dia mati; dan dia sudah mati. Marilah kita pulang......"

   Siok Lan memandang ke permukaan sungai dan seakan akan kelihatan bayangan Wi Liong di sana. Mendengar kata kata suaminya, ia menoleh, mukanya pucat dan matanya tertutup air mata.

   "Pulang..........? Kau bilang pulang, Wi Liong.........? Ya, pulang, kau tunggu aku, mari kita pulang..........!"

   Dan secepat kilat, tanpa diduga-duga oleh Chi-loya. tahu-tahu Siok Lan sudah melompat ke depan sambil mencabut pedang. Sebelum tubuhnya menyentuh air, pedangnya ditusukkan sendiri ke dadanya dan.........

   "Byuuurrr...........!"

   Chi Loya memekik tinggi, tubuh Siok Lan tenggelam dan permukaan air menjadi sedikit merah.

   "Siok Lan..........!!!"

   Chi-loya memekik ngeri, untuk sesaat hanya berdiri pucat seperti patung. Kemudian iapun melompat ke bawah!

   "Byuuurrr!"

   Untuk kedua kalinya air memercik tinggi, permukaan air yang tadinya tenang menjadi bergelombang. Makin lama gelombang makin kecil dan warna merah makin pudar. Tak lama kemudian permukaan air di sungai itu sudah tenang kembali dan tidak ada sedikitpun bekas peristiwa ngeri tadi di situ. Yang ada hanyalah mayat dua orang yang timbul di permukaan air jauh di hilir dan tak lama kemudian lenyap pula dari permukaan air, entah apa yang terjadi di dalam, tidak kelihatan.........

   Wi Liong berjalan seorang diri, langkahnya ringan, bibirnya tersenyum-senyum, namun kalau orang memandang lebih teliti, di antara sepasang alisnya timbul gurat-gurat membujur yang membuat wajahnya nampak beberapa tahun lebih tua dari pada usianya. Kedua kakinya seperti bermata, berjalan menyusup-nyusup dan melangkahi rintangan di depanj, akan tetapi sebenarnya kedua kaki ini maju tanpa tujuan tertentu. Ia berjalan asal melangkah saja. tidak perduli sampai di mana. Pikirannya melayang-layang, teringat akan segala peristiwa yang dialaminya baru-baru itu, peristiwa yang aneh, menyedihkan, mengharukan, memberi tekanan berat pada batinnya dan akhirnya mendatangkan kebahagiaan juga!

   Belum lama tadi, tahu-tahu ia siuman di atas sebuah perahu kecil yang bergoyang-goyang di pinggir sungai. Ketika ia membuka matanya, ia melihat Chi-loya duduk di kepala perahu, tangannya yang besar kuat memegang rantai baja, matanya memandang jauh melalui permukaan air. mata memandang jauh tapi tidak melihat apa-apa.

   Wi Liong bergerak bangun dan terheran-heran. Melihat dia bangun. Chi-loya menghadapinya dan tersenyum ramah.

   "Kau sudah siuman? Bagus, tak usah terlalu lama menanti"

   Katanya. Pada saat itu, fajar sudah hampir menyingsing, keadaan masih remang-remang hanya diterangi oleh bulan sepotong yang sudah hampir tenggelam dan sudah pudar sinarnya.

   "Kita berada di mana? Mengapa di dalam perahu?"

   Tanya Wi Liong yang masih bingung dan heran, kemudian ia melihat sulingnya di dalam perahu, lalu diambilnya.

   Chi-loya mendiamkannya saja mengambil senjatanya itui. lalu ia berkata tenang.

   "Seperti kau lihat, kau berada di dalam perahu baru saja siuman dari pingsan dan aku......... aku tadinya bertugas mengetuk kepalamu sampai pecah dan melempar mayatmu di sungai ini........."

   Orang tua tinggi besar itu menghela napas panjang, lalu meludah ke dalam air tanda hati merasa sebal.

   "Kalau begitu......... kenapa aku masih hidup dan kau masih duduk diam saja memegang rantai baja yang masih bersih?"

   Tanya Wi Liong, bukan bermaksud untuk berkelakar karena memang ia betul-betul heran

   "Kau kira aku orang macam apa, membunuh orang yang tidak berdaya, dalam keadaan pingsan? Kalau saja aku dapat menangkan kau, ingin memang aku menghancurkan kepalamu, kau orang yang hendak merusak kebahagiaan hidupku!"

   Chi-loya memukulkan rantainya pada pinggiran perahu sampai somplak dan hancuran kayu beterbangan.

   Kagum hati Wi Liong. Orang ini baik sekali, gagah dan jujur, juga berhati jantan. Sayang dia salah mengambil Siok Lan........."eh, di mana Siok Lan.........?"

   "Mengapa kau membawaku ke sini tadi?"

   Tiba-tiba ia bertanya ketika ia teringat akan Siok Lan.

   "Sudah kukatakan, aku harus membawamu ke sini untuk dibunuh dan dibuang. akan tetapi sayang sekali......... aku tidak tega membunuh orang pingsan, bodoh dan lemah aku!"

   Wi Liong tiba-tiba menjadi pucat dan memegang lengan orang itu ernt erat.

   "Chi-loya, kau orang gagah yang karena kegagahanmu saja sudah patut kuhormati, katakanlah sejujurnya, apa artinya semua ini?"

   Chi-loya memang seorang gagah yang berwatak mulia. Ia memandang Wi Liong, kini kemarahan lenyap dari mukanya, terganti perasaan kasihan. Melihat muka pemuda itu pucat dan menatapnya penuh permohonan, ia membuang muka lalu terdengar suaranya yang jelas dan nyaring.

   "Kau pingsan, kemudian dia menyuruh aku membawamu ke sini, membunuhmu dan melempar mayatmu ke sungai."

   "Dia......... dia menyuruhmu membunuhku? Siok Lan yang menyuruh kau membunuhku?"

   Suara pemuda itu membayangkan hati yang perih dan luka, berdarah

   Chi-loya menjadi makin kasihan.

   "Dia sudah menjadi isteriku. dan dia menyatakan bahwa hanya kalau kau sudah mati seperti yang tadinya ia kira, maka baru dia bisa menjadi isteriku. Dia yang menyuruhku....... dan sayangnya aku seorang lemah........."

   Tiba-tiba Wi Liong tertawa bergelak-gelak sambil berdiri di perahu dan mendongak ke udara. Tertawa terbahak-bahak keras sekali.

   Chi-loya menangkap lengannya dengan bulu tengkuk meremang.

   "Diam! Diam, kau seperti mayat tertawa.........! Apa sih yang kau tawakan?"

   Akan tetapi Wi Liong tertawa terus, kemudian berhenti dan ternyata air matanya bercucuran di atas kedua pipinya dan wajahnya pucat sekali.

   "Kau tidak bodoh, dan tidak lemah, Chi-loya. Akulah segoblok-gobloknya orang, setolol- tololnya manusia. Aku merindu gila seorang diri. padahal dia tidak cinta kepadaku. Ah. Siok Lan. Bu Beng Siocia semua itu khayalku semata, angan-angan kosong belaka. Dia tidak cinta padaku, hanya kasihan......... dan dia sudah menjadi isterimu yang tercinta. Syukurlah......... syukurlah, semoga kau dan dia hidup bahagia. Chi-loya. Kau seorang gagah, kau manusia baik, sedangkan aku........... aku si pandir si pemabok angan-angan, si tukang menerawang......... ha-ha-ha,.kembaililah kepada isterimu. Chi-loya. Selamat tinggal!"

   Dan melompatlah ia dari perahu itu ke darat, dengan gerakan ringan sekali. Entah mengapa, tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya ringan dan dadanya serasa kosong melompong!

   Demikianlah; pemuda ini jalan terus dengan cepatnya, tersenyum-senyum karena merasa tubuhnya enak dan kosong, ringan sekali. Kedua kakinya seperti mesin bergerak maju. tanpa tujuan. Pada saat seperti itu, teringatlah kembali ia akan ajaran-ajaran Thian Te Cu. akan wejangan-wejangan dan gemblengan- gemblengan ilmu batin, dan insyaflah ia bahwa selama ini ia ditunggangi oleh nafsunya sendiri. Bahwa selama ini ia tergila-gila kepada Siok Lan karena nafsu mudanya, karena kebetulan Siok Lan memiliki bentuk wajah dan potongan tubuh yang mencocoki seleranya, karena segala gerak geriik gadis itu menyentuh perasaannya, membangkitkan nafsu dan kasihnya. Padahal semua itu kosong be!aka, buktinya sekarang setelah semua naifsu dan perasaannya padam oleh kesadarannya bahwa Siok Lan tidak mencintanya ia tidak merindu lagi!

   Memang manusia kadang-kadang menggelikan sekali. Bodoh mengaku pandai, itulah sifat setiap orang manusia. Wi Liong, pemuda hijau mengaku pandai, merasa telah dapat membongkar rahasia cinta seorang gadis seperti Siok Lan! Terlalu hijau ia, terlalu muda, hanya tahu tentang cinta dari perkiraan belaka, dari logika mentah. Mana dia tahu akan hikmat cinta kasih, akan kemurnian cinta kasih dalam lubuk hati seorang gadis, mana dia bisa mengira bahwa pada saat ia tersenyum senyum mentertawakan diri sendiri dan Siok Lan itu, pada saat ia berfilsafat tentang cinta, pada saat itu Siok Lan telah membunuh diri di Sungai Wu-kiang. sengaja untuk menyusul dia yang disangka sudah mati! Mana ia tahu akan kasih sayang seperti yang memenuhi hati Chi-loya terhadap Silok Lan. sehingga laki laki gagah ini rela pula mati bersama Sioik Lan. mayatnya terapung-apung di samping mayat Siok Lan. di permukaan air Sungai Wu-kiang! Akan tetapi memang jauh lebih baik bagi Wi Liong tidak mengetahui akan semua ini, tidak mengetahui untuk selamanya.

   Karena hasil renungan dan filsafatnya tentang cinta, akhirnya Wi Liong dapat memulihkan semangatnya dan dapat menerima nasib. Ia anggap bahwa Siok Lan tidak cinta kepadanya dan bahwa gadis itu kini telah menjadi nyonya Chi yang hidup beruntung, kaya raya, suami mencinta. Dia malah merasa merdeka karena tidak ada lagi ikatan baik ikatan lahir sebagai bekas tunangan maupun ikatan batin sebagai bekas kekasih. Dia sekarang telah bebas, merdeka!

   Beberapa bulan kemudian, pemuda ini sudah tiba di Tung-ting. sebuah telaga besar di Propinsi Hu-nan. Bersama dengan banyak pelancong ia menikmati keindahan telaga ini dan berdiam di situ sampai berpekan-pekan. Ia sengaja bermalam di dalam sebuah kuil tua yang terdapat dalam hutan kecil di barat telaga, kuil yang sudah rusak dan tidak ada penghuninya.

   Setiap hari orang dapat melihat pemuda ini memancing ikan sambil melamun di pinggir telaga. Atau melihat dia dengan senangnya memanggang ikan hasil pancingannya di kuil tua itu, makan seorang diri dengan lahap dan nikmatnya! Atau kadang kadang ia juga memilih tempat yang sunyi di ujung barat telaga, di mana masih liar tanamannya dan tak pernah dikunjungi orang, dan di sinilah ia setiap hari mandi di antara batu-batu yang tinggi menonjol di pinggir telaga. Sampah berjam-jam ia berenang ke sana ke mari. memukui-mukul air dan merasa segar sehat lahir batin.

   Sementara itu. di balik segerombolan batu-batu besar di pinggir telaga. terjadi hal yang aneh dan lucu.

   "Tadinya nampak seorang kakek kecil pendek berpakaian pengemis bermata besar, kedua tangannya memegang tongkat bambu dan sebuah mangkok butut. Kakek ini memandang ke arah Wi Liong yang sedang mandi, lalu tertawa-tawa sendiri, agaknya merasa lucu nonton orang mandi bertelanjang bulat di telaga itu. Kemudian ia pergi sambil berlari-lari langkah kakinya ringan sekali sampai-sampai Wi Liong yang lihai juga tidak mendengar langkah 'kakinya.

   Tak lama kemudian, kakek itu datang lagi berlari-lari dengan seorang gadis cantik yang berwajah muram.

   "Dialah baru orangnya yang akan dapat menolong kita membasmi iblis- iblis itu!"

   Kata kakek itu sambil berlari-lari.

   "Siapa sih yang suhu maksudkan?"

   Tanya gadis cantik itu sambil berlari di samping suhunya.

   "Kau lihat sendiri nanti, tentu kau mengenalnya!"

   Kakek itu terkekeh lalu membawa gadis itu ke balik gerombolan.batu besar tadi. Setelah tiba di tempat itu, ia menunjuk ke arah setumpuk pakaian yang berada di situ sambil berkata.

   "Nah. itu orangnya dan ini pakaiannya. Hayo kita curi pakaiannya untuk memaksa dia berjanji!"

   Gadis itu memandang heran ke arah tumpukan pakaian pria yang bersih dan ditumpuk rapi di atas batu licin, kemudian menurutkan tempat yang ditunjuk suhunya ia memandang ke air dan..... tiba-tiba wajahnya menjadi merah sekali dan cepat-cepat ia memutar tubuh membuang muka ketika ia melihat seorang pemuda bertubuh tegap berkulit kuning berada di air bertelanjang bulat. Baiknya pemuda itu membelakangi mereka.

   "Ah. suhu sungguh membikin malu orang.........!"

   Katanya sambil berdiri membelakangi orang mandi itu.

   "Eee....... eeeee, bagaimana sih kau ini? Orang itu bukan orang sembarangan. dialah pemuda yang kita jumpai dulu di Kelenteng Siauw-lim-si, pemuda sakti yang......... yang menjadi pilihanku. Kau sepatutnya menjadi isteri orang seperti itu, Eng Lan. Untuk apa kau menanti nanti pemuda macam Kun Hong yang tidak setia dan tidak memegang janji?"

   "Suhu.........harap jangan berkata begitu........"

   Gadis itu mengeluh.

   Wi Liong sekarang mendengar suara mereka dan cepat ia menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang kakek dan seorang gadis cantik yang ia kenal sebagai Pak-thian Koai-jin dan muridnya, Pui Eng Lan si gadis hitam manis! Ia kaget bukan apa-apa, hanya karena ia berada dalam keadaan telanjang dan pakaiannya justeru bertumpuk di dekat kakek dan gadis itu! Cepat-cepat ia menyelam dan hanya kepalanya saja yang kelihatan sekarang, dengan muka kemerah-merahan di permukaan air yang jernih.

   "Dia sekarang tidak terikat lagi, sudah putus pertunangannya dengan puteri keluarga Kwa......."

   Wi Liong mendengar ucapan terakhir kakek itu. Ia merasa heran mengapa kakek itu berkata demikian dan tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

   "Ah. kiranya locianpwe Pak-thian Koai-jin yang berada di situ dan nona Pui Eng Lan........ harap suka menyingkir dulu agar aku dapat...... berpakaian."

   Katanya gagap.

   Muka Eng Lan menjadi makin merah dan gadis ini tak dapat berdiam lebih lama lagi di situ, terus saja mengangkat kaki pergi menjauhi tempat itu tanpa menoleh lagi.

   '"Ha-ha-ha-ha!"

   Pak-thian Koai-jin tertawa, natanya bersinar-sinar.

   "Orang muda, kalau aku mengambil pakaianmu ini dan membawa pergi, kau mau bisa bikin apa terhadapku?"

   Wi Liong kaget sekali. Ia memang sudah nendengar tentang keanehan kakek ini yang amat nakal, dulupun pernah kakek ini secara mendadak dan terang- terangan di depan orang banyak hendak menjodohkan dia dengan Eng Lan! Sekarang kakek ini mengancam hendak mengambil pakaiannya bisa celaka dia!

   "Jangan, locianpwe yang baik kalau kauambil, habis aku bagaimana? Janganlah ganggu aku, biar lain kali aku membalas kebaikanmu itu!"

   "Betul-betulkah? Mau kau berjanji akan membalas kebaikanku tidak jadi mengambil pakaianmu? Hayo janji!"

   "Aku berjanji,"

   Kata Wi Liong yang benar-benar tak berdaya menghadapi kakek nakal ini.

   Pak-thian Koai-jin tertawa terbahak-bahak.

   "Kalau begitu, lekas kau naik berpakaian dan kita bicarakan tentang perjodohanmu dengan muridku. Pui Eng Lan."

   Seketika Wi Liong menjadi lemas dan hampir ia tenggelam ke dalam air mendengar ucapan ini.

   "Kalau.......... kalau urusan itu......... aku......... aku tidak bisa menjalani, locianpwe........"

   Ratapnya bingung,

   "Heh-heh. dahulu kau menggunakan alasan sudah bertunangan, sekarang bukankah pertunanganmu dengan puteri keluarga Kwa itu sudah diputuskan? Ada keberatan apa lagi kau? Coba katakan, apa muridku itu kurang manis, kurang denok dan kurang gagah? Hayo katakan kalau kau pikir begitu!''

   Menghadapi kakek nakal ini. Wi Liong benar-benar merasa tobat dan ia melihat Eng Lan yang berdiri jauh membelakangi mereka sudah terisak menangis. Tentu saja gadis itu dapat mendengar semuanya. Kasihan, pikirnya. Kemudian ia teringat akan hubungan gadis itu dengan Kun Hong. Tak salah lagi, gadis itu mencinta Kun Hong. Maka ia lalu mendapat akal dan berkata dengan suara tetap.

   "Locianpwe, bukan sekali-kali aku mencela muridmu, malah aku seorang rendah dan bodoh ini mana patut menjadi jodohnya? Akan tetapi, perjodohan satu kali gagal sudah lebih dari cukup bagiku, locianpwe........."

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wi Liong tersenyum masam.

   "usulmu itu baik sekali, akan tetapi sayang hanya terbatas pada keinginanmu sendiri. Aku tentu takkan membantah andaikata nona Pui sendiri yang berkata bahwa dia......... dia suka menjadi jodohku. Hanya itulah syaratku."

   Pak-thian Koai-jin membanting-banting kakinya, menggaruk-garuk kepalanya.

   "Mana bisa? Mana dia mau.........?"

   "Tentu saja dia tidak mau karena hatinya tidak condong kepadaku. Locianpwe, perkara perjodohan harus diserahkan kepada yang akan menjalani barulah tepat karena suka duka perjodohan kelak hanya dua orang yang akan merasai."

   "Suhu, mari kita pergi kalau tidak teecu akan pergi sendiri!"

   Terdengar Eng Lan berkata setelah hilang kekhawatirannya akan dipaksa berjodoh dengan Wi Liong setelah ia mendengar ucapan pemuda itu. Di dalam hatinya, ia berterima kasih kepada pemuda ini.

   "Nanti dulu......... nanti dulu........."

   Pak-thian Koai-jin menudingkan tongkatnya kepada Wi Liong.

   "Eh, orang muda. kau pintar mengakali aku orang tua. Akan tetapi kau masih kalah janji, sekarang kau harus mau berjanji untuk menolong aku membasmi iblis-iblis Ngo-tok-kauw (Perkumpulan Lima Racun).

   "Baik, aku berjanji, locianpwe. asal saja perkumpulan itu memang sudah sepantasnya dibasmi."

   "Tentu saja pantas dibasmi. Kau datang saja menyusul kami ke hutan sebelah utara kota Siang-tan, di sanalah sarang mereka."

   "'Baik, locianpwe, aku pasti akan menyusul ke sana"

   Janji Wi Liong yang menjadi girang sekali dapat terbebas dari godaan kakek nakal itu. Pak-thian Koai-jin lalu pergi menyusul muridnya sambil mengomel panjang pendek, hatinya kecewa karena lagi-lagi Eng Lan menolak pilihannya. Ia suka sekali kepada Wi liong dan akan besarlah hatinya kalau mempunyai murid mantu seperti dia!

   Setelah bayangan dua orang itu lenyap, baru Wi Liong berani naik ke darat dan memakai pakaiannya dengan hati lega. Lain kali dia tidak akan mandi tanpa pakaian dan meninggalkan pakaian begitu saja, pikirnya. Bagaimana kalau ada orang jail mencuri pakaiannya? Tentu terpaksa ia akan merendam diri sampai malam gelap, baru berani keluar. Celaka!

   Kemudian ia ingat akan janjinya. Ngo-tok-kauw? Perkumpulan apakah itu? Belum pernah ia mendengar nama ini. Sebelum utara kota Siang-tan? Siang-tan tak terlalu jauh letaknya dari situ. Aku sudah berjanji, harus kupenuhi janji itu. Setelah mengambil keputusan ini Wi liong lalu berangkat menuju ke Siang-tan.

   Kota Siang-tan letaknya di sebelah selatan Tung-ting di mana mengalir Sungai Kemala. Ketika Wi Liong sedang berlarian menuju ke selatan dan menjelang senja ia sudah tiba di sebelah utara kota itu, ia melihat Pak-thian Koai-jin sudah menantinya di pinggir jalan, di luar hutan!

   "Cepat muridku telah mereka culik.........!"

   Kata-kata pertama yang menyambutnya ini mengejutkan hati Wi Liong.

   "Locianpwe. harap kau memberi penjelasan dulu. Siapakah mereka itu? Apakah orang-orang Ngo-tok-kauw yang kau sebutkan tadi? Mengapa memusuhi mereka dan bagaimana pula nona Pui dapat terculik?"

   Pak-thian Koai-jin memukulkan tongkatnya di tanah, kelihatan tidak sabar.

   "Aku sudah menunggumu sejak siang tadi, setelah bertemu masa hanya disuruh mengobrol? Mengobrol tidak ada gunanya, paling perlu cepat bertindak menolong muridku!"

   "Akan tetapi aku harus tahu lebih dulu duduknya perkara, locianpwe. Tidak sempurna bertindak tanpa dipikir dulu. bukan?"

   "Alaaaaa, sudahlah mari kuceritakan sambil berjalan. Jangan-jangan muridku sudah mereka tewaskan selagi kita mengobrol di sini!"

   Setelah berkata demikian kakek itu lalu berlari memasuki hutan. Terpaksa Wi Liong juga berlari karena pemuda ini kaget mendengar ucapan tadi.

   Sambil berlarian cepat, kakek itu secara singkat menceritakan bahwa Ngo-tok-kauw adalah perkumpulan agama baru yang muncul dari pantai laut selatan. Sebetulnya tidak dapat disebut perkumpulan jahat karena para anak buah atau anggautanya tak pernah mengganggu orang lain, dan mata pencaharian mereka adalah mencari batu-batu Sungai Kemala yang ternyata kaya akan batu-batu berharga. Hanya saja, mereka mengandalkan kepandaian mereka untuk mengusir setiap orang nelayan yang berlalu lintas di sepanjang sungai itu dan seakan-akan menganggap sungai itu milik mereka! Memang mereka sering kali membantu penghidupan para nelayan, memberi sumbangan sejumlah uang besar kepada para nelayan yang miskin.

   "Kalau begitu mereka tidak jahat!"

   Seru Wi Liong terheran.

   "Mereka memang tidak melakukan praktek-praktek jahat, akan tetapi mereka itu kejam dan ganas luar biasa. Setiap orang nelayan yang berani membantah perintah mereka, yang berani berperahu di sungai itu, tanpa ampun lagi mereka bunuh dan mayat nelayan itu mereka jadikan bahan untuk racun-racun mereka yang jahat!"

   Wi Liong melebarkan matanya, ngeri dan heran.

   "Kenapa perkumpulan mencari batu kemala itu memakai nama kauw (perkumpulan agama)?"

   "Entah, siapa tahu! Mereka menyembah ular-ular berbisa, yang menjadi kauwcu (ketua agama) juga seorang wanita tua seperti ular Sampai di sini Pak-thian Koai-jin kelihatan ngeri dan takut. Hebat sekali kauwcu itu ilmunya tinggi dan kalau aku tidak panjang langkah, tentu akan mampus di tangannya!"

   "Locianpwe, kau dan muridmu mengapa memusuhi mereka sampai nona Pui sekarang diculik?"

   "Dasar Eng Lan yang keras kepala. Kalau dia mau memilih kau sebagai calon suami, kan beres, tidak timbul permusuhan dengan Ngo-tok-kauw......."

   Kakek itu mengomel, membuat Wi Liong terheran-heran.

   "Bocah itu kegilaan si Kun Hong murid Thai Khek Sian itu dan ia sambil menangis minta bantuanku mencarikan batu kemala yang disebut Im-yang-giok cu, katanya batu itulah yang akan dapat menyambung nyawa Kun Hong yang terluka hebat oleh pukulan Im-yang-lian hoan dari Kunlun-pai. Katanya ia rela mempertaruhkan nyawa untuk mencarikan obat pemuda itu......"

   Pak-thian Koai-jin menarik napas panjang.

   "Orang muda kalau sudah jatuh cinta, otaknya menjadi miring.........!"

   Wi Liong merasa terharu sekali, terharu dan juga terkejut. Ia teringat bahwa Kun Hong memang sudah terluka hebat ketika bersama Eng Lan mengunjunginya di Wuyi-san, akan tetapi ia tidak sangka bahwa itulah luka akibat Im-yang-lian-hoan dari Kun-Iun-pai.

   "Aku bukan hanya guru Eng Lan. akan tetapi dia juga kuanggap seperti anak sendiri. Ayah mana yang takkan bingung ditangisi anaknya seperti itu? Terpaksa aku lalu berusaha mencari Im-yang-giok-cu di Sungai Kemala."

   "Kenapa di sungai itu?"

   "Im-yang-giok-cu hanya dimiliki oleh Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to. Kalau batu itu sudah berada di tangan biang iblis itu, siapa orangnya berani mencari ke sana? Aku biarpun sudah tua bangka belum ingin mampus, maka aku mengajak Eng Lan mencari di Sungai Kemala karena tidak ada batu apapun yang tidak terdapat di sungai itu. Nah, itulah yang menyebabkan adanya permusuhan antara kami dan Ngo-tok-kauw. Mereka melarang aku mencari batu di sungai itu dan terjadi pertempuran. Melawan anak buah mereka aku dan Eng Lan masih sanggup. Akan tetapi setelah muncul pentolan-pentolan mereka, benar-benar berat. Terpaksa aku dan Eng Lan melarikan diri, dikejar terus sampai di Tung-ting di mana kebetulan sekali aku bertemu dengan kau. Tadi ketika aku dan Eng Lan tiba di hutan ini, tiba-tiba kami diserang oleh orang-orang Ngo-tok-kauw dan Eng Lan diculik mereka! Kau sih yang datang terlambat!"

   Wi Liong terkejut sekali. Kalau sampai terhadap pentolan-pentolan saja kakek sakti ini tidak berdaya, betapa hebatnya kepandaian kauwcu mereka! Dalam urusan ini, biarpun masih sukar disebut siapa benar siapa salah, akan tetapi keselamatan Eng Lan terancam dan bagaimana juga ia harus menolong nona itu dari bahaya maut.

   Sementara itu, senja telah terganti malam. Sebetulnya kalau orang berada di luar hutan, mungkin cuaca belum begitu gelap. Akan tetapi, hutan itu liar dan penuh pohon besar maka keadaan di situ sudah amat gelapnya. Pak-thian Koai-jin berhenti di bawah sebatang pohon siong tua. lalu berkata perlahan.

   "Sarang mereka berada di sana itu, di sebelah barat sungai yang mengalir dalam hutan ini. Kita harus berhati-hati karena mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan penjagaan tentu diperkuat. Ketika aku pertama kali menyerbu dengan Eng Lan, kami mengambil jalan dari sungai. Akan tetapi mereka sekarang tentu sudah menjaga tepi sungai."

   Mendengar suara kakek itu terdengar jerih sekali. Wi Liong tersenyum dalam gelap. Agaknya fihak musuh memang luar biasa hebatnya, kalau tidak tak mungkin dapat membikin jerih kakek sakti ini yang sudah terkenal di dunia kangouw. terutama sekali di utara, tempat asalnya.

   "Harap locianpwe menanti di sini saja dulu, dan biarkan aku mencari tahu tentang kedudukan mereka. Kalau mungkin akan kutolong nona Eng Lan dan kubawa keluar dari sarang mereka. Ke padaku mereka belum kenal, tentu kurang perhatian mereka, tidak seperti terhadap locianpwe."

   Pak-thian Koai-jin sudah mengenal pemuda ini dan sudah tahu pula akan kelihaiannya, maka ia mengangguk dan banya memesan.

   "Kalau mendapat kesulitan harap bersuit tiga kali dan......... hati-hatilah, mereka benar-benar lihai sekali."

   Wi Liong mengangguk sambil tersenyum lalu berkelebat dan lenyap dalam kegelapan hutan itu setelah mendapat petunjuk di mana sarang perkumpulan itu. Ia menyelinap di antara pohon-pohon besar. Matanya awas dan gerakannya gesit sekali sehingga di tempat yang demikian liar dan gelap dia masih dapat bergerak dengan lincah dan cepat.

   Betul saja, ia melihat penjaga-penjaga di dalam hutan itu., penjaga-penjaga yang menjaga di sekitar bangunan-bangunan megah yang merupakan sebuah dusun kecil di tengah hutan liar itu. Para penjaga ini berpakaian biasa saja. hanya topi mereka seragam, yaitu topi kebundaran seperti bentuk kepala ular dan lima warna pula! Gerak-gerik mereka memang menunjukkan bahwa mereka terdidik dan berkepandaian ilmu silat, akan tetapi tentu saja tingkat mereka masih amat rendah kalau dibandingkan dengan Wi Liong maka mereka itu tak seorangpun dapat mendengar atau melihat kedatangan Wi Liong yang bergerak amat rincan dan cepatnya. Dengan mudah saja Wi Liong menerobos penjagaan itu dan memasuki perkampungan Ngi-tok-kauw.

   Keadaan di perkampungan itu terang-berderang. jauh se/kali bedanya dengan di dalam hutan tadi. Pohon-pohon telah dibabati dan perkampungan itu nampak bersih dan pada saat itu nampak penerangan memenuhi tengah-tengah perkampungan. Sementara itu bulan purnama yang baru mulai muncul menambah terangnya cuaca.

   Akan tetapi keadaannya sunyi dan ketika Wi Liong mendekati sebuah rumah di pinggir, di situ kosong saja. Tiba tiba ia mendengar suara orang-orang yang datangnya dari arah tengah perkampungan yang terang itu. Ia cepat melompat naik ke atas genteng dan bergerak maju menuju ke tengah.

   Kiranya para anggauta Ngo-tok-kauw sedang berkumpul di sebuah lapangan yang agaknya sengaja diadakan di tengah perkampungan, semacam alun-alun yang tidak begitu luas akan tetapi cukup menampung para anggauta yang jumlahnya ada limapuluhan orang laki -laki wanita. Seperti para penjaga tadi. baik laki-laki maupun wanita yang berkumpul di situ semua memakai topi berbentuk kepala ular yang berwarna lima, hanya bentuknya berbeda, kalau wanita memakai hiasan bunga-bunga sutera di kepala.

   Orang orang itu sedang duduk mengelilingi seorang nenek tua berpakaian hitam yang mengerikan sekali keadaannya. Wanita tua ini tubuhnya kecil tinggi dan berlenggak-lenggok seperti ular gerak-geriknya. Ketika itu ia tidak duduk, melainkan berbaring di atas tilam permadani, kadang-kadang melingkar, kadang-kadang mengangkat kepala gerak geriknya meniru ular, akan tetapi ia mengeluh dan mengaduh, agaknya menderita sakit.

   Para anggauta Ngo tok-kauw duduk di atas rumput begitu saja mengelilingi tempat nenek itu yang cukup lega. Seperti juga para anggautanya, nenek yang menjadi kauwcu (ketua perkumpulan agama) inipun mengenakan topi berbentuk kepada ular dan Wi Liong dari jauh dapat melihat bahwa memang topi yang dipakai nenek itu terbuat dari pada kepala ular aseli. Bahkan mata dan taring ular itu masih kelihatan, di atas kepalanya, menimbulkan pemandangan yang mengerikan. Tak jauh dari tempat nenek ini berbaring, kelihatan sebatang tongkat hitam bengkak-bengkok yang panjangnya ada dua meter, tertancap di atas tanah seperti tonggak.

   Selain nenek ini, yang duduk di dalam lingkaran orang-orang itu. kelihatan tiga orang muda duduk di (Lanjut ke Jilid 24)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   pojok. Yang seorang adalah Pui Eng Lan, duduk di atas tanah dengan kaki tangan terbelenggu kuat-kuat. Gadis ini yang wajahnya pucat kelihatan merasa ngeri memandang nenek itu, akan tetapi ia sama sekali tidak kelihatan takut, malah sinar matanya memancarkan keangkuhan. Di sebelah kiri Eng Lan duduk seorang gadis lain, gadis cantik berkulit kemerahan yang dari mata dan bibirnya menunjukkan watak yang genit dan cabul. Lirikan-lirikan matanya tajam, bibirnya tersenyum-senyum dan pakaiannya amat ketat membungkus tubuhnya sehingga potongan dan bentuk tubuhnya tercetak nyata, apa lagi kain pakaiannya terbuat dari sutera tipis. Pakaiannya indah dan di punggungnya tergantung sebatang pedang pendek.

   Di sebelah kanan Eng Lan duduk seorang pemuda bertubuh tegap tinggi besar, juga pakaiannya indah dan kelihatan gagah sekali. Sayang mukanya hitam dan bopeng (burik), hidungnya terlalu besar dan matanya terlalu sempit, mulutnya tak pernah tertutup. Pendeknya, muka yang tidak akan menimbulkan rasa suka pada hati wanita. Juga pemuda yang usianya duapuluh lima tahun ini pada pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang.

   Wi Liong dengan sepintas lalu memandang ini semua dan ia heran dan ingin tahu apakah yang akan terjadi selanjutnya. Untuk menolong Eng Lan begitu saja tidak mudah karena tempat gadis itu duduk telah dikurung. Di sudut lain terdapat lima buah keranjang bambu yang bentuknya bundar, tingginya dua kaki. Wi Liong tidak tahu apakah isi keranjang itu. Ia menanti saat baik untuk menolong Eng Lan, sambil bersembunyi memperhatikan nenek yang ia dapat menduga tentulah kauwcu Ngo-tok-kauw. Pada saat itu, nenek yang seperti ular tubuhnya itu nampak marah-marah, berguling-gulingan gelisah dan berdengus-dengus, menambah keseraman keadaannya.

   "Aku masiih kuat.........! Aku tidak akan mati.........! Siapa bilang aku terlalu tua menjadi kauwcu? Hayo bilang, siapa berani berkata demikian??"

   Tiba- tiba nenek itu menggeliatkan tubuhnya dan tahu-tahu ia sudah berdiri, tinggi dan kecil seperti pohon bambu.

   Di antara para anggauta yang duduk mengelilingi tempat itu, tidak ada yang berani berkutik. Mereka kelihatan takut sekali kepada nenek itu. Nenek itu lalu memutar tubuhnya menghadapi dua orang muda tadi, matanya jelilatan dan Wi Liong melihat sepasang mata kemerahan.

   "Kalian berdua bukan anak anak keponakan yang baik! Kalian berdua adalah anak-anak yang puthauw (durhaka). Kalau tahu kalian bakal menentangku, dulu-dulu ketika masih bayi sudah kucekik mampus. Ha-ha-hi-hi!"

   Wanita itu menggerak-gerakkan kepalanya dan bergemerlapan cahaya batu-batu permata yang menghias leher dan dadanya terkena sinar obor dan bulan. Rata-rata anggauta Ngo-tok-kauw. apa lagi gadis dan pemuda di dalam lingkaran itu, memakai banyak permata-permata atau batu batu kemala yang bermacam-macam warnanya.

   "Pek-bo (uwa), kami mengusulkan pengunduranmu demi kebaikanmu sendiri. Sudah tua lebih baik mengaso dan biarkan yang muda-muda bekerja menggantikanmu,"

   Terdengar pemuda buruk rupa itu berkata.

   "Coba tuh dengar, menyebut pek-bo. Apakah aku sudah kauanggap bukan kauwcumu lagi?"

   Bentak wanita tua itu sambil menggeliat-geliatkan pinggangnya seperti seorang penari perut.

   "Hih, sudah tua tak tahu tuanya!"

   Gadis genit itu mencela sambil meruncingkan bibirnya yang merah.

   "Ciu Kim.........!!"

   Nenek itu membentak marah sambil menghentak hentakkan tongkat hitamnya yang sudah dicabut, matanya bersinar-sinar menatap wajah gadis itu. Akan tetapi gadis bernama Ciu Kim itu juga berdiri tegak, tangan kanan meraba gagang pedang, siap untuk menanti serangan, sikapnya menantang sekali.

   Nenek itu ragu-ragu, lalu menarik napas panjang dan suaranya seperti orang menangis ketika berkata.

   "Anak-anak nakal....... dulu kutimang- timang......... dulu kuajar silat......... setelah lebih pandai melawan.........!"

   Pada saat itu, dari luar lingkaran orang melompat masuk lima orang kakek yang pakaiannya berbeda beda. Seorang berpakaian serba merah, ke dua serba putih, ke tiga serba hitam, ke empat serba kuning dan ke lima serba hijau, akan tetapi topi mereka serupa, lima warna dan berbentuk kepala ular. Melihat sikap mereka dan pakaian mereka, Wi Liong menduga bahwa mereka inilah kiranya yang disebut pentolan-pentolan Ngo-tok-kauw oleh Pak-thian Koai-jin dan yang mengalahkan kakek itu bersaima muridnya.

   Melihat lima orang itu kauwcu Ngo-tok-kauw menghentikan kemarahannya dan bertanya. Ada laporan apa?"

   Si baju hitam menjawab hormat.

   "Kauwcu, Pakthian Koai-jin datang bersama seorang pemuda, akan tetapi pemuda itu lenyap entah di mana sedangkan Pakthian Koai-jin tidak memasuki batas penjagaan, hanya berkeliaran di luar saja."

   "Hih-hih-hih. tua bangka mabok itu. Mau apa dia? Tak usah dijaga, biar dia masuk kalau berani. Kalian berlima di sini saja. menjadi saksiku."

   Lima orang pembantu ketua itu lalu duduk di atas tanah di belakang tempat duduk ketua dan diam tak bergerak.

   "Kalian dua orang bocah durhaka tidak berhak bersikap sesuka sendiri!"

   Si nenek itu kembali menghadapi Ciu Kim dan pemuda itu yang bernama Hak Lui.

   "Akulah kauwcu dan aku pula yang menetapkan siapa yang menjadi penggantiku. Karena kau berdua kurang ajar, biar aku yang memilih. Dan aku memilih dia ini! Mulai sekarang dia menjadi muridku dan kelak menggantikan kedudukanku menjadi kauwcu dari Ngo-tok-kauw!"

   Nenek ini menudingkan telunjuknya ke arah Eng Lan. Tentu saja Eng Lan menjadi kaget dan heran bukan main.

   Hak Lui mengerutkan kening memandang kepada Eng Lan dan sebaliknya Cui Kim melompat ke depan dan menghunus pedangnya.

   "Tua bangka mau mampus! Kau sudah gila? Perkumpulan ini dahulu dengan susah payah didirikan oleh ayah bundaku. Setelah mereka meninggal, kau menjadi kauwcu hanya karena aku dan kakak misanku Hak Lui masih kecil. Sekarang kami sudah dewasa dan akulah yang berhak menggantikan kedudukan ayah bundaku sebagai Ngo-tok-kauwcu. Masa begitu saja kau mau berikan kepada orang lain? Aku tidak membolehkannya!"

   "Cui Kim! Kau ada hak apa melarangku dan mengangkat diri sendiri menjadi kauwcu?"

   Bentak nenek itu marah.

   "Hakku kau tanya? Hak sebagai ahli waris pendiri Ngo-tok-kauw. hak sebagai orang terbaik, tercantik, paling kuat dan pandai di sini. Siapa tidak setuju boleh maju dan mencoba pedangku!"

   Nenek itu menoleh kepada lima orang pembantunya.

   "Hayo kalian mengapa diam saja? Bocah ini hendak memberontak, tangkap dia!"

   Perintahnya.

   Akan tetapi lima orang itu saling pandang dan tidak bergerak. Kemudian yang berpakaian putih berkata.

   "Kauwcu, mana bisa kami melawan Theng-siocia? Tugas kami hanya membantunya dan membantu kauwcu, akan tetapi bukan melawannya."

   Nenek itu makin marah. Ia membanting-banting kakinya dan tubuhnya makin menggeliat-geliat aneh, itulah tanda bahwa dia marah sekali. Tiba-tiba ia mencabut sebatang tongkat dan mata Wi Liong menjadi silau melihat tongkat itu karena segera cahaya kebiruan tercampur cahaya kemerahan, kuning, dan lain-lain seperti sinar pelangi bersinar dari tongkat itu. Tongkat itu pendek saja, hanya satu kaki terbuat dari pada kayu kehitaman yang mengkilap dan di kepala tongkat itu terdapat sebuah batu kemala besar yang mengeluarkan cahaya aneh itu.

   "Kalian lihat. Ngo-heng-giok-cu (batu kemala lima elemen) berada di tanganku, siapa yang tidak menurut pada pemegang ngo-heng-giok-cu dihukum mati!"

   Katanya kepada lima orang pembantu itu. Melihat tongkat ini, lima orang kakek itu menjadi bingung sekali dan segera berlutut dan membentur-benturkan kepala di atas tanah.

   "Hamba menurut perintah......... menurut perintah........."

   Terdengar mereka berkata.

   "Tangkap Cui Kim! Tangkap atau bunuh! Dia memberontak kepada kauwcu!"

   Kata nenek itu dengan sikap dan suara seperti seorang ratu mengeluarkan perintah, tongkat Ngo-heng-giok-cu itu diangkat tinggi-tinggi di atas kepalanya.

   Benar-benar mengherankan, kalau tadi lima orang pembantu itu ragu-ragu dan segan untuk menyerang Cui Kim puteri pendiri Ngo-tok-kauw, sekarang melihat tongkat dengan batu kemala warna lima itu mereka segera serentak berdiri dan meloloskan senjata mereka, masing-masing sebatang golok besar.

   Menjunjung tinggi Ngo-heng-giok-cu lambang perkumpulan Ngo-tok-kauw, mentaati perintah kauwcu kami harap Theng siocia suka menyerah dan tunduk kepada kauwcu!"

   Kata si baju putih mewakili kawan-kawannya.

   Terdengar suara ketawa merdu dan nyaring akan tetapi mengandung nada mengejek.

   "Kalian berlima ini sudah seperti bukan manusia lagi hanya alat. Mau menangkap atau membunuh aku? Majulah!"

   Setelah berkata demikian, gadis itu malah mendahului, menyerang dengan pedang pendeknya dengan gerakan yang amat gesit.

   Lima orang pentolan Ngo-tok-kauw itu menggerakkan golok, berpencar dan sebentar saja telah membentuk barisan lima penjuru dan melakukan ilmu silat Ngo heng-kun yang amat kuat. Diam-diam Wi Liong kagum dan terkejut. Pantas saja Pak-thian Koai-jin dan muridnya kalah, kiranya lima orang ini memiliki Ilmu Silat Ngoheng-kun yang dijalankan oleh lima orang dan demikian kuatnya. Akan tetapi ketika melihat bagaimana gadis itu menghadapi Ngoheng-kun, ia menjadi makin kagum dan terkejut.

   Tidak saja gadis itu dapat melayani dengan baik, malah dengan ilmu silat semacam Ngo-heng-kun yang sudah dicampur ilmu Silat lain yang aneh, gadis itu dapat menindih gerakan-gerakan lawan dan dapat mengatasi semua desakan karena nampaknya hafal sekali akan semua gerak-gerik lima oramg pengeroyoknya! Dilihat begitu saja seakan-akan lima orang kakek itu adalah murid-muridnya.

   Sebetulnya hal ini memang tidak begitu mengherankan kalau orang tahu akan duduknya perkara. Gadis itu adalah Theng Cui Kim puteri tunggal Theng Gak pendiri dari Ngo-tok-kauw. Ketika Cui Kim masih kecil, baru berusia sebelas tahun, ayah bundanya meninggal dibunuh orang. Karena Cui Kim masih kecil, juga kakak misannya The Hak Lui yang yatim piatu dan menjadi murid ayahnya belum dewasa, maka pimpinan Ngo-tok-kauw diserahkan kepada kakak perempuan ibunya, yaitu nenek yang seperti ular tubuhnya itu. Akan tetapi sebelum tewas.

   Theng Gak meninggalkan sebuah kitab pelajaran ilmu silat Ngo-tok-kauw yang ia ciptakan sendiri berdasarkan Ilmu Silat Ngo-heng-kun. Theng Cui Kim dipesan oleh ayahnya agar kitab itu jangan diperlihatkan lain orang. Cui Kim berhati keras dan berkemauan besar maka selanjutnya ia belajar ilmu itu secara diam-diam dan mendapatkan kepandaian tinggi. The Hak Lui pemuda muka hitam itu juga belajar ilmu silat dan karena dia memang tekun mencari guru-guru di luaram iapun memiliki kepandaian yang tidak rendah dengan ilmu silat campuran.

   Setelah dua orang muda ini menjadi dewasa, mereka merasa bahwa Ngo-tok-kauw telah diselewengkan oleh kauwcu yang sekarang ini, tidak hanya khusus pencari batu kemala seperti yang dimaksudkan oleh Theng Gak semula, akan tetapi diperhebat dan diperdalam tentang agama yang menyeramkan dan penuh ketahyulan. Maka dua orang muda itu mengusulkan supaya kauwcu sekarang itu mengundurkan diri dan mereka berdua yang akan memimpin, pendeknya mereka hendak mere-tool kauwcu bertubuh seperti ular itu sehingga terjadi keributan pada hari itu.

   Pertempuran berlangsung cepat dan empat-puluh jurus telah lewat. Wi Liong dapat menduga bahwa akhirnya lima orang pengeroyok itu akan kalah. Dugaannya ini terbukti pada jurus ke empatpuluh lebih. Sambil tertawa dan memutar pedang lebih cepat lagi, pedang pendek yang sudah menindih lima batang golok itu menyambar, terdengar suara keras disusul teriakan-teriakan kaget kelima orang itu karena golok mereka telah terlepas dari tangan, yang dirasakan perih dan sakit sekali. Ketika mereka melompat mundur, ternyata tangan mereka telah terluka dan tergores pedang! Mereka kagum sekali dan juga amat berterima kasih karena puteri pendiri Ngo-tok-kauw itu kiranya masih mengampuni nyawa mereka, kalau tidak tentu mereka sekarang sudah menggeletak menjadi mayat!

   Diam-diam merekapun insyaf bahwa Ngo-tok-kauw akan menjadi jauh lebih baik kalau dipimpin oleh nona ini. Di bawah pimpinan kauwcu yang sekarang, sering kali terjadi hal-hal kejam dan nyawa anak buah Ngo-tok-kauw tidak terjamin, demikian mudahnya kauwcu membunuh anggautanya kalau dianggap membangkang. Tadi merekapun sudah ragu-ragu, hanya karena melihat tongkat Ngo-heng-giok-cu saja mereka terpaksa tidak dapat membantah lagi.

   Melihat orang-orang kepercayaannya dikalahkan, marahlah kauwcu. Ia memekik ngeri dan maju menghadapi Cui Kim sambil mengacungkan tongkat dengan kemala lima warna itu.

   "Pemberontak cilik! Kau tidak melihat tongkat ini,? Masih berani kau melawan kehendak kauwcumu?"

   Bentaknya.

   Tongkat itu biasanya ditakuti oleh semua anggauta Ngo-tok-kauw. Memang tongkat ini merupakan tanda kebesaran atau lambang Ngo-tok-kauw dan mempunyai riwayat yang menarik. Ketika dahulu Theng Gak memimpin anak buahnya mencari batu-batu kemala di Sungai Kemala ia mendapatkan batu kemala besar yang mengeluarkan cahaya lima macam ini. Dan pada hari itu juga ia digigit ular berbisa di pinggir sungai sehingga ia roboh dalam keadaan empas- empis dan tubuhnya membengkak semua. Hebatnya, tidak hanya seekor ular yang menggigitnya, melainkan lima ekor ular berbisa sekaligus.

   Baiknya isterinya pernah mendengar tentang khasiat batu kemala yang disebut Ngo-heng-giok-cu ini. maka cepat ia menggosok-gosokkan semua luka gigitan dengan batu itu. Hebatnya, racun ular keluar semua dihisap oleh batu Ngo-heng-giok-cu dan cahaya batu itu makin bersinar terang seakan-akan semua racun itu merupakan alat pencuci! Maka selamatlah nyawa Theng Gak. Semenjak hari itu, ia menganggap batu itu batu keramat yang harus dijunjung oleh semua anggauta Ngo-tok-kauw, sedangkan nama perkumpulan Ngo-tok (Lima Racun) pun diambil dari peristiwa itu. Juga lima macam ular yang menggigitnya dipelihara baik-baik sampai hari itu. sudah berkali-kali berganti kulit.

   Melihat tongkat dengan batu kemala itu, Cui Kim membentak.

   "Kembalikan tongkat ayah!'"

   Cepat seperti ular menyambar, lengan kiranya bergerak merampas tongkat itu.

   Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Nenek itu yang dahulu terkenal dengan nama Siu-toanio, cepat mengelak dan terjadilah perebutan tongkat dengan ramainya.

   Akhirnya dari perebutan tongkat menjadi pertempuran dahsyat. Cui Kim menggunakan pedang pendeknya Siu-toanio mempergunakan tongkat hitamnya, sedangkan tongkat bermata Ngo-heng-giok cu sudah ia simpan lagi, diselipkan di ikat pinggangnya.

   Pertempuran yang terjadi kini amat cepatnya dan amat indah dipandang di bawah sinar bulan yang sudah memancarkan cahaya sepenuhnya tanpa dihalangi mega. Langit bersih biru. sinar bulan bersih kuning keemasan.

   Tongkat panjang nenek itu berubah menjadi segunduk sinar hitam yang mengerikan, yang bergerak ke sana ke mari menimbulkan angin bersiutan.

   Pedang di tangan Cui Kim berubah menjadi segulung sinar putih. Bagi mata orang-orang di situ. yang terlihat hanyalah dua gulung sinar hitam dan putih ini, saling desak saling tindih dengan hebat. Akan tetapi bagi mata Wi Liong yang bersembunyi di atas pohon, ia dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan pandang matanya. Diam-diam ia kaget juga melihat Ilmu Silat Ngo-heng-kun yang diperlihatkan nenek itu. Benar-benar amat ganas, curang, dan cepat kuat. Tubuh nenek yang lenggak-lenggok seperti ular dapat menggeliat-geliat itu menambah kelihaiannya karena ia dapat mengatur serangan penuh gerak tipu yang sukar diduga.

   Akan tetapi Cui Kim mengagumkan sekali. Tidak saja ilmu silatnya memang lebih tinggi' tingkatnya biarpun kalah matang dan kalah taktik, juga ia memiliki tubuh yang lebih gesit dan ringan. Dengan ilmu silatnya Ngo-tok-kun yang merupakan perbaikan dan penyempurnaan Ngo-heng-kun yang dimainkan oleh Siu-toanio, gadis itu dapat mengimbangi malah mengatasi permainan lawan.

   Tiba-tiba Siu-toanio mengeluarkan seruan keras dan topi kepalanya terlempar, rambutnya terurai dan sebagian putus terbabat pedang. Dengan amat marah nenek itu mengeluarkan dua buah benda dari dalam saku dan memasangkan dua benda itu di kedua ujung tongkat hitamnya. Wi Liong dari atas pohon dengan kaget dan ngeri melihat benda-benda itu bergerak-gerak dan ternyata itulah dua ekor ular kecil, yang seekor berwarna putih yang seekor lagi hitam, ular-ular beracun yang berbahaya tentunya!

   Melihat dua ekor ular itu. Cui Kim yang tahu bahwa itu adalah dua ekor ular yang amat berbisa, menjadi kaget dan jerih. Permainan pedangnya menjadi kacau-balau dan sebentar saja ia sudah terdesak hebat. Mulailah nenek itu tertawa-tawa dan terus menggencet gadis itu tanpa mengenal ampun lagi. Jelas dari serangan-serangannya bahwa ia bermaksud membunuh Cui Kian.

   "Semua ular takut kepada Ngo-heng-giok-cu!"

   Tiba-tiba terdengar seruan Hak Lui pemuda muka hitam tadi. Dalam hal ilmu silat, kiranya pemuda ini tidak selihai Cui Kim, akan tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa. Inilah sebabnya Cui Kim suka bekerja sama dengan dia untuk membantunya memimpin Ngo-tok-kauw. Kalau tidak cerdik sekali pemuda ini, mana Cui Kim sudi bekerja sama dengan pemuda yang selain kepandaiannya tidak dapat melebihinya, juga mukanya amat buruk tidak menyenangkan hatinya itu?

   Mendengar ucapan The Hak Lui tadi. Cui Kim tiba-tiba tersadar dan cepat ia merobah gerakan pedangnya, kini mati-matian melancarkan serangan maut bertubi-tubi dengan jurus-jurus yang paling berbahaya dari Ngo-tok-kun.

   Siu-toanio kaget sekali sampai berseru keras dan terdesak mundur. Kesempatan fini dipergunakan oleh Cui Kim untuk menubruk maju, tangan kirinya menyambar dan di saat yang sama. ia berhasil merampas tongkat bermata Ngo-heng-giok-cu, akan tetapi pundak kanannya digigit oleh ular hitam!

   Siu-toanio marah sekali akan tetapi juga girang bahwa ularnya dapat menggigit Cui Kim. Ia mengharapkan Cui Kim roboh tak bernapas lagi. Dapat dibayangkan betapa gemas dan kecewanya ketika melihat gadis itu sambil tertawa-tawa menggosok-gosokkan mata tongkat itu pada pundaknya dan semua racun dihisap oleh Ngo-heng-giok-cu!

   Nenek itu menyerang lagi. akan tetapi Cui Kim mengangkat tongkat bermata Ngoheng-giok-cu dan dua ekor ular itu jatuh terlepas dari ujung tongkat, melingkar di tanah seperti tak bertenaga lagi, sama sekali tak berdaya oleh hawa yang keluar dari Ngo-heng-giok-cu yang benar-benar merupakan batu mustika yang jarang bandingannya!

   Pedang Cui Kim menyambar lagi, terdengar jerit kesakitan dan tongkat hitam terlempar. Sebuah tendangan membuat nenek itu terpaksa jatuh berlutut karena tulang kaki kirinya patah! Cui Kim melompat maju pedangnya bergerak dan........."tak!"

   Lima jari tangan nenek itu yang sebelah kanan putus semua!

   "Kau masih belum mengakui aku sebagal kauwcu setelah Ngo-heng-giok-cu berada di tanganku?"

   Bentak Cui Kim.

   Siu-toanio berlutut dan menganggukkan kepala.

   "Kauwcu........!"

   Ia berkata tanpa mengeluh sakit biarpun tulang kakinya patah dan lima jari kanannya putus.

   Lima orang kakek tadi juga berlutut dan menyebut "Kauwcu.........!"

   Para anggauta bersorak.

   "Hidup kauwcu baru........!"

   Mereka rata-rata memang tidak suka kepada Siu-toanio yang amat ganas dan kejam, maka gembiralah mereka sekarang dapat mengangkat Cui Kim sebagai ketua perkumpulan mereka.

   Hanya Hak Lui yang tersenyum-senyum saja dan tidak ikut berlutut memberi hormat kepada kauwcu baru itu. Cui Kim mengerutkan alis tanda tak senang, akan tetapi karena baru saja menjadi kauwcu dan ia membutuhkan bantuan Hak Lui. ia diam saja tidak menegur kakak misannya yang sebetulnya juga suhengnya itu karena Hak Lui ketika kecil belajar ilmu silat pada ayahnya.

   Dengan bangga dan wajahnya yang cantik manis berseri-seri, matanya mengerling ke sana ke mari dengan tajam, sambil membawa tongkat bermata Ngo-heng-giok-cu. Cui Kim lalu duduk di atas permadani yang tadi menjadi tempat duduk Siu-toanio.

   "Menurut peraturan yang berlaku kauwcu baru belum sah kedudukannya sebagai pemimpin kalau belum berkenalan dengan Ngo-tok-coa (Lima Ular Beracun)!"

   Tiba -tiba Siu-toanio berkata, suaranya keras dan mengandung ejekan biarpun sikapnya menghormat sambil berlutut.

   Cui Kim mengejek dalam senyum manisnya.

   "Kau kira aku tidak tahu akan peraturan ayah sendiri?"

   La menoleh kepada lima orang kakek tadi sambil memberi perintah "Hayo lakukan upacara itu!"

   Wi Liong yang sejak tadi mengintai semua pertunjukkan itu, menjadi makin tertarik dan ingin sekali ia meliihat "upacara."

   Itu. Dilihatnya bahwa sampai sebegitu jauh, keselamatan Eng Lan tidak terancam, maka ia hendak melihat gelagat sebelum secara sembrono turun tangan menolong Eng Lan dan mengganggu upacara perkumpulan agama yang aneh itu.

   

Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini